Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH FITOKIMIA 2

SENYAWA TERPENOID

Dosen Pengampu :

Ika Maruya Kusuma S.Si, M.Si

Disusun Oleh :

I Dewa Gede Putra 14334029

Siti Mujenah 15334025

Rizky Apriliani 15334112

Godwin P. Siahaan 16334085

Vina Barie Damayanti 17334028

Dela Wiranty Sinaga 17334032

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fitokima dengan
judul “Terpenoid”.

Adapun makalah Fitokimia tentang “Terpenoid” ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Namun tidak lepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi
penyusunan bahasanya maupun dari segi lainnya.

Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik sehingga kami dapat
memperbaiki makalah Fitokimia ini dan semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya juga memberikan inspirasi kepada para pembaca.

Jakarta, 9 April 2021

Penyusun

1|Page
DAFTAR ISI

2|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fito berasal dari bahasa yunani yang berarti tanaman. Fitokimia merupakan
senyawa-senyawa kimia yang berasal dari tanaman yang mempunyai peranan penting
bagi Kesehatan Negara Indonesia yang merupakan Negara tropis mempunyai
keanekaragaman hayati yang tak terhingga. Keanekaragaman flora (biodiversity) berarti
keanekaragaman senyawa kimia (chemodiversity) yang kemungkinan terkandung di
dalamnya baik yang berupa metabolisme primer (metabolit primer) seperti protein,
karbohidrat, dan lemak yang digunakan oleh tumbuhan itu sendiri untuk
pertumbuhannya ataupun senyawa kimia dari hasil metabolisme sekunder (metabolit
sekunder) seperti terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid, dan alkaloid.
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya
mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari
gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Senyawa
metabolit sekunder banyak digunakan sebagai racun, zat warna dan obat-obatan.
Senyawa-senyawa ini juga ditemukan dalam jumlah yang beragam dan struktur kimia
yang beragam. Namun, untuk lebih memudahkan mempelajarinya, telah diklasifikasikan
menjadi beberapa golongan senyawa bahan alam. Salah satunya yang akan kami bahas
adalah golongan terpenoid.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian senyawa terpenoid.
2. Mengetahui penggolongan terpenoid.
3. Mengetahui rumus struktur terpenoid.
4. Mengetahui cara memperoleh terpenoid.
5. Mengetahui cara identifikasi terpenoid.
6. Mengetahui biosintesis terpenoid.
7. Mengetahui manfaat terpenoid.
8. Mengetahui uji in-vitro terpenoid.
9. Mengetahui in-vivo terpenoid.
10. Mengetahui uji klinis terpenoid.

3|Page
1.3. Perumusan Masalah
1. Apa pengertian senyawa terpenoid ?
2. Bagaimana penggolongan terpenoid.
3. Bagaimana rumus struktur terpenoid.
4. Bagaimana cara memperoleh terpenoid.
5. Bagaimana cara identifikasi terpenoid.
6. Bagaimana biosintesis terpenoid.
7. Apa saja manfaat terpenoid.
8. Bagaimana uji in-vitro terpenoid.
9. Bagaimana in-vivo terpenoid.
10. Mengetahui uji klinis terpenoid.

4|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Terpenoid

Dalam tumbuhan biasanya terdapat senyawa hidrokarbon dan hidrokarbon


teroksigenasi yang merupakan senyawa terpenoid. Kata terpenoid mencakup sejumlah
besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa secara
biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua
terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)─CH==CH2 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa
itu dipilih-pilih menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat
dalam senyawa tersebut, 2 (C-10), 3 (C-15), 4 (C-20), 6 (C-30) atau 8 (C-40).
Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen.
Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan
dan sebagian kelompok hewan. Rumus molekul terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid
disebut juga dengan isoprenoid. Hal ini disebabkan karena kerangka karbonnya sama
seperti senyawa isopren. Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan dari
unit isoprena, dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat mengandung ikatan rangkap,
gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi lainnya.
Senyawa terpenoid terdiri atas beberapa kelompok. Senyawa terpenoid ini adalah
salah satu senyawa kimia bahan alam yang banyak digunakan sebagai obat. Sudah banyak
peran terpenoid dari tumbuh-tumbuhan yang diketahui seperti menghambat pertumbuhan
tumbuhan pesaingnya dan sebagai insektisida terhadap hewan tinggi. Untuk mengetahui
lebih jelas tentang senyawa terpenoid maka dibahas tentang tinjauan umum terpenoid,
klasifikasi dan fungsi terpenoid, biosintesa terpenoid, identifikasi terpenoid, isolasi
terpenoid dari bahan alam serta cara pemisahan dan pemurnian terpenoid.

Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Minyak atsiri berasal


dari tumbuhan yang pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu
dengan perbandingan atom hydrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu
8 : 5 dan dengan perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa teresbut adalah
golongan terpenoid. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan
campuran senyawa organik yang kadangkala terdiri dari lebih dari 25 senyawa atau

5|Page
komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang
hanya mengandung karbon dan hydrogen atau karbon, hydrogen dan oksigen.
Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap sehingga mudah dipisahkan dari
bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuhan. Salah satu cara yang paling banyak
digunakan adalah memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuhan adalah destilasi.
Dimana, uap air dialirkan kedalam tumpukan jaringan tumbuhan sehingga minyak atsiri
tersuling bersama-sama dengan uap air. Setelah pengembunan, minyak atsiri akan
membentuk lapisan yang terpisah dari air yang selanjutnya dapat dikumpulkan. Minyak
atsiri terdiri dari golongan terpenoid berupa monoterpenoid (atom C10) dan
seskuiterpenoid (atom C 15).
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak
atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterepena yang mudah menguap (C10 dan C15),
diterpena menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40).
Masing-masing golongan terpenoid itu penting, baik dalam pertumbuhan dan
metabolisme maupun pada ekologi tumbuha. Terpenoid merupakan unit isoprena (C5H8).
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene
dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena.
Triterpenoid dapat digolongkan menjadi triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan
glikosida jantung (Harborne, 1996).
- Sifat Umum Senyawa Terpenoid
a. Sifat fisika :
- Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi
warna akan berubah menjadi gelap.
- Mempunyai bau yang khas.
- Indeks bias tinggi.
- Kebanyakan optik aktif.
- Kerapatan lebih kecil dari air.
- Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol.
b. Sifat Kimia :
- Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
- Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk
enantiomer.

6|Page
Terpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 siklik yaitu
skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alcohol,
aldehid atau atom karboksilat. Mereka berupa senyawa berwarna, berbentuk kristal,
seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif yang umumnya sukar dicirikan karena tak
ada kereaktifan kimianya.

2.2 Klasifikasi Penggolongan Terpenoid

Penggolongan isoprena adalah berdasarkan jumlah isoprene yang menyusun terpenoid


tersebut, berikut tabel penggolongan terpenoid berdasarkan unit isoprena :

Unit Jumlah Golongan Sumber


Isoprena Karbon
1 C–5 Isoprena Daun Hamamelis japonica
2 C – 10 Monoterpenoid Berbagai tumbuhan sebagai minyak atsiri
dan kayu Gymnospermae
3 C – 15 Seskueterpenoid Sebagai minyak atsiri dalam Compositae
4 C – 20 Diterpenoid Dalam damer tumbuhan Giberecae
5 C – 30 Triterpenoid Sebagai steroid pada hewan dan manusia
6 C – 40 Tetraterpenoid Dalam ubi jalar. Wortel, kelapa sawit
7 C – 5n Poliisoprena Karetatau Havea brasiliensis

Struktur terpenoid juga beragam yaitu : Rantai terbuka, Monosiklik dan polisiklik serta
mempunyai gugus fungsi yang beragam pula. Berikut ini adalah pengolompokan terpenoid
yang lebih umum ditinjau berdasarkan aspek fitokimia (kimia tumbuhan ) dan
kemotaksonomi yaitu tumbuhan yang spesiesnya sama, maka kandungan kimianya pun pada
umumnya sama.

1. Monoterpenoid
Monoterpenoid merupakan senyawa “essence” dan memiliki bau yang spesifik
yang dibangun oleh 2 unit isoppren atau dengan jumlah atom karbon 10. Lebih dari 1000
jenis senyawa monoterpenoid telah diisolasi dari tumbuhan tingkat tinggi, binatang laut,
serangga dan binatang jenis vertebrata dan struktur senyawanya telah diketahui.
2. Seskueterpenoid
Seskuiterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang dibangun oleh 3 unit isopren
yang terdiri dari kerangka asiklik dan bisiklik dengan kerangka dasar naftalen. Senyawa

7|Page
seskuiterpenoid ini mempunyai bioaktifitas yang cukup besar, diantaranya adalah anti
feedant, hormon, antimikroba, antibiotik dan toksin serta regulator pertumbuhan tanaman
dan pemanis. Senyawa-senyawa seskuiterpenoid diturunkan dari cis farnesil pirofosfat
dan trans farnesil pirofosfat melalui reaksi siklisasi dan reaksi sekunder lannya. Kedua
isomer farnesil pirofosfat ini dihasilkan in vivo melalui mekanisme yang sama seperti
isomerisasi antara geranil dan nerol.
3. Diterpenoid
Senyawa diterpenoid merupakan senyawa yang mempunyai 20 atom karbon dan
dibangun oleh 4 unit isopren senyawa ini mempunyai bioaktifitas yang cukup luas yaitu
sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman,
antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti karsinogen.
Senyawa diterpenoid dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik. Senyawa
ini dapat ditemukan pada resin pinus, dan beberapa hewan laut seperti Chromodoris
luteorosea dari golongan molusca, alga coklat seperti Sargassum duplicatum serta dari
golongan Coelenterata. Tata nama yang digunakan lebih banyak adalah nama trivial.
4. Triterpenoid dan Steroid
Lebih dari 4000 jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih 40 jenis kerangka
dasar yang sudah dikenal dan pada prinsipnya merupakan proses siklisasi dari skualen.
Triterpenoid terdiri dari kerangka dengan 3 siklik 6 yang bergabung dengan siklik 5 atau
berupa 4 siklik 6 yang mempunyai gugus fungsi pada siklik tertentu. Sedangkan penamaan
lebih disederhanakan dengan memberikan penomoran pada tiap atom karbon, sehingga
memudahkan dalam penentuan substituen pada masing-masing atom karbon.
Triterpenoid biasanya terdapat pada minyak hati ikan hiu, minyak nabati (minyak
zaitun)dan ada juga ditemukandalam tumbuhan seprimitif sphagnum tetapi yang paling
umum adalah pada tumbuhan berbiji, bebas dan glikosida. Triterpenoid telah digunakan
sebagai tumbuhan obat untuk penyakit diabetes,gangguan menstruasi, patukan ular,
gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Steroid pada umumnya adalah merupakan
hormon ( zat pemacu ) seperti pada empedu dan reproduksi hewan dan manusia.
Belakangan diketahui banyak juga yag mengandung steroid seperti Aramanthus alfalfa,
Medicago sativa dan lain-lain.
5. Karotenoid dan Poliisoprena
Karotenoid yang terdiri dari 8 isoprena ( C-40) yang tersebar luas dalam tumbuhan
mulai dari mikroorganisme sampai tumbuhan Compositae. Untuk hewan dan manusia β-
karotenoid sangat essensial karena merupakan sumber vitamin A yang terdapat pada

8|Page
berbagai varietas ubi rambat, wortel dan minyak kelapa sawit. Berikut ini adalah beberapa
struktur karotenoid. Poliisoprena adalah merupakan polimer alam non metabolic primer
yang terdapat dalam getah karet atau Havea brasiliensis.
Secara umum terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum
(C5H8)n. Klasifikasi biasanya tergantung pada nilai n.

Nama Rumus Sumber


Monoterpen C10H16 Minyak Atsiri
Seskuiterpen C15H24 Minyak Atsiri
Diterpen C20H32 Resin Pinus
Triterpen C30H48 Saponin, Damar
Tetraterpen C40H64 Pigmen, Karoten
Politerpen (C5H8)n  n  8 Karet Alam

Dari rumus di atas sebagian besar terpenoid mengandung atom karbon yang jumlahnya
merupakan kelipatan lima. Penyelidikan selanjutnya menunjukan pula bahwa sebagian besar
terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C 5 yang
disebut unit isopren. Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya seperti
senyawa isopren. Wallach (1887) mengatakan bahwa struktur rangka terpenoid  dibangun
oleh dua atau lebih molekul isopren. Pendapat ini dikenal dengan “hukum isopren”.
Ingold (1925) mengatakan pula bahwa isopren unit yang terdapat di alam  masing-
masing bergabung dengan ikatan “head to tail” yang bagian ujung suatu molekul berikatan
dengan bagian kepala molekul isopren lainnya.    

2.3 Rumus Struktur


Rumus struktur senyawa terpenoid :

Monoterpen :

9|Page
Politerpen :

 
Seskuiterpen :

 Terpenoid Tak Teratur :

10 | P a g e
 

Semua senyawa di atas banyak terdapat dalam minyak atsiri.

2.4 Cara Memperoleh

Cara memperoleh terpenoid dengan ekstraksi dapat dilakukan dengan metode


maserasi, sokletasi dan destilasi uap. Dengan metode perkolasi tidak memungkinkan
karena sifat terpenoid yang mudah menguap akan menyebabkan kehilangan zat. Dengan
metode refluks juga tidak memungkinkan karena pemanasan langsung dapat
menyebabkan putusnya ikatan rangkap dan perubahan struktur kimia terpenoid. Metode
infundasi kurang optimal karena pelarut air kurang dapat menarik terpenoid.
Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah pelarut organik yang
cenderung bersifat non-polar seperti eter karena terpenoid merupakan rantai hidrokarbon
yang panjang sehingga bersifat hidrofob.
Ekstraksi senyawa terpenoid dilakukan dengan dua cara yaitu: melalui sokletasi
dan maserasi.
1. Sokletasi

11 | P a g e
Dilakukan dengan melakukan disokletasi pada serbuk kering yang akan diuji
dengan 5L n-hexana. Ekstrak n-hexana dipekatkanlalu disabunkan dalam 50
mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diujifitokimia dan uji
aktifitas bakteri.
2. Teknik maserasi menggunakan pelarut methanol.
Ekstrak methanol dipekatkan lalu lalu dihidriolisis dalam 100 mL
HCl4M.hasil hidrolisis diekstraksi dengan 5 x 50 mL n-heksana. Ekstrak n-
heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 10 mL KOH 10%. Ekstrak n-
heksana di kentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas bakteri.

2.5 Identifikasi Terpenoid

Uji aktivitas bakteri dilakukan dengan pembiakan bakteri dengan menggunakan


jarum ose yang dilakukan secara aseptis. Lalu dimasukkan ke dalam tabung yang berisi
2mL Muller-Hinton broth kemudian diinkubasi bakteri homogen selama 24 jam pada
suhu 35°C. suspensi baketri homogeny yang telah diinkubasi siap dioleskan pada
permukaan media Muller-Hinton agar secara merata dengan menggunakan lidikapas
yang steril. Kemudian tempelkan disk yang berisi sampel, standartetrasiklin serta
pelarutnya yang digunakan sebagai kontrol. Lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu
35°C. dilakukan pengukuran daya hambat zat terhadap baketri.
Uji fitokimia dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Lieberman-
Burchard. Perekasi Lebermann-Burchard merupakan campuran antara asam setatanhidrat
dan asam sulfat pekat. Alasan digunakannya asam asetat anhidrat adalahuntuk
membentuk turunan asetil dari steroid yang akan membentuk turunan asetildidalam
kloroform setelah. Alasan penggunaan kloroform adalah karena golongansenyawa ini
paling larut baik didalam pelarut ini dan yang paling prinsipil adalahtidak mengandung
molekul air. Jika dalam larutan uji terdapat molekul air makaasam asetat anhidrat akan
berubah menjadi asam asetat sebelum reaksi berjalandan turunan asetil tidak akan
terbentuk.

2.6 Biosintesis Terpenoid


Pada tahun 1959, J.W Cornforth menemukan dua bentuk isopren yang aktif yaitu
isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kedua isopren ini harus
ada untuk keperluan sintesa terpenoid oleh organisme. Penyelidikan selanjutnya

12 | P a g e
menunjukan bahwa IPP dan DMAPP berasal dari asam mevalonat. Kemudian diketahui
pula bahwa satu-satunya sumber karbon bagi asam mevalonat, IPP dan DMAPP adalah
asam asetat (Achmad, 1986,hal. 6) .
Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetat-mevalonat
yang terjadi di mirkondria. Asam asetat yang diaktifkan dengan koenzim-A membentuk
asetil-CoA dan melakukan reaksi kondensasi dengan asetil-CoA yang lain sehingga
terbentuk asetoasetil-CoA. Asetosetil-CoA yang terbentuk juga berkondensasi dengan
unit asetilCoA yang lain, sehingga terbentuk tiga unit gabungan dari asetil-CoA yang
selanjutnya diprotonasi membentuk asam mevalonat (Sjamsul, 1986). Dengan adanya
pirofosfat pada asam mevalonat dapat terjadi pelepasan komponen CO2 (dekarboksilasi)
dan pelepasan OPP- membentuk isopentenil pirofosfat (IPP) dengan isomernya dimetilalil
pirofosfat (DMAPP) (Dewick, 2009). Langkah selanjutnya antara IPP dan DMAPP
terjadi reaksi adisi membentuk geranil pirofosfat (C10). Geranil pirofosfat juga
mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk farnesil pirofosfat (C15).
Farnesil pirofosfat juga mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk geranil-
geranil pirofosfat (C30) (Dewick, 2009).

2.7 Manfaat Terpenoid

Manfaat terpenoid bagi tumbuhan antara lain :


a. Fitoaleksin : Fitoaleksin adalah suatu senyawa anti-mikrobial yang dibiosintesis
(dibuat) dan diakumulasikan oleh tanaman setelah terjadi infeksi dari mikroorganisme
patogen atau terpapar senyawa kimia tertentu dan radiasi dengan sinar UV.
b. Insect antifectan, repellant
c. Pertahanan tubuh dari herbifora
d. Feromon Hormon tumbuhan : Feromon adalah sejenis zat kimia yang berfungsi untuk
merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.
Selain kegunaan diatas juga mempunyai manfaat sebagai berikut:
- Sebagai pengatur pertumbuhan (seskuiterpenoid absisin dan diterpenoid giberellin).
- Sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, anestetik dan sedative, sebagai bahan
pemberi aroma makan dan parfum (monoterpenoid)
- Sebagai tumbuhan obat untuk penyakit diabetes,gangguan menstruasi, patukan ular,
gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria (triterpenoid).

13 | P a g e
- Sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman,
antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti
karsinogen (diterpenoid).
- Sebagai anti feedant, hormon, antimikroba, antibiotik dan toksin serta regulator
pertumbuhan tanaman dan pemanis (seskuiterpenoid).
- Penghasil karet (politerpenoid).
- Karotenoid memberikan sumbangan terhadap warna tumbuhan dan juga diketahui
sebagai pigmen dalam fotosintesis.
- Monoterpen dan seskuiterpen juga memberikan bau tertentu pada tumbuhan.
- Terpenoid memegang peranan dalam interaksi tumbuhan dan hewan, misalnya
sebagai alat komunikasi dan pertahanan pada serangga.
- Beberapa terpenoid tertentu yang tidak menguap juga diduga berperan sebagai
hormon seks pada fungus.

2.8 Uji In-vitro Terpenoid

Uji in vitro adalah pengujian kandidat obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian
ini dilakukan pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi. Jika hasilnya positif,
kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan uji). Uji
antibakteri isolat terpenoid dilakukan terhadap bakteri Eschercia coli dan Salmonella
typhy. Isolat terpenoid yang didapatkan sebanyak 0,04 gram kemudian dilarutkan ke
dalam 4 mL aquades dengan ditambahkan 2 tetes DMSO. Penambahan DMSO
berfungsi agar isolat terpenoid dapat larut sempurna dengan aquades selanjutnya
diuji antibakteri menggunakan metode diffusi cakram terhadap bakteri Eschercia coli
dan Salmonella typhy. Jumlah koloninya diatur hingga sebanyak 0,1 MF atau setara
dengan 1 x 107 CFU. JumLah koloni ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Kochuthressia dkk. Dari hasil pengujian antibakteri didapatkan hasil :

Dari hasil pengujian menggunakan metode diffusi cakram dapat dilihat dari
gambar 8 bahwa tidak ada aktivitas antibakteri dari isolat terpenoid pada konsentrasi
5%, 1% dan 0,5%. Hal ini ditandai dengan tidak adanya zona bening di sekeliling cakram
atau zona hambatnya 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat terpenoid tersebut
yaitu senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan

14 | P a g e
5% tidak memiliki aktivitas antibakteri. Hasil pengukuran zona hambat ini diukur
tanpa menggunakan kontrol pisitif dan kontrol negatif

2.9 Uji In-vivo Terpenoid

In vivo (dalam hidup) mengacu pada eksperimen menggunakan keseluruhan


organisme hidup. In vivo berusaha menghindari penggunaan organisme secara parsial
atau organisme mati.

Penelitian pada hewan dan uji klinis adalah salah satu penerapan in vivo. Pendekatan
ini biasanya dilakukan untuk menguji hasil temuan in vitro karena lebih cocok untuk
mengamati efek keseluruhan pada subjek hidup. Hewan yang seringkali dijadikan objek
uji klinis adalah tikus putih (mencit), hal ini atas pertimbangan kesamaan sebagian besar
organ dalam dengan manusia.

In vivo menawarkan wawasan konklusif tentang sifat obat dan penyakit. Tapi
pendekatan ini tak luput dari sesat kesimpulan, misalnya, terapi hanya menawarkan
manfaat jangka pendek dan bahaya dalam jangka panjang.

2.10 Uji Klinis Terpenoid


Uji coba pada manusia inilah yang lazim disebut uji coba secara klinis (clinical
trial). Karena sebuah obat yang aman pada binatang belum tentu aman bagi manusia,
maka uji coba obat pada manusia juga harus melalui beberapa tahap. Uji coba sebuah
obat baru pada manusia biasanya digolongkan pada empat fase, yaitu:
1. Uji Klinis Fase I
Ini adalah tahap awal penilaian suatu obat pada manusia. Tujuan utama adalah
untuk mengetahui adanya efek samping yang tidak muncul pada hewan coba. Tujuan
lain adalah untuk mengetahui apakah obat tersebut dapat diterima atau tidak oleh tubuh
(tolerated). Di samping itu, juga untuk mengetahui bagaimana proses metabolisme dan
bioavailability obat tersebut pada manusia. Hal yang harus diketahui misalnya adalah
di mana absorbsinya dan berapa kecepatannya, bagaimana metabolismenya, ke mana
distribusinya, lewat apa ekskresinya dan berapa kecepatannya. Dengan demikian pada
uji coba klinis fase I yang penting adalah keamanan (safety) suatu obat baru dan bukan

15 | P a g e
keampuhannya (efficacy) atau kemanjuran (effectiveness). Subjek biasanya adalah
relawan yang diberi obat dengan dosis bertingkat untuk mengetahui sejauh mana dosis
obat tersebut dapat diterima. Biasanya, dosis yang diberikan pertama kali adalah 1/50
dosis minimal pada hewan coba yang masih memberikan efek, kemudian dinaikkan
dengan kelipatan 1,5 atau 2 kalinya, sehingga muncul adanya efek farmakologik atau
efek samping. Uji klinis fase I biasanya membutuhkan paling banyak 80 relawan.
Contoh 1. Pada tahun 1984 dilakukan sebuah studi yang melibatkan 10
perempuan. Mereka diberi 250 mg kuinakrin hidroklorida dalam bentuk pelet yang
diinsersikan kedalam tuba uterina melalui kavum uteri. Histerektomi dikerjakan 24 jam
sesudahnya untuk mengetahui perubahan histologis pada tuba sampai seberapa jauh
penutupan lumen tuba terjadi. Dihitung pula jumlah obat yang diabsorbsi selama
periode 24 jam tersebut, efek samping yang timbul dan derajat keseriusannya.
(Sumber: Family Health Internasional. A 24 Hours test of quinacrine. Internal Report,
1984).
2. Uji klinis fase II
Pada fase ini yang penting adalah menilai efek terapetik suatu obat, yaitu
keampuhan (efficacy) atau kemanjuran (effectiveness) di samping keamanannya
(safety). Uji klinis fase II merupakan uji untuk melakukan penapisan (screening) yaitu
untuk memilih jenis obat yang terbaik dari beberapa jenis obat yang ditawarkan. Pada
fase ini ditentukan cara pemberian obat dan variasi dosis yang paling optimal. Yang
terpenting pada fase ini adalah bahwa obat diberikan kepada sejumlah pasien tanpa
disertai kelompok kontrol, sehingga penelitian ini berupa penelitian deskriptif
berupa seri kasus saja (case series). Oleh karena tanpa pembanding (kelompok kontrol)
kesimpulan yang dapat diambil dari fase II ini paling banter adalah bahwa obat ini
mempunyai daya sembuh sekian persen. Kita belum bisa mengatakan bahwa obat ini
lebih baik dari obat sebelumnya atau dari obat standar. Jumlah subyek pasa fase II ini
berkisar antara 100 sampai 200 orang.
Contoh 2: Pada tahun 2011, sebuah alat untuk insersi IUD CuT 380A pascasalin
dikembangkan, dan diberi nama R-inserter. Inserter ini berbeda dengan inseter yang
tersedia di pasar dalam hal panjangnya (dari 19 cm menjadi 28 cm). Dengan
memperpanjang inserter maka pemasangan IUD bisa dilakukan secara baku yakni no
touch and withdrawal. Dengan cara pemasangan seperti itu maka kemungkinan infeksi
dapat ditekan. Keprihatinan lain pada pemasangan IUD pascasalin adalah angka
ekspulsi yang tinggi, yang bervariasi dari 4% sampai 44%. Inseter baru diuji cobakan

16 | P a g e
pada 142 ibu-ibu pascasalin yang menginginkan IUD sebagai alat kontrasepsi yang
memenuhi kriteria kelayakan (inklusi dan eksklusi). Follow up dikerjakan setiap bulan
sampai 12 bulan. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Exp = expulsion; Inf = infecton; Bld = Bleeding; Rem = Removal (Siswosudarmo


et al., 2014). Exp
3. Uji klinis fase III
Setelah sebuah obat dinyatakan efektif, ia harus dibandingkan dengan obat standar
yang lazim digunakan. Dengan demikian akan terlihat keampuhan relatifnya. Pasien
harus memenuhi jumlah tertentu, yang biasanya cukup besar. Jumlah sampel sebaiknya
dihitung untuk memenuhi tingkat kepercayaan dan kekuatan penelitian yang
diinginkan. Pada uji klinis fase III ini yang terpenting adalah alokasi subyek ke dalam
kelompok penelitian dan kontrol harus dilakukan secara random, artinya setiap subyek
penelitian mendapat kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam kelompok uji atau
kelompok. Uji klinis fase III inilah yang lazim disebut dengan uji klinis secara random
(UKR) atau randomized clinical trial (RCT). Karena pengelompokan subyek penelitian
selalu dilakukan secara random, dan selalu mengunakan kelompok kontrol sebagai
pembanding, maka istilah RCT bisa juga berarti randomized controlled trial. Dalam
bahasa Indonesia, Penulis mengusulkan istilah uji klinis secara random, atau disingkat
UKR.
Contoh 3 : Setelah uji klinis fase II pada inserter baru (R-inserter) untuk IUD
pascasalin dinyatakan layak digunakan (angka ekspulsi, infeksi dan keluhan lain tidak
lebih tinggi dari yang disebut dalam kepustakaan), maka uji klinis fase III dikerjakan.
Pada tahap ini R-inserter dibandingkan dengan cara pemasangan standar yakni
menggunakan klem cincin (ring forceps). Sebanyak 208 subyek penelitian yang layak

17 | P a g e
dialokasikan secara random ke dalam kelompok uji (Rinserter 104 orang) dan
kelompok control (ring forceps, 104 orang). Hasilnya adalah sebagai berikut
(Siswudarmo et al., 2016).

Twelve months cumulative events rate based on mode of insertion

4. Uji klinis fase IV


Setelah sebuah obat atau alat baru atau pengobatan baru diterima secara luas dan
telah dipasarkan, mereka masih memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk melihat
efek samping jangka panjang, morbiditas dan atau mortalitasnya. Biasanya dilakukan
dalam jangka lima tahun atau lebih. Uji klinis fase IV sering disebut juga pengawasan
pasca pemasaran (post marketing surveillance).

Contoh 4 : Setelah pil kontrasepsi diterima secara luas dimasyarakat, timbul


pertanyaan apakah perempuan yang memakai pil kontrasepsi mempunyai risiko
kematian karena penyakit kardiovaskular yang berbeda dibandingkan dengan mereka
yang tidak memakainya? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan sebuah studi
kohort yang melibatkan kelompok perempuan yang masih aktif melakukan hubungan

18 | P a g e
seks. Satu kelompok terdiri atas perempuan yang menggunakan pil dan kelompok yang
lain adalah perempuan yang tidak mengunakan pil. Pada studi ini pengelompokan
perempuan kedalam dua golongan tidak dilakukan secara random. (Sumber: Royal
College of General Practitioners. Oral Contraceptives and Health, Pitman, 1974).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen dan oksigen yang bersifat aromatis, sebagian terpenoid mengandung
atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid merupakan senyawa
kimia yang terdiri dari beberapa unit isopren. Kebanyakan terpenoid mempunyai struktur
siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih. Terpenoid umumnya larut dalam
lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.

3.2 Saran

19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

- Narayan Das Prajapathi, SS Purohit, Arun K Sharma, Tarun Kumar, A handbook of


medicinal plants: A complete source book, Agrobios, India, 396, (2003)
- I WG Gunawan, I GA Gede Bawa, NL Sutrisnayanti, Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Terpenoid yang Aktif Antibakteri pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri
Linn), (1907)

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai