Anda di halaman 1dari 3

Nama : Reyni Neviari Bening

NIM : 1912541044
Prodi : Ilmu Politik
Mata Kuliah : Kebijakan Publik
Words Count : 817

KONFLIK DALAM IMPLEMENTASI SEBUAH KEBIJAKAN PUSAT


Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb) atau
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran. Carl J. Friedrich mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan umumnya bersifat mendasar, karena kebijakan hanya menggariskan
pedoman umum sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kebijakan bisa berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang memuat
serangkaian program/ aktivitas/ tindakan dengan tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan
dilaksanakan oleh para pelaku (stakeholders) dalam rangka memecahkan suatu permasalahan
tertentu (Haerul, Akib, & Hamdan : 2016).
Dalam membahas kebijakan tentu tidak lepas dari apa yang disebut kebijakan publik.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values
for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai nilai secara paksa kepada seluruh
anggota masyarakat. Secara umum kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai serangkaian
kegiatan yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan
para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang mengarah pada tujuan
tertentu.
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang
dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu
dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti
undang undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan
pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan
keputusan bupati/walikota. Kebijakan publik mempunyai sifat mengikat dan harus dipatuhi
oleh seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali. Sebelum kebijakan publik tersebut
diterbitkan dan dilaksanakan, kebijakan tersebut harus ditetapkan dan disahkan oleh badan/
lembaga yang berwenang. Dalam perwujudutan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
diperlukan kegiatan sosialisasi, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan.
Membahas mengenai kebijakan publik tentu tidak lepas dari kepentingan publik.
Dapat dikatakan bahwa kata publik dalam kebijakan publik mengandung pengertian bahwa
kebijakan tersebut berasal dari publik, disusun oleh publik dan berlaku untuk publik.
Kebijakan publik mengandung nilai nilai dalam masyarakat yang mana menjadi dasar bagi
pemerintah sebagai wakil-wakil masyarakat untuk memformulasikan dan mewujudkan
kepentingan publik dalam suatu kebijakan publik.
Namun dalam praktik kebijakan publik sendiri tentu tidak akan selamanya berjalan
mulus. Seringkali kebijakan publik merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan
segelintir kelompok. Fokus tulisan ini adalah untuk membahas bentuk kebijakan publik yang
ada dalam masyarakat namun tidak berjalan dengan baik sehingga memunculkan konflik
dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh kebijakan publik yang cukup dekat dengan kita
baru baru ini adalah kebijakan PBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar selama masa
pandemi COVID-19.
COVID-19 adalah virus yang menyerang sistem pernapasan dan telah meresahkan
dunia sejak Desember tahun lalu. World Health Organization (WHO) sendiri telah
menetapkan penyakit akibat virus ini sebagai pandemi global yang berarti bahwa penularan
dan ancamannya telah melampaui batas-batas antarnegara. Kewaspadaan berbagai negara dan
masyarakat internasional pun semakin memuncak. Hingga saat ini sudah tercatat lebih dari
386.000 total kasus COVID-19 di Indonesia. Pemerintah dituntut untuk bergerak cepat,tepat
dan efisien dalam penanggulangan pandemi ini.
Pada 31 Maret 2020, Presiden RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pada kebijakan tersebut dikatakan bahwa daerah yang
menetapkan kebijakan PSBB harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dengan
memenuhi sedikitnya 2 kriteria,yaitu ; Pertama, jumlah kasus dan/atau jumlah kematian
akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah;
dan kedua, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Bentuk dari kebijkan ini sendiri adalah dengan membatasi aktivitas publik , kegiatan sekolah
yang diliburkan atau via daring , bekerja dari rumah (work from home), hingga pembatasan
kegiatan beribadah dalam lingkup publik.
Faktor yang mempengaruhi implementasi ini mendapat kecaman dari masyarakat
adalah keadaan sosial, politik dan ekonomi. PSBB atau karantina wilayah mandiri memicu
permasalahan sosial atau konflik. Hal ini dapat dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat
dengan pemerintah dalam upaya menyelesaikan pandemi ini. Dengan diberlakukannya PSBB
menimbulkan efek samping bagi kehidupan masyarakat ; tersendatnya mata pencaharian
untuk kehidupan sehari hari,terutama bagi masyarakat golongan menengah kebawah yang
berpenghasilan harian. Tidak hanya itu, banyaknya terjadi perumahan karyawan hingga
pemutusan kerja atau PHK menjadi masalah tersendiri karena diberlakukannya PSBB.
Pelaksanaan PSB juga menjadi dilematis bagi pemerintah sebab secara tidak langsung
mempengaruhi ekonomi negara yang mana dapat mengantarkan resesi dikarenakan tingginya
minus dalam pertumbuhan ekonomi. Namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan ( policy
maker ) harus melakukan kebijakan ini meski menimbulkan banyak konflik dan pro kontra.
Pelaksanaan PSBB kini memasuki masa transisi yang mana disini masih diberlakukan
beberapa kebijakan namun menjadi sedikit lebih longgar tergantung dengan kasus COVID-19
di daerah masih masing. Sebagai contoh new normal yang kita rasakan di Bali saat ini
merupakan kelonggaran yang menjadi pembaharuan dari kebijakan PSBB sebelumnya.
Meskipun belum pulih seutuhnya,dengan diberlakukannya new normal dengan penerapan
protokol kesehatan yang baik maka kebijakan PSBB tidak akan lagi menjadi parasit atau
masalah dalam kehidupan masayarakat.

Anda mungkin juga menyukai