Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal : Kamis / 14 Juli 2016
Waktu : 13.00 WITA
Oleh :
Nieke Andina Wijaya
Pembimbing :
Dr. dr. AAGP Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV
Halaman
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Infertilitas 3
2.1.1 Definisi 3
2.1.2 Epidemiologi 3
2.1.3 Faktor Penyebab Infertilitas 4
2.1.4 Diagnosis Infertilitas 5
2.2 Infeksi Menular Seksual 7
2.2.1 Definisi 7
2.2.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual 8
2.2.3 Infeksi Gonokokus 8
2.2.3.1 Morfologi Neisseria gonorrhoeae 8
2.2.3.2 Patogenesis Infeksi Gonokokus 9
2.2.3.3 Manifestasi Klinis Infeksi Gonokokus 10
2.2.3.3.1 Infeksi pada Laki-laki 11
2.2.3.3.2 Infeksi pada Perempuan 11
2.2.3.4 Diagnosis Infeksi Gonokokus 11
2.2.4 Infeksi Klamidia 12
2.2.4.1 Morfologi Chlamydia trachomatis 13
2.2.4.2 Patogenesis Infeksi Klamidia 13
2.2.4.3 Manifestasi Klinis Infeksi Klamidia 15
2.2.4.3.1 Infeksi pada Laki-laki 15
2.2.4.3.2 Infeksi pada Perempuan 15
2.2.4.4 Diagnosis Infeksi Klamidia 15
2.3 Hubungan antara Infertilitas dan Infeksi Menular Seksual 16
2.3.1 Infertilitas pada Laki-laki 17
2.3.1.1 Infertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Gonokokus 18
2.3.1.2 Infertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Klamidia 20
2.3.2 Infertilitas pada Perempuan 21
2
2.3.2.1 Infertilitas Perempuan Akibat Infeksi Gonokokus 22
2.3.2.2 Infertilitas Perempuan Akibat Infeksi Klamidia 23
2.3.2.3 Penyakit Radang Panggul 24
2.3.4 Pencegahan dan Penatalaksanaan Infertilitas akibat
Infeksi Menular Seksual 26
BAB III RINGKASAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
3
BAB I
PENDAH ULUAN
Setiap pasangan suami istri sebagian besar menginginkan kehadiran anak sebagai
penerus keturunan dan dianggap dapat mempererat ikatan keluarga.
Ketidakmampuan untuk memiliki anak atau infertilitas merupakan masalah yang
sensitif bagi pasangan suami istri. Infertilitas memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kesehatan psikologi. Walaupun tidak mengancam jiwa, infertilitas dapat
mengakibatkan masalah sosial dan psikologi yang cukup besar bagi pasangan
suami istri. Pemahaman mengenai infertilitas masih kurang adekuat pada beberapa
bagian dunia, oleh karena itu perlu diberikan pemahaman tentang infertilitas agar
pasangan infertil tidak takut ataupun malu mencari pertolongan ke dokter.
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadi kehamilan
setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan
kontrasepsi. Infertilitas dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan frekuensi
yang hampir sama. Lebih dari 80% pasangan yang melakukan hubungan seksual
secara rutin dan tidak menggunakan kontrasepsi akan terjadi kehamilan dalam
waktu 1 tahun, dan sekitar 92% terjadi kehamilan dalam waktu 2 tahun.1,2,3
Penyebab infertilitas meliputi berbagai macam faktor seperti kelainan
anatomi, hormonal maupun infeksi. Sebagian besar penyebab infertilitas yang
dapat dicegah adalah penyakit infeksi dan diantaranya adalah infeksi menular
seksual (IMS). Meskipun hubungan antara IMS dan infertilitas telah diketahui
lama, tetapi kejadian infertilitas akibat IMS di seluruh dunia lebih banyak terjadi
akhir-akhir ini. 1,4,5
Diantara berbagai penyebab IMS, infeksi oleh Neisseria gonorrhoeae (N.
gonorrhoeae) dan Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) merupakan penyebab
tersering terjadinya infertilitas. Kedua bakteri ini dapat menginfeksi laki-laki
maupun perempuan dengan berbagai macam manifestasi klinis. Bila infeksi tidak
diobati atau diberikan pengobatan yang tidak adekuat, dapat menyebabkan
terjadinya infeksi kronis dan berbagai macam komplikasi yang berujung pada
terjadinya infertilitas. Pada laki-laki komplikasi dapat berupa epididimitis dan
4
orkitis, sedangkan pada perempuan komplikasi tersering adalah penyakit radang
panggul (PRP), infertilitas tuba dan kehamilan ektopik.1,5,6
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai dampak infeksi
gonokokus dan klamidia pada kejadian infertilitas laki-laki dan perempuan.
Dengan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
mengenai infertilitas yang diakibatkan oleh IMS sehingga dapat meningkatkan
kesadaran untuk menegakkan diagnosis serta memberikan penanganan yang tepat
terhadap IMS untuk mencegah terjadinya infertilitas.
5
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
2.1. Infertilitas
2.1.1 Definisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk memiliki anak setelah 1 tahun
melakukan hubungan seksual rutin tanpa penggunaan kontrasepsi. Infertilitas
diklasifikasikan menjadi infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas
primer didefinisikan sebagai infertilitas yang terjadi jika perempuan belum pernah
hamil, sedangkan infertilitas sekunder adalah apabila perempuan tidak dapat hamil
setelah satu atau lebih kehamilan atau aborsi sebelumnya. 1,7
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian infertilitas mengenai sekitar 80-160 juta individu di seluruh dunia,
dengan perkiraan sekitar 5-26% pasangan mengalami infertilitas. Laju infertilitas
bervariasi diantara masing-masing daerah. Di Afrika Sub-Sahara, terdapat
pasangan infertil hingga sepertiga dari jumlah pasangan total dan sekitar 52%
diantaranya menderita infertilitas sekunder. Sebaliknya, persentase infertilitas
sekunder ini terdapat dengan jumlah paling rendah di Asia dan negara maju, yaitu
sebanyak 23% dan 29% secara berurutan. Pada penelitian di Pakistan didapatkan
prevalensi infertilitas sebesar 21.9%, dengan kejadian infertilitas primer sebanyak
3.9% dan infertilitas sekunder sebanyak 18%.2,3 ,7 Pada tahun 2000, dari sekitar 30
juta pasangan usia subur di Indonesia terdapat 3.45 juta atau sekitar 10 –15%
pasangan yang memiliki masalah infertilitas.8 Infertilitas memiliki pengaruh yang
kuat terhadap faktor sosio-psikologikal, terutama pada perempuan. Secara
psikologis, perempuan infertil menderita psikopatologi yang dapat berupa
kecemasan, depresi, mudah marah, menyalahkan diri sendiri dan ingin bunuh diri.
Di Amerika Latin, stigma sosial yang berhubungan dengan infertilitas
menyebabkan perempuan cenderung menyalahkan diri sendiri untuk
infertilitasnya dan di Mozambique, perempuan infertil dilarang mengikuti
aktivitas sosial tertentu dan perayaan tradisional. Perempuan infertil lebih sering
6
mengakibatkan konflik rumah tangga seperti perceraian, suami menikah lagi
dengan orang lain, atau perempuan tersebut dipaksa kembali ke rumah orang
tuanya.2 ,7
7
Pengaruh IMS pada infertilitas merupakan hal yang cukup penting.
Infertilitas akibat IMS merupakan hal yang sering terjadi dan terutama disebabkan
oleh organisme Chlamydia trachomatis dan Neisserria gonorrhoeae. Swinton, dkk.
menyampaikan bahwa 20% insiden IMS yang tidak diobati pada dewasa yang
aktif secara seksual akan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan
populasi sebanyak 50% akibat adanya infertilitas. 1,6,7 Infeksi menular seksual
terutama mengenai traktus reproduksi dan kerusakan jaringan akibat infeksi dapat
menyebabkan infertilitas. Patogen IMS dapat menyebabkan terjadinya penyakit
radang panggul (PRP) yang mengakibatkan terjadinya pembuntuan tuba, yang
menyebabkan infertilitas sekunder pada perempuan. Infertilitas tuba merupakan
penyebab dari 30% kasus infertilitas pada perempuan. Infeksi menular seksual
pada organ reproduksi laki-laki dapat menyebabkan gangguan pembentukan
sperma serta dapat mengakibatkan pembentukan antibodi antisperma yang
berperan pada terjadinya infertilitas.1,7,10
8
kecepatan dari sperma dan volume semen. Parameter analisis sperma yang normal
berdasarkan World Health Organization (WHO) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Pemeriksaan follicle-stimulating hormone (FSH), kadar testosteron dan kadar
prolaktin dapat membantu membedakan hipogonadisme primer dan sekunder. 2,4,12
Pada pasien dengan volume ejakulat yang sedikit, pemeriksaan urinalisis
paska-ejakulasi dan ultrasonografi (USG) transrektal dapat membantu menentukan
adanya ejakulasi retrograde dan obstruksi duktus ejakulatorius. Pemeriksaan USG
skrotum juga dapat dilakukan bila dicurigai adanya abnormalitas testis atau
skrotum. Parameter sperma yang abnormal seperti adanya aglutinasi, motilitas
sperma yang rendah dan viabilitas sperma yang buruk merupakan indikasi untuk
pemeriksaan antibodi antisperma (ASA). Antibodi ini dapat dideteksi di dalam
serum atau sperma, dengan persentase sebanyak 34-74% pada serum dan 38-60%
terikat pada sperma, tetapi antibodi yang terikat pada sperma saja yang
berpengaruh terhadap infertilitas. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat
dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap (bila dicurigai adanya infeksi),
pemeriksaan urin lengkap serta kultur gonore atau klamidia bila dicurigai adanya
IMS.3,4,11
9
Kadar prolaktin dapat menentukan adanya tumor pituitari, dan kadar TSH
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis hipotiroid. Kadar testosteron
membantu evaluasi pasien dengan hipoandrogenisme dan tumor yang mensekresi
androgen. Apabila pemeriksaan yang telah dilakukan tidak mendapatkan hasil
yang abnormal, dapat dilakukan berbagai pemeriksaan imaging seperti USG,
histerosalfingografi (HSG), histeroskopi, dan laparoskopi. Pemeriksaan imaging
tersebut bertujuan untuk melihat adanya gambaran tuba atau uterus yang abnormal.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan duh tubuh serta
kultur gonore atau klamidia bila dicurigai adanya IMS. 4,7 ,12
10
jarang ditemukan meliputi HPV, HSV, HIV, T. vaginalis, Gardnerella vaginalis, U.
urealyticum dan M. genitalium.6,10,15
11
perlekatan bakteri ke sel epitel, invasi atau sebagai target dari pertahanan imun
pejamu. 16,18
12
Setelah berada didalam sel, organisme akan menjalani replikasi dan dapat
tumbuh pada lingkungan aerobik ataupun anaerobik dan menimbulkan respon
inflamasi. Berbagai produk ekstraseluler seperti enzim fosfolipase, peptidase dan
peptidoglikan juga dihasilkan oleh bakteri gonokokus yang membuat bakteri ini
mampu merusak sel pejamu. Diluar sel, bakteri rentan terhadap perubahan suhu,
sinar ultraviolet dan kondisi kering.17,18
13
ditentukan dan bervariasi dibandingkan dengan laki-laki, tetapi sebagian besar
menunjukkan gejala lokal dalam waktu 10 hari setelah infeksi. Infeksi lokal paling
sering terjadi pada endoserviks. Gejala uretritis pada perempuan meliputi
peningkatan duh tubuh vagina, pruritus pada vagina, disuria, perdarahan uterus
intermenstrual dan menoragi. Lokasi infeksi lain adalah pada kelenjar Bartholin
dan Skene, yang menyebabkan bengkak dan nyeri. Infeksi dapat terjadi pada
traktus genitalia bagian atas, meliputi uterus, tuba falopi dan ovarium. Pada
pemeriksaan fisik dapat terlihat duh tubuh purulen atau mukopurulen pada serviks,
eritema dan edema serta perdarahan mukosa endoserviks. Infeksi yang tidak
diobati dapat menyebabkan terjadinya PRP yang berhubungan dengan kerusakan
tuba falopi dan infertilitas.17 ,18,21
14
organisme yang hidup, dapat menggunakan spesimen yang tidak invasif seperti
urin dan juga dapat mendeteksi C. trachomatis. Tetapi pemeriksaan NAAT ini
juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya tidak adanya data resistensi
antibiotika serta biaya yang tinggi.17,19,22
15
2.2.4.2 Patogenesis Infeksi Klam idia
Transmisi C. trachomatis biasanya melalui kontak antarmukosa pada kontak
seksual ataupun dari ibu ke janinnya pada saat persalinan. C. trachomatis
merupakan imunogen yang kuat yang dapat menstimulasi respon imun seluler dan
humoral sehingga memicu pembentukan antibodi serta aktivasi sel T. Infeksi C.
trachomatis dapat merupakan infeksi primer ataupun infeksi kronis. 23,27
Sel target dari infeksi genital C.trachomatis adalah sel epitel skuamo-
kolumnar. Infeksi diawali dengan masuknya partikel infeksius (elementary body;
EB) ke dalam epitel, yang kemudian bermigrasi ke kompleks Golgi dimana EB
berdiferensiasi menjadi reticulate body (RB) yang aktif bereplikasi namun tidak
infeksius. Setelah bereplikasi, RB akan berdiferensiasi kembali menjadi EB dan
menyebarkan infeksi ke sel yang berdekatan. Pada infeksi primer akan terjadi
kerusakan sel epitel yang memicu pelepasan sitokin proinflamasi seperti
interleukin (IL)-1, IL6, IL8, tumor necrosis factor (TNF)-αdan granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Pelepasan sitokin ini akan
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas endotelial, aktivasi neutrofil,
monosit dan limfosit T serta peningkatan ekspresi molekul adhesi. Pada saat yang
sama, klamidia akan bergerak menuju limfodi. Beberapa mikroorganisme tersebar
pada daerah interselular sehingga tidak dikenali oleh sistem imun. Hal ini
menyebabkan persistensi infeksi klamidia serta rekurensi.24,28,29
16
Ga mba r 2.4. Respon imun pejamu terhadap infeksi klamidia
17
2.2.4.3.1 Infeksi Pada Laki-laki
Pada tahun 1981, Centers for Disease Control (CDC) melaporkan 2.1 juta kasus
uretritis nongonokokal dan 25-75% diantaranya merupakan infeksi klamidia.
Infeksi klamidia pada laki-laki bermanifestasi sebagai uretritis pada 55% pasien
dan pada beberapa kasus juga dapat terjadi epididimitis dan orkitis. 25,2 7
Pada uretritis didapatkan keluhan disuria, gatal dan duh tubuh yang
berwarna bening sampai putih. Pada epididimitis didapatkan keluhan demam,
nyeri dan bengkak pada testis unilateral dan eritema pada skrotum. Epididimitis
tidak selalu diawali dengan gejala uretritis dan pada kasus yang jarang dapat
disertai peningkatan leukosit pada duh tubuh uretra. Jika tidak diobati,
epididimitis dapat berkembang menjadi epididimo-orkitis. Pada pasien usia muda
harus disingkirkan kemungkinan torsio. Epididimo-orkitis memiliki manifestasi
klinis yang lebih ringan dibandingkan torsio yaitu tidak adanya mual atau muntah,
nyeri dirasakan bertahap dan didapatkan eritema dan edema. 28,30,31
18
pandang dan tidak didapatkan diplokokus gram negatif. Pemeriksaan fisik pada
perempuan dapat ditemukan servisitis dengan duh tubuh mukoid dan berwarna
bening hingga kekuningan serta edema serviks. Pada pemeriksaan urin dapat
ditemukan leukosit > 5/lapang pandang.25,26,3 2
Tes spesifik untuk klamidia diantaranya kultur bakteri, direct fluorescent
test (DFA), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), pemeriksaan sitologi
dan pemeriksaan molekular seperti polymerase chain reaction (PCR) dan nucleic
acid amplification test (NAAT). Tes non-spesifik diantaranya tes leukosit esterase
(LE).24,25,28
Centers for Disease Control merekomendasikan bahwa setiap pasien yang
didiagnosis positif menderita infeksi klamidia, sebaiknya juga dilakukan
pemeriksaan untuk mendeteksi gonore. Hal ini disebabkan karena pada infeksi
klamidia sering didapatkan konkurensi dengan gonore. 22
19
Ga mba r 2.5 Hubungan antara infeksi menular seksual dengan infertilitas 1
20
atrofi atau infark testis dan mempengaruhi fertilitas. Pembuntuan vas deferen
mengakibatkan terjadinya oligospermia atau azoospermia.5,15,35
21
Pengobatan uretritis akut yang tidak adekuat dapat menyebabkan
pembentukan jaringan parut dan obstruksi kanal epididimis yang dapat menetap
setelah pengobatan. Selain itu infeksi dapat menyebar ke traktus genitalia bagian
atas dan menyebabkan epididimitis, orkitis dan disfungsi testis. Jika terjadi secara
bilateral, infeksi dapat menyebabkan azoospermia obstruktif serta mempengaruhi
spermatozoa pada berbagai tingkat perkembangan, maturasi, dan transpor melalui
berbagai mekanisme seperti kondensasi inti sperma, fragmentasi inti, penurunan
motilitas sperma dan apoptosis.5,15,35
Epididimitis akibat infeksi gonokokus menyebabkan terjadinya fibrosis
peritubuler dan akhirnya mengakibatkan obstruksi pada saluran semen yang
menyebabkan terjadinya infertilitas. Selain itu, epididimitis kronis akibat infeksi
gonokokus juga mempengaruhi beberapa fungsi sperma yang penting (Tabel
2.2).10 ,33
22
azoospermia yang persisten pada 8-27% pasien yang akhirnya berdampak pada
terjadinya infertilitas.1 5,34,36
23
Infeksi klamidia kronis pada testis akan menyebabkan orkitis sehingga
terjadi gangguan pada proses spermatogenesis (penurunan motilitas, peningkatan
proporsi sperma yang abnormal, penurunan densitas, gangguan morfologi dan
viabilitas serta peningkatan risiko leukositospermia) yang akan mempengaruhi
fertilitas. Pada penelitian Kokab, dkk. didapatkan bahwa pada laki-laki dengan
infeksi klamidia terjadi penurunan motilitas sperma yang progresif, peningkatan
jumlah leukosit serta peningkatan IL-8.23,28,38
Infeksi klamidia juga dapat merusak sperma secara langsung berupa
gangguan parameter dan gangguan fragmentasi DNA yang menyebabkan
kematian sperma. Infeksi C.trachomatis diketahui dapat mengganggu fungsi
sperma dengan meningkatkan fosforilasi tirosin yang berakibat pada kematian
sperma. Pada beberapa studi didapatkan imunoglobulin dan ASA pada plasma
seminal sebagai respon terhadap inflamasi. Didapatkan juga penurunan karnitin,
zinc, fruktosa dan alfa glukosidase. Pada suatu studi didapatkan bahwa adanya
Hsp-60 klamidia pada semen laki-laki berkorelasi positif dengan imunoglobulin
(Ig)-A antiklamidia. Antibodi terhadap C. trachomatis juga dapat menurunkan
motilitas sperma, peningkatan kematian spermatozoa, peningkatan
leukositospermia, penurunan konsentrasi sperma dan peningkatan indeks
teratozoospermia. 24,28
24
pada terjadinya infertilitas. Infertilitas pada serviks meliputi ketidakmampuan
spermatozoa untuk menuju uterus karena adanya kerusakan serviks atau faktor-
faktor servikal seperti stenosis serviks, mukus servikal yang tidak adekuat, adanya
IMS dan ASA. Infertilitas tuba mengacu pada infertilitas yang disebabkan
kerusakan tuba falopi meliputi adhesi tuba, gangguan motilitas tuba atau
penyumbatan kanal tuba. 1,5,7
25
Pada awalnya N. gonorrhoeae menempel pada sel mukosa tuba yang tidak
bersilia yang diperantarai oleh pili dan protein Opa, namun kemudian merusak sel
bersilia yang berperan penting dalam transpor sel telur yang telah dibuahi menuju
uterus. Proses ini diperantarai oleh LPS yang diekspresikan pada permukaan
gonokokus yang memiliki target pada sel bersilia, serta melalui upregulasi
produksi TNFα yang secara selektif memiliki target pada sel bersilia. N.
gonorrhoeae menginduksi ekspresi dari sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1α,
IL-1βdan TNFα. Peningkatan TNFαmengakibatkan penurunan aktivitas sel epitel
bersilia sehingga mengganggu proses transpor tuba. Tumor nekrosis faktor-α
menginduksi apoptosis dari sel epitel tuba falopi yang menunjukkan pertahanan
pejamu yang melindungi terhadap kerusakan tuba, namun gonokokus dapat
memodulasi dan menghambat kerusakan yang disebabkan TNFαsehingga dapat
melanjutkan perjalanan infeksi.1,6,36
26
obstruksi tuba komplit atau parsial. Peritonitis yang disebabkan oleh klamidia
dapat menimbulkan eksudat fibrinosa pada permukaan mukosa uterus, tuba falopi
dan ovarium sehingga terjadi perlekatan yang biasanya dikaitkan dengan keluhan
nyeri panggul. Respon sitokin Th-1 didapatkan pada salfingitis klamidial, dan
selain membunuh dan membersihkan klamidia, IFNγjuga dapat menyebabkan
fibrosis. 1,23,32
2. Inflamasi berlangsung selama 1-6minggu (eritema, edema),
namunsering tidak menimbulkan gejala. Bakteri kemudian menuju
tuba falopi.
Tub
27
pelvis, periapendisitis dan perihepatitis. Di Amerika Serikat, terdapat 770.000
kasus PRP akut yang terdiagnosis setiap tahun. Penyakit ini diketahui
berhubungan dengan kerusakan tuba falopi dan selanjutnya infertilitas. 1,5,36
Penyebab tersering PRP adalah infeksi N. gonorrhoeae dan C. trachomatis.
Infeksi klamidia didapatkan pada 40% kasus PRP. Pada 20% perempuan dengan
infeksi traktus genitalia bagian bawah akibat klamidia akan terjadi PRP dan 4%
diantaranya akan terjadi nyeri panggul kronis. Infeksi gonore pada perempuan
menyebabkan uretritis dan servisitis, dan PRP akut terjadi melalui penyebaran
bakteri secara kanalikuler, dari endoserviks ke endometrium, tuba falopi dan
kemudian mengenai struktur sekitarnya (Gambar 2.3). Servisitis kronis dan
asimtomatis membentuk tempat penyimpanan bagi bakteri dan dapat mengganggu
fungsi sperma ketika berada di tuba falopi. Organisme aerob dan anaerob yang
secara normal berada di dalam vagina akan naik dan menyebabkan infeksi di
dalam tuba falopi.1,41,42
Pada PRP akut biasanya didapatkan keluhan nyeri perut bawah atau pelvis,
duh tubuh abnormal, perdarahan intermenstrual, perdarahan paska koitus, disuria,
demam, mual, muntah atau nyeri punggung bawah. Dari pemeriksaan didapatkan
adanya suhu tubuh lebih dari 38,30C, peningkatan C-reactive protein (CRP),
adanya N. gonorrhoeae atau C.trachomatis.31,42
Ga mba r 2.11 Skema hubungan antara IMS dengan PRP dan sekuele lanjut.41
28
pada tuba uterus dapat menyebabkan infertilitas sebanyak 20%, kehamilan ektopik
sebanyak 9%, dan nyeri pelvis yang kronis pada 18% penderita. Suatu studi di
Swedia mencatat bahwa sekitar 11% perempuan yang didiagnosis PRP akut
selanjutnya akan menjadi infertil karena oklusi tuba falopi. Semakin sering
seorang perempuan mengalami PRP akut, semakin tinggi pula risiko terjadinya
infertilitas. Laju infertilitas yang terjadi setelah satu kali PRP akut adalah 8%,
sementara kejadian PRP kedua dan ketiga akan meningkatkan laju infertilitas
menjadi 19.5% dan 40%. Keparahan inflamasi juga berkorelasi langsung dengan
infertilitas. 1,4 3
29
Penatalaksanaan infertilitas meliputi edukasi kepada pasangan infertil
mengenai frekuensi hubungan seksual yang ideal selama masa subur serta tidak
menggunakan bahan-bahan seperti lubrikan ataupun vaginal douche. Kepada
pasangan juga dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol ataupun obat-obatan,
tidak merokok serta mengurangi konsumsi kafein. Kepada pasangan perlu
diberikan dukungan emosional karena infertilitas biasanya mencetuskan stres dan
rasa sedih ataupun perasaan bersalah.2 ,4,12
Penatalaksanaan yang lebih spesifik diberikan sesuai kondisi yang
menyebabkan infertilitas baik pada laki-laki maupun perempuan. Untuk infertilitas
akibat komplikasi IMS, pemberian antibiotik yang sesuai dapat mengatasi
inflamasi pada traktus genitalia. Pada PRP akut sebaiknya dipilih regimen
antibiotika yang efektif terhadap N.gonorrhoeae, C. trachomatis serta bakteri
anaerob.2 2,41
Bila telah terjadi infertilitas akibat faktor tuba dapat dipertimbangkan
prosedur pembedahan reparatif tuba. Alternatif lain meliputi inseminasi intrauterin
ataupun fertilisasi in vitro (bayi tabung). 4,12
30
BAB III
RINGKASAN
Infertilitas merupakan masalah yang cukup sering ditemukan di seluruh dunia dan
mengenai 60 hingga 160 juta individu. Kebanyakan penderita infertilitas
didapatkan pada negara berkembang. Berbagai macam infeksi, termasuk IMS
dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. N. gonorrhoeae dan C. trachomatis
merupakan bakteri penyebab IMS yang sering menjadi penyebab infertilitas.
Infeksi kronis dari bakteri ini dapat mengakibatkan komplikasi yang pada
akhirnya menimbulkan masalah infertilitas, baik pada laki-laki maupun
perempuan. Epididimitis dan orkitis merupakan komplikasi IMS pada laki-laki
yang paling sering menimbulkan infertilitas. Hal ini terjadi karena adanya
kerusakan pada traktus genitalia ataupun efek terhadap fungsi sperma secara
langsung. Pada perempuan komplikasi IMS tersering berupa PRP yang
menyebabkan kerusakan tuba falopi dan serviks yang selanjutnya menyebabkan
infertilitas.
Untuk mengurangi angka kejadian infertilitas akibat IMS diperlukan
pencegahan serta penanganan infeksi yang cepat dan tepat. Diagnosis dini dan
pemberian terapi yang tepat pada individu yang berisiko tinggi dapat mencegah
terjadinya komplikasi sehingga dapat mengurangi kejadian infertilitas.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiesenfeld H.C., Cates W. Sexually Transmitted Diseases and Infertility. In: Holmes
K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.1511-27.
2. Sumera A., Sophie R., Iman A.M., Khan F.I., Ali S.F., Shaikh A., et al. Knowledge,
Perceptions and Myths Regarding Infertility among Selected Adult Population in
Pakistan: A Cross-Sectional Study. BMC Public Health. 2011; 11: 1-7.
3. Kobayashi H., Nagao K., Nakajima K. Focus Issue on Male Infertility. Advances in
Urology. 2012: 1-6.
4. Jose-Miller A.B., Boyden J.W, Frey K.A. Infertility. Am Fam Physician. 2007; 75(6):
849-58.
5. Padubidri V.G., Malhotra S. Sexually Transmitted Infections And Infertility. In:
Gupta S.K.B., ed. Sexually Transmitted Infections. 2nd ed. New Delhi: Elsevier: 2012:
p.1121-7.
6. Apari P., de Sousa J.D., Muller V. Why Sexually Transmitted Infections Tend to
Cause Infertility: An Evolutionary Hypothesis. PLOS Pathogens. 2014; 10(8): 1-5.
7. Olooto W.E., Amballi A.A., Banjo T.A. A Review of Female Infertility; Important
Etiological Factors and Management. J Microbiol Biotech Res. 2012; 2(3): 379-85.
8. Suherlin I.F., Ilmiati I. Hubungan Karakteristik dengan Tingkat Pengetahuan Pria
Usia Subur tentang Gaya Hidup yang Mempengaruhi Infertil di Lingkungan III
Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Tahun 2008. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2008.
9. Dhont N., Luchters S., Muvunyi C., Vyankandondera J., Naeyer L.D., Temmerman
M., et al. The Risk Factor Profile of Women with Secondary Infertility: An
Unmatched Case-Control Study in Kigali, Rwanda. BMC Women's Health. 2011; 11:
1-7.
10. Brookings C., Goldmeier D., Sadeghi-Nejad H. Sexually Transmitted Infections and
Sexual Function in Relation to Male Fertility. Korean J Urol. 2013; 54: 149-56.
11. Fijak M., Meinhardt A. The Testis in Immune Privilege. Immunological Reviews.
2006; 213: 66-81.
12. Covington S.N., Burns L.H. Infertility Counseling, 2nd ed. New York: Cambridge
University Press; 2006.
13. Adler M. Why Sexually Transmitted Infections Are Important. In: Adler M., Cowan
F., French P., Mitchell H., Richens J. ABC of Sexually Transmitted Infections, Fifth
Edition. London: BMJ Publishing Group; 2004: p.1-6.
14. Nelson A.L. Introduction to Sexually Transmitted Infection: A View of the Past and
an Assessment of Present Challenges. In: Nelson A.L., Woodward J., Eds. Sexually
Transmitted Diseases A Practical Guide for Primary Care. New Jersey: Humana
Press Inc; 2006: p.1-20.
15. Ochsendorf F.R. Sexually Transmitted Infections: Impact on Male Fertility.
Andrologia. 2008; 40: 72-5.
32
16. Sparling P.F. Biology of Neisseria gonorrhoeae. In: Holmes K.K., Sparling P.F.,
Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008: p.607-26.
17. Stary A., Stary G. Sexually Transmitted Infections. In: Bolognia J.L., Jorizzo J.L.,
Schaffer J.V., editors. Dermatology. 3rd ed. Spain: Elsevier; 2012: p.1367-90.
18. Rosen T. Gonorrhea, Mycoplasma and Vaginosis. In: Goldsmith L.A., Katz S.I.,
Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K., editors. Fitzpatrick’
s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008. p. 2514-26.
19. Virji M. Pathogenic Neisseriae: Surface Modulation, Pathogenesis and Infection
Control. Nature Reviews Microbiology. 2009; 7: 274-86.
20. Hook E.W., Handsfield H.H. Gonococcal Infections in the Adult. In: Holmes K.K.,
Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.627-45.
21. Walker C.K., Sweet R.L. Gonorrhea Infection in Women: Prevalence, Effects,
Screening and Management. International Journal of Womens Health. 2011: 3; 197-
206.
22. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Test to Detect Chlamydia
trachomatis and Neisseria gonorrhoeae Infections. MMWR 2010, 51 (No.RR-15): 1-
38.
23. Stephens A.J., Aubuchon M., Schust D.J. Antichlamydial Antibodies, Human
Fertility and Pregnancy Wastage. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2011; 525182: 1-9.
24. Idahl A. Chlamydia trachomatis as a Risk Factor for Infertility in Women and Men
and Ovarian Tumor Development. Sweden: Print and Media Umea University; 2009:
p.1-59.
25. Lanjouw E., Ouburg S., Vries H.J., Stary A., Radcliffe K., Unemo M. 2015 European
Guideline on the Management of Chlamydia trachomatis Infections. Int J STD AIDS.
2015; 1-16.
26. Land J.A. Chlamydia testing in Infertility Management. MEFSJ. 2004; 9(2): 93-100.
27. Malhotra M., Sood S., Mukherjee A., Muralidhar S., Bala M. Genital Chlamydia
trachomatis: An Update. Indian J Med Res. 2013; 138: 303-16.
28. Jaramillo-Rangel G., Gallegos-Avilla G., Ramos-Gonzales B., Alvarez-Cuevas S.,
Morales-Garcia A.M., Sanchez J.J., et al. The Role of Chlamydia trachomatis in
Male Infertility. In: Mares M., eds. Chlamydia. Mexico: Intech; 2012: 245-68.
29. Hafner L., Beagley K., Timms P. Chlamydia trachomatis Infections: Host Immune
Responses and Potential Vaccines. Mucosal Immunology. 2008: 116-30.
30. Miller K.E. Diagnosis and Treatment of Chlamydia trachomatis Infection. Am Fam
Physician. 2006; 73(8): 1411-6.
31. Stamm W.E. Chlamydial Diseases. In: Mandell G.L., Bennel J.E., Dolin R., eds.
Principles and Practices of Infectious Diseases. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2005:
p.2236-56.
32. Stamm W.E. Chlamydia trachomatis Infections of the Adult. In: Holmes K.K.,
Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
33
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.575-94.
33. Haidl G., Allam J.P., Schuppe H.C. Chronic Epididymitis: Impact on Semen
Parameters and Therapeutic Options. Andrologia. 2008; 40: 92–6.
34. Geisler W.M., Krieger J.N. Epididymitis. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm
W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008: p.1127-46.
35. Schuppe H.C., Meinhardt A., Allam J.P., Bergmann M., Weidner W., Haidl G.
Chronic Orchitis: A Neglected Cause of Male Infertility? Andrologia. 2008; 40: 84–
91.
36. Cao D.M., Li Y.D., Yang R., Wang Y., Zhou Y.C., Diao H., et al.
Lipopolysaccharide-induced Epididymitis Disrupts Epididymal Beta-Defensin
Expression and Inhibits Sperm Motility in Rats. Biolreprod. 2010; 83: 1064-70.
37. Cunningham K.A., Beagley K.W. Male Genital Tract Chlamydia Infection:
Implications for Pathology and Infertility. Biology of Reproduction. 2008; 79: 180-9.
38. Kokab A., Akhondi M.M., Sadeghi M.R., Modaressi M.H., Aarabi M., Jennings R.,
et al. Raised Inflammatory Markers in Semen from Men with Asymptomatic
Chlamydial Infection. Journal of Andrology. 2010; 31(2): 114-20.
39. Dhont N., Luchters S., Muvunyi C., Vyankandondera J., Naeyer L., Temmerman M.,
et al. The Risk Factor Profile of Women with Secondary Infertility: An Unmatched
Case-control Study in Kigali, Rwanda. BMC Women’ s Health. 2011; 11(32): 1-7.
40. Walker C.K., Sweet R.L. Gonorrhea Infection in Women: Prevalence, Effects,
Screening and Management. International Journal of Women’ s Health. 2011; 3: 197-
206.
41. Paavonen J., Westrom L., Escenbach D. Pelvic Inflammatory Disease. In: Holmes
K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.1017-50.
42. Jaiyeoba O. A Practical Approach to the Diagnosis of Pelvic Inflammatory Disease.
Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology. 2011; 753037: 1-6.
43. Cassels S. Gonorrhea, Infertility and Population Decline in Yap during the Japanese
Occupation. East-west Center Working Papers. 2004; 5: 1-21.
44. Centers for Disease Control and Prevention. National Public Health Action Plan for
the Detection, Prevention and Management of Infertility. 2014; 6: 1-26.
34