Anda di halaman 1dari 24

Silvano Jovan

240210180093
Kelompok 9

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Komoditas kopi, teh, dan kakao merupakan komoditas yang banyak ditemukan
di Indonesia. Komoditas ini memiliki cara pengolahan yang berbeda- beda. Kopi dan
kakao diolah dari biji tanamannya, sedangkan teh diolah dari daun tanammannya. Dari
hasil olahan ini bisa dihasilkan berbagai produk yang memiliki karakteristik berbeda.
Hasil olahan komoditas ini bisa dimanfaatkan sebagai penyegar ataupun campuran
bahan untuk membuat produk lain. Bahan penyegar adalah semua bahan nabati yang
dapat merangsang pemakainya karena memiliki kandungan golongan alkaloid
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Perbedaan senyawa pada tiap komoditas membuat
pembahasan ketiga komoditas ini berbeda pula karena cara penanganan yang berbeda
pula. Penanganan pascapanen yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya kehilangan
hasil, baik bobot maupun kualitas produk yang dihasilkan, terutama untuk panen musim
hujan (Firmansyah et al., 2007). Berikut adalah pembahasan dari kopi, teh, dan kakao.
4.1 Kakao
Kakao adalah komoditas yang ada di Indonesia. Pada umumnya, kakao dapat
dibagi menjadi tuga varietas, yaitu criollo, forastero, dan trinitario. Bagian vegetatif
kakao meliputi akar, batang, dan daun sedangkan bagian generatif meliputi bunga dan
buah (Wood, 1975). Dari pemanenan kakao, dilakukan pengolahan pada kakao agar
dapat dikonsumsi. Pengolahan kakao dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Pengolahan primer adalah pegolahan mulai dari sortasi buah sampai menjadi biji kakao
yang siap diolah. Pengolahan sekunder adalah pengolahan biji kakao menjadi produk
turunannya contohnya pasta kakao, bubuk kakao, lemak kakao, cocoa butter, dan lain-
lain. Pengolahan ini dilakukan untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan harga
jual. Selain itu, produk turunan ini bisa juga dibuat menjadi pencampur produk lain
untuk pelengkap. Contoh hal ini adalah penggunan lemak kakao untuk pembuatan
permen, sabun, dan peralatan kosmetik (Septiani, 2013)
4.1.1 Proses Pengolahan Biji Kakao
Buah kakao yang masih muda akan berwarna hijau dan berubah warna menjadi
kuning ketika sudah matang. Tekstur kulit kakao keras sesuai dengan buah kakao pada
umumnya (Wood, 1975). Syarat mutu biji kakao yang baik yaitu berwarna coklat rata
dan cerah, aroma khas kakao, bentuk bulat atau lonjong (BSN, 2000). Buah kakao dapat
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

dipanen jika sudah terjadi perubahan warna kulit yang menunjukan buah akan menjadi
matang (Septiani, 2013). Karakteristik kakao yang baik peru diperhatikan seblum
dipanen karena pemanenan yang terlalu tua dapat menurunkan rendemen lemak, dan
menambah kecacatan pada buah, tetapi kematangan yang terlalu rendah dapat membuat
cita rasa kakao kurang maksimal. Pemanenan buah kakao umumnya bisa dilakukan
setiap 2 sampai 3 minggu (Wahyudi, 2003).
Pada pemanenan buah kakao, perlu diperhatikan tekniknya. Dalam pemotongan
buah harus dilakukan dengan benar yaitu menyediakan tangkai dengan Panjang sekitar
1- 1,5 cm tanaman. Hal ini dilakukan agar tanaman yang sudah dipanen bisa digunakan
lagi untuk penanaman kakao selanjutnya. Pemotongan juga harus dilakukan dengan alat
yang benar seperti golok, sabit yang digunakan orang yang terlatih. Buah yang sudah
potong ini kemudian dikumpulkan dan di sortasi untuk pengolahan kakao menjadi
produk yang memiliki nilai tambah lagi (Septinani, 2013). Sortasi dilakukan untuk
memastikan tidak ada kotoran dari lingkungan dan kecacatan pada buah agar tidak
masuk ke pengolahan selanjutnya.
Titik kritis pada tahap ini yaitu kematangan buah, buah bisa kelewat masak atau
buah dipanen terlalu muda. Hal ini dapat diidentifikas dengan pengawasan jika ketika
mentah berwarna hijau akan berubah menjadi kuning, sedangkan ketika mentah
berwarna merah akan berubah menjadi jingga. Jika buah yang masak banyak panen
dapat dilakukan setiap minggu, jika tidak terlalu banyak setiap 2 minggu sekali
(Munarso dan Miskiyah, 2014). Sanitasi saat melakukan pemanenan juga menjadi titik
kritis karena berdampak besar pada hasil akhir produk.
Karakteristik biji kakao yang baik sangat perlu diperhatikan dalam pemilihan
dan sortasi buah yang digunakan untuk pengolahan. Biji kakao merupakan bagian
terpenting dari kakao karena akan diolah menjadi produk seperti coklat. Parameter
penting dari biji kakao adalah kadar air, berat biji, dan kadar air kulit yang
mempengaruhi proses pengolahan (Tjitrosoepomo, 1988). Batas maksimal kadar air
pada biji kakao sebesar 7,5%, apabila melebihi standar tersebut maka yang turun bukan
hanya hasil rendemennya saja, melainkan juga beresiko terserang bakteri dan jamur
(Wahyudi dkk., 2008), sehingga karakteristik mikrobiologis juga perlu dilakukan untuk
memastikan keamanan biji untuk dikonsumsi. Berat biji secara umumnya memilii berat
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

sekitar 0,420 kg, dan setelah di sortasi berat bisa berkurang sampai kira- kira 0,372 kg.
Pengurangan ini disebabkan banyak kotoran yang dibuang karena tidak diperlukan
dalam pengolahan dan merugikan bagi kesehatan. Menurut SNI 01-2323-2008, Syarat
lain dari biji yang baik yaitu biji kakao tidak berbau asap, tak normal dan atau berbau
asing, kadar biji pecah dan atau pecahan kulit (b/b) maksimal 3%, keasaman biji > 5,0,
kadar lemak >55%, flavor kuat, dan kadar asam lemak bebas < 1,3. Kulit dan lembaga
merupakan komponen biji yang sulit dihaluskan, karena itu perlu dipisahkan dari biji
(Yusianto et al., 1998).
Dalam dunia perdagangan kakao, biji kakao dapat dibedakan menjadi 3 kelas.
Mutu I berarti tingkat jamur, fermentasi, kontaminan dan serangga dan biji yang
berkecambah paling sedikit dibandingan dengan mutu 2 dan 3. Begitu juga dengan mutu
2 yang menunjukan hasil kecacatan diatas yang lebih sedikit dibandingan dengan kakao
mutu 3.
Pentingnya proses pengolahan buah kakao yaitu menentukan mutu produk akhir
kakao, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon cita rasa khas kakao dan
pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan sepat (Wahyudi
dkk.2008). Mutu biji dan produk kakao ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan
prosesnya, seperti tempat dan kondisi lingkungan selama pengolahan.
Tahapan pengolahan kakao yaitu dari panen sampai pengeringan. Setelah buah
kakao dipanen dan biji dipisahkan, selanjutnya dilakukan tahap pasca panen yang terdiri
dari pemeraman buah, fermentasi, perendaman, pengeringan, sortasi biji, pengemasan,
dan penyimpanan biji
Pengolahan dilakukan dengan pemisahan kulit buah dan biji kakao dengan alat
berbahan logam (Wahyudi, 2003). Hasil dari pemisahan ini berupa pulp dan biji akan
dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu fermentasi. Proses fermentasi dilakukan dengan
cara memeram biji kakao pada kotak fermentasi selama 5 -7 hari. Fermentasi pada biji
kakao terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah proses anaerobik yang mengubah
gula menjadi alkohol selama 24 – 36 jam pertama pada pH dibawah 4. Tahap kedua
adalah proses Lactobacillus lactic mengubah gula dan sebagian asam organik menjadi
asam laktat. Tahap ketiga adalah proses bakteri asam laktat mengubah alkohol menjadi
asam asetat. Proses ini mengakibatan reaksi eksoterm sehingga terjadi peningkatan suhu
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

hingga mencapai 50°C. Proses fermentasi dapat membentuk senyawa yang memberi
warna, aroma, dan rasa pada kakao (Schwan dan Wheals, 2004). Dengan fermentasi,
rasa pahit dari kakao bisa berkurang, selain itu proses ini juga akan mempermudah
proses selanjutnya yaitu pengeringan biji kakao. Biji-biji yang difermentasi secara baik
memiliki karakteristik warna coklat gelap pada keseragaman warna sekitar 80% kulit
luar biji dan terbentuknya pori-pori kecil di dalam biji. Apabila fermentasi gagal warna
biji sebagian besar ungu dan tidak ada pori-pori di dalam biji (Septiani, 2013). Batas
kritis dalam proses ini adalah proses fermentasi yang tidak sempurna. Untuk menjaga
hal ini tidak terjadi, digunakan wadah yang bersih seperti kotak, karung goni, dan
dilakukan prosedur fermentasi yang sesuai (Munarso dan Miskiyah, 2014).
Untuk pengendalian jamur dan mikroba yang beracun perlu dilakukan
pengeringan biji. Pengeringan menjadi batas kristis yang perlu diperhatikan.
Pengeringan biji kakao dilakukan dibawah suhu 60oC menggunakan mesin pengering
pada industri atau penjemuran dengan cara tradisional. Pengeringan dilakukan selama
18- 24 jam jika menggunakan mesin pengering . Biji kakao yang dikeringkan akan
mengasilkan kadar air sekitar 6%-7%. Pengeringan perlu dilakukan dengan benar.
Pengeringan yang terlalu cepat atau terlalu lama akan menghasilkan kakao yang
memiliki aroma asam dan kadar asam nya tinggi. Biji kakao yang sudah dikeringkan ini
siap untuk diolah menjadi berbagai produk turunan seperti coklat bubuk, coklat batang,
lemak kakao, dan lain- lain.
4.1.2 Proses Pengolahan Sekunder
Proses pengolahan sekunder adalah pengolahan biji kakao yang sudah diolah
secara primer dan dibuat menjadi bahan turunan lewat berbagai proses pengolahan yaitu
penyangraian, pemisahan kulit, pemastaan dan pengempaan.
Salah satu pengolahan kakao adalah coklat bubuk. Coklat bubuk terbuat dari
ampas biji coklat yang dipisahkan lemak coklatnya. Hasil pemisahan ini dikeringkan
lagi dan digiling sampai terbentuk tepung coklat. Penggilingan dilakukan supaya ukuran
dari bubuk seragam. Produk ini memiliki warna coklat. Meskipun waranya sama- sama
coklat, bubuk coklat dibagi menjadi dua yaitu natural cocoa powder yang memiliki
warna coklat lebih terang dan dutch cocoa powder yang memiliki warna coklat yang
lebih gelap. Bubuk coklat hanya mengandung sedikit lemak, dan rasanya pahit (Vogt et
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

al., 1944). Sedikit kandungan lemak yang tersisa di dalam bubuk memiliki sifat yang
mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat dihaluskan. Pada suhu yang lebih rendah
dari 34C, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk mudah menggumpal dan
membentuk bongkahan (lump) (Mulato dkk., 2005). Komponen senyawa bioaktif dalam
bubuk kakao adalah senyawa polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan
polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi dibandingkan dalam anggur maupun teh.
Kelompok senyawa polifenol yang banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid yaitu
senyawa yang mengandung 15 atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzene yang
dihubungkan oleh rantai karbon (Wahyudi et al. 2008).
Coklat batang adalah produk turunan kakao yang berasal dari pasta cokelat.
Biasanya kandungan pasta pada coklat batang lebih dari 60%. Rasa dasar dari cokelat
batang ini adalah pahit. Namun dalam industry biasa diberikan penambahan pemanis
seperti gula untuk menambah cita rasa dari coklat batang. Salah satu contoh coklat
batangan adalah dark chocolate. Dark chocolate ini mengandung flavonoid yang
berfungsi sebagai antioksidan sehingga konsumsi dalam batas wajar dapat memberi
manfaat bagi kesehatan. Selain itu, coklat yang dimatan dalam batas wajar juga bisa
menurunkan tekanan darah (Susanti, 2012). Dark chocolate compound memiliki aroma
khas cokelat yang cukup menyengat dan warna coklat tua dengan rasa yang manis dan
terdapat aftertaste pahit. Tekstur dark chocolate compound ini paling keras dibanding
cokelat compound yang lain. Sesuai dengan literatur menurut Napitupulu (2012), dark
chocolate compound yaitu cokelat batangan yang berwarna pekat, rasa cokelatnya lebih
terasa dan tidak mengandung susu. Berdasarkan kemasan, komposisi dark chocolate
compound antara lain gula, lemak nabati, bubuk kakao, pengemulsi lesitin kedelai, dan
perisa identik alami vanili. Dark chocolate terdiri dari sejumlah campuran cokelat padat
atau cairnya, tambahan cocoa butter, gula, dan vanilla yang dicampur dengan
menggunakan proses conched dan tempered (didinginkan pada kondisi tertentu) untuk
menjaga agar gula dan lemak terkristalisasi dalam bentuk yang paling stabil.
Pembuatan coklat batang yaitu dimulai dari pencampuran, penghalusanm
tempering dan pencetakan (Septiani, 2013). Pencampuran dilakukan dengan mengadung
pasta coklat dengan lemak coklat, susu, dan bahan tambahan lainnya menggunakan
mixer. Adonan yang sudah jadi ini kemudian dihasulkan menggunakan alat refiner yaitu
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

alat untuk menghaluskan adonan coklat tipe roll. Coklat dihasulkan agar teksturnya
enak Ketika dimakan. Ukuran partikel coklat batangan ini < 20 mµ (Adinata, 2015).
Tahap selanjutnya adalah tempering. Tempering adalah penyimpanan adonan di
lingkungan yang mendukung tekstur coklat batangan sampai baik. Umumnya, coklat
ditempatkan pada suhu 48˚C selama 10- 12 menit. Lalu suhu diturunkan secara berthap
menjadi 33˚C, lalu 26˚C. Perubahan kondisi penyimpanan ini bisa membentuk produk
yang stabil sehingga lebih kuat terhadap berbagai perlakuan. Tahap setelah itu, adalah
tahap pencetakan. Di tahap ini, bentuk dan ukuran coklat ditentukan dan hasil
pencetakan ini langsung dikemas agar lebih tahan lama. Kemasan yang digunakan juga
adalah kemasan yang bisa melindungi coklat dari kotoran luar, dan kelembapan udara.
Dalam pembuatan coklat batangan, ada juga tahap penyangraian. Penyangraian
dilakukan untuk membentuk aroma dan rasa yang khas dari coklat. Selama
penyangraian, akan terjadi reaksi Maillard yang juga berpengaruh pada warna karena
bisa menimbulkan warna coklat (Ruku, 2008)
Suhu 10-12℃ dengan kelembaban 55-65% adalah kondisi ruang penyimpanan
coklat yang ideal hal ini. Penyimpanan yang kurang ideal bisa menimbulkan kecacatan
pada produk, contohnya seperti pembentukan spot gula karena adanya penumpukan uap
air. (Ruku, 2008).
Menurut Hudayah (1985), cocoa butter memiliki warna kuning terang. Cocoa
butter merupakan hasil pengepresan cocoa nib menjadi lemak padat dengan titik leleh
32-35°C. Cocoa butter memiliki tekstur keras dan mudah patah di suhu ruang namun
ketika dimakan akan timbul tekstur creamy yang lembut (Hayati, 2014). Pengepresan
nib kakao betujuan untuk memisahkan lemak dari pecahan nib kakao. Lemak kakao ini
terdikir dari lemak tidak jenuh, dan berbagai asam lemak. Lemak kakao ini mempunyai
sifat antioksidan yang bisa mencegah ketenginan dan baik untuk kesehatan Ketika
dikonsumsi. Lemak kakao juga bisa disimpan dalam waktu yang lama jika dilakukan
penyimpanan yang benar. Menurut video praktikum, lemak kakao dapat disimpan
hingga 5 tahun. Lemak kakao ini biasa bisa digunakan dalam penambahan di produk
pangan lain. Hal ini dikarenakan lemak kakao memiliki sifat pengental sehingga bisa
memperbaikiki tekstur produk pangan.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Prosedur lengkap pembuatan lemak coklat yaitu dimulai dari proses


penyangraian, pengupasan kulit, pemastaan, dan pengempaan. Penyangraian produk
dilakukan dengan api medium selama 20 menit. Hasil penyangraian ini kemudian
dikupas kulitnya sehingga hanya didapatkan biiji kakao yang digunakan untuk
pengolahan selanjutnya. Pengupasan bisa dilakukan dengan pisau atau golok ataupun
mesin pengupas pada skala industry. Setelah itu, dilakukan pemastaan yang dilakukan
dengan grinder. Penggunaan grinder dilakukan agar ukuran sampel menjadi kecil dan
seragam. Sebelum di grinder dipastikan dulu produk sudah dalam keadaan dingin.
Proses selanjutnya dalam pemastaan adalah memanaskan bubuk dalam air mendidih,
dan diaduk selama 2 jam. Dari hasil pengadukan ini minyak pada sampel akan terpisah
dan mengumpul di bagian atas adonan. Minyak ini kemudian diambil dan dimasak
sampai kadar airnya benar- benar 0. Setelah itu dilakukan penyempaan. Pada proses
pengempaaan, lemak colat di saring untuk memisahkan kotoran yang tidak diinginkan.
Produk yang sudah selesai diolah kemudian dikemas pada kemasan yang kuat dan
disimpan di tempat yang cocok. Penyimpanan lemak coklat lebih baik ditempatkan pada
lingkungan yang dingin untuk memperpanjang umur simpan produk.
Perbedaan lemak kakao dan coklat batangan dapat dilihat dari banyak sisi.
Pertama, kandungan yang dominan adalah kandungan lemaknya berasal dari lemak biji
kakao sedangkan pada cokelat batang mengandung kandungan cokelat yang yang tinggi
yaitu didapatkan dari pasta cokelat minimal 60% dari total produk. Cokelat batang
mengandung banyak senyawa flavonoid yang berguna sebagai antioksidan yang
bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Pada lemak coklat fungsi utama adalah sebagai
pengental pada produk- produk lain sehingga bisa memperbaiki tekstur produk pangan
yang dicampurkan

4.2 Kopi
Kopi adalah salah satu komoditas Indonesia yang bisa diolah menjadi minuman
penyegar berkasiat dan berenergi. Tingkat konsumsi kopi di Indonesia sebesar 500
gram/kapita/tahun berdasarkan hasil survey LPEM UI (Lembaga Penelitian Ekonomi
Manajemen Universitas Indonesia, 1989). Dengan begitu dalam kurun waktu 20 tahun
konsumsi kopi akan mengalami peningkatan hingga mencapai 300 gram/kapita/tahun
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

(Ningtyas dan Trilaksana, 2014).Bagian tanaman kopi yang diambil untuk diolah adalah
bijinya. Kopi banyak jenisnya seperti kopi robusta, arabika, dan lain- lain. Masing-
masing varietas memiliki karakteristik yang berbeda- beda. Komposisi kimia biji kopi
berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat tumbuh dan pengolahan kopi
(Ridwansyah, 2003).
4.2.1 Pengolahan primer kopi
Menurut Harjosuwito dan Hermansyah (1985), untuk menghasilkan kopi yang
baik dan diminati masyarakat, proses pengolahan kopi harus diperhatikan dengan baik.
Prinsip pembuatan kopi instan adalah menggunakan proses pemekatan seduhan
(ekstrak) kopi yang selanjutnya dikeringkan (Gafar, 2018). Pada dasarnya, kopi bisa
diolah menggunakan dua metode yaitu metode basah dan metode kering (Bonita et al,
2007). Perbedaan kedua metode ini adalah penggunaan air. Perbedaan ini juga
menyebabkan perbedaan kualitas hasil produk akhir kopi.
Pada pengolahan kopi, langkah pertama adalah pemanenan kopi, lalu di sortasi
untuk memisahkan kopi dari kotoran- kotoran dari lingkungan, dan menghindari
penggunaan kopi yang sudah rusak. Kopi yang sudah di panen dan disortasi ini lalu
diolah. Buah kopi kemudian ditirskan dan dimasukan ke mesin pulper, yaitu alat untuk
mengupas kulit buah paling luar biji kopi. Selama proses pengupasan, air terus
diberikan agar jaringan kulit kopi menjadi lunas dan lebih mudah terlepas. Pada
pengolahan basah, digunakan air untuk merendam dan mencuci buah kopi, lalu kopi
dikeringkan. Pada proses perendaman ini, terjadi proses fermentasi yang befungsi untuk
memudahkan pelepasan daging buah berlendir yang menyelimuti biji kopi, selain itu
dihasilkan juga senyawa precursor yang akan membentuk citarasa khas kopi. Cara lain
untuk melakukan fermentasi adalah penimbunan kopi dalam bak semen atau kayu yang
ditutup karung goni sambal dibasahi air. Pada video praktikum, fermentasi dilakukan
dengan perendaman selama 36 jam. Setiap 10 jam sekali, dilakukan pembilasan dan
penggantian air perendaman agar air yang digunakan tetap bersih.
Hasil fermentasi adalah gabah basah. Gabah ini dikeringkan dengan cara
dijemur selama 3-6 jam di bawah panas matahari ataupun menggunakan mesin
pengering. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji kopi
yang semula 60-65% menjadi sekitar 20%. Pengeringan dilakukan untuk memudahkan
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

proses pengolahan selanjutnya. Penjemuran dengan matahari dilakukan dengan


menebarkan kopi secara merata sekitar 2-3 cm lapisan biji. Lalu kopi dijemur sambal
dilakukan pembalikan setiap jamnya agar pengeringan dilakukan dengan merata. Rata-
rata pengeringan dilakukan selama 7-10 hari (Asni, 2015).
Setelah proses ini, kopi dimasukan ke mesin huller yang berfungsi untuk
memisahkan kulit gabah dengan biji kopi. Hasil produk ini kemudian dibersihkan dan
dijemur dan dikeringkan lagi. Pengeringan kali ini dilakukan untuk mengurangi kadar
air biji kopi menjadi sekitar 11%. Kadar air yang sedikit ini dapat memperpanjang umur
simpan kopi. Penjemuran dilakukan selama 2-5 hari (Asni, 2005). Pada video
praktikum, penjemuran dilakukan selama 5 hari. Opsi lain adalah menggunakan mesin
pengering yang bisa mengeringkan biji kopi mencapai kadar air 11% dengan 8-12 jam
saja. Biji kopi yang sudah jadi ini kemudian disimpan dengan pengemasan yang baik
dan kondisi lingkungan yang mendukung agar tidap terjadi kerusakan.
Pada proses pengolahan kering, pengolahan yang dilakukan lebih sederhana
sehingga banyak dilakukan oleh petani. Pengolahan dilakukan pada buah kopi yang
sudah di sortasi. Setelah itu kopi dijemur selama 2 minggu dan menurunkan kadar air
mencapai 15%. Biji kopi dan kulit tanduk ini setelah dipisahkan melewati proses
pengeringan (biji kopi sudah kering). Setelah itu dilakukan pengeringan lanjutan sampai
kadar air kopi mencapai 12%. Kadar kopi 12% ini dianggap sebagai kadar yang ideal
untuk kopi karena mikroba berbahaya tidak sulit untuk tumbuh. Jika kadar air kopi
dibawah 12% maka biji kopi akan mudah menyerap air dari lingkungan yang bisa
mengganggu komposisi senyawa pada biji kopi. Biji kopi yang baik diilih lalu dikemas
dan disimpan dengan benar agar tidak ada kerusakan pada biji kopi. Hasil biji kopi
menggunakan pengolahan kering memiliki kualitas yang lebih buruk dibandingkan kopi
yang diolah dengan pengolahan basah.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Gambar 1. Proses pengolahan kering (kiri), dan pengolahan basah (kanan) pada
biji kopi
Kriteria penilaian mutu fisik biji kopi menggunakan standar SNI 01 2907-2008.
Pengamatan ukuran kopi biji berdasarkan ketentuan SNI 01-2907-2008 diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu ukuran besar (large), ukuran sedang (medium) dan ukuran
kecil (small). Suatu jenis kopi dapat dibedakan dengan melihat bentuk bijinya.
4.2.2 Pengolahan Sekunder Kopi
Hasil pengolahan primer yang menghasilkan biji kopi bisa diolah lagi untuk
menjadi produk turunannya. Pengolahan yang bisa dilakukan adalah membuatnya
menjadi kopi bubuk. Pembuatan kopi bubuk dilakukan dengan 3 tahapan yaitu
penyangraian (roasting), penggilingan (grinding), dan pengemasan. Proses
pembuatannya mula- mula biji kopi mentah disaring ke dalam oven besar dan
dipanggang dengan suhu 200ºC atau proses roasting. Saat dipanggang warna khas kopi
keluar. Aroma yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses penyangraian dimana
kandungan senyawa volatile atau aromatik keluar disebabkan kontak dengan suhu
tinggi. Menurut Mulato (2002), biji kopi secara alami mengandung berbagai jenis
senyawa volatil seperti aldehida, furfural, keton, alkohol, ester, asam format, dan asam
asetat yang mempunyai sifat mudah menguapSetelah itu kopi digiling. Pada tahap
penggilingan akan terjadi penghalusan partikel kopi sehingga dihasilkan kopi coarse
(bubuk kasar), medium (bubuk sedang), fine (bubuk halus), dan very fine (bubuk amat
halus). Pilihan kasar halusnya bubuk kopi berkaitan dengan cara menyeduh kopi yang
digemari oleh masyarakat (Ridwansyah, 2002). Rata- rata penggilingan dilakukan
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

sampai bubuk kopi memiliki ukuran 75 mesh. Ukuran yang semakin kecil membuat
kopi lebih mudah larut Ketika diseduh (Wellman, 1961). Hasil kopi bubuk ini harus
dikemas dan disimpan dengan baik agar tidak terjadi kerusakan seperti tumbuh mikroba
pathogen, atau adanya kontaminasi dari lingkungan luar pada bubuk kopi.
Kopi bubuk masi memiliki ampas, tetapi Ketika kopi diseduh dengan air panas
ampas akan mengendap pada bagian bawah wadah penyeduhan. Hal ini lah yang
membuat kopi bubuk biasa berbeda dengan kopi bubuk instan. Pada kopi bubuk instan,
ampas kopi yang dihasilkan lebih sedikit karena melewati lebih banyak proses
pengolahan yang mengurangi kandungan ampas pada bubuk kopi.
Menurut Siswoputranto (1993), kopi instan merupakan kopi yang bersifat
mudah larut dalam air (soluble) tanpa meninggalkan ampas. Keuntungan utama dari
kopi instan adalah kopi instan memungkinkan konsumen untuk membuat kopi tanpa
peralatan lain selain cangkir dan pengaduk, secepat memanaskan air. Kopi instan
mempunyai kandungan kafein sebesar 69-98 mg per sachet kopi dalam 150 ml air
(Dollemore D. dan Mark Giuliucci, 2001).
Pada proses pembuatan kopi bubuk instan, dilakukan proses ekstraksi yang
dilakukan setelah proses penggilingan biji kopi. Pemisahan terjadi atas dasar
kemampuan larutnya komponen-komponen dalam campuran pelarut dan zat terlarut.
Proses ekstraksi yang dilakukan dengan perbandingan kopi:air yang berbeda-beda akan
mempengaruhi karakteristik kopi instan yang dihasilkan. Berdasarkan SNI 01-2983-
1992 proses ekstraksi pada kopi instan menggunakan biji kopi sangrai yang sudah
digiling dengan pelarut air saja. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan percolator
penyaring kopi dan alat sentrifuge yang digunakan untuk mengepres ampas bubuk
kopi.Digunakan 6 percolator penyaring kopi yang menggunakan prinsip counter current.
Ekstraksi akan mengakibatkan menurunnya kadar kafein dalam kopi instan. Selama
proses ekstraksi, akan terjadi pemekatan bahan kopi dari yang awalnya 15% menjadi
36-46% (Belitz dan Grosch, 1987). Fakor yang mempengeruhi ekstraksi kopi adalah
suhu air, dan laju air yang diberikan saat pengolahan. Suhu air yang ideal pada ekstraksi
memiliki suhu 180 °C. Suhu dari cairan pada setiap kolom makin turun sampai cairan
berhubungan dengan kopi pada suhu 100 °C. Penggunaan suhu air yang tinggi
memungkinkan hasil konsentrasi ekstrak yang tinggi. Penggunaan suhu tinggi akan
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

menjaga tekanan sistem tetap rendah untuk mempertahankan kondisi hidroulik suhu air
173 °C. Sedangkan tekanan air yang diberikan adalah 828 kPa.
Dari hasil ekstraksi ini dilakukan pengeringan bubuk kopi karena pada proses
ekstraksi bubuk kopi menjadi basah lagi. Pengeringan dilakukan membuat kopi menjadi
serbuk kopi yang dilakukan menggunakan alat spray dryer atau freeze dryer
(Siswoputranto, 1992). Metode freeze drying memiliki prinsip kerja yang meliputi
pembekuan larutan, penggranulasian larutan beku, dan pengkondisikan pada vacum
ultra-high dengan pemanasan yang sedang sehingga mengakibatkan air pada bahan
pangan tersebut akan menyublin dan menghasilkan produk padat (solid product).
Tujuan hal ini untuk menghilangkan kandungan air tanpa menjadikan ekstrak kopi cair
kembali. Sebelum pengeringan dengan freeze dryer dilakukam, kopi dibekukuan
terlebih dahulu. Pendinginan dan pembekuan ini dilakukan supaya tidak terjadi thawing
pada produk. Pembekuan dilakukan pada suhu -40oC atau suhu -24oC. Digunakan suhu
serendah ini, agar produk membeku dengan cepat dan tidak menyebabkan kerusakan
pada tekstur. Pembekuan menggunakan suhu -40oC memerlukan waktu yang lebih
singkat sampai bubuk kopi beku sepenuhnya dibanding pembekuan dengan suhu -24 oC
(Considine, 1992).
Opsi lain dalam melakukan pengeringan adalah menggunakan alat spray dryer.
Prinsip kerja alat ini adalah menghilangan air dalam kopi dengan cara mengekstraknya
dengan temperature tinggi dan terjadi penguapan air. Kedua metode pengeringan
tersebut akan mempengaruhi aroma dan flavor produk akhir sehingga perlu dilakukan
kajian mengenai pengaruh perbedaan metode pengeringan terhadap kualitas kopi yang
dihasilkan yaitu aroma dan flavor kopi (Lestari, 2019).
Pada pembuatan kopi instan terdapat tahap pendinginan terhadap biji kopi.
Pendingan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan karakteristik seperti
warna, aroma, dan tingkat kematangan dari kopi. Kopi yang tidak didinginkan dan
didiamkan terlalu lama akan mengalami perubahan karakteristik. Pendinginan bisa
dilakukan dengan menaruh kopi di depan kipas, atau ditaur ke bidang datar di dalam
bak pendingin (Pangabean, 2011). Pendinginan ini juga dilakukan untuk mengindari
kegosongan saat proses penyangraian. Pendingin kopi juga dilakukan sambal mengaduk
biji kopi terus menerus agar pendinginan dilakukan secara merata. Biji kopi yang
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

didinginkan akan terpisah sisa kulit ari nya dari biji kopinya saat proses penyangraian
dilakukan (Mulato, 2002).

4.3 Teh
Teh atau Camelia sinentis adalah satu komoditas yang ada di Indonesia yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat dalam dan luar negeri. Teh didapatkan dari
pengolahan daunnya yang dibuat menjadi minuman. Minumal teh memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan seperti mencegah penyakit kanker, mencegah kegemukan,
kolestrol dan lain- lain. Kandungan pada teh seperti senyawa polifenol dalam teh dapat
berupa flavonoid atau non-flavonoid, namun kebanyakan polifenol yang dikandung teh
berupa flavonoid. Polifenol pada the berupa katekin dan flavanol. Senyawa ini
berfungsi sebagai antioksidan untuk menangkap radikal bebas dalam tubuh dan dapat
mencegah berkembangnya sel kanker dalam tubuh. (Spillane, 1992).

Seiring dengan perkembangan zaman serta teknologi maka pada saat sekarang
ini banyak ditemui industri pengolahan teh dengan menghasilkan berbagai macam
produk akhir seperti halnya teh kering, teh celup, dan bahkan teh dalam kemasan botol
yang mana semuanya dapat memberikan kemudahan bagi kita untuk mengkonsumsinya
secara praktis (Sandan, 2014).
Tanaman teh memiliki daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berseling,
helai daunnya kaku seperti kulit tipis, panjangnya 6-18 cm, lebarnya 2-6 cm, warnanya
hijau, dan permukaan mengkilap. Teh yang baik dihasilkan dari bagian pucuk (peko)
ditambah 2-3 helai daun muda, karena pada daun muda tersebut kaya akan senyawa
polifenol, kafein serta asam amino.
Hasil olahan teh bisa dibedakan menjadi empat produk utama yaiti teh hijau, teh
hitam, teh putih, dan teh oolong. Keempat jenis teh ini berasal dari tanaman yang sama,
perbedaannya ada pada tahap pemetikan dan pengolahan daun teh yang digunakan.
Selain itu untuk mendapatkan teh yang baik, daun teh yang dipetik juga harus daun teh
muda yang belum mekar
Pada pemetikkan daun teh, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti
jenis daun yang dipetik, pengaturan areal petik, tenaga pemetik, dan waktu pemetikan.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Pemetikan yang baik adalah pemetikan yang dilakukan pada pagi hari. Selain udara
yang sejuk dan belum terkontaminasi banyak zat jahat, pemetikan teh dilakukan pagi
hari sekitar jam 06.00- 09.30 karena masih perlu proses pengolahan yang panjang untuk
menjadi teh siap minum, oleh karena itu pemetikan dilakukan pagi hari agar daun teh
yang dipilih tetap segar sampai menjadi teh yang siap minum.
Pemilihan daun yang dipetik juga akan berperan dalam penentuan kualitas
minuman teh yang baik. Pemetikan berfungsi sebagai usaha untuk membentuk kondisi
tanaman agar mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan (Setyamidjaja,
2000). Agar mendapatkan kualitas teh yang sesuai dengan standar dalam pemetikan
berlaku syarat petikan medium dengan rumus sebagai berikut:
1. Peko + 3 daun muda
2. Peko + 2 daun tua
3. Burung muda
4. Lembar muda
Selain itu, daun yang dipilih juga daun yang memiliki bentuk yang utuh dan tidak sobek
atau rusak. Daun yang dipilih adalah daun yang umurnya pas yaitu tidak terlalu muda
atau terlalu tua. Hal ini diketahui dari warna dan bentuk daun. Daun yang muda
biasanya tipis dan berwarna hijau terang, sedangkan daun yang tua umumnya lebih tebal
dan berwarna hijau tua (Adisejowo, 1982). Kriteria daun yang dipetik adalah daun muda
yang masih menggulung disertai bulu-bulu putih halus atau ranting muda.
Pemetikan harus memperhatikan gilir petik dan hanca petik karena dapat
menentukan produksi dan mutu teh. Gilir petik adalah jangka waktu antara satu
pemetikan dengan pemetikan berikutnya pada blok yang sama dinyatakan dalam hari.
Daun teh yang sudah dipetik ini kemudiam ditimbang bobotnya dan dikirim ke
tempat pengolahan. Pengiriman daun teh harus dilakukan dengan hati- hati agar daun
teh tidak rusak. Pengangkutan yang baik adalah truk yang diberi sekat dan diberi
penutup agar daun teh tetap aman, selain itu daun teh yang dipetik juga harus disusun
sedemikian rupa sehingga tidak rusak.
4.3.1 Teh putih (White Tea)
Teh putih adalah teh yang melewati pengolahan yang paling sederhana.
Pengolahan teh putih terdiri dari pelayuan dan pengeringan (Rohdianan, 2015).
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Pemilihan daun teh yang digunakan juga perlu diperhatikan. Pada teh putih, daun teh
yang digunakan adalah pucuk daun dan dua daun dibawahnya. Daun teh yang dipetik
adalah daun teh yang masih muda karena bisa menghasilkan produk yang lebih baik.
Proses yang dilakukan setelah daun sampai ke tempat pengolahan adalah pelayuan.
Pelayuan dilakukan dengan menjemur daun di bawah sinar matahari yang bisa
mengurangi kadar air teh sampai 12% (metode keering oleh udara). Cara lain adalah
dengan metode penguapan. Selain itu dilakukan pengeringan yang dilakukan
menggunakan mesin pengering. Untuk menghitung persentase kelayuan daun dapat
dilakukan dengan rumus:
Persentase layu = Jumlah pucuk layu x 100%
Jumlah pucuk segar
Hasil pengeringan ini adalah perubahan pucuk teh dan duan teh. Pucuk teh akan
memiliki mutu silver needle, dan dua daun dibawah pucuk akan memiliki mutu white
poeny.
Proses pengolahan yang paling sederhana ini kandungan zat katekin pada teh
putih lebih tinggi dibanding pengolahan lainnya. Daun yang dipetk terutamanya puncuk
daun muda tidak di oksidasi. Pucuk dihindarkan dari matahari untuk mencegah
pembentukan senyawa klorofil. Teh putih ini lebih mahal dibandingkan dengan teh lain
karena produksi nya yang sedikit, dan kandungan nya yang lebih murni dibandingkan
teh jenis lain. Produksi teh putih hanya dilakukan kurang dari 2% dari total pengolahan
seluruh jenis teh
4.3.2 Teh Hijau (Green Tea)
Produksi teh hijau dilakukan sebanyak 20% dari total produksi teh keseluruhan.
Sama seperti teh putih, teh hijau dibuat tanpa proses fermentasi atau oksidasi enzimatis.
Pembuatan teh hijau dilakukan dengan menginaktifasi enzim fenolase yang ada dalam
pucuk daun teh segar.Hal ini dilakukan dengan memanaskan daun teh sehingga oksidasi
terhadap katekin yang merupakan zat antioksidan pada teh dapat dicegah. Pemanasan
ini bisa dilakukan dengan 2 cara. Cara pertama adalah penyangraian, dan cara kedua
adalah pemanasan basah dengan uap panas (Spillane, 1992).
Teh hijau dapat dibedakan menjadi teh hijau China atau Panning Type dan teh
hijau Jepang atau Steaming Type (Rohdiana, 2015). Prinsip dasar pembuatan kedua
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

jenis teh hijau ini sama yaitu inaktivasi enzyme polifenol oksidase untuk mencegah
oksidasi enzimatis yang mengubal polifenol menjadi senyawa oksidasinya, yaitu
theaflavin dan thearubigin. Pada teh hijau China digunakan mesin rotary panner yang
merupakan alat untuk melayukan daun untuk aktivasi enzim. Pada teh hijau jepas
diguanakan mesin steamer untuk pelayuan yang digunakan untuk inaktivasi enzim.
Proses selanjutnya dalam pembuatan teh hijau ini adalah penggulungan dan
pengeringan. Setelah itu, teh bisa disangrai atau di berikan uap panas. Hasil pengolahan
ini membuat daun menjadi layu, tetapi karena daun teh langusng dipanaskan setelah
pemetikan maka warna yang dihasilkan masih berwarna hijau. Pemetikan daun yang
digunakan pada teh hijau adalah pemelitan rumus P+1
4.3.3 Teh Ooling (Oolong Tea)
Pada pengolahan teh ooling, dilakukan proses semi fermentasi. Daun yang
digunakan pada teh ooling ini adalah pemetikan daun yang diambil saei 3 daun teratas
teh segar. Pengolahan teh ooling dilakukan dengan perlakuan 8 proses pemasan yang
dilakukan setelah teh digulung. Perlakuan ini dilakukan untuk menghentikan proses
fermentasi. Karena fermentasi dihentikan maka pengolahan ini disebut semi fermentasi
(Spilane, 1992). Ketika daun mencapai pabrik, daun langsung dilayukan dengan cara
dijemur sinar matahari sambil digulunng secara manual menggunakan tangan ataupun
mesin penggulung (Rohdiana, 2015). Penggulungan ini dilakukan untuk mengoksidasi
senyawa polifenol yang terkadung dalam teh. Perlakuan ini dinamakan sebagai proses
semi oksimatis. Setelag itu daun dikeringkan. Teh oolong ini juga kurang popular di
produksi. Produksi teh oolong hanya dilakukan kurang dari 2% total seluruh produksi
teh dari segala jenis
4.3.4 Teh Hitam
Teh hitam adalah teh yang paling popular di produksi, yaitu sekitar 78% di
produksi. Teh hitam adaalah teh yang dalam pengolahannya dilakukan proses
fermentasi. Fermentasi ini dilakukan oleh enzim fenolase yang secara alami terkandung
di dalam daun teh. Pada fermentasi ini, kandungan katekin teh di oksidasi menjadi
theaflavin dan thearubigin. Kandungan ini juga yang memberikan sifat antioksidan pada
teh. Karena proses fermentasi yang dilakukan, maka terjadi perubahan warna dan rasa
pada teh hitam (Spillane, 1992).
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Berdasarkan produksinya, teh hitam dibedakan menjadi teh hitam ortodoks dan
crushing tearing curling (CTC). Pada pengolhan teh hitam ortodoks, daun teh dilayukan
selama 14-18 jam. Setelah itu dilakukan penggulungan, penggilingan, dan dilakukan
oksimatis selama 1 jam. Pada pengolahan CTC, pelayuan dilakukan dengan waktu yang
lebih singkat yaitu sekitar 8-11 jam saja. Setelah itu dilakukan penggilingan dengan
kuat sampai daun mengeluarkan cairan sel. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk
menghentikan proses oksimatis dan menurunkan kadar air.
4.1.5 Mutu Teh
Mutu teh adalah kandungan dan sifat- sifat teh yang sudah di produksi baik
secara fisik maupun kimia. Untuk mendapatkan mutu yang, perlu dilakukan
pengendalian mutu sejak penanam tanaman teh, pemetikan, pengankutan, dan seluru
proses pengolahan di industry pengolahan. Pengujian paling sederhana untuk
mengetahui mutu teh adalah uji sensori menggunakan indera. Uji menggunakan indera
ini paling praktis dan cocok diterapkan pada teh (Bambang, Kustamiyati dkk, 1994).
Menurut SNI 01-3836-2000, teh kering dalam kemasan harus memenuhi
spesifikasi mutu meliputi warna yang hijau kekuningan sampai merah kecokelatan,
bau yang khas teh dan tidak berbau asing, rasa khas teh dan tidak berasa asing, kadar
air maksimal 8%, kadar ekstrak dalam air minimal 32%, kadar abu total maksimal 8%,
kadar abu larut dalam air dari abu total minimal 45%, kadar abu tak larut dalam asam
maksimal 1%, alkalinitas abu larut dalam air (sebagai KOH) 1-3%, dan serat kasar
maksimal 16%. Selain itu, spesifikasi mutu terkait cemaran yang harus dipenuhi
adalah adanya timbal (Pb) maksimal 20 mg/kg, tembaga (Cu) maksimal 150 mg/kg,
seng (Zn) maksimal 40 mg/kg, timah (Sn) maksimal 40 mg/kg, raksa (Hg) maksimal
0.03 mg/kg, cemaran arsen (As) maksimal 1.0 mg/kg, angka lempeng total maksimal

3x103 koloni/g, dan adanya bakteri Coliform < 3 APM/g. Berikut tabel dari mutu teh
Tabel 1. Standar Mutu Teh Kering dalam Kemasan
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

(Sumber: SNI 01-3836-2000)


Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan praktikum pengolahan kopi, teh, dan kakao ini dapat
diambil kesimpulan, yaitu:
 Pengolahan kakao dilakukan dari pemanenan buah kakao lalu diambil bijinya.
Setelah itu, dilakukan fermentasi, dan pengeringan. Masing- masing tahap
memiliki batas kritis yang perlu diperhatikan
 Pengolahan cokelat dalam industry bisa berbentuk banyak macam seperti cocoa
butter, cokelat batang, dan coklat bubuk. Masing- masing produk memiliki cara
pengolahan yang berbeda dan harus diperhatikan agar memiliki kualitas yang
baik.
 Perbedaan lemak kakao dengan coklat batangan terdaoat dari kandungan
penyusunnya. Lemak kakao berasal dari lemak biji kakao sedangkan coklat
batang mengandung kandungan coklat padat yang didapatkan dari pasta cokelat
sebanyak kurang lebih 60% lebih. Coklat batang secara umum langsung
dikonsumsi begitu saja karena memiiki banyak kandungan flavonoid yang
berperan sebagai antioksidan, sedangkan lemak kakao secara umum digunakan
sebagai campuran produk lainnya baik dalam bidang pangan ataupun bidang
lainnya.
 Pengolahan kopi dilakukan dari pemanenan, sortasi, pencucian, pengupasan
kulit buah dari bijinya, perendaman, pengeringan, pemisahan kulit gabah,
penjemuran, dan disimpan sebelum diolah menjadi produk turunan kopi lainnya
 Kopi bubuk dibuat dengan penyangraian, penggilingan, dan pengepasan biji
kopi yang sudah di sortasi sebelumnya.
 Kopi bubuk instan dan kopi bubuk biasa yang diolah pada industri memiliki
perbedaan dari banyaknya ampas. Kopi bubuk instan menghasilkan ampas yang
lebih sedikit karena perbedaan proses ekstraksi yang lebih banyak dan lengkap.
Standar mutu kopi yang dibuat industry seragam karena diolah menggunakan
mesin secara otomatis
 Pengolahan teh meliputi tahap pemetikan, pelayuan, penggilingan, oksidasi
enzimatis, pengeringan, sortasi, dan pengemasan.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

 Perbedaan setiap jenis teh disebabkan dari daun yang dipetik dan proses
pengolahannya. Teh hitam dan teh oolong melewati tahap fermentasi, sedangkan
teh putih dan teh hijau tidak melewati proses fermentasi pada pengolahannya.
Masing- masing teh memiliki karakteristik yang berbeda.

5.2 Saran
Praktikan sebaiknya mempelajari pengolahan kopi, teh, dan kakao sebelum
melakukan pengolahan agar produk bisa dibuat dengan baik dan tidak standar mutu
tetap baik.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

DAFTAR PUSTAKA
Adinata, E. (2015). Mengenal Tahapan Pengolahan Biji Kakao Menjadi Cokelat.
Retrieved from
http://bbihp.kemenperin.go.id/web/berita/detail/59/dinas/mengenal-tahapan-
pengolahan-biji-kakao-menjadi-cokelat
Adisewojo, R.S. 1982. Bercocok Tanam Teh. Bandung (ID):Sumur Bandung.
Asni, Nur. 2015. Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu
Kopi Ditingkat Petani. Balitbang pertanian, Jambi.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Biji Kakao. Jakarta. SNI 01 – 2323 – 2000
Bambang, K. 1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Balai Penelitian Teh dan Kina
Gambung. Bandung
Belitz HD, Grosch W, dan Schieberle P. 2009. Food chemistry (4th ed.). Springer,
Heidelberg.
Considine, Douglas M., Ed. 1992. Food and Food Production Encyclopedia. Van
Nostrand Reinhold Company
Dollemore D. dan Mark Giuliucci, 2001. Rahasia Awet Muda bagi Pria. Penerjemah :
Alex Tri Kantjono Widodo. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Firmansyah, I.U., M. Aqil, dan Y. Sinuseng. 2007. Penanganan Pascapanen Jagung.
BukuJagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. (Eds: Sumarno, Suyamto, A.
Widjono, Hermanto, H. Kasim). Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang
Pertanian.
Gafar, P. A. (2018). PROSES PENGINSTANAN AGLOMERASI KERING DAN
PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT FISIKO KIMIA KOPI BUBUK
ROBUSTA (Coffea robusta Lindl. Ex De Will). Jurnal Dinamika Penelitian
Insutri, 29(2), 165–171.
Hardjosuwito. B. dan Hermansyah. 1985. Biji Kopi Asal Buah Hijau Dinilai Dengan
Sistem Nilai Cacat. Balai Penelitian Perkebunan, Bogor.
Hayati, R., & Fauzi, H. (2014). Kajian fermentasi dan suhu pengeringan pada mutu
kakao (Tehobroma cacao L.). Jurnal Keteknikan Pertanian, 26(2).
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Hudayah, H., 1985. Evaluasi Standart Cokelat. Pertemuan Teknis Penetapan Standart
Khusus (Cokelat). Direktorat Standarisasi dan Pengolahan Mutu. Departemen
Perdagangan RI. Jakarta.
Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit UI-Press: Jakarta.
LESTARI, Y. (2019). PERBANDINGAN KERJA ALAT PENGERINGAN TIPE
SPRAY DRYER DAN FREEZE DRYER DALAM PROSES PENGERINGAN
BAHAN BERBENTUK CAIR. JURNAL ILMIAH KOHESI, 3(3).
Muchtadi Tien R., dan Sugiono, 1992, Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, PAU Pangan
dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mulato, Sri. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan tema Mewujudkan perkopian
Nasional Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan Lingkungan
dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan
Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Denpasar : 16 – 17 Oktober 2002. Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi, Suharyanto, E. 2005. Pengolahan Produk Primer
dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember
Munarso, S. J., & Miskiyah, M. (2014). PENERAPAN SISTEM HACCP (HAZARD
ANALYSIS AND CRITICAL CONTROL POINTS) PADA PENANGANAN
PASCAPANEN KAKAO RAKYAT. Jurnal Standardisasi, 16(1), 17-30.
Napitupulu, B. P. 2012. Penggunaan Cokelat Sebagai Bahan Dekorasi Cake di Hotel.
Jurnal Darma Agung.
Ningtyas O, I., dan Trilaksana, A. 2014. "Perkebunan Kopi Rakyat di Jawa Timur 1920-
1942.," AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, vol. 2, pp. 122-129
Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. AgroMedia Pustaka. Jakarta
Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Rohdiana, Dadan. 2015. Teh: Proses, Karakteristik, & Komponen Fungsionalnya.
Food review Indonesia. Vol 10(8).
Ruku, S. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kako Kering Menjadi Produk Olahan
Setengah Jadi. Jurnal Teknologi dan Informasi Pertanian. Selawesi tenggara :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Sandan, A. D. K. (2014). Pengaruh Seduhan Teh Pu-Erh (Camellia sinensis L.)


Terhadap Waktu Reaksi Sederhana Laki-Laki Dewasa (Doctoral dissertation,
Universitas Kristen Maranatha).
Schwan, R.F. dan A.E. Wheals. 2004. The Microbiology of Cocoa Fermentation and Its
Role in Chocolate Quality. Critical Reviews in Food Science and Nutrition Vol.
44: 205-220.
Septiani, E. (2013). TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRIMER. Agroinovasi Badan
Litbang Pertanian, (3499), 2–10.
Setyamidjaja D. 2000. Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen Tanaman Teh.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Siswoputranto, P.S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta
SNI. (2008). SNI 2323-2008 Biji Kakao. Jakarta.
Spillane, J.J., 1992. Komoditi Teh Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Standar Nasional Indonesia. Teh Kering dalam Kemasan. SNI 01-3836-2000. BSN,
Jakarta.
Susanti. 2012. Skripsi: Studi Pembuatan Dark Cokelat Dengan Penambahan Ekstrak
Jahe(zingiberofficinale) Sebagai Bahan Pengisi. Jurusan Ilmudan Teknologi
Pangan, Fakultas Pertanian, UniversitasHasanuddin, Makassar.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Vogt, S, W.Krempel, dan J.Suchard.1994. Process for Producing ASoluble Cocoa
Product. FoodChemistry.
Wahyudi, T. (2003). STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO)
PENANGANAN BIJI KAKAO DI TINGKAT PETANI, PEDAGANG
PENGUMPUL DAN EKSPORTIR. Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao
Indonesia, 19(3), 156–167.
Wahyudi, T., Pujiyanto, dan T. R. Panggabean. 2008. Panduan Lengkap Kakao.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Wellman, F.L. 1961: Coffee: Botany, Cultivation and Utilization. New York
Interscience Inc, New York.
Silvano Jovan
240210180093
Kelompok 9

Wood, G.A.R. 1975. Cocoa Tropical Agriculture. Series, 3 Ed, London.


Yusianto, T. Wahyudi dan Sulistyowati. 1998. Pengolahan dan Pengaruhnya Terhadap
Citarasa Kakao. Makalah Acara Pelatihan Uji Citarasa Kakao. Jember : Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao

Anda mungkin juga menyukai