PENDIDIKAN BIOLOGI A
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2021
KATA PENGANTAR
Segala pujian milik Allah semata. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
meminta ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri-diri kami
dan keburukan amal-amal kami. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan
kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan seluruh
Sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti beliau hingga hari kiamat, Aamiin.
Atas limpahan karunia dan nikmat kesehatan yang diberikan Allah sehingga atas
izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Landasan dan Prinsip
Pengembangan Kurikulum” tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Desain Pengembangan Kurikulum Pendidikan Biologi Sekolah.
Kami sampaikan banyak rasa terima kasih kepada dosen pengampu pada mata
kuliah ini Prof. Dr. Nurhayati B., M. Pd serta kepada teman-teman kelompok sekalian yang
telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah membalas setiap jerih
payah kita dengan kebaikan dan pahala.
Kami pun sadar makalah ini sangatlah jauh dari sempurna. Karenanya, kami sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan bersama. Akhir kata , kami
memanjatkan rasa syukur kepada Allah, Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa yang telah
memberikan kekuatan dan pertolongan kepada kami untuk menyelesaikan tulisan ini. Segala
puja dan puji hanyalah milik-Nya di awal dan di akhir, lahir maupun batin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Keterkaitan antara Kurikulum dengan Pengajaran.........................................................2
1. Pengertian Kurikulum.................................................................................................2
2. Hakikat Pengajaran......................................................................................................4
3. Keterkaitan Kurikulum Dengan Pengajaran................................................................7
B. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum..............................................................10
1. Pengembangan Kurikulum........................................................................................10
2. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum...............................................................11
3. Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum..........................................................13
4. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum..........................................................14
BAB III PENUTUP..................................................................................................................16
A. Kesimpulan...................................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum
1
Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi
sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal
sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh ijazah. Dari rumusan pengertian
kurikulum tersebut terkandung dua hal pokok, yaitu:
(1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa dan
(2) tujuan utamanya, yaitu untuk memperoleh ijazah.
Implikasi pengertian tersebut terhadap praktik pengajaran adalah bahwa untuk
memperoleh ijazah atau sertifikat setiap siswa harus menguasai seluruh mata
pelajaran yang diberikan dan menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting
dan menentukan. Keberhasilan siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran
tersebut dikuasainya dan biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh setelah
mengikuti suatu tes atau ujian.
Pengertian kurikulum tersebut dianggap pengertian yang sempit atau
sederhana. Jika mempelajari buku-buku atau literatur lainnya tentang kurikulum
yang berkembang saat ini, terutama yang berkembang di negara-negara maju maka
akan ditemukan banyak pengertian yang lebih luas dan beragam. Kurikulum tidak
terbatas hanya pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua
pengalaman belajar (learning experiences) yang dialami siswa dan mempengaruhi
perkembangan pribadinya. Bahkan Harold B. Alberty (1965) memandang kurikulum
sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab
sekolah (all of the activities that are provided for the students by the school).
Kurikulum tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja, tetapi mencakup juga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar kelas. Pendapat yang senada
dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander, dan
Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk
mempengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah,
maupun di luar sekolah (the curriculum is the sum total of school’s efforts to
influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of school).
Banyak ahli pendidikan yang memiliki pandangan atau tafsiran yang beragam,
bahkan ada di antaranya yang sangat kontradiktif sehingga hal ini menyebabkan
sulitnya mengambil suatu pengertian yang mewakili pandangan-pandangan tersebut.
Selain itu, pengertian kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan
perkembangan teori dan praktik pendidikan. Sementara ini, untuk mengatasi
masalah tersebut, ada usaha-usaha yang dilakukan dengan jalan mengklasifikasikan
2
konsep-konsep kurikulum ke dalam beberapa segi atau dimensi. Misalnya, ada yang
mengklasifikasikannya berdasarkan pandangan lama dan kemudian.
Pandangan lama menganggap kurikulum sebagai kumpulan dari mata
pelajaran atau bahan ajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari siswa,
sedangkan pandangan yang kemudian lebih menekankan pada pengalaman belajar.
Selain itu, ada yang mengklasifikasikan konsep-konsep kurikulum berdasarkan
pandangan tradisional dan pandangan modern. Pandangan tradisional menganggap
kurikulum tidak lebih dari sekadar rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-
pelajaran apa yang harus ditempuh siswa di suatu sekolah, itulah kurikulum,
sedangkan pandangan modern menganggap kurikulum lebih dari sekadar rencana
pelajaran. Kurikulum dianggap sebagai sesuatu yang nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah.
2. Hakikat Pengajaran
3
atau generalisasikan. Jadi sekolah tak ubahnya seperti tempat pelatihan. Di samping
itu, untuk mengikuti pelajaran di sekolah, kebanyakan siswa tidak siap terlebih dulu
dengan membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan
siap. Lebih parah lagi, mereka tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak
mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya. Mereka hanya memandang bahwa
belajar adalah suatu kewajiban yang dipikul atas perintah orang tua, guru, dan
lingkungannya. Belum memandang belajar sebagai suatu kebutuhan.
Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang
dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam
pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar, menonton, dan
mencatat. Pembelajaran klasikal bisa pula dengan menggunakan metode tanya jawab
dengan teknik probing-prompting agar partisipasi dan aktivitas siswa tinggi. Pada
umumnya siswa akan belajar (berpikir-bekerja) secara individu, sehingga mereka
dapat melatih diri dalam memupuk rasa percaya diri. Dengan teknik ini, siswa akan
berpartisipasi aktif tetapi ada unsur ketegangan dan cepat melelahkan.
Pada model klasikal, siswa belum mendapat kesempatan untuk
mengembangkan-mengembangkan potensi kognitif, afektif, dan konatifnya secara
optimal. Siswa masih jarang berkesempatan untuk berdiskusi, presentasi, berkreasi,
bernalar, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan berkolaborasi. Hal ini
disebabkan pola yang dipakai masih mengajar bukan membelajarkan siswa. Pola
mengajar yang diterapkan oleh guru bisa cocok bagi siswa yang terbiasa pasif, untuk
membentuk generasi penerus yang penurut dan menjadi tukang, yaitu orang-orang
yang tinggal menunggu tugas dari dunungan (atasan), misalnya tukang sapu dan
tukang kuli.
Di lain pihak, banyak siswa yang masih belum berani dan terbiasa
beraktivitas, kebanyakan masih takut salah untuk bertanya, menjawab, berkomentar,
mencoba, atau mengemukakan ide. Mereka masih sanksi apakah keberanian akan
melanggar etika hormat kepada guru, karena di lingkungan keluargapun banyak
bicara itu bisa dimarahi. Mereka masih takut akan kesalahan karena biasanya akan
mendapat teguran atau bentakan, ada rasa tidak aman dalam belajar. Pada pihak
guru pun, masih banyak guru yang merasa kurang nyaman jika siswa banyak bicara,
merasa kurang senang bila siswa banyak bertanya dan berkomentar, memandang
kurang sopan jika siswa banyak bertingkah, dan semacamnya. Apalagi jika siswa
berbuat salah (bertanya, menjawab, mengerjakan) biasanya langsung divonis tidak
4
menyenangkan. Masih banyak guru yang belum menyadari bahwa kesalahan adalah
bagian yang tak terpisahkan dari belajar, kesalahan sebagai indikasi bahwa siswa
berpartisipasi, antusias, perhatian, motivasi, berpikir, mencoba, menggali
(eksplorasi), tetapi karena kemampuan dan pemahaman siswa masih kurang dan
terbatas maka muncullah kesalahan itu. Guru belum menghargai kesalahan siswa
tersebut karena belum bisa membelajarkan siswa dengan suasana nyaman dan
menyenangkan.
Pengajaran pada hakekatnya adalah kegiatan guru dalam mengajarkan siswa,
ini berarti bahwa proses pengajaran adalah membuat atau menjadikan siswa dalam
kondisi belajar. Guru adalah subjek paling penting dalam keberlangsungan
pendidikan. Tanpa guru, sulit dibayangkan bagaimana pendidikan dapat berjalan.
Bahkan meskipun ada teori yang mengatakan bahwa keberadaan orang/manusia
sebagai guru akan berpotensi menghambat perkembangan peserta didik, tetapi
keberadaan orang sebagai guru tetap tidak mungkin dinafikan sama sekali dari
proses pendidikan peranan guru yang lebih spesifik, yakni:
a. Guru sebagai perencana.
b. Guru sebagai pemimpin.
c. Guru sebagai penunjuk jalan atau pembimbing ke arah pusat-pusat
pembelajaran.
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun dari beberapa unsur yaitu
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang satu dengan yang
lain nya yang saling mempengaruh dalam pencapaian tujuan pembelajaran
pencapaian tujuan pembelajaran. Siswa dalam kondisi belajar dapat diamati dan
dicermati melalui indikator aktivitas yang dilakukan, yaitu perhatian fokus, antusias,
bertanya, menjawab, berkomentar, presentasi, diskusi, mencoba, menduga, atau
menemukan. Sebaliknya siswa dalam kondisi tidak belajar adalah kontradiksi dari
aktivitas tersebut, mereka hanya berdiam diri, beraktivitas tak relevan, pasif, atau
menghindar. Dengan konsep seperti di atas, pembelajaran harus berprinsip minds-
on, hands-on, dan constructivism. Hal ini berarti dalam pelaksanaan pembelajaran
pikiran siswa fokus pada materi belajar dan tidak memikirkan hal di luar itu,
pengembangan pikiran tentang materi bahan ajar dilakukan dengan melakukan dan
mengkomunikasikannya agar menjadi bermakna (Peter Sheal, 1989).
Belajar yang sesungguhnya tidak menerima begitu saja konsep yang sudah
jadi, akan tetapi siswa harus memahami bagaimana dan dari mana konsep tersebut
5
terbentuk melalui kegiatan mencoba dan menemukan. Karena belajar berkonotasi
pada aktivitas siswa, sedangkan aktivitas individu dapat dipengaruhi oleh kondisi
emosional, maka sepantasnya suasana pembelajaran yang kondusif dalam keadaan
nyaman dan menyenangkan (De Porter, 1992), inilah tugas seorang guru sebagai
pendidik. Dengan suasana yang kondusif maka muncullah motivasi dan kreativitas,
kondisi inilah cikal bakal aktivitas belajar dengan indikator tersebut di atas. Hal ini
sesuai dengan istilah pembelajaran dengan prinsip Pakem, yaitu pembelajaran aktif,
kreatif, dan menyenangkan.
6
Belajar sebagai kegiatan inti dari pembelajaran memiliki arti modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Yang perlu digaris bawahi pada kalimat tersebut adalah memperteguh
kelakuan melalui pengalaman, ini membuktikan bahwa belajar sebagai kegiatan inti
pembelajaran dipengaruhi oleh kurikulum yang notabenenya merupakan rancangan
pengalaman belajar. Hal ini berbenturan dengan fakta bahwa kurikulum telah
dirancang secara standar (standarized curriculum), yaitu melalui ketetapan
pemerintah yang merumuskan tujuan pembelajaran melalaui SKL. Ini berarti bahwa
kurikulum yang sama digunakan pada setiap sekolah yang notabenenya masing-
masing sekolah tersebut memiliki masalah pelaksanaan pembelajaran yang berbeda.
Maka dari itu diperlukan pengembangan seperlunya yang disesuaikan dengan
kondisi disekolah. Hal ini bisa dilakukan melalui perumusan Rencana Pembelajaran.
Mengenai keterhubungan antara kurikulum dan pembelajaran Oliva
menggambarkan melalui beberapa model sebagai berikut:
a. Model Dualistis (the dualistic model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanya tidak bertemu.
Kurikulum yang seharusnya menjadi input dalam menata sistem pengajaran tidak
tampak. Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam
proses penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran
berjalan sendiri. Pada model dualistik, implementasi proses belajar mengajar yang
dikendalikan oleh guru tidak dikaitkan dengan perencanaan program kurikulum,
walaupun mungkin sebenarnya berkaitan. Pembuat kurikulum mengabaikan para
pengajar demikian juga para pengajar mengabaikan program kurikulum. Pada model
dualistik ini, kurikulum dan proses pembelajaran mungkin berubah tanpa saling
mempengaruhi satu sama lain secara singnifikan.
Adapun kelebihan dari model ini adalah dengan adanya pemisahan pada model
dualistic ini, kurikulum dan pembelajaran dapat lebih leluasa dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dilapangan. Pembelajaran tidak kaku karena bisa digerakan tanpa
harus mengacu pada kurikulum. Kekurangan dari model ini terdapat pemisahan
kurikulum dan pembelajaran. Dengan demikian tentu tidak akan ada kesamaan dan
keseiringan laju kurikulum dan pembelajaran sehingga tentu program pembelajaran
dan prakteknya akan berlainan.
b. Model Berkaitan (the interlocking model)
7
Dalam model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem
yang keduanya memiliki hubungan. Kurikulum dan pengajaran maupun sebaliknya
pengajaran dan kurikulum menjadi dua hal yang berkaitan antara satu dengan yang
lain, sehingga keduanya memiliki hubungan. Pada model interlocking, kurikulum
dan pembelajaran memiliki posisi yang sama. Keduanya saling mempengaruhi,
pemisahan dari keduanya dianggap akan membahayakan. Keberhasilan
pembelajaran dianggap dipengaruhi oleh perencanaan kurikulum yang baik,
sebaliknya perencanaan kurikulum yang baik harus mempertimbangkan
pembelajarannya.
Kelebihan model ini mengaitkan kurikulum dan pembelajaran, memandang
antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini tentu membuat proses pendidikan
menjadi selaras, dimana program dan praktek pembelajaran menjadi saling terkait
dan mempengaruhi. Sedangkan Kekurangan dengan model ini, dikhawatirkan akan
adanya proses pendidikan yang kaku. Artinya, pengembangan kurikulum dan
pelaksaa pembelajaran dipaksakan untuk selaras sehingga pembuat kurikulum tidak
dengan leluasa mengembangkan kurikulumnya, dan pelaksana pembelajaran terlalu
berfokus pada program yang telah ditulis dalam dokumen kurikulum.
c. Model Konsentris (the concentric model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan
kemungkinan kurikulum bagian dari pengajaran atau pengajaran bagian dari
kurikulum. Di sini ada ketergantungan satu dengan yang lain. salah satu dari
keduanya merupakan subsistem dari yang lainnya. Pada model ini banyak ahli
berpendapat bahwa kurikulum lebih dominan dan pembelajaran sebagai
subordinatnya. Sementara para ahli yang lain mengatakan bahwa pembelajaran lebih
dominan dan kurikulum sebagai subordinatnya.
Dengan adanya lingkup besar dan kecil (dominan dan subordinat) dari
kurikulum dan pembelajaran ini, memberikan batasan lingkup kajian masing-
masing. Terlepas dari kurikulum atau pembelajaran yang menjadi dominan, namun
keduanya akan bergerak sesuai dengan wilayah cakupannya masing-masing. Namun
penulis dalam makalah ini memandang bahwa kurikulum lebih dominan dibanding
pembelajaran. Dengan demikian kurikulum memberikan kontrol atas pelaksanaan
pembelajaran.
d. Model Siklus (the ciclical model)
8
Model ini menggambarkan hubungan timbal balik antara kurikulum dan
pengajaran. Keduanya dianggap saling mempengaruhi. Segala yang ditentukan
dalam kurikulum akan menjadi dasar dalam proses pelaksanaan pengajaran.
Sebaliknya yang terjadi dalam pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum
selanjutnya. Dalam model ini hubungan keduanya sangat erat meski kedudukannya
terpisah yang berarti dalam analisis juga terpisah.
Melihat beberapa bentuk model hubungan antara pengajaran kurikulum di
atas, maka dapat dipahami bahwa eksistensi pendidikan sebagai hajat kehidupan,
sangat erat kaitannya dengan pola korelasional antara kurikulum sebagai blue print
dan pengajaran sebagai “aksi pendidikan” karena proses pengajaran tanpa adanya
kurikulum sebagai program atau acuan, akan terbengkalai sehingga akan
berkonsekuensi pada semakin jauhnya dalam pencapaian tujuan pendidikan yang
menjadi cita-cita jangka panjangnya.
1. Pengembangan Kurikulum
9
pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil
pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan
hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya
melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di
dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta
didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan
pendidikan.
Keputusan tentang perlunya pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berhubungan dengan proses belajar siswa dan perubahan-
perubahan yang selalu mengikutinya. Boyd (1984) menyatakan bahwa
pengembangan kurikulum diperlukan untuk menghadapi dan mengantisipasi
keadaan-keadaan berikut.
a. Merespons perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Merespons perubahan sosial di luar sistem pendidikan.
c. Memenuhi kebutuhan siswa.
d. Merespons kemajuan-kemajuan dalam pendidikan.
e. Merespons perubahan sistem pendidikan itu sendiri.
10
teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik
(relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosiologis).
b. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar
yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam
pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang,
serta kemampuan dan latar belakang peserta didik.
c. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik
secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar
yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik
yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun antara
jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan
kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain
yang ada secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai.
e. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan
kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara
kualitas maupun kuantitas.
11
membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial
ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan
wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu,
serta disusun dalam keterkaitan, dan kesinambungan yang bermakna dan
tepat antarsubstansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu
semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan
memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin
relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan
sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan
keniscayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup
keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan mata
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antarsemua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses
pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal, dengan
memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang
serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan
kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah
harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan moto Bhineka
Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
3. Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum
13
dalam pengembangan kurikulum yaitu sebagai implementers, adapters, developers,
dan researchers.
Pertama, guru sebagai implementers. Pada peran ini, guru hanya bertugas
untuk melaksanakan kurikulum yang sudah ada. Sebagai implementers guru hanya
menerima berbagai kebijakan pengembang kurikulum. Guru tidak memiliki ruang
untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Peran guru
hanya terbatas pada menjalankan kurikulum yang telah disusun. Semua isi
kurikulum baik tujuan, materi, strategi, media, sumber belajar, serta evaluasi, waktu,
dan semua komponennya telah ditentukan oleh pengembang kurikulum. Guru hanya
berperan sebagai tenaga teknis saja yang berusaha menjalankan apa yang tertuang
dalam dokumen kurikulum.
Kedua, guru sebagai adapters. Pada peran ini, guru selain sebagai tenaga teknis
dari kurikulum yang telah disusun, juga melakukan fungsi lain yaitu penyelaras
kurikulum dengan karakteristik kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Guru
sebagai adapters memiliki kewenangan lebih untuk menyesuaikan kurikulum yang
sudah ada dengan karakteristik sekolah, peserta didik, materi, maupun kebutuhan
lokal. Pengembang kurikulum telah menentukan standar minimal yang harus
dicapai, kemudian pengembangan selanjutnya serta implementasinya diserahkan
kepada guru masingmasing.
Ketiga, peran guru sebagai developers. Guru sebagai developers memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam menyusun kurikulum. Guru sebagai developers
bukan hanya memiliki peran dalam menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan
disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi yang akan dikembangkan
serta bagaimana mengukur keberhasilannya melalui pemilihan alat evaluasi untuk
pencapaian hasil belajarnya.
Keempat, peran guru sebagai researchers atau peneliti. Peran ini dilaksanakan
sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam
meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan perannya sebagai
peneliti, guru memliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen
kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektifitas program,
menguji strategi dan model pembelajaran, dan semua hal yang berkaitan dengan
pembelajaran. Guru juga melakukan pengumpulan data keberhasilan siswa. Peran
guru sebagai peneliti nampak pada kebijakan guru yang harus melakukan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK).
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16