Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AL-HADIST
Dosen pengampu :
Nurmaidah M.Pd.I

Disusun oleh :
Nama Nim
Sibarani Zahra Hanifa : 210101205
Gilang Prayoga : 210101199

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Tahun ajaran 2021/2022
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... 1


Daftar Isi ................................................................................................................................ 2
Bab I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3
A. latar Belakang ............................................................................................................ 3
B.Rumusan masalah ....................................................................................................... 3

Bab II PEMBAHASAN ................................................................................................. 5


A.Setiap Muslim Adalah Pemimpin .............................................................................. 5
B.Pemimpin Pelayan Masyarakat ................................................................................. 5
C.Batasan Taat Kepada Pemimpin ............................................................................... 6
D.Hukuman Bagi Pemimpin Yang Menipu Rakyat .................................................... 8
E.Hadist Tentang Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin ...................................... 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 10


A.Keimpulan................................................................................................................... 10
B.Saran............................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

\Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah membimbing
manusia melalui petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam Al-qur’an dan sunnah,
petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhoi-Nya. Syukur Alhamdulillah kami
dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami susun dengan tema
filsafat yunani
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi agung
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabiin, dan kita semua sebagai umat yang taat dan turut
terhadap risalah yang dibawanya sampai di hari kiamat.Selanjutnya saya ucapkan banyak terima
kasih kepada ibu Nurmaidah M.Pd.I. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Al-Hadist , yang telah
membimbing kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna.Oleh sebab itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya.Terlepas dari kekurangan
makalah ini, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para
pembaca pada umumnya.Aamiin.
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan
segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada
tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-
kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna
keselamatan orang yang diantarkannya.[1][1]
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang
diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh
kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di
sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin
yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi
mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi
mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau
suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal
semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang
terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap
rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha
menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab
dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa saja yang disebut sebagai pemimpin?


2. Apa pengertian dari pemimpin?
3. Apa saja tanggung jawab seorang pemimpin?
4. Apa saja batasan taat kepada pemimpin?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin


‫ كللكم راع فمسؤل عن رعيته فاالمير الذي على‬:‫ ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬.‫حديث عبد هللا بن عمر رضي هللا عنهما‬
‫ والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة‬.‫ والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم‬.‫الناس راع وهو مسؤل عنهم‬
‫ اال فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته‬،‫ والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه‬.‫عنهم‬
) ‫( اخرجه البخارى‬
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang
mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang
rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang
wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal
mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta
pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan
semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.[2][2]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri
dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan
tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya
hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu
yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang
memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil
kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah
suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[3][3]

B. Pemimpin Pelayan Masyarakat


‫ انى محدئك‬:‫ فقال له معقل‬،‫ ان عبيد هللا بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه‬،‫حديث معقل بن يسار عن الحسن‬
‫ ما من عبد استرعاه هللا وعية فلم يحطلها بنصيحة اال لم يجد رائحة‬:‫هديئا سمعته من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬
‫( اخرجه البخارى ) الجنة‬

Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil
bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar
dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi
tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan
petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[4][4]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada
rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan
orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang
pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah ta’ala:

Artinya: “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang
yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah
walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap
merendahkan diri.[5][5]
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan bahw ketika turun
ayat َ‫ع ِشي َْرتَكَ االَ ْك َربِيْن‬
َ ‫ َواَ ْنذ ِْر‬, yaitu ayat sebelum ayat 215. Rasulullah saw memulai dakwahnya kepada
keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga
Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum
mu’minin lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).[6][6]
Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam
kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat dalam biang
tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-
hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin
itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi
mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.[7][7]

C. Batasan Taat Kepada Pemimpin


،‫ السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب فكره‬:‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬،‫حديث عبد هللا بن عمر رضى هللا عنهما‬
‫ فإذا امر بمعصية فال سمع والطاعة‬،‫ما لم يؤمن بمعصية‬
) ‫( اخرجه البخارى‬

Artinya: “hadits Abdullah ibnu umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda: mendengarkan dan
mentaati merupakan kewajiban seorang muslim mengenai hal-hal yang ia sukai dan ia benci,
sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka. Maka jika diperintah berbuat durhaka, maka
tidak lah boleh mendengarkan dan tidaklah boleh mengikutinya.[8][8]
Sabda Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban. Maka
wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan menaati
pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan
dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu
bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.[9][9]
‫ بعث النبي صلى هللا عليه وسلم سرية وامر عليهم رجال من االنصار وامرهم ان يطيعوهفغضب‬:‫حديث علي رضي هللا عنه قال‬
‫ عزمت عليكم لما جمعتم حطبا واوقدتم نارا‬:‫ قال‬،‫ بلى‬:‫ اليس قد امر النبي صلى هللا عليه وسلم ان تطيعونى؟ قالوا‬:‫ وقال‬،‫عليهم‬
‫ انما تبغنا النبي صلى هللا عليه‬:‫ قال بعضهم‬،‫ فلما هموا بالخل فقام ينظر بعضهم الى بعص‬.‫ فأوقدوا‬.‫ثم دخلتم فيها فجمعوا حطبا‬
‫ لو دخلوها‬:‫ قال‬،‫ فذكر النبي صلى هللا عليه وسلم‬.‫ فسكن غضبه‬، ‫وسلم فرارا من النار افندخلها؟ فبينماهم كذالك اذ خمدت النار‬
‫ انما الطاعة فى المعروف‬،‫ما خرجوا منها ابدا‬
Artinya:
Hadits Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara dan mengangkat seorang laki-
laki dari golongan anshar untuk menjadi komanan pasukan itu. Dan Nabi memerintahkan pasukan
itu agar menaatinya lalu komandan pasukan itu memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan
Nabi saw sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka menjawab “ya, benar”. Ia
berkata: “saya bermaksud agar kalian mengumpulkan kayu bakar, dan kamu nyalakan api lalu
kamu sekalian masuk kedalamnya.” Maka mereka mengumpulkan kayu bakar, lalu mereka
menyalakannya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat
kepada sebagian yang lain. Sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya kami mengikuti Nabi
saw. agar terlepas dari api maka mengapakah kita akan memasukinya?” ketika mereka dalam
keadaan demikian tiba-tiba api pun padam dan kemarahan komandan pun hilang. Lalu kasus
tersebut disampaikan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “seandainya mereka masuk ke
dalam api itu, pastilah mereka tidak akan keluar dari padanya untuk selamanya, sesungguhnya
kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik.[10][10]
Firman Allah SWT:
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa: 59)
Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud
kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan
turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara
taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun
memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan
Rasulnya.[11][11]
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
2. Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka
apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati)
maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT
3. Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I,
di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang
berdosa, dan penguasa berhak ember hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang
sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.[12][12]
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang
diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat.
Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’,
maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu.[13][13]

D. Hukuman Bagi Pemimpin Yang Menipu Rakyat

Artinya: Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih
menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)

Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran,
kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh
dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran
orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan
baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada
pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu
pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan
ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak
sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga
terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka
kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus
memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan
ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan
pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai
hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak
menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk sorga” ini
mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu
rakayat.

E. Hadits Tentang Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin


‫ فانك ان اوتيتها من غير‬،‫ يا عبد الرحمن بن سمرة! التسأل االمارة‬:‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫حديث عبد الرحمن بن سمرة‬
‫مسألة وكلت اليها وان اوتيتها من غير مسألةاعيت عليها‬
‫ اليؤاخذه هللا باللفوى فى ايمانك‬:‫ باب قول هللا تعالى‬-1 :‫ كتاب االيمان والنذور‬83 ‫ اخرجه البخارى فى‬-
Artinya: “Abdurahman bin Samurah, ia berkata: Nabi saw bersabda: “wahai Abdurrahman bin
Samurah! Janganlah kamu meminta diangkat menjadi penguasa. Karena, jika kamu diberi
kekuasaan lantaran permintaan, niscaya engkau dibiarkan (yakni tidak diberi pertolongan).
Namun, jika kamu diberi kekuasaan bukan karena permintaan, niscaya kamu diberi pertolongan
untuk melaksanakannya.”
Al-imarah maksudnya ialah menjadi pemimpin atas manusia atau menduduki posisi diatas mereka,
baik besar maupun kecil.
Adapun pemimpin yang besar adalah yang menguasai perkara-perkara orang muslim secara
umum. Sedangkan kepemimpinan secara khusus, seperti pemimpin pada sebuah sector di daerah-
daerah yang mencakup pemerintahan yang lebih khusus.
Sebagaimana dengan hadits diatas, seseorang dilarang meminta jabatan atau kedudukan, karena
seolah-olah meminta jabatan agar berkehidupan bagus, dan ia tidak memiliki bagian di akhirat
nanti. Oleh karena itu meminta jabatan dilarang.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
- Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya.
- Meminta diangkat menjadi amir atau pemimpin dan berupaya untuk memperoleh pangkat itu
makruh.
- Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1) Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati
2) Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3) Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat perintah atau larangan
syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang
berdosa.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
baik di segi pembahasannya maupun susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan
kepada pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lu’lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridha. 1993.

Al-Utsaimin, Syekh Muhammad Bin Shaleh. Syarah Riyadhus Shalihin. Jakarta Timur:
Darussanah Press. 2009.

Shaleh, K.H.Q, Dkk. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Ayat Al-Qur’an).
Bandung: CV Diponegoro. 1982.

Ad-Damsyiki, Ibnu Hamzah Alhusaini. Asbabul Wurud. Kalam Mulia.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Mutiara Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
2003.

Muddasir. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Bandung: CV Diponegoro. 1980.

Munawwar, Said Agil Husin. Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio Historis
Kontekstual). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.

Anda mungkin juga menyukai