Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM


“PROFIL RASULULLAH SAW SEBAGAI PENDIDIK IDEAL”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. MUSLIM AFANDI, M.Pd

OLEH :
AHMAD KHAIRUL ANAM, S.Pd
NIM : 22090611995

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

FAKULTAS PASCASARJANAPRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

TAHUN 2020
A. PENDAHULUAN
Dalam Islam Nabi Muhammad adalah sumber pengetahuan tentang segala
macam aspek ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam sabda beliau :

)‫أَنَا َم ِد ْينَةُ العِْل ِم َو َعلِ ُّي بَابُ َها (احلكيم‬


“Aku adalah pusatnya ilmu pengetahuan dan Ali ra lah pintunya (segala ilmu)”
(Al Hakim)
Dengan lantangnya beliau bersabda demikian tentunya bukan hanya sekedar
teori belaka, melainkan memang apa yang seharusnya yang beliau ucapkan sebagai
penutup Nabi dan Rasul yang mengemban tanggung jawab menjadi Rahmat bagi
seluruh alam.
Sebagai seorang yang beriman tentu kita harus yakin dan percaya bahwa beliau
memang demikian sehingga dalam segala aspek kehidupan beliaulah yang menjadi
panutan utama, sehingga tepatlah kalau beliau disebut sebagai pendidik yang ideal. Hal
ini juga didukung dengan ajaran beliau berbanding lurus dengan perilaku, sehingga apa
saja yang beliau lakukan menjadi dalil dalam penentuan hukum. Terlebih juga apa
yang beliau lakukan adalah semata-mata menjalankan wahyu yang beliau terima
melalui Al Quran yang mana berasal langsung dari sang Pencipta yang maha kuasa.
Hal ini tercantum dalam QS. An Najm 3-4 :

)٤-٣ : ‫ إِ ْن ُه َو اِال َو ْح ٌي يُ ْو ٰحى (النجم‬.‫َو َما َيْن ِط ُق َع ِن اهلَٰوى‬


“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An
Najm : 3-4)
Kajian tentang Nabi Muhammad sebagai pendidik yang ideal sangatlah penting
untuk dikaji secara mendalam, terlebih pada era globalisasi ini terjadi dekadensi moral
yang begitu signifikan yang menyebabkan Islam terlihat seperti mengalami
kemunduran yang sangat memprihatinkan. Terutama dengan hadirnya berbagai macam
media sosial yang membuat para generasi muda sangat jauh dari akhlak yang yang
ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik utama yang diteruskan
kepada para sahabat yang ajarannya sampai kepada kita sampai saat ini.
B. KONDISI POLITIK, SOSIOKULTURAL PRA-ISLAM SAMPAI FASE AWAL
ISLAM
Ahmad M. Saefuddin mengatakan,”Untuk dapat memahami misi Nabi
Muhammad SAW, sebagai pendidik dan rahmat bagi sekalian alam, harus menoleh
kebelakang, mempelajari sejarah keadaan masyarakat sosial menjelang kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu, perlu mengungkapkan sejarah yang bersumber dari
Al-Quran, beserta tafsir, keterangan-keterangan dari hadist Nabi, atsar sahabat, kitab-
kitab,dan buku-buku yang di susun oleh ahli sejarah.
Gambaran dunia politik menjelang pertengahan abad ke-6 masehi, terbukti
bahwa dunia berada dalam kegelapan yang merusak kehidupan spiritual manusia.
Keserakahan dan tirani telah menjarah kesejahteraan moralnya, penindasan telah
melumpuhkan mayoritas pendidikan penduduknnya. Sementara kondisi sosiokultural,
sepeninggalan nabi Isa,ajaran agama Allah dibawa dan  di siarkan makin lama makin
luntur dan cahayanya makin suram.Manusia berangsur-anngsur menjauhi ajaran agama
dan perlahan-lahan di bawa oleh hawa nafsu dan dalam jurang kehinaan dan
penghambaan kepada Allah menjadi penghambaan kepada manusia, berhala, api,
binatang, kayu, dan lain-lain. Hal itu terjadi dalam masyarakat ahli kitab (yahudi dan
nasrani), dan masyarakat musyrikin. Demikian gambaran dunia lima ratus tahun
sesudah Nabi Isa pada zaman jahiliah,suatu zaman yang gelap gulita yang di liputi
kebodohan dan keterbelakangan
Allah maha bijaksana, sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad bin
Abdullah telah di persiapkan Allah degan menjaganya dari skap-sikap jahiliah dengan
akhlak terpuji dan nilai-nilai humanisme dan spiritualisme, dan mendapat gelar
penghargaan tertinggi yaitu al-amin sekitar tahun 610 m,pada tanggal 17 ramadhan,
turunlah wahyu Allah yang pertama, yaitu surah al-‘Alaq yang pertanda bahwa
Rasulullah telah resmi sebagai rasul pembawa manusia ke jalan kecerdasan dan
kesempurnaan dari zaman jahiliyah.
C. TAHAPAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH
1. Pendidikan Islam Secara Diam-Diam
Pada awal turunnya Al Quran Rasulullah SAW menjalani Pendidikan secara
diam-diam terbatas pada keluarga dan sahabat dekatnya, yang akhirnya diterima
oleh istrinya Khadijah, anak pamannya Ali bn Abi Thalib, anak angkatnya Zaid bin
Haritsah, serta kerabat dekatnya Abu Bakar. Melalui Abu Bakar, masuk Islam pula
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin
Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah dan beberapa budak dan
fakir miskin. Secara berangsur-angsur, ajaran tersebut di sampaikan secara meluas
tapi masih terbatas di kalangan keluarga dari suku Quraisy saja dan sebagai
lembaga pendidikan dan pusat kegiatan pendidikan Islam yang pertama pada era
awal ini adalah di rumah Arqam bin Arqam. Dakwah ini berlangsung selama tiga
tahun dan mendapat pengikut sekitar 30 orang yang akhirnya diberi gelar
assabiqunal awwalun.
2. Pendidikan Islam Kepada Keturunan Abdul Mutthalib
Ketika wahyu ketiga turun, yaitu surat As-Syu’ara ayat 214-216 yang
berbunyi:
ِِ ِ َ ‫ك لِم ِن اتَّبع‬ ِ ‫ و‬.‫وأَنْ ِذر ع ِش ريتَك األ ْق ربِني‬
َ ‫ فَ ِإ ْن َع‬.‫ني‬
‫ص ْو َك‬ َ ‫ك م َن الْ ُم ْؤمن‬ َ َ َ َ ‫اح‬ َ َ‫ض َجن‬
ْ ‫اخف‬
ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ
)٢١٦-٢١٤ :‫َف ُق ْل إِيِّن بَِريءٌ مِم َّا َت ْع َملُو َن (الشعراء‬
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-
orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:
"Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan".
Beliau mengundang keluarga dekatnya keturunan Abdul Mutthalib untuk
berkumpul di bukit shafa, mengajak kepada mereka untuk beriman, akan tetapi
Abu Lahab beserta istrinya menolak dengan mengutuk Nabi, sehingga turunlah
surat Al Masad yang menjelaskan bahwa Abu Lahab dan istrinya akan mengalami
celaka dari dunia sampai akhirat.
3. Pendidikan Islam Secara Terang-Terangan
Seiring dengan jumlah sahabat yang makin banyak menerima, terutama
setelah berimannya Umar bin Khattab dan turunnya wahyu surat Al Hijr ayat 94-
96, yang berbunyi:

‫ين جَيْ َعلُو َن َم َع اللَّ ِه‬ ِ َّ ِ‫اك الْمس ته ِزئ‬ ِ ‫مِب‬


َ ْ َ ْ ُ َ َ‫ني إِنَّا َك َفْين‬
َ ‫ني الذ‬ َ ‫ض َع ِن الْ ُم ْش ِرك‬
ْ ‫اص َد ْع َا ُت ْؤ َم ُر َوأ َْع ِر‬
ْ َ‫ف‬
‫هَٰل‬
)٩٦-٩٤ : ‫ف َي ْعلَ ُمو َن (احلجر‬ َ ‫إِ ًا‬
َ ‫آخَر ۚ فَ َس ْو‬
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang
memperolok-olokkan (kamu), (Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya
tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-
akibatnya).”
Maka Rasulullah melanjutkan Pendidikan secara terang-terangan untuk
menyeru kepada ajaran yang hakiki. Sejak saat itulah timbul rasa kurang senang
dan benci dalam hati kaum Quraisy kepada Beliau dan mulailah mereka berusaha
untuk menghalangi dan merintangi ajaran yang dibawa.
D. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Kurikulum Pendidikan Islam yang terapkan oleh Nabi Muhammad adalah Al
Quran yang berasal langsung dari Allah yang turun secara berangsur-angsur sesuai
dengan peristiwa yang sedang berlaku pada saat itu.
ٍ ‫ بِلِس‬.‫ك لِتَ ُكو َن ِمن الْمْن ِذ ِرين‬
ٍّ ‫ان َعَريِب‬ َ ِ‫ َعلَى َق ْلب‬.‫ني‬ ِ ُّ ‫نزل بِِه‬ ِ ِّ ‫وإِنَّه لَتَنزيل ر‬
َ َ ُ َ ُ ‫وح األم‬
ُ ‫الر‬ َ .‫ني‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َُ ُ َ
)١٩٥-١٩٢ : ‫ (الشعراء‬.‫ني‬ ٍ ِ‫ُمب‬

Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas. (As Syu’ara’ : 192-195)

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril,


tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering
wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan
kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping itu banyak pula
ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian
tertentu.Dalam kenyataan tersebut terkandung hikamah dan faidah yang besar,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan ayat 32
yang berbunyi :

ِ ِّ‫ك لِنُثَب‬ِٰ ِ ِ ۟ ِ َّ َ َ‫وق‬


ُ‫ت بِۦه ُف َؤ َاد َك ۖ َو َرَّت ْلٰنَ ه‬
َ َ ‫ين َك َف ُرو ا لَ ْواَل نُ ِّز َل َعلَْي ه ٱلْ ُق ْرءَا ُن مُجْلَ ةً َٰوح َد ًة ۚ َك َذل‬
َ ‫ال ٱلذ‬ َ
‫َت ْرتِياًل‬
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Rasulullah juga menyuruh para sahabat untuk mempelajari bahasa asing agar
tidak mudah diperdaya oleh asing, sesuai yang beliau perintahkan kepada Zaid bin
Tsabit :

َ‫الس ْريَانِيَّة‬
ُّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن أََت َعلَّ َم‬ ِ ُ ‫أَمريِن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ََ
“Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempelajari
bahasa Suryani.” [HR. At-Tirmidzi: 2639).

Jika ada kalangan yang menganggap bahwa orang-orang kafir Barat sebagai
penjajah atau musuh bagi umat Islam, justru bagian dari strategi agar selamat dari
kejahatan mereka seharusnya menguasai bahasa mereka.

E. KARAKTERISTIK RASULULLAH SEBAGAI PENDIDIK YANG IDEAL

Sebagai seorang pendidik yang selalu mengajar umatnya dengan berbagai


macam hal, beliau memiliki karakteristik dan akhlak mulia yang begitu kuat sebagai
seorang guru, sehingga maksud dari ajarannya dapat tersampaikan dan dapat
diamalkan oleh murid-muridnya.

Rasulullah menyadari bahwa para peserta didiknya (sahabat) adalah


pemegang kendali segala permasalahan ummat. Merekalah yang akan melanjutkan
tongkat estafet kepemimpinan di masa depan nanti dan di tangan merekalah kelak yang
akan menggerakkan lajunya kehidupan masyarakat serta mengatur segala urusan-
urusan agama dan risalah Islam ini. Karena itu beliau sebagai pendidik terlebih dahulu
menunjukkan contoh dan karakter yang dapat di ikuti oleh peserta didiknya (As-
Sayyid, 1993: 13)

Oleh sebab itu, sebagai seorang pendidik sudah sepatutnya seorang guru
menerapkan dan melaksanakan karakteristik seorang pendidik ini agar pembelajaran
yang dilakukannya berhasil dengan baik. Berikut beberapa karakteristik Rasulullah
saw. sebagai seorang pendidik.

1. Serasi Antara Ucapan dan Perbuatan


Dalam sebuah pengajaran, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan lebih
cepat dapat diterima oleh peserta didik ketimbang hanya sekedar ucapan saja
tanpa dibarengi oleh tindakan nyata. Oleh karena itu, pendidik harus menegakkan
prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari baik sewaktu di hadapan peserta didiknya
maupun dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Karena ia adalah sosok yang akan digugu dan ditiru bukan saja oleh murid-
muridnya tapi juga masyarakat lingkungannya.

Ketika Rasulullah saw. memerintahkan manusia melakukan kebaikan dan


beliau adalah orang yang paling pertama kali melakukannya. Beliau melarang
manusia dari keburukan dan beliau adalah orang yang paling pertama kali
menghindari dan menjauhinya. Ini adalah kesempurnaan akhlak beliau. Hal itu
tidaklah aneh, karena akhlak beliau adalah Alquran.

Rasulullah SAW adalah sosok pribadi pendidik yang serasi antara ucapan
dan perbuatan. Hal itu terlihat pada peristiwa yang terjadi pada diri Nabi dan
kaum Muslimin yang bersamanya dalam kisah Sulh al-Hudaibiyyah. Manakala
orang-orang musyrik menyepakati perjanjian damai dengan orang-orang Islam
dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya agar orang-orang Islam pada tahun ini
kembali ke Madinah dan datang berhaji di tahun yang akan datang.

Setelah selesai dari membuat perjanjian, Rasulullah saw. berkata kepada


para sahabat Beliau: “Bangun dan sembelihlah hewan qurban kalian lalu
cukurlah kepala kalian.” Al-Miswar ibn Makhramah berkata: “Demi Allah, tidak
ada satupun orang yang beranjak berdiri (untuk melaksanakan perintah Beliau)
hingga Beliau memerintahkannya sampai tiga kali. Ketika tidak ada seorangpun
dari mereka yang berdiri, untuk melaksanakan perintah Beliau, akhirnya Beliau
masuk menemui Ummu Salamah lalu menceritakan kejadian yang Beliau
dapatkan di kalangan Kaum Musliminan. Maka Ummu Salamah berkata: “Wahai
Nabi Allah, apakah Tuan suka agar mereka melakukannya? Keluarlah lalu
janganlah Tuan berbicara sepatah katapun dengan siapapun dari mereka hingga
Tuan menyembelih unta kurban Tuan lalu Tuan panggil tukang cukur Tuan untuk
mencukur rambut Tuan”. Maka Beliau keluar dan tidak berbicara dengan
seorangpun dari mereka hingga Beliau menyembelih unta qurban Beliau lalu
memanggil tukang cukur Beliau hingga tukang cukur mencukurnya. Manakala
orang-orang melihat hal itu, mereka bangkit lalu menyembelih hewan kurbannya
dan sebagian mereka mulai saling mencukur satu dengan yang lainnya (Ibnu
Hisyam, 1999: 208, Az-Zaid, 1428: 530, Al-Bukhari, No. 2547). Hampir-hampir
terjadi keributan karena saking tegangnya (Al-Jauziyyah, 2009: 295).

Dari hadis di atas terlihat dengan jelas bagaimana para sahabat tidak
langsung melaksanakan perintah Rasulullah SAW, karena mereka belum melihat
Rasulullah melakukannya. Tetapi manakala mereka melihat beliau melakukannya,
maka mereka pun segera melakukannya dan tidak seorang pun dari mereka yang
ketinggalan.

Ini menunjukkan betapa pentingnya keserasian antara ucapan dan


perbuatan. Keteladanan yang baik seperti ini akan dapat memberikan efek
pengaruh yang kuat dibandingkan sekedar ucapan. Seorang ayah di rumahnya
adalah teladanan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian ter-pengaruh
oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi
pengaruh kuat terhadap peserta didiknya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah
seorang pendidik harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai
modal dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi murid-muridnya
(Az-Zaid, 1428: 541).
Begitu pentingnya keserasian antara ucapan dan perbuatan itu bagi
seorang pendidik, maka menurut Fu’ad ibn ‘Abdul ‘Aziz asy-Syalhub, seorang
pendidik adalah orang yang paling membutuhkan konsistensi dalam menjalani
keserasian antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupannya sehari-hari, karena
dia adalah contoh yang diteladani oleh siswanya. Melalui pendidik siswa
menimba akhlak, adab, dan ilmu. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang
pendidik yang ucapannya bertolak belakang dengan perbuatannya (Asy-Syalhub:
8).

Karena itu, Allah swt. sangat mengecam keras orang yang mengatakan
sesuatu tetapi ia sendiri tidak melakukan apa yang ia katakan sebagaimana
termaktub dalam Q.S. Aṣ-Ṣaf/61: 3.

﴾۳ : ‫َكُبَر َم ْقتًا ِعْن َد ال ٰلّ ِه اَ ْن َت ُق ْولُْوا َما اَل َت ْف َعلُ ْو َن ﴿الصف‬

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.”

Perumpamaan pendidik yang memberikan arahan dengan orang-orang


yang meminta arahan adalah seperti bayang-bayang dengan tongkat. Bagaimana
bayangan akan lurus jika tongkatnya saja sudah bengkok. Jika ingin bayangannya
lurus, maka seyogianya tongkatnya pun harus lurus pula. Begitu juga seorang
pendidik, jika ingin muridnya jujur, maka terlebih dahulu gurunya harus
berperilaku jujur.

2. Bersikap Adil Terhadap Murid


Adil adalah akhlak yang mulia, sifat yang agung, dicintai semua orang,
dan memberikan harapan bagi orang-orang yang disakiti (As-Sirjani, 2011: 36).
Oleh karena itu, dengan sangat jelas di dalam Alquran Allah memberikan perintah
untuk berlaku adil. Allah berfirman :

‫ٓاء َوا ۡل ُم ۡن َك ِر‬ َ َ ََ ِٕ َ‫ان َواِ ۡيت‬


ِ ‫ٓاى ِذى ا ۡلُق ۡىٰبر وي ۡنٰهى ع ِن ا ۡلَف ۡحش‬ ِ ‫اِ َّن ال ٰلّ ه ي ۡامر بِا ۡلع ۡدِل وا ۡلاِ ۡحس‬
َ َ َ ُُ َ َ
‫ى يَعِظُ ُك مۡ لَ َعلَّ ُك مۡ تَ َذ َّكُر ۡوَن‬
‌ِۚ ‫َوا ۡلبَ ۡغ‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl : 90).

Oleh karena itu, Rasulullah memberi perhatian yang besar dalam


mengajarkan nilai keadilan kepada para sahabatnya, dengan menjelaskan kepada
mereka betapa besar pahala berlaku adil pada hari kiamat. Rasulullah bersabda:

ِ ِ ِ ِ ِ‫ني ِعْن َد اللَّ ِه َعلَى َمنَ ابِر ِم ْن نُو ٍر َع ْن مَي‬ ِ ِ


ٌ ‫ني الرَّمْح َ ِن َع َّز َو َج َّل َوك ْلتَ ا يَ َديْ ه مَي‬
‫ني‬ َ َ ‫إِ َّن الْ ُم ْقس ط‬
‫ْم ِه ْم َوأ َْهلِي ِه ْم َو َما َولُوا‬
ِ ‫الَّ ِذين يع ِدلُو َن يِف حك‬
ُ َْ َ

“orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung)
yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan
kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil
dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di
bebankan kepada mereka." (Muslim, No. 3406).

Demikianlah Rasulullah saw. menanamkan sifat adil dalam hati para


sahabatnya. Kemudian beliau pun langsung menjadi contoh ideal dalam
melakukan semua perintah-perintahnya, sehingga sifat adil menjadi hal yang
naluriah untuk beliau, semenjak usianya yang masih sangat muda (As-Sirjani,
2011: 38).

Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling terpercaya, adil, santun
dan jujur. Bahkan pihak lawan dan musuhnya mengakui pribadi Nabi tersebut.
Ketika berlangsung pemugaran Ka’bah, masyarakat Quraisy berselisih dan
bersengketa, nyaris menimbulkan perpecahan, perihal siapakah yang berhak
meletakkan Hajar Aswad pada tempat asalnya. Maka mereka memutuskan bahwa
orang pertama yang datang ke Ka’bah akan menjadi hakim. Ternyata
Muhammadlah orang yang pertama datang. Mereka berkata: “Muhammadlah
yang berhak menyelesaikan perselisihan ini. Dialah pemuda yang paling bijak dan
terpercaya di antara kita. Kami semua menerimanya.” (Al-Yahsubi, 2002: 113).
Beliau dapat menyelesaikannya dengan keputusan yang adil dan diterima oleh
semua pihak (As-Sirjani, 2011: 38) Peristiwa ini terjadi sebelum dia menjadi
Rasul Allah. Pada masa jahiliyah terdapat kebiasaan mengangkat seorang hakam
(arbitrator) ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Dan situasi yang paling
masyhur yang menunjukkan keadilan dan kekuatan Rasulullah dalam kebenaran
dapat di lihat ketika peristiwa Fath Makkah (penaklukan Makkah).

Perlakuan yang berbeda dan tidak adil terhadap peserta didik,


menyebabkan terjadi saling memusuhi di antara mereka, dan akan tercipta jurang
pemisah antara guru dan peserta didik lainnya yang terzalimi. Oleh sebab itu,
seorang pendidik harus konsisten menerapkan sikap adil di antara peserta
didiknya supaya rasa persaudaraan dan saling cinta membudaya di antara mereka
(Asy-Syalhub: 11).

Perwujudan sikap adil seorang guru hendaknya tidak terbatas ketika


mengajar di ruang-ruang kelas saja, tapi yang paling penting adalah ketika
memberi nilai dan rangking pada siswa pun hendaknya seorang pendidik memberi
nilai dengan adil dan tidak subyektif karena faktor kedekatan mau pun hubungan
kekeluargaan.

3. Berakhlak Mulia dan Terpuji


Dapat dipastikan bahwa kata yang baik dan tutur bahasa yang bagus dan
santun mampu memberikan pengaruh terhadap jiwa, mendamaikan hati, serta
menghilangkan dengki dan dendam dari dada. Demikian juga raut wajah yang
ceria yang tampak dari seorang pendidik, akan mampu menciptakan respon positif
dari siswa, karena wajah yang riang dan berseri merupakan sesuatu yang
disenangi dan disukai jiwa. Adapun bermuka masam dan mengernyitkan dahi
adalah sesuatu yang tidak disukai dan diingkari jiwa (Asy-Syalhub: 12).

Rasulullah saw. adalah sosok yang paling suci dari segi ruh dan jiwa.
Beliau adalah manusia yang paling agung akhlaknya, sebagaimana firman-Nya
dalam surat Al-Qalam ayat 4.
‫َّك لَ َعلَ ٰى ُخلُ ٍق َع ِظي ٍم‬
َ ‫َوإِن‬

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”

Beliau bukanlah sosok yang bersikap keras lagi berhati kotor, dan tidak
pula berlaku ekstrim, melainkan beliau adalah sosok yang ramah, lemah lembut,
dan penuh kasih sayang. Hal itu dijelaskan Allah melalui ayat-ayatnya berikut ini,

ِِ ِ ِ ِ
‫وف‬ َ ‫يص َعلَْي ُكم بِٱلْ ُم ْؤمن‬
ٌ ُ‫ني َرء‬ ٌ ‫ُّم َح ِر‬
ْ ‫ول ِّم ْن أَن ُفس ُك ْم َع ِز ٌيز َعلَْي ه َم ا َعنت‬
ٌ ‫لََق ْد َج ٓاءَ ُك ْم َر ُس‬

‫يم‬ ِ
ٌ ‫َّرح‬

artinya: “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dan kaum kalian
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang Mukmin”. (Q.S. At-Taubah: 128).

Itulah sebagian karakter Nabi akhlak-akhlak yang agung, kasih dan sayang
kepada orang-orang beriman, tidak kasar, tidak berhati keras dan seterusnya
tersebut di atas. Karakter-karakter tersebut harus ada di dalam diri seorang
pendidik, karena orang-orang yang dididik butuh kepada pendidik yang bersikap
lembut kepada mereka serta mengajari mereka perkara agama mereka.

Bukan hanya kepada para tamu maupun para pembesar, bahkan terhadap
pembantu pun Rasulullah berakhlak dan berlaku baik. Anas ibn Malik yang
menjadi pembantu beliau telah mengabdi kepada Rasulullah selama 10 tahun.
Selama itu pula, beliau tidak pernah menghardiknya. Rasulullah tidak pernah
menanyakan kepadanya mengenai sesuatu yang dilakukannya dengan pertanyaan,
“Mengapa engkau berbuat demikian?” Beliau juga tidak pernah menanyakan
sesuatu pekerjaan yang tidak dilakukannya dengan pertanyaan, “Mengapa engkau
meninggalkannya” (Ahmad, 1992: 715).
Selain itu, Rasulullah tidak pernah memukul apa pun dengan tangan.
Beliau tidak pernah sekali pun memukul perempuan dan pembantu, kecuali dalam
rangka jihad di jalan Allah Tidak hanya itu, jika diminta sesuatu, Rasulullah tidak
pernah mengatakan tidak. Anas r.a. menuturkan, “Rasulullah adalah orang yang
paling bagus akhlaknya.” (Ahmad, 1992: 716).

Pernyataan Anas r.a. yang menyatakan Rasulullah adalah orang yang


paling bagus akhlaknya berdasarkan pengalamannya selama 10 tahun melayani
kebutuhan Rasulullah. Selama 10 tahun itu pula ia dekat bersama Rasulullah serta
mengamati prilaku dan sepak terjang beliau. Jika orang terdekat sudah
memberikan pernyataan sedemikian rupa, tentulah informasi tersebut akurat dan
tingkat kepercayaan yang tinggi. Karena prilaku dan kepribadian seseorang luar-
dalamnya, baik-buruknya, pastilah orang terdekatnya yang paling tahu. Kesaksian
Anas r.a. ini sejalan dengan pernyataan Allah swt. yang menyatakan bahwa
Rasulullah adalah memiliki akhlak yang mulia.

Sudah seharusnya para pendidik dan pengajar mencontoh dan mengikuti


jalan sang guru besar ini dalam menghiasi diri dengan akhlak mulia dan adab
yang tinggi, dan merupakan media paling sukses di dalam mengajar dan
mendidik, di mana siswa pada umumnya akan terdorong dan berakhlak dengan
akhlak gurunya karena ada contoh dari gurunya. Apabila seorang pendidik
berakhlak dengan akhlak yang terpuji, hal itu akan memberikan pengaruh positif
terhadap siswanya, serta akan memberikan reaksi di dalam jiwanya lebih dari
reaksi yang diberikan hanya dengan puluhan nasihat dan kata-kata saja (Asy-
Syalhub: 12).

Aplikasi akhlak yang mulia di hadapan siswa dapat dilakukan oleh para
pendidik dengan berbagai cara. Di antaranya, berkata yang baik, selalu tersenyum
setiap kali berjumpa maupun berpapasan dengan peserta didik, memperlihatkan
wajah berseri, menghilangkan jarak antara guru dan siswa, serta sikap kasih
sayang terhadap peserta didiknya.

4. Humoris
Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar, humor adalah
komunikasi yang dilakukan guru dengan menggunakan sisipan kata-kata, bahasa
dan gambar yang mampu menggelitik siswa untuk tertawa. Sisipan humor yang
diberikan dapat berbentuk anekdot, cerita singkat, kartun, karikatur, peristiwa
sosial, pengalaman hidup, lelucon atau plesetan yang dapat merangsang
terciptanya suasana riang, rileks, dan menyenangkan dalam pembelajaran.

Di antara manfaat humor yang dilakukan sesekali waktu di sela-sela


pelajaran, dapat mengusir rasa bosan dan jemu siswa; sedikit memberikan relaks
bagi otak dari keletihan serius menyimak pelajaran yang diberikan guru;
memberikan kesempatan guru mengambil sedikit relaks; mencuci otak dan
memberinya suplemen tenaga baru untuk menerima pelajaran; merekonstruksi
suasana kelas yang diselimuti kebosanan, dan lain sebagainya (Asy-Syalhub: 18).

Humor atau bercanda adalah bersenda gurau dengan orang lain tanpa
mencela dan menghinanya. Sedangkan humor atau canda yang dilarang adalah
yang berlebihan dan yang terus-menerus, karena akan melahirkan banyak tawa
dan menyebabkan kerasnya hati serta menyibukkan diri dari mengingat Allah dan
memikirkan perkara-perkara penting agama, dan seringkali berujung menyakiti,
melahirkan dendam, menjatuhkan wibawa dan harga diri. Adapun yang selamat
dari perkara-perkara tersebut, maka merupakan canda yang boleh, yang
Rasulullah saw. pernah melakukannya sesekali waktu untuk suatu kemaslahatan,
yaitu membuat lawan bicara merasa nyaman dan akrab dan merupakan sunnah
yang dianjurkan (Asy-Syalhub: 18)

Ketika bercanda, beliau selalu menyampaikan kebaikan kepada para


sahabatnya atau selalu membuat mereka senang. Beliau ingin selalu membuat
mereka senang dan bahagia. Demikian pula terhadap anak-anak, beliau bisa
membuat mereka senang dengan canda dan gurauannya (Al-Jazairi, 1423: 444).

Data yang diperoleh dari sejarah maupun hadis menyatakan bahwa


ternyata Rasulullah suka tersenyum dan bercanda kepada keluarganya dan juga
bersenda gurau kepada para sahabatnya. Beliau jarang tertawa, tak pernah
terbahak, hanya tersenyum hingga giginya yang putih dan bersih seperti butiran es
terlihat barisan gigi putih beliau yang rapi (Ahmad, 1992: 730).

Humor atau canda bukan hanya sekedar perkara yang mudah diikuti dan
bisa dicontoh, juga tidak saja termasuk karakteristik dan kepribadian beliau,
melainkan termasuk etika umum yang setiap pendidik maupun Muslim bisa
melakukannya seperlunya (Al-Jazairi, 1423: 444).

Paparan di bawah ini akan menjelaskan realitas bahwa Rasulullah saw.


juga memiliki sifat humor dan suka bercanda, sebagaimana yang diinformasikan
oleh hadis-hadis berikut ini.

1. Dari Anas ibn Malik meriwayatkan, ia berkata, artinya: “Bahwasanya


seorang laki-laki meminta untuk dibonceng Rasulullah saw. agar
menaikkannya ke untanya, maka beliau pun bersabda: “Aku akan bawa
kamu di atas anak unta betina.” Kemudian laki-laki itu berkata, “Wahai
Rasululah, apa yang dapat saya lakukan dengan anak unta?” Maka
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidakkah melahirkan unta kecuali unta
betina?” (Al-Jazairi, 1423: 444).
Ucapan Rasulullah ini merupakan canda beliau dengan lelaki itu, tetapi apa
yang diucapkannya benar adanya.

4. Hasan al-Bisri meriwayatkan : “Seorang wanita tua datang menghadap


Rasulullah saw. ia berkata, “Wahai Rasulullah, doakan saya kepada Allah
mudah-mudahan masuk surga”. Nabi bersabda, “Wahai ibu Fulan,
sesungguhnya surga itu tidak bakal dimasuki wanita tua (tidak ada wanita
tua di surga)”. Selanjutnya al-Hasan berkata, “Wanita tua itu berpaling
sambil menangis”. Maka Rasulullah bersabda, “Beritahukan kepada wanita
itu, bahwa ia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua (di surga akan
menjadi muda kembali)kemudian Rasulullah membaca Q.S. Al-Waqi’ah/56:
36-37. (At-Tirmizi, 2006: 105, Al-Jazairi, 1423: 446).
5. Di lain waktu seorang perempuan mendatangi Rasulullah. Dan berkata,
“Suamiku mengundangmu wahai Rasulullah!.” “Siapa dia? Apakah dia yang
di kedua matanya ada putihnya?”, tanya beliau. “Kapan kamu melihatnya?”
tanya perempuan itu kebingungan. Lalu dengan enteng beliau menjawab,
“Memangnya ada mata yang tidak ada putihnya?”. Wanita itu pun menangis.
Ia mengira bahwa suaminya menjadi buta. Akhirnya ia disadarkan bahwa
setiap mata pasti memiliki putih mata (Al-Jazairi, 1423: 446).

Cerita di atas jelas merupakan canda dan humor Rasulullah, seperti halnya
dengan wanita tua di atas. Dan hal ini membuktikan bahwa dalam bercanda, Nabi
tidak pernah mengatakan hal-hal dusta.

Di kota Madinah, Rasulullah juga dikenal orang yang suka bermain


dengan burung. Seorang bocah yang biasa dipanggil Abu ‘Umair mempunyai
seekor burung pipit. Kemudian, sahabat burung yang sangat dicintainya itu mati.
Begitu datang kepada Rasulullah dengan ekspresi wajah tak cerah, beliau bertanya
kepada orang-orang di sekitar, “Kenapa dia?” “Burungnya mati, Rasulullah,”
seseorang memberi tahu. “Abu ‘Umair, apa yang terjadi dengan Nugair (burung
pipit kecil)?” tanya beliau menghibur sekaligus menggodanya (Ahmad, 1992:
716-717, Hanbal: No. 12892).

Rasulullah saw. ternyata suka bercanda dengan anak-anak. Seperti


panggilan terhadap ‘Umair dengan sebutan Nugair di atas membuat yang
bersangkutan merasa lucu dan geli. Beliau menciptakan hubungan yang akrab
dengan anak-anak melalui ucapan yang lucu tanpa melanggar kesopanan sebagai
seorang Nabi (Thalib, 2008: 123).

Dari semua hadis yang telah disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengaruh positif yang ditimbulkan oleh humor atau canda dalam
mengakrabkan suasana belajar dapat menghilangkan rasa bosan yang dialami
siswa. Bercanda tidak boleh dilakukan kecuali dalam perkara yang benar serta
tidak menyakiti atau menghina salah satu anak didiknya dengan candaan tersebut.
Guru juga harus memperhatikan agar tidak terlalu memperbanyak canda dalam
pembelajarannya agar proses belajar tidak keluar dari topik yang disampaikan
atau dibahasa dalam sesi pelajaran itu. Karena pendidik yang terlalu banyak
bercanda dapat menghilangkan wibawa dan harga dirinya sebagai guru.

5. Sabar dan Mampu Mengendalikan Emosi


Secara etimologi sabar berarti menahan dari kesempitan (Al-Asfahani:
281) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sabar diartikan tahan menghadapi
cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tenang
tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu (Depdiknas, 2005: 973). Sifat sabar ini
merupakan posisi yang tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang
memiliki semangat tinggi dan jiwa suci. Lawan dari sabar adalah marah.

Marah adalah perasaan sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan


tidak sepantasnya (Thalib, 2008: 124). Marah merupakan gejolak jiwa yang
membuat pelakunya buta dan tidak dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah.

Sifat ini merupakan tindakan yang tidak terpuji, kecuali marah demi
menegakkan agama Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Beliau
adalah sosok yang tidak mudah marah bahkan ia mampu menundukkan segala
hawa nafsu yang bersemayam dalam dirinya. Akan tetapi beliau akan marah jika
kehormatan Allah dirusak dan dilecehkan oleh manusia. Adapun jika marah yang
menyangkut kebenaran, Rasulullah tak bisa dibantah sampai kebenaran menang.
Namun, beliau marah bukan demi dirinya dan kemenangannya. Jika marah, beliau
berpaling. Jika senang, beliau memejamkan mata (Asy-Syalhub: 19).

Kemampuan untuk menguasai amarah merupakan tanda kekuatan seorang


guru bukan indikasi kelemahannya, terlebih jika guru yang bersangkutan mampu
mengimplementasikan dalam pengajaranya. Hal itu sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda:

ِ ِ ِ ُ ‫َّد‬ ِ ‫الصرع ِة إِمَّنَا الش‬ ِ ‫لَيس الش‬


ِ‫ض‬
‫ب‬ ُ ‫يد الَّذي مَيْل‬
َ َ‫ك نَ ْف َسهُ ع ْن َد الْغ‬ َ َ ُّ ِ‫يد ب‬
ُ ‫َّد‬ َ ْ
"Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang
kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah." (Al-Bukhari,
No. 5649).

Prinsip ini terdapat pada tindakan dan ucapan beliau sebagai sosok yang
mampu menguasai amarah dan sabar. Hal itu dapat kita lihat dalam riwayat
berikut ini.

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َو َعلَْي ِه بُ ْر ٌد‬ ِ ِ ِ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬


َ ‫ت أ َْمشي َم َع َر ُسول اللَّه‬
ُ ‫ال ُك ْن‬
َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫َع ْن أَن‬
ِ ِ
‫ت إِىَل‬ َ ‫اش يَ ِة فَأ َْد َر َك هُ أ َْع َرايِب ٌّ فَ َجبَ َذهُ بِ ِر َدائِ ِه َج ْب َذةً َش د‬
ُ ‫يدةً َحىَّت نَظَ ْر‬
ِ ‫ظ احْل‬
َ ُ ‫جَن ْ َرايِن ٌّ َغلي‬
ِ‫اش يةُ الْب ر ِد ِمن ِش دَّة‬
ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم قَ ْد أَثَّر هِب‬
ِ ‫ص ْفح ِة َع اتِ ِق رس‬
ْ ْ ُ َ ‫ت َا َح‬ ْ َ َ َ َ َْ ُ َ َُ َ َ
‫ص لَّى‬ ِ ُ ‫ال يا حُم َّم ُد مر يِل ِمن م ِال اللَّ ِه الَّ ِذي ِعنْ َد َك فَالَْت َفت إِلَي ِه رس‬ ِِ
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ْ َ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ‫َج ْب َذته مُثَّ ق‬
‫ك مُثَّ أ ََم َر لَهُ بِ َعطَ ٍاء‬
َ ‫ض ِح‬ ِ
َ َّ‫اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم مُث‬

Dari Anas ibn Malik dia berkata: “Saya pernah berjalan bersama Nabi saw.
sementara beliau mengenakan selimut Najran yang bagian ujungnya agak kasar.
Beliau dikejar oleh seorang badui lalu menarik selimut beliau dengan keras
hingga saya dapat melihat permukaan pundak Rasulullah lecet oleh ujung
selimut tersebut akibat keras tarikannya. Dia berkata, “Wahai Muhammad,
perintahkan (kepada mereka) agar saya diberikan dari harta Allah yang ada
padamu.” Rasulullah menoleh dan tertawa, lalu Beliau memerintahkan agar
memberinya.”( Al-Bukhari, No. 5362).
Dalam hadis di atas, terdapat pelajaran dari Rasulullah saw. yakni
kemampuan sikap menahan diri dan tidak emosi terhadap perlakuan orang-orang
jahil dan tidak melayani mereka dengan kejahatan serupa tetapi membalas
keburukan yang dilakukannya dengan kebaikan. Beliau membalas amarah orang
tersebut dengan senyum persahabatan. Adapun rekasi Rasulullah terhadap polah-
tingkah badui tersebut menunjukkan kesabaran menahan emosi dan
kebijaksanaan beliau dalam mendidik orang-orang dusun seperti itu (Ahmad,
1992: 599).

Dari contoh hadis di atas, tergambar betapa sabarnya beliau terhadap


perlakuan dan hujatan sekalipun itu datang dari sahabatnya sendiri. Rasulullah
adalah manusia paling sabar.

Rasulullah bersabar tatkala menjadi yatim, dalam kefakiran, kemiskinan,


kelaparan, kelelahan, kedengkian dan penindasan musuh yang datang sesekali. Ia
bersabar sewaktu diusir dari bangsanya, diusir dari rumahnya, dan jauh dari
keluarga. Ia bersabar atas pembunuhan para karabatnya, penangkapan para
sahabatnya, pengusiran para pengikutnya, permusuhan dari musuhnya dan orang-
orang yang memeranginya (Al-Qarni, 2002: 32).

Seseorang yang memiliki kemampuan mengendalikan amarah merupakan


tanda kekuatan sebagai pendidik. Guru yang mudah marah dan tidak sabaran akan
menyebabkan dirinya mudah kehilangan kontrol diri. Akibatnya ia akan kesulitan
untuk melihat kebenaran. Kekuatan seorang pendidik tergantung bagaimana ia
mampu mengendalikan amarah dan menguasai akal sehatnya.

6. Murah Senyum dan Tutur Kata yang Baik


Rasulullah dalam kehidupan sehari-harinya adalah orang yang paling
mudah tersenyum dan memiliki kepribadian yang paling bagus (Al-Mu’az, 2002:
115). Jika tertawa cukup dengan tersenyum, dan pembicaraan beliau sangat padat,
tidak terlalu pendek tidak juga terlalu panjang (Al-Yahsubi, 2002: 116). Beliau
adalah manusia yang paling banyak tersenyum dan juga bercanda dengan para
sahabatnya. Namun beliau selalu mengucapkan kebenaran. Kalau tertawa pun
kecuali hanya tersenyum. Apabila beliau gembira, wajahnya bercahaya sehingga
terlihat seperti potongan bulan (Al-Mubarakfuri, 2007: 482).

Nabi adalah orang yang paling sering tersenyum dan paling riang, kecuali
ketika Alquran sedang diwahyukan, ketika sedang memberikan peringatan kepada
seseorang, atau sedang menyampaikan pidato. ‘Abdullah ibn Haris mengatakan:
“Aku tidak melihat seseorang yang paling banyak tersenyumnya dari pada
Rasulullah saw.” (At-Tirmizi, No. 3641).

Begitu juga, Jarir ibn ‘Abdillah berkata: “Rasulullah saw. tidak pernah
menutup diri dariku sejak aku masuk Islam dan beliau tidak melihatku kecuali
tersenyum kepadaku.”(Al-Bukhari, No. 6089, al-Yahsubi, 2002: 102).

Itulah kemuliaan nilai-nilai akhlak yang disandang oleh Rasulullah yang ia


dapatkan dari pemberian Tuhannya yang telah mengutusnya untuk
menyempurnakan akhlak. Metode yang sangat lembut inilah, para umat rabbani
belajar akan indahnya persahabatan, jujurnya pertemanan dan kebaikan dalam
kesendirian dan bersama kawan.

Setidaknya terdapat enam karakteristik pendidik yang dimiliki Rasulullah


dalam perspektif sirah nabawiyah. Semua itu merupakan goresan ringkas dari
kesempurnaan dan keagungan sifatnya yang mampu penulis singkap dalam tulisan ini.
Adapun hakikat keagungan dan kesempurnaan yang dimilikinya merupakan perkara
yang tidak bisa diketahui, dan tidak bisa diukur kedalamannya. Tiada seorang pun
yang dapat mengetahui hakikat orang yang paling agung di dunia ini yang telah
mencapai tingkat kesempurnaan yang paling tinggi, berjalan di bawah cahaya Ilahi
sehingga akhlaknya pun adalah Alquran, kecuali sang penciptanya sendiri, Allah swt.
Sebagai seorang pendidik, seyogianya kita terus meneladani karakteristik beliau
tersebut dalam profesi kita sebagai seorang pendidik.
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syarifain, Khadim Al-Haramain. (1418 H). Alquran dan Terjemahnya. Saudi


Arabiah: Maktabah al-Malik Fahd.

Asy-Syalhub, Fu’ad ibn ‘Abd al- ‘Aziz. (t.t.). al-Mu’allim al-Awwal. ttp.: t.p.

Al-Asfahani, Ar-Ragib. (t.t.). Mu’jam Mufradat Alfaz Alquran. Beirut: Dar al-Fikr.

Ahmad, Mahdi Rizqullah. (1992). As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dau’i al-Masadir al-


Asliyyah Dirasah at-Tahliliyyah, cet. I. Riyad: Markaz al-Malik Faisal li al-Buhuṡ wa
ad-dirasat al-Islamiyah.

Al-Bukhari, Abi ‘Abdullah Muhammad ibn Ismail. (1400 H). Jami’ as-Ṣahīh, cet. I, jilid I,
II, IV. Kairo: Al-Matba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuha.

al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. (1994). Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, cet. I. Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’asir.

Departemen Pendidikan Nasional, (2005).Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. (1423 H). Haza al-Habib Muhammad saw.Ya Muhib.
Sa’udi ‘Arabiyah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam.

Hanbal, Imam Ahmad ibn. (1995). Al-Musnad. Cet. I, Jilid XI. Kairo: Dar al-Hadis.

Ibnu Hisyam, Abi Muhammad ‘Abd al-Malik. (1999). As-Sirah an-Nabawiyyah, jilid II,
III. Kairo: Darul Fikr.

Ibnu Kaṡir, Al-Hafiz ‘Imad al-Din Abu al-Fada’ ‘Isma’il ibnu ‘Umar al-Qurasyi ad-
Dimasyqi. (t.t.). Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid IV, diedit oleh Muhammad
‘Abd al-‘Aziz an-Najjar. Kairo: Matba’ah al-Fujalah al-Jadidah. al-Jauziyyah,
Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn al-Qayyim.
(2012). Jāmi’ as-Sīrah. cet. I, terj. Abdul Rosyad Shiddiq. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.
al-Mubarakfuri, Safiyurrahman. (2007). Ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wazarah al-Awqaf
wasy Syu’uni al -Islamiyyah.

al-Mu’az, Nabil Hamid. (2002). Bagaimana Mencintai Rasulullah saw., cet. I, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani & Muhammad Masnur Hamzah. Jakarta: Gema Insani Press.

an-Naisaburi, Al-Imam Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi. (t.t.).
Sahih Muslim. t.t.p: Dar Ihya’ al-Turaṡ Al-‘Arabi.

al-Qarni, ‘Aid ‘Abdullah. (2002). Muhammad Ka’annaka Tarahu, cet. I. Beirut: Dar
Ibn Hazm.

https://tafsirweb.com/6288-quran-surat-al-furqan-ayat-32.html

Anda mungkin juga menyukai