TEORI PENDIDIKAN A, B, C, D, E
DOSEN PENGAMPU:
Dra. Sri Indrawati, M.Pd., Ph.D.
DISUSUN OLEH:
Kelompok 6
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga kami dapat
menyusun makalah tentang “Teori Pendidikan A, B, C, D, E” dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pengantar
pendidikan dan menambah wawasan serta informasi yang berkaitan dengan teori dan konsep
pendidikan menurut para ahli.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Sri Indrawati, M.Pd., Ph.D. dan Ibu Dr. Santi
Oktarina, M.Pd. selaku dossen pengampu mata kuliah pengantar pendidikan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan kami serta kepada seluruh pihak yang
telah membantu, memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini
sehingga selesai tepat pada waktunya.
Meskpun kami telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teori pendidikan saat ini mengembangkan pendidikan yang lebih menekankan pemberian
keterampilan dari berbagai unsur kecerdasan di mulai sejak usia dini. Upaya pengembangan
kecerdasan, efektif dilakukan pada usia dini. Karena merupakan masa keemasan atau sering
disebut dengan istilah Golden Age. Proses perkembangan otak relatif cepat pada masa ini. Usia
dini juga merupakan masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia. Tahapan ini merupakan
salah satu faktor yang akan menentukan perkembangan kehidupan anak selanjutnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia muda merupakan rumusan
filsafat pendidikan Driyarkara, yang mengarah pada proses kesadaran untuk memanusiakan
manusia. Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya. Manusia berbeda dengan
binatang ataupun tumbuhan, manusia tidak akan sampai ke fase “ke manusiawi-an nya” tanpa
pendidikan. Lain halnya dengan binatang. Binatang tidak perlu pendidikan, karena pada
hakikatnya tidak memiliki akal budi. Sedangkan humanisasi adalah proses lanjutan dari
hominisasi. Seperti tampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan. Tidak ada
batas antara huminisasi dan homanisasi. Tidak akan ada homanisasi tanpa humanisasi sedikit
pun.
Di bawah judul Kedudukan dan Tujuan Ilmu Mendidik Teoretis, Driyarkara sendiri
hendak menyatakan bahwa sebagian besar pemikirannya tentang pendidikan yang termuat dalam
karya lengkap suntingan Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, & Sarkim (2006), dia maksudkan
sebagai ilmu mendidik teoretis, yaitu pemikiran yang bersifat kritis, metodis, dan sistematis
tentang realitas atau fenomena yang disebut pendidikan (h. 352). Mengutip penjelasannya, kritis
berarti bahwa dalam memandang pendidikan dia tidak hanya menerima apa yang dia tangkap
atau muncul dalam benaknya melainkan berusaha menemukan dasar atau alasan yang memadai
untuk merumuskan pernyataan-pernyataannya tentang pendidikan; metodis berarti bahwa dalam
proses berpikir dan menyelidiki fenomena pendidikan sehingga melahirkan pengetahuan dia
menggunakan cara tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara logika; sistematis berarti
bahwa dalam berpikir dan menyelidiki fenomena pendidikan dia digerakkan oleh ide yang
menyeluruh dan menyatukan sehingga seluruh pemikiran dan pendapatnya tentang pendidikan
merupakan kesatuan (h. 352-353).
Era globalisasi neoliberal sebagaimana kita saksikan saat ini ditandai sekaligus dipicu oleh
dua fenomena penting di bidang ekonomi-politik khususnya di negara-negara maju (Hill, 2010).
Fenomena pertama adalah menurunnya secara tajam dari waktu ke waktu keuntungan dari
kegiatan industri manufaktur di negara-negara industri maju seperti Inggris, Amerika Serikat,
Kanada, Australia, dan New Zealand. Situasi ini secara langsung maupun tidak langsung
mendorong munculnya fenomena kedua yaitu tumbuhnya industri di bidang jasa, komunikasi,
dan teknologi khususnya juga di negara-negara industri maju. Salah satu bidang jasa penting
yang diandalkan oleh negara-negara industri maju sebagai sumber keuntungan pengganti adalah
pendidikan.
2
2.2. Teori dan Konsep Pendidikan menurut Paulo Freire
Pendidikan dan politik adalah dua faktor penting dalam sistem sosial. Keduanya bersinergi
dalam Paulo Freire, seorang pakar pendidikan dari Brazil dan juga sebagai tokoh multi kultural,
berhasil melihat fenomena pendidikan yang dehumanisasi dan secara pedas mengkritik sistem
pendidikan dewasa ini dalam karyanya yang terkenal, yaitu Pendidikan Kaum Tertindas.
Pendidikan menurut Paulo Freire harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari
kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaan (penindasan). Konsep yang
ditawarkan oleh Freire ini, secara ideal mestinya mampu menjadi solusi atas bentuk-bentuk
ketimpangan sistem pendidikan kita, baik secara teoritik maupun praktik di lapangan.
Menurut Paulo Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan adalah
merupakan sebuah anugerah yang di hibahkan oleh mereka yang menganggap diri mereka
berpengetahuan kepada mereka yang di anggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.
Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti
mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pendidikan. Tidaklah mengherankan
jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat di samakan
dengan sebuah benda dan gampang di atur. Berbeda dengan individu sebagai manusia tertindas,
individu sebagai manusia bebas memiliki karakter seperti yang digambarkan dalam tradisi
humanisme renaissance, yakni individu yang memiliki hak atas dirinya dan juga individu yang
menempatkan dirinya sebagai penguasa atas kehidupannya sebagai manusia di dunia. Individu
dalam pandangan ini, memiliki kebebasan dalam mengkreasikan segala sesuatu, dan dalam
kreasinya terkandung tanggung jawab baik bagi dirinya maupun orang lain. Pada titik ini, posisi
individu yang bebas hampir sesuai dengan tawaran konsep manusia dalam pandangan Sartre.
Dalam hal ini pun, Freire melihat bahwa kebebasan adalah sebuah fitrah manusia. Freire sepakat
dengan pandangan kaum eksistensialis yang melihat bahwa manusia adalah penguasa atas
dirinya. Disisi ini, Freire menegaskan bahwa individu harus mampu menjadi pencipta sejarahnya
sendiri, dan hal itu hanya dimungkinkan jika seseorang mampu menguasai dirinya untuk
kemudian mampu memproyeksikan rancangan tentang dunia yang akan dibangun dan
dihidupinya.
Manusia yang bebas, juga merupakan manusia yang memiliki kehendak, artinya pada
posisi ini individu bukanlah makhluk yang hanya dijejali dan didukung oleh patokan-patokan
nilai serta aturan yang ditawarkan, akan tetapi merupakan individu yang mampu memberikan
arahan pada dirinya untuk dapat menentukan setiap tindakannya, karena dengan kehendaknya,
individu kemudian mampu membangkitkan tindakan-tindakan yang kemudian dapat
mengarahkannya membentuk sebuah dunia baru yang akan dihidupinya juga.
3
segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan.
4
melaksanakan pilihannya, dan peserta didik menyetujui).
7) The teacher act and students have the illusion of acting trough the action of the Teacher (Guru
bertindak, peserta didik membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya).
8) The teacher chooses the program content, and the student (who were not consulted) adapt to it
(Guru memilih bahan apa yang akan diajarkan, peserta didik menyesuaikan diri dengan pelajaran
itu).
9) The teacher confuses the authority of knowledge with this or her own professional authority,
which she and he sets in opposition to the freedom of the students (Guru mencampuradukkan
kewenangan ilmu pengetahuan dengan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk
menghalangi kebebasan peserta didik).
10) The teacher is the subject of the learning process, while the pupils are mereobject (Guru
adalah subyek proses belajar, sedangkan peserta didik objeknya belaka).
• Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka dan
melalui praksis merubah kesadaran itu.
• Tahap kedua dibangun atas yang pertama dan merupakan sebuah proses tindakan kultural
yang memang benar-benar membebaskan.
Berbicara tentang Ki Hajar Dewantara, beliau adalah seorang pencetus pendidikan klasik
Indonesia. Menurut Suroso dalam jurnal Scolaria, bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan satu
dari sedikit tokoh yang secara intens mencurahkan perhatiannya dibidang pendidikan dimasa
pergerakan dan awal kemerdekaan Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai oleh Ki Hajar
Dewantara dari pendidikan itu adalah terbentuknya generasi bangsa Indonedia yang mandiri,
penuh daya kreasi dan berbudi pekerti mulia. Tetapi beliau sadar jika pendidikan yang
mengedepankan budi pekerti tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja, tapi juga
menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Hal itu kemudian membuatnya memiliki
gagasan untuk membuat konsep pendidikan yang melibatkan ketiga lingkungan tersebut. Yang
diberi nama “Tri Pusat Pendidikan”. Konsep pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara
yaitu mengutamakan kasih sayang. Dimana pendidik seperti orang tua kepada anaknya sendiri.
Berikut adalah tiga konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara :
5
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Yang memiliki arti didepan. Yaitu seorang pendidik harus dapat memberi teladan atau contoh
kepada muridnya.
Dalam masa penjajahan Belanda (dan juga Jepang), salah satu bidang kehidupan yang
terabaikan adalah pendidikan. Rekayasa politik yang tampak pada fakta terbatasnya jumlah
sekolah dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia pada masa itu menjadi salah satu alasan
kuat bagi Ki Hadjar Dewantara untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Pemerintah penjajah
tahu persis bahwa upaya serius mencerdaskan bangsa terjajah merupakan upaya yang berbahaya
sebab bisa mengancam stabilitas pemerintahannya kelak. Oleh karena itu, jalan terbaik yang
menguntungkan mereka adalah “membatasi” sarana pendidikan dan kesempatan menimba ilmu
bagi generasi Indonesia. Dengan demikian, generasi muda Indonesia tidak terbuka pemikirannya
ke arah kemerdekaan.
Multiple Intelligences (Kecerdasan Jamak) adalah salah satu teori belajar yang
dikemukakan Howard Gardner. Multiple Intelligences adalah istilah yang digunakan oleh Howard
Garner untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki banyak kecerdasan.
6
Kecerdasan majemuk pada anak terdiri dari 9 kecerdasan, yaitu:
1. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara
efektif, baik secara oral maupun tertulis.
3. Kecerdasan ruang (spasial) adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang visual secara
tepat.
5. Kecerdasan kinestetik badani adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk
mengekspresikan gagasan atau perasaan.
6. Kecerdasan antarpribadi (interpersonal) adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap
perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain.
8. Kecerdasan naturalis (lingkungan) adalah kemampuan untuk mengerti flora dan fauna dengan
baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural, kemampuan untuk
memahami dan menikmati alam, dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif.
Kesembilan kecerdasan tersebut perlu dikembangkan secara maksimal dan sejak usia dini,
agar bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Hal ini karena pada usia tersebut, manusia
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan apa-apa yang dipelajari di masa tersebut menjadi
pijakan bagi masa-masa selanjutnya.
Dalam buku yang lain, Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahap mengahadapi frustasi, mengandalkan
dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa.
Daniel Goleman berpendapat ada dua macam kerangka kerja kecakapan emoji yaitu
kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-
ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun 5 ciri tersebut adalah:
1. Kesadaran Diri
Kesadaran diri menurut Daniel Goleman bukanlah perhatian yang larut kedalam
emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di
tengah badai emosi.
2. Pengaturan Diri
3. Motivasi
Motivasi yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif,
dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.
4. Empati
Empati adalah memahami persaan dan masalh orang lain dan berfikir dengan sudut
pandang mereka, menghargai peebedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.
5. Keterampilan Sosial
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Dari uraian di atas, hendaklah kita sebagai calon guru mempelajari konsep pendidikan
karena akan bermanfaat bagi diri sendiri dan juga peserta didik kita dalam kegiatan belajar
mengajar. Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki, sehingga kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah kami berikutnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Au, W. (2010). Defending dialectics: Rethinking the neo-Marxist turn in critical education.
Boas, T.C., & Gans-Morse, J. (2009). Neoliberalism: From new liberal philosophy to antiliberal
slogan. DOI 10.1007/S12116-009-9040-5.
Elmore, Tim. (2001). Nutiring The Leader Within Your Child, Thomas Nelson Inc., A.
Fuad Hassan, (1973). Berkenalan Dengan Existensialime. Jakarta Pustaka Jaya, hlm 127.
Ikhwan Aziz Q., S. d. (2018). Konsep Pendidikan dalam Pemikiran ki Hadjar Dewantara dan
Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia. Volume 3, Nomor 1, Juni 2018 , 15.
Paulo freire, (2006). Pendidikan Kaum Tertindas, terjemahan F Danuwinata, Jakarta, LP3ES
Hlm 27.
http://www.teoriuntukguru.com/2016/01/teori-kecerdasan-emosional-daniel.html?m=1
10