Anda di halaman 1dari 7

Nama : Maya Kartika Kusuma Anggraini

Nim : 1801030

Prodi : S1 Keperawatan TK. 3

Makul : Keperawatan Gawat Darurat

1. Bagaimana Prosedur Focus Assesment Sonography for Trauma ( FAST ) dan


interpretasi
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang
mendeteksi ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat
diagnosis yang aman dan cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari.
Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan dapat dilakukan disamping
pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari ruangan resusitasi
(Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil (Boutros, Nassef, Ghany, 2015).Pada pemeriksaan
FAST difokuskan pada 6 area,yaitu
a. Subxiphoid-cardiac ( subcostal view)
Metode :
 Pasien dalam posisi supine, pemeriksaan dilakukan dari sisi kanan
pasien
 Letakkan transduser dibawah processus xiphoideus secara horizontal,
mengarah ke bahu kiri
 Manipulasi transduser sehingga dapat terlihat keempat ruang jantung,
identifikasi juga perikardium dan liver
Temuan Abnormal :
 Efusi perikardium : terdapat regio anechoic diantara perikardium dan
dinding jantung
 Bekuan perikardial dan bantalan lemak / fat pad
 Asistole
 Aktivitas hiperdinamik jantung : kontraksi berlebihan, kolapsnya ruang
jantung -> takikardia - hipovolemia
b. RUQ ( Morison pouch )
Metode :
 Pasien dalam posisi supine
 Transduser diarahkan secara koronal pada gari midaxillaris, dimulai
dari costa XI atau XII lalu gerakkan ke superior- inferior dan anterior-
posterior
 Identifikasi Morison pouch (ruang potensial antara hepar dan ginjal
kanan)
 Nilai recessus diafragma subdiafragma kanan
c. LUQ ( Splenorenal view )
Metode :
 Pasien dalam posisi supine
 Transduser diletakkan di garis midaxillaris hingga axillaris posterior,
mengarah ke axilla, dengan orientasi koronal, mulailah dari costa XI
atau XII gerakkan ke arah anterior-posterior, superior- inferior
 Identifikasi spleen dan ginjal kiri, diantaranya terdapat recessus
splenorenal yang merupakan celah potensial
 Evaluasi recessus diafragma dan subdiafragma kiri
Temuan Abnormal :
 Hemoperitoneum
 Regio anechoic antara hepar dan ginjal kanan atau pada
recessus subdiafragma
 Regio anechoic antara spleen dan ginjal kiri atau pada recessus
subdiafragma
 Hemotoraks
 Regio anechoic diatas dari diafragma
 Cedera organ padat (hepar / ginjal)
 Hidronefrosis
 Dilatasi sinus renalis dengan bayangan anechoic diantara sinus
renal yang lebih terang
d. Suprapubic ( pelvic view )
Metode : (sagital)
 Pasien dalam posisi supine
 Indikator transduser mengarah ke kepala pasien
 Transduser diletakkan diatas simfisis pubis, diarahkan ke pelvis
 Identifikasi VU (triangular jika distensi), uterus (pear shaped), dan
rektum
Metode : ( transversa)
 Indikator transduser diarahkan ke sisi kanan pasien
 Transduser diletakkan 1-2 cm diatas simfisis pubis, dengan posisi
menghadap ke pelvis
 Identifikasi VU (rectangular jika penuh), uterus (oval hiperechoic) dan
rektum
Temuan Abnormal :
 Hemoperitoneum : regio anechoic antara VU dan uterus atau uterus
dan rektum
e. R-L thorax
Metode :
 Pasien dalam posisi supine
 Disarankan memakai transduser linear berfrekuensi tinggi, indikator
transduser diarahkan menghadap kepala pasien, dengan posisi koronal
Temuan Abnormal :
 Hemothoraks
 Regio anechoic diantara pleural line dan struktur lain, jika
terdapat bekuan atau materi lain tampak sebagai bayangan
heterogen
 Pneumothoraks
 Identifikasi tanda tidak adanya pneumothoraks -> power slide,
seashore sign, comet tail
 Stratosphere Sign (+)

Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan


CT Scan dari 56% menjadi 26% tanpa meningkatkan resiko kepada pasien. (Branney
dkk., 1997). Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter,
namun hasil pemeriksaan sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan
akan terutama pada pasien obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ
berongga sangat sulit untuk didiagnosis dan memiliki sensitivitas yang rendah sekitar
29–35% pada cedera organ tanpa hemoperitoneum (Boffard, 2002)
Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST.
Ultrasound tidak akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan penetrasi
gelombang sonografi. Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi struktur
organ intra-abdomen pada keadaan ileus atau elfisema subkutis. USG sangat akurat
untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak dapat membedakan antara darah,
urin, cairan empedu atau ascites. Organ retroperitoneal juga sulit untuk dievaluasi
(Radwan dan Zidan, 2006). Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai
modalitas awal pada evaluasi trauma tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia
dengan mudah, dan membutuhkan waktu persiapan yang singkat. Ultrasonografi
berulang pada pasien trauma tumpul abdomen yang mendapat observasi ketat
meningkakan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% (Boutros, Nassef, Ghany,
2015)

2. Bagaimana Prosedur Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dan interpretasi


Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk
menilai adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk mengosongkan
lambung dan pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. Sebuah
kanul dimasukkan di bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan posterior. Jika saat
aspirasi didapatkan darah (>10ml dianggap positif) dan selanjutnya dimasukkan
cairan ringer laktat (RL) hangat sebanyak 1000 mililiter (ml) dan kemudian dialirkan
keluar. Jika didapatkan sel darah merah >100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit
>500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap positif. Jika terdapat keterbatasan
laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick. Jika didapatkan drainage cairan
lavage melalui chest tube mengindikasikan penetrasi diafragma (Boffard, 2002). Bila
hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila dengan
hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL (Richard et al,
2007). FAST sangat berguna sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi cairan intra
abdomen, sehingga indikasi DPL menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas diagnostic
ini saling melengkapi dan tidak kompetitif. Kegunaan masing-masing dapat
dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat (Radwan, Zidan, 2006)
DPL merupakan tindakan yang invasif dan dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan tertutup maupun semiterbuka. Pada teknik tertutup,  kateter
dimasukkan secara perkutan sedangkan pada pendekatan semi
terbuka dengan melibatkan insisi kecil dan diseksi pada rectus fascia. Kateter
kemudian dimasukkan melalui peritoneum ke dalam rongga peritoneum. Pada aspirasi
pertama bila ditemukan darah maka tindakan laparotomi harus segera dilakukan.
Namun bila tidak ada maka cairan ringer laktat yang dihangatkan dimasukkan
kedalam sebanyak 1000 cc sambil dilakukan penekanan abdomen untuk menyakinkan
pencampuran cairan dengan isi abdomen setelah itu dikeluarkan kembali. Hasil cairan
tersebut akan diperiksa secara makroskopis untuk melihat apakah ada isi pencernaan,
sel darah merah, sel darah putih dan cairan empedu. Tes dikatakan positif bila
ditemukan kadar sel darah merah lebih dari 100.000 ml, kadar sel darah putih lebih
dari 500 cc atau pada pewarnaan gram postif ditemukan bakter pencernaan.
Prosedur diagnostic peritoneal lavage dilakukan oleh tim bedah dengan
beberapa kondisi yaitu :
a. Hemodinamik pasien tidak stabil,
b. pasien mengalami multiple trauma,
c. Pasien mengalami perubahan sensorium akibat cidera kepala,
d. Pasien mengalami cidera pada struktur yang berdekatan yaitu pada tulang iga
bawah, tulang panggul, tulang belakang
e. Hasil pemeriksaan fisik meragukan. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan
pada pasien dengan status hemodinamik yang stabil dimana fasilitas
pemeriksaan ultrasonograpy dan computed tomograpy tidak tersedia pada
tempat pelayanan (Jehle et al, 2003).

Pasien dikatakan memiliki hemodinamik stabil bila tekanan sistole lebih dari 90
mmhg dengan pemberian 2 liter ringer laktat dan tranfusi 2 bag darah (Garber et al,
2000). Salah satu kontraindikasi mutlak pelaksanaan tindakan diagnostik peritoneal
lavage adalah adanya indikasi laparotomy atau celiotomy. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada saat kateter dimasukkan akan dapat menimbulkan luka
sekunder selain itu juga akan menghalangi pengeluaran cairan diagnostik peritoneal
lavage yang telah dimasukkan. Sedang kontraindikasi relatif meliputi ada riwayat
operasi abdomen sebelumnya, pasien dengan kehamilan tri semester pertama dan bila
hasil dari pemeriksaan ini tidak mengubah terapi. Test ini juga tidak boleh dilakukan
pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien yang sudah jelas tanda- tanda
peritonealnya dan harus segera melakukan operasi.

3. Bagaimana Prosedur Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS ) dan


interpretasi
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem
skoring yang digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera
organ intra-abdomen akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat
menghemat waktu, mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan
radiasi, dan biaya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam BATTS antara lain :
a. Nyeri abdomen, nilai skor 2
b. Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3
c. Jejas pada dinding dada, nilai skor 1
d. Fraktur pelvis, nilai skor 5
e. Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8
f. Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4
g. Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1

Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu


resiko rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor
BATSS 8-12, resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien
dengan risiko sedang diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis yang tepat. Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical
Abdominal Scoring System (CASS) sangat membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan perlunya tindakan laparotomi segera, dan juga meminimalisir
penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien trauma tumpul abdomen. Selain itu
mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga didukung
oleh Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang
baik dalam penentuan laparotomi (Avini, Nejad, Chardoli, & Movaghar, 2011).
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang usia
yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka
hipotensi pada rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau
ultrasound sendiri tidak dapat menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi
gambaran klinis dan hasil Focus Assesment with Sonography in Trauma (FAST),
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan CT scan untuk
mendiagnosis cedera organ intra-abdomen (Shojaee et al, 2014). Blunt Abdominal
Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi tinggi dalam
mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen
berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan FAST.
Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan hasil
yang didapatkan dari CT scan

Anda mungkin juga menyukai