POLISITEMIA
Disusun Oleh:
Kelompok 1 Kep 3 A
Dosen Pengampuh :
Ns. Hidayatul Rahmi, S.Kep, M.Kep
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Polisitemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan abnormal sel
darah, terutama sel darah merah, disertai peningkatan konsentrasi hemoglobin perifer.
Keadaan ini harus dibedakan dengan polisitemia relatif, di mana terjadi peningkatan
hemoglobin yang tidak disertai peningkatan jumlah sel darah merah, misalnya karena
dehidrasi dan luka bakar.
Berdasarkan penyebabnya, polisitemia dapat dibagi menjadi polisitemia vera
(primer) dan polisitemia sekunder. Polisitemia vera adalah gangguan sel punca yang
ditandai dengan kelainan sumsum tulang panhiperplastik, maligna, dan neoplastik.
Pada polisitemia vera, akan didapatkan peningkatan massa sel darah merah akibat
produksi yang tidak terkontrol. Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan
produksi sel darah putih (myeloid) dan platelet (megakariotik) akibat klon abnormal
sel punca hematopoietik.
Polisitemia sekunder adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat suatu
penyakit dasar. Polisitemia sekunder lebih cocok disebut sebagai eritrositosis atau
eritrositemia sekunder. Sedangkan istilah polisitemia biasanya mengarah pada
polisitemia vera. Jenis ini biasanya dipicu oleh keadaan hipoksemia kronis, seperti
pada emfisema dan penyakit jantung bawaan sianotik, yang menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin di ginjal.
Diagnosis polisitemia vera dapat ditegakkan menggunakan kriteria diagnosis
neoplasma myeloproliferatif WHO tahun 2016. Diagnosis polisitemia vera dapat
ditegakkan jika memenuhi 3 kriteria mayor, atau 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria
minor.
Penatalaksanaan polisitemia vera dapat menggunakan flebotomi untuk
menjaga hematokrit < 45%, aspirin untuk menurunkan risiko kejadian thrombotik,
dan terapi sitoreduksi pada pasien yang berisiko tinggi. Splenektomi dapat dilakukan
pada pasien yang mengalami nyeri akibat splenomegali atau yang mengalami kejadian
infark limpa berulang.
3
2. Tujuan penulisan
a. Untuk mengetahui dengan jelas apa itu polisitemia
b. Untuk mengetahui dengan jelas etiologi dari polisitemia
c. Untuk mengetahui dengan jelas patofisiologi dari polisitemia
d. Untuk mengetahui dengan jelas manifestasi klinis dari polisitemia
e. Untuk mengetahui dengan jelas klasifikasi dari polisitemia
f. Untuk mengetahui dengan jelas penatalaksanaan medis pada polisitemia
g. Untuk mengetahui dengan jelas pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
h. Untuk mengetahui dengan jelas asuhan keperawatan polisitemia
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. PENGERTIAN POLISITEMIA
Polisitemia atau erythrocytosis merupakan gangguan pada darah karena tubuh
memproduksi sel darah merah terlalu banyak, akibatnya kekentalan darah
meningkat. Polisitemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan
abnormal sel darah, terutama sel darah merah, disertai peningkatan konsentrasi
hemoglobin perifer. Keadaan ini harus dibedakan dengan polisitemia relatif, di
mana terjadi peningkatan hemoglobin yang tidak disertai peningkatan jumlah sel
darah merah, misalnya karena dehidrasi dan luka bakar.
Polisitemia (eitrositosis) didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi
hemoglobin di atas normal. Polisitemia sejati terjadi bila massa sel darah merah
(red cell mass, RCM) total, yang diukur dengan dilusi sel darah merah yang
berlabel isotop, meningkat di atas normal. Polisitemia palsu/semu (pseudo/stress)
terjadi bila peningkatan konsentrasi hemoglobin disebabkan oleh pengurangan
volume plasma. (Hoffbrand V; 2014)
2. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, polisitemia dapat dibagi menjadi polisitemia vera
(primer) dan polisitemia sekunder.
a. Polisitemia Vera
Polistemia vera (primer) adalah mutasi genetic. Polisitemia vera adalah
gangguan sel punca yang ditandai dengan kelainan sumsum tulang
panhiperplastik, maligna, dan neoplastik. Pada polisitemia vera, akan
didapatkan peningkatan massa sel darah merah akibat produksi yang tidak
terkontrol. Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan produksi sel darah
putih (myeloid) dan platelet (megakariotik) akibat klon abnormal sel punca
hematopoietik.
Pada polisitemia vera (PV), peningkatan volume sel darah merah
disebabkan oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat
5
dikemukakan pada banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit
sebaik sel darah merah. (Hoffbrand V; 2014)
b. Polisitemia Sekunder
Polisitemia sekunder berkaitan dengan berbagai penyakit yang
menyebabkan hipoksia. Polisitemia sekunder adalah peningkatan jumlah sel
darah merah akibat suatu penyakit dasar. Polisitemia sekunder lebih cocok
disebut sebagai eritrositosis atau eritrositemia sekunder. Sedangkan istilah
polisitemia biasanya mengarah pada polisitemia vera. Jenis ini biasanya dipicu
oleh keadaan hipoksemia kronis, seperti pada emfisema dan penyakit jantung
bawaan sianotik, yang menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin di
ginjal.
3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi polisitemia dapat dibedakan menurut etiologi dan kadar
eritropoietin. Pada polisitemia vera (primer), kadar eritropoietin rendah.
Sedangkan pada polisitemia sekunder, kadar eritropoietin tinggi.
6
a. Polisitemia Vera
Patofisiologi polisitemia vera (primer) didasari adanya mutasi bawaan
(germline) atau mutasi somatik (yang didapat) terhadap progenitor erythroid.
Hal ini akan meningkatkan proliferasi dan akhirnya menimbulkan akumulasi
eritrosit. Pada kondisi ini, kadar eritropoietin tidak meningkat, bahkan
terkadang bisa rendah.
Contoh mutasi gen yang sudah teridentifikasi adalah mutasi gen Janus
Kinase 2 (JAK2) pada kasus polisitemia vera dan mutasi reseptor eritropoietin
(EPOR) pada kasus polisitemiafamilial dan kongenital. Mutasi tersebut akan
menyebabkanabnormalitas intracellularsignaling dan kondisi hipersensitivitas
terhadap eritropoietin pada sel progenitor erythroid, menyebabkan deregulasi
eritrositosis.
b. Polisitemia Sekunder
Patofisiologi polisitemia sekunder didasari oleh erythropoietin (Epo)-
drivenprocess. Proses tersebut dapat dipicu oleh mekanisme oxygen- sensitive
Eporesponse terhadap hipoksia jaringan atau eritropoietin patologik yang
diproduksi oleh tumor atau obat.
1) Peningkatan Kadar Eritropoietik akibat Hipoksia
Mekanisme oxygen-sensitive Eporesponse terhadap hipoksia jaringan
akan meningkatkan produksi hypoxia inducible factors (HIF) dan
pelepasan eritropoietin dari ginjal. Pada akhirnya, terjadi eritropoiesis
secara berlebihan selama kondisi hipoksia jaringan tidak diperbaiki.
Penyakit yang berhubungan dengan polisitemia sekunder antara
lain penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), hipoventilasi alveolar pada
kasus sleep apnea dan obesitas, penyakit jantung bawaan sianotik, dan
hemoglobinopati dengan afinitas oksigen tinggi. Polisitemia sekunder juga
bisa disebabkan hipoksia lokal, misalnya pada kelainan vaskular ginjal
yang menyebabkan hipoksia lokal di jaringan ginjal.
4. MANIFESTASI KLINIS
a. Polisitemia Vera
Tanda dan gejala pada polisitemia vera terbagi dalam 3 fase, yaitu :
1) Gejala awal (early symptom)
Gejala awal dari polisitemia vera minimal dan tidak selalu ditemukan
kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal
yang terjadi biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%),
8
mudah lelah(47%), gangguan daya ingat , susah bernapas (26%), darah
tinggi (72%), gangguan penglihatan (3l%), rasa panas pada tangan atau
kaki (29%), gatal (pruritus) (43%), juga terdapat perdarahan dari hidung,
lambung (stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%).
2) Gejala akhir (later symptomps) dan Komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien dengan polisitemia vera mengalami
perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab
kematian terbanyak dari polisitemia vera. Komplikasi Iain peningkatan
asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan
peningkatan resiko ulkus pepticum (10%).
3) Fase splenomegali
Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada
tase ini terjadi kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat,
kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa membesar.
9
manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan
gastrointestinal.
c) Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada polisitemia vera
tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena
atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50% kasus
polisitemia vera.
d) Basofilia (hitung basofil >65/mL).
Lima puluh persen kasus polisitemia vera datang dengan gatal
(pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi airpanas, dan
beberapa kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria suatu keadaan
yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah
sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan
lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin.
e) Splenomegali.
Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien polisitemia vera.
Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif
hemopoesis ekstra medular.
f) Hepatomegali.
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira sejumlah 40% polisitemia vera.
Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan
akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
g) Laju siklus sel yang tinggi.
Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan
splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak
dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat,
disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear
rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera.
h) Defisiensi vitamin B12, dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam
folat dan vitamin B12, hal ini dijumpai pada 30% kasus polisitemia
vera karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah,
sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12
10
(UB12 - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada >75%
kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran
dalam timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi
N.Optikus, serta psikosis.
b. Polisitemia Skunder
Manifestasi klinis polisitemia sekunder :
1. Emfisema
2. Hipertensi
3. Hipoksemia
4. Kulit sianosis kemerahan
5. KLASIFIKASI
Dikenal 2 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent) dan absolut termasuk
didalamnya polisitemia primer (vera) dan sekunder.
a. Polisitemia relatif (apparent)
Polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, dehidrasi,luka
bakar, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif karena terjadi penurunan volume
plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan.
11
b. Polisitemia Absolut
Dikatakan absolut karena terjadi peningkatan volume dan jumlah dari
sel – sel darah baik karena mutasi gen ataupun karena faktor penyakit.
c. Polisitemia primer (Vera)
Polisitemia primer dikarenakan sel benih hematopoietik mengalami
proliferasi berlebihan tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya
dengan kadar eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi
terjadi karena rangsangan eritropoietin yang adekuat. Polisitemia vera adalah
contoh polisitemia primer. Jumlah sel darah merah atau eritrosit manusia
umumnya berkisar antara 4 hingga 6 juta per mikroliter darah. Jumlah ini
yang terbanyak dibandingkan dengan sel darah lainnya. Namun, jumlah sel
darah merah bisa melebihi batas normal. Kondisi ini dikenal dengan sebutan
polisitemia vera.
d. Polisitemia sekunder
Jenis ini, proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin.
Jadi, berbanding terbalik dengan polisitemia primer. Peningkatan massa sel
darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar
eritropoietin kembali ke batas normal. Contoh polisitemia sekunder fisiologis
adalah hipoksia.
6. PENATALAKSANAAN
Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan
pasien. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang
harapan hidup pasien.Tujuan terapi yaitu:
a. Menurunkan jumlah dan memperlambat pembentukan sel
darah merah (eritrosit).
b. Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-
vena, serebrovaskular, trombosis vena dalam, infark miokard,
oklusi arteri perifer, dan infark pulmonal.
c. Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.
12
Prinsip terapi:
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal
kasus (individual) dan mengendalikan eritropoesis dengan
flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/
polisitemia yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment).
4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi
pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu
atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila
didapatkan:
a. Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama
jika disertai gejala thrombosis.
b. Leukositosis progresif,
c. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan
sitopenia problematic,
d. Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus
yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau
hiperurikosuria yang sulit diatasi.
13
Jika nilai hematokrit sudah mencapai normal, maka darah
diambil setiap beberapa bulan, sesuai dengan kebutuhan. Target
hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit
putih dan <42% pada pria kulit hitam dan perempuan.
14
a. Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu.
Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang
dibutuhkan.
b. Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua
dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan diberikan
sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
Pengobatan pendukung:
a. Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari
oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan
memperhatikan fungsi ginjal.
b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika
diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran
Ultraviolet range A (PUVA).
c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika
hidroksiurea tidak memberikan toleransi yang baik atau dalam
kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet tinggi). Anagrelid
mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum. Pasien
yang lebih tua dan pasien dengan penyakit jantung umumnya
15
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Fisik : yaitu ada tidaknya pembesaran limpa dan
penampilan kulit (eritema).
b. Pemeriksaan Darah : Jumlah sel darah ditentukan oleh complete blood
cell count (CBC), sebuah tes standar untuk mengukur konsentrasi eritrosit,
leukosit dan trombosit dalam darah. PV ditandai dengan adanya
peningkatan hematokrit, jumlah sel darah putih (terutama neutrofil), dan
jumlah platelet. Pemeriksaan darah lainnya, yaitu adanya peningkatan
kadar serum B12, peningkatan kadar asam urat dalam serum, saturasi
oksigen pada arteri, dan pengukuran kadar eritropoietin (EPO) dalam
darah.
c. Pemeriksaan Sumsum tulang : Meliputi pemeriksaan histopatologi dan
nalisis kromosom sel-sel sumsum tulang (untuk mengetahui kelainan sifat
sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang akibat mutasi dari gen Janus
kinase-2/JAK2).
16
8. ASUHAN KEPERAWATAN PADA POLISITEMIA
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.J dengan POLISITEMIA
VERA di RUANGAN INTERNE PRIA IRNA C RSUP.Dr.M.DJAMIL
PADANG
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.J RM : 01 02 79 92
Tanggal Lahir : 16 Mar Jenis : Laki-Laki
1969 /45 kelamin
Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Khatib Sulaiman No.66 Ulak Karang
Selatan
Diagnosa Medis : Polisitemia vera
Tanggal Masuk 18 Desember 2020
Tanggal Pengkajian 22 Desember 2020
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama (Alasan masuk RS) :
17
Klien masuk rumah sakit via IGD, keluarga pasien mengatakan
pasien mengalami Nyeri Kepala.
19
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Mandi √
Berpakaian / berdandan √
Toileting √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah √
Berjalan √
Menaiki tangga √
Berbelanja √
Memasak √
Pemeliharaan rumah √
20
Keluarga pasien mengatakan sejak dirumah pasien mengalami
gangguan penglihatan mata pasien kabur dan sulit
berkonsentrasi, pendengaran pengecapan dan juga sensasi. dan
semenjak dirawat di RS pasien juga tidak ada mengalami
penurunan pendenganran dan juga pengecepan.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Normal
h. Pola Peran Hubungan
Keluarga pasien mengatakan selama dirumah pasien
memilikik hubungan yang baik dengan anggota keluarganya,
orang tua, kakak dan juga adeknya. dan juga masyarakat
setempat. Selama dirumah sakit pasien juga memiliki
hubungan yang baik dengan perawat diruangan
i. Pola Seksualitas / Reproduksi
Tidak dikaji
j. Pola Koping - toleransi stress
Pola koping dan toleransi stress cukup baik karena pasien
adalah orang yang positif.
k. Pola keyakinan - Nilai
Pasien beragama islam, pada saat ditanya apakah pasien ada
berdoa memohon kesembuhan kepada Tuhan YME, pasien
menjawabnya dengan positif.
l. Pemeriksaan Fisik
Penampakan umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos Mentis
GCS : Eye : 4 Verbal : 5 Motorik : 6 Total : 15
BB : 54 kg dari 48 kg, TB : 158 cm, LILA 21,68
kg/cm lengan kanan
21
TTV : TD :130/70 mmHg,
HR : 82x/mnt ,regular, isi
cukup RR : 20 x/mnt,
Suhu : 36,2 0C,
Kepala dan leher
1) Rambut
Inspeksi : Pertumbuhan rambut merata, warna hitam beruban ,
tidak ada ketombe.
Palpasi :Benjolan tidak ada, lesi tidak ada, pembengkakan
tidak ada (edema)
2) Mata
Inspeksi :Konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
reflek cahaya (+/+), pupil kanan & kiri, d + 3mm. Simetris
kiri kanan.
Palpasi :Benjolan tidak ada, Pembengkakan (edema) tidak ada
3) Telinga
Inspeksi : Tidak ada keluar cairan dari telinga, fungsi
pendengaran baik, tidak ad tanda-tanda radang, ataupun
bekas luka, sekret(-)
Palpasi : Bejolan tidak ada, pembengkakan (edema) tidak ada
4) Hidung
Inspeksi : simetris kiri kanan, bersih, Napas cuping hidung
(-), perdarahan (-), sumbatan (-), fungsi penciuman baik
5) Mulut
Inspeksi : Hipertrofi gusi (-), pendarahan gusi (-), Lidah :
atrofi papil lidah(-), glossitis (-)
6) Leher
Inspeksi : Deviasi trakea (-), kaku kuduk (-)
Palpasi :tidak teraba Pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar tiroid, distensi vena jugoralis (-), JVP
22
5-2 cmH2O
Dada ( Thorak )
Cor
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Cordis tidak teraba
Perkusi : Batas Atas : ICS II
Batas Bawah : ICS V
Batas Kanan : PSL dekstraks ICS IV
Batas Kiri : 2 cm MCL sinistra ICS V
Auskultasi : S1.S2, Tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris, statis, dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikular (+), Ronchi (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS 5 mid clavicula
Palpasi : Ictus Cordis teraba normal di ICS 5 mid
clavicula
Perkusi : Redup di ICS 2 – 5
Auskultasi : S1 dan S2 tanpa suara tambahan, Irama jantung
teratur
Abdomen
Inspeksi : Tidak ada lesi/oedema/ascites/jaringan parut
Auskultasi : Bising usus normal Peristaltik : 10x/menit
Perkusi : Timpani diempat kuadran
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada , tidak teraba massa, hepar tidak
teraba, limfa tidak teraba.
23
Inguinal dan genetalia
Genitalia pasien tampak bersih ,Tidak terlihat ada lesi.
Genitalia bagian anus pasien terlihat bersih.
Ekstrimitas
Ekstrimitas atas : Akral teraba hangat (+), , Clubbing Finger
(-), oedem (-), reflex fisiologis normal,
Ekstrimitas bawah : Akral teraba hangat pucat (+),Clubbing
Finger (-), oedem (-) , reflex fisiologis normal, kulit kaki
pasien tampak normal.
Neurologis
(tingkat kesadaran kuantitatif/kualitatif, neurologis terkait)
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
E=4 V=5 M=6
2. Pemeriksaan Penunjang
24
25
26
Foto Toraks
1. Cor : Tampak Membesar
2. Pulmo : Tak tampak infiltrate/ nodu, corakan Bronkuvaskuler meningkat
sinus pleura kanan kiri tajam
3. Diagfragma : Kanan kiri normal
4. Tulang-tulang : Tidak tampak kelainan
5. Kesan : Cardiomegali
CT-Scan Kepala
Kesan : Lesi Hipodens di Occipital kiri suspect SOL cerebri DD/ Ischemia
Cerebri
I. Terapi Pengobatan:
Tanggal 23 Desember 2020
Terapi nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
1. Akupresur
2. terapi musik
3. biofeedback
4. terapi pijat
5. aromaterapi
6. teknik imajinasi terbimbing
7. kompres hangat/dingin
8. terapi bermain
27
DIAGNOSA KEPERAWATAN
DO :
Pasien tampak meringis dan
menekan kepala bagian
sebelah kiri.
Pasien tampak lesu dan kurang
tidur
TTV : TD : 130/70 mmHg
HR : 82x/mnt
RR : 20x/mnt
Suhu :36,2 0C
28
INTERVENSI KEPERAWATAN ( NURSING CARE PLAN ) PADA Tn. J
29
rasa nyeri (misal, TENS, hipnosis, Akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain).
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(misal, suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan)
Fasilitasi Istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
Jelaskan penyebab,periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Anjurkan teknik nofarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
30
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN PADA
Tn.J
Hari / Diagnosa Nama/
Tanggal / Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan Paraf
Jam
Rabu / Nyeri Manajemen Nyeri Rabu, 23 Desember 2020 jam 12.00
23 wib
Desember Observasi
2020 jam Monitor keberhasilan terapi Subjektif :
09.00 wib komplementer yang sudah diberikan 1. Pasien mengatakan nyeri
Monitor efek samping penggunaan dikepalanya sudah jauh
analgetik berkurang
Teraupetik
Berikan teknik nonfarmakologis Objektif :
untuk mengurangi rasa nyeri (misal, 1. Pasien tampak lebih rileks
TENS, hipnosis, Akupresur, terapi 2. Pasien tidak terlihat meringis
musik, biofeedback, terapi pijat, lagi
aromaterapi, teknik imajinasi 3. Pasien sudah dapat tertidur
terbimbing, kompres hangat/dingin, dengan jam tidur yang
terapi bermain). bertambah.
Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (misal, suhu Analisis:
31
ruangan, pencahayaan, dan Masalah keperawatan belum
kebisingan) sepenuhnya teratasi
Fasilitasi Istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri Planning:
dalam pemilihan strategi meredakan Intervensi manajemen manajemen
nyeri nyeri dilanjutkan
Edukasi
Jelaskan penyebab,periode, dan
pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
Anjurkan teknik nofarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.
32
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Polisitemia adalah suatu keadaan yang menghasilkan tingkat peningkatan
sirkulasi sel darah merah dalam aliran darah. Orang dengan polisitemia memiliki
peningkatan hematokrit, hemoglobin, atau jumlah sel darah merah di atas batas normal
melebihi 6 juta/ mm atau hemoglobinnya melebihi 18 g/dl.
Ada dua jenis utama polisitemia: polisitemia vera( primer) dan polisitemia
sekunder.
a.Polisitemia vera (yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "polisitemia benar") juga dikenal
sebagai suatu jenis polisitemia primer. Primer berarti bahwa polisitemia tidak disebabkan oleh
gangguan lain. Polisitemia Primer: Dalam polisitemia primer peningkatan sel darah merah
adalah karena masalah yang melekat dalam proses produksi sel darah merah.
b. Polisitemia sekunder: polisitemia sekunder umumnya terjadi sebagai respon terhadap faktor-
faktor lain atau kondisi yang mendasarinya atau gangguan, seperti tumor hati, tumor ginjal atau
sindroma Cushing.
Adapun perjalanan klinis polisitemia yaitu :
e. Fase eritrositik atau fase polisitemia : Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini
didapatkan peningkatan jumlah eritrosit yang dapat bertanggung jawab 5-25 tahun. Pada
fase ini dibutuhkan flebotomi secara teratur untuk menggendalikan viskositas darah
dalam batasan normaL.
f. Fase brun out (terbakar habis) atau spent out (terpakai habis ) : Dalam fase ini kebutuhan
flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki priode panjang yang tampaknya
seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi trombositosis dan leokositosis
biasanya menetap.
g. Fase mielofibrotik : Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis
dan perjalanan klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieliod.
Kadang- kadang terjadi metaplasia mieloid pada limpa, hati, kelenjar getah bening dan
ginjal.
h. Fase terminal : Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan
oleh komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi pada
33
kurang dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien yang diobati
berkisar anatara 8 dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan hanya 18 bulan. Dibandingkan dengan pengobatan flibotomi saja, resiko
terjadinya leukemia akut meningkat 5 kali jika pasien diberi pengobatan fosfor P32 dan
13 kali jika pasien mendapatkan obat sitostatik seperti klorambusil.
3.2 SARAN
Disarankan kepada penderita polisitemia sekunder untuk menghindari faktor
pencetus dan resiko yang bisa mengakibatkan penyakit bertambah parah. Seperti :
perilaku, gaya hidup, seperti merokok, tinggal di tempat yang tinggi.
34
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson, E. 2006. Nursing Outcomes Classification.
United States of America : Mosby
John Wiley & Sons. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2015-2017.
UK Wiley Blackwell.
Sue Moorhead et al . 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) : Measurement of
Health Outcomes. St Louis, Missouri. Mosby.
Gloria M. Bulechek et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). St Louis,
Missouri. Mosby
https://www.uptodate.com.concents/diagnostic-approach-to-thepattients-with-
polycythemia1
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/artice/vies/349
http://simdos.unud.ac.id/uploads/file-penelitian-1.pdf
35