SENYAWA TERPENOID
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fitokima dengan
judul “Terpenoid”.
Adapun makalah Fitokimia tentang “Terpenoid” ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Namun tidak lepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi
penyusunan bahasanya maupun dari segi lainnya.
Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik sehingga kami dapat
memperbaiki makalah Fitokimia ini dan semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya juga memberikan inspirasi kepada para pembaca.
Penyusun
1|Page
DAFTAR ISI
2|Page
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian senyawa terpenoid.
2. Mengetahui penggolongan terpenoid.
3. Mengetahui rumus struktur terpenoid.
4. Mengetahui cara memperoleh terpenoid.
5. Mengetahui cara identifikasi terpenoid.
6. Mengetahui biosintesis terpenoid.
7. Mengetahui manfaat terpenoid.
8. Mengetahui uji in-vitro terpenoid.
9. Mengetahui in-vivo terpenoid.
10. Mengetahui uji klinis terpenoid.
3|Page
1.3. Perumusan Masalah
1. Apa pengertian senyawa terpenoid ?
2. Bagaimana penggolongan terpenoid.
3. Bagaimana rumus struktur terpenoid.
4. Bagaimana cara memperoleh terpenoid.
5. Bagaimana cara identifikasi terpenoid.
6. Bagaimana biosintesis terpenoid.
7. Apa saja manfaat terpenoid.
8. Bagaimana uji in-vitro terpenoid.
9. Bagaimana in-vivo terpenoid.
10. Mengetahui uji klinis terpenoid.
4|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5|Page
komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang
hanya mengandung karbon dan hydrogen atau karbon, hydrogen dan oksigen.
Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap sehingga mudah dipisahkan dari
bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuhan. Salah satu cara yang paling banyak
digunakan adalah memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuhan adalah destilasi.
Dimana, uap air dialirkan kedalam tumpukan jaringan tumbuhan sehingga minyak atsiri
tersuling bersama-sama dengan uap air. Setelah pengembunan, minyak atsiri akan
membentuk lapisan yang terpisah dari air yang selanjutnya dapat dikumpulkan. Minyak
atsiri terdiri dari golongan terpenoid berupa monoterpenoid (atom C10) dan
seskuiterpenoid (atom C 15).
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak
atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterepena yang mudah menguap (C10 dan C15),
diterpena menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40).
Masing-masing golongan terpenoid itu penting, baik dalam pertumbuhan dan
metabolisme maupun pada ekologi tumbuha. Terpenoid merupakan unit isoprena (C5H8).
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene
dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena.
Triterpenoid dapat digolongkan menjadi triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan
glikosida jantung (Harborne, 1996).
- Sifat Umum Senyawa Terpenoid
a. Sifat fisika :
- Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi
warna akan berubah menjadi gelap.
- Mempunyai bau yang khas.
- Indeks bias tinggi.
- Kebanyakan optik aktif.
- Kerapatan lebih kecil dari air.
- Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol.
b. Sifat Kimia :
- Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
- Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk
enantiomer.
6|Page
Terpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 siklik yaitu
skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alcohol,
aldehid atau atom karboksilat. Mereka berupa senyawa berwarna, berbentuk kristal,
seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif yang umumnya sukar dicirikan karena tak
ada kereaktifan kimianya.
Struktur terpenoid juga beragam yaitu : Rantai terbuka, Monosiklik dan polisiklik serta
mempunyai gugus fungsi yang beragam pula. Berikut ini adalah pengolompokan terpenoid
yang lebih umum ditinjau berdasarkan aspek fitokimia (kimia tumbuhan ) dan
kemotaksonomi yaitu tumbuhan yang spesiesnya sama, maka kandungan kimianya pun pada
umumnya sama.
1. Monoterpenoid
Monoterpenoid merupakan senyawa “essence” dan memiliki bau yang spesifik
yang dibangun oleh 2 unit isoppren atau dengan jumlah atom karbon 10. Lebih dari 1000
jenis senyawa monoterpenoid telah diisolasi dari tumbuhan tingkat tinggi, binatang laut,
serangga dan binatang jenis vertebrata dan struktur senyawanya telah diketahui.
2. Seskueterpenoid
Seskuiterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang dibangun oleh 3 unit isopren
yang terdiri dari kerangka asiklik dan bisiklik dengan kerangka dasar naftalen. Senyawa
7|Page
seskuiterpenoid ini mempunyai bioaktifitas yang cukup besar, diantaranya adalah anti
feedant, hormon, antimikroba, antibiotik dan toksin serta regulator pertumbuhan tanaman
dan pemanis. Senyawa-senyawa seskuiterpenoid diturunkan dari cis farnesil pirofosfat
dan trans farnesil pirofosfat melalui reaksi siklisasi dan reaksi sekunder lannya. Kedua
isomer farnesil pirofosfat ini dihasilkan in vivo melalui mekanisme yang sama seperti
isomerisasi antara geranil dan nerol.
3. Diterpenoid
Senyawa diterpenoid merupakan senyawa yang mempunyai 20 atom karbon dan
dibangun oleh 4 unit isopren senyawa ini mempunyai bioaktifitas yang cukup luas yaitu
sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman,
antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti karsinogen.
Senyawa diterpenoid dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik. Senyawa
ini dapat ditemukan pada resin pinus, dan beberapa hewan laut seperti Chromodoris
luteorosea dari golongan molusca, alga coklat seperti Sargassum duplicatum serta dari
golongan Coelenterata. Tata nama yang digunakan lebih banyak adalah nama trivial.
4. Triterpenoid dan Steroid
Lebih dari 4000 jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih 40 jenis kerangka
dasar yang sudah dikenal dan pada prinsipnya merupakan proses siklisasi dari skualen.
Triterpenoid terdiri dari kerangka dengan 3 siklik 6 yang bergabung dengan siklik 5 atau
berupa 4 siklik 6 yang mempunyai gugus fungsi pada siklik tertentu. Sedangkan penamaan
lebih disederhanakan dengan memberikan penomoran pada tiap atom karbon, sehingga
memudahkan dalam penentuan substituen pada masing-masing atom karbon.
Triterpenoid biasanya terdapat pada minyak hati ikan hiu, minyak nabati (minyak
zaitun)dan ada juga ditemukandalam tumbuhan seprimitif sphagnum tetapi yang paling
umum adalah pada tumbuhan berbiji, bebas dan glikosida. Triterpenoid telah digunakan
sebagai tumbuhan obat untuk penyakit diabetes,gangguan menstruasi, patukan ular,
gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Steroid pada umumnya adalah merupakan
hormon ( zat pemacu ) seperti pada empedu dan reproduksi hewan dan manusia.
Belakangan diketahui banyak juga yag mengandung steroid seperti Aramanthus alfalfa,
Medicago sativa dan lain-lain.
5. Karotenoid dan Poliisoprena
Karotenoid yang terdiri dari 8 isoprena ( C-40) yang tersebar luas dalam tumbuhan
mulai dari mikroorganisme sampai tumbuhan Compositae. Untuk hewan dan manusia β-
karotenoid sangat essensial karena merupakan sumber vitamin A yang terdapat pada
8|Page
berbagai varietas ubi rambat, wortel dan minyak kelapa sawit. Berikut ini adalah beberapa
struktur karotenoid. Poliisoprena adalah merupakan polimer alam non metabolic primer
yang terdapat dalam getah karet atau Havea brasiliensis.
Secara umum terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum
(C5H8)n. Klasifikasi biasanya tergantung pada nilai n.
Dari rumus di atas sebagian besar terpenoid mengandung atom karbon yang jumlahnya
merupakan kelipatan lima. Penyelidikan selanjutnya menunjukan pula bahwa sebagian besar
terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C 5 yang
disebut unit isopren. Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya seperti
senyawa isopren. Wallach (1887) mengatakan bahwa struktur rangka terpenoid dibangun
oleh dua atau lebih molekul isopren. Pendapat ini dikenal dengan “hukum isopren”.
Ingold (1925) mengatakan pula bahwa isopren unit yang terdapat di alam masing-
masing bergabung dengan ikatan “head to tail” yang bagian ujung suatu molekul berikatan
dengan bagian kepala molekul isopren lainnya.
Monoterpen :
9|Page
Politerpen :
Seskuiterpen :
10 | P a g e
11 | P a g e
Dilakukan dengan melakukan disokletasi pada serbuk kering yang akan diuji
dengan 5L n-hexana. Ekstrak n-hexana dipekatkanlalu disabunkan dalam 50
mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diujifitokimia dan uji
aktifitas bakteri.
2. Teknik maserasi menggunakan pelarut methanol.
Ekstrak methanol dipekatkan lalu lalu dihidriolisis dalam 100 mL
HCl4M.hasil hidrolisis diekstraksi dengan 5 x 50 mL n-heksana. Ekstrak n-
heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 10 mL KOH 10%. Ekstrak n-
heksana di kentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas bakteri.
12 | P a g e
menunjukan bahwa IPP dan DMAPP berasal dari asam mevalonat. Kemudian diketahui
pula bahwa satu-satunya sumber karbon bagi asam mevalonat, IPP dan DMAPP adalah
asam asetat (Achmad, 1986,hal. 6) .
Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetat-mevalonat
yang terjadi di mirkondria. Asam asetat yang diaktifkan dengan koenzim-A membentuk
asetil-CoA dan melakukan reaksi kondensasi dengan asetil-CoA yang lain sehingga
terbentuk asetoasetil-CoA. Asetosetil-CoA yang terbentuk juga berkondensasi dengan
unit asetilCoA yang lain, sehingga terbentuk tiga unit gabungan dari asetil-CoA yang
selanjutnya diprotonasi membentuk asam mevalonat (Sjamsul, 1986). Dengan adanya
pirofosfat pada asam mevalonat dapat terjadi pelepasan komponen CO2 (dekarboksilasi)
dan pelepasan OPP- membentuk isopentenil pirofosfat (IPP) dengan isomernya dimetilalil
pirofosfat (DMAPP) (Dewick, 2009). Langkah selanjutnya antara IPP dan DMAPP
terjadi reaksi adisi membentuk geranil pirofosfat (C10). Geranil pirofosfat juga
mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk farnesil pirofosfat (C15).
Farnesil pirofosfat juga mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk geranil-
geranil pirofosfat (C30) (Dewick, 2009).
13 | P a g e
- Sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman,
antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti
karsinogen (diterpenoid).
- Sebagai anti feedant, hormon, antimikroba, antibiotik dan toksin serta regulator
pertumbuhan tanaman dan pemanis (seskuiterpenoid).
- Penghasil karet (politerpenoid).
- Karotenoid memberikan sumbangan terhadap warna tumbuhan dan juga diketahui
sebagai pigmen dalam fotosintesis.
- Monoterpen dan seskuiterpen juga memberikan bau tertentu pada tumbuhan.
- Terpenoid memegang peranan dalam interaksi tumbuhan dan hewan, misalnya
sebagai alat komunikasi dan pertahanan pada serangga.
- Beberapa terpenoid tertentu yang tidak menguap juga diduga berperan sebagai
hormon seks pada fungus.
Uji in vitro adalah pengujian kandidat obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian
ini dilakukan pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi. Jika hasilnya positif,
kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan uji). Uji
antibakteri isolat terpenoid dilakukan terhadap bakteri Eschercia coli dan Salmonella
typhy. Isolat terpenoid yang didapatkan sebanyak 0,04 gram kemudian dilarutkan ke
dalam 4 mL aquades dengan ditambahkan 2 tetes DMSO. Penambahan DMSO
berfungsi agar isolat terpenoid dapat larut sempurna dengan aquades selanjutnya
diuji antibakteri menggunakan metode diffusi cakram terhadap bakteri Eschercia coli
dan Salmonella typhy. Jumlah koloninya diatur hingga sebanyak 0,1 MF atau setara
dengan 1 x 107 CFU. JumLah koloni ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Kochuthressia dkk. Dari hasil pengujian antibakteri didapatkan hasil :
Dari hasil pengujian menggunakan metode diffusi cakram dapat dilihat dari
gambar 8 bahwa tidak ada aktivitas antibakteri dari isolat terpenoid pada konsentrasi
5%, 1% dan 0,5%. Hal ini ditandai dengan tidak adanya zona bening di sekeliling cakram
atau zona hambatnya 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat terpenoid tersebut
yaitu senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan
14 | P a g e
5% tidak memiliki aktivitas antibakteri. Hasil pengukuran zona hambat ini diukur
tanpa menggunakan kontrol pisitif dan kontrol negatif
Penelitian pada hewan dan uji klinis adalah salah satu penerapan in vivo. Pendekatan
ini biasanya dilakukan untuk menguji hasil temuan in vitro karena lebih cocok untuk
mengamati efek keseluruhan pada subjek hidup. Hewan yang seringkali dijadikan objek
uji klinis adalah tikus putih (mencit), hal ini atas pertimbangan kesamaan sebagian besar
organ dalam dengan manusia.
In vivo menawarkan wawasan konklusif tentang sifat obat dan penyakit. Tapi
pendekatan ini tak luput dari sesat kesimpulan, misalnya, terapi hanya menawarkan
manfaat jangka pendek dan bahaya dalam jangka panjang.
15 | P a g e
keampuhannya (efficacy) atau kemanjuran (effectiveness). Subjek biasanya adalah
relawan yang diberi obat dengan dosis bertingkat untuk mengetahui sejauh mana dosis
obat tersebut dapat diterima. Biasanya, dosis yang diberikan pertama kali adalah 1/50
dosis minimal pada hewan coba yang masih memberikan efek, kemudian dinaikkan
dengan kelipatan 1,5 atau 2 kalinya, sehingga muncul adanya efek farmakologik atau
efek samping. Uji klinis fase I biasanya membutuhkan paling banyak 80 relawan.
Contoh 1. Pada tahun 1984 dilakukan sebuah studi yang melibatkan 10
perempuan. Mereka diberi 250 mg kuinakrin hidroklorida dalam bentuk pelet yang
diinsersikan kedalam tuba uterina melalui kavum uteri. Histerektomi dikerjakan 24 jam
sesudahnya untuk mengetahui perubahan histologis pada tuba sampai seberapa jauh
penutupan lumen tuba terjadi. Dihitung pula jumlah obat yang diabsorbsi selama
periode 24 jam tersebut, efek samping yang timbul dan derajat keseriusannya.
(Sumber: Family Health Internasional. A 24 Hours test of quinacrine. Internal Report,
1984).
2. Uji klinis fase II
Pada fase ini yang penting adalah menilai efek terapetik suatu obat, yaitu
keampuhan (efficacy) atau kemanjuran (effectiveness) di samping keamanannya
(safety). Uji klinis fase II merupakan uji untuk melakukan penapisan (screening) yaitu
untuk memilih jenis obat yang terbaik dari beberapa jenis obat yang ditawarkan. Pada
fase ini ditentukan cara pemberian obat dan variasi dosis yang paling optimal. Yang
terpenting pada fase ini adalah bahwa obat diberikan kepada sejumlah pasien tanpa
disertai kelompok kontrol, sehingga penelitian ini berupa penelitian deskriptif
berupa seri kasus saja (case series). Oleh karena tanpa pembanding (kelompok kontrol)
kesimpulan yang dapat diambil dari fase II ini paling banter adalah bahwa obat ini
mempunyai daya sembuh sekian persen. Kita belum bisa mengatakan bahwa obat ini
lebih baik dari obat sebelumnya atau dari obat standar. Jumlah subyek pasa fase II ini
berkisar antara 100 sampai 200 orang.
Contoh 2: Pada tahun 2011, sebuah alat untuk insersi IUD CuT 380A pascasalin
dikembangkan, dan diberi nama R-inserter. Inserter ini berbeda dengan inseter yang
tersedia di pasar dalam hal panjangnya (dari 19 cm menjadi 28 cm). Dengan
memperpanjang inserter maka pemasangan IUD bisa dilakukan secara baku yakni no
touch and withdrawal. Dengan cara pemasangan seperti itu maka kemungkinan infeksi
dapat ditekan. Keprihatinan lain pada pemasangan IUD pascasalin adalah angka
ekspulsi yang tinggi, yang bervariasi dari 4% sampai 44%. Inseter baru diuji cobakan
16 | P a g e
pada 142 ibu-ibu pascasalin yang menginginkan IUD sebagai alat kontrasepsi yang
memenuhi kriteria kelayakan (inklusi dan eksklusi). Follow up dikerjakan setiap bulan
sampai 12 bulan. Hasilnya adalah sebagai berikut:
17 | P a g e
dialokasikan secara random ke dalam kelompok uji (Rinserter 104 orang) dan
kelompok control (ring forceps, 104 orang). Hasilnya adalah sebagai berikut
(Siswudarmo et al., 2016).
18 | P a g e
seks. Satu kelompok terdiri atas perempuan yang menggunakan pil dan kelompok yang
lain adalah perempuan yang tidak mengunakan pil. Pada studi ini pengelompokan
perempuan kedalam dua golongan tidak dilakukan secara random. (Sumber: Royal
College of General Practitioners. Oral Contraceptives and Health, Pitman, 1974).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen dan oksigen yang bersifat aromatis, sebagian terpenoid mengandung
atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid merupakan senyawa
kimia yang terdiri dari beberapa unit isopren. Kebanyakan terpenoid mempunyai struktur
siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih. Terpenoid umumnya larut dalam
lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
3.2 Saran
19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
20 | P a g e