Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH VAKSINASI DAN IMUNISASI

MATA KULIAH : AGAMA ISLAM III

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Sri Handayani., M.Kep

DISUSUN OLEH :

1. RAVIRA MARINDA PUTRI 18.11.4066.E.A.0011


2. SITI NUR ROHANINGSIH 18.11.4066.E.A.0014

AKADEMI KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA

2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah AGAMA ISLAM III dengan judul
“VAKSINASI DAN IMUNISASI” Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.

Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing kami
dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Samarinda, 25 Februari 2020


 

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4

A. Latar Belakang.................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah............................................................................................................4

C. Tujuan ...............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................6

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Vaksinasi dan Imunisasi..........................................................................6


B. Sikap Hukum Vaksinasi dan Imunisasi.....................................................................6
C. Analisis ulama tentang Vaksinasi dan Imunisasi.......................................................7
D. Menurut hukum islam tentang Vaksinasi dan Imunisasi...........................................8
E. Dalil tentang Vaksinasi dan Imunisasi.......................................................................9

BAB III PENUTUP...............................................................................................................23

A. Simpulan...........................................................................................................................23

B. Saran..................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN VAKSINASI DAN IMUNISASI

Vaksinasi

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), vaksinasi adalah ‘alat’ yang
diberikan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh supaya kebal dari penyakit.

Sebenarnya, vaksin terbuat dari bibit penyakit (virus) yang telah dilemahkan, sehingga saat
masuk ke dalam tubuh justru akan merangsang sistem imun dan tidak menimbulkan penyakit.

Vaksin biasanya dilakukan sebelum imunisasi diberikan, jadi metode ini dianggap sebagai
langkah awal pencegahan suatu penyakit. Pemberian vaksin biasa dilakukan melalui jarum
suntik tapi bisa juga diberikan lewat mulut.

Imunisasi

Menurut World Health Organization (WHO) imunisasi adalah cara untuk memperkuat sistem
kekebalan tubuh sehingga kebal akan virus. Biasanya, imunisasi juga digunakan untuk
mencegah penularan virus penyakit dari orang ke orang.

Lalu, apa bedanya imunisasi dan vaksinasi? Sebenarnya, keduanya masuk ke dalam
rangkaian proses pencegahan penyakit. Jadi, vaksin dan imunisasi akan diberikan secara
bertahap untuk memperkuat antibodi secara perlahan.

Vaksin yang didapatkan pertama kali akan merangsang tubuh untuk membentuk antibodi
terhadap suatu penyakit tertentu. Nah, selanjutnya imunisasi diberikan supaya antibodi yang
telah terbentuk semakin kuat, sehingga kebal terhadap serangan penyakit.

B. SIKAP HUKUM VAKSINASI DAN IMUNISASI

Sikap hukum vaksin dalam islam ada 3 teori fikih :

Memahami kaedah pertama: Istihalah

Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

‫تغيّر ال ّشيء عن طبعه ووصفه‬

“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”


Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah atau
perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis,
seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula
pada ‘ain (zat) najis yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau
karena berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang
suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh dalam garam,
akhirnya menjadi garam.

Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka dengan sendirinya
(karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi suci. Namun para ulama
berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui suatu proses tertentu.

Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya, maka para ulama
berselisih akan sucinya.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad,
menyatakan bahwa najis pada ‘ain (zat) dapat suci dengan istihalah. Jika najis sudah menjadi
abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi
walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula
dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika
berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau
cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah
berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah
dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).

Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah
garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging tadi.

Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika sifat-sifat najis
yang ada itu hilang.

Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat)
tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya dilempar dalam garam,
akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang
berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah menjadi
cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari khomr seperti itu
dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu
tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’
(kesepakatan para ulama).

Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada gas yg masuk,
maka ketika itu tidaklah suci. Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam
masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan
istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.

Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya (alasan atau sebab).
Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis telah hilang, maka hukum najis
itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

‫ال ُح ْك ُم يَ ُدوْ ُر َم َع ِعلَّتِ ِه ثُبُوْ تًا َو َع َد ًما‬.

“Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Begitu
sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.”

Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita masih ingat
bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Padahal
bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu najis karena berpegang pada
pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.

Jika seseorang memahami kaedah istihalah  ini, ia akan tahu bagaimanakah menghukumi


suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda lain yang tidak nampak
lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya).

Memahami kaedah kedua: Istihlak

Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda
lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis
dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.

Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci? Pendapat yang
benar adalah bisa menjadi suci.

Alasannya adalah dua dalil berikut.

Hadits pertama: Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

َ ‫ْال َما ُء‬


‫طهُو ٌر اَل يُنَ ِّج ُسهُ َش ْي ٌء‬

“Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”

Hadits kedua: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫إِ َذا َكانَ اَ ْل َما َء قُلَّتَي ِْن لَ ْم يَحْ ِملْ اَ ْلخَ ب‬


‫ث‬
“Jika air telah mencapai dua qulla., maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).”[5]

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram bercampur
dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau
baunya, maka dia menjadi suci.

Jadi suatu saat air yang najis bisa berubah menjadi suci jika bercampur dengan air suci yang
banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada dalam keadaan najis tanpa
perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Siapa saja yang mau
merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya
akan jelas baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau
benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh
bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa hukum najis itu
tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka
ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.”[6]

Memahami kaedah ketiga: Darurat membolehkan yang haram

Kaedah ini dibawakan di antaranya oleh Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wan Nazhoir. Beliau
menyebutkan kaedah,

‫الضرورات تبيح المحظورات‬

“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.”[7]

Contoh penerapan kaedah di atas, dibolehkannya memakan bangkai bagi ornag yang dalam
keadaan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang telah lewat,

‫…اغ َواَل َع……ا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي… ِه إِ َّن هَّللا َ َغفُ……و ٌر‬ ُ
ْ ‫…ر هَّللا ِ فَ َم ِن‬
َ …‫اض…طُ َّر َغ ْي‬
ٍ …َ‫…ر ب‬ ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
ِ …‫ير َو َما أ ِه َّل بِ… ِه لِ َغ ْي‬
‫َر ِحي ٌم‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya)  sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173).

Namun kaedah di atas memiliki syarat yang harus dipenuhi tidak sekedar mendapati bahaya,
lantas menerjang yang haram. Beberapa syarat yang mesti dipenuhi:

1- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang


nantinya terjadi. Jadi, seseorang tidak boleh mengonsumsi bangkai sebelum dhoror (bahaya)
itu terjadi, yaitu dalam keadaan khawatir binasa atau bisa celaka karena rasa lapar yang
sangat.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

‫َت ْال َم ِظنَّةُ أَوْ لَ ْم‬ ْ ‫ُورةُ أَبَ…ا َح‬


ْ ‫ َس… َوا ٌء ُو ِج… د‬، ‫ت‬ َ ‫ضر‬ ْ ‫ بَلْ َمتَى ُو ِجد‬، ‫ اَل يُ ْكتَفَى فِي ِه بِ ْال َم ِظنَّ ِة‬، ‫ُورةَ أَ ْم ٌر ُم ْعتَبَ ٌر بِ ُوجُو ِد َحقِيقَتِ ِه‬
َّ ‫َت ال‬ َ ‫ضر‬ َّ ‫ال‬
‫ لَ ْم يُبَحْ اأْل َ ْك ُل لِ ُوجُو ِد َم ِظنَّتِهَا بِ َحا ٍل‬، ‫ت‬
ْ َ‫ َو َمتَى ا ْنتَف‬، ‫وج ْد‬َ ُ‫ت‬

“Keadaan darurat baru teranggap ada jika sudah benar-benar ditemui. Jadi tidak cukup
dengan hanya sangkaan. Jika ditemukan keadaan darurat, maka dibolehkanlah yang haram,
baik ada sangkaan ataukah tidak. Ketika keadaan darurat telah hilang, maka tidak dibolehkan
kembali mengonsumsi yang haram walau dengan suatu sangkaan kala itu.”[8]

2- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya).
Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram.
Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa
menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk
menghilangkan dhoror (bahaya).

3- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror. Contoh:
Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita,
maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.

3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.

5- Sesuatu yang haram yang dikonsumsi saat darurat diambil sekadarnya. Jika darurat sudah
hilang, maka tidak boleh mengonsumsinya lagi. Maka para ulama membuat kaedah lagi
dalam masalah ini,

‫ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها‬

“Sesuatu yang dibolehkan karena keadaan darurat, maka dikonsumsi sekadarnya


saja.“[9] Kaedah ini adalah maksud ayat,

‫اغ َواَل عَا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬


ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al
Baqarah: 173). Kata Ibnu Nujaim, orang yang makan bangkai dalam keadaan darurat hanya
mengonsumsi sekadar untuk mempertahankan hidup saja.[10].[11]

Dari kaedah darurat ini beberapa permasalahan kontemporer bisa masuk di dalamnya dengan
tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah disampaikan di atas:
1- Dibolehkannya berobat dengan yang najis jika tidak didapati sesuatu yang suci. Alasannya,
karena maslahat menyelamatkan jiwa lebih didahulukan dari maslahat menjauhi yang najis.

2- Boleh membelah kandungan (melakukan operasi sesar) pada perut ibu jika memang sulit
melahirkan karena menjaga keselamatan janin lebih utama daripada menjaga kehormatan ibu.

C. ANALISIS ULAMA TENTANG VAKSINASI DAN IMUNISASI

Bahwa menurut Fatwa MUI pada dasarnya hukum penggunaan vaksin MR adalah haram
karena dalam pembuatannya mengandung unsur babi. Akan tetapi jika dalam keadaan
terpaksa, dengan kata lain belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, maka hukum
penggunaan vaksin MR tersebut menjadi diperbolehkan (mubah) atas dasar pertimbangan
darurat syar’iyyah . Adapun metode Istinbat hukum yang digunakan MUI dalam mengeluarkan
fatwa adalah metode istislahi, yaitu metode penetapan hukum yang berdasarkan maslahat.
Kemaslahatan yang ingin dicapai dari keputusan bolehnya penggunaan vaksin MR adalah
menjaga jiwa hifz an-nafs, yang menjadi salah satu dari lima komponen tujuan tercapainya
syariat ad-daruriyyat al-khams. MUI mempertimbangkan di mana kemaslahatan menjadi
tujuan akhir disyariatkannya hukum Islam

D. MENURUT HUKUM ISLAM TENTANG VAKSINASI DAN IMUNISASI

Terkait dengan cara memberikan vaksin dan imuniasi para ulama sepakat bahwa pemberian
imunisasi baik diberikan dengan cara disuntik ataupun dengan melalui pil ataupun tablet
dengan di telan, maka cara yang semacam ini hukumnya adalah boleh ataupun halal selama
itu dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian/pengetahuan di bidang tersebut, tanpa
melihat agama ataupun sukunya. Adapun efek di tubuh sesudah di vaksin ataupun
diimunissasi jika tidak ada efek yang berlebihan seperti cemas ataupun senang secara
berlebihan, play yang berlebihan , maka hal inipun di halalkan ataupun diperbolehkan .
 
Berdasarkan fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi dan vaksinasi secara umum
baik itu imunisasi bayi, Imunisasi tertanus dan  imunisasi lainnya , maka secara umum fatwa
MUI memutuskan antara lain :

1.Imunisasi pada dasarnya adalah diperbolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiyar untuk
mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis maka hukumnya adalah
haram.
4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan atau najis tidak diperbolehkan, kecuali:
a. Digunakan pada kondisi darurat
b. Belum ditemukan bahan vaksin  yang halal dan suci.
c. Adanya keterangan tenaga medis yang berkompeten dan dipercaya  bahwa tidak ada 
vaksin yang halal.
5. Dalam hal jika seseorang yang tidakj diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit
berat ataupun kecacatan permanen yang akan mengancam jiwanya dengan pertimbangan ahli
yang kompeten dan dipercaya , maka imunisasi hukumnya wajib.
6 Imunisasi tidak diperbolehkan dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang
kompeten dan dipercaya menimbulkan dampak yang membahayakan.
 
Hal tersebut juga hampir sama dengan fatwa  dari Syaikh Abdul Azizbin
Baz rahimahullah (Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan
Rektor Universitas Islam Madinah)  Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini, “Apakah
hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
 
Beliau menjawab, “La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika
dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak
masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang
artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan
terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
 
Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian. Dalam suata fatwa
disebutkan    Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam
itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan
obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang
hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan
dibolehkan.

1. DALIL TENTANG VAKSINASI DAN IMUNISASI

Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang
kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang
menjadi imunisasi “wajib”.

Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah.
Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ين آَ َمنُوا… أَ ِطيعُوا… هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
…َ ‫يَا أَيُّهَا ال َّ ِذ‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu.” [An Nisa’: 59]

Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang
mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak, maka
kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi kita, kita harus
bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan melakukan demonstrasi apalagi
melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih besar bahayanya dan juga akan
menumpahkan darah sesama kaum muslimin.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam  bersabda,

‫ قَ……ا َل‬.» ‫س‬ ٍ ‫شيَا ِطي ِن فِى ج ُْث َما ِ…ن إِ ْن‬َّ ‫ون بِ ُسنَّتِى َو َسيَقُو ُم فِي ِه ْم ِر َجا ٌل قُلُوبُهُ ْم قُلُوبُ ال‬ …َ ُّ‫ى َوالَ يَ ْستَن‬ …َ ‫ُكونُ بَ ْع ِدى… أَئِ َّمةٌ… الَ يَ ْهتَد‬
َ ‫ُون بِهُدَا‬
َ ُ ُ
َ ‫ك َوأ ِخ َ…ذ َمال‬ َ ‫ب ظَ ْه ُر‬ َ ُ ‫ْف أَصْ نَ ُع يَا َرسُو َل ِ إِ ْن أ ْد َر ْك‬
َ ‫هَّللا‬ ُ ‫قُ ْل‬
‫ك فَا ْس َم ْع َوأ ِط ْع‬ ِ ‫ير َوإِ ْن ض‬
َ ‫ُر‬ ِ ‫ك قَا َل « تَ ْس َم ُع َوتُ ِطي ُع لِأل ِم‬ َ ِ‫ت َذل‬ …َ ‫ت َكي‬

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam
ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-
tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad
manusia.“
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman
seperti itu?”
Beliau bersabda,  ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul
punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada
mereka.” [HR. Muslim no. 1847]

Kita baru diperbolehkan untuk  tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran
yang nyata, jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.

‫… إال أن تروا… كفراً… بواحاً… عندكم… عليه من هللا برهان‬،‫سمعوا… وأطيعوا‬

“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian),  kecuali bila kalian melihat
kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah. ” [HR. Bukhari dan
Muslim]

Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam
sehingga tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah
para ulama. Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu
kita bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih
menganggap baik hukum Islam.  Dan di antara bukti negeri tersebut masih muslim adalah
masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat jama’i seperti adzan, shalat
berjama’ah dan shalat ‘ied.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ك إِاَّل َحا َ…ر َعلَ ْي ِه‬ َ ‫َو َم ْن َدعَا َر ُجاًل بِ ْال ُك ْف ِر أَ ْ…و قَا َل َع ُد َّ…و هَّللا ِ َولَي‬
…َ ِ‫ْس َك َذل‬

“Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh
Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR.
Bukhari no. 3317, 5698, dan Muslim no. 214.]

Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi
maka akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.
Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan
bisa merusak tubuh.  Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita
dilarang merusak tubuh kita sendiri.

Allah Ta’ala berfirman,

‫وا بِأ َ ْي ِدي ُك ْ…م إِلَى التَّ ْهلُ َك ِة‬


ْ ُ‫َوالَ… تُ ْلق‬

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah:


195]

Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam,

…ِ ‫ إِنَّ َما الطَّا َعةُ فِى… ْال َم ْعر‬، ‫صيَ ٍ…ة‬


‫ُوف‬ ِ ‫الَ طَا َعةَ فِى َم ْع‬
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah
dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]

Namun, kami berusaha mencari-cari lagi apa yang dimaksud dengan “wajib” oleh
pemerintah agar lebih menentramkan dan keluar dari perbedaan pendapat.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika
sesuai dengan keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan
keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at. Silahkan sesuai keyakinan
masing-masing. Yang terpenting kita jangan berpecah-belah hanya karena
permasalahan ini dan saling menyalahkan.

Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan
bahwa semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang
dengan imunisasi syari’at.

Ketika Syaikh  Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,

‫ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟‬

 “Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit seperti


imunisasi?”

Beliau menjawab,

‫ال بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فال بأس بتعاطي‬
‫ «من تصبح بسبع تمرات‬:‫الدواء لدفع البالء الذي يخشى منه لقول النبي صلى هللا عليه وسلم في الحديث الصحيح‬
‫) » وه…ذا من ب…اب دف…ع البالء قب…ل وقوع…ه فهك…ذا إذا خش…ي من م…رض‬1( ‫من تمر المدينة لم يضره سحر وال سم‬
‫ يع……الج‬،‫ كما يع……الج الم……رض الن……ازل‬،‫وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي مكان ال بأس بذلك من باب الدفاع‬
‫بالدواء المرض الذي يخشى منه‬.

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan
tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah
menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang
artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak
akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika
dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan
penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah,
karena hal itu termasuk tindakan pencegahan.

B. SARAN

Sebagai penyusun makalah ini, kami menyarankan kepada para pembaca


khususnya kepada para perawat agar lebih mendalami materi yang telah
dipaparkan dalam makalah ini agar dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari
maupun saat berada di lapangan sehingga dapat menerapkan keperawatan
kegawatdaruratan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/cari-tahu-perbedaan-vaksinasi-dan-imunisasi-di-sini

http://eprints.umm.ac.id/25767/1/jiptummpp-gdl-wahdhatula-43030-2-babi.pdf

https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html

https://muslim.or.id/19708-fatwa-para-ulama-ustadz-dan-ahli-medis-tentang-bolehnya-
imunisasi.html

Anda mungkin juga menyukai