Anda di halaman 1dari 117

MEDIKASI ORAL,PARENTERAL,TOPICAL DAN SUPOSITORI

KEPERAWATAN DASAR PROFESIONAL

KELOMPOK 3

Disusun oleh :

1. Yusnia Silvia Sari ( Nim. 04064822124005)


2. Kiki Elviani ( Nim. 04064822124009)
3. Dian Fransiska ( Nim. 04064822124012)
4. Dina Wijayana ( Nim. 04064822124016)
5. Zakma Amalia ( Nim. 04064822124019)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (NERS)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
PEMBAGIAN TUGAS MAHASISWA

No. Nama Mahasiswa Tugas

1. Yusnia Silvia Sari Membuat bab 3 (asuhan keperawatan)

2. Kiki Elviani Membuat bab 4 dan ppt

3. Dian Fransiska Membuat bab 3 (asuhan keperawatan)

4. Dina Wijayana Membuat bab 2+cover+daftar isi

5. Zakma Amalia Membuat bab 1+ penggabungan makalah

*seluruh anggota mencari jurnal + membuat kesimpulan jurnal

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
kelompok dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Medikasi oral, Parenteral,
Topical dan Supositori”. Maka dari itu kelompok ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Ibu Dian Wahyuni, S. Kep., Ns., M. Kes selaku koordinator Stase Keperawatan Dasar
Professional dan selaku Fasilitator kami.

Kelompok menyadari makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan oleh karena
itu diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
keperawatan. Amin. Semoga kebaikan dan bantuan yang telah diberikan, mendapatkan
balasan dan keberkahan oleh Dzat Yang Maha Kaya, Allah SWT.

Palembang , Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang................................................................1
B. Tujuan.............................................................................4
C. Manfaat...........................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi pemberian obat per oral....................................5
1. Keuntungan cara pemberian melalui oral.......................5
2. Kerugian cara pemberian melalui oral...........................5
3. Jenis – jenis obat per oral...............................................6
B. Pemberian obat parenteral..............................................7
C. Obat topical...................................................................15
D. Obat supositoria.............................................................17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.....................................................................19
B. Analisis data..................................................................20
C. Intervensi.......................................................................21
D. Implementasi.................................................................26
E. Etika dan Legal Keperawatan….....................................60
BABA IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan....................................................................68
B. Saran..............................................................................68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Depkes (2008) dalam panduan keselamatan pasien di rumah sakit

melaporkan insiden keselamatan pasien yang paling banyak terjadi di Indonesia

adalah kesalahan pemberian obat. Seringnya terjadi kejadian tidak diinginkan (KTD)

di rumah sakit karena kesalahan pemberian obat yang disebabkan kurangnya

ketelitian dari ahli farmasis maupun perawat dalam mengecek kebenaran obat

sebelum diberikan kepada pasien.

Joint Commission International (JCI) &Wolrd Health Organitation

(WHO) (2014) melaporkan beberapa negara sebanyak 70% insiden kesalahan

pengobatan dan sampai menimbulkan cacat permanen pada pasien. Di Indonesia

kesalahan pemberian obat tidak jarang menjadi tuntutan hukum (Depkes, 2008).

Pengobatan adalah salah satu unsur penting dalam upaya penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan. Perawat harus bertanggung jawab dalam

memastikan bahwa pemberian obat harus aman bagi pasien. Serta membantu

mengawasi efek pemberian obat tersebut karena ketepatan pemberian obat merupakan

salah satu bentuk kinerja seorang perawat. Walaupun dalam hal ini merupakan suatu

bentuk tugas limpahan dari apoteker atau farmasi, namun kegiatan ini lebih sering

dilakukan oleh perawat dan bahkan merupakan tugas wajib perawat dibandingkan

dengan peran dan fungsi perawat yang lain. Dalam hal ini juga peran perawat dalam

pemberian obat merupakan peran yang vital didalam pencapaian derajat kesembuhan

dan kesehatan bagi pasien. Untuk dapat menjalankan tugasnya, perawat harus dibekali

dengan ilmu keperawatan (UU No.23 th. 1992 pasal 32 ayat (3).

1
Tugas seorang perawat adalah melakukan pemberian obat kepada pasien

sebagai bentuk pertanggungjawaban secara legal atas tindakan yang telah dilakukan.

Penerapan prinsip enam benar oleh perawat akan mempengaruhi keberhasilan dalam

pengobatan. Seorang perawat harus memberikan berbagai macam obat kepada

beberapa pasien rawat inap yang berbeda, yang menjadi tanggung jawabnya.perawat

harus menerapkan prinsip enam benar tersebut untuk menghindari kesalahan

pemberian obat (Hidayat dan Uliyah, 2014).

Kesalahan pemberian obat dapat dicegah dengan cara setiap perawat

melakukan prinsip benar dalam memberikan obat pada pasien. Prinsip enam benar

pemberian obat menurut Hidayat dan Uliyah (2014) yaitu benar pasien dimana

sebelum memberikan obat cek kembali identitas pasien. Benar obat, sebelum

memberikan obat kepada pasien, label pada botol atau kemasan harus di periksa

minimal 3 kali. Benar dosis dalam memberikan obat perawat harus memeriksa dosis

obat dengan hati-hati dan teliti, jika ragu perawat harus berkonsultasi dengan dokter

atau apoteker sebelum di lanjutkan ke pasien. Benar cara/rute, artinya ada banyak

rute/cara dalam memberikan obat, perawat harus teliti dan berhati-hati agar tidak

terjadi kesalahan pemberian obat dan benar waktu, dimana sangat penting khususnya

bagi obat yang efektivitas tergantung untuk mencapai atau mempertahankan darah

yang memadai, ada beberapa obat yang diminum sesudah atau sebelum makan, juga

dalam pemberian antibiotik tidak boleh di berikan bersamaan dengan susu, karna susu

dapat mengikat sebagian besar obat itu, sebelum dapat di serap tubuh. Benar

dokumentasi, setelah obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute,

waktu dan oleh siapa obat itu diberikan, dan jika pasien menolak pemberian obat

maka harus didokumentasikan juga alasan pasien menolak pemberian obat.


Sedangkan menurut pendapat Kee dan Hayes (2006) terdapat prinsip 10 benar

obat yang biasadikenal dengan istilah five plus five rightsditerjemahkan sebagai 10

benar yangmeliputi right client (benar pasien), right drug (benar obat), right dose

(benar dosis),right time (benar waktu), right route (benar rute), right assessment

(benar pengkajian),right documentation (benar pencatatan),client’s right to education

(hak klien mendapatkan pendidikan atau informasi), right evaluation (benar evaluasi),

dan client’s right to refuse (hak pasien untuk menolak).

Selanjutnya Govern (2008) menambahkan 2 benar obat lainnya yaitu be

aware of potential drug-drug (waspada terhadap interaksi obat-obat) dan drug-food

interactions (waspada terhadap interaksi obat-makanan) sehingga menjadi 12 benar

obat. Kesalahan dalam pemberian obat tersebut meliputi resep yang tidak akurat,

pemberian obat yang salah, memberikan obat melalui jalur yang tidak tepat dan

interval waktu yang salah,serta memberikan dosis yang salah. Tipe kesalahan yang

menyebabkan kematian pada pasien yang meliputi 40,9% salahdosis, 16% salah obat,

dan 9,5% salah rute pemberian (Hughes & Potter, 2010).

Ada beberapa macam cara pemberian obat yang dapat dilakukan seperti

pemberian obat secara oral, parenteral, topical dan supositorial. Pemberian obat secara

oral adalah memberikan obat melalui mulut. Pemberian obat secra parenteral adalah

pemberian obat melalui jaringan atau pembuluh darah dengan menggunakan spuit.

Sedangkan pemberian obat secara topical yaitu memberikan obat secara local pada

kulit atau membrane mukosa pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina, dan

rectum. Kemudian Supositorial adalah memberikan sejumlah obat misalnya kedalam

rectum dalam bentuk supositorial. Semua cara pemberian obat harus menerapkan

prinsip benar.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pemberian obat secara oral, parenteral,
topical dan supositorial.
2. Tujuan Khusus
a.Mengetahui prinsip benar pemberian obat baik secara oral, parenteral, topical
dan supositorial.
b.Mengetahui rute pemberian obat baik secara oral, parenteral, topical dan
supositorial.

C. Manfaat
1. Bagi penulis
Bagi penulis sendiri diharapkan dapat menambah ilmu serta wawasan yang lebih
luas lagi, sehingga dapat dijadikan masukan dalam melihat perbedaan antara ilmu
teori dan saat praktik di lapangan.
2. Bagi pembaca
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan
bagi para pembaca membuat makalah baik yang berhubungan dengan topic
makalah ini maupun tidak berhubungan.
3. Bagi Akademisi
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam
penelitian yang berhubungan dengan topic diatas serta sebagai sumber informasi
bagi pembuat makalah selanjutnya,serta dapat memberikan kontribusi dalam
menambah wawasan keilmuan kepada akademik dalam bidang keperawatan.
4. Bagi Perawat
Memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi keperawatan khususnya dalam
menerapkan prinsip benar dalam pemberian obat baik secara oral, parenteral,
topical dan supositorial.
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Definisi pemberian obat per oral


Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena ini
merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien. Cara pemberian
obat yang paling lazim adalah melalui mulut. Obat-obatan oral tersedia dalam berbagai jenis
yaitu pil, tablet, bubuk, syrup dan kapsul. Selama pasien mampu menelan dan
mempertahankan obat dalam perut, pemberian obat peroral menjadi pilihan. Kontra indikasi
pemberian obat peroral adalah bila asien muntah , perlunya tindakan suction , kesadaran
menurun atau kesulitan menelan (Novianti & Nurilawati, 2017).
1. Keuntungan cara pemberian melalui oral (Nuryati, 2017)
1. Harga relative lebih murah
2. Bisa di kerjakan sendiri boleh pasien
3. Tidak menimbulkan rasa nyeri
4. Bila terjadi keracunan, obat masih bisa di keluarkan dari tubuh dengan cara Reflek
muntah dari faring dan Kumbah Lambung asalkan obat di minum belum melebihi 4
jam artinya obat masih di dalam gaster tetapi bilamana lebih dari 4 jam tapi belum
melebihi 6 jam racun di dalam intestinum atau belum mengalami absorbsi. Racun
masih bisa di keluarkan dengan cara : menggunakan Magnesium Sulfat tubuh
berwarna putih untuk dewasa dosis 10 mg atau 1 peres sendok makan antara 4 dan 6
jam tadi pasien di beri absorben yaitu arang aktif bentuk seperti tablet, warna hitam,
cukup 1 tablet bilamana melebihi 6 jam ini diberi penetral racun atau Antidotum zat
yang dapat menetralkan racun.

2. Kerugian cara pemberian melalui oral


Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah Pada aksinya yang lambat
sehingga cara ini tidak dapat di pakai pada keadaan gawat. Obat yang di berikan per
oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit sebelum di absorbsi dan
efek puncaknya di capai setelah 1 sampai dengan 1 ½ jam. Adapun kerugian nya
menurut (Nuryati,2017):
1. Bioavailibilitasnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, iritasi pada saluran
cerna, perlu kerjasama dengan penderita (tidak dapat diberikan pada penderita
koma).
2. Timbul efek lambat
3. Tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak
kooperatif
4. Untuk obat iritatif rasa tidak enak penggunaannya terbatas
5. Obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G,
insulin)
6. Absorpsi obat tidak teratur.

3. Jenis – jenis obat per oral (Nuriani & Nurilawaty, 2017)


1. Pil
Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat
dan dimaksudkan untuk pemakaian oral.
2. Tablet
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk
tabung pipih atau sirkuler, dengan kedua permukaan rata atau cembung mengandung
satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan..
3. Serbuk
Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau bahan kimia yang dihaluskan,
ditujukan untuk pemakaiam oral atau untuk pemakaian luar.
4. Drase
Yaitu obat - obatan yang di bungkus oleh selaput tipis gula. Harus di telan secara
utuh karena mengandung obat - obatan yang mempunyai kemampuan untuk
mengiritasi selaput lendir lambung pasien.
5. Kapsul
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut.
6. Sirup
Merupakan sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakrosa, kecuali
disebutkan lain, dengan kadar sakrosa antara 64 % sampai 66%.

B. Pemberian Obat Parenteral


Memasukan obat tertentu ke dalam jaringan tubuh dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir atau menembus suatu
atau lebih lapisan kulit atau membran mukosa menggunakan alat suntik. ( depkes RI
1994 ). Obat dimasukan ke dalam kulit, dibawah kulit, kedalam otot dan ke dalam
vena dan pemberian ini lebih cepat diserap daripada melalui oral.( WHO 1998 ).
Rute parenteral adalah memberikan obat dengan meninginjeksi ke dalam jaringan
tubuh, obat yang cara pemberiaannya tanpa melalui mulut (tanpa melalui usus/
saluran pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah (Nuryati, 2017).
1. Kelebihan dari rute obat yang diberikan secara parenteral adalah (Nuryati,
2017).:
a. Bisa untuk pasien yang tidak sadar
b. Sering muntah dan tidak kooperatif
c. Tidak dapat untuk obat yang mengiritasi lambung,
d. Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati, bekerja cepat dan
dosis ekonomis.
2. Sedangkan kekurangan dari rute obat yang diberikan secara parenteral
adalah (Nuryati, 2017).:
a. Kurang aman karena jika sudah disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa
dikeluarkan lagi
b. Jika terjadi kesalahan
a. Tidak disukai pasien
b. Berbahaya (suntikan-infeksi)
3. Macam-macam pemberian obat secara parenteral

Sumber: Nuryati, (2017)


Macam Cara Pemberian Obat Parenteral :
a. Intra cutan
b. Subcutan
c. Intra muscular
d. Intravena

C. Obat Topikal
1. Definisi obat topikal
Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal dengan cara
mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung, lubang
telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topikal
pada kulit adalah obat yang berbentuk krim, lotion, atau salep (Nuryati, 2017).
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu karena
tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan pengobatan
topikal pada kulit tergantung pada: umur, pemilihan agen topikal yang tepat, lokasi dan
luas tubuh yang terkena atau yang sakit, stadium penyakit, konsentrasi bahan aktif
dalam vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama pemakaian obat, penetrasi obat
topikal pada kulit (Nuryati, 2017).
2. Keuntungan pemberian obat secara topikal (Nuryati, 2017):
a. Efek samping sistemik minimal
b. Mencegah first pass efect
3. Sedangkan kerugian dari obat yang diberikan secara topical: adalah secara
kosmetik kurang menarik.
4. Pemanfaatan obat topical ((Nuryati, 2017):

a. Pemberian Obat Topikal pada Kulit


Menyiapkan dan memberikan obat secara lokal kepada pasien pada kulit,
baik dalam bentuk padat (obat salep) maupun dalam bentuk cair (minyak,
bethadine), dengan menggosokkan pada kulit yang mengalami gangguan tertentu,
ataupun dengan bentuk serbuk, dengan pertimbangan keadaan pasien. Tujuan
Pemberian obat topikal pada kulit adalah:
1) Mencegah dan mengobati penyakit.
2) Mengurangi rasa sakit daerah tertentu.
3) Mengobati dengan cepat.
4) Menghilangkan rasa nyeri.
5) Memperoleh reaksi local dari obat tersebut
b. Menyiapkan dan memberikan obat kepada pasien melalui mata
Diberikan dalam bentuk cair/tetes dan salep. Tujuan pemberian obat pada mata
adalah:
1) mengobati gangguan pada mata,
2) mengurangi rasa sakit, menimbulkan reaksi yang cepat,
3) Mencegah dan mengobati penyakit/rasa sakit,
4) Menghilangkan penyebab sakit,
5) mendilatasi pupil pada pemeriksaan struktur internal mata,
6) melemahkan otot lensa mata pada pengukuran refraksi mata, dan
7) mencegah kekeringan pada mata.
c. Pemberian Obat Topikal Pada Telinga
Tindakan menyiapkan dan memberikan obat kepada pasien pada telinga
melalui kanal eksternal, berupa tetesan sesuai anjuran dokter, bertujuan untuk:
1) Untuk memberikan effek terapi lokal (mengurangi peradangan, membunuh
organisme penyebab infeksi pada kanal telinga eksternal).
2) Menghilangkan nyeri.
3) Untuk melunakkan serumen agar mudah untuk diambil.
d. Pemberian Obat Topikal Pada Hidung
Sediaan obat topikal umumnya dalam bentuk tetes untuk mengobati keluhan
dari hidung. Tujuan pemberian obat untuk mengencerkan sekresi dan memfasilitasi
drainase dari hidung serta mengobati infeksi dari rongga hidung dan sinus.
Bentuk/sediaan obat yang dapat diberikan melalui rute topikal antara lain:
1) Lotion
2) Shake lotion
3) Cream
4) Salep
5. Mekanisme kerja sediaan topical (Nuryati, 2017):
Secara umum, sediaan topikal bekerja melalui 3 jalur .Beberapa perbedaan
mekanisme kerja disebabkan komponen sediaan yang larut dalam lemak dan larut
dalam air:
1. Cairan
Pada saat diaplikasikan di permukaan kulit, efek dominan cairan akan berperan
melunakkan karena difusi cairan tersebut ke masa asing yang terdapat di atas
permukaan kulit; sebagian kecil akan mengalami evaporasi. Dibandingkan dengan
solusio, penetrasi tingtura jauh lebih kuat.Namun sediaan tingtura telah jarang dipakai
karena efeknya mengiritasi kulit. Bentuk sediaan yang pernah ada antara lain tingtura
iodi dan tingtura spiritosa.
2. Bedak
Oxydum zincicum sebagai komponen bedak bekerja menyerap air, sehingga
memberi efek mendinginkan. Komponen talcum mempunyai daya lekat dan daya slip
yang cukup besar. Bedak tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit karena
komposisinya yang terdiri dari partikel padat, sehingga digunakan sebagai penutup
permukaan kulit, mencegah dan mengurangi pergeseran pada daerah intertriginosa.
3. Salep
Salep dengan bahan dasar hidrokarbon seperti vaselin, berada lama di atas
permukaan kulit dan kemudian berpenetrasi.Oleh karena itu salep berbahan dasar
hidrokarbon digunakan sebagai penutup. Salep berbahan dasar salep serap (salep
absorpsi) kerjanya terutama untuk mempercepat penetrasi karen Dasar salep yang
dapat dicuci dengan air dan dasar salep larut dalam air mampu berpenetrasi jauh ke
hipodermis sehingga banyak dipakai pada kondisi yang memerlukan penetrasi yang
dalam.
4. Krim
Penetrasi krim jenis W/O jauh lebih kuat dibandingkan dengan O/W karena
komponen minyak menjadikan bentuk sediaan bertahan lama di atas permukaan kulit
dan mampu menembus lapisan kulit lebih jauh.Namun krim W/O kurang disukai
secara kosmetik karena komponen minyak yang lama tertinggal di atas permukaan
kulit.Krim O/W memiliki daya pendingin lebih baik dari krim W/O, sementara daya
emolien W/O lebih besar dari O/W.
5.Pasta
Sediaan berbentuk pasta berpenetrasi ke lapisan kulit. Bentuk sediaan ini lebih
dominan sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak meleleh pada suhu tubuh. Pasta
berlemak saat diaplikasikan di atas lesi mampu menyerap lesi yang basah seperti
serum.
6. Bedak kocok
Mekanisme kerja bedak kocok ini lebih utama pada permukaan kulit. Penambahan
komponen cairan dan gliserin bertujuan agar komponen bedak melekat lama di atas
permukaan kulit dan efek zat aktif dapat maksimal.
7. Gel
Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan
padakondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Rute difusi
jalur transfolikuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel membentuk lapisan
absorpsi
D. Obat Suppositoria (Noviani & Nurilawaty, 2017)
1. Definisi
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan
melalui rektal, vagina, maupun uretra, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut, atau
meleleh pada suhu tubuh, dan efek yang ditimbulkan adalah efek sistemik atau
lokal.Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu
tubuh.Semakin pendek waktu melarut/mencair semakin baik karena efektivitas obat
semakin baik.
Bobot suppositoria kalau tidak dinyatakan lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan
2 g untuk anak kecil. Umumnya memiliki panjang 32 mm, berbentuk silinder, dan kedua
ujungnya tajam.Sedangkan untuk bayi dan anak-anak ukurannya ½ dari ukuran dan berat
untuk orang dewasa.Penyimpanan suppositoria dalam wadah tertutup baik dan di tempat
yang sejuk pada suhu 5-15 °C agar suppositoria tidak menjadi lembek dan tidak bisa
digunakan.
2. Tujuan pengobatan dengan suppositoria yaitu:
a. Penggunaan lokal: memudahkan defekasi serta mengobati gatal, iritasi, dan inflamasi
karena hemoroid.
b. Penggunaan sistemik: Aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti
muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik.

3. Cara pakai suppositoria adalah :


a. Pertama-tama cucilah tangan terlebih dahulu
b. Buka bungkus aluminium foil dan lunakkan suppositoria dengan air
c. Berbaring miring dengan tungkai yang di bawah lurus, dan yang di atas ditekuk
d. Masukkan suppositoria ke dalam anus dengan menggunakan jari kira-kira 2 cm dan
terus berbaring selama 15 menit
e. Cuci tangan setelah memasukkan suppositoria Jika suppositoria terlalu lunak untuk
dimasukkan, dinginkan obat dalam lemari pendingin selama 30 menit atau direndam
dengan air dingin sebelum membuka bungkus aluminium foil.

4. Cara menggunakan obat suppositoria

a. Pergi ke toilet dan jika perlu kosongkan isi perut Anda (BAB).
b. Cuci tangan.
c. Buang semua foil atau plastik pembungkus suppositoria.
d. Lakukan dengan berjongkok atau rebah ke salah satu sisi tubuh dengan satu kaki
ditekuk dan satu kaki lainnya lurus.
e. Masukkan obat suppositoria dengan lembut namun tegas ke dalam anus. Jika perlu
basahi ujung suppositoria dengan sedikit air. Lalu dorong cukup jauh sehingga
suppositoria tidak keluar kembali.
f. Tahan dan rapatkan kaki dengan duduk atau berbaring diam selama beberapa menit.
g. Cuci kembali tangan.
h. Usahakan agar tidak BAB selama setidaknya satu jam, kecuali obat suppositoria
tersebut adalah jenis pencahar.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DALAM PEMBERIAN OBAT

A. Pengkajian Fokus
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien
(Doenges, 2000 dalam Lestari, 2016).Untuk menetapkan kebutuhan terhadap terapi obat dan
respon potensial terhadap terapi obat, perawat perlu mengkaji banyak faktor.Adapun data
hasil pengkajian dapat dikelompokkan ke dalam data subyektif dan data obyektif sebagai
berikut:
1. Data subyektif
a. Riwayat kesehatan sekarang
Perawat mengkaji tentang gejala-gejalayang dirasakan klien.
b. Pengobatan sekarang
Perawat mengkaji informasi tentang setiap obat, termasuk kerja, tujuan, dosis normal, rute
pemberian, efek samping, dan implikasi keperawatan dalam pemberian dan pengawasan
obat.Beberapa sumber harus sering dikonsultasi untuk memperoleh keterangan yang
dibutuhkan.Perawat bertanggung jawab untuk mengetahui sebanyak mungkin informasi
tentang obat yang diberikan. Seperti:
1) Dosis, rute, frekuensi, dokter yang meresepkan, jika ada
2) Pengetahuan klien mengenai obat dan efek sampingnya
3) Harapan dan persepsi klien tentang efektivitas obat
4) Kepatuhan klien terhadap aturan dan alasan ketidakpatuhan
5) Alergi dan reaksi terhadap obat
6) Obat yang dibeli sendiri
c. Riwayat kesehatan dahulu, meliputi
1) Riwayat Penyakit dahulu yang pernah diderita pasien
2) Obat yang disimpan dalam pemakaian waktu lampau
3) Obat yang dibeli sendiri /OTC
d. Sikap dan Lingkungan klien
Sikap klien terhadap obat menunjukkan tingkat ketergantungan pada obat. Klien seringkali
enggan mengungkapkan perasaannya tentang obat,khususnya jika klienmengalami
ketergantungan obat. Untuk mengkaji sikap klien, perawat perlumengobservasi perilaku klien
yang mendukung bukti ketergantungan obat melalui:
1) Anggota keluarga
2) Kemampuan menjalankan Activity of Daily Living (ADL)
3) Pola makan, pengaruh budaya klien
4) Sumber keuangan klien
2. Data obyektif
Dapat diketahui dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostic, pemeriksaan laboratorium. dan harus memusatkan perhatian pada
gejala-gejala dan organ-organ yang kemungkinan besar terpengaruh oleh obat.
3. Prinsip Pengobatan
Jenis obat yanh sesuai dengan penyakit, obat mampu mencapai lokasi kerja atau organ yang
sakit dalam kadar yang cukup.
Adapun 4 prinsip pengobatan :
a) Obat sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang
b) Obat mampi mencapai lokasi kerja organ sakit
c) Obat tersedia dalam kadar cukup
d) Obat berada dalam waktu cukup
4. Prinsip pemberian obat
a) Benar obat
b) Benar dosis
c) Benar cara
d) Benar waktu
e) Benar dokumentasi
Sumber : Tribowo, C. (2013). Manajemen pelayanan keperawatan di rumah sakit.Jakarta :
TIM

B. Diagnostik keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu:


1. Defisit pengetahuan tentang terapi obat berhubungan dengan:
a. Kurang terpapar informasi
b. Kurang mampu mengingat
c. Ketidaktahuan menemukan sumber informasi
2. Ketidakpatuhan terhadap terapi obat berhubungan dengan:
a. Beban pembiayaan perawatan/pengobatan
b. Efek samping program peraatan/pengobatan
c. Ketidakadekuatan pemahaman
d. Lingkungan tidak terapeutik
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan:
a. Nyeri
b. Kecemasan/ketidaknyamanan
c. Ketidakbugaran fisik
4. Ansietas terhadap terapi obat yang berhubungan dengan:
a. Penyakit kronis/status kesehatan yang berubah
b. Kekhawatiran mengalami kegagalan
c. Kurang terpapar informasi
5. Gangguan menelan berhubungan dengan:
a. Akalasia
b. Esophagitis

C. Perencanaan Keperawatan

No Diagnose keperawatan SLKI SIKI


1 Defisit Pengetahuan Setelah dilakukan intervensi Edukasi Program Pengobatan
tentang terapi obat keperawatan kepada pasien Observasi
(D.0111) selama -- x 24 jam - Identifikasi pengetahuan
diharapkantingkat tentang pengobatan
b.d ( Berhubungan pengetahuan pasien dapat yang direkomendasikan
dengan) : meningkat dengan kriteria
- Kurang terpapar hasil: Terapeutik
informasi - Menunjukkan pemahaman - Fasilitasi informasi tertulis
- Kurang mampu terhadap terapi obat yang atau gambar untuk
mengingat sedang dijalani meningkatkan pemahaman
-Ketidaktahuan - Menunjukkan perilaku terapi - Berikan dukungan untuk
menemukan sumber obat sesuai anjuran menjalani program
informasi - Menjalani pemeriksaan yang pengobatan dengan baik dan
tepat benar
Gejala dan tanda - Libatkan keluarga untuk
(Mayor) memberikan dukungan pada
- Menanyakan masalah pasien selama pengobatan
yang dihadapi
- Menunjukkan
perilaku tidak sesuai Edukasi
anjuran - Jelaskan manfaat dan efek
- Menunjukkan samping pengobatan
persepsi yang keliru - Jelaskan keuangan dan
terhadap masalah kerugian program pengobatan,
jika perlu
Gejala dan tanda - Informasikan fasilitas
(Minor) kesehatan yang dapat
- Menjalani digunakan selama pengobatan
pemeriksaan yang - Anjurkan mengkonsumsi obat
tidak tepat sesuai indikasi
- Menunjukkan - Anjurkan bertanya jika ada
perilaku berlebihan sesuatu yang tidak dimengerti
(misalnya apatis, sebelum dan sesudah
bermusuhan, agitasi, pengobatan dilakukan
hysteria) - Ajarkan kemampuan
melakukan pengobatan
mandiri.

2 Ketidakpatuhan Setelah dilakukan intervensi Promosi Kepatuhan


terhadap terapi obat keperawatan kepada pasien Pengobatan
(D.0114) selama -- x 24 jam Observasi
diharapkantingkat kepatuhan - Identifikasi tingkat
b.d (berhubungan pasien dapat meningkat dengan pemahaman pada penyakit,
dengan) : kriteria hasil: komplikasi dan pengobatan
- Efek samping program - Pasien menyetujui yang dianjurkan
perawatan/pengobatan menjalani - Identifikasi perubahan kondisi
- Beban pembiayaan perawatan/pengobatan kesehatan yang baru dialami
program perawatan/ - Pasien mengikuti anjuran
pengobatan - Pasien menunjukkan Terapeutik
- Lingkungan tidak perilaku mengikuti - Sediakan informasi tertulis
terapeutik program perawatan/ tentang jadwal pengobatan
- ketidakadekuatan pengobatan pasien
pemahaman. - Libatkan keluarga sebagai
pengawas minum obat
Gejala dan tanda - Atur jadwal minum obat
Mayor : dengan menyesuaikan
- Menolak menjalani aktivitas sehari-hari pasien,
perawatan/ jika memungkinkan
pengobatan
- Menolak mengikuti
anjuran Edukasi
- Perilaku tidak - Jelaskan pentingnya
mengikuti program mengikuti pengobatan sesuai
perawatan/ dengan program
pengobatan - Jelaskan akibat yang mungkin
- Perilaku tidak terjadi jika tidak mematuhi
menjalankan anjuran pengobatan
- Anjurkan menyediakan
Gejala dan tanda instruksi penggunaan obat
Minor : - Ajarkan strategi untuk
- Tampak tanda gejala mempertahankan atau
masalah kesehatan memperbaiki kepatuhan
masih ada atau pengobatan
meningkat
- Tampak komplikasi
penyakit/ masalah
kesehatan menetap
atau meningkat
3 Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan intervensi Dukungan ambulasi
keperawatan kepada pasien Observasi:
- Identifikasi adanya nyeri atau
selama -- x 24 jam keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik
diharapkanmobilitas fisik
melakukan ambulasi
pasien dapat menurun dengan - Monitor frekuensi jantung dan
kriteria hasil: tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
- Nyeri menurun
- Monitor kondisi umum selama
- Gerakan terbatas menurun melakukan ambulasi
- Kelemahan fisik Terapeutik:
- Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu
- Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
- Anjurkan melakukan ambulasi
dini
- Anjurkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat
tidur kekamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
4 Ansietas Setelah dilakukan intervensi Reduksi ansietas
keperawatan kepada pasien Observasi:
- Identifikasi saat tingkat ansietas
selama -- x 24 jam berubah
diharapkantingkat - Identifikasi kemampuan
mengambil keputusan
pengetahuan pasien dapat
- Monitor tanda-tanda ansietas
menurun dengan kriteria hasil: Terapeutik:
- Persepsi yang keliru terhadap - Ciptakan suasana terapeutik
masalah menurun untuk menumbuhkan
- Perilaku membaik kepercayaan
- Temani pasien untuk megurangi
kecemasan
- Pahami situasi yang membuat
ansietas
- Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
- Tempatkan barang pribadi yang
memberikan kenyamanan
- Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realistis
tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi:
- Jelaskan prosedur, termasuk
sensai yang mungkin di alami
- Informasikan secara actual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan
yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Anjurkan megungkapkan
perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu.
5 Gangguan menelan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan aspirasi
keperawatan kepada pasien Observasi:
- Monitor tingkat kesadaran,
selama -- x 24 jam batuk, muntah, dan kemampuan
diharapkanstatus menelan menelan
- Monitor status pernapasan
pasien dapat menurun dengan
- Monitor bunyi napas, trauma
kriteria hasil: setelah makan/minum
- Reflek menelan - Periksa residu gaster sebelum
memberi asupan oral
meningkatkan - Periksa kepatenan selang
- Frekuensi tersedak menurun nasogastric sebelum memberi
asupan oral
Terapeutik:
- Posisikan semi fowler (30-45
derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
- Pertahankan posisi semi fowler
(30-45 derajat) pada pasien
tidak sadar
- Pertahankan kepatenan jalan
napas
- Pertahankan pengembangan
balon endotrakeal tube (ETT)
- Lakukan penghisapan jalan
napas, jika produksi secret
meningkat
- Sediakan suction diruangan
- Hindari memberi makan makan
melalui selang gastrointestinal,
jika residu banyak
- Berikan makanan dengan
ukuran kecil atau lunak
- Berikan obat oral dlam bentuk
cair
Edukasi:
- Anjurkan makan secara perlahan
- Ajarkan teknik mencegah
aspirasi
- Ajarkan teknik megunyah atau
menelan, jika perlu

Implementasi Keperawatan
1. Defisit pengetahuan
-Memberikan edukasi program pengobatan dengan menjelaskan prosedur pemberian
obat dalam keperawatan
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPEN
KODE
DIDIKANTINGGI UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32
Gedung Abdul Muthalib, Kampus Unsri
Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan.
Telepon: 0711-581831. Fax: 0711- 581831Email
:keperawatan.unsri@yahoo.com

TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN

JUDUL PEMBERIAN OBAT INTRAVENA

AREA KEPERAWATAN

BAGIAN

Menyiapkan dan memberikan agen farmakologis melalui kateter


Pengertian intravena

1. Untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi dari


Tujuan pada dengan injeksi parenteral lain
2. Untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan
3. Untuk memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar
Persiapan 1. Obat klien sesuai dengan terapi yangdiberikan
tempat dan 2. Tempatobat
alat 3. Sarungtangan
4. Bengkok
5. Buku daftar obat klien
6. Perlak danpengalas
7. Tissue
Indikasi 1. Pasien yang membutuhkan agar obat yang diberikan dapat

21
bereaksi dengan cepat
2. Pasien yang tidak diperkenankan memasukkan apapun juga
melalui mulut
3. Pasien yang mengalami muntah-muntah sehingga tidak bisa
diberikan obat oral dan harus melalui injeksi
Kontra 1. Inflamasi dan infeksi di lokasi injeksi intravena
indikasi 2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi
ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena
pada tindakan hemodialiasis
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh darah
vena kecil yang aliran darahnya lambat
Pelaksanaan Tahap Pra Interaksi
1. Mengidentifikasi kemungkinan alergi, interaksi dan
kontraindikasi
2. Memverifikasi obat sesuai dengan indikasi
3. Periksa tanggal kadaluarsa
4. Memonitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum
pemberian obat.

Tahap Orientasi
1. Memberikan salam, memperkenalkan diri
2. Mengidentifikasi pasien dengan ; nama, tanggal lahir,
nomor rekam medis pasien
3. Menjelaskan tindakan dan prosedur yang akan dilakukan
kepadapasien, jenis obat yang diberikan, efek samping dari obat.
4. Kaji kembali keluhan pasien dan disesuaikan dengan
indikasi, serta rencana tindakan yang ingindiberikan
kepada pasien
5. Kontrak waktu dengan pasien : kapan pelaksanaan dan
berapa lama pelaksanaan tindakan keperawatan

22
C. Tahap Kerja
1. Mendekatkan alat kepada pasien
2. Lakukan dengan prinsip 6 benar (pasien obat, waktu,
dosis, rute, dokumentasi)
3. Menutup sampiran
4. Mencuci tangan.
5. Menggunakan handscoon
6. Pastikan ketepatan dan kepatenan kateter IV.
7. Bebaskan daerah yang disuntik dengan cara membebaskan
daerah yang akan dilakukan penyuntikan dari pakaian dan
apabila tertutup buka atau ke ataskan.
8. Bebaskan daerah yang disuntik dengan cara membebaskan
daerah yang akan dilakukan penyuntikan dari pakaian dan
apabila tertutup buka atau ke ataskan.
9. Ambil obat dalam tempatnya dengan spuit sesuai dengan
dosis yang akan diberikan. Apabila obat berada dalam
bentuk sediaan bubuk, maka larutkan dengan pelarut
(aquades steril).
10. Ambil spuit yang berisi obat.
11. Lakukan penusukkan dengan lubang menghadap ke atas
dengan memasukkan ke pembuluh darah dengan sudut
penyuntikan 150 – 300
12. Lakukan aspirasi bila sudah ada darah lepaskan karet
pembendung dan langsung semprotkan obat hingga habis.
13. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik dan lakukan
penekanan pada daerah penusukkan dengan kapas alkohol,
dan spuit yang telah digunakan letakkan ke dalam
bengkok.
14. Merapihkan alat-alat seperti semula

D. Tahap Terminasi
1. Melakukanevaluasi respon klien
2. Berpamitandengan pasien
Dokumentasi
Sikap 1. Ramah dan sopan (menjaga perasaan klien)
2. Teliti dan hati-hati dalam melakukan tindakan keperawatan
3. Tidak tergesa-gesa dalam melakukan tindakan keperawatan
4. Cermat dalam mengambil langkah- langkah
tindakankeperawatan
Referensi

H., A. Aziz Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar


Manusia Buku 2. Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta. Dewan Pengurus PPNI
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPE
KODE
NDIDIKANTINGGI UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Gedung Abdul
Muthalib, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir 30662,
Sumatera Selatan. Telepon: 0711-581831. Fax: 0711-
581831Email :keperawatan.unsri@yahoo.com

TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN

JUDUL PEMBERIAN OBAT SUPOSITORI

AREA KEPERAWATAN

BAGIAN

Mempersiapkan dan memberikan agen farmakologis supositoria


Pengertian melalui rektal.

1. untuk memperoleh efek lokal maupun sistemik


Tujuan 2. untuk melunakkkan feses sehingga mudah untuk
dikeluarkan
Persiapan 1. Obat klien sesuai dengan terapi yangdiberikan
tempat dan 2. Tempatobat
alat 3. Sarungtangan
4. Bengkok
5. Buku daftar obat klien
6. Perlak danpengalas
7. Tissue
Indikasi 1. Bahan obat yang diberikan dapat mengiritasi mukosa
saluran cerna
2. Pasien dapat mengalami mual, muntah, dan
ketidakmampuan untuk minum
3. Pasien dengan tiingkat kesadaran rendah
4. Pasien dengan konstipasi
Kontra 1. Trauma pada jaringan recum dan resiko infeksi luka
indikasi operasi area rectum
2. Pasien mengeluh nyeri saat insersi supositoria rektal.
3. Pada pasien yang memiliki masalah pada kardiak output
maka pemasukan supositoria dapat menstimulasi syaraf
vagus yang memyebabkan distrimia jantung
Pelaksanaan Tahap Pra Interaksi
1. Memberikan salam, memperkenalkan diri
2. Mengidentifikasi pasien dengan ; nama, tanggal lahir,
nomor rekam medis pasien
3. Mengidentifikasi kemungkinan alergi, interaksi dan
kontraindikasi
4. Memverifikasi obat sesuai dengan indikasi
5. Periksa tanggal kadaluarsa
6. Mengidentifikasi tanda dan gejala gangguan
gastrointertinal
7. Memvalidasi kontrak waktu yang telah disepakati

Tahap Orientasi
6. Menjelaskan tindakan dan prosedur yang akan dilakukan
kepada pasien
7. Kaji kembali keluhan pasien dan disesuaikan dengan
indikasi, serta rencana tindakan yang ingindiberikan
kepada pasien
8. Kontrak waktu dengan pasien : kapan pelaksanaan dan
berapa lama pelaksanaan tindakan keperawatan
D. Tahap Kerja
1. Mendekatkan alat kepada pasien
2. Lakukan dengan prinsip 6 benar (pasien obat, waktu,
dosis, rute, dokumentasi)
3. Menutup sampiran
4. Mencuci tangan.
5. Lepas pakaian bawah pasien dan ditutupi denganselimut
6. Membantu klien pada posisi Sim, jaga agar hanya pada
bagiananussaja yang terbuka
7. Pasang handscoon
8. Keluarkan obat supositoria dari bungkusnya, lumasi ujung
supositoria dan tanganyang dominan dengan dengan jely
ataupelumas larut air.
9. Minta klien tarik nafas dalam dengan perlahan melalui
mulut agar spingter anusrelaksasi
10. Retraksi bokong dengan tangan tidak dominan. Masukkan
supositoria dengan perlahan melalui anus melalui sfingter
internal dan kearah dinding rektum, 10cm padadewasa5 cm
pada anak dan bayi
11. Menganjurkan klien untuk menahan±5 menit agar obat
tidak keluar sehingga bereaksi optimal
12. Merapihkan alat-alat seperti semula

E. Tahap Terminasi
1. Melakukanevaluasi respon klien
2. Berpamitandengan pasien
Dokumentasi
Sikap 1. Ramah dan sopan (menjaga perasaan klien)
2. Teliti dan hati-hati dalam melakukan tindakan keperawatan
3. Tidak tergesa-gesa dalam melakukan tindakan keperawatan
4. Cermat dalam mengambil langkah- langkah tindakan
keperawatan
Referensi :
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus PPNI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Gedung Dr. A. I. Muthalib, MPH Kampus Program Studi Ilmu Keperawatan FK
Unsri Indralaya, OI, 30662, Sumatera Selatan, Indonesia, Tel.0711-581831
STANDAR Dilakukan
OPERSIONAL PEMBERIAN OBAT ORAL
PROSEDUR Ya Tidak
Menyiapkan dan memberikan obat untuk pasien melalui mulut
PENGERTIAN
dan selanjutnya ditelan.

Memberikan obat kepada pasien melalui mulut secara tepat


TUJUAN
danbenar, sesuai dengan program pengobatan.

1. Baki
2. Obat-obat yang diperlukan, dalam tempatnya
3. Gelas obat
4. Sendok obat
5. Gelas ukuran
6. Air minum dalam tempatnya
7. Lap kerja, atau tissue bila mungkin disediakan
8. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan)
PERALATAN
9. Buku catatan dan kartu-kartu obat yang mencantumkan
secara lengkap:
a. Nama pasien
b. Nomor tempat tidur
c. Jenis dan nama obat
d. Dosis obat
e. Jadwal pemberian obat
f. Lain-lain.
A. Pra Interaksi NNNNN
1. Baca status laporan pasien N
2. Perhatikan prinsip 5 benar (benar pasien, benar obat,
benarwaktu, benar dosis, benar cara pemberian obat)
B. Interaksi
LANGKAH- 1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
LANGKAH 2. Menjalaskan tujuan tindakan
3. Menjelaskan prosedur tindakan
4. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
5. Meminta kesiapan pasien untuk melakukan
prosedur Tindakan
C. Prosedur kerja
1. Perawat mempersiapkan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemampuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemampuan menelan, mual dan muntah, akan dilakukan
penghisapan cairan lambung, atau tidak boleh makan/minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien, nama dan
dosis obat, waktu dan cara pemberian).
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca order
pengobatan dan ambil obat di almari, rak atau lemari es
sesuai yang diperlukan).
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan (gunakan teknik
aseptik, jangan menyentuh obat dan cocokkan dengan order
pengobatan)
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu
dengan cara:
a. Yakin tidak pada pasien yang salah
b. Atur pasien duduk bila mungkin
c. Kaji tanda-tanda vital pasien
d. Berikan cairan/air yang cukup untuk membantu
menelan, bila sulit menelan anjurkan pasien meletakan
obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan
minum.
e. Setelah pemberian obat lalu dicatat pada kartu obat.

D. Evaluasi
Tanyakan perasaan pasien setelah dilakukan pemberian obat
(Adakah reaksi pada saat dan setelah pemberian obat?)
Catat pada status klien yang meliputi tanggal dan waktu
dilakukannya pemberian obat.

Referensi:
Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat
bagi Perawat. Jakarta: EGC
DOKUMENTAS
I Tim Departemen Kesehatan RI. (1994). Prosedur
Perawatan Dasar. Jakarta: PersatuanPerawat Nasional
Indonesia.
Uliyah, M., & Hidayat, A. A. A. (2008).
Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik
Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika.
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPE
KODE
NDIDIKANTINGGI
UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32
Gedung Abdul Muthalib, Kampus Unsri
Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan.
Telepon: 0711-581831. Fax: 0711- 581831Email
:keperawatan.unsri@yahoo.com

TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN

JUDUL PEMBERIAN OBAT INTRAKUTAN

AREA KEPERAWATAN

BAGIAN

Memasukkan cairan obat langsung pada lapisan dermis atau


Pengertian dibawah epidermis permukaan kulit

1. Digunakan untuk tes alergi terhadap obat-obatan


Tujuan 2. Pemberian vaksinasi
Persiapan 1. Handscoon
tempat dan 2. Spuit steril dengan jarum no 25-27 atau spuit insulin 1 cc
alat 3. Bak instrument
4. Kom berisi kapas alcohol
5. Perlak
6. Bengkok
7. Obat injeksi dalam vial atau ampul
8. Daftar pemberian obat
9. Buku catatan

37
Pelaksanaan a. Tahap Prainteraki
1. Melakukan pengecekan program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
b. Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
c. Tahap Kerja
1. Baca daftar obat, larutan obat yang dibutuhkan, isi
spuit sesuai dengan kebutuhan
2. Mengidentifikasi pasien dengan prinsip 5 B (benar
obat, dosis, pasien, cara pemberian, dan waktu)
3. Cuci tangan
4. Menjaga privasi pasien dengan memasang sampiran
5. Mengatur posisi klien
6. Memasang perlak dan alasnya
7. Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
8. Memakai sarung tangan
9. Menentukan tempat penyuntikan dengan benar
10. Pegang kapas alcohol dengan tangan non dominan
11. Letakkan ujung jarum dan memasukkan dibawah kulit
dengan sudut 15°
12. Masukkan obat perlahan sampai adanya bula
13. Cabut jarum sesuai sudut masuknya
14. Usap pelan daerah penusukan dengan kapas alcohol
jangan ditekan
15. Buat lingkaran pada bula dengan menggunakan pulpen
16. Observasi kulit terhadap kemerahan dan bengkak
17. Kembalikan posisi klien
18. Bereskan alat
1 9 . C uc i t an g a n
KEMENTE R I A N R I S E T , TEKNOLOGIDANPE
Terminasi KODE
1N. DMIDeIlaKkAukNaTn

IeNvaGluGaIsi
UNI2V.
EBReSrIpTamAiStaSnRdIeW
ngIJanAYklAien
3.FADKoUkuLmTeAnStaKsiE
DOKTERAN
PRORGefRerAenMsiS:TUDIILMUKEPERAWATAN
H., AU.NAIzVizEARlSimITuAl. S(2S0R0I6W).
IPJeAnYgaAntar Kebutuhan Dasar Manusia
B u ku 2 . J a k a r ta : S al em
Jala n R ay a P a l e m b an g -

ba M ed ik a
P ra bu m u lih Km. 32
GTedimunPgokAjba dSuIKl MI DuPthPaPliPbN, KI

(a2m01p8u)s. UStnasnrdiar Intervensi


IndrKaleapyear,aOwagtaann IIlnirdo3n0e6s6i2a,.
SDuemfinaitsei rdaaSneTlaintadnak. an Keperawatan.
TelepJoank:a0rt7a1. 1D-5ew81a8n3P1e.
nFgauxr:u0s 7P1P1N- I581831E ma il
:keperawatan.unsri@yahoo.com

TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN

JUDUL PEMBERIAN OBAT INTRAMUSKULAR

AREA KEPERAWATAN

BAGIAN

Pemberian obat/cairan dengan cara memasukkan ke dalam otot


Pengertian
(muskulus)

Sebagai acuan penatalaksanaan tindakan suntikan pengobatan


Tujuan kedalam otot
Persiapan 1. Sarung tangan
tempat dan 2. Spuit dengan ukuran sesuai kebutuhan
alat 3. Jarum steril (21-23G dan panjang 1-1,5 inci untuk dewasa
dan 25-27 G dan 1 inci untuk anak-anak)
4. Bak spuit
5. Kapas alcohol
6. Perlak
7. Obat sesuai terapi
8. Bengkok
9. Buku catatan
Pelaksanaan A. Tahap Prainteraki
1. Melakukan pengecekan program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
B. Tahap orientasi
4. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
5. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
6. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
C. Tahap Kerja
1. Baca daftar obat, larutan obat yang dibutuhkan, isi spuit
sesuai dengan kebutuhan
2. Mengidentifikasi pasien dengan prinsip 5 B (benar
obat, dosis, pasien, cara pemberian, dan waktu)
3. Cuci tangan
4. Menjaga privasi pasien dengan memasang sampiran
5. Mengatur posisi klien
6. Memasang perlak dan alasnya
7. Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
8. Memakai sarung tangan
9. Menentukan tempat penyuntikan dengan benar
10. Pegang kapas alcohol dengan tangan non dominan
11. Letakkan ujung jarum dan memasukkan dibawah kulit
dengan sudut 90°
12. Masukkan obat perlahan (0,1 cc/detik)
13. Cabut jarum sesuai sudut masuknya
14. Usap pelan daerah penusukan dengan kapas alcohol
jangan ditekan
15. Buat lingkaran pada bula dengan menggunakan pulpen
16. Observasi kulit terhadap kemerahan dan bengkak
17. Kembalikan posisi klien
18. Bereskan alat
Cuci tangan
D.

Terminasi 1. Melakukan evaluasi


2. Berpamitan dengan klien
3. Dokumentasi
Referensi :
H., A. Aziz Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia Buku 2. Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta. Dewan Pengurus PPNI
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPE
KODE
NDIDIKANTINGGI
UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32
Gedung Abdul Muthalib, Kampus Unsri
Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan.
Telepon: 0711-581831. Fax: 0711- 581831Email
:keperawatan.unsri@yahoo.com

TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN

JUDUL PEMBERIAN OBAT SUBKUTAN

AREA KEPERAWATAN

BAGIAN

Memasukkan obat ke lapisan subkutan/ lemak dibawah lapisan


Pengertian kulit menggunakan spuit

1. Untuk mendapatkan reaksi setempat


Tujuan 2. Memasukkan obat agar dapat diabsorbsi

Persiapan 1. Handscoon
tempat dan 2. Spuit steril dengan jarum 5/8
alat 3. Bak instrument
4. Kom berisi kapas alcohol
5. Perlak
6. Bengkok
7. Obat injeksi dalam vial atau ampul
8. Daftar pemberian obat
9. Buku catatan

Pelaksanaan A. Tahap Prainteraki


1. Melakukan pengecekan program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
B. Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
C. Tahap Kerja
1. Baca daftar obat, larutan obat yang dibutuhkan, isi spuit
sesuai dengan kebutuhan
2. Mengidentifikasi pasien dengan prinsip 5 B (benar
obat, dosis, pasien, cara pemberian, dan waktu)
3. Cuci tangan
4. Menjaga privasi pasien dengan memasang sampiran
5. Mengatur posisi klien
6. Memasang perlak dan alasnya
7. Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
8. Memakai sarung tangan
9. Menentukan tempat penyuntikan dengan benar
10. Pegang kapas alcohol dengan tangan non dominan
11. Letakkan ujung jarum dan memasukkan dibawah kulit
dengan sudut 45°
12. Masukkan obat perlahan sampai adanya bula
13. Cabut jarum sesuai sudut masuknya
14. Usap pelan daerah penusukan dengan kapas alcohol
jangan ditekan
15. Buat lingkaran pada bula dengan menggunakan pulpen
16. Observasi kulit terhadap kemerahan dan bengkak
17. Kembalikan posisi klien
18. Bereskan alat
19. Cuci tangan
Terminasi 1. Melakukan evaluasi
2. Berpamitan dengan klien
3. Dokumentasi
Referensi :
H., A. Aziz Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia Buku 2. Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta. Dewan Pengurus PPNI
2. Ketidakpatuhan
-Memberikan SOP kepatuhan minum obat. SOP terlampir :

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI KODE
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
DOKUMEN TANGGAL
STANDARPROSEDUROPERASIONAL
STANDAR DIKELUARKAN

JUDUL SOP PEMANTAUAN KEPATUHAN MINUM OBAT

AREA KEPERAWATAN DASAR PROFESIONAL

KEPERAWATAN
BAGIAN
PENGERTIAN Ketertiban dan kepatuhan pengobatan pasien dari awal
pengobatan sampai dengan selesai masa pengobatan.

TUJUAN Untuk meningkatkan kesehatan dan meminimalisir


terjadinya kekambuhan.
1. Persiapan diri
PERSIAPA 2. Persiapan pasien dan keluarga
N ALAT
DAN 3. Persiapan alat :
TEMPAT - Alat tulis
PROSEDUR A). Tahap Pra Interaksi
1. Cek identitas pasien
2. Identifikasi kebutuhan/indikasi pasien
3. Cuci tangan
B). Tahap Orientasi
1. Menyapa pasien atau keluarganya dengan
ramah dan memperkenalkan diri, serta
menanyakan keadaannya.
2. Memberikan informasi, maksud, tujuan, serta

45
manfaat kepatuhan minum obat
C) Tahap Kerja
1. Menentukan jadwal kunjungan rumah dan
minum obat
2. Melakukan kunjungan kerumah pasien dengan
gangguan jiwa dan mengajarkan keluarga cara
minum obat yang benar
3. Memberikan edukasi kepada keluarga
mengenai pengobatan termasuk efek samping
pengobatan
4. Menstimulasi pasien dan keluarga untuk rutin
kontrol dan mengambil obat ke fasilitas
kesehatan
5. Mengevaluasi pasien dan keluarga mengenai
kepatuhan minum obat
6. Melakukan pencatatan dan pelaporan serta
kontak waktu selanjutnya bila diperlukan
dibuku kegiatan.
D). Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan yang baru
dilakukan
2. Dokumentasi hasil pelaksanaan,catat kegiatan
dalam lembar catatan perawatan
3. Mengucapkan terima kasih dengan pasien
4. Merapikan alat
5. Mencuci tangan
Referensi :
Laban Y.Y., .(2008). Penyakit dan
Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius.
Soemantri I.(2007). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
3. Gangguan mobilitas fisik
ambulasi sederhana seperti berjalan dari tempat tidur ke kursi roda sesuai
degan SOP yang diberikan. SOP terlampir:

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN KODE


PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDIILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang-Prabumulih Km. 32 Gedung
Abdul Muthalib, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir
30662, Sumatera Selatan. Telepon: 0711-581831.Fax:
0711-581831 Email: keperawatan.unsri@yahoo.com
TANGGAL
DOKUMEN
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL DIKELUARKA
STANDAR
N
PINDAH TEMPAT (TEMPAT TIDUR
JUDUL
KE KURSI RODA)

AREA KEPERAWATAN DASAR


PROFESIONAL

BAGIAN KEPERAWATAN
Memindahkan klien dari atas tempat tidur
PENGERTIAN kekursi roda untuk menjalani prosedur atau
tindakan tertentu.
.menjalani prosedur perawatan tertentu
TUJUAN Dipindahkan ke tempat atau ruangan
tertentu
Sarung Tangan jika perlu
PERSIAPAN ALAT
Kursi roda
1. Atur peralatan dengan tepat
PROSEDUR
 Rendahkan posisi tempat tidur sampai
pada posisi yang terendah sehingga
kaki kalien dapat menyentuh
lantai.Kunci semua roda tempat tidur.
 Letakkan kursi roda sejajar dan
sedekat mungkin dengan tempat
tidur. Kunci semua roda dari kursi
roda
2. Siapkan dan kaji klien.
 Bantu klien pada posisi duduk di tepi
tempat tidur (lihat kembali prosedur
membantu klien duduk di tepi tempat
tidur).
 Kaji klien, apakah mengalami
hipotensi postural sebelum
memindahkannya dari tempat tidur.
3. Berikan instruksi yang jelas pada
klien.Minta klien untuk:
 Bergerak ke depan dan duduk di tepi
tempat tidur.(agar pusat gravitasi
klien dekat dengan perawat).
 Congdongkan tubuh ke depan mulai
dari pinggul.(menyiapkan posisi
dada dan kepala pada arah
pergerakan dan membawa pusat
gravitasi klien secara langsungdi
atas landasan.
 Letakkkan kaki yang kuat dibawah
tepi tempat tidur ,sedangkan kaki yang
lemah berada di depannya.(dengan
cara ini, klien dapat menggunakan
kaki yang lebihkuat untuk berdiri dan
memberikan kekuatan pada
pergerakan.
 Letakkan tangan klien diatas
permukaan tempat tidur atau di atas
kedua bahu perawat sehingga klien
dapat mendorong tubuhnya secara
berdiri.
4. Siapkan posisi perawat dengan tepat.
 Berdiri tepat di depan klien.
Congdongkan tubuh ke
depan,fleksikan pinggul,lutut dan
pergelangan kaki.Lebarkan kaki
anda,dengan satu kaki di depan dan
yang lainnya dibelakang.jika
memungkinkan,buatlah kaki klien
sebagai cermin dari kaki perawat
 Lingkari punggung klien dengan
kedua tangan perawat
 Tegangkan otot gluteal, abdominal,
kaki, dan lengan anda,siapuntuk
melakukan pergerakan.
5. Bantu klien untuk berdiri, kemudian
bergerak bersama-sama menuju kursi
roda.
 Dalam 3 hitungan:minta klien untuk
menghentak dengan bagian kaki
belakang,kemudian menuju kaki
bagian depan, ekstensikanpersendian
pada ekstremitas bawah, dan dorong
atau tarik dengan kedua tangan,
bersamaan dengan perawat menarik
dengan kaki bagian depan,menuju
kaki bagian belakang,ekstensikan
persendian pada ekstremitas bawah,
dan tarik klien tepat menuju pusat
gravitasi perawat pada posisi berdiri.
 Bantu klien pada posisi tegak untuk
beberapa saat.
 Bersama-sama memutar aatau
mengambil beberapa langkah menuju
ke kursi roda.
6. Bantu klien untuk duduk
 Minta klien untuk: membelakangi
kursi roda, meletakkan bagian kaki
yang kuat dibelakang kaki yang lebih
lemah, menjaga kaki yang lainnya
tetap berada didepan, meletakkan
kedua tangan diatas lengan kursi
roda, atau tetap pada bahu perawat.
 Berdiri tepat di depan klien.
Letakkan satu kaki didepan dan kaki
-M yang lainnya dibelakang.
e  Tegangkan otot gluteal, abdominal
n dan lengan.
g  Dalam hitungan 3: minta klien untuk
a menggeser berat tubuhnya dengan
j jalan memindahkannya ke kaki
a bagian belakang,merendahkan tubuh
r sampai pada bagian tepi dari kursi
k roda dengan merefleksikan
a persendian pada kaki, dan lengan,
n bersama-samaan dengan perawat.
7. Pastikaan keselamatan klien:
l  Minta klien untuk menggeser
a duduknya sampai pada posisi yang
t paling aman dan nyaman.
i  Turunkan tatakan kaki, dan letakkan
h kedua kaki klien di atasnya.
a Dokumentasikan dalam catatan perawat
n ( mis.nama pasien,tanggal dan jam
Dokumentasi
tindakan, nama tindakan dan hasil
a tindakan, paraf nama perawat pelaksana
m SIKI DPP PPNI. (2018).Standar
b
Intervensi Keperawatan Indonesia.
u
Definisi Dan Tindakan
l
Keperawatan.Jakarta:Dewan Pengurus
a REFERENSI
PPNI.
s
i
Eni Kusyati, dkk. 2006.
Buku Keterampilan dan
Prosedur Laboratorium.
Jakarta. EGC
4. Ansietas
- Membantu mengajarkan teknik latihan otogenik (salah satu terapi relaksasi)
sesuai dengan SOP yang diberikan. SOP terlampir

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI KODE
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
DOKUMEN TANGGAL
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
STANDAR DIKELUARKAN

JUDUL SOP LATIHAN OTOGENIK

AREA KEPERAWATAN DASAR PROFESIONAL

BAGIAN KEPERAWATAN

PENGERTI Latihan otogenik adalah mengajarkan kemampuan sugesti diri dengan perasaan
AN senang dan kehangatan yang bertujuan untuk relaksasi

TUJUAN Memperoleh respon relaksasi untuk mencegah stress

1. Mengucapkan salam
2. Menyebut / menanyakan nama klien
3. Memperkenalkan diri dan instansi
FASE
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
ORIENTAS
I 5. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien sebelum melakukan tindakan
6. Siapkan lingkungan yang tenang dan aman
FASE KERJA 1. Mencuci tangan
2. Kenakan klien pakaian yang nyaman dan tidak membatasi pergerakan
3. Anjurkan duduk di kursi atau berbaring dalam posisi telentang
4. Bacakan pernyataan (skrip) yang di siapkan berhenti sejenak minta
mengulang secara internal
5. Anjurkan mengulangi pernyataan kepada diri sendiri untuk mendapatkan
perasaan lebih dalam pada bagian tubuh yang di tuju
6. Anjurkan latihan selama 15 – 20 menit
7. Anjurkan tetap rileks selama 15 – 20 menit
8. Anjurkan berlatih tiga kali sehari

FASE 1. Mengevaluasi hasil /respon klien


TERMINASI 2. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3. Mengakhiri kegiatan
4. Mencuci tangan
5. Dokumentasi
Referensi: Tim pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan
Indonesia.definisi dan tindakan keperawatan.jakarta:Dewan pengurus PPNI.
5. Gangguan menelan
- Membantu memberikan obat oral yang diberikan sesuai dengan SOP. SOP
terlampir:
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Gedung Dr. A. I. Muthalib, MPH Kampus Program Studi Ilmu Keperawatan FK
Unsri Indralaya, OI, 30662, Sumatera Selatan, Indonesia, Tel.0711-581831
STANDAR Dilakukan
OPERSIONAL PEMBERIAN OBAT ORAL
PROSEDUR Ya Tidak
Menyiapkan dan memberikan obat untuk pasien melalui mulut
PENGERTIAN
dan selanjutnya ditelan.

Memberikan obat kepada pasien melalui mulut secara tepat


TUJUAN
danbenar, sesuai dengan program pengobatan.

1. Baki
2. Obat-obat yang diperlukan, dalam tempatnya
3. Gelas obat
4. Sendok obat
5. Gelas ukuran
6. Air minum dalam tempatnya
7. Lap kerja, atau tissue bila mungkin disediakan
8. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan)
PERALATAN
9. Buku catatan dan kartu-kartu obat yang mencantumkan
secara lengkap:
a. Nama pasien
b. Nomor tempat tidur
c. Jenis dan nama obat
d. Dosis obat
e. Jadwal pemberian obat
f. Lain-lain.
E. Pra Interaksi NNNNN
1. Baca status laporan pasien N
2. Perhatikan prinsip 5 benar (benar pasien, benar obat,
benarwaktu, benar dosis, benar cara pemberian obat)
F. Interaksi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menjalaskan tujuan tindakan
3. Menjelaskan prosedur tindakan
4. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
5. Meminta kesiapan pasien untuk melakukan prosedur
Tindakan

G. Prosedur kerja
1. Perawat mempersiapkan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemampuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemampuan menelan, mual dan muntah, akan dilakukan
penghisapan cairan lambung, atau tidak boleh makan/minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien, nama dan
dosis obat, waktu dan cara pemberian).
LANGKAH-
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca order pengobatan
LANGKAH
dan ambil obat di almari, rak atau lemari es sesuai yang
diperlukan).
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan (gunakan teknik
aseptik, jangan menyentuh obat dan cocokkan dengan order
pengobatan)
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan
cara:
a. Yakin tidak pada pasien yang salah
b. Atur pasien duduk bila mungkin
c. Kaji tanda-tanda vital pasien
d. Berikan cairan/air yang cukup untuk membantu
menelan, bila sulit menelan anjurkan pasien meletakan
obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan
minum.
e. Setelah pemberian obat lalu dicatat pada kartu obat.

H. Evaluasi
Tanyakan perasaan pasien setelah dilakukan pemberian obat
(Adakah reaksi pada saat dan setelah pemberian obat?)
DOKUMENTAS Catat pada status klien yang meliputi tanggal dan waktu
I dilakukannya pemberian obat.
Referensi:

Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC

Tim Departemen Kesehatan RI. (1994). Prosedur Perawatan Dasar. Jakarta:


PersatuanPerawat Nasional Indonesia.

Uliyah, M., & Hidayat, A. A. A. (2008).Praktikum Keterampilan Dasar Praktik

Klinik Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan.Jakarta: Salemba Medika.


Jurnal Pendukung
 RELAKSASI AUTOGENIK MENURUNKAN KECEMASAN PASIEN
KANKER SERVIKS
Pada artikel di atas menjelaskan bahwa Autogenik Training (AT) merupakan
relaksasi dengan penyampaian sugesti positif yang membuat efek relaksasi
psikologis dan pada akhirnya akan didapatkan efek anxiolitik serta dapat
memutuskan pikiran-pikiran negatif yang menyertai kecemasan. Pada artikel
tersebut relaksasi autogenik yang dilakukan 2 kali per hari selama 2 minggu
dinyatakan dapat menurunkan kecemasan pasien kanker serviks.Respon emosi
dan efek menenangkan yang ditimbulkan dari relaksasi ini mampu mengubah
fisiologi dominan simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis.Kesimpulan:
relaksasi otogenik ini merupakan tindakan dengan cara mengajarkan kemampuan
sugesti diri dengan perasaan senang dan kehangatan yang bertujuan untuk
relaksasi dalam mencegah stress dan mengurangi kecemasan. Sehingga bisa
diterapkan sebagai intervensi dalam mengatasi kecemasan yang dialami oleh
seseorang.

 PUSAT PERAWATAN LUKA PATRIA CARE BLITAR UNIT


PELAYANAN PERAWATAN LUKA, KONSELING, PRODUK SALEP
LUKA DAN PELATIHAN PERAWATAN LUKA
Jurnal diatas membahas tentang perawatan luka.Luka merupakan gangguan
atau kerusakan jaringan pada tubuh yang mengakibatkan ketidaksempurnaan dan
pada akhirnya sering terjadi gangguan baik fisik maupun emosional. Proses
penyembuhan luka didefinisikan sebagai pemulihan integritas jaringan trauma
atau pemulihan kembali dari tensile kulit yang terluka. Kegiatan pelayanan
perawatan luka seperti , konseling, perawatan kaki dan penjualan obat-obatan.
perawatan luka dilakukan dengan cara berkunjung ke rumah klien. Jumlah
kunjungan Patria Care sampai dengan mulai Bulan Januari sampai dengan
Nopember 2016 mencapai 153 kunjungan.Pelayanan perawatan di Patria Care
lebih mengutamakan penggunaan produk dari Patria Care seperti salep dan bahan
untuk mencuci luka. Salah satu intervensi yang dapat mempercepat proses
penyembuhan luka ada pemelihan dressing yang tepat. Tujuan utama penggunaan
dressing dalam perawatan luka adalah menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk proses penyembuhan luka.
 PENGARUH EDUKASI TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT
PENDERITA HIPERTENSI DI POS PEMBINAAN TERPADU
KELURAHAN MOJOROTO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR

Pada penelitian ini didapatkan (p=0,001) yang berarti setelah dilakuka edukasi
ada perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan minum obat pada kelompok
kontrol dan intervensi. Peneliti melakukan intervensi pemberian edukasi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol mendapat informasi sesuai SOP dari
Puskesmas. Kepatuhan minum obat diukur 7 hari sebelum edukasi dan 28 hari
setelah edukasi Kemudian dibagi menjadi dua kelompok intervensi 21 responden
dan kelompok kontrol juga 21 responden.Kesimpulan :Edukasi diet dan terapi
obat mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan minum obat, kepatuhan terhadap
pengobatan merupakan tingkatan perilaku dimana penderita menggunakan obat,
mentaati semua aturan dan nasihat yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan.
Perawat mempunyai peran yang penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan.Salah satu peran penting seorang perawat adalah sebagai
educator.Perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan pada semua
pasien dalam hal pencegahan penyakit, pemulihan penyakit dan memberikan
informasi yang tepat tentang kesehatan. Edukasi kesehatan yang diberikan oleh
perawat akan meningkatkan kepatuhan terhadap program terapi dan pengendalian
penyakit. Melalui kegiatan edukasi yang dilaksanakan secara rutin serta adanya
kegiatan pengontrolan konsumi obat pada pasien secara tidak langsung
meningkatkan kesadaran pasien melaksanakan terapi pengobatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.
 HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KESEMBUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS
DELANGGU KABUPATEN KLATEN

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa Ada hubungan antara kepatuhan
minum obat dengan kesembuhan pasien TB BTA positif di Puskesmas Delanggu
Klaten. Hal ini terbukti dengan nilai signifikansi (P) 0.006 dengan (α) = 5% maka
P < 0.05. Dibuktikan dengan sebagian besar Pasien TB di Puskesmas Delanggu
Klaten patuh minum obat sebanyak 25 responden (65,8%) dan kesembuhan pasien
TB BTA positif sebagian besar sembuh sebanyak 32 responden (84,2%) .
Kesimpulan: Kesembuhan pasien TB dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah umur, tingkat pendidikan, status gizi, faktor lingkungan dan
kepatuhan pasien dalam minum obat. Faktor pengaruh yang terbesar dalam
kesembuhan pasien TB adalah kepatuhan minum obat. Kepatuhan ini diartikan
sebagai perilaku pasien untuk minum obat sesuai dengan jenis, dosis, cara minum,
waktu minum dan jumlahhari minum obat yang sesuai dengan pedoman nasional
penanggulangan TB.

Kepatuhan minum obat pada pengobatan tuberkulosis sangat penting karena


dengan minum obat secara teratur dalam jangka waktu 2 minggu, kuman TB sudah
terpecah dan tidak potensial untuk menular. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
jika kepatuhan minum obat tinggi maka kesembuhan pasien TB paru BTA positif
juga meningkat, sehingga risiko untuk terjadi kasus TB resisten obat juga dapat
dicegah.

 REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA DISFAGIA


Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang
besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami
gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 162 Jurnal Biomedik (JBM),
Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164 kali menelan untuk setiap
bolus. Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat
akanmenyebabkan terkumpulnya bolus di dalam laring dan menyebabkan aspirasi
sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan
mengurangi terjadinya aspirasi, Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke
atau traumatic brain injury memiliki potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan
bahwa sekitar 87% penderita stroke kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi
hasil videofluroskopi menunjukkan terdapat 51% penderita yang tetap
menunjukkan adanya gangguan pada proses menelan. Penderita dengan kondisi
yang statis atau progresif seperti amyothropic lateral sclerosis, multipel sklerosis,
muskular distrofik, dan Parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan
mempertimbangkann pemberian nonoral feeding
Kesimpulan : Diagnosis dan penanganan dini penderita disfagia sangat diperlukan.
Penanganan disfagia dalam bidang rehabilitasi medik bertujuan untuk
mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat dan memaksimalkan proteksi
terhadap jalan napas; dalam hal ini sangat diperlukan kerjasama tim rehabilitasi
dengan bidang spesialisasi lainnya.
ETIKA DAN LEGAL KEPERAWATAN

A. Etik Atau Etika Keperawatan


Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap
pada kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu
yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-
hariya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika.
Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian.
Etik atau etika adalah kode prilaku yang memperlihatkan perbuatan yang
baik bagikelompok tertentu. Etika juga merupakan peraturan dan prinsip
bagiperbuatanyang benar. Etika berhubungan dengan hal yang baik dan hal yang
tidak baikdandengan kewajiban moral. Etika berhubungan dengan peraturan untuk
perbuatanatau tindakan yang mempunyai prinsip benar dan salah, serta prinsip
moralitaskarena etika mempunyai tanggung jawab moral, menyimpang dari kode
etik berarti tidak memiliki prilaku yang baik dan tidak memiliki moral yang baik.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standard dan
prinsip-prinsipyang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan
untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk
juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin
dalam standar praktek profesional.
1. Definisi Etik
Etika berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan
David (1978) berarti ”kebiasaaan”, ”model prilaku” atau standar yang
diharapkan dan kriteria tertentu untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika
sekarang ini banyak diartikan sebagai motif atau dorongan yang mempengaruhi
perilaku.
Definisi etik atau etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang
baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan
tanggungjawab moral.
a) Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar
atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
b) Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral ke
dalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang
membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang
dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan
istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya
dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI.
c) Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan
terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku
seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai
yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal.
d) Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal
tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika
dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional.

2. Istilah-Istilah dalam Etika dan Hukum Keperawatan


Ada beberapa istilah dalam etika dan hukum keperawatan yaitu:
a) Etika: peraturan/norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku
seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik/buruk, merupakan
suatu tanggung jawab moral.
b) Etik: suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara
moral atau ilmu kesusilaan yang menyangkut aturan/prinsip penentuan
tingkah laku yang baik dan buruk, kewajiban dan tanggung jawab.
c) Etiket: merupakan sesuatu yang telah dikenal, diketahui, diulangi serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam masyarakat, baik berupa kata-kata/suatu
bentuk perbuatan yang nyata
d) Moral: perilaku yang diharapkan masyarakat atau merupakan standar
perilaku atau perilaku yang harus diperhatikan seseorang menjadi anggota
kelompok atau masyarakat dimana ia berada, atau nilai yang menjadi
pegangan bagi seseorang suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
e) Kode etik adalah kaedah utama yang menjaga terjalinnya interaksi pemberi
dan penerima jasa profesi yang wajar, jujur, adil dan terhormat.
f) Profesional adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam suatu
pekerjaan tertentu.
g) Profesionalisme, karakter, spirit, metoda profesional, mencakup pendidikan
dan kegiatan berbagai kelompok yang anggotanya berkeinginan jadi
profesional.
h) Profesionalisme, merupakan suatu proses yang dinamis untuk memenuhi
atau mengubah karakteristik ke arah profesi.
i) Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.

3. Prinsip-Prinsip Etik dalam Keperawatan


Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan
prinsip-prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat
keputusan untuk melindungi hakhak manusia. Etika diperlukan oleh semua
profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi
dan tercermin dalam standar praktek profesional, seperti:
a) Otonomi (Autonomy)
Dalam bekerja perawat harus memilik prinsip otonomi didasarkan
pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat
keputusan sendiri. Perawat harus kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus
dihargai dan tidak dipengaruhi atau intervensi profesi lain. Prinsip otonomi
merupakan bentuk respek terhadap klien, atau dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional.Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien
dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b) Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Setiap kali
perawat bertindak atau bekerja senantiasa didasari prinsip berbuat baik
kepada klien. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau
kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan
oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan keperawatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi.
c) Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan harus ditumbuh kembangan dan dibutuhkan dalam
diri perawat, perawat bersikap yang sama dan adil terhadap orang lain dan
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam memberikan asuhan keperawatan ketika perawat bekerja
untuk yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan keperawatan.
d) Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip tidak merugikan harus di pegang oleh setiap perawat, prinsip
ini berarti tidak menimbulkan bahaya, cedera atau kerugian baik fisik
maupun psikologis pada klien akibat praktik asuhan keperawatan yang
diberikan kepada individu maupun kelompok.
e) Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran,perawat harus
menerpkan prinsi nilai ini setiap memberikan pelayanan keperawatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa
klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran.Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama
menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argumen
mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan
kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan
paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan
saling percaya.
f) Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan oleh setiap perawat untuk menghargai janji
dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah
kewajiban seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya.Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik
yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
g) Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien.Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak
ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan
oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien di luar area
pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan
tenaga kesehatan lain harus dihindari.
h) Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
4. Metodologi Dalam Pengambilan Keputusa Etis
Perawat memiliki kewajiban etis untuk mendukung, meningkatkan dan
membantu pengambilan keputusan klien, untuk mendukung hak klien pada
informed consent untuk memberikan informasi mengenai resiko yang akan
datang ketika tindakan itu diberikan kepadanya dan untuk mengikuti jalan yang
diambil klien.Pertimbangan etis yang meliputi tantangan dalam masalah dan
dilema etis dapat diarahkan dengan metode proses asuhan keperawatan. Hal
terbaik sebelum diambil suatu keputusan sebaiknyaa dideskusikan terlebih
dahulu antara klien dengan perawat atau petugas kesehatan yang akan
melakukan suatu tindakan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai
informasi yang relevan. Setiap situasi atau dilema etis berbeda cara
pendekatannya, namum dalam situasi apapun perawat dapat menggunakan
panduan berikut ini untuk pemmrosesan dan pengambilan keputusan etis:
a) Menunjukkan maksud baik
Penting bagi perawat dan semua tim yang terlibat mengikuti diskusi
etik dengan anggapan bahwa semua tim menemukan apa yang baik bagi
tidakan yang akan diberikan kepada klien. Diskusi harus dimulai dengan
etikat baik dan kepercayaan pada semua anggota tim, jika tidak dimulai
dengan saling percaya dan prinsip berbuat baik maka hasil yang diputuskan
tidak akan memberikan kebaikan pada klien dan mencegah terjadinya
kesalahan dan kejahatan pada klien dan keluarganya.
b) Mengidentifikasi semua orang penting
Sebelum pengambilan keputusan etis, perawat hendaknya
mengingatkan bahwa semua orang/anggota tim ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan moral adalah penting. Tidak menilai seberapa besar
porsi nilai yang diberikan oleh masing-masing anggota tim, prinsipnya
bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan bersama atau keputusan
tim.
c) Mengumpulkan informasi yang relevan
Menggali atau mengumpulakan semua informsi sangatlah penting
sebelum keputusan etis diambil. Infoemasi yang relevan meliputi data
tentang pilihan klien, sistem keluarga, diagnosa dan prognosa medis,
pertimbangan sosial dan dukungan lingkungan. Pengumpulan data
merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pertimbangan
pengambilan keputusan etis. Perawat atau tim perawat tidak dapat
mengambil keputusan yang baik jika berdasarkan data-data atau informasi
yang lemah. Oleh karena itu, perawat harus mampu mengumpulan informasi
yang paling relevan sebagai dasar pengambilan keputusan etis bagi klein.
d) Mengidentifikasi prinsip etis yang penting
Keputusan etis harus didasari prinsip etis yang sesuai, walaupun
prinsip etis yang umum dan universal tidak dapat menunjukka pada perawat
apa yang harus ia lakukan dalam situasi kritis. Tetapi prinsip etis tersebut
tetap harus dijadikan standar pegangan bagi perawat untuk mengambil
keputusan etis, karena dapat membantu dalam menilai dalam situasi dilema
tersebut. Sehingga dapat mencari solusi untuk mengesampingkan atau
menghilangkan hal yang dapat menghalangi norma dan nilai keputusan etis
akan menjadi lebih baik.
e) Mengusulkan tindakan alternatif
Perawat seringkali sulit mengatasi masalah etis yang dihadapi, karena
mereka hanya dapat melihat satu tindakan yang mungkin dapat diberikan
kepada klien. Tanpa memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan yang
masuk akal yang dapat melindungi nilai kemanusiaan yang pada orang-orang
yang terlibat.
f) Melakukan tindakan
Begitu keputusan etis telah diambil berdasarkan hasil diskusi tim yang
dilakukan secara terbuka dengan melibatkan semua unsur yang terkait, maka
perawat atau tim dapat mengimplementasikannya dalam bentuk tindakan
keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan.
B. Legal Etik Dalam Praktik Keperawatan
Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui
kerja sama bersifat kolaboratif dengan pasien atau klien dan tenaga kesehatan
lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan
tanggung jawabnya. Seorang perawat profesional dalam bekerja memberikan
praktik asuhan keperawatan harus sesuai dengan standar keperawatan dan
peraturan perundang-undangan atau hukum, dengan kata lain bahwa praktik
asuhan keperawatan tersebut harus bersifat legal.
1. Pengertian legal dan Issue Legal dalam Praktik Keperawatan
Legal adalah sesuatu yang di anggap sah oleh hukum dan undang-undang
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).Aspek legal yang sering pula disebut dasar
hukum praktik keperawatan mengacu pada hukum nasional yang berlaku di
suatu negara.Hukum bermaksud melindungi hak publik, misalnya undang-
undang keperawatan bermaksud melindungi hak publik dan kemudian
melindungi hak perawatan. Issue legal dalam praktik keperawatan adalah suatu
peristiwa atau kejadian yang dapat di perkirakan terjadi atau tidak terjadi di
masa mendatang dan sah, sesuai dengan Undang-Undang/ Hukum mengenai
tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama dengan klien baik
individu, keluarga atau komunitas dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya, baik tanggung jawab medis/kesehatan
maupun tanggung jawab hukum.
2. Tipe Tindakan Legal
Terdapat dua macam tindakan legal: tindakan sipil/pribadi, dan tindakan
kriminal.
a) Tindakan sipil berkaitan dengan isu antara individu-individu.
b) Tindakan kriminal berkaitan dengan perselisihan antara individu dan
masyarakat secara keseluruhan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1. Terdapat beberapa diagnosa yang muncul yaitu defisit pengetahuan tentangg


terapi obat, ketidakpatuhan terhadap terapi obat, gangguan mobilitas fisik,
ansietas, dan gangguan menelan
2. Dalam pemberian obat pada pasien ada 6 prinsip benar obat yang harus
diperhatikan. Adapun prinsip enam benar pemberian obatyaitu benar pasien
dimana sebelum memberikan obat cek kembali identitas pasien. Benar obat,
sebelum memberikan obat kepada pasien, label pada botol atau kemasan harus
di periksa minimal 3 kali.
3. Ada beberapa macam tatalksana dalam pemberian obat, antara lain
- Pemberian obat secara oral dapat dikonsumsi langsung disertai dengan
pemberian air minum. Bentuk dari obat berupa, pil, tablet, bubuk, sirup,
kapsul atau puyer. Bertujuan untuk membantu absorbsi.
- Pemberian obat secara parenteral dengan cara memasukan obat tertentu ke
dalam jaringan tubuh dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit atau selaput lendir atau menembus suatu atau lebih lapisan kulit
atau membran mukosa menggunakan alat suntik. ( depkes RI 1994. Adapun
letak dari injeksi ini yaitu di intracutan, subcutan, intra muscular, intravena
- Pemberian obat topikal pada kulit dengan mengoleskan yang bertujuan
mempertahankan hidrasi, melindungi permukaan kulit, mengurangi iritasi
kulit, atau mengatasi infeksi.
- Pemberian obat suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan
bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina, maupun uretra, berbentuk
torpedo, dapat melunak, melarut, atau meleleh pada suhu tubuh.
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa Keperawatan
Tugas dalam lingkup keperawatan dasar ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya agar dapat dijadikan sebagai sumber informasi
dalam memberikan asuhan keperawatan dan tindakan sebelum diberikan asuhan
keperawatan

2. Bagi Pendidikan Keperawatan


Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas
dan profesional agar terciptanya perawat yang profesional, terampil, inovatif,
aktif dan bermutu yang dapat memberikan asuhan keperawatan secara
menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient safety).
2nd ed.Jakarta: Depkes RI; 2008.
Ditjen POM, (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.

Noviani, N. & Nurilawaty, V. (2017). Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI

Nuryati. (2017). Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI

Govern , M. C. (2008). Nursing Standards On Intravenous Practice, Association Of


Nursing Service Administrators Of The Philippines(ANSAP), philippines.
H., A. Aziz Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 2. Jakarta:
Salemba Medika.

Hidayat, A. A. A., dan M. UliyaH. (2014)Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.


Hughes, R. G & Potter, P. A. (2010).Medication administration. Jakarta: EGC
Jenny J.(2014). Rehabilitasi medik pada penderita disfagia. Jurnal Biomedik (JBM),
Volume 6, Nomor 3.

Kee, J.L & Hayes, E.R. (2006).Pharmacology a nursing process approach, 5th edn,
Singapore: Elsevier.
Laban Y.Y., .(2008). Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius.

Nuridayanti, A, M. (2018).Pengaruh Edukasi terhadap Kepatuhan Minum Obat


Penderita Hipertensi di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto Kota
Kediri Jawa Timur.Jurnal Keperawatan vol 6(1). P ISSN 2337-649X

Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC

Tim pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan


Indonesia definisi dan tindakan keperawatan.Jakarta:Dewan pengurus
PPNI.
Soemantri I.(2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Tim Departemen Kesehatan RI. (1994). Prosedur Perawatan Dasar. Jakarta:


PersatuanPerawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia.Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus
PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia.Definisi dan Tindakan Keperawatan.Jakarta. Dewan Pengurus
PPNI

Ulfa Husnul Fata, Anita Rahmawati, Nawang Wulandari, et. al. (2018).Pusat
Perawatan Luka Patria Care Blitar Unit Pelayanan Perawatan Luka,
Konseling, Produk Salep Luka Dan Pelatihan Perawatan Luka. Jurnal
Dedikasi, ISSN 1693.

Uliyah, M., & Hidayat, A. A. A. (2008).Praktikum Keterampilan Dasar Praktik


KlinikAplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan.Jakarta: Salemba Medika.

WHO, (1998 ), Nursing care of the sick: A guide for nurses working in small rural
hospitals.
Widiyanto, A. (2016). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Kesembuhan
Pasien Tuberkulosis Paru Bta Positif Di Puskesmas Delanggu Kabupaten
Klaten. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. Volume 6, No 1.

Wijayanti, D. (2016). Relaksasi Autogenik Menurunkan Kecemasan Pasien Kanker


Serviks. Jurnal Keperawatan. Vol 9 (1): ISSN 1979 – 8091.
PENGARUH AMBULASI DINI TERHADAP PENINGKATAN PEMENUHAN
ACTIVITY OF DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN POST OPERASI
FRAKTUR EKSTREMITAS DI RSUD AMBARAWA

Ni Made Ayu Wulansari *)Ismonah**)Shobirun***)

*)
Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
**)
Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
***)
Dosen Program Studi Keperawatan Poltekkes KeMenkes Semarang

ABSTRAK

Pasien post operasi khususnya post operasi fraktur ekstremitas mengalami peningkatan
ketergantungan pemenuhan Activity of Daily Living (ADL). Ambulasi dini adalah salah satu cara
untuk membantu mengurangi ketergantungan dalam pemenuhan ADL. Fraktur adalah terputusnya
kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Operasi tulang untuk menyambung dua
bagian tulang atau lebih dengan menggunakan alat-alat fiksasi dalam seperti plate, screw, nail plate,
wire/K-wire .Ambulasi dini adalah tindakan keperawatan yang paling signifikan untuk mengurangi
komplikasi post operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Ambulasi Dini terhadap
Peningkatan Pemenuhan Activity of Daily Living (ADL) pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas
Di RSUD Ambarawa. Desain penelitian ini adalah one group pre dan post test design. Teknik
sampling penelitian ini adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 30 responden. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh ambulasi dini terhadap peningkatan pemenuhan Activity of
Daily Living (ADL) pada pasien post operasi fraktur ekstremitas dengan nilai P sebesar 0,00 (<0.05).
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan peneliti selanjutnya untuk dapat
mengembangkan penelitian dengan memperhatikan faktor dukungan sosial (keluarga) yang
mempengaruhi keinginan untuk ambulasi dini.

Kata Kunci: Ambulasi Dini, Activity of Daily Living, ADL

ABSTRACT

Post-surgery patients, especially extremity fracture post-surgery ones, found their needs towards the
dependency of Activity of Daily Living (ADL) sufficiency increasing. Early ambulation is one of
among other ways to reduce the dependency of Activity of Daily Living (ADL) sufficiency. Fracture
is the disconnection of bone continuity characterized based on its type and width. Bone surgery is
meant to re-connect a piece of or more bones by applying internal fixation devices such as plate,
screw, nail plate, wire/K-wire. Early ambulation is the most significant nursing care to reduce post-
surgery complication. This study was designed to figure out the influence of early ambulation toward
the increasing of the Activity of Daily Living (ADL) sufficiency for extremity fracture post-surgery
patients at District General Hospital of Ambarawa. The design of this study was one group pre dan
post test design. The sampling method of this study waspurposive samplingwith 30 respondents. The
findings of the study show that there is an influence of early ambulation toward the increasing of the
Activity of Daily Living (ADL) sufficiency for extremity fracture post-surgery patients with 0,000 P
value (p<0.05). The result of this study can be used as a reference for the future researchers to develop
a study by considering the social support factor (family) which influence the need of early
ambulation.

Key words : early ambulation, Activity of Daily Living, ADL

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015) 1


PENDAHULUAN melakukan ADL dasar, yaitu berpindah dari
tempat tidur atau bangkit berdiri dari kursi
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang juga dapat menjadi masalah (Thomas, 2011,
(Grace & Borley, 2006, hlm. 85). Sedangkan hlm 42).
menurut Broker (2009, hlm. 136) Fraktur
adalah rusaknya keutuhan tulang. Secara umum, sasaran rehabilitasi setelah
fraktur ekstremitas atas adalah mengembalikan
Fraktur merupakan salah satu jenis cedera. fungsi independen, mulai dari ADL dasar
Dalam Riset Kesehatan Daerah (Riskesda), (Thomas, 2011, hlm.42). Sebelum dilakukan
tahun 2007 cedera dibagi beberapa jenis yaitu rehabilitasi, sebaiknya klien paska operasi
benturan, luka lecet, luka terbuka, luka bakar, dilakukan ambulasi dini. Ambulasi dini
terkilir/teregang, patah tulang, anggota gerak merupakan komponen penting dalam
terputus, keracunan dan lainnya. Hasil riskesda perawatan paska operasi karena jika klien
2007 cedera transportasi darat sebesar 25,9 membatasi pergerakannya di tempat tidur dan
persen dan riskesda 2013 sebesar 47,7 persen. sama sekali tidak melakukan ambulasi klien
Apabila hasil Riskesdas 2007 dan 2013 akan semakin sulit untuk mulai berjalan
dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa (Kozier et al., 2009, hlm.262). Dengan klien
terjadi peningkatan cedera karena transportasi berani bergerak diharapkan klien mau untuk
darat dari tahun 2007 sampai 2013 sebesar melakukan aktivitas dasar dan tidak
21,8 persen. Menurut data Riskesda 2007 membatasi pergerakannya di tempat tidur.
prevalensi fraktur di Indonesia sebanyak 4,5
persen dan riskesda 2013 sebanyak 5,8 Ambulasi dini dapat meningkatkan mobilisasi
persen. Tidak hanya pada prevalensi fraktur di klien dan mengurangi dampak imobilitas
Indonesia yang mengalami peningkatan, Jawa akibat fraktur. Mobilisasi adalah ide pokok
Tengah juga mengalami peningkatan dalam keperawatan ortopedik, dengan
prevalensinya, hal ini dibuktikan dengan hasil dilakukan mobilisasi, diharapkan klien dapat
Riskesda 2007 adalah 4,7 persen. Sedangkan mempertahankan kemandirian (Knelae &
menurut Riskesda 2013, sebesar 6,2 persen. Peter, 2011, hlm. 41).
Menurut Riskesda (2007, hlm.167) prevalensi
cedera menurut bagian tubuh terkena di Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
provinsi Jawa Tengah adalah kepala 11,6%, pengaruh pengaruh dilakukannya ambulasi
leher 1,0 %, dada 1,8 %, perut/punggung/ dini pada klien post operasi fraktur ekstremitas
panggul 5,9 %, bahu/lengan atas 7,6 %, dalam peningkatan pemenuhan ADL di RSUD
siku/lengan bawah 15,7 %, pergelangan tangan Ambarawa.
25,2 %, lutut /tungkai bawah 34,5 % , bagian
tumit/kaki 27,1%. Menurut data diatas, cedera
yang paling sering terjadi adalah bagian METODOLOGI PENELITIAN
ekstremitas , baik ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah. Metode penelitian ini menggunakan one group
pre and post test design, dimana rancangan ini
Fraktur pada ekstremitas atas dan bawah dapat tidak memakai kelompok kontrol, kemudian
menyebabkan perubahan pada pemenuhan dilakukan pretest pada kelompok tersebut,
aktivitas. Perubahan yang timbul diantaranya diikuti dengan intervensi pada masing-masing
adalah terbatasnya aktivitas, karena rasa nyeri kelompok dan diakhiri dengan melakukan post
akibat tergeseknya saraf motorik dan sensorik, test pada masing-masing kelompok
pada luka fraktur (Smeltzer & Bare, 2013, (Notoatmodjo, 2010, hlm.58).
hlm. 2306).Dalam keperawatan ortopedik juga
dijelaskan bahwa masalah yang terjadi akibat Populasi adalah keseluruhan jumlah anggota
fraktur adalah penurunan mobilitas, penurunan dari suatu himpunan yang ingin diketahui
rentang gerak, kehilangan kekuatan otot, dan karakteristiknya berdasarkan inferensi atau
nyeri (Kneale & Peter, 2011, hlm. 85-86). generalisasi (Supardi, Sudibyo & Rustika,
2013) Populasi pada penelitian ini adalah
Fraktur ekstremitas atas terutama yang terjadi semua klien post operasi fraktur di Rumah
pada sisi dominan, secara bermakna akan Sakit. Populasi klien operasi fraktur 2013-
menganggu kemampuan klien untuk

2 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...


2014 di RSUD Ambarawa sebesar 258 klien HASIL DAN PEMBAHASAN
dalam setahun.
Gambaran Umum Tempat Penelitian
Kriteria yang diperhatikan dalam pengambilan
sampel adalah berdasarkan kriteria inklusi, Penelitian ini dilakukan di RSUD Ambarawa
sehingga sampel yang didapatkan sebanyak 30 pada tanggal 9 April – 3 April 2014. Rumah
responden dengan kriteria inklusi: klien post sakit ini terletak di jalam Kartini Ambarawa.
operasi fraktur ekstremitas di Rumah Sakit, Berdasarkan letak lokasi RSUD Ambarawa,
bersedia dan menyetujui menjadi responden, RSUD Ambarawa mudah dijangkau oleh
klien sadar dan bisa diajak komunikasi, klien masyarakat Ambarawa, dikelilingi oleh
dengan operasi fraktur terbuka dengan internal perumahan dan sawah. RSUD Ambarawa
fixation (ORIF): pemasanan plate, screw, nail merupakan Rumah Sakit Kelas C yang
plate, wire/ K-wire, klien dengan operasi terdapat di Ambarawa yang terdiri dari gedung
fraktur tertutup, klien berusia 12 – 45 tahun, Poliklinik, gedung UGD, bangsal perawatan,
klien dengan fraktur: fraktur colles, fraktur kamar bedah, kamar bersalin, bagian kantor,
radius, fraktur ulna, fraktur clavikula, fraktur bagian diklat, dan ruang pertemuan.
humerus proksimal, fraktur diafis (pertengahan
humeri), fraktur humerus distal, fraktur caput 1. Analisis Univariat
radi, fraktur lengan bawah, Fraktur Os.
Tabel 5.1
Scaphoideum, fraktur metacarpal, fraktur
Distribusi Frekuensi Responden
phalanges, fraktur collum femoris, fraktur
Berdasarkan Usia
Intertrochanter, fraktur Subtrochanter Femur,
Di RSUD Ambarawa
fraktur fibula, fraktur tibia, tanda – tanda vital:
Tahun 2015
Tekanan darah dalam rentang: 100/60 – 130/90
mmHg, suhu tubuh tidak lebih dari 37 0,
Respiratory rate: 80- 100 x/menit. Keterangan Frekuensi Persentase
Pengambilan data Re 6 20.0
telah dilakukan di
Rumah m
aj
a
Sakit Umum Daerah akhir
Ambarawa pada
tanggal
9 Maret - 4 April D 22 73.3
2015. Alat
pengumpulan e
w
as
a
data pada Awal
penelitian
berupa lembar
penilaian ADL D 2 6.7
yang terdiri dari 2
bagian yaitu e
w
as
a
karakteristik menganalisis tiap
responden dan variabel dari hasil
instrumen Actvity penelitian
Daily living (Notoatmodjo, 2005,
( Indeks Kartz). hlm. 178). Dalam
penelitian ini, analisis
Analisis univariat univariat adalah usia,
adalah analisa yang jenis kelamin dan
dilakukan untuk tingkat

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015) 3


ketergantungan. Akhir
Penelitian analisis Total
bivariat dilakukan 100.0
terhadap dua
variabel yang
diduga Berdasarkan
berhubungan atau hasil penelitian
berkorelasi dapat diketahui
(Notoatmodjo, bahwa dewasa
2005, hlm. 188). awal adalah usia
Analisis bivariat terbanyak yang
digunakan untuk mengalami
menguji pengaruh fraktur pada
sebelum dan ekstremitas
sesudah pemberian sebesar 22
terapi ambulasi (73,3%)
dini. Pada responden.
penelitian ini
adalah uji beda Tabel 5.2
parametik yaitu Distribusi
Paired Sample T- Frekuensi
Test. Responden
Berdasarkan
Jenis Kelamin
di RSUD
AmbarawaTah
un 2015

Jenis
Kelamin
Perempuan 5 16.7
Persentas Jumlah 30 100.0
e Laki-
Laki
25
83.3

Berdasarkan
Hasil Penelitian
diatas dapat
diketahui bahwa
Laki-Laki adalah
jenis kelamin
terbanyak yang
mengalami
fraktur pada
ekstremitas
sebesar 25
(83,3%)

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015) 3


responden. Jenis kelamin yang mengalami pemenuhan ADL sebanyak 4 orang sebesar
fraktur ekstremitas paling rendah adalah 13,3 % dan tidak mengalami gangguan
Perempuan sebanyak 5 (16,7%) responden. pemenuhan ADL sebanyak 26 orang sebesar
86,7 %. Setelah dilakukan ambulasi dini
Tabel 5.3 ketiga, tidak mengalami gangguan pemenuhan
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat ADL sebanyak 30 orang sebesar 100%.
ketergantungan pemenuhan ADL sebelum Berdasarkan data diatas hasil rata-rata
dilakukan ambulasi, setelah dilakukan ketergantungan pemenuhan ADL sebelum
ambulasi pertama, kedua dan ketiga Di RSUD ambulasi sebesar 1.1333, setelah dilakukan
Ambarawa Tahun 2015 ambulasi pertama sebesar 2.000, kemudian
setelah dilakukan ambulasi kedua sebesar
Ska PAm A A 2.8667, dan setelah
r- m m dilakukan ambulasi
ADe b - - ketiga sebesar 3.000.
u b b
A - u u 2. Analisa Bivariat
m l -
- l a l
bu- a s a
lasi s i s
Gang- 0-2 26 i 2 i
guan (86.7) 1 3
berat
peme- Tabel 5.4
nuhan Pengaruh
ADL Ambulasi Din
Gang- 3-4 4 30 4 terhadap
guan (13.3) (100) (13.3) Peningkatan
se- Pemenuhan
dang ADL Pada
dalam Pasien Post
peme- Operasi
nuhan Ekstremitas D
ADL RSUD
Tidak 5-6 26 30 Ambarawa
ada (86.7) (100) pada tanggal 9
gang- Marert 2015 –
guan 4 April 2015
ADL (n=30)
Jumla 30 30 30 30
Ambulasi
Z P
h (100) (100) (100) (100)
value
Mean 1.133 2.000 2.8667 3.000 Median
3
(minimum-
Media 1.000 2.000 3.000 3.000
n
mak
simu
m)
Pre

0.08
(0.70

Am
bula
si

0.78
)
Post0Ambulasi Berdasarkan tabel
. Berdasarkan tabel hasil uji statistik
1 di atas diketahui pengaruh
2 bahwa sebelum Ambulasi dini
pelaksanaaan terhadap
( ambulasi dini, peningkatan
0 sebagian besar pemenuhan ADL
. responden pada pasien post
4 mengalami operasi fraktur
8 gangguan berat ekstremitas di
pemenuhan ADL RSUD Ambarawa,
– sebanyak 26 pada penelitian ini
0 orang sebesar didapatkan nilai p
. 86.7 % dan pre ambulasi
6 gangguan sedang dibandingkan
0 dalam pemenuhan dengan ambulasi
) ADL sebanyak 4 pertama adalah
1 orang sebesar 0,00. Ambulasi 1
4.295 13.3 persen. dibandingkan
Setelah ambulasi dengan ambulasi
0.000 pertama kedua adalah 0,00
Post 0.1 4
Ambulasi 0 mengalami dan ambulasi
0 . . gangguan sedang kedua
(0. 8 0 dalam pemenuhan dibandingkan
60 4 0 ADL sebesar 30 ambulasi ketiga
– 2 0 orang sebesar 100 adalah 0,00. Nilai
0.7 5 0 %. Setelah P < 0,05, hal ini
0) . . dilakukan ambulasi berarti Ho ditolak
1 0 kedua mengalami dan Ha diterima.
0 0 gangguan Jika Ho ditolak,
9 0 sedang dalam maka dapat
2 disimpulkan bahwa
Post0Ambulasi ada pengaruh
. ambulasi dini
0 terhadap
8 peningkatan
pemenuhan ADL.
(
0 4 Jurnal
. Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK),
7 Vol...No...
0


0
.
7
8
)
3

0.3457
SD
0.000
0.345 75

0.000 5
Nilai Z hitung pada ambulasi pertama yang pada responden usia 26-35 tahun mengalami
dibandingkan dengan pre ambulasi sebesar fraktur karena terjatuh dan kecelakaan motor.
4.292, ambulasi pertama yang dibandingkan Menurut artikel yang ditulis oleh Widiyanto
dengan ambulasi kedua sebesar 4.842 dan (2014) di Kedaulatan rakyat online, jumlah
ambulasi kedua yang dibandingkan dengan kasus kecelakaan kerja paling banyak dialami
ambulasi ketiga sebesar 5.109. Pada derajat tenaga kerja produktif dengan usia 26-30 tahun
kemaknaan 0,05 maka Z score harus berada sepanjang kurun waktu 2013.
diantara -1,96 dan +1,96. Apabila Z score
tidak berada diantara -1,96 dan + 1,96 maka Dari data diatas, diketahui bahwa kecelakaan
Ha yang diterima. Dari hasil penelitian dapat kerja banyak terjadi di usia 26-30 tahun. Data
disimpulkan bahwa z score berada diluar nilai kecelakan kerja di Indonesia menurut BPJS
kisaran, hal ini berarti ada pengaruh ambulasi pada tahun 2014, 69,59 persen kecelakaan
dini terhadap peningkatan pemenuhan ADL. terjadi di dalam perusahaan saat pekerja
bertugas, 10,26 persen di luar perusahaan, dan
Pada pre ambulasi range sebesar 0,08, pada sekitar 20,15 persen pekerja mengalami
post ambulasi 1 range sebesar 0.12, pada post kecelakaan lalu lintas (Tallo, 2015, ¶4).
ambulasi 2 range sebesar 0.10 dan pada post
ambulasi 3 range sebesar 0.08. Pada pre Salah satu faktor terjadinya kecelakaan kerja
ambulasi range lebih kecil dari range post adalah rendahnya pemahaman terhadap
ambulasi 1 hal ini berarti skor tingkat regulasi ketenagakerjaan dan penerapan
ketergantungan ADL pada pre ambulasi kesehatan dan keselamatan kerja (Departemen
hampir sama sedangkan skor tingkat Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2012, hlm.
ketergantungan ADL pada post ambulasi 33).
pertama bervariasi. Pada range post ambulasi
1 memiliki range lebih besar dari ambulasi 2 Berdasarkan penelitian Kairupan, Monoarfa &
hal ini berarti skor ambulasi 1 lebih bervariasi Ngantung (2014) dengan judul Angka
dibanding skor ambulasi 2. Range post Kejadian Penderita Fraktur Tulang Fasial Di
ambulasi 2 dan post ambulasi 3 lebih besar SMF Bedah BLU RSU Prof. R.D. Kandou
range post ambulasi 2, hal ini berarti skor Periode Januari 2012-Desember 2012, Jumlah
ketergantungan ADL pada post ambulasi 2 penderita fraktur fasial yang dirawat di SMF
lebih bervariasi dibandingkan dengan skor Bedah periode Januari 2012 sampai Desember
ketergantungan ADL post ambulasi kedua. 2012 sebanyak 156 kasus (5,60%) dari total
2786 trauma fasial yang dirawat. Usia
Dari hasil penelitian diatas didapatkan bahwa terbanyak fraktur fasial 20-29 tahun yaitu 78
Ho ditolak dan Ha diterima, karena nilai (50,00%); pria lebih banyak dari wanita yaitu
p<0,05 dan z score berada diluar batasan z 132 kasus (84,62%); penyebab terbanyak
score yang ada. Hal ini berarti ada pengaruh akibat kecelakaan lalulintas yaitu sebanyak 82
Ambulasi dini terhadap peningkatan kasus (52,56%). Hasil penelitian diatas,
pemenuhan ADL pada pasien post operasi ditemukan juga oleh peneliti dimana jumlah
ekstremitas di RSUD Ambarawa. usia fraktur ekstremitas terbanyak pada umur
26-35 tahun, penyebab fraktur pada penelitian
peneliti juga dikarenakan kecelakaan motor.

Interprestasi dan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi jenis


kelamin yang mengalami fraktur yang paling
Pada penelitian ini, didapatkan hasil frekuensi banyak adalah laki-laki. Dalam penelitian,
responden dewasa awal sebesar 22 responden, laki-laki sebesar 83.3 % mengalami
yang paling banyak mengalami fraktur. kecelakaan sehingga mengalami fraktur. Hal
Menurut Depkes (2009) yang termasuk ini menjadi pertanyaan bagi peneliti, kenapa
dewasa awal adalah orang yang berusia 26–35 jumlah laki-laki lebih banyak mengalami
tahun, sehingga pada usia 26-35 tahun banyak kecelakaan sehingga mengalami fraktur.
yang mengalami fraktur.
Faktor-faktor yang menyebabkan laki-laki
Data di atas menunjukkan terjadi peningkatan banyak mengalami kecelakaan menurut World
pada angkatan kerja pada usia 25-29 tahun. Health Organization (2002, hlm. 3), laki-laki
Berdasarkan data yang digali oleh peneliti, menghabiskan lebih banyak waktu di

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015) 5


kendaraan bermotor dari pada perempuan, dan ADL masih dibantu oleh orang lain. Setelah
di tempat ekonomi menengah, laki-laki lebih operasi klien lebih sering berada di tempat
banyak memiliki mobil miliknya sendiri tidur dan takut bergerak, yang sering disebut
daripada perempuan. Laki-laki juga lebih dengan imobilisasi. Klien immobilisasi dapat
banyak bekerja sebagai sopir dan mekanik, menjadi depresi karena perubahan dalam
yang mana menghabiskan beberapa hari dan konsep diri dan kecemasan tentang kondisi
malam di dalam kendaraan bermotor. Hal ini kesehatannya, keuangan, masalah keluarga,
yang memungkinkan laki-laki lebih rentan serta faktor lain seperti masalah menurunnya
mengalami kecelakaan di jalan. kemandirian dan otonomi dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living-
Faktor lain laki-Laki lebih banyak mengalami ADL) (Asmadi, 2008, hlm. 128-129).
kecelakaan berdasarkan penelitian Harris &
Jenkis (2006) dengan judul Differences in Risk Menurut penelitian Rismalia (2009) dengan
Assessment: Why do women Take fewer Risks judul Gambaran Pengetahuan dan Perilaku
Than Men? Dijelaskan bahwa perempuan Pasien Pasca Operasi Appendectomy Tentang
lebih memilih hal yang aman dibandingkan Mobilisasi Dini Di RSUP Fatmawati bahwa
mengambil resiko, dibanding perempuan, laki- ketakutan akan lepasnya atau robeknya jahitan
laki lebih suka mengambil resiko dalam pada operasi menyebabkan informan malas
berbagai hal tanpa memikirkan keuntungan. untuk melakukan ambulasi dini. ditemukan
Sehingga hal ini memungkinkan bahwa ketika juga bahwa pengetahuan informan yang
melakukan sesuatu, perempuan lebih berhati- kurang akan manfaat mobilisasi dini menjad
hati daripada laki-laki sehingga angka sebab enggan melakukan mobilisasi dini.
kecelakaan yang menyebabakan fraktur pada
perempuan tidak lebih besar dari laki-laki. Seperti penjelasan diatas, klien perlu
mengetahui pentingnya ambulasi dini supaya
Hasil penelitian peneliti diketahui bahwa klien ada keinginan untuk melakukan ambulasi
sebelum pelaksanaaan ambulasi dini, sebagian dini sehinngga terjadi peningkatan ADL. Tidak
besar responden mengalami gangguan berat hanya klien yang perlu mengetahui pentingnya
pemenuhan ADL sebanyak 26 orang sebesar ambulasi dini, tetapi juga keluarga dan orang
86.7 % dan gangguan sedang dalam terdekat klien. Hal ini dikarenakan dukungan
pemenuhan ADL sebanyak 4 orang sebesar sosial keluarga dan orang terdekat sangat
13.3 persen. Setelah ambulasi pertama berpengaruh dalam pelaksaanaan ambulasi dini
mengalami gangguan sedang dalam dan pemenuhan ADL pada klien. Menurut
pemenuhan ADL sebesar 30 orang sebesar 100 penelitan Yanty (2009) dengan judul Analisa
%. Setelah dilakukan ambulasi kedua Faktor-faktor yang Mempengaruhi
mengalami gangguan sedang dalam Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska
pemenuhan ADL sebanyak 4 orang sebesar Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah di Rindu
13,3 % dan tidak mengalami gangguan B3 RSUP. H. Adam Malik Medan bahwa
pemenuhan ADL sebanyak 26 orang sebesar terdapat pengaruh signifikan antara faktor
86,7 %. Setelah dilakukan ambulasi dini kondisi kesehatan: Hb terhadap pelaksanaan
ketiga, tidak mengalami gangguan pemenuhan ambulasi dini dimana (p=0,026 < 0,05) dan
ADL sebanyak 30 orang sebesar 100%. faktor dukungan sosial terhadap pelaksanaan
Berdasarkan data diatas hasil rata-rata ambulasi dini di mana (p=0,029<0,05).
ketergantungan pemenuhan ADL sebelum
ambulasi sebesar 1.1333, setelah dilakukan Penelitian yang sesuai dengan pendapat di atas
ambulasi pertama sebesar 2.000, kemudian adalah penelitian Alavi, Safa & Abedzadeh-
setelah dilakukan ambulasi kedua sebesar kalahroudi (2014) dengan judul depency in
2.8667, dan setelah dilakukan ambulasi ketiga activities of daily living following limb trauma
sebesar 3.000. in elderly referred to shahid beheshti hospital,
kashan-iran in 2013 menunjukkan bahwa rata-
Pada hasil penelitian setelah hari kedua rata umur responden adalah 70.57 ± 9.05. di
terdapat 4 orang yang masih mengalami dalam total, 80.5% lansia secara keseluruhan
gangguan sedang dalam pemenuhan ADL, hal mandiri di ISADL (indepency scale of
ini dikarenakan ketakutan dalam melakukan activities of daily living) sebelum trauma;
gerakan tubuh sehingga dalam pemenuhan

6 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...


kemandirian menururun hingga 13.5 % setelah activity of daily living on Patient undergone
satu bulan trauma. Di samping itu, 32 % lansia abdominal surgery, kelompok eksperimen
secara keseluruhan atau relatif tidak madiri menunjukkan secara signifikan menurun dalam
setelah trauma. Dua-fakor ANOVA angka kematian seperti halnya peningkatan
menunjukkan hubungan yang signifikan antara dalam ADL secara signifikan dibandingkan
skor ISADL, interval waktu dan tipe dan lokasi kelompok kontrol.
organ yang mengalami trauma, dan
pembedahan. Dalam penelitian itu Berdasarkan tabel hasil uji statistik pengaruh
membuktikan bahwa tingkat ketergantungan Ambulasi dini terhadap peningkatan
seseorang akan meningkat setelah terjadinya pemenuhan ADL pada klien post operasi
trauma dan setelah dilakukan operasi. Hal ini fraktur ekstremitas di RSUD Ambarawa
juga terjadi pada penelitian ini, sebelum menggunakan Wilcoxon dikarenakan data
trauma klien dapat melakukan semua aktivitas dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal,
sehari-hari dengan mandiri namun setelah dibuktikan dengan uji normalitas yang
fraktur dan sebelum dilakukan ambulasi dini hasilnya adalah P < 0,05. Hasil p value 0,00
terjadi peningkatan ketergantungan dalam menunjukkan bahwa pvalue < 0,05, hal ini
pemenuhan ADL. dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima, maka Ada pengaruh ambulasi dini
Faktor lain yang menyebabkan ketergantungan terhadap peningkatan pemenuhan ADL.
pemenuhan ADL meningkat setelah fraktur
adalah anestesi yang digunakan saat operasi. Tipe pembedahan pada responden sebagian
Hal ini bisa dikarenakan reaksi tubuh terhadap besar adalah pembedahan
anestesi yang diberikan sebelumnya rekonstruktif/restoratif. Tipe ini bertujuan
(Sheppard& Wright, 2006, hlm.212). Pada untuk pemulihan fungsi atau penampilan atas
klien yang mengalami fraktur ekstremitas atas jaringan yang trauma atau yang tidak
diberikan anestesi umum pada saat operasi. berfungsi, contohnya fiksasi internal (Potter &
anestesi umum adalah di mana tidak ada Perry, 2010, hlm.688).
respon pada saat operasi. pasien dengan
anestesi umum yang diberikan dengan tepat Perawatan post operasi dianjurkan untuk
akan mengalami ketidaksadaran, sistem syaraf menggerakan bagian-bagian yang tidak
autonomik tidak merespon atau hanya mengalami pembedahan ortopedik. Salah
merespon secara minimal pada stimulasi satunya dilakukan rehabilitasi. Rehabilitasi
operasi, dan pasien diam, atau tidak berpindah, sering dianggap sebagai pusat keperawatan
selama stimulasi (Carl, 2007, hlm.63). Setelah ortopedik (Powell,1986, dalam Kneale, 2011,
anestesi umum menunjukkan tanda gejala hlm. 49) sebagai cara mengembalikan individu
nyeri, Post Operative Nausea Vomitus ke kehidupan normal (Hawkey & Williams,
(PONV), hipotensi, pusing. Dampak ini sering 2001, dalam Kneale, 2011, hlm. 49).
terjadi setelah operasi ortopedik dengan Salah satu rehabilitasi yang dilakukan setelah
anestesi umum dan prosedur operasi plastik pembedahan post operasi adalah dilakukannya
(Miller, 2010, hlm. 2446). Mual dan muntah ambulasi dini. Ambulasi dini adalah tindakan
dapat dikurangi dengan dilakukan ambulasi keperawatan yang mempunyai dampak yang
dini (Connely& Silverman, 2009, hlm. 165). signifikan dalam perawatan dan mencegah
Tingkat ketergantungan pemenuhan ADL pada komplikasi pasca operasi (Smeltzer, 2010,
operasi yang menggunakan anestesi umum hlm. 472).
lebih tinggi dari anestesi regional (Pillai, 2014,
hlm.43). Penelitian dari Ajidah dan Haskas (2014)
dengan judul Pengaruh Mobilisasi Dini
Dampak trauma dan operasi dapat Terhadap Peristaltik Usus Pada Klien Pasca
meningkatkan ketergantungan pemenuhan Operasi Laparatomi di Ruang Rawat Inap
ADL. Ambulasi dini adalah salah satu RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
intervensi keperawatan yang dapat mengurangi menunjukkan bahwa mobilisasi meningkatkan
ketergantungan dalam pemenuhan ADL. Hal peristaltik usus pada klien pasca operasi
ini di buktikan pada penelitian Lin & Wang laparatomi di Ruang Rawat Inap RSUP Dr.
(2005) dengan judul effectiveness of early Wahidin Sudirohusodo Makassar. Peningkatan
ambulation on postoperative recovery and peristaltik usus menandakan sudah kembalinya

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap


Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015)
fungsi sistem pencernaan setelah operasi, hal karna menurut responden, hal tersebut dapat
ini menandakan bahwa klien boleh makan dan mempercepat kesembuhannya.
minum. Makan dan minum termasuk dalam
pemenuhan ADL, sehingga setelah dilakukan Karakter orang jawa lainnya menurut Susantyo
ambulasi dini skor pemenuhan ADL akan (2008, hlm. 54) adalah kerjasama (gotong
bertambah. royong). Masyarakat jawa lebih
mengutamakan kerjasama atau gotong royong.
Ambulasi dini mempunyai beberapa Dengan karakter masyarakat jawa yang
keuntungan, keuntungan dari pergerakan dan mengutamakan kerja sama, sehingga dapat
latihan termasuk meningkatkan kekuatan otot, disimpulkan bahwa responden yang hampir
menurunnya stress oksidatif dan inflamasi, semuanya orang jawa, dapat berkerjasama
perubahan mood yang positif, berkurangnya dengan baik saaat dilakukan ambulasi dini
kelelahan dan meningkatnya kemampuan sesuai tahapan.
untuk melanjutkan aktivitas pemenuhan
kebutuhan sehari-hari (Vollman, 2010, ¶7). Konsep yang ada mengatakan bahwa ambulasi
dini dapat membantu peningkatan mobilitas
Penjelasan mengenai keuntungan ambulasi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
dini pada beberapa aspek dan juga dalam penelitian Lavanya Pashikanti dan
berpengaruh pada pemenuhan ADL dapat Diane Von Ah (2012) dengan judul Impact of
menjadi pertimbangan untuk perawat untuk early Mobilization Protocol on the Medical-
melakukan ambulasi dini secepat mungkin Surgical Inpatient Population, dalam
dengan pertimbangan kondisi klinis klien. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa mobilisasi
segi klien sendiri, yang menjadi pertanyaan dini (khususnya ambulasi dini) pada populasi
bagi peneliti adalah faktor-faktor yang klien dengan tindakan pembedahan mengalami
menyebabkan klien kooperatif dan mau peningkatan dalam hasil yang diharapkan pada
melakukan ambulasi dini. Salah satu faktor klien. Dalam penelitian ini yang mengalami
yang menyebabkan klien kooperatif peningkatan adalah intake makanan secara oral
melakukan ambulasi dini adalah karakteristik dan waktu defekasi terjadi lebih awal pada
responden yang melalukan ambulasi dini. populasi yang dilakukan ambulasi dini,
Peneliti melakukan penelitian di daerah Jawa ditemukan bahwa jarak ketika latihan berjalan
Tengah, sehingga rata-rata responden adalah diantara 600- 12.000 m pada kelompok
suku jawa. Karakteristik karakter orang Jawa ambulasi dan pada kelompok yang dilakukan
yang menonjol menurut Wijayanti dan bed-rest rata-rata hanya 66 m. Dalam
Nurwianti (2010. Hlm. 119) adalah sifat penelitian ini juga ditemukan bahwa terjadi
kegigihan dan rasa ingin tau. Karakterikter ini peningkatan nilai yang signifikan pada jumlah
menunjukkan bahwa orang jawa memiliki score pemenuhan ADL pada kelompok yang
karakter pantang menyerah, sehingga ketika dilakukan ambulasi dini dibandingkan dengan
sakit pun, orang jawa akan gigih melawan kelompok yang tidak dilakukan ambulasi dini.
penyakitnya. Karakter ini juga ditemukan
peneliti, saat melatih ambulasi dini, Hasil penelitian peneliti, konsep yang ada
kebanyakan responden mau melakukan semua dilihat dari keperawatan dan psikologi serta
yang disarankan dokter dan perawat. hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
Responden tidak takut mesti merasa sakit terdapat pengaruh ambulasi dini terhadap
karena reponden mengakatan bahwa hal yang peningkatan pemenuhan Activity of Daily
terpenting adalah cepet sembuh, cepat bekerja Living (ADL).
dan tidak ingin bergantung dengan orang lain
serta merasa malu bergantung pada orang lain.
Rasa keingintahuan orang jawa juga cukup
SIMPULAN
tinggi, saat dilakukan penelitian, banyak
responden yang menanyakan apa itu ambulasi 1. Berdasarkan hasil penelitian yang
dini, cara melakukan dan manfaat. Rata-rata dilakukan di RSUD Ambarawa didapatkan
responden tidak mau melakukan jika belum 30 responden yang mengalami fraktur
paham mengenai ambulasi dini. Ketika berdasarkan usia, remaja akhir sebanyak 6
responden paham, maka responden akan orang, dewasa awal sebanyak 22 orang dan
melakukan ambulasi dini dengan senang hati, dewasa akhir sebanyak 2 orang. Responden

8 Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK),
Vol...No...
yang mengalami fraktur berdasarkan jenis memperhatikan faktor budaya masyarakat
kelamin, laki-laki sebanyak 25 orang dan yang mempengaruhi keinginan untuk
perempuan sebanyak 5 orang. ambulasi dini, dapat menggunakan desain
2. Tingkat ketergantungan setelah dilakukan penelitian yang berbeda dimana peneliti
ambulasi terakhir semakin menurun. selanjutnya dapat mengukur pre ambulasi
Sebelum pelaksanaaan ambulasi dini, dan post ambulasi 48 jam saja serta
sebagian besar responden mengalami mempertimbangkan tingkat pengetahuan
gangguan berat pemenuhan ADL sebanyak responden supaya dapat memilih metode
26 orang sebesar 86.7 % dan gangguan yang tepat untuk menjelaskan manfaat dan
sedang dalam pemenuhan ADL sebanyak 4 prosedur ambulasi dini sebelum melakukan
orang sebesar 13.3 persen.Setelah ambulasi ambulasi dini.
pertama mengalami gangguan sedang
dalam pemenuhan ADL sebesar 30 orang
sebesar 100 %. Setelah dilakukan ambulasi
kedua mengalami gangguan sedang dalam DAFTAR PUSTAKA
pemenuhan ADL sebanyak 4 orang sebesar
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural
13,3 % dan tidak mengalami gangguan
Keperawatan : Konsep dan Aplikasi
pemenuhan ADL sebanyak 26 orang
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta :
sebesar 86,7 %.Setelah dilakukan ambulasi
Salemba Medika.
dini ketiga, tidak mengalami gangguan
pemenuhan ADL sebanyak 30 orang Ajidah, & Haskas, Y. (2014). Pengaruh
sebesar 100%. Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik
3. Ambulasi dini terhadap peningkatan Usus Pada Pasien Pasca Operasi
pemeuhan Activity of Daily Living (ADL) Laparatomi di Ruang Rawat Inap RSUP
di RSUD Ambarawa, hal ini berdasarkan Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
uji wilcoxon didapatkan p value pre ISSN: 2302-1721. 3(6)
ambulasi, ambulasi 1, ambulasi 2, ambulasi
3 sebesar 0,00 dan nilai Z score sebesar Alavi, Negin M., Safa, A., & Abedzadeh-
pada perbandingan pre ambulasi dan Kalahroudi, M. (2014). depency in
ambulasi 1 sebesar 4.292, perbandingan activities of daily living following limb
ambulasi 1 dan ambulasi sebesar 4.842 dan trauma in elderly referred to shahid
perbandingan ambulasi 2 dan ambulasi 3 beheshti hospital, kashan-iran in
sebesar 5.109. Ambulasi berpengaruh 2013.3(3). e20608
dilihat dari hasil p value p<0,05 dan Z
score terletak diluar +1,96 dan -1,96. Borley, Neil R, Grace, Pierce A. (2007). At a
Glance Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Alih
SARAN Bahasa Vidhia Umami. Jakarta :
Erlangga.
1. Bagi RSUD Ambarawa
RSUD Ambarawa dapat menggunakan Brooker, Chris. (2009). Ensiklopedia
hasil penelitian ini sebagai salah satu Keperawatan. Alih bahasa Adry
alternatif untuk mengatasi ketergantungan Hartono, Brahm U. Pendit, Dwi
ADL pada pasien post operasi fraktur Widiarti. Jakarta : EGC.
ekstremitas dengan memberikan ambulasi
dini. Carl, Elizabeth K. (2007). Trauma psycholog:
issues in violence, disaster, health, and
2. Pendidikan Keperawatan illness. Greenwood Publishing Group:
Sebagai pemebelajaran pentingnya United States of America.
melakukan pengkajian ADL dan
melakukan ambulasi dini pada pasien post Craven F. R, & Hirne J. C. (2009).
operasi fraktur ekstremitas. Fundamentals of Nursing : Human,
Helath and Function ( 6th edition). USA
3. Penelitian selanjutnya : Lippincott Williams & Wilkins.
Untuk Peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian ini dengan Cornelly, Neil R., & Silverman, David G.
(2009). Review of Clinical Anesthesia

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap


Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015)
Fifth Edition. Lippincott Williams & Miller, Ronald D. (2010). Miller’s Anesthesia
Wilkins : USA. Seventh Edition. Elsevier : Philadelphia.

Departemen Kesehatan RI. (2009) Kategori Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi


Umur. Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
http://arfkomunika.blogspot.com/2014/0 Cipta
1/kategori-umur-menurut-depkes-ri- 2009.html diperoleh tanggal 8 April
. (2005). Metodologi Penelitian
2015 Tulang Fasial
Di SMF
Departemen Bedah BLU
Tenaga Kerja RSU Prof.
dan R.D. Kandou
Transmigrasi Periode
. (2012). Januari 2012-
Rencana Desember
Pembanguna 2012. 2(2).
n Jangka
Panjang Kneale, Julia D., &
Bidang Peter S,
Ketenagakerj Davis. (2011).
aan dan Keperawatan
Ketransmigr Ortopedik &
asian Tahun Trauma.
2010-2025. Jakarta: EGC.
http://jdih.de
pnakertrans.g Kozier,
o.id/data_puu Barbara.,Erb,
/ glenora.,
12_TAHUN Berman,
_2012.pdf Audrey.,
diperoleh Snyder,
tanggal 12 Shirlee J.
Mei 2015 (2010). Buku
ajar
Harris, Christine fundamental
R., & keperawatan :
Jenkins, M. Konsep,
(2006). Proses, &
Differences Praktek. edisi
in Risk 7. Volume 1.
Assessment: Alih Bahasa
Why do Esty
women Take wahyuningsih,
fewer Risks devi yulianti,
Than Men? . yuyun
1(1). 48-63 yuningsih, ana
lusyana .
Kairupan, C., Jakarta : EGC
Monoarfa, A.
& Ngantung, Kozier, B., Berman,
J. (2014). A., Snyder, S.,
Angka & Erb, g.
Kejadian (2009). Buku
Penderita Ajar Praktik
Fraktur Keperawatan

10 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...


Klinis Kesehatan. (2010). Rismalia,
Kozier & Jakarta : Fundament
Erb. Edisi 5. Rineka Cipta al Rizka. (2009).
Alih bahasa Keperawat Gambaran
Eny Pashikanti, L.,& an. Edisi 7. Pengetahua
Meiliya, Ah, Diane Buku 3. n dan
Esty V. (2012). Alih Perilaku
Wahyunings Impact of bahasa Pasca
ih, Devi Early Diah Nur Operasi
Yulianti. Mobilizati Fitriani,
Jakarta: on Onny Appendecto
EGC. Protocol Tampubolo my tentang
on the n, Farah Mobilisasi
Lin, P., &Wang, Medical- Diba. Dini Di
R. (2005). Surgical Jakarta RSUP
Effectivenes Inpatient : Salemba Fatmawati.
s of Early Population. Medika. http://www.
Ambulation http://unmh academia.ed
on ospitalist.p Riskesda. (2007). u/9283200/
Postoperati bworks.co Riset GA
ve Recovery m/w/fil Kesehatan MBARAN_
and Activity e/fetch/660 Dasar PENGETA
of Daily 26941/Imp 2007. HUAN_DA
Living. act%20of https://ww N_P
51(3). 252- %20Earl y w.k4health. ERILAKU_
255 %20Mobili org/sites/de PASIEN_P
zation fault/fi ASCA_OPE
%20Protoc les/laporan RA
ol%20on Nasional SI_APPEN
%20the %20Riskes DECTOMY
%20Medic das%202 _TENTAN
al- 007.pdf, G_M
Surgical diperoleh OBILISASI
%20Inpati tanggal 10 _DINI_PRO
ent April 2014 GRAM_ST
%20Popul UD
ation.pd f I_ILMU_K
diperoleh EPERAWA
tanggal 5 . (2013).
Riset TAN
Mei 2015 tanggal 14
Kesehatan
Dasar Juni 2015
Pillai, S.A.
(2014). 2013.
Surgeons http://www
And .depkes.go.
Anesthesia. id/resource
Jaypee s/dow
Brothers nload/gener
Medical al/Hasil
Publishers : %20Riskes
India. das%202
013.pdf
Potter, Patricia diperoleh
A., & tanggal 22
Perry, November
Anne G. 2014

10 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...


Sheppard, Mandy & Wright, Mike. (2006). Vollman, K.M. (2010). Progressive Mobility
Principles and Practice of High in The Critically III. 30(2) .
Dependency Nursing. China: Elsevier. http://www.aacn.org/WD/CETests/Medi
https://books.google.co.id/books?id=q8a a/C102S.pdf diperoleh tanggal 13 Mei
qq3phC8QC&pg=PA212&lpg=PA212 2015
&dq=depency+post+operative&source=
bl&ots=i wt5clGz&sig=JBVxDxOZq2
Z75VxG2_nrQ1z3YcA&hl=id&sa=X&
ei=aX1aVYO1NNaSuASIs4C4Cw&ved Yanty, Nova Mega. (2009). Analisis Faktor-
=0CEoQ6AEwBQ#v=onepage&q=depe faktor yang Mempengaruhi
ncy%20post%20operative&f=false Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien
diperoleh tanggal 19 Mei 2015 Paska Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah di Rindu B3 RSUP. H. Adam
Smeltzer, S.C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Malik Medan.
Cheever, K. H., (2010). Brunner & http://repository.usu.ac.id/bitstream/123
Suddarth’s Textbook of Medical- 456789/14302/3/10E01074.pdf.txt
surgical Nursing Volume 1. USA: diperoleh tanggal 14 Juni 2015
Lippincott Williams & Wilkins.
WHO. (2005). Pedoman Perawatan Pasien.
Jakarta : EGC

Smeltzer ,Suzanne C., & Bare ,Brenda G.


(2013). Buku ajar keperawatan medikal
bedah brunner & suddarth. Edisi 8. WHO. (2002). Gender and Road Traffic
Volume 3. Alih bahasa Andry Hartono, Injuries.
Kuncara, Elyna S. Laura Siahaan, http://www.who.int/gender/other_health
Agung Waluyo. Jakarta : EGC /en/gendertraffic.pdf diperoleh tanggal
13 Mei 2015
Susatyo, Rachmat. (2008). Seni dan Budaya
Politik Jawa.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp- Widiyanto, Danar. (2014). Pekerja Usia
content/uploads/2009/12/seni_dan_buda Produktif DIY Rentan Kecelakaan
ya_budaya_jawa.pdf diperoleh tanggal Kerja, Kedaulatan rakyat online terbit
20 Mei 2015 21 Januari 2014. Yogyakarta: Kr.
Yogya.com.
http://krjogja.com/read/201900/pekerja-
Tallo, John. (2015). 2014, BPJS Mendata usia-produktif-diy-rentan-kecelakaan-
Angka Kecelakaan Kerja Masih Tinggi. kerja.kr diperoleh tanggal 23 April
http://photo.liputan6.com/ekonomi/2014 2014.
-bpjs-mendata-angka-kecelakaan-kerja-
masih-tinggi-2158074 diperoleh tangga; Wijayanti, Herlani. & Nurwianti, F. (2010).
23 April 2014 Kekuatan Karakter dan Kebagiaan
Pada Suku Jawa.
Thomas, Mark A., et all. (2011). Terapi & http://download.portalgaruda.org/article.
Rehabilitasi fraktur alih bahasa H. Y. php?article=23926&val=1442 diperoleh
Kuncara editor Albertus Agung tanggal 20 Mei 2015
Mahode, Michael januardi halim, Victor
Vourman & Yohan Budi hartanto.
Jakarta : EGC

Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Peningkatan ... (N.M.A.W.Sari, 2015) 11


.

49
REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA DISFAGIA

Jenny J. C. Pandaleke
Lidwina S. Sengkey
Engeline Angliadi

Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado Email: joan_mdo@yahoo.com

Abstract: Dysphagia is a common symptom in clinical pratice, suffered by all age groups,
and associated with multiple systemic disorders, inter alia: diabetes mellitus, hyperthyroidism,
lupus erythematosus, dermatomyositis, stroke, as well as Parkinson’s and Alzheimer’s
diseases. The diagnosis of dysphagia is based on anamnesis, physical examination (including
examination of the patient during eating or drinking), and supporting examination, such as
videofluorographic swallowing study (VFSS) and fiberoptic endoscopic evaluation of
swallowing (FEES). The management of dysphagia in the medical rehabilitation field requires
a teamwork consisting of a physical therapist, a speech therapist, an occupational therapist,
rehabilitation nurses, as well as a nutritionist and several other specialists. The occurence of
dysphagia is closely connected with malnutrition, dehydration, respiratory tract infections,
duration of hospitalization, and even death. Therefore, early diagnosis and treatment are very
important in the management of dysphagia.
Keywords: dysphagia, rehabilitation

Abstrak: Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik, dan bisa diderita oleh semua
kelompok usia dan berhubungan dengan multiple systemic disorders, antara lain diabetes
melitus, hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson
dan Alzheimer. Diagnosis disfagia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
(termasuk pemeriksaan saat penderita makan atau minum), dan pemeriksaan penunjang
seperti videofluroskopi dan fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES).
Penanganan dalam bidang rehabilitasi medik membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari
seorang dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, ahli terapi bicara, ahli terapi
okupasi, perawat rehabilitasi, dan juga membutuhkan kerjasama dengan seorang ahli gizi dan
beberapa bidang spesialisasi yang lain. Disfagia sangat berhubungan dengan terjadinya
malnutrisi, infeksi saluran pernapasan, dehidrasi, bertambahnya jumlah hari rawat, dan
bahkan kematian. Oleh karena itu, diagnosis dan penanganan dini sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan disfagia.
Kata kunci: disfagia, rehabilitasi

Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu praktek klinik pada semua kelompok usia
dys yang artinya sulit dan phagein yang dan sering berhubungan dengan multiple
artinya memakan. Disfagia memiliki systemic disorders (misalnya: diabetes
banyak definisi tetapi yang sering melitus, hipertiroidisme, lupus eritema-
digunakan adalah kesulitan dalam tosus, dermatomiositis, stroke, serta
menggerakan makanan dari mulut ke dalam penyakit Parkinson dan Alzheimer).1,3
lambung.1,2 Terdapatnya disfagia dapat mengaki-
Disfagia sering ditemukan dalam batkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi,

157
158 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164

infeksi saluran napas, bertambahnya jumlah sphincter (PES). UES berfungsi mengu-
hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh rangi risiko aliran balik makanan dari
sebab itu, diagnosis dan penanganan dini esofagus ke faring. Pada waktu tertentu
terhadap disfagia sangat penting sfingter ini terbuka untuk mengijinkan bo-
4-6
dilakukan. lus makanan masuk ke dalam esofagus.2,7
Esofagus merupakan lapisan otot
PROSES MENELAN berbentuk tabung dengan panjang sekitar
23-25 cm dan mempunyai sfingter pada
Struktur yang berperan kedua ujungnya, yaitu UES pada bagian
Area anatomi yang berhubungan atas dan lower esophagal sphincter (LES)
dengan proses menelan meliputi rongga pada bagian bawah.2
mulut, faring, laring, dan esofagus. Struktur
rongga mulut meliputi bibir anterior, gigi, Fungsi menelan normal
palatum durum, palatum mole, uvula,
Proses menelan dibagi menjadi 4 fase
mandibula, dasar mulut, lidah, dan arkus
yaitu: 1) fase persiapan oral; 2) fase oral; 3)
faringeus.2
fase faringeal; dan 4) fase esofageal.2,8
Lidah sebagian besar disusun oleh
serat-serat otot rangka yang dapat bergerak
Fase persiapan oral
ke segala arah. Sehubungan dengan proses
menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral Selama fase persiapan oral makanan
dan bagian faringeal. Lidah bagian oral dimanipulasi dan dikunyah. Proses mengu-
meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan nyah sendiri merupakan suatu pola siklik
belakang daun lidah. Lidah bagian oral berulang dari gerakan rotasi lateral otot-
aktif selama proses bicara dan proses otot labial dan mandibular. Lidah memo-
menelan pada fase oral, dan berada sisikan makanan di atas gigi saat gigi atas
dibawah kontrol kortikal (volunter). Lidah dan bawah bertemu dan menghancurkan
bagian faringeal atau dasar lidah dimulai material diatasnya. Makanan akan jatuh ke
dari papila sirkumvalata sampai tulang arah medial menuju lidah dan lidah akan
hioid. Dasar lidah aktif selama fase mengembalikan material tersebut ke atas
faringeal dan berada dibawah kontrol gigi pada saat mandibula dibuka. Selama
involunter dengan koordinasi batang otak, mengunyah, lidah mencampur makanan
tetapi bisa juga berada dibawah kontrol dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal
volunter. Atap mulut dibentuk oleh maksila akan menutup sulkus lateral dan mencegah
(palatum durum), velum (palatum mole), makanan jatuh ke arah lateral ke dalam
dan uvula. 2 sulkus di antara mandibula dan pipi.2,7,8
Struktur faring yang berperan dalam
proses menelan meliputi 3 otot konstriktor Fase oral
faringeal, yaitu superior, medial, dan Fase oral diawali saat lidah memulai
inferior, yang berorigo pada kranium, pergerakan posterior dari bolus makanan.
tulang hioid, dan kartilago tiroid, serta Selama fase ini lidah mendorong bolus ke
berinsersio pada bagian posterior median arah posterior sampai terjadi pemicuan fase
raphe. Otot krikofaringeal merupakan faring. Bagian tengah lidah secara ber-
struktur faring yang paling inferior. urutan menekan bolus ke arah posterior
Kontraksi otot ini akan mencegah melawan palatum durum. Suatu fase oral
masuknya udara ke dalam esofagus saat yang normal membutuhkan otot labial yang
respirasi. Otot ini melekat pada kartilago intak untuk memastikan penutupan bibir
krikoid dan bersama dengan lamina krikoid yang sempurna sehingga mencegah
membentuk valvula ke dalam esofagus makanan keluar dari rongga mulut;
yang dikenal dengan upper esophageal pergerakan lidah yang lengkap untuk
sphincter (UES) atau pharyngoesophageal mendorong bolus ke posterior; otot bukalis
Pandaleke, Sengkey, Angliadi; Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia 159

yang intak untuk memastikan material tidak faringeal dipicu melewati cricopharyngeal
jatuh ke dalam sulkus lateralis; dan otot juncture ke dalam esofagus,dengan nilai
palatum yang normal serta kemampuan normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum
untuk bernapas secara normal melalui bisa sampai 1 detik.2,7
hidung. Oral transit time adalah waktu
yang dihitung sejak awal pergerakan lidah Fase esofageal
untuk memulai fase oral sampai saat bolus
head melewati titik antara arkus faringeus Waktu transit esofageal diukur dari
anterior dan titik dimana batas bawah saat bolus memasuki esofagus pada UES,
mandibula menyilang dasar lidah, dengan melewatinya, dan masuk ke dalam lambung
nilai normal sekitar 1-1,5 detik.2,8 melalui LES, dengan nilai normal ber-
Pada saat lidah bergerak membawa variasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang
bolus ke arah posterior, reseptor sensorik dimulai pada puncak esofagus mendorong
pada orofaring dan lidah sendiri dirangsang bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal
untuk mengirimkan informasi sensorik ke sepanjang esofagus sampai LES terbuka
korteks dan batang otak. Selanjutnya, pusat dan memungkinkan bolus memasuki
pengenalan sensorik pada medula dalam lambung. Fase esofageal ini tidak dapat
nukleus traktus solitaris mengidentifikasi diintervensi dengan terapi latihan atau
stimulus menelan dan mengirimkan infor- teknik kompensasi apapun; oleh sebab itu,
masi ke nukleus ambigus yang kemudian bila ditemukan kecurigaan adanya
menginisiasi fase faringeal. Pada saat bolus gangguan pada fase esofageal, penderita
head melewati setiap titik yang terletak perlu dirujuk ke ahli gastroenterologi
antara arkus faringeus bagian anterior dan sehingga bisa dilakukan pemeriksaan dan
daerah dimana dasar lidah melintasi tepi penanganan lebih lanjut.2,8,9
bawah mandibula, fase oral berakhir dan
fase faringeal dipicu.2,8
DISFAGIA
Fase faringeal Penyebab disfagia
Fase faringeal dimulai saat terjadi Disfagia dapat terjadi pada satu atau
proses pemicuan. Pada fase ini terjadi lebih fase menelan dan dapat disebabkan
beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi oleh berbagai macam penyebab (Tabel 1).
velum serta penutupan sempurna dari port Penderita dengan gangguan neurologik
velopharyngeal untuk mencegah masuknya lebih sering mengalami gangguan pada fase
material ke dalam rongga hidung; 2) oral.8
elevasi dan pergerakan anterior dari hioid
dan laring; 3) penutupan laring oleh 3 Penilaian disfagia
sfingter untuk mencegah masuknya
material ke dalam jalan napas; 4) Penilaian disfagia dilakukan dengan
terbukanya sfingter krikofaringeal untuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
memungkinkan masuknya material dari pemeriksaan penunjang.9
faring ke esofagus; 5) melandainya dasar
lidah untuk membawa bolus ke faring Anamnesis
diikuti retraksi dasar lidah untuk Data harus dikumpulkan dari riwayat
menyentuh bagian anterior dari bulging kesehatan umum penderita. Riwayat
posterior dinding faring; dan 6) kontraksi neurologik yang mungkin berhubungan
dari atas ke bawah yang progresif dari otot- dengan beberapa penyakit yang dapat
otot konstriktor faringeal. Pharyngeal menyebabkan disfagia seperti multiple
transit time adalah waktu yang dihitung sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson
sejak bolus bergerak dari titik dimana fase dan Alzheimer harus ditanyakan.
160 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164

Tabel 1. Penyebab disfagia10


Oropharyngeal dysphagia: Metabolic disease:  Congenital webs
Neurologic disease:  Hyperthyroidism  Plummer-Vinson
 Cerebrovascular Inflammatory/autoimmune disease syndrome
accident  Amyloidosis  Neoplasma
 Parkinson disease  Sarcodosis  Cricopharyngeal bar
 Multiple sclerosis  SLE  Zenker divertikulum
 Brain neoplasma Infectious disease:  Extrinsic compression
 Alzheimer’s disease  Meningitis  Poor dentition
Myopathic disease :  Viral (coxsackie, herpes) Iatrogenic disease:
 Myositis Structural disease  Medication side effect
 Myasthenia gravis  Surgical resection
 Radiation induced
Esofageal Dysphagia:
Neuromuscular disorders:  Esophageal carcinoma
 Achalasia  Medication induced stricture
 Diffuse esophageal  Eosinophilic esophagitis
spasm
Structural lesion (intrinsic): Structural lesion (extrinsic):
 Benign peptic stricture  Vascular compression
 Esophageal rings and  Mediastinal lesion
webs  Cervical osteoarthritis
 Esophageal diverticula

Operasi yang pernah dialami penderita Pemeriksaan fisik


pada kepala dan leher juga perlu
ditanyakan. Semua pengobatan yang Pemeriksaan fisik umum sangat
sedang dijalani penderita harus dicatat. penting dilakukan untuk melihat adanya
Obat-obatan dengan efek samping seperti penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal,
sedasi, kelemahan otot, dan disorientasi atau neurologik yang dapat memengaruhi
dapat menyebabkan disfagia. Selain itu, fungsi menelan. Pemeriksaan dilakukan
faktor psikososial juga dapat memengaruhi juga terhadap status mental, kemampuan
proses menelan, terutama pada orangtua.9 bekerjasama, dan fungsi bahasa penderita.
Keluhan subyektif penderita dapat Saraf kranialis harus dinilai secara teliti.7,9
membantu menegakkan diagnosis disfagia, Pemeriksaan terhadap fungsi
yaitu antara lain: air liur yang mengalir pernapasan meliputi tanda-tanda obstruksi
berlebihan; batuk atau kesedakan saat atau restriksi seperti takipnea, stridor,
makan; terkumpulnya makanan pada pipi, penggunaan otot pernapasan tambahan, dan
di bawah lidah, atau pada palatum durum; pergerakan dinding dada yang asimetris.7,9
suara serak; suara cegukan setelah makan Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan
atau minum atau beberapa kali struktur pada kepala dan leher perlu
membersihkan kerongkongan; susah dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa
mengontrol gerakan lidah; kelemahan otot secara bilateral; juga kekuatan otot-otot
wajah; harus menelan beberapa kali untuk wajah. Otot maseter dan temporalis
satu bolus makanan; slurred speech; dipalpasi saat penderita diminta menggigit
adanya perasaan makanan seperti tertahan atau mengunyah. Pemeriksaan ini dapat
di leher atau dada; dan waktu mengunyah dilakukan pada saat pemeriksaan saraf
serta waktu makan yang lebih lama.11-13 kranialis.9
Pandaleke, Sengkey, Angliadi; Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia 161

Pemeriksaan intraoral dilakukan mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah


dengan inspeksi intraoral untuk melihat residu hipofaringeal, dan mengobservasi
lesi, sisa makanan, atau kelainan struktural. ada tidaknya aspirasi. Endoskop dimasukan
Palpasi dengan sarung tangan pada dasar melalui hidung melewati nasofaring dan
mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah, ditempatkan di dalam laringofaring di atas
untuk menyingkirkan adanya tumor. pita suara palsu. Bolus berbentuk cair dan
Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi padat diberi warna hijau sehingga mudah
lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur dilihat.1,16
dengan menempatkan jari pada pipi bagian
luar dan menahan lidah penderita yang Ultrasonografi
diminta untuk menekan pipi dari dalam.
Palatum diinspeksi untuk melihat Ultrasonografi digunakan untuk
posisi simetris pada saat istirahat dan saat menilai fungsi oral saja, yaitu fungsi lidah
fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi dan oral transit time; juga gerakan tulang
untuk menimbulkan refleks muntah, sambil hioid. Metode ini merupakan suatu
memperhatikan apakah palatum mole dan pemeriksaan yang noninvasif dan hanya
dinding faring berkontraksi secara simetris. menggunakan cairan dan makanan biasa.1,2
Adanya refleks primitif (sucking, biting,
dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya PENANGANAN REHABILITASI
refleks-refleks ini pada orang dewasa PADA PENDERITA DISFAGIA
mengindikasikan adanya kerusakan pada
kedua hemisfer atau lobus frontalis yang Terdapat beberapa cara penanganan
menyebabkan kelemahan oral motor rehabilitasi penderita disfagia, yaitu: teknik
control.9 postural, modifikasi volume dan kecepatan
pemberian makanan, modifikasi diet, com-
Pemeriksaan penunjang pensatory swallowing maneuver, teknik
untuk memperbaiki oral sensory aware-
Pemeriksaan penunjang yang bisa ness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan
digunakan untuk mendiagnosis gangguan penyesuaian peralatan yang digunakan.
menelan ialah: videofluorographic swal-
lowing study (VFSS), fiberoptic Teknik postural
endoscopic evaluation of swallowing
(FEES), dan ultrasonografi. Beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa perubahan postur kepala dan tubuh
Videofluorographic swallowing study dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi
(VFSS) pada penderita disfagia. Sebaiknya terapis
harus mengetahui secara tepat gangguan
Videofluorographic swallowing study anatomi dan fisiologik yang dialami
merupakan baku emas untuk mengevaluasi penderita sebelum menentukan postur yang
proses menelan. Pada pemeriksaan ini tepat. Beberapa teknik postural yang di-
penderita diminta untuk duduk dengan gunakan yaitu: chin down atau chin tuck,
nyaman dan diberikan makanan yang chin up, head rotation, head tilt, dan lying
dicampur barium agar tampak radiopak. down.2
Saat penderita sedang makan dan minum
dilakukan observasi gambaran radiologik Modifikasi volume dan kecepatan
pada monitor video dan direkam.9,14,15 pemberian makanan

Fiberoptic endoscopic evaluation of Pada penderita dengan keterlambatan


swallowing (FEES) dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang
besar akan membantu terjadinya triggering.
FEES merupakan suatu laringoskop Pada penderita yang mengalami gangguan
transnasal yang dapat digunakan untuk fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3
162 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164

kali menelan untuk setiap bolus. Pemberian menutup pita suara sebelum dan selama
makanan dalam jumlah terlalu banyak dan proses menelan sehingga melindungi
terlalu cepat akan menyebabkan terkum- trakea dari aspirasi. Makanan atau
pulnya bolus di dalam laring dan menye- minuman di tempatkan dalam mulut,
babkan aspirasi sedangkan pemberian penderita diminta untuk menarik napas
makanan dalam jumlah sedikit dan secara dalam kemudian ditahan, lalu penderita
lambat akan mengurangi terjadinya menelan 1-2 kali sambil tetap menahan
aspirasi.2 napas, dan batuk dengan segera setelah
menelan.
Modifikasi diet - Super-supraglotic swallow: dirancang
Modifikasi tekstur bolus sangat untuk menutup pintu masuk jalan napas
diperlukan untuk mencegah terjadinya secara volunter dengan mengangkat
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair kartilago aritenoid ke anterior, ke
lebih sulit dikontrol dan lebih mudah bagian dasar dari epiglotis sebelum dan
menyebabkan aspirasi karena dapat selama proses menelan serta menutup
mengalir langsung ke dalam faring sebelum erat pita suara palsu.
terjadinya refleks menelan. Bolus yang - Mandehlson maneuever: penderita
lebih kental atau makanan padat lunak diminta untuk merasakan adanya
lebih aman karena kemungkinan untuk sesuatu bergerak pada bagian dalam
masuk dalam pintu laring lebih kecil. lehernya saat menelan, kemudian
Selain itu, bolus yang lebih kental melakukan proses menelan kembali
meningkatkan pergerakan lidah dan (menggunakan dry swallow atau
membantu mempercepat terjadinya inisiasi dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk
fase faringeal.2,17 menahan gerakan tadi selama 3-5 detik,
Rekomendasi lain yaitu makanan kemudian menelan dan rileks.
dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung Teknik untuk memperbaiki oral sensory
tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan awareness
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1
sendok teh setiap kali menelan. Penderita Terdapat beberapa jenis teknik yang
juga diminta untuk tidak makan sambil meliputi:2,19,20
berbicara. Bila menggunakan makanan 1. Menekan sendok ke arah bawah
kental, makanan dengan kekentalan seperti melawan lidah saat pemberian makanan
madu yang dapat dijadikan pilihan.18 ke dalam mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik
Compensatory swallowing maneuver sensorik tertentu, seperti bolus dingin,
Manuver menelan dirancang untuk bolus dengan tekstur tertentu, atau
menempatkan bagian tertentu dari proses bolus dengan rasa yang kuat seperti jus
menelan normal dibawah kontrol volunter lemon
yang meliputi:2,19 3. Memberikan bolus yang harus
dikunyah sehingga proses mengunyah
- Effortful swallow: bertujuan mem- tersebut akan memberikan stimulasi
perbaiki gerakan dasar lidah ke arah oral.
posterior selama fase faringeal. 4. Memberikan volume bolus yang besar.
Penderita diminta untuk menelan 5. Thermal tactile stimulation (TTS)
dengan menggerakan lidah ke arah dengan melakukan gerakan stroking
posterior secara kuat untuk membantu pada arkus faringeus anterior. Stroking
perjalanan bolus melewati rongga dilakukan menggunakan kaca laring
faring. berukuran 00 (telah dimasukan dalan es
- Supraglotic swallow: bertujuan selama ±10 detik) pada arkus faringeus
Pandaleke, Sengkey, Angliadi; Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia 163

anterior dari bagian dasar ke arah atas aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,
sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini obstruksi jalan napas bila bolus berukuran
diangap bisa memberikan stimulus cukup besar yang memasuki jalan napas,
sensorik ke batang otak dan korteks dan kematian.2,19
sehingga saat penderita sudah mulai
fase oral, maka fase faringeal akan
terpicu lebih cepat. PROGNOSIS
Gangguan menelan yang diakibatkan
Stimulasi elektrikal oleh stroke atau traumatic brain injury
Neuromuscular electrical stimulation memiliki potensi untuk pulih. Mann et al.
(NMES) bekerja dengan memberikan mendapatkan bahwa sekitar 87% penderita
stimulasi listrik pada otot-otot menelan stroke kembali ke diet semula setelah 6
lewat elektroda yang ditempatkan di atas bulan, tetapi hasil videofluroskopi menun-
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang jukkan terdapat 51% penderita yang tetap
penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan adanya gangguan pada
menunjukkan bahwa NMES merupakan proses menelan. Penderita dengan kondisi
alternatif terapi yang efektif dan aman yang statis atau progresif seperti amyo-
untuk penderita disfagia serta dapat thropic lateral sclerosis, multipel sklerosis,
digunakan pada anak-anak. Penggunaan muskular distrofik, dan Parkinsonisme
NMES ini efektif pada disfagia akibat harus dievaluasi secara periodik, dengan
penyakit tertentu seperti stroke, kanker mempertimbangkann pemberian nonoral
pada kepala dan leher, serta multipel feeding.8,23
sklerosis.20,21
SIMPULAN
Terapi latihan
Diagnosis dan penanganan dini pen-
Terapi latihan digunakan untuk me- derita disfagia sangat diperlukan. Pena-
nguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup nganan disfagia dalam bidang rehabilitasi
gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari medik bertujuan untuk mempertahankan
mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan asupan nutrisi yang adekuat dan me-
pita suara. Terapi latihan yang biasanya maksimalkan proteksi terhadap jalan napas;
digunakan antara lain: latihan LGS rahang, dalam hal ini sangat diperlukan kerjasama
latihan penguatan otot lidah, latihan tim rehabilitasi dengan bidang spesialisasi
adduksi pita suara, dan latihan metode lainnya.
Shaker.8,19
DAFTAR PUSTAKA
Penyesuaian peralatan yang digunakan
1. Skavaria AM, Schroeder-lopez RA.
Beberapa peralatan telah dibuat untuk
Dysphagia Management. In: Gillen G,
membantu penderita disfagia, termasuk Burkhard A, editors. Stroke
penderita yang juga mengalami kelemahan Rehabilitation: A Functional Based
ekstremitas atas yang akan memengaruhi Approach. St Louis: Mosby, 1998; p.
kemandirian penderita untuk makan. 407-22.
Peralatan tersebut misalnya gelas dengan 2. Longemann JA. Evaluation and Treatment
sedotan, nose cutout cup, plate guard, of Swallowing Disorder (Second
sedotan, serta garpu dan sendok yang Edition). Austin: Pro-ed, 1998.
dimodifikasi.8,22 3. Fass R, Gasiorowska A. Current approach
to dysphagia. Gastroenterology and
Hepatology Journal. 2009;5:269-79.
KOMPLIKASI DISFAGIA 4. Falsetti P, Acciai C, Palilla R, Bosi M,
Carpinteri F, Zingarelli A, et al.
Komplikasi disfagia dapat berupa Oropharyngeal dysphagia after stroke:
164 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164

Incidence, diagnosis and clinical aspiration risk in acute stroke patient.


predictor in patients admitted to Stroke. 2003;34:1252-7.
neurorehabilitation unit. Journal of 15. Pikus L, Levine MS, Yang YX, Rubesin
Stroke and Cerebrovascular Disease. SE, Katzka DA, Laufer I, et al.
2009;18:329-35. Videofluoroscopic studies of
5. Martino R, Foley N, Bhogal S, Diamant N, swallowing dysfunction and the relative
Speechley M, Teasell R. Dysphagia risk of pneumonia. AJR.
after stroke incidence, diagnosis and 2003;180:1613-6.
pulmonary complication. Stroke. 16. Warnacke T, Teismann I, Meimann W,
2005;36:2756-63. Olenberg S, Zimmermann J, Kramer
6. Hamiddon BB. Risk factors and outcome of C. Assesment of aspiration risk in
dysphagia after an acute ischaemic acute ischaemic stroke. Evaluation of
stroke. Med J Malaysia. 2006;61:553- simple swallowing provocation test. J
57. Neurol Neurosurg Psychiatry.
7. Palmer JB, Pelletier CA, Matsuo K. 2008;79:312-4.
Rehabilitation of patient with 17. Tsukada T, Taniguchi H, Ootaki S,
swallowing disorder. In: Braddom RL, Yamada Y, Inoue M. Effect of food
editor. Physical Medicine and texture and head posture on
Rehabilitation. Philadelphia: Elsevier oropharyngeal swallowing. J Appl
Saunders, 2007; p. 581-600. Physiol. 2009;106:1848-57.
8. Zorowitz RD. Speech therapy and disorder 18. Nutritional Guidelines For Symptom
of deglutition. In: Lazar RB, editor. Management: Dysphagia. BC Cancer
Principles of Neurologic Rehabilitation. Agency Care and Research. Available
Chicago: Mc Graw-Hill, 1997; p. 491- from:
511. http://www.bccancer.bc.ca/NR/rdonlyre
9. Miller RM, Groher M, Yorkston KM, s/5C9BA6AE-C7EC-40FA-AAEF-
Rees TS, Palmer JB. Speech, 2B81AA26BEE5/56309/Dysphagia.pdf
language, swallowing and auditory 19. Tan J. Practical Manual of Physical
rehabilitation. In: Delisa JA, Gans BM, Medicine and Rehabilitation. St Louis:
Walsh NE. editors. Physical Medicine Mosby, 1998:515-37
and Rehabilitation, Principle and 20. Lim KB, Lee HJ, Lim SS, Choi YI.
Practise, Volume 1 (Fourth Edition). Neuromuscular electrical stimulation
Philadelphia: Lippincot Williams and and thermal tactile stimulation for
Wilkins, 2005; p. 1025-50. dysphagia caused by stroke. J Rehabil
10. Prasad GA. Clinical approach to a patient Med.2009;41:174-8.
with dysphagia. Medicine update. 21. Wijting Y. Neuromuscular Electrical
Available from: Stimulation The Treatment of
http://www.apiindia.org/pdf/medicine_ Dysphagia : a Summary of the
update_2007/63.pdf Evidence. St. Paul: Empi Recovery
11. Caplan LR. What Remain After Stroke. In: Science, 2009.
Stroke. St. Paul: AAN Press, 2005; p. 22. Jelm JM. Treatment of feeding and
139-54. swallowing disorders in children: An
12. Finestone HM, Greene-Finestone LS. overview. In: Cherney LR, editor.
Rehabilitation Medicine: 2. Diagnosis Clinical Management of Dysphagia in
of dysphagia and its nutritional Adults and Children (Second Edition).
management of stroke patients. CMAJ. Maryland: Aspen Publisher, 1994; p.
2003;169(10): 1041-4. 185-98.
13. Hardy E. Bedside evaluation of dysphagia. 23. Mann G, Hankey GJ, Cameron D.
Imaginart International. 1995;1:33-34. Swallowing function after stroke:
14. Ramsey DJC, Smithard DG, Kalra L. Prognosis and prognostic factors at 6
Early assesment of dysphagia and months. Stroke. 1999;30;744-8.
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

PENGARUH EDUKASI TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA


HIPERTENSI DI POS PEMBINAAN TERPADU KELURAHAN MOJOROTO
KOTA KEDIRI JAWA TIMUR

Anik Nuridayanti1, Nurul Makiyah2, Rahmah3


STIKes Ganesha Husada Kediri Jawa Timur

INTISARI

LatarBelakang : Hipertensi merupakan penyakit darah tinggi. Hipertensi tidak dapat disembuhkan
namun dapat dikendalikan melalui kontrol kesehatan secara rutin, dan mengkonsumsi obat secara
teratur untuk mengurangi risiko komplikasi
Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh edukasi terhadap kepatuhan minum obat penderita
hipertensi di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.
Metode Penelitian : Penelitian quasi experiment dengan pre test and post test non-equivalent control
group. Jumlah sampel sebanyak 42 responden di bagi kelompok intervensi 21 responden dan
kelompok kontrol 21 responden dengan total sampling. Instrument kepatuhan minum obat
menggunakan lembar catatan minum obat. Hasil penelitian dianalisis dengan uji independent sampel t
tes.
Hasil Penelitian : Setelah dilakukan edukasi ada perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan
minum obat pada kelompok kontrol dan intervensi (p=0,001)
Kesimpulan : Edukasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan minum obat penderita hipertensi.

Kata kunci : Edukasi, Kepatuhan minum obat hipertensi

Jurnal Kesehatan Karya Husada/Vol.6, No. 1 Tahun 2018

1
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

PENDAHULUAN Pembinaan Terpadu di Kelurahan Mojoroto


Hipertensi dikenal secara luas sebagai Kota Kediri di bawah binaan Puskesmas
penyakit kardiovaskular. Pada kebanyakan Sukorame sebanyak 42 penderita hipertensi.
kasus, hipertensi tidak terdeteksi sehingga Hipertensi adalah tekanan darah yang
sering disebut sebagai “silent killer”. Di meningkat. Peningkatan tekanan darah yang
Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan berlangsung dalam jangka waktu lama
kesehatan yang rendah dan dalam era (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada
globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung
gaya hidup banyak pasien yang tidak koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila
menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi. tidak dideteksi secara dini dan mendapat
Hipertensi merupakan kondisi yang sering pengobatan yang memadai. Hipertensi tidak
ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan
Pengontrolan hipertensi belum adekuat melalui kontrol kesehatan secara rutin, dan
meskipun obat-obatan yang efektif banyak mengkonsumsi obat secara teratur untuk
tersedia (Riskesdas, 2013) mengurangi risiko komplikasi (Almisbah,
World Health Organization (WHO) 2008). Keberhasilan pengobatan hipertensi
menyatakan bahwa sampai tahun 2030 tidak lepas dari pengetahuan, sikap dan
penyebab kematian nomer satu adalah kepatuhan seseorang minum obat. Seseorang
hipertensi. Menurut American Heart yang paham tentang hipertensi dan berbagai
Association (AHA), penduduk Amerika yang penyebabnya maka akan melakukan tindakan
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi sebaik mungkin agar penyakitnya tidak
telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa berlanjut kearah komplikasi (Setiawan, 2008).
(WHO, 2008). Berdasarkan data Riset Edukasi merupakan suatu bentuk tindakan
Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) prevalensi mandiri keperawatan untuk membantu
penyakit hipertensi di Indonesia termasuk penderita hipertensi baik individu, kelompok,
tinggi, yaitu sebesar 25,8% dan di Jawa Timur maupun masyarakat dalam mengatasi masalah
berada di urutan ke- 6 . Hasil studi kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran,
pendahuluan di Dinas Kesehatan Kota Kediri yang di dalamnya perawat sebagai perawat
pada tanggal 20 Maret 2016 jumlah kunjungan pendidik. Merubah gaya hidup yang sudah
pasien hipertensi selama 1 tahun pada tahun menjadi kebiasaan seseorang membutuhkan
2015 mencapai 25640 kunjungan. Kunjungan suatu proses yang tidak mudah. Untuk
tertinggi di Puskesmas Sukorame sebanyak merubah perilaku ada beberapa faktor yang
5071 kunjungan (19,7%), untuk kunjungan sangat mempengaruhi salah satunya adalah
pasien hipertensi di bulan Februari sebanyak pengetahuan seseorang tentang objek baru
384 kunjungan, dan kunjungan di Pos tersebut. Diharapkan dengan baiknya
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

pengetahuan seseorang terhadap objek baru post non-equivalent Control Group. Pada
dalam kehidupannya maka akan lahir sikap desain ini peneliti melakukan intervensi
positif yang nantinya kedua komponen ini pemberian edukasi pada kelompok intervensi
menghasilkan tindakan yang baru yang lebih dan kelompok kontrol mendapat informasi
baik. Dengan mendapatkan informasi yang sesuai SOP dari Puskesmas. Kepatuhan minum
benar, diharapkan penderita hipertensi obat diukur 7 hari sebelum edukasi dan 28 hari
mendapat bekal pengetahuan yang cukup setelah edukasi Sampel yang digunakan dalam
sehingga dapat menurunkan resiko komplikasi penelitian adalah berjumlah 42 responden
(Sutrisno, 2013). dengan kriteria inklusi penderita hipertensi
Puskesmas selain melakukan yang bersedia jadi responden, yang datang
pencegahan primer juga perlu melakukan rutin di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan
pencegahan sekunder yang lebih ditujukan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.
pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan Kemudian dibagi menjadi dua kelompok
penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat intervensi 21 responden dan kelompok kontrol
dilakukan pencegahan tersier yaitu juga 21 responden. Pengambilan sampel
pengobatan dini untuk mencegah terjadinya dengan total sampling.
kearah komplikasi. Pengobatan hipertensi Data kepatuhan minum obat di dapat dari
dilakukan oleh penderita selama hidupnya catatan minum obat penderita hipertensi.
sehingga dituntut kerelaan dan kepatuhan HASIL PENELITIAN
penderita untuk menjalankan pengobatan 1. Karakteristik responden
dengan benar dan tekun serta mematuhi Tabel 1. Distribusi karakteristik responden
nasehat dokter. Ada beberapa langkah untuk berdasarkan IMT, usia, jenis kelamin,
menurunkan tekanan darah tinggi. Di pendidikan, pekerjaan, pendapatan di Pos
antaranya, menurunkan nilai angka sistolik Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto
maupun diastolik, dan pengobatan yang Kota Kediri Jawa Timur (pada bulan Juni
diarahkan untuk mengontrol tekanan darah 2016, n = 21)
sehingga tercapai tekanan yang normal. Peran
Karakteristik Kontrol Intervensi
perawat sebagai pemberi pendidikan kesehatan n % n %
kepada pasien hipertensi dapat menambah IMT
1. Kurus 0 0 1 4,8
pengetahuan dan bisa merubah perilaku pasien 2. Normal 18 85, 15 71,4
untuk berhidup sehat dan 3. Gemuk 3 7 5 23,8
14,
berkualitas(Kemenkes, 2011). 3
METODE PENELITIAN Usia
1. 36 – 44 2 9,5 0 0
Desain yang digunakan dalam penelitian tahun 7 3,3 10 47,6
ini adalah Quasi Eksperimen with Pre test and 2. 45 – 59 12 57. 11 52,4

Jurnal Kesehatan Karya Husada/Vol.6, No. 1 Tahun 2018

2
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

tahun 2 Sesudah 25.76 +


3. 60 – 74 1.700
tahun p-value< 0,05 based on paired t-test
Jenis kelamin
1. Laki-laki 7 33, 4 19 3. Pengaruh edukasi diet dan terapi obat
2. Perempuan 14 3 17 81 terhadap kepatuhan minum obat
66, Tabel 3 Hasil uji beda skor kepatuhan
7 minum obat responden penderita hipertensi
Pendidikan sesudah edukasi pada kelompok kontrol
1. SD 12 37, 2 9,5 dan kelompok intervensi di Pos Pembinaan
2. SMP – SMA 7 1 18 85,7 Terpadu Kelurahan Mojoroto Kota Kediri
3. PT 2 33, 1 4,8 Jawa Timur (pada bulan Juni-Juli 2016, n =
3 21)
9,5
1. Pekerjaan Kelompok Rerata+ SD p*
2. PNS 1 4,8 0 0 Kontrol 23,00 + 2,864 0.001
3. Wiraswasta 2 9,5 2 9,5 Intervensi 25,76 + 1,700
4. Pensiunan 4 19, 1 4,8 p-value< 0,05 based on independent
5. Tidak 14 0 18 85,7 sample t-test
bekerja 66,
7 PEMBAHASAN
Sumber : Data primer 2016 n=
2. Pengaruh edukasi terhadap
responden
kepatuhan minum obat penderita

hipertensi
2.Perbedaan kepatuhan minum obat
Dari hasil penelitian yang disajikan
penderita hipertensi sebelum dan sesudah
pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata
edukasi pada kelompok kontrol dan
skor kepatuhan minum obat responden
intervensi
penderita hipertensi pada kelompok
Tabel 2 Hasil uji beda skor kepatuhan
minum obat responden penderita hipertensi kontrol mengalami peningkatan dari 5,05
obat sebelum dan sesudah pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi di Pos menjadi 23,00 dengan perbedaan rerata
Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto
Kota Kediri Jawa Timur (pada bulan Juni- 17,952. Rerata skor kepatuhan minum
Juli 2016, n = 21)
obatresponden penderita hipertensi pada
Kepatuhan
Rerata+ s.d p-value
Minum kelompok intervensi sesudah mendapat
obat
edukasidiet dan terapi obat mengalami
Kontrol 0,000*
Sebelum 5.05 + 1.499
peningkatan dari 5,10 menjadi 25,76
Sesudah 23.00+ 2.864
Intervensi 0,000*
dengan perbedaan rerata 20,667. Ada
Sebelum 5.10 + 1.338
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

perbedaan yang signifikan edukasi hipertensi di Puskesmas Kecamatan Beji


terhadap perilaku diet pada kelompok Kota Depok. Penelitian ini menggunakan
kontrol dan kelompok intervensi dengan ceramah untuk waktu post test setelah
p-value (0,000). Berdasarkan Tabel 3 ceramah 2 minggu dengan hasil
menunjukkan bahwa ada perbedaan penelitian ceramah memiliki pengaruh
kepatuhan minum obat pada kelompok terhadap peningkatan kepatuhan minum
kontrol dan kelompok intervensi dengan obat dan penurunan tekanan darah.
p-value = 0.0,001 dengan perbedaan Hasil penelitian ini mengatakan
rerata 2,905. bahwa edukasi diet dan terapi obat
Penelitian edukasi yang dilakukan di mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan
Pos Pembinaan Terpadu Kota Kediri minum obat, kepatuhan terhadap
Jawa Timur meningkatkan kepatuhan pengobatan merupakan tingkatan
minum obat penderita hipertensi. perilaku dimana penderita menggunakan
Penelitian ini dilakukan dengan obat, mentaati semua aturan dan nasihat
menggunakan catatan minum obat yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan.
penderita hipertensi .Catatan minum obat Perawat mempunyai peran yang
dilihat 7 hari sebelum edukasi dan 28 hari penting dalam memberikan pelayanan
setelah edukasi. Rerata sebelum edukasi kesehatan. Tappen (2009), menyatakan
kepatuhan kelompok kontrol dan bahwa salah satu peran penting seorang
kelompok intervensi sama yaitu 5. Dan perawat adalah sebagai educator. Perawat
ada perbedaan rerata setelah edukasi harus mampu memberikan pendidikan
untuk kelompok kontrol 23,00 dan untuk kesehatan pada penderita hipertensi
kelompok intervensi 25,76. Penelitian dalam hal pencegahan penyakit
sesuai dengan penelitian Norman (2012) pemulihan penyakit dan memberikan
pengaruh ceramah kesehatan terhadap informasi yang tepat tentang kesehatan.
kepatuhan dan tekanan darah pasien Edukasi kesehatan yang diberikan oleh
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

perawat akan meningkatkan kepatuhan Kota Depok. Tesis Universitas


Indonesia, Jakarta
terhadap program terapi dan
Casey, G (2011). Blood and
pengendalian hipertensi. hypertension; the damage of too much
pressure. CPD + nurses Kai Tiakinew
Melalui kegiatan edukasi yang Zealand
dilaksanakan secara rutin serta adanya Corwin E.J (2009). Handbook of
pathophysiologi, Jakarta : Penerbit
kegiatan pengontrolan konsumi obat pada buku Kedokteran EGC
penderita hipertensi secara tidak langsung Departemen Kesehatan RI (2006).
Pharmaceutical Care untuk Penyakit
meningkatkan kesadaran penderita Hipertensi Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik; Direktorat
hipertensi mengontrol konsumsi obat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Hidayat, A (2007). Metode Penelitian dan
KESIMPULAN Tehnik Analisa Data, Jakarta :Salemba
Medika
Edukasi memberikan pengaruh yang
IONI (2000). Departemen Kesehatan
positif terhadap kepatuhan minum obat Republik Indonesia direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makan , Jakarta :
penderita hipertensi di Pos Pembinaan CV Agungseto

Terpadu Kelurahan Mojoroto Kota Kediri KelanaD.K. (2011) Metodologis Penelitian


Keperawatan (Pedoman Melaksanakan
JawaTimur. dan Menerapkan Hasil Penelitian)
cetakan Pertama Jakarta: CV.Trans info
DAFTAR PUSTAKA Media

Kalzung, B.G (2011). Basic & Clinical


Aspuah (2013). Kumpulan Kuesioner pharmacology, Edisi 10 Jakarta
Instrumen Penelitian Kesehatan, :Penerbit Buku Kedokteran EGC
cetakanpertama ,Yogyakarta ; Penerbit
Nuha Medika Lewa, (2010). Faktor-faktor risiko
hipertensi sistolik terisolasi pada lanjut
Aswan Zain, Syaiful Bahri Djamarah, usia. Berita Kedokteran Masyarakat. 26
Drs (2002). Strategi Belajar (4) : 171-178
Mengajar, Jakarta, Rinka Cipta
Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan
Atika.P.W.,(2012). Analisis efektivitas pengantar untuk perawat dan
pemberian booklet terhadap tingkat profesional kesehatan lain. Jakarta:
kepatuhan ditinjau dari kadar Buku Kedokteran EGC
hemoglobin terglikasi (Hb A1C) dan
Morisky Medication Adherence scale Nursalam, Efendy (2012). Pendidikan dalam
(MMAS) – 8 Padapasien Diabetes Keperawatan, Jakarta :Salemba Medika
Melitus Tipe 2 di Puskesmas Jati Jaya
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

Nursalam (2014). Metodologi Penelitian Palmer.A&Williams.B ((2007). Tekanan


Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis, darah tinggi, Jakarta : Penerbit
Edisi 3, Jakarta :Salemba Medika Erlangga

Price. S.A & Wilson, L.M (1995).


Notoatmodjo, S (2003). Pendidikan dan Pathophysiology clinical concepts of
Perilaku Kesehatan ,Jakarta : Rineka deseases process, Jakarta :Penerbit
Cipta Buku Kedokteran EGC
Notoatmodjo.S. (2010). Metodologi Riskesdas, (2013). Badan Penelitian dan
Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Pengembangan Kesehatan
Cipta Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Notoatmodjo.S. (2010). Ilmu Perilaku
Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
Riyan, Sunarti,Agrina (2011). Kepatuhan
Notoatmodjo.S. (2012). Metodologi lansia penderita Hipertensi dalam
Penelitian Kesehatan Edisi Revisi pemenuhan diet Hipertensi, e-Journal
Jakarta : PT Rineka Cipta Keperawatan vol 6 no 1, 46-53
Notoatmodjo Soekidjo (2014). Ilmu
Perilaku Kesehatan cetakan ke2 Riyanto ,Budiman (2014). Kapita selekta
Jakarta: PT Rineka Cipta Kuesioner Pengetahuan dan sikap
dalam penelitian Kesehatan, Jakarta:
Norman (2012) pengaruh ceramah Saleman Medika
kesehatan terhadap kepatuhan dan
tekanan darah pasien hipertensi di Sigarlaki (2006) Karakteristik dan faktor
Puskesmas Kecamatan Beji Kota berhubungan dengan hipertensi di desa
Depok. Universitas Indonesia Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, e-
Nugraheni (2012) pengaruh penyuluhan Journal kesehatan. 10 (2): 78-88
tentang diet hipertensi terhadap
perubahan tekanan darah pada Supariasa, Nyoman. (2012). Penilaian status
penderita hipertensi di wilayah kerja gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
Puskesmas Kasihan 1 Bantul. EGC
Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta Sutrisno, Khoiriyati, Wibowo, (2013).
Pengaruh Edukasi Perawat terhadap
Osterberg, lars, blashke, Terrence, penurunan Tekanan Darah pada lansia
(2005). adherence to edication. The dengan hipertensi di wilayah kerja
new England Journal of medecine, Puskesmas Purwodadi Kabupaten
97, 353-487 Grobogan. Tesis Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Pondaag, Rompas, Runtukahu (2015).
Analisis factor-faktor yang Suliha,.Herawati,,Sumiati, & Yeti
berhubungan dengan kepatuhan Resnayati, (2002). Pendidikan
melaksanakan diet pada penderita Kesehatan Dalam Keperawatan, Jakarta
hipertensi di wilayah kerja , Penerbit EGC.
Puskesmas wolaang kecamatan
langowanTimur, e-Journal Smeltzen S and Brenda G .B (2009).
Keperawatan vol 3, No 2 Keperawatan Medikal Bedah, Lippincot-
Raven Publisher : Washington,
Philadephia
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …

Tappen (2009), Nursing leadership and


management : concepts and practice
(revised). Publisher davis company, f. A.

Suddarth & Brunner (2015). Keperawatan


Medikal Bedah Edisi 12, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC

Sukmayanti, Evadewi.(2003). Kepatuhan


mengkonsumsi obat pasien Hipertensi di
Denpansar ditinjau Dari Kepribadian
Tipe A dan Tipe B, Jurnal Psikologi
Udayana vol 1, No 1 32-42

Umah, Madyastuti, Risqiyah, (2012)


pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
perilaku diet rendah garam pada pasien
hipertensi UNIGRES

Wawan A &Dewi M. (2010). Teori dan


pengukuran Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku manusia, Yogyakarta, Nuha
Medika
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

RELAKSASI AUTOGENIK MENURUNKAN KECEMASAN PASIEN KANKER SERVIKS


(Autogenic Relaxation Decrease Anxiety In Patients With Cervical Cancer)

Dyah Wijayanti
Prodi DIII Keperawatan Kampus Sutopo Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya

ABSTRAK
Individu dengan kanker serviks mungkin mengalami kecemasan karena sakit yang berkepanjangan
dan tidak mudah untuk disembuhkan. Salah satu upaya untuk mengurangi kecemasan adalah melalui
relaksasi autogenik (AT). Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh relaksasi autogenik pada
kecemasan pada pasien kanker serviks di Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas Balongsari dan Puskesmas
Rangkah Surabaya dengan desain penelitian one group pre-post test design. Sampel terdiri dari 15 orang
yang diberikan relaksasi autogenik selama dua minggu. Sampel dipilih dengan consecutive sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner sebelum dan
sesudah intervensi. Uji statistik menggunakan Wilcoxon Signed hasil Ranking Test.The menunjukkan bahwa
ada pengaruh yang signifikan pada pengurangan kecemasan pada pasien kanker serviks sebelum dan
sesudah intervensi autogenik relaksasi dengan p = 0,011 (p <0,05). Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa
efek relaksasi autogenik pada kecemasan pada pasien dengan kanker serviks. Penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan dengan lebih banyak sampel dan pengujian laboratorium melalui pemeriksaan Endorphin β untuk
mendapatkan hasil pengukuran yang komprehensif.

Kata-kata kunci: Autogenik relaksasi, kecemasan, self-efficacy, kanker serviks

ABSTRACT
Individuals with cervical cancer may experience anxiety because of the prolonged illness and not
easy to be healed. One of the efforts to reduce anxiety is through autogenic relaxation (AT). The
purpose of this study is to analyze the effect of autogenic relaxation on anxiety in cervical cancer
patients at Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas Balongsari and Puskesmas Rangkah Surabaya with pre
experimental research design: one group pre-post test design. The sample consist of 15 persons given
autogenic relaxation for two weeks. Samples were selected by consecutive sampling. Data collection
was done by measuring the level of anxiety based on the questionnaire before and aft.er the
intervention. The statistical test used the Wilcoxon Signed Rank Test.The results show that there is
significant effect on anxiety reduction in cervical cancer patients before and after autogenic relaxation
intervention with p= 0.011 (p< 0.05). The conclusion of the research is that autogenic relaxation effects
on anxiety in patients with cervical cancer. Further studies need to be done with more samples and
laboratory testing through β Endorphin examination in order to obtain a comprehensive measurement
result.

Keywords: Autogenic relaxation, anxiety, self-efficacy, cervical cancer

PENDAHULUAN pada wanita berumur 35 sampai 40 tahun dan

Kanker serviks merupakan penyakit


kronis yang menimbulkan masalah baik fisik
maupun psikologis. Pasien kanker dikuasai
perasaan tidak berguna serta kekhawatiran
karena merasa hanya menjadi beban orang lain
dan rasa malu karena tidak memiliki arti bagi
orang lain (Triharini, 2009).
Kanker serviks merupakan penyebab
kematian terbanyak penyakit kanker di negara
berkembang (Edianto, 2006). Terhitung sebanyak
510.000 kasus baru terjadi tiap tahun dan lebih
dari 288.000 kematian berlangsung akibat
penyakit ini di seluruh dunia (Carr, 2004). Angka
kejadian penyakit ini rendah pada wanita berumur
dibawah 25 tahun, namun insidensi meningkat

JURNAL KEPERAWATAN 33
mencapai titik maksimum pada usia 50-an (Carr,
2004). Separuh dari seluruh kanker serviks
terjadi pada wanita usia 35 sampai 55 tahun
(Zeller, 2007). Kanker dengan insiden paling
banyak ke dua yang terjadi di Indonesia adalah
kanker serviks dengan 16 per 100.000
perempuan (Depkes, 2011). Studi pendahuluan
data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
rekapitulasi pasien kanker serviks tahun 2012,
terdapat 140 orang yang berobat di pelayanan
paliatif Puskesmas di Surabaya.
Individu yang mengalami kanker serviks
dapat mengalami kecemasan karena penyakit ini
berkepanjangan dan tak kunjung sembuh
(Nurhidayati & Mamnu’ah, 2005). Penderita
kanker akan mengalami pola perilaku yang
berbeda yaitu shock, marah, denial, bargaining,
keadaan tidak berdaya dan keputusasaan (Yani,

JURNAL KEPERAWATAN 34
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

2007). Tiga puluh dua persen pasien kanker Pada penelitian ini menggunakan Sample
stadium lanjut mengalami kecemasan kematian Size Tables for Clinical Studies edisi ke 3 oleh
tingkat sedang (Neel et al, 2012). Machin, Campbell, Tan & Tan (2009). Perhitungan
Berdasarkan studi pendahuluan besar sampel dengan membandingkan dua
didapatkan bahwa pasien kanker serviks di kelompok berpasangan (paired group), observasi
puskesmas Surabaya, mengalami kecemasan dilakukan sebelum dan sesudah suatu intervensi
ringan 2 orang (25%), cemas sedang 5 orang menggunakan rumus (Machin, , Campbell, Tan &
(62,5%) dan cemas berat 1 orang (12,5%). Tan (2009). Selanjutnya menggunakan tabel
Jika mengetahui dirinya menderita sample size for paired continuous data with two-
kanker stadium lanjut maka akan menampilkan sided α= 0,05 pada buku Sample Size Tables for
reaksi takut akan kematian, ketidakmampuan, Clinical Studies edisi ke 3 oleh Machin, Campbell,
diterlantarkan, ketergantungan, kehilangan Tan & Tan, tahun 2009, pada α = 0,05 uji dua
kemandirian, diputuskan dari hubungan fungsi arah dengan power = 90% (0,9) didapatkan hasil
peran (Tim Kanker Serviks, 2010). Pengobatan Npairs = 13.Perkiraan proporsi dropout penelitian
kanker merupakan stressor baru bagi penderita. (f) 15% maka berdasarkan rumus (Madiyono,
Perasaan negatif dan informasi yang kurang dari Moeslichan, Sastroasmoro, Budiman, & Purwanto,
petugas kesehatan tentang pelaksanaan, manfaat 2008) Sampel yang dibutuhkan adalah lima belas
dan efek samping dari kemoterapi dapat orang.
menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada Pengumpulan data tingkat kecemasan
pasien (Gale, 2000). dengan menggunakan kuesioner The Zung Self-
Peran perawat sangat penting dalam Rating Anxiety Scale (SAS) yang dimodifikasi
penanggulangan kecemasan dan berupaya agar sesuai dengan kondisi pasien kanker serviks dan
pasien tidak cemas melalui asuhan keperawatan sudah dilakukan uji validitas dengan nilai r>0,632
yang komprehensif secara biologis, psikologis, dan uji reliabilitas Cronbach’s Alpha sama dengan
sosial dan spiritual. Salah satunya adalah dengan 0,907. Pengukuran kecemasan dilakukan pada
relaksasi. Relaksasi dapat memutuskan pikiran- sebelum dan sesudah intervensi. Analisa data
pikiran negatif yang menyertai kecemasan deskriptif variabel yang berbentuk kategorik (usia,
(Greenberg,2002). Autogenik Training (AT) pendidikan, agama, pekerjaan, usia waktu
merupakan relaksasi dengan penyampaian sugesti menikah, jumlah anak, lama menderita,
positif yang membuat efek relaksasi psikologis dan pendapatan, stadium) atau dikategorikan
pada akhirnya akan didapatkan efek anxiolitik (kecemasan) disajikan dalam bentuk proporsi.
(Vidas, Smalc, Catipovic dan Kisik, 2011). Analisa bivariat menggunakan uji Wilcoxon Sign
Tujuan dari penelitian ini adalah Rank Test, dengan tujuan untuk mengetahui
menganalisis pengaruh relaksasi autogenik perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan
terhadap penurunan kecemasan pada pasien intervensi relaksasi autogenik.
kanker serviks
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAHAN DAN METODE
Relaksasi Autogenik Terhadap Kecemasan
Jenis penelitian ini adalah pra Pada Pasien Kanker Serviks
eksperimental dengan desain one group pre-post
test design. Penelitian ini hanya melibatkan satu Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu,
kelompok yang diberikan pelatihan relaksasi mulai tanggal 13 Mei–3 Juni 2014 di wilayah kerja
autogenik. Populasi pada penelitian ini adalah Puskesmas Pacar Keling, Balongsari dan Rangkah
seluruh pasien kanker serviks yang berobat pada Surabaya. Setelah mendapatkan intervensi
Poli Paliatif Puskesmas di Surabaya. Tehnik relaksasi autogenik, sebagian besar pembimbing
pengambilan sampel menggunakan tehnik klinik mengalami penurunan kecemasan. Hal ini
nonprobability sampling yaitu consecutive didukung bahwa pada saat sebelum diberikan
sampling. Lokasi penelitian ini adalah di wilayah intervensi, terdapat 8 orang (53%), kategori
kerja Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas kecemasan sedang dan setelah diberikan
Balongsari dan Puskesmas Rangkah Surabaya intervensi, 9 orang (60%), mempunyai kategori
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 minggu, kecemasan ringan. Nilai rata-rata kecemasan pada
mulai tanggal 13 Mei-3 Juni 2014. Kriteria inklusi pre test 72,20 sedangkan nilai rata-rata
pada penelitian ini adalah pasien kanker serviks kecemasan pada post test 66,27. Penurunan
stadium lanjut yang menjalani pengobatan paliatif kecemasan ekstrim terjadi pada 3 orang (20%).
pada Puskesmas di Surabaya, pasien kanker Hal ini didukung karena pembimbing klinik
serviks yang berumur 30-55 tahun, sedangkan menderita kanker serviks sejak 1-2 tahun yang
kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien lalu, sudah selesai menjalani pengobatan
kanker serviks yang fisiknya tidak memungkinkan kemoterapi, mendapat dukungan sosial keluarga
dilakukan perlakuan relaksasi autogenik yang adekuat.
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

Tabel 1 Tabulasi silang pre test dan post test relaksasi autogenik terhadap tingkat
kecemasan pasien kanker serviks, Mei 2014
Kategori tingkat Pre test Post Wilcoxon
kecemasan test Sign Rank
Test
f % f % p
Ringan 4 27 9 60
Sedang 8 53 5 33,33 0,011
Berat 3 20 1 6,67

Autogenik Training (AT) merupakan


yang serius dan dianggap sebagai penyakit terminal
relaksasi dengan penyampaian sugesti positif yang
seperti kanker serviks, akan menunjukkan
membuat efek relaksasi psikologis dan pada
kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya
akhirnya akan didapatkan efek anxiolitik (Vidas,
yang tampak pada perilakunya sehari-hari.
Smalc, Catipovic dan Kisik, 2011). Dukungan
Individu memerlukan segala usaha untuk mengatasi
keluarga terutama suami atau istri dapat
stress akibat kondisi yang dialaminya (Nasir dan
memberikan rasa senang, rasa aman, rasa nyaman
Munith, 2011). Pembimbing klinik pada penelitian
dan mendapat dukungan emosional yang
ini mendapatkan terapi operasi, kemoterapi dan
mempengaruhi kesehatan jiwa (Setiadi, 2008).
radiasi. Penderita kanker serviks yang menjalani
Relaksasi dapat memutuskan pikiran-pikiran negatif
rangkaian terapi seperti kemoterapi akan
yang menyertai kecemasan (Greenberg,2002).
mengalami efek samping seperti perdarahan,
Penelitian yang dilakukan oleh Kanji et al (2004),
depresi sumsum tulang yang memudahkan
menyatakan bahwa bahwa AT (Autogenic Training)
terjadinya infeksi, mual, muntah, anoreksia,
dapat menurunkan kecemasan pada pasien setelah
stomatitis dan kerontokan rambut (Herdata, 2008).
dilakukan coronary angioplasty. Penelitian lain yang
Perubahan fisik dan psikologis seperti ini
dilakukan oleh Farada (2011) menunjukkan bahwa
akan berdampak dalam kehidupan psikososial
relaksasi autogenik dapat menurunkan kecemasan
pasien, seperti perubahan dalam melakukan
pada pasien primigravida. Peningkatan skor
interaksi sosial, perubahan peran sebagai istri dan
kecemasan, terjadi pada 2 orang (13,33%),
ibu. Pada penderita kanker serviks yang menjalani
walaupun masih berada pada kategori kecemasan
pengobatan dengan radioterapi akan menunjukkan
yang sama. Hal ini didukung karena pembimbing
efek samping yang cukup besar seperti semakin
klinik menderita kanker serviks dalam satu tahun
memburuknya kemampuan fungsi seksual, lebih
terakhir dan sedang menjalani pengobatan
mudah mengalami gangguan somatisasi serta
kemoterapi, latar belakang pendidikan pembimbing
timbulnya gangguan psikososial. Kondisi psikologis
klinik adalah SD dan salah satu pembimbing klinik,
yang terjadi pada penderita kanker serviks yang
masih berumur 32 tahun. Stuart (2007)
menjalani pengobatan radioterapi yakni munculnya
menyatakan bahwa usia muda lebih mudah
perasaan takut, tidak berdaya, rendah diri, sedih
mengalami kecemasan. Iconomou et al. (2008) dan lebih mudah mengalami kecemasan maupun
menyatakan bahwa sebuah penelitian tentang depresi (Frumovitz dkk, 2005).
distress psikologis pada pasien kanker pada Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
pemberian kemoterapi didapatkan hasil yang Einstein dan kolega (2011) menunjukkan bahwa
signifikan dalam mempengaruhi tingkat kecemasan, 20% penderita melaporkan adanya komplikasi
depresi dan kualitas hidup. Secara umum, meliputi kekeringan vagina, adanya ketakutan
mayoritas pembimbing klinik mengalami terhadap hubungan dengan keluarga akibat
peningkatan respon adaptif yang positif, koping kekambuhan kanker. Perubahan-perubahan sistem
positif dan berdampak pada perilaku pengobatan dan fungsi tubuh yang terjadi pada penderita
menjadi positif. kanker serviks dapat menimbulkan gangguan
Pada respons sosial, diharapkan pasien konsep diri penderita, dimana penderita mengalami
mempunyai koping yang konstruktif sehingga ketergantungan pada orang lain untuk memenuhi
kecemasan dapat berkurang. Penurunan kebutuhan dasar dan penurunan fungsi anggota
kecemasan tersebut, akan berdampak terhadap tubuh. Dengan adanya perubahan fungsi seksual
interaksi sosial yang positif, baik dengan keluarga, pada penderita kanker serviks yang menjalani
teman, tetangga serta masyarakat. Individu yang pengobatan radioterapi menjadi salah satu sebab
berada pada posisi stress maka akan menggunakan terjadinya gangguan konsep diri penderita ke arah
berbagai cara untuk mengatasinya, dapat yang negatif. Keadaan ini selanjutnya dapat
menggunakan satu atau lebih sumber koping yang menyebabkan penurunan gambaran diri sehingga
tersedia. Seseorang yang menghadapi penyakit pada akhirnya mengakibatkan penurunan harga diri

JURNAL KEPERAWATAN 35
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

individu. Perubahan gambaran diri terjadi pada Relaksasi autogenik membuat pembimbing
hampir semua penderita kanker, jika perubahan ini klinik mendapatkan kondisi rileks, peningkatan gaya
tidak terintegrasi dengan konsep diri maka kualitas berpikir positif dengan sealalu menanamkan pada
hidup penderita akan menurun secara drastis diri sendiri bahwa pembimbing klinik harus
(Indrayani, 2007). menjalani hidup dengan ikhlas, semangat dan
Dari teori diatas, maka pada pembimbing selalu berusaha untuk memperoleh yang terbaik.
klinik yang mendapatkan terapi kemoterapi maupun Relaksasi autogenik juga dapat meningkatkan
radiasi, diperlukan relaksasi untuk menurunkan koping menjadi lebih adaptif yaitu dengan selalu
kecemasan dan efek samping pengobatan serta mengutarakan permasalahan yang berhubungan
tidak kalah penting adalah dukungan keluarga, dengan kesehatan sehingga mendapatkan
terutama dukungan suami dari pasien yang pengobatan yang tepat. Relaksasi juga dapat
mendapat terapi radiasi, karena adanya perubahan memberikan perasaan tenang dan tentram
fungsi seksual. Perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dapat menurunkan kecemasan, hal ini
selama maupun setelah relaksasi, mempengaruhi dibutuhkan dalam upaya memperoleh kesehatan
kerja saraf otonom. Respon emosi dan efek pembimbing klinik. Relaksasi autogenik adalah
menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini terapi yang diarahkan pada diri sendiri (self-
mengubah fisiologi dominan simpatis menjadi directed therapy) yang memfokuskan pada repetisi
dominan sistem parasimpatis (Oberg,2006). atau pengulangan frase status yang dirasakan
Autogenic Training (AT) telah digunakan tubuh seperti kehangatan dan rasa berat pada
secara luas untuk mengontrol ansietas dengan tubuh (American Holistic Nurses’ Association, 2005).
melatih sistem syaraf otonom untuk menjadi rileks Autogenik Training (AT) merupakan intervensi
dan berefek pada stabilitas emosi seseorang untuk meningkatkan body’s natural melalui
(Hurgobin, 2006). Relaksasi autogenik bertujuan mekanisme self-recuperative dan merupakan satu-
agar melalui konsentrasi pasif, seseorang mampu satunya tehnik yang melibatkan tehnik pikiran dan
untuk mengembalikan pengaruh rangsangan tubuh dengan dasar riset medis, sehingga dapat
aktivitas simpatis dari sistem saraf otonom untuk dijelaskan secara ilmiah bagaimana tehnik ini
mengaktifkan aktifitas parasimpatis (Hurgobin, bekerja (Sadigh, 2001). Pada sistem limbik dan
2006). Untuk merasakan hasil dari relaksasi korteks serebri diharapkan pasien akan mempunyai
autogenik, diperlukan waktu yang bervariasi antara respons adaptif yang positif. Dari respons
masing-masing individu, namun rata-rata seseorang penerimaan diri, setelah pasien mendapatkan
telah merasakan efek positifnya setelah 2-3 minggu pembelajaran maka persepsi pasien menjadi positif,
latihan rutin, dengan frekuensi yang paling baik koping positif dan akhirnya perilaku pasien dalam
untuk mendapatkan hasil yang optimal adalah 2 perawatan menjadi positif. Seseorang dengan
sampai 3 kali setiap hari, yang dapat dilakukan gambaran diri yang positif (harga diri yang tinggi
pada waktu luang klien seperti saat bangun tidur, dan keyakinan terhadap diri sendiri yang tinggi)
istirahat siang dan sebelum tidur (Sadigh, 2001). memiliki respon biologis terhadap stres dan tingkat
Dalam intervensi pada penelitian ini, distres yang rendah dan kesehatan mental yang
terbukti bahwa efek positif dari AT berhasil lebih baik (Taylor, 2012).
meningkatkan keefektifan dalam mengurangi Autogenic training (AT) merupakan
tingkat kecemasan dengan latihan rutin 2 kali standar intervensi keperawatan yang telah terdaftar
sehari selama 2 minggu. Didukung dengan analisa di Nursing Intervention Classification (NIC)
data pada penelitian ini yaitu pada pre-post dan telah digunakan secara luas dalam intervensi
menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan keperawatan untuk mengatasi kecemasan dalam
nilai p=0,011 (p<0,05), hal ini menunjukkan bahwa berbagai situasi dengan tingkat evidence based
terdapat pengaruh tingkat kecemasan pre dan post level I (Ackly, 2008). Pelaksanaan relaksasi
pemberian intervensi relaksasi autogenik pada autogenik membutuhkan kondisi psikologis yang
pasien kanker serviks. Pemikiran yang positif, tenang dan tingkat keyakinan spiritual yang baik.
perasaan pasrah, kondisi lingkungan yang tenang Muatan Auto-sugesti yang dilakukan dalam
serta posisi yang nyaman dalam melakukan relaksasi autogenik dapat dimodifikasi dengan
relaksasi autogenik dapat meningkatkan keyakinan ucapan do’a sesuai keyakinan pembimbing klinik
positif terhadap diri, meningkatkan integritas diri, sehingga akan mengopimalkan fase penerimaan
membentuk koping dan respon emosi yang positif, alam bawah sadar. Pada respons sosial, diharapkan
meningkatkan pertahanan diri dan perasaan tenang pasien mempunyai koping yang konstruktif
serta menurunkan aktifitas saraf simpatis sehingga sehingga kecemasan berkurang dan akan
menurunkan sekresi hormon berdampak terhadap interaksi sosial yang positif,
norepinefrin-katekolamin, meningkatkan baik dengan keluarga, teman, tetangga dan
vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan masyarakat.
vaskularisasi yang pada akhirnya dapat Teori adaptasi merupakan suatu
menurunkan emosional. pendekatan yang dinamis, perawat berperan dalam
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

memberikan asuhan keperawatan yaitu yang terjadi dapat diobservasi dengan segera
memfasilitasi potensi perempuan untuk beradaptasi (Tomey & Alligood, 2006). Stimulus fokal pada
terhadap faktor stimulus yang membuat suatu pengalaman aspek perempuan dengan kanker
perubahan baik itu positif maupun yang negatif. serviks adalah penyakit kanker serviks itu sendiri.
Tujuan keperawatan menurut teori adaptasi Roy Penyakit kanker serviks adalah penyakit yang
adalah meningkatkan respon adaptasi individu ditularkan melalui hubungan seksual (Meszaros,
terhadap keempat model adaptasi tanpa 2006). Penyakit ini terjadi karena adanya HPV yang
mengeluarkan energi terhadap rangsangan stimulus menginfeksi serviks perempuan. Penderita kanker
yang dialaminya sehingga individu tersebut memiliki ini akan mengalami perubahan-perubahan fisik
integritas, dengan asumsi dasar bahwa salah yang berdampak pada perubahan aspek lainnya
satunya adalah manusia dipandang sebagai sistem baik psikologis maupun sosial. Stimulusi selanjutnya
adaptif yang mempunyai kemampuan berespon adalah stimulus kontekstual yaitu semua stimulus
terhadap stimulus apapun, baik berasal dari yang dialami individu baik internal maupun
lingkungan eksternal untuk mencapai kondisi sehat eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat
yang optimal (Roy, 1991, dikutip dalam Tomey & diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan.
Alligood, 2006). Individu, keluarga, kelompok, Rangsangan ini muncul secara bersamaan dan
masyarakat sebagai penerima asuhan keperawatan dapat menyebabkan respon negatif pada stimulus
dipandang sebagai holistic adaptive system dalam fokal (Tomey & Alligood, 2006). Terjadinya stimulus
segala aspek sebagai satu kesatuan. Manusia ini dapat dipicu oleh adanya stimulus fokal.
merupakan satu sistem terdiri dari fisiologis, Stimulus kontekstual adalah pada aspek spiritual,
psikologis, sosial dan spiritual (Kozier, Erb & jenis kelamin, tahap perkembangan, konsep diri,
Snyder, 2004). peran fungsi, independensi, pola interaksi sosial,
Sistem adalah satu kesatuan yang mekanisme koping, stress emosional dan fisik,
dihubungkan karena fungsinya, sebagai kesatuan religius serta lingkungan fisik. Stimulasi residual
untuk beberapa tujuan dan adanya saling adalah stimulus yang berpengaruh terhadap
ketergantungan dari setiap bagiannya. Sistem kemampuan adaptasi individu. Stimulasi ini memiliki
terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan
balik. Model Adaptasi Roy mengidentifikasi bahwa situasi yang ada tetapi sulit untuk diobservasi.
input sebagai stimulus merupakan kesatuan Stimulus ini terdiri atas kepercayaan, sikap, sifat
informal, bahan-bahan atau energi dari lingkungan individu yang berkembang sesuai dengan
yang dapat menimbulkan respon yaitu stimulus pengalaman masa lalu. Hal ini memberikan proses
fokal, residual, kontekstual (Robinson & Kish, belajar untuk toleransi. Pada tahap ini pengalaman
2001). Mekanisme kontrol sebagai subsistem masa lalu adalah hal yang sangat berpengaruh. Roy
adaptasi dibagi atas regulator dan kognator. Output (1989, dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan
adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau bahwa beberapa faktor pengalaman masa lalu
secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari relevan untuk menjelaskan bagaimana keadaan
dalam maupun dari luar dibedakan sebagai respon saat ini.
adaptif dan maladaptif. Respon adaptif dapat Sikap, budaya dan karakter adalah faktor
meningkatkan integritas seseorang. Hal ini dapat residual yang sulit diukur dan memberikan efek
terlihat bila seseorang mampu melaksankan tujuan pada situasi sekarang. Adanya stimulus-stimulus
yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, tersebut dikontrol dengan suatu mekanisme koping.
perkembangan, reproduksi dan keungggulan. Mekanisme tersebut akan berproses terhadap
Sedangan respon maladapatif dapat terlihat bila stimulus tersebut yang akan menghasilkan output
seseorang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai yang dapat diamati, diukur atau secara subyektif
dengan tujuan (Roy, 1991, dalam Tomey & dapat dilaporkan baik yang berasal dari dalam
Alligood, 2006). maupun dari luar diri inidvidu tersebut. Output pada
Model adaptasi Roy merupakan model penerapan model adaptasi Roy terhadap aspek
yang sesuai diterapkan dalam asuhan keperawatan psikologis, sosial, dapat dilihat dari adanya
pada perempuan dengan kanker serviks. Perubahan penurunan kecemasan. Roy menjelaskan bahwa
yang terjadi pada kehidupan penderitaanya sebagai keperawatan sebagai proses interpersonal yang
akibat dari proses penyakit perlu diadaptasi oleh diawali adanya kondisi maladaptasi akibat
perempuan maupun keluarganya. Stimulus fokal, perubahan lingkungan baik internal maupun
kontekstual maupun residual pada perempuan eksternal. Manusia sebagai sistem, berinteraksi dan
dengan kanker serviks merupakan stressor yang mengatasi lingkungan melalui mekanisme adaptasi
menuntut perempuan dan keluarganya bio-psiko-sosial-spiritual (holistik). Didalam
mempertahankan kehidupan melalui mekanisme menghadapi perubahan atau stimulus, manusia
adaptasi. Stimulus fokal merupakan stimulus yang harus menjaga integritas dirinya dan selalu
langsung berhadapan dengan individu dan beradaptasi secara menyeluruh (holistic adaptive
mengalami efek segera dan perubahan perilaku system). Tindakan keperawatan diarahkan untuk
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

mengurangi atau mengatasi dan meningkatkan pembimbing klinik untuk berlatih relaksasi
kemampuan adaptasi manusia. Peran perawat autogenik, hal ini dikarenakan pembimbing klinik
adalah memfasilitasi potensi klien melakukan sudah beradaptasi dan merasa nyaman dengan
adaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan rumahnya sendiri, relaksasi autogenik mudah
dasarnya untuk mempertahankan homeostatis atau dilakukan, tidak memerlukan baju dan tempat
integritasnya (Roy and Andrews, 1991). Salah satu khusus serta pembimbing klinik sudah bisa
tehnik yang digunakan dalam beradaptasi merasakan manfaatnya baik secara fisik maupun
menghadapi perubahan adalah dengan relaksasi. psikologis. Hasil penelitian didukung dengan analisa
Autogenic training (AT) merupakan standar data pre-post test menggunakan uji Wilcoxon Sign
intervensi keperawatan yang telah terdaftar di Rank Test dengan nilai p=0,002 (p<0,05), hal ini
Nursing Intervention Classification (NIC) dan telah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tingkat
digunakan secara luas dalam intervensi kecemasan antara sebelum dan sesudah pemberian
keperawatan untuk mengatasi kecemasan dalam intervensi relaksasi autogenik pada pasien kanker
berbagai situasi dengan tingkat evidence based serviks.
level I (Ackly, 2008). Analisis berdasarkan data
demografi pembimbing klinik meliputi bahwa KESIMPULAN DAN SARAN
mayoritas usia waktu menikah adalah antara 15-20
tahun, mayoritas mempunyai anak 3-4 orang, Relaksasi autogenik yang dilakukan 2 kali
hampir separuh pembimbing klinik mempunyai per hari selama 2 minggu dapat menurunkan
pendapatan antara 500.000-1.000.000, hal ini kecemasan pasien kanker serviks. Respon emosi
merupakan faktor resiko kanker serviks. dan efek menenangkan yang ditimbulkan dari
Suwiyoga (2007) menyatakan bahwa relaksasi ini mampu mengubah fisiologi dominan
berbagai penelitian menunjukkan terdapat simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis.
hubungan yang bermakna antara lesi pra kanker Saran dari peneliti bagi pelayanan
dan kanker serviks dengan aktivitas seksual pada kesehatan, yaitu bahwa pemberian relaksasi
usia dini, khususnya sebelum umur 17 tahun. Hal autogenik dapat digunakan sebagai intervensi
ini diduga ada hubungan dengan belum matangnya keperawatan mandiri yang diberikan oleh perawat
daerah transformasi pada usia tersebut bila sering dalam menurunkan kecemasan pasien kanker
terpapar. Paritas dapat meningkatkan insiden serviks dalam mencapai kualitas hidup yang lebih
kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi baik. Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya
dari aktivitas seksual dan saat mulai kontak intervensi diberikan dalam waktu yang lebih lama
pertama kali daripada akibat trauma persalinan. dan menggunakan sampel yang lebih banyak
(Suwiyoga, 2007). Tingkat sosial ekonomi dengan kelompok kontrol sebagai pembanding
seseorang mempengaruhi terjadinya kanker serviks. dalam pemberian intervensi sehingga diharapkan
Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian hasil yang lebih baik. Pada penelitian selanjutnya
yang menyebutkan bahwa infeksi HPV lebih sering juga disarankan pengukuran kecemasan, sebaiknya
terjadi pada wanita dengan tingkat pendidikan dan selain menggunakan kuesioner, juga menggunakan
pendapatan yang rendah. Kaitan antara status uji laboratorium melalui pemeriksaan β Endorphin
sosial ekonomi yang rendah dengan status gizi agar didapatkan hasil pengukuran yang
adalah karena status gizi berhubungan dengan komprehensif.
daya tahan tubuh baik terhadap infeksi maupun
kemampuan untuk melawan keganasan (Suwiyoga, DAFTAR PUSTAKA
2007).
Pada penelitian ini terdapat beberapa Ackly, B.J., 2008. Evidence_Based Nursing Care
keterbatasan, diantaranya adalah jumlah sampel Guidelines : Medical-Surgical Interventions.
yang sedikit, sehingga tidak ada kelompok kontrol, Amsterdam:Mosby Elsevier
kondisi rumah pembimbing klinik yang beragam
dan ada beberapa yang kurang ideal untuk Alwisol., 2004. Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi.
digunakan sebagai tempat relaksasi, sehingga Malang: Penerbit Universitas
peneliti perlu memodifikasi ruangan sesuai dengan Muhammadiyah Malang
kondisi rumah pembimbing klinik, misalnya atap
rumah dari asbes, hal ini akan terasa panas dan American Holistic Nurses’ Association, 2005. Holistic
kurang nyaman untuk digunakan sebagai tempat Nursing: A Handbook for Practice (4th
relaksasi, sehingga harus menggunakan kipas angin edition ed.). Sudbury: Jones and Bartlett
terlebih dahulu sampai suhu ruangan dirasakan Publishers.
sejuk, setelah itu baru kegiatan relaksasi dimulai.
Adanya keterbatasan pada kondisi rumah
pembimbing klinik pada saat melakukan relaksasi
autogenik, namun hal ini tidak mengurangi antusias
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

Carr, A., 2004. Positive Psychology: The Science of psychological well-being. KwaZuluNatal:
Happiness and Human Strengths. Hove Faculty of Arts University of Zululand.
and New York: Brunner-Routledge Taylor
& Francis Group. Iconomou, G., Iconomou, A.V., Argyriou, A.A.,
Nikolopoulos, A., Ifanti, A.A., & Kalofonos,
Depkes R.I., 2011. Kanker Leher Rahim Lebih Cepat H.P, 2008. Emotional distress in cancer
di temukan, Lebih Besar Kemungkinan patients at the beginning of chemotherapy
Sembuh. Leaflet. Pusat Promosi and its relation to quality of life. Journal of
Kesehatan. Jakarta Selatan. Leaflet. Clinical Oncology, 13(2), 217-22

Edianto, D., 2006. Kanker Serviks. Buku Acuan Indrayani, Desy, 2007. Pengalaman Hidup Klien
Nasional Onkologi Ginekologi. Yayasan Kanker Serviks di Bandung. Diakses
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Edisi tanggal 7 Juli 2014. Website
Pertama. Cetakan Pertama. Jakarta www.jurnalkanker serviks.com.

Einstein, M.H., Joanne, K.R., Richard, J.C., Kanji et al., 2004. Autogenic training reduces
Jacquelyn, M.S., James, P.H, Joseph, P.C, anxiety after coronary angioplasty:
2011. Quality of life in cervical cancer A randomized clinical trial. Journal.
survivors: Patient and provider American Journal of Clinical Hypnosis; Jul
perspectives on common complications of 2004; 47, 1; ProQuest Psychology Journal
cervical cancer and treatment.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, 2004.
Farada, R.A, 2011. Pengaruh teknik relaksasi Fundamentals of Nursing Concepts,
autogenik terhadap tingkat kecemasan Process and Practice 7th Ed., New Jersey:
pada ibu primigravida trimester III di Pearson Education Line
wilayah kerja puskesmas Kotakulon
Kabupaten Bondowoso. Skripsi. PSIK : Machin, D., Campbell, M., Tan, S. B., & Tan, S. H.,
Universitas Jember. 2009. Sample Size Tables for Clinical
Studies (3th ed.). West Sussex: Wiley-
Fitriana N.A dan Ambarini, T.K (2012). Kualitas Blackwell. Retrieved. Diakses tanggal 21
Hidup Pada Penderita Kanker Serviks Maret 2014. Website
Yang Menjalani Pengobatan http://www.doc88.com/p-
Radioterapi. Jurnal Psikologi Klinis 910614898608.html
dan Kesehatan Mental. Vol. 1 No.
02, Juni 2012. Fakultas Psikologi Unair Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S.,
Surabaya. Budiman, I., dan Purwanto S.H., 2008.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam:
Frumovitz, M., Charlotte C.S., Leslie R.S., Mark F.M, Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2008.
Anuja J.J., Taylor, W., Patricia, E., Therese Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
B.B., Charles F.L., David M.G., & Diane ed 3. Jakarta: C.V. Sagung Seto; 302-330.
C.B, 2005. Quality of Life and Sexual
Functioning in Cervical Cancer Survivors. Meszaros, Gary, 2006. Crash Course: Endocrine and
Journal of Clinical Oncology Vol. 23 Reproductive Systems. Philadelphia:
Number 30, 23:7428-7436. Elseiver Mosby

Gale et al., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Nasir dan Munith., 2011. Dasar-dasar Keperawatan
Onkologi. Jakarta : EGC Jiwa: Pengantar Teori Abdul Nasir dan
Abdul Munith. Jakarta: Salemba Medika
Greenberg, J.S., 2002. Comprehensive stress
management( 7th ed). New York:The Neel et al., 2012. Determinant of Death Anxiety in
McGraw-Hill Companies. Patients With Advanced Cancer. Diakses
tanggal 5 April 2014. Jam 5.25 WIB.
Herdata, 2008. Kemoterapi. Diakses tanggal 2 Juli Website
2014. Website http://spcare.bmj.com/content/early/201
wwww.ebookfkunsyiah.wordpress.com. 3/08/22/bmjspcare-20 12- 000420.abstract

Hurgobin, S., 2006. Autogenic Training (AT) for


reducing anxiety and promoting
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091

Nurhidayati, dan Mamnu’ah., 2005. Hubungan Vidas, M., Smalc, V.F., Catipovic, M., dan Kisik, M,
Tingkat Pengetahuan tentang kanker 2011. The Application of Autogenic
Serviks Dengan Tingkat Kecemasan pada Training in Councseling Center for Mother
Klien Kanker Serviks .Jurnal Kebidanandan and Child in Order to Promote
Keperawatan 1: 95-104. Breastfeeding. Collegium Antropologium,
723-731.
Oberg, E., 2006. Mind-body Techniques to Reduce
Hypertension’s Chronic Effects. Integrated Yani, D.I., 2007. Pengalaman Hidup Klien Kanker
Medicine Journal. Vol.8:5. Serviks di Bandung. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Robinson & Kish, 2001. Edvance Practice Nursing.
St. Louis : Mosby Inc. Zeller, Jhon L., 2007. Carcinoma of The Cervix.
Journal of American Medical Association
Sadigh, M. R., 2001. Autogenic Training: A Mind (298):19. Diakses tanggal 5 Januari 2014.
Body Approach to the Ttreatment of Jam 15.36. Website
Fibromyalgia and Chronic Pain Syndrome. http://jama.amaassn.org
Haworth Medical Press.

Setiadi, 2008. Keperawatan Keluarga. EGC. Jakarta

Stuart, Gail W., 2007. Buku Saku Keperawatan


Jiwa. Edisi 5. Alih Bahasa : Ramona, dkk.
Jakarta : EGC hal 175-188

Suwiyoga, K. (2007). Kanker Serviks : Penyakit


Keganasan Fatal Yang Dapat Dicegah.
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Volume 31 No.1

Carol Taylor, Carol Lillis. (1997). Fundamentals of


Nursing : the art and science of nursing
care. Vol I 3ed , Philadelphia, Lippincott.

Taylor, C.R, Lilis, C, LeMone, P, Lynn, P & Karch, A,


M, 2012. Fundamental of Nursing: Art and
Science of Nursing Care. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Tim Kanker Serviks., 2010. Panduan Kanker


Serviks. Artikel. Diakses tanggal 10 Januari
2014. Jam 09.15. Website
http://www.kanker-serviks.net/artikel.

Tomey, A.M, & Alligood M. (2006). Nursing theorist


and their work: Elsevier Health Science.

Triharini, M., 2009. Hubungan paket edukasi


dengan keluhan fisik dan psikologis pada
pasien kanker serviks yang menjalani
kemoterapi di RSU Dr.Soetomo Surabaya.
Tesis. Diakses tanggal 5 Januari 2014 jam
13.15. Website www.digilib.ui.ac.id

Vaz, neto, Conde, dkk., 2007. Quality of life of


women with gynecology cancer: associated
factors. Arch Gynecol Obstet. No.
276.p.583-589.
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KESEMBUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS
DELANGGU KABUPATEN KLATEN

Aris Widiyanto
Akper Mamba'ul 'Ulum Surakarta

Abstract: Compliance Take Medicine The, Recovering, Positive Tuberkulosis TB


lung BTA. Object This research is know the relationship of among compliance take
medicine recoveredly is patient of positive TB lung BTA in Puskesmas Delanggu of Sub-
Province Klaten. Method this is analytic observational with the approach of research of
cross sectional. Sample in this research is patient of positive TB lung BTA which is
registered in register TB Puskesmas Delanggu in the year 2012 which have followed
the program DOTS and have finished its medication in the year 2013. Technique of
Intake sample in this research is random sampling by sample counted 38 respondent.
Technique analysis in this research is Chi Square. Patient TB in Puskesmas Delanggu
Klaten most obedient take medicine counted 25 responder (65,8%) and recovering of
positive patient TB BTA most recovering counted 32 responder (84,2%). There are
relationship between compliance take medicine recoveredly is positive patient TB BTA
in Puskesmas Delanggu Klaten. This Matter proven by value significant (P) 0.006 by =
5% hence P <
0.05. Compliance take medicine to influence the storey recovering of positive patient
TB BTA in Puskesmas Delanggu Klaten.

Keywords: Compliance Take Medicine The, Recovering, Positive Tuberkulosis TB


lung BTA

Abstrak: Kepatuhan Minum Obat, Kesembuhan, Tuberkulosis TB Paru Positif


BTA. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat
dengan kesembuhan pasien TB paru BTA positif di Puskesmas Delanggu Kabupaten
Klaten. Metode penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan
penelitian cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA
positif yang tercatat dalam register TB puskesmas Delanggu pada tahun 2012 yang telah
mengikuti program DOTS dan telah menyelesaikan pengobatannya pada tahun 2013.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah ramdom sampling dengan
sampel sebanyak 38 responden. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah Chi Square.
Hasil penelitian: Pasien TB di Puskesmas Delanggu Klaten sebagian besar patuh minum
obat sebanyak 25 responden (65,8%) dan kesembuhan pasien TB BTA positif sebagian
besar sembuh sebanyak 32 responden (84,2%). Ada hubungan antara kepatuhan minum
obat dengan kesembuhan pasien TB BTA positif di Puskesmas Delanggu Klaten. Hal
ini terbukti dengan nilai signifikansi (P) 0.006 dengan (α) = 5% maka P < 0.05.
Kepatuhan minum obat mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien TB BTA positif di
Puskesmas Delanggu Klaten.

Kata Kunci : Kepatuhan Minum Obat, Kesembuhan, Tuberkulosis TB Paru Positif


BTA

7
8 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 6, No 1,Mei 2016, hlm 01-117

PENDAHULUAN
Tuberkulosis atau TB adalah besar. Sehingga dapat terjadi kasus TB
penyakit menular yang disebabkan oleh kebal obat atau TB MDR (multy drug
Mycobacterium tuberculose yang resistant) dan apabila oarang lain tertular
merupakan bakteri tahan asam (BTA). TB maka akan mengalami resistensi yang
masih merupakan masalah kesehatan di sama (Depkes RI, 2007). Dengan kondisi
dunia. Menurut laporan World Health pasien TB di Kabupaten Klaten pada
Organization (WHO) tahun 2012, tahun 2013 yang banyak diderita oleh usia
sebanyak 8,6 juta orang telah terinfeksi produktif (usia 25-44 tahun) yaitu sebesar
TB dan 1,3 juta orang meninggal karena 36,94% atau sebanyak 232 kasus dan
TB. Secara nasional, target untuk angka kesembuhan yang menurun maka
penemuan kasus baru TB paru BTA masih merupakan masalah yang perlu
positif adalah 70%. Tetapi di Jawa diteliti.
Tengah, target ini belum terpenuhi. Dari Kesembuhan pasien TB
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
penemuan kasus baru BTA positif (case diantaranya adalah umur, tingkat
detection rate/ CDR) berkisar pada angka pendidikan, status gizi, faktor lingkungan
59%. Sedangkan untuk angka dan kepatuhan pasien dalam minum obat.
kesembuhan (cure rate) di Jawa Tengah Umur berhubungan dengan metabolisme
pada tahun 2011 mengalami penurunan tubuh termasuk dalam proses penyerapan
bila dibandingkan tahun 2010 yaitu dari obat. Semakin tua, maka proses
85,15% menjadi 82,50%. Semakin metabolisme akan semakin menurun.
menurun pada tahun 2012 yaitu 81,46%. Sedangkan pendidikan merupaka salah
Angka tersebut masih dibawah target satu dari faktor eksternal yang
nasional yaitu sebesar 85%. Di Kabupaten mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada
Klaten juga terjadi penurunan angka orang dengan tingkat pendidikan tinggi
kesembuhan. Pada tahun 2013 pada biasanya bertindak lebih preventif pada
tribulan I, angka kesembuhan mencapai suatu penyakit. Untuk status gizi, pada
93% tetapi menurun pada tribulan II yaitu orang dengan berat badan kurang akan
86% dan semakin menurun pada tribulan mempunyai risiko terhadap penyakit
III menjadi 82%. infeksi, sementara orang yang mempunyai
Penderita TB tentu merupakan berat badan di atas ukuran normal akan
beban baik secara ekonomi maupun mempunyai risiko penyakit degeneratif
psikologis bagi keluarganya. Diperkirakan (Supriasa dkk, 2002). Kondisi lingkungan
seorang pasien TB dewasaakan yang meningkatkan risiko penyakit TB
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 adalah kondisi lingkungan yang lembab
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat karena kuman TB berkembangbiak
pada kehilangan pendapatan tahunan dengan baik pada lingkungan gelap dan
rumah tangganya sekitar 20-30% (Depkes lembab. Faktor pengaruh yang terbesar
RI, 2007). Selain itu, pada pasien TB yang dalam kesembuhan pasien TB adalah
tidak dapat menyelesaikan pengobatannya kepatuhan minum obat. Kepatuhan ini
secara tuntas maka resiko terjadi resistensi diartikan sebagai perilaku pasien untuk
kuman TB terhadap obat TB semakin minum obat sesuai dengan jenis, dosis,
cara minum, waktu minum dan jumlah
Aris Widiyanto, Hubungan Kepatuhan Minum Obat 9

hari minum obat yang sesuai dengan HASIL PENELITIAN


pedoman nasional penanggulangan TB.
Hal ini belum banyak diteliti sehingga Tabel 1
masih merupakan masalah yang harus Distribusi Frekuensi Responden
diteliti. Berdasarkan Kepatuhan Minum Obat
Pasien TB yang minum obat
secara teratur dapat menurunkan risiko Pengetahuan Frekuensi (%)
3,76 kali kegagalan pengobatan TB Baik 13 34,2
Kurang 25 65,8
dibandingkan dengan pasien TB yang
Jumlah 38 100
minum obat tidak teratur (Nugroho,
Berdasarkan tabel di atas diketahui
2009). Apabila pasien TB minum obat
bahwa responden yang patuh minum obat
secara teratur dalam jangka waktu 2
tergolong baik sebesar 13 responden
minggu, kuman TB sudah terpecah dan
(34,2%) dan kepatuhan minum obat yang
tidak potensial untuk menular. Maka
tergolong kurang sebanyak 25 responden
manfaat dari penelitian ini, jika kepatuhan
(65,8%). Hasil data penelitian ini
minum obat tinggi maka kesembuhan
menunjukkan pasien TB paru BTA positif
pasien TB paru BTA positif juga
yang tercatat dalam register TB
meningkat, sehingga risiko untuk terjadi
puskesmas Delanggu pada tahun 2012
kasus TB resisten obat juga dapat dicegah.
yang telah mengikuti program DOTS dan
Produktivitas pasien TB juga dapat
telah menyelesaikan pengobatannya.
meningkat karena pasien TB yang telah
minum obat secara teratur mengurangi
Tabel 2
tingkat keparahan penyakit karena TB dan
Distribusi Frekuensi Responden
apabila memerlukan rawat inap maka
Berdasarkan Kesembuhan Pasien TB
dapat diminimalkan jumlah hari rawat
Paru BTA Positif
inapnya.
Kesembuhan Frekuensi (%)
METODE PENELITIAN Tidak sembuh 6 15,8
Jenis penelitian yang digunakan Sembuh 32 84,2
adalah observasional analitik dengan Jumlah 38 100
pendekatan cross sectional. Lokasi Berdasarkan tabel di atas diketahui
penelitian di wilayah puskesmas Delanggu bahwa sebagian besar ibu usia menopause
Kabupaten Klaten. Populasi dalam jarang merasa cemas sebanyak 29
penelitian ini adalah pasien TB paru BTA responden (74,4%), ibu usia menopause
positif yang tercatat dalam register TB yang tidak cemas sebesar 3 responden
puskesmas Delanggu. Pengambilan (7,7%), kadang-kadang cemas 3
sampel menggunakan teknik purposive responden (7,7%), dan ibu yang sering
random sampling. Sampel dalam merasa cemas 4 responden (10,3%). Hasil
penelitian ini sebanyak 38 responden. data penelitian ini menunjukkan pasien
Teknik analisis dalam penelitian ini TB paru BTA positif yang tercatat dalam
adalah korelasi product moment dengan register TB puskesmas Delanggu pada
menggunakan bantuan program SPSS tahun 2012 yang telah mengikuti program
versi 20,00 for windows. DOTS dan telah menyelesaikan
pengobatannya.
10 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 6, No 1,Mei 2016, hlm 01-117

Tabel 3 obat sesuai dengan jenis, dosis, cara


Hubungan Kepatuhan Minum Obat minum, waktu minum dan jumlah hari
dengan Kesembuhan Pasien minum obat yang sesuai dianjurkan oleh
Tuberkulosis BTA Positif dokter. Kepatuhan pengobatan TB
Kesembuhan
Tidak merupakan hal yang sangat penting,
Variabel Sembuh Jml χ2 P value
sembuh karena bila pengobatan tidak dilakukan
Tidak
5 8 13 7.639 0.006 secara teratur dan tidak sesuai dengan
Kepatuhan patuh waktu yang telah ditentukan maka akan
Patuh 1 24 25
Jumlah 6 32 38 dapat timbul kekebalan kuman TB
Berdasarkan hasil analisis uji Chi terhadap Obat Anti TB (OAT) secara
Square dengan dibantu menggunakan meluas atau disebut Multi Drugs
program SPSS 21.00 diperoleh hasil Resistance (MDR). Umumnya penderita
χ2hitung sebesar 7,639, sehingga minum obat selama 6 bulan untuk
dibandingkan χ2hitung > χ2tabel atau memastikan kesembuhannya, namun pada
nilai signifikansi (P) 0.006 dengan alpha beberapa keadaan dapat lebih lama
= 5% maka P < 0.05, maka Ho ditolak (DepKes RI, 2006).
artinya ada hubungan kepatuhan minum Hasil penelitian menunjukkan
obat dengan kesembuhan pasien sebanyak 13 responden (34,2%) tidak
tuberkulosis BTA positif di Puskesmas patuh minum obat. Hal ini dapat
Delanggu Kabupaten Klaten. Hal ini dimungkinkan penderita yang mulai bosan
menunjukkan apabila pasien TB minum dengan pengobatan yang berjangka
obat secara teratur maka tingkat panjang dan kurangnya pengetahuan efek
kesembuhan pasien TB paru juga dari pengobatan yang tidak patuh yang
meningkat. akan sulit untuk diobati. Selain itu adanya
Berdasarkan tabulasi silang di riwayat penyakit lain yang mengharuskan
atas menunjukkan bahwa pasien TB paru pasien meminum obat menyebabkan
yang tidak patuh minum obat sebanyak 13 pasien harus meminum berbagai jenis obat
responden, 5 responden di antaranya tidak dalam waktu yang bersamaan atau
sembuh dan 8 responden sembuh. berbeda-beda tiap harinya. Banyaknya
Responden yangg patuh minum obat obat yang harus diminum serta aturan
sebanyak 25 responden dan hanya 1 pakai obat yang berbeda-beda dapat
responden di antaranya tidak sembuh. membuat pasien merasa bingung dan
jenuh sehingga berpotensi terhadap
PEMBAHASAN ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Hasil penelitian tentang kepatuhan (Hayati, 2011).
minum obat pasien tuberkulosis di Hasil penelitian tentang
Puskesmas Delanggu Klaten sebagian kesembuhan pasien TB paru BTA positif
besar termasuk kategori patuh yaitu 25 di Puskesmas Delanggu Klaten sebagian
responden (65,8%). Kepatuhan penderita besar sembuh yaitu sebanyak 32
dipengaruhi oleh kemauan dan motivasi responden (84,2%). Hal ini menunjukkan
diri untuk sembuh. Hal ini dapat bahwa responden sudah menyadari betapa
dimungkinkan responden sudah mengerti bahayanya penyakit tuberkulosis kalau
dan memahami tentang penyakit tidak diobati, responden sudah
tuberkulosis sehingga responden minum mengetahui dan memahami penularan
Aris Widiyanto, Hubungan Kepatuhan Minum Obat 11

tuberkulosis jika segera tidak ditangani. Kegagalan dalam pengobatan TB paru


Maka dari itu responden berantusias untuk disebabkan oleh berbagai faktor, salah
melakukan pengobatan supaya sembuh satunya adalah tingkat pendapatan (Safri,
dari tuberkulosis. Kesembuhan pasien TB 2013).
dipengaruhi oleh beberapa faktor, Berdasarkan uji Chi Square bahwa
diantaranya adalah umur, tingkat nilai signifikansi (P) 0.006 dengan (α) =
pendidikan, status gizi, faktor lingkungan 5% maka P < 0.05, maka Ho ditolak
dan kepatuhan pasien dalam minum obat. artinya ada hubungan kepatuhan minum
Umur berhubungan dengan metabolisme obat dengan kesembbuhan pasien
tubuh termasuk dalam proses penyerapan tuberkulosis paru BTA positif di
obat. Semakin tua, maka proses Puskesmas Delanggu Kabupaten Klaten.
metabolisme akan semakin menurun. Kesembuhan pasien juga tergantung pada
Sedangkan pendidikan merupaka salah kepatuhan pasien minum obat. Kepatuhan
satu dari faktor eksternal yang minum obat pada pengobatan tuberkulosis
mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada sangat penting karena dengan minum obat
orang dengan tingkat pendidikan tinggi secara teratur dalam jangka waktu 2
biasanya bertindak lebih preventif pada minggu, kuman TB sudah terpecah dan
suatu penyakit. Hal ini bisa dilihat tidak potensial untuk menular. Sehingga
sebagian besar responden berpendidikan dapat disimpulkan bahwa jika kepatuhan
SMA. Pendidikan merupakan salah satu minum obat tinggi maka kesembuhan
dari faktor eksternal yang mempengaruhi pasien TB paru BTA positif juga
kesehatan seseorang. Pada orang dengan meningkat, sehingga risiko untuk terjadi
tingkat pendidikan tinggi biasanya kasus TB resisten obat juga dapat dicegah.
bertindak lebih preventif pada suatu Hal ini didukung oleh penelitian
penyakit. Semakin tinggi tingkat Puri (2010) pasien TB paru kasus baru
pendidikan pasien, maka semakin baik dengan kinerja PMO baik lebih besar
penerimaan nformasi tentang pengobatan kemungkinan untuk dapat sembuh. Pada
yang diterimanya sehingga pasien akan kelompok yang menerapkan strategi
patuh dalam pengobatan penyakitnya DOTS dengan pengawasan oleh PMO,
(Munro dalam Pasek, 2013). angka putus berobat cenderung lebih
Hasil penelitian menunjukkan 6 rendah sehingga penderita TB paru
responden (15,6%) tidak sembuh. Hal ini memperoleh kesembuhan total.
dapat disebabkan kurang patuhnya Hasil penelitian ini sesuai dengan
responden dalam meminum obat penelitian Joko Prasetyo (2009)
tuberkulosis, selain itu tingkat penghasilan menunjukkan secara statistik dapat
seseorang sangat mempengaruhi pasien dikatakan ada hubungan yang bermakna
untuk melakukan pengobatan antara motivasi pasien TB Paru dengan
tuberkulosis. Sebagian besar pekerjaan kepatuhan dalam program pengobatan,
responden adalah buruh, petani dan antara yang patuh dan tidak patuh dengan
swasta. Dengan terbatasnya keadaan signifikansi (p value) = 0,0001, alpha =
ekonomi mengakibatkan pasien tidak 0,05. Motivasi merupakan kunci menuju
melanjutkan pengobatan rutin ke balai keberhasilan semakin tinggi motivasi
pengobatan sehingga hal ini mendorong maka akan semakin patuh, dalam hal ini
tingkat kesembuhan penyakit pasien. adalah kepatuhan meminum obat dalam
12 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 6, No 1,Mei 2016, hlm 01-117

mengikuti program pengobatan sistem Fakultas Ilmu Matematika dan IPA


DOTS. Departemen Farmasi.
Nugroho, B. 2009. Faktor-Faktor Risiko
KESIMPULAN DAN SARAN Yang Mempengaruhi Kegagalan
Pasien TB di Puskesmas Delanggu Pengobatan Pada Penderita
Klaten sebagian besar patuh minum obat Tuberkulosis Paru Dengan
sebanyak 25 responden (65,8%) dan Strategi DOTS (Studi Kasus di BP-
kesembuhan pasien TB BTA positif 4 Pati). Tesis. Diunduh tanggal 2
sebagian besar sembuh sebanyak 32 Februari 2011 dari
responden (84,2%). http://eprints.undip.ac.id/4441/
Ada hubungan antara kepatuhan Pasek, Made Sudnyani. 2013. Hubungan
minum obat dengan kesembuhan pasien Persepsi dan Tingkat Pengetahuan
TB BTA positif di Puskesmas Delanggu Penderita Tuberkulosis Dengan
Klaten. Hal ini terbukti dengan nilai Kepatuhan Pengobatan di Wilayah
signifikansi (P) 0.006 dengan (α) = 5% Kerja Puskesmas Buleleng 1.
maka P < 0.05. Jurnal Magister Kedokteran
Diharapkan hasil penelitian dapat Keluarga Vol 1. No. 1.
memberikan informasi tentang Puri, Nomi Andika.2010. Hubungan
karakteristik dan kepatuhan pasien Kinerja Pengawas Minum Obat
minum obat yang berhubungan dengan (PMO) Dengan Kesembuhan
keberhasilan pengobatan pasien TB di Pasien TB Paru Kasus Baru
Kabupaten Klaten sehingga pengetahuan Strategi DOTS. Surakarta:
masyarakat tentang penyakit dan Fakultas Kedokteran UNS.
pengobatan TB bagi penderita TB akan Safri, Firman Maulana. 2013. Analisis
meningkat. Semoga hasil penelitian ini Faktor Yang Berhubungan Dengan
dapat memberikan masukan dan dasar Kepatuhan Minum Obat Pasien Tb
untuk pengambilan keputusan dalam Paru Berdasarkan Health Belief
rangka meningkatkan upaya-upaya Model di Wilayah Kerja
penanggulangan TB. Semoga hasil Puskesmas Umbulsari, Kabupaten
penelitian ini dapat dijadikan tambahan Jember. Surabaya: Fakultas
referensi untuk penelitian selanjutnya Keperawatan Universitas
dengan menambah faktor-fakttor yang Airlangga
mempengaruhi kesembuhan pasien TB
BTA positif

DAFTAR RUJUKAN
DepKes RI. 2006. Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes RI.
Hayati, Armelia, 2011. Evaluasi
Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru Tahun 2010 –
2011 di Puskesmas Kecamatan
Pancoran Mas Depok. Jakarta:

Anda mungkin juga menyukai