Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode ini dimulai dari abad ke 10-11 M (310 H), hal ini ditandai dengan
menyebarkan pusat-pusat kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam
sendiri dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran. Dalam
kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan banyak muncul fitnah
dan mihnah, sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan
sebaliknya menjadi permusuhan. Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi
(jumud). Hukum Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (Al-Qur’an dan Sunnah),
para ulama pada masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran
pendapat dalam mazhab yang telah ada.

Dari hal tersebut, mulai muncul kecenderungan baru, yakni mempertahankan


kebenaran mazhabnya dengan mengabaikan kebenaran mazhab lain. Seolah-olah
kebenaran merupakan hal prerogative mazhab yang dianutnya. Sehingga tidak salah jika
masa ini merupakan fase pergeseran orientasi dari Al-Qur’an dan Sunnah menjadi
orientasi kepada pendapat ulama.

Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak
lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka
sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka
mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-
unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap
kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, pemakalah merumuskan beberapa


permasalahan yang akan dibahas dalam makalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana keadaan politik dan tasyri pada masa pertengahan abad IV H sampai
runtuhnya Baghdad ?

1
2. Coba jelaskan keadaan tasyri’ menjelang runtuhnya baghdad ?

3. Mengapa tertutupnya pintu ijtihad ?

4. Apa sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad ?

5. Siapa saja ulama-ulama yang muncul pada periode jumud ?

6. Bagaiana langkah-langkah  ulama dalam pembentukan hukum ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keadaan Politik dan Tasyri Pada Masa Pertengahan Abad IV Hijriah Sampai
Runtuhnya Baghdad (756 H)

Pakar sejarah membagi masa kekuasaan Dinasti abbasiyah ke dalam beberapa


periodesasi. Periodesasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Masa Abbasiyah I, dimulai sejak lahirnya Dinasti Abbasiyah pada 132 H sampai
menilanggalnya khalifah al-watsiq pada 232H.

2. Masa Abbasiyah II, dimulai sejak khalifah Al-Mutawakkil pada 232 H sampai
berdirinya Bani Buwaihi di Baghdad pada 334 H.

3. Masa Abbasiyah III, dimulai sejak berdirinya Bani Buwaihi di Baghdad pada 334 H
sampai dengan masuknya Kaum Saljuk ke Baghdad pada 447 H.

4. Masa Abbasiyah IV, dimulai sejak masuknya Kaum Saljuk ke Baghdad pada 447 H
sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan
pada 656 H.1

Berdasarkan periodesasi di atas, dapat kita lihat bahwa pada periode keempat bangsa
Turki menguasai politik di pemerintahan Bani Abbasiyah selama kurang lebih satu
setengah abad sejak 1055 M hingga 1194 M; sedangkan periode terakhir sebagai periode
terakhir masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pemerintahan mulai rapuh dan hanya efektif
di sekitar kota Baghdad hingga akhirnya hancur pada 1258 M.2 Kehadiran Bani Saljuk di
Baghdad adalah atas undangan Khalifah (Bani Abbas) untuk melumpuhkan kekuatan Bani
Buwaih di Baghdad.3

1
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 141
2
Aip Aly Arfan, Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah, diakses dari Sejarah dan Pemikiran
Peradaban Islam: http://aip-aly-arfan.blogspot.co.id, pada 08 Nopember 2015.
3
Abdul Latif, Kondisi Sosial, Politik, dan Budaya pada Masa Abbasiyyah, diakses dari Melukis Senja:
http://abdullatif16.blogspot.co.id, pada 08 Nopember 2015

3
Adapun asal-usul Bani Saljuk, pendirian BaniSaljuk, masa Bani Saljuk menguasai
Baghdad, dan kemajuan BaniSaljuk akan dijelaskan di bawah ini.4

1. Asal-usul Saljuk

Dinasti saljuk dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq. Tuqaq (ayah Saljuk) adalah
pemimpin suku Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai wilayah Turkestan, tempat
mereka tinggal. Saljuk Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima imperium Ulghur yang
ditempatkan di selatan lembah Tahrim dengan Kashgar sebagai ibukotanya. Karena
merasa tersaingi kewibawaan, permaisuri raja Ulghue merencanakan pembunuhan
terhadap Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat direalisasikan, rencana itu sudah diketahui
oleh Saljuk. Dalam rangka menghindari pembunuhan, Saljuk dan orang-orang yang
setia kepadanya menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke arah Barat, yaitu daerah
Jundi (jand), suatu daerah yang merupakan bagian dari Asia Kecil yang dikuasai oleh
Dinasti Samaniyah yang dipimpin oleh Amir Abd al-Malik Ibn Nuh (954-961 M).Amir
Abd al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di Jundi, dekat Bukhara. Terkesan
oleh kebaikan Amir Abd al-Malik Ibn Nuh, Saljuk dan pengikutnya memeluk Islam
aliran Sunni sesuai dengan aliran yang dianut oleh masyarakat setempat.

Saljuk Ibn Tuqaq membalas jasa kebaikan Amir Abd al-Malik Ibn Nuh dengan
membantunya mempertahankan Dinasti Samani dari serangan musuh. Saljuk membantu
Dinasti Samani dalam menghadapi serangan-serangan Dinasti Ulghur. Dalam satu
perang tersebut, Saljuk mati terbunuh dan ia meninggalkan tiga orang anak yaitu:
Arselan, Mikail, dan Musa.

2. Tugril Bek Pendirian Dinasti Saljuk

Sepeninggal Saljuk, pimpinan suku dipegang oleh Mikail. Akan tetapi, ia pun
gugur ketika perang melawan Dinasti Ghaznawi yang hendak merebut Khurasan dari
Samaniyah. Setelah wafat, Mikail digantikan oleh anaknya, yaitu Tugril Bek. Tugril
Bek, karena Dinasti Samani sudah mulai melemah, berhasil menguasai Merv (ibukota
Khurasan), Jurzan, Tibristan, Dailam dan Karman (1037 M). Sejak itu, Tugril Bek
memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk dan diakui oleh DinastiBani Abbas sekitar
tiga tahun kemudian (1040 M). Setelah itu, Tugril Bek menguasai Iran atau Persia,
Anatolia, dan Armenia.
4
Sariono, Bani Saljuk Dan Kehancuran Bagdad, diakses dari Referensi Agama : http : / / referensi agama.
blogspot.co.id, pada 08 Nopember 2015.

4
3. Saljuk Menguasai Baghdad

Di Baghdad terjadi penindasan yang diakukan oleh Dinasti Buwaihi terhadap


khalifah Bani Abbas. Karena bertikai dengan Maliik Abd al-Rahim, Arselan Basasiri
(panglima militer) mengundang Dinasti Fatimiah untuk menguasai Baghdad. Hal ini
membuat khalifah khawatir dan akhirnya meminta bantuan Tugril Bek yang berkuasa di
Jibal. Pada tanggal 18 Desember 1055 (447 H), Tugril Bek memasuki Baghdad.
Pertempuran terjadi antara pasukan Tugril Bek dengan pasukan Arselan al-Basasiri.
Dalam pertempuran itu, al-Basasiri mati terbunuh, khalifah al-Qa’im dibebaskan dari
penjara. Sedangkan Malik Abd al-Rahim dipenjara. Kekuasaan Dinasti Buwaihi
berakhir dan selanjutnya khalifah DinastiBani Abbas bekerjasama dengan Saljuk mulai
tahun 1055 M. Sebagai kehormatan, khalifah al-Qa‟im memberikan gelar “Raja Timur
dan Barat” kepada Tugril Bek dan ia menikah dengan puteri al-Qa’im.

Pada tahun 455H/1063 M, Tugril Bek wafat dan digantikan oleh kemenakannya,
Alp Arselan karena Tugril Bek tidak mempunyai seorang anak. Pada masa Alp Arselan
perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah Barat
sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting
dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikar.
Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz Al-Akraj, Al-Hajr, prancis dan Armenia. Dengan dikuasainya
Manzikar tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan
penturkian (turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat
Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada
tahun1077 M/ 470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibukotanya Iconim.
Sementara itu, putra Arselan, Tutush berhasil mendirikan Dinasti Saljuk di Syria pada
tahun 1094 M/487 H.

Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk ini sangat luas,
membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke
Yerussalem. Wilayah yang luas itu di bagi menjadi lima bagian yaitu sebagai berikut.

1. Saljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia
mewrupakan induk dari yang lain. Jumlah Syaikh yang memerintah seluruhnya
delapan orang.

5
2. Saljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn
Mikail ibn Seljuk. Jumlah syaikh yang memerintah dua belas orang.

3. Saljuk Iran dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah mighirs Al-Din Mahmud.
Saljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh Sembilan syaikh.

4. Saljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail
ibn Seljuk, jumlah syaikh yang memerintah lima orang.

5. Saljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah
syaikh yang memerintah seluruhnya 17 orang.

4. Kemajuan Saljuk

Dinasti Saljuk tercatat sebagai Dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat
ketika itu. Diantara kegiatan yang dilakukannya adalah:

a. Memperluas Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi


b. Pembangunan rumah sakit di Naisafur
c. Pembangunan gedung peneropong bintang
d. Pembangunan sarana pendidikan

Pada zaman Alp Arselan dan Malik Syah terdapat seorang wazir yang sangat
tekenal, yaitu Nizham al-Muluk. Beliau adalah pemrakarsa berdirinya perguruan
Nizhamiyah yang berpusat di Baghdad dan cabang-cabangnya di Balkh, Naisafur,
Hirah, Isfahan, Basrah, Merv dan Mosul. Di perguruan ini muncul sejumlah ulama
besar, di antaranya: Imam al-Haramayn al-Juwaini, Imam al-Ghazali, Imam Fakhr al-
Razi (ahli ilmu tafsir), Zamakhsyari (ahli ilmu tafsir), Imam al-Qusayiri (ahli ilmu
tasawuf).

5. Runtuhnya Bani Saljuk

Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi kemunduran pemerintahan


adapun faktor yang menjadi sebab runtuhnya Dinasti saljuk adalah sebagai berikut:

a. Konflik internal antara saudara, paman dan anak- anak yang memperebutkan
tonggak kepemimpinan, lemahnya para khalifah abbasiyah untuk adil dalam Dinasti

6
Saljuk, sehingga kekhalifahan tidak mampu menolak atau mengarahkan siapa saja
yang akan duduk dikursi kesultanan saljuk

b. Ketidak mampuan pemerintah saljuk dalam menyatukan wilayah syam, mesir dan
irak di bawah panji kekuasaan Bani saljuk

c. terjadi gesekan besar dalam kekuasaan saljuk sehingga menimbulan bentrokan


militer yang terus menerus

d. Konspirasi orang-orang aliran bathiniyah terhadap kesultanan saljuk dan juga


membunuh para sultan dan beberapa komandanya.5

Dengan berakhirnya pengaruh Bani saljuk di Baghdad pada 1199 M, membuat


Dinasti Abbasiyah semakin lemah (1199 M-1258 M). Karena tidak ada lagi penjagaan
yang kuat apabila terjadi penyerangan dari luar kerajaan. Tentara-tentara yang sangat
kuat dari Bani saljuk sudah tidak ada lagi. Pada masa ini Baghdad benar-benar dalam
keadaan tidak terpengaruh oleh Dinasti lain dan kembali dalam kekuasaan Bani Abbas
secara utuh. Pemerintahan hanya efektif di kota Baghdad saja. Kemerosotan ekonomi,
perang salib, dan beberapa masalah internal kerajaan semakin memperlemah eksistensi
Dinasti Abbasiyah.

Pada akhirnya, dugaan yang tidak pernah disangka, pada tahun 1258 M tentara
Mongol dipimpin oleh Hulagu Khan masuk kota Baghdad menghancurleburkan kota
Baghdad dan isinya, sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah.6

B. Keadaan Tasyri’ Menjelang Runtuhnya Baghdad

Pada akhir pemerintahan Abbasiyah, kemajuan ijtihad mulai pudar dan muncul taklid
secara berangsur-angsur yang menjangkit umat Islam.7 Para ulama mulai kehilangan
semangat dalam berijtihad untuk mencapai posisi mujtahid yang mutlak. Demikian juga
lemahnya semangat mereka untuk berijtihad dengan kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah.

5
Bagus Fatoni, Dinasti Bani Buaih; Bani Saljuk; dan Bani Fathimiyah, diakses dari Makalah &
Download Film: http://bagusizza.blogspot.co.id, pada 08 Nopember 2015.
6
(Tanpa Nama Penulis), Sejarah, Faktor Berdirinya dan Khalifah Pada Masa Bani Abbasiyah, diakses
dari Trend Ilmu: http://www.trendilmu.com, pada 08 Nopember 2015.
7
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Amzah, 2013), hal. 143.

7
Pada masa ini, ulama membatasi diri untuk mengikuti cara yang telah dilakukan oleh
para mujtahid terdahulu. Masa ini dimulai pertengahan abad IV Hijriah sampai dengan
masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini juga terjadi penolakan berpikir yang
menyeret umat Islam untuk bertaklid kepada Abu Hanifah, Malik, Syafii, atau Ahmad bin
Hanbal. Bertaklid ini disebut juga dengan bermazhab. Mereka membatasi diri dalam
lingkungan mazhab-mazhab tersebut. Kesungguhan mereka difokuskan pada memahami
perkataan imam-imam mereka, bukan untuk memahami nash-nash itu sendiri. Dengan
demikian maka berhentilah masa tasiry’ sekaligus terjadi kejumudan dan stagnasi dalam
hal pembinaan hukum.

Ada beberapa sebab tumbuhnya jiwa taklid pada masa tersebut yaitu sebagi berikut.

1. Murid-murid yang berkedudukan

Murid-murid para imam memiliki kedudukan yang terpandang di kalangan


mayoritas. Mereka mengajak mayoritas untuk belajar dan mengamalkan fatwa para
imam. Ketika kepercayaan ini kuat di dalam hatinya maka sangat sulit bagi mereka
mendirikan mazhab baru dan jika demikian mereka dianggap keluar dari jamaah.

2. Pengadilan yang berpedoman pada buku mazhab.

Para hakim jika menghadapi suatu permasalahan, mereka bermusyawarah dengan


para mufti di negerinya, baik secara langsung ataupun mengirim perwakilan. Pada
mulanya, masyarakat menaruh kepercayaan kepada para hakim tersebut. Akan tetapi,
setelah ada sebagian hakim yang tidak mampu menjaga kepercayaan, orang-orang ingin
agar para hakim terikat dengan hukum-hukum tertentu. Mereka pun akhirnya
bermazhab dengan mazhab yang terkenal.

3. Pembukuan kitab-kitab mazhab.

Mazhab yang dibukukan, membuat mazhab tersebut popular. Sebaliknya mazhab


yang tidak dibukukan, membuat mazhab tersebut musnah ditelan zaman.

4. Pembelaan pengikut mazhab.

Setiap golongan membantu mazhabnya baik secara global maupun terperinci.


Secara global, mereka memberitakan tentang sifat-sifat kelebihan imam mazhabnya,
seperti memiliki ilmu yang luas, wara’, jujur, dan sebagainya. Secara terperinci, mereka

8
mengunggulkan pencapat mazhabnya pada setiap kesempatan ketika terjadi perbedaan
pendapat antarmazhab.8

C. Tertutupnya Pintu Ijtihad

Masalah inilah yang menambah rumitnya posisi hukum Islam dan parahnya kondisi
umat Islam ketika “dideklarasikan” bahwa pintu ijtihad tertutup. Dalam catatan sejarah
tidak dapat dilacak , baik individu maupun kelompok yang mendeklarasikan, penutupan
pintu ijtihad. Tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui kapan pintu ijtihad itu
ditutup, dan siapa yang sesunguhnya menutupnya, baik ulama secara individu maupun
kolektif. Yang aneh, wacana ini begitu cepat berkembang, dan lambat laun dipercaya
bahwa pintu ijtihad itu benar-benar tertutup. Peristiwa ini terjadi pada abad IV H, dengan
berpatokan pada ulama terakhir yang melakukan ijtihad musytaqil adalah Jarir at-Thabari
(310 H). setelah masa ini ulama lebih cenderung mengikatkan dirinya pada mazhab fiqh
tertentu.

Meskipun pada praktiknya masalah tertutupnya pintu ijtihad ini menjadikan umat
Islam mengalami kejumudan, tetapi ada para ulama yang tetap menyatakan bahwa pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Penyataan inilah yang dipegang oleh zaman, karena beberapa
permasalahan yang muncul justru kadang tidak di dalam Al-Quran, hadits, ataupun kitab-
kitab fiqh. Hal tersebut memberikan dua alasan untuk dipertimbangkan, yaitu:

1. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk menciptakan
pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil
hukum Islam.

2. Dengan terbukanya pintu ijtihad, maka setiap permasalahan umat dapat diatasi dan
diselesaikan. Dengan demikian, hukum Islam akan selalu berkembang dan sesuai
dengan kondisi masyarakat.9

D. Sebab-Sebab Terhentinya Gerakan Ijtihad

8
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa,... hal.
145-146
9
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’.2010, (Gramata Publishing : Depok), hal. 140-141.

9
Persoalan utama dalam membahas perkembangan ijtihad adalah semenjak kapan
ijtihad itu mulai ada (berlaku), apakah pada masa kini ini masih berlaku dan bagaimana
kemungkinan berlakunya  untuk masa mendatang.

Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentunya kita akan menoleh ke masa
paling dini dari keberadaan hukum islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama
berbeda pendapat mengenai apakah ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena
secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan
petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari
Nabi, sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah
tidak ada lagi, karena ayat Al-Quran masih turun dan Nabi masih dapat menyampaikan
petunjuknya. Tetapi disisi lain, dalam banyak kasus banyak ditemukan bahwa Nabi sendiri
dalam menghadapi suatu masalah seringmenggunakan daya nalarnya sebagainaman yang
lazim dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi masalah hukum. Oleh karena itu
keberadaan ijtihad pada masa Nabi masih menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya
kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:

1. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu


dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai
perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.

2. Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai
khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat
mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang
melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan
mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.

3. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain


mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang
tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.

10
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling
menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.10

E. Ulama-Ulama Yang Muncul Pada Periode Jumud

Pada periode jumud, ada beberapa ulama yang sesungguhnya secara kualitatif
memenuhi kriteria mujtahid mutlak, kalau dilihat dari metodologi pemikiran mereka,
khusunya dalam masalah hukum Islam. Namun karena sikap ke tawadhu-annya, mereka
mengikat diri pada mazhab tertentu, yakni:

1. Imam Ibnu Hazm

Ibnu Hazm (384-456 H) yang mempunyai nama lengkap Ali ibn Ahmad ibn Said
ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih ibn Abi Sufyan ibn Yazid. Merupakan ulama yang
terkenal pandai dan menjadi tokoh dalam mazhab Dhahiri. Dhahiri adalah aliran
literalis, terikat dengan teks dalam menetapkan hukum, tidak menggunakan qiyas sama
sekali karena aliran ini hanya terikat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dipandang
dengan cocok dengan mereka yang tidak mau terikat dengan mazhab. Ats jasa ulama
tersebutlah, mazhab Zahiri berkembang di Andalusia.

Mazhab ini didirikan oleh Daud bin Ali al-Ashbahani (200-270 H), mazhab ini
berpendapat bahwa setiap hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas adalah batil.
Namun secara praktis, mereka terpaksa menggunakan qiyas yang dinamakan al-dalil.
Menurut pandangan ibnu Hazm Al-dalil adalah sesuatu yang diambil secara langsung
dari nash atau ijma dan dipahami secara langsung dari segi dilalah keduanya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan Al-dalil bukan nash dan ijma, tetapi secara ensial
memiliki kesamaan dengan keduanya, namun tidak sama dengan qiyas.

Dalam ijtihad, ibnu Hazm menentukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Al-Qur’an
b. Nash sabda Nabi Muhammad SAW (yang pada dasarnya dari Allah yang
diriwayatkan oleh rawi tsiqah atau diriwayatkan secara mutawatir)
c. Ijma Ulama

10
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2000), hal. 113-116.

11
d. Al-dalil11

2. Imam al-Ghazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Taus Ahmad at-Tusi Asy-Syafi’I yang dilahirkan pada tahun 450
H/1058 M di Ghazaleh Thabran sekitar kota Thus di Khurasan, Iran. Sejak kecil, ia
sudah yatim dan dititipkan kepada teman ayahnya seorang sufi. Ia dididik di perguruan
Nizamul Muluk. Di perguruan ini, ia belajar fiqih dari Imam Razaqani. Kemudian
pindah ke Naisabur dan berguru pada Imam Juwaini, yang dikenal dengan Imam
Haramain, salah satu teolog Asy’ariyah. Selain belajar di Naisabur ia juga menyebarkan
ilmunya.12

Langkah-langkah ijtihad menurut al-Ghazali pada dasarnya tidak berbeda dengan


apa yang dikemukakan oleh imam mazhab yang dianutnya, yaitu imam al-Syafi’i.
menurut imam al-Ghazali dalam kitab al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, apabila suatu
permasalahan dihadapkan kepada imam al-Safi’i, langkah-langkah yang dilakukannya
yaitu :

a. Nushush al-Kitab
b. Hadis Mutawatir
c. Hadis Ahad
d. Apabila tidak didapatkan dalam 3 landasan diatas, maka ia menggunakan Zhahir al-
Kitab
e. Apabila tidak didapatkan lagi, maka ia menggunakan ijma jika diketahi terdapat ijma
f. Apabila tidak didapatkan lagi, maka ia meenggunakan analogi (qiyas).13

3. Imam Ibn Taimiyyah

Nama asli Ibn Taimiyyah adalah Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyyah, lahir di
Haran, Damaskus pada tahun 661/1263 M, 5 tahun setelah Baghdad ditaklukkan bangsa
Mongol pimpinan Hulagu Khan. Ia lahir dan dibesarkandalam mazhab Hambali, yang
kebetulan kakek dan ayahnya adalah ulama terkemuka. Ia be;ajar pada ayahnya,
kemudian pada Najmuddin ibn Asakir dan Ali Zainuddin al-Maqdisi. Pada usia 20

11
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000),
hal. 153
12
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam,... hal. 162
13
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam,... hal. 165

12
tahun, ayahnya meninggal dunia. Dan beliau menggantikan posisi keulamaan ayahnya.
Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama besar yang haus akan ilmu pengetahuan, berbagai
disiplin ilmu ia tekuni, diantaranya teologi, tafsir, hadits, mantiq, dan ilmu politik.

Ibn Taimiyyah merupakan ulama yang kritis. Ia selalu mengkritik hampir seluruh
pemikiran keagamaan, bahkan ia berani mengkritik sesuatu yang sudah mapan,
misalnya ia mengkritik Umar bin Khattab, padahal bagi umat Islam kebanyakan, sosok
Umar merupakan sosok pemimpin yang nyaris tanpa kesalahan. Faham fikh
Hambaliyah, ia pegang secara kuat, sehingga apapun baik budaya, peradaban,
pemikiran harus di uji dengan tolok ukur ajaran Nabi.

Ia adalah sosok ulama yang sangat menentang keras tentang khurafat, bid’ah, dan
takhayul. Bisa jadi hal tersebut merupaka ekses dari jatuhnya kekuatan Islam, baik
secara pemikiran maupun politik. Untuk membangkitkan umat Islam dari keterpurukan,
Ibn Taimiyyah membuat adagium “kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah”. Dengan
adagium ini tentu saja ia menyatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar dan tidak
tertutup. 14

Ia mengajak umat Islam untuk membangun kerangka piker memahami Islam


secara benar. Ia senada dengan Ghazali bahwa kesalahan terbesar ulama ialah
terseretnya pemikiran mereka dalam arus pemikiran filsafat Yunani. Bahkan, ia
mengkritik al-Ghazali bahwa pekerjaannya mengkritik para filsof itu belum tuntas.
Bahkan menurut Ibn Taimiyyah, dalam strategi melawan para filsuf, al-Ghazali
mempelajari filsafat, tetapi ia sendiri terperangkap pada filsafat itu sendiri dan tidak
bias keluar.

Setelah munculnya Imam Ahmad bin Hambal, menurut Fazlur Rahman, dengan
kemunculan Ibn Taimiyyah, maka hal ini tertanda sebagai kemunculan kembali
ortodoksi Islam yang telah berkembang selama lebih dari satu periode. Selain itu,
ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah juga mengilhami gerakan-gerakan ortodoks modern, yang
diawali Abdul Wahab. Menurutnya pula, awalnya Abdul Wahab adalah seorang yang
sangat dekat dengan sufi pada masa mudanya, tetapi setelah ia membaca karangan-
karangan Ibn Taimiyyah, ia mengutuk keras takhayul sufi dan ajaran-ajaran intelektual
sufi, terutama tentang kesatuan wujud (wahdatul wujud).15

14
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’, (Gramata Publishing: Depok, 2010) hal. 143
15
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’,... hal. 145

13
Pendapat ibn Tamiyyah memiliki pendapat yang bisa jadi berbeda dengan imam
mazhab yang dianutnya, yaitu Ahmad bin Hanbal. Diantara pendapatnya yaitu :

a. Kedewasaan sebagai penghapus hak ijbar


b. Pengangkatan pemimpin termasuk kewajiban agama
c. Klasifikasi manusia16

F. Langkah  Ulama Dalam Pembentukan Hukum

Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena


itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun
656 H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al
Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan
dirinya kepada taqlid.

Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu
hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam
menetapkan seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil
dari orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan
Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena
aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para
fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan
adakalanya pula memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis
berpindah berjalan pada cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan
merupakan bentuk yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam
kehidupan umat.17

Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-
pendapat imam. Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau
mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat
hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta
mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu
masalah.
16
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam,... hal. 162
17
A. Sjinqithy Djamaludin, Sejarah Legislasi Islam, (Surabaya : Al Ikhlas, 1994), hal. 132.

14
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-
masalahnya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam2 mereka dan
mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Faktor-faktor yang telah kita ungkapkan di atas yang menyebabkan ulama berhenti untuk
berijtihad mutlak dan mengambil hukum-hukum syariat dari sumber-sumber utamanya,
tidak bisa membuat mereka berhenti pula untuk mengerahkan tenaga mereka dalam
melakukan legislasi di dalam rena mereka sendiri (madhab yang mereka anut sendiri).18

Dengan ini, maka ulama dikalangan setiap madzhab itu dibagi-bagi atas beberapa
tingkatan :

1. Tingkatan pertama : Ahlul ijtihad fil madzhab

Golongan ini berijtihad dalam menghadapi kejadian-kejadian baru dengan


berpegang kepada pendapat-pendapat yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid
mutlak. Mereka ini terdiri dari ashab, pengikut para imam. Dan kadang-kadang mereka
menyalahi pendapat imam dalam sesuatu furu’ dalam pada itu mereka tidak keluar dari
dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh imamnya.

Termasuk dalam tingktani ini :

a. Al Hasan ibn Zaiyad, dari madzhab Hanafi

b. Ibnul Qasim dan ashabnya, dari madzhab Maliki

c. Al Muzani dan al Buwaithi, dari madzhab Syafi’i

d. Al Atsram dan al Mawarzi, dari madzhab Hanbali

Beliau-beliau ini mempunyai kemampuan dan kesanggupan dalam


mengistimbathkan hukum dari sumber pertama, akan tetapi mereka beristimbath sesuai
dengan istimbath imam-imam mereka. Ada yang mengatakan, bahwa Muhammad ibn
Hasan, Abu Yusuf dan Zufar adalah mujtahid mutlak, hanya saja mereka
mencampurkan madzhab mereka dengan madzhab Abu Hanifah, yang menjadi
gurunya. Sebenarnya Mereka sama tingkatannya dengan Asy Syafi’i, sebagai mujtahid
mutlak.

2. Tingkat kedua : Ahlul ijtihad fil masail


18
A. Sjinqithy Djamaludin, Sejarah Legislasi Islam, (Surabaya : Al Ikhlas, 1994), hal. 133

15
Golongan ini berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak diijtihadkan oleh imam,
dengan berpedoman kepada dasar-dasar tasyri’ atau istimbath yang dipegangi oleh
imam. Golongan ini seperti Al Khashaf, Ath Thahawi dan Al Karakhi dari golngan
Hanafiyah, Ibnul Arabi dan Ibnu Rusydi dari golongan Malikiyah, Al Ghazali dan Al
Isfarayini dari golongan Syafi’iyah dan Al Baghdadi dan Al Hurawi dari golongan
Hanbaliyah.

3. Tingkat ketiga : Ahlut tarjih

Golongan ini hanya membandingkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari


imam, lalu mentarjihkan salah satunya, baik dari segi riwayat ataupun dari segi dirayat.
Umpamanya mereka berkata : “ ini lebih shahih riwayatnya, lafadz ini lebih utama kita
menerimanya. Riwayat ini lebih kuat , atau lebih aula, atau lebih sesuai dengan qiyas
atau lebih memenuhi kemaslahatan masyarakat”. Di antara golongan ini yaitu Al
Qaduri dari golongan Hanafiyah.

4. Tingkat keempat : ahlu takhrij

Golongan ini tidak berijtihad dalam mengistimbathkan hukum. Mereka hanya


membatasi diri dalam menafsirkan pendapat yang kurang jelas. Mereka menentukan
mana yang dikehendaki dari hukum yang mempuyai dua pengertian. Golongan ini
seperti Al Jashash dari golongan Hanafiyah, Khalil dari golongan Malikiyah, An
Nawawi dari golongan Syafi’iyah dan Ibnu Qudamah dari golongan Hanbaliyah.

5. Tingkat kelima: ahlu taqlid

Golongan ini mempunyai kesanggupan membedakan riwayat yang nadir dengan


yang lahir, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka ini ialah orang-orang yang
menyusun kitab-kitab matan, yang memasukkan pendapat-pendapat yang diterimanya
saja kedalam masalah-masalahnya.Mereka yang termasuk dalam tingkat ini antara lain
ialah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan madzhab
Abu Hanifah, seperti pengarang kitab al Kanz dan al-Wiqyah.19

19
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam,... hal. 117-119

16
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

17
Kondisi masyarakat pada abad IV H sampai runtuhnya Baghdad dalam masa
kemunduran. Tokoh cendekiawan terlalu fanatik terhadap empat mazhab. taqlid adalah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya. Sedangkan
orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan Islam sudah di
ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran Dinasti Abbasiyah. Kemunduran
Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, kemewahan, tertutupnya
ijtihad dan sebagainya.

Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu
dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga umat
Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para
imam ijtihad. Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini
disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang
paling benar. Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad
sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan
syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah
menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.

B. Saran
Demikian makalah ini pemakalah dari kelompok 10 menyadari bahwa di dalam
makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan
makalah kami selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.


Arfan, Aip Aly. 2015. Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah. Diakses pada08
Nopember2015, (Online), dari Sejarah dan Pemikiran Peradaban Islam: http://aip-aly-
arfan.blogspot.co.id

18
Fatoni, Bagus. 2015. Dinasti Bani Buaihi, Bani Saljuk, dan Bani Fathimiyah. Diakses pada
08 Nopember 2015, (Online),dari Makalah & Download Film:
http://bagusizza.blogspot.co.id
Khon, Abdul Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasiry': Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari
Masa ke Masa. Jakarta: Amzah.
Latif, Abdul. 2015. Kondisi Sosial, Politik, dan Budaya Pada Masa Abbasiyah. Diakses pada
08 Nopember2015, (Online), dari Melukis Senja: http://abdullatif16.blogspot.co.id
Sariono. 2015. Bani Saljuk dan Kehancuran Baghdad. Dipetik Nopember 8, 2015, dari
Referensi Agama: http://referensiagama.blogspot.co.id
(Tanpa Nama Penulis). Sejarah, Faktor Berdirinya, dan Khalifah Pada Masa Bani
Abbasiyah. 2015. Diakses pada 08 Nopember 2015, (Online), dari Trend Ilmu:
http://trendilmu.com
Sjinqithy, A. Djamaluddin. 1994. Sejarah Legislasi Islam. Surabaya: Al Ikhlas.
Sopyan, Yayan. 2010. Tarikh Tasyri'. Depok: Gramata Publishing.
Wahab, Abdul Khallaf. 2000. Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

19

Anda mungkin juga menyukai