KELOMPOK 3
Disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
PEMBAGIAN TUGAS MAHASISWA
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
kelompok dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Medikasi oral, Parenteral,
Topical dan Supositori”. Maka dari itu kelompok ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Ibu Dian Wahyuni, S. Kep., Ns., M. Kes selaku koordinator Stase Keperawatan Dasar
Professional dan selaku Fasilitator kami.
Kelompok menyadari makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan oleh karena
itu diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
keperawatan. Amin. Semoga kebaikan dan bantuan yang telah diberikan, mendapatkan
balasan dan keberkahan oleh Dzat Yang Maha Kaya, Allah SWT.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang................................................................1
B. Tujuan.............................................................................4
C. Manfaat...........................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi pemberian obat per oral....................................5
1. Keuntungan cara pemberian melalui oral.......................5
2. Kerugian cara pemberian melalui oral...........................5
3. Jenis – jenis obat per oral...............................................6
B. Pemberian obat parenteral..............................................7
C. Obat topical...................................................................15
D. Obat supositoria.............................................................17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.....................................................................19
B. Analisis data..................................................................20
C. Intervensi.......................................................................21
D. Implementasi.................................................................26
E. Etika dan Legal Keperawatan….....................................60
BABA IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan....................................................................68
B. Saran..............................................................................68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
adalah kesalahan pemberian obat. Seringnya terjadi kejadian tidak diinginkan (KTD)
ketelitian dari ahli farmasis maupun perawat dalam mengecek kebenaran obat
kesalahan pemberian obat tidak jarang menjadi tuntutan hukum (Depkes, 2008).
memastikan bahwa pemberian obat harus aman bagi pasien. Serta membantu
mengawasi efek pemberian obat tersebut karena ketepatan pemberian obat merupakan
salah satu bentuk kinerja seorang perawat. Walaupun dalam hal ini merupakan suatu
bentuk tugas limpahan dari apoteker atau farmasi, namun kegiatan ini lebih sering
dilakukan oleh perawat dan bahkan merupakan tugas wajib perawat dibandingkan
dengan peran dan fungsi perawat yang lain. Dalam hal ini juga peran perawat dalam
pemberian obat merupakan peran yang vital didalam pencapaian derajat kesembuhan
dan kesehatan bagi pasien. Untuk dapat menjalankan tugasnya, perawat harus dibekali
dengan ilmu keperawatan (UU No.23 th. 1992 pasal 32 ayat (3).
1
Tugas seorang perawat adalah melakukan pemberian obat kepada pasien
sebagai bentuk pertanggungjawaban secara legal atas tindakan yang telah dilakukan.
Penerapan prinsip enam benar oleh perawat akan mempengaruhi keberhasilan dalam
beberapa pasien rawat inap yang berbeda, yang menjadi tanggung jawabnya.perawat
melakukan prinsip benar dalam memberikan obat pada pasien. Prinsip enam benar
pemberian obat menurut Hidayat dan Uliyah (2014) yaitu benar pasien dimana
sebelum memberikan obat cek kembali identitas pasien. Benar obat, sebelum
memberikan obat kepada pasien, label pada botol atau kemasan harus di periksa
minimal 3 kali. Benar dosis dalam memberikan obat perawat harus memeriksa dosis
obat dengan hati-hati dan teliti, jika ragu perawat harus berkonsultasi dengan dokter
atau apoteker sebelum di lanjutkan ke pasien. Benar cara/rute, artinya ada banyak
rute/cara dalam memberikan obat, perawat harus teliti dan berhati-hati agar tidak
terjadi kesalahan pemberian obat dan benar waktu, dimana sangat penting khususnya
bagi obat yang efektivitas tergantung untuk mencapai atau mempertahankan darah
yang memadai, ada beberapa obat yang diminum sesudah atau sebelum makan, juga
dalam pemberian antibiotik tidak boleh di berikan bersamaan dengan susu, karna susu
dapat mengikat sebagian besar obat itu, sebelum dapat di serap tubuh. Benar
dokumentasi, setelah obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute,
waktu dan oleh siapa obat itu diberikan, dan jika pasien menolak pemberian obat
obat yang biasadikenal dengan istilah five plus five rightsditerjemahkan sebagai 10
benar yangmeliputi right client (benar pasien), right drug (benar obat), right dose
(benar dosis),right time (benar waktu), right route (benar rute), right assessment
(hak klien mendapatkan pendidikan atau informasi), right evaluation (benar evaluasi),
obat. Kesalahan dalam pemberian obat tersebut meliputi resep yang tidak akurat,
pemberian obat yang salah, memberikan obat melalui jalur yang tidak tepat dan
interval waktu yang salah,serta memberikan dosis yang salah. Tipe kesalahan yang
menyebabkan kematian pada pasien yang meliputi 40,9% salahdosis, 16% salah obat,
Ada beberapa macam cara pemberian obat yang dapat dilakukan seperti
pemberian obat secara oral, parenteral, topical dan supositorial. Pemberian obat secara
oral adalah memberikan obat melalui mulut. Pemberian obat secra parenteral adalah
pemberian obat melalui jaringan atau pembuluh darah dengan menggunakan spuit.
Sedangkan pemberian obat secara topical yaitu memberikan obat secara local pada
kulit atau membrane mukosa pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina, dan
rectum dalam bentuk supositorial. Semua cara pemberian obat harus menerapkan
prinsip benar.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pemberian obat secara oral, parenteral,
topical dan supositorial.
2. Tujuan Khusus
a.Mengetahui prinsip benar pemberian obat baik secara oral, parenteral, topical
dan supositorial.
b.Mengetahui rute pemberian obat baik secara oral, parenteral, topical dan
supositorial.
C. Manfaat
1. Bagi penulis
Bagi penulis sendiri diharapkan dapat menambah ilmu serta wawasan yang lebih
luas lagi, sehingga dapat dijadikan masukan dalam melihat perbedaan antara ilmu
teori dan saat praktik di lapangan.
2. Bagi pembaca
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan
bagi para pembaca membuat makalah baik yang berhubungan dengan topic
makalah ini maupun tidak berhubungan.
3. Bagi Akademisi
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam
penelitian yang berhubungan dengan topic diatas serta sebagai sumber informasi
bagi pembuat makalah selanjutnya,serta dapat memberikan kontribusi dalam
menambah wawasan keilmuan kepada akademik dalam bidang keperawatan.
4. Bagi Perawat
Memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi keperawatan khususnya dalam
menerapkan prinsip benar dalam pemberian obat baik secara oral, parenteral,
topical dan supositorial.
BAB II
PEMBAHASA
N
C. Obat Topikal
1. Definisi obat topikal
Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal dengan cara
mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung, lubang
telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topikal
pada kulit adalah obat yang berbentuk krim, lotion, atau salep (Nuryati, 2017).
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu karena
tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan pengobatan
topikal pada kulit tergantung pada: umur, pemilihan agen topikal yang tepat, lokasi dan
luas tubuh yang terkena atau yang sakit, stadium penyakit, konsentrasi bahan aktif
dalam vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama pemakaian obat, penetrasi obat
topikal pada kulit (Nuryati, 2017).
2. Keuntungan pemberian obat secara topikal (Nuryati, 2017):
a. Efek samping sistemik minimal
b. Mencegah first pass efect
3. Sedangkan kerugian dari obat yang diberikan secara topical: adalah secara
kosmetik kurang menarik.
4. Pemanfaatan obat topical ((Nuryati, 2017):
a. Pergi ke toilet dan jika perlu kosongkan isi perut Anda (BAB).
b. Cuci tangan.
c. Buang semua foil atau plastik pembungkus suppositoria.
d. Lakukan dengan berjongkok atau rebah ke salah satu sisi tubuh dengan satu kaki
ditekuk dan satu kaki lainnya lurus.
e. Masukkan obat suppositoria dengan lembut namun tegas ke dalam anus. Jika perlu
basahi ujung suppositoria dengan sedikit air. Lalu dorong cukup jauh sehingga
suppositoria tidak keluar kembali.
f. Tahan dan rapatkan kaki dengan duduk atau berbaring diam selama beberapa menit.
g. Cuci kembali tangan.
h. Usahakan agar tidak BAB selama setidaknya satu jam, kecuali obat suppositoria
tersebut adalah jenis pencahar.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DALAM PEMBERIAN OBAT
A. Pengkajian Fokus
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien
(Doenges, 2000 dalam Lestari, 2016).Untuk menetapkan kebutuhan terhadap terapi obat dan
respon potensial terhadap terapi obat, perawat perlu mengkaji banyak faktor.Adapun data
hasil pengkajian dapat dikelompokkan ke dalam data subyektif dan data obyektif sebagai
berikut:
1. Data subyektif
a. Riwayat kesehatan sekarang
Perawat mengkaji tentang gejala-gejalayang dirasakan klien.
b. Pengobatan sekarang
Perawat mengkaji informasi tentang setiap obat, termasuk kerja, tujuan, dosis normal, rute
pemberian, efek samping, dan implikasi keperawatan dalam pemberian dan pengawasan
obat.Beberapa sumber harus sering dikonsultasi untuk memperoleh keterangan yang
dibutuhkan.Perawat bertanggung jawab untuk mengetahui sebanyak mungkin informasi
tentang obat yang diberikan. Seperti:
1) Dosis, rute, frekuensi, dokter yang meresepkan, jika ada
2) Pengetahuan klien mengenai obat dan efek sampingnya
3) Harapan dan persepsi klien tentang efektivitas obat
4) Kepatuhan klien terhadap aturan dan alasan ketidakpatuhan
5) Alergi dan reaksi terhadap obat
6) Obat yang dibeli sendiri
c. Riwayat kesehatan dahulu, meliputi
1) Riwayat Penyakit dahulu yang pernah diderita pasien
2) Obat yang disimpan dalam pemakaian waktu lampau
3) Obat yang dibeli sendiri /OTC
d. Sikap dan Lingkungan klien
Sikap klien terhadap obat menunjukkan tingkat ketergantungan pada obat. Klien seringkali
enggan mengungkapkan perasaannya tentang obat,khususnya jika klienmengalami
ketergantungan obat. Untuk mengkaji sikap klien, perawat perlumengobservasi perilaku klien
yang mendukung bukti ketergantungan obat melalui:
1) Anggota keluarga
2) Kemampuan menjalankan Activity of Daily Living (ADL)
3) Pola makan, pengaruh budaya klien
4) Sumber keuangan klien
2. Data obyektif
Dapat diketahui dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostic, pemeriksaan laboratorium. dan harus memusatkan perhatian pada
gejala-gejala dan organ-organ yang kemungkinan besar terpengaruh oleh obat.
3. Prinsip Pengobatan
Jenis obat yanh sesuai dengan penyakit, obat mampu mencapai lokasi kerja atau organ yang
sakit dalam kadar yang cukup.
Adapun 4 prinsip pengobatan :
a) Obat sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang
b) Obat mampi mencapai lokasi kerja organ sakit
c) Obat tersedia dalam kadar cukup
d) Obat berada dalam waktu cukup
4. Prinsip pemberian obat
a) Benar obat
b) Benar dosis
c) Benar cara
d) Benar waktu
e) Benar dokumentasi
Sumber : Tribowo, C. (2013). Manajemen pelayanan keperawatan di rumah sakit.Jakarta :
TIM
B. Diagnostik keperawatan
C. Perencanaan Keperawatan
Implementasi Keperawatan
1. Defisit pengetahuan
-Memberikan edukasi program pengobatan dengan menjelaskan prosedur pemberian
obat dalam keperawatan
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPEN
KODE
DIDIKANTINGGI UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32
Gedung Abdul Muthalib, Kampus Unsri
Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan.
Telepon: 0711-581831. Fax: 0711- 581831Email
:keperawatan.unsri@yahoo.com
TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN
AREA KEPERAWATAN
BAGIAN
21
bereaksi dengan cepat
2. Pasien yang tidak diperkenankan memasukkan apapun juga
melalui mulut
3. Pasien yang mengalami muntah-muntah sehingga tidak bisa
diberikan obat oral dan harus melalui injeksi
Kontra 1. Inflamasi dan infeksi di lokasi injeksi intravena
indikasi 2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi
ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena
pada tindakan hemodialiasis
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh darah
vena kecil yang aliran darahnya lambat
Pelaksanaan Tahap Pra Interaksi
1. Mengidentifikasi kemungkinan alergi, interaksi dan
kontraindikasi
2. Memverifikasi obat sesuai dengan indikasi
3. Periksa tanggal kadaluarsa
4. Memonitor tanda vital dan nilai laboratorium sebelum
pemberian obat.
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam, memperkenalkan diri
2. Mengidentifikasi pasien dengan ; nama, tanggal lahir,
nomor rekam medis pasien
3. Menjelaskan tindakan dan prosedur yang akan dilakukan
kepadapasien, jenis obat yang diberikan, efek samping dari obat.
4. Kaji kembali keluhan pasien dan disesuaikan dengan
indikasi, serta rencana tindakan yang ingindiberikan
kepada pasien
5. Kontrak waktu dengan pasien : kapan pelaksanaan dan
berapa lama pelaksanaan tindakan keperawatan
22
C. Tahap Kerja
1. Mendekatkan alat kepada pasien
2. Lakukan dengan prinsip 6 benar (pasien obat, waktu,
dosis, rute, dokumentasi)
3. Menutup sampiran
4. Mencuci tangan.
5. Menggunakan handscoon
6. Pastikan ketepatan dan kepatenan kateter IV.
7. Bebaskan daerah yang disuntik dengan cara membebaskan
daerah yang akan dilakukan penyuntikan dari pakaian dan
apabila tertutup buka atau ke ataskan.
8. Bebaskan daerah yang disuntik dengan cara membebaskan
daerah yang akan dilakukan penyuntikan dari pakaian dan
apabila tertutup buka atau ke ataskan.
9. Ambil obat dalam tempatnya dengan spuit sesuai dengan
dosis yang akan diberikan. Apabila obat berada dalam
bentuk sediaan bubuk, maka larutkan dengan pelarut
(aquades steril).
10. Ambil spuit yang berisi obat.
11. Lakukan penusukkan dengan lubang menghadap ke atas
dengan memasukkan ke pembuluh darah dengan sudut
penyuntikan 150 – 300
12. Lakukan aspirasi bila sudah ada darah lepaskan karet
pembendung dan langsung semprotkan obat hingga habis.
13. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik dan lakukan
penekanan pada daerah penusukkan dengan kapas alkohol,
dan spuit yang telah digunakan letakkan ke dalam
bengkok.
14. Merapihkan alat-alat seperti semula
D. Tahap Terminasi
1. Melakukanevaluasi respon klien
2. Berpamitandengan pasien
Dokumentasi
Sikap 1. Ramah dan sopan (menjaga perasaan klien)
2. Teliti dan hati-hati dalam melakukan tindakan keperawatan
3. Tidak tergesa-gesa dalam melakukan tindakan keperawatan
4. Cermat dalam mengambil langkah- langkah
tindakankeperawatan
Referensi
TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN
AREA KEPERAWATAN
BAGIAN
Tahap Orientasi
6. Menjelaskan tindakan dan prosedur yang akan dilakukan
kepada pasien
7. Kaji kembali keluhan pasien dan disesuaikan dengan
indikasi, serta rencana tindakan yang ingindiberikan
kepada pasien
8. Kontrak waktu dengan pasien : kapan pelaksanaan dan
berapa lama pelaksanaan tindakan keperawatan
D. Tahap Kerja
1. Mendekatkan alat kepada pasien
2. Lakukan dengan prinsip 6 benar (pasien obat, waktu,
dosis, rute, dokumentasi)
3. Menutup sampiran
4. Mencuci tangan.
5. Lepas pakaian bawah pasien dan ditutupi denganselimut
6. Membantu klien pada posisi Sim, jaga agar hanya pada
bagiananussaja yang terbuka
7. Pasang handscoon
8. Keluarkan obat supositoria dari bungkusnya, lumasi ujung
supositoria dan tanganyang dominan dengan dengan jely
ataupelumas larut air.
9. Minta klien tarik nafas dalam dengan perlahan melalui
mulut agar spingter anusrelaksasi
10. Retraksi bokong dengan tangan tidak dominan. Masukkan
supositoria dengan perlahan melalui anus melalui sfingter
internal dan kearah dinding rektum, 10cm padadewasa5 cm
pada anak dan bayi
11. Menganjurkan klien untuk menahan±5 menit agar obat
tidak keluar sehingga bereaksi optimal
12. Merapihkan alat-alat seperti semula
E. Tahap Terminasi
1. Melakukanevaluasi respon klien
2. Berpamitandengan pasien
Dokumentasi
Sikap 1. Ramah dan sopan (menjaga perasaan klien)
2. Teliti dan hati-hati dalam melakukan tindakan keperawatan
3. Tidak tergesa-gesa dalam melakukan tindakan keperawatan
4. Cermat dalam mengambil langkah- langkah tindakan
keperawatan
Referensi :
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus PPNI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Gedung Dr. A. I. Muthalib, MPH Kampus Program Studi Ilmu Keperawatan FK
Unsri Indralaya, OI, 30662, Sumatera Selatan, Indonesia, Tel.0711-581831
STANDAR Dilakukan
OPERSIONAL PEMBERIAN OBAT ORAL
PROSEDUR Ya Tidak
Menyiapkan dan memberikan obat untuk pasien melalui mulut
PENGERTIAN
dan selanjutnya ditelan.
1. Baki
2. Obat-obat yang diperlukan, dalam tempatnya
3. Gelas obat
4. Sendok obat
5. Gelas ukuran
6. Air minum dalam tempatnya
7. Lap kerja, atau tissue bila mungkin disediakan
8. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan)
PERALATAN
9. Buku catatan dan kartu-kartu obat yang mencantumkan
secara lengkap:
a. Nama pasien
b. Nomor tempat tidur
c. Jenis dan nama obat
d. Dosis obat
e. Jadwal pemberian obat
f. Lain-lain.
A. Pra Interaksi NNNNN
1. Baca status laporan pasien N
2. Perhatikan prinsip 5 benar (benar pasien, benar obat,
benarwaktu, benar dosis, benar cara pemberian obat)
B. Interaksi
LANGKAH- 1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
LANGKAH 2. Menjalaskan tujuan tindakan
3. Menjelaskan prosedur tindakan
4. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
5. Meminta kesiapan pasien untuk melakukan
prosedur Tindakan
C. Prosedur kerja
1. Perawat mempersiapkan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemampuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemampuan menelan, mual dan muntah, akan dilakukan
penghisapan cairan lambung, atau tidak boleh makan/minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien, nama dan
dosis obat, waktu dan cara pemberian).
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca order
pengobatan dan ambil obat di almari, rak atau lemari es
sesuai yang diperlukan).
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan (gunakan teknik
aseptik, jangan menyentuh obat dan cocokkan dengan order
pengobatan)
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu
dengan cara:
a. Yakin tidak pada pasien yang salah
b. Atur pasien duduk bila mungkin
c. Kaji tanda-tanda vital pasien
d. Berikan cairan/air yang cukup untuk membantu
menelan, bila sulit menelan anjurkan pasien meletakan
obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan
minum.
e. Setelah pemberian obat lalu dicatat pada kartu obat.
D. Evaluasi
Tanyakan perasaan pasien setelah dilakukan pemberian obat
(Adakah reaksi pada saat dan setelah pemberian obat?)
Catat pada status klien yang meliputi tanggal dan waktu
dilakukannya pemberian obat.
Referensi:
Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat
bagi Perawat. Jakarta: EGC
DOKUMENTAS
I Tim Departemen Kesehatan RI. (1994). Prosedur
Perawatan Dasar. Jakarta: PersatuanPerawat Nasional
Indonesia.
Uliyah, M., & Hidayat, A. A. A. (2008).
Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik
Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika.
KEMENTERIANRISET,TEKNOLOGIDANPE
KODE
NDIDIKANTINGGI
UNIVERSITASSRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAMSTUDIILMUKEPERAWATAN
UNIVERSITASSRIWIJAYA
Jalan Raya Palembang - Prabumulih Km. 32
Gedung Abdul Muthalib, Kampus Unsri
Indralaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan.
Telepon: 0711-581831. Fax: 0711- 581831Email
:keperawatan.unsri@yahoo.com
TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN
AREA KEPERAWATAN
BAGIAN
37
Pelaksanaan a. Tahap Prainteraki
1. Melakukan pengecekan program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
b. Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
c. Tahap Kerja
1. Baca daftar obat, larutan obat yang dibutuhkan, isi
spuit sesuai dengan kebutuhan
2. Mengidentifikasi pasien dengan prinsip 5 B (benar
obat, dosis, pasien, cara pemberian, dan waktu)
3. Cuci tangan
4. Menjaga privasi pasien dengan memasang sampiran
5. Mengatur posisi klien
6. Memasang perlak dan alasnya
7. Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
8. Memakai sarung tangan
9. Menentukan tempat penyuntikan dengan benar
10. Pegang kapas alcohol dengan tangan non dominan
11. Letakkan ujung jarum dan memasukkan dibawah kulit
dengan sudut 15°
12. Masukkan obat perlahan sampai adanya bula
13. Cabut jarum sesuai sudut masuknya
14. Usap pelan daerah penusukan dengan kapas alcohol
jangan ditekan
15. Buat lingkaran pada bula dengan menggunakan pulpen
16. Observasi kulit terhadap kemerahan dan bengkak
17. Kembalikan posisi klien
18. Bereskan alat
1 9 . C uc i t an g a n
KEMENTE R I A N R I S E T , TEKNOLOGIDANPE
Terminasi KODE
1N. DMIDeIlaKkAukNaTn
IeNvaGluGaIsi
UNI2V.
EBReSrIpTamAiStaSnRdIeW
ngIJanAYklAien
3.FADKoUkuLmTeAnStaKsiE
DOKTERAN
PRORGefRerAenMsiS:TUDIILMUKEPERAWATAN
H., AU.NAIzVizEARlSimITuAl. S(2S0R0I6W).
IPJeAnYgaAntar Kebutuhan Dasar Manusia
B u ku 2 . J a k a r ta : S al em
Jala n R ay a P a l e m b an g -
ba M ed ik a
P ra bu m u lih Km. 32
GTedimunPgokAjba dSuIKl MI DuPthPaPliPbN, KI
TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN
AREA KEPERAWATAN
BAGIAN
TANGGAL
DOKUMEN DIKELUAR
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR KAN
AREA KEPERAWATAN
BAGIAN
Persiapan 1. Handscoon
tempat dan 2. Spuit steril dengan jarum 5/8
alat 3. Bak instrument
4. Kom berisi kapas alcohol
5. Perlak
6. Bengkok
7. Obat injeksi dalam vial atau ampul
8. Daftar pemberian obat
9. Buku catatan
KEPERAWATAN
BAGIAN
PENGERTIAN Ketertiban dan kepatuhan pengobatan pasien dari awal
pengobatan sampai dengan selesai masa pengobatan.
45
manfaat kepatuhan minum obat
C) Tahap Kerja
1. Menentukan jadwal kunjungan rumah dan
minum obat
2. Melakukan kunjungan kerumah pasien dengan
gangguan jiwa dan mengajarkan keluarga cara
minum obat yang benar
3. Memberikan edukasi kepada keluarga
mengenai pengobatan termasuk efek samping
pengobatan
4. Menstimulasi pasien dan keluarga untuk rutin
kontrol dan mengambil obat ke fasilitas
kesehatan
5. Mengevaluasi pasien dan keluarga mengenai
kepatuhan minum obat
6. Melakukan pencatatan dan pelaporan serta
kontak waktu selanjutnya bila diperlukan
dibuku kegiatan.
D). Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan yang baru
dilakukan
2. Dokumentasi hasil pelaksanaan,catat kegiatan
dalam lembar catatan perawatan
3. Mengucapkan terima kasih dengan pasien
4. Merapikan alat
5. Mencuci tangan
Referensi :
Laban Y.Y., .(2008). Penyakit dan
Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius.
Soemantri I.(2007). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
3. Gangguan mobilitas fisik
ambulasi sederhana seperti berjalan dari tempat tidur ke kursi roda sesuai
degan SOP yang diberikan. SOP terlampir:
BAGIAN KEPERAWATAN
Memindahkan klien dari atas tempat tidur
PENGERTIAN kekursi roda untuk menjalani prosedur atau
tindakan tertentu.
.menjalani prosedur perawatan tertentu
TUJUAN Dipindahkan ke tempat atau ruangan
tertentu
Sarung Tangan jika perlu
PERSIAPAN ALAT
Kursi roda
1. Atur peralatan dengan tepat
PROSEDUR
Rendahkan posisi tempat tidur sampai
pada posisi yang terendah sehingga
kaki kalien dapat menyentuh
lantai.Kunci semua roda tempat tidur.
Letakkan kursi roda sejajar dan
sedekat mungkin dengan tempat
tidur. Kunci semua roda dari kursi
roda
2. Siapkan dan kaji klien.
Bantu klien pada posisi duduk di tepi
tempat tidur (lihat kembali prosedur
membantu klien duduk di tepi tempat
tidur).
Kaji klien, apakah mengalami
hipotensi postural sebelum
memindahkannya dari tempat tidur.
3. Berikan instruksi yang jelas pada
klien.Minta klien untuk:
Bergerak ke depan dan duduk di tepi
tempat tidur.(agar pusat gravitasi
klien dekat dengan perawat).
Congdongkan tubuh ke depan mulai
dari pinggul.(menyiapkan posisi
dada dan kepala pada arah
pergerakan dan membawa pusat
gravitasi klien secara langsungdi
atas landasan.
Letakkkan kaki yang kuat dibawah
tepi tempat tidur ,sedangkan kaki yang
lemah berada di depannya.(dengan
cara ini, klien dapat menggunakan
kaki yang lebihkuat untuk berdiri dan
memberikan kekuatan pada
pergerakan.
Letakkan tangan klien diatas
permukaan tempat tidur atau di atas
kedua bahu perawat sehingga klien
dapat mendorong tubuhnya secara
berdiri.
4. Siapkan posisi perawat dengan tepat.
Berdiri tepat di depan klien.
Congdongkan tubuh ke
depan,fleksikan pinggul,lutut dan
pergelangan kaki.Lebarkan kaki
anda,dengan satu kaki di depan dan
yang lainnya dibelakang.jika
memungkinkan,buatlah kaki klien
sebagai cermin dari kaki perawat
Lingkari punggung klien dengan
kedua tangan perawat
Tegangkan otot gluteal, abdominal,
kaki, dan lengan anda,siapuntuk
melakukan pergerakan.
5. Bantu klien untuk berdiri, kemudian
bergerak bersama-sama menuju kursi
roda.
Dalam 3 hitungan:minta klien untuk
menghentak dengan bagian kaki
belakang,kemudian menuju kaki
bagian depan, ekstensikanpersendian
pada ekstremitas bawah, dan dorong
atau tarik dengan kedua tangan,
bersamaan dengan perawat menarik
dengan kaki bagian depan,menuju
kaki bagian belakang,ekstensikan
persendian pada ekstremitas bawah,
dan tarik klien tepat menuju pusat
gravitasi perawat pada posisi berdiri.
Bantu klien pada posisi tegak untuk
beberapa saat.
Bersama-sama memutar aatau
mengambil beberapa langkah menuju
ke kursi roda.
6. Bantu klien untuk duduk
Minta klien untuk: membelakangi
kursi roda, meletakkan bagian kaki
yang kuat dibelakang kaki yang lebih
lemah, menjaga kaki yang lainnya
tetap berada didepan, meletakkan
kedua tangan diatas lengan kursi
roda, atau tetap pada bahu perawat.
Berdiri tepat di depan klien.
Letakkan satu kaki didepan dan kaki
-M yang lainnya dibelakang.
e Tegangkan otot gluteal, abdominal
n dan lengan.
g Dalam hitungan 3: minta klien untuk
a menggeser berat tubuhnya dengan
j jalan memindahkannya ke kaki
a bagian belakang,merendahkan tubuh
r sampai pada bagian tepi dari kursi
k roda dengan merefleksikan
a persendian pada kaki, dan lengan,
n bersama-samaan dengan perawat.
7. Pastikaan keselamatan klien:
l Minta klien untuk menggeser
a duduknya sampai pada posisi yang
t paling aman dan nyaman.
i Turunkan tatakan kaki, dan letakkan
h kedua kaki klien di atasnya.
a Dokumentasikan dalam catatan perawat
n ( mis.nama pasien,tanggal dan jam
Dokumentasi
tindakan, nama tindakan dan hasil
a tindakan, paraf nama perawat pelaksana
m SIKI DPP PPNI. (2018).Standar
b
Intervensi Keperawatan Indonesia.
u
Definisi Dan Tindakan
l
Keperawatan.Jakarta:Dewan Pengurus
a REFERENSI
PPNI.
s
i
Eni Kusyati, dkk. 2006.
Buku Keterampilan dan
Prosedur Laboratorium.
Jakarta. EGC
4. Ansietas
- Membantu mengajarkan teknik latihan otogenik (salah satu terapi relaksasi)
sesuai dengan SOP yang diberikan. SOP terlampir
BAGIAN KEPERAWATAN
PENGERTI Latihan otogenik adalah mengajarkan kemampuan sugesti diri dengan perasaan
AN senang dan kehangatan yang bertujuan untuk relaksasi
1. Mengucapkan salam
2. Menyebut / menanyakan nama klien
3. Memperkenalkan diri dan instansi
FASE
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
ORIENTAS
I 5. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien sebelum melakukan tindakan
6. Siapkan lingkungan yang tenang dan aman
FASE KERJA 1. Mencuci tangan
2. Kenakan klien pakaian yang nyaman dan tidak membatasi pergerakan
3. Anjurkan duduk di kursi atau berbaring dalam posisi telentang
4. Bacakan pernyataan (skrip) yang di siapkan berhenti sejenak minta
mengulang secara internal
5. Anjurkan mengulangi pernyataan kepada diri sendiri untuk mendapatkan
perasaan lebih dalam pada bagian tubuh yang di tuju
6. Anjurkan latihan selama 15 – 20 menit
7. Anjurkan tetap rileks selama 15 – 20 menit
8. Anjurkan berlatih tiga kali sehari
1. Baki
2. Obat-obat yang diperlukan, dalam tempatnya
3. Gelas obat
4. Sendok obat
5. Gelas ukuran
6. Air minum dalam tempatnya
7. Lap kerja, atau tissue bila mungkin disediakan
8. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan)
PERALATAN
9. Buku catatan dan kartu-kartu obat yang mencantumkan
secara lengkap:
a. Nama pasien
b. Nomor tempat tidur
c. Jenis dan nama obat
d. Dosis obat
e. Jadwal pemberian obat
f. Lain-lain.
E. Pra Interaksi NNNNN
1. Baca status laporan pasien N
2. Perhatikan prinsip 5 benar (benar pasien, benar obat,
benarwaktu, benar dosis, benar cara pemberian obat)
F. Interaksi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Menjalaskan tujuan tindakan
3. Menjelaskan prosedur tindakan
4. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
5. Meminta kesiapan pasien untuk melakukan prosedur
Tindakan
G. Prosedur kerja
1. Perawat mempersiapkan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemampuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemampuan menelan, mual dan muntah, akan dilakukan
penghisapan cairan lambung, atau tidak boleh makan/minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien, nama dan
dosis obat, waktu dan cara pemberian).
LANGKAH-
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca order pengobatan
LANGKAH
dan ambil obat di almari, rak atau lemari es sesuai yang
diperlukan).
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan (gunakan teknik
aseptik, jangan menyentuh obat dan cocokkan dengan order
pengobatan)
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan
cara:
a. Yakin tidak pada pasien yang salah
b. Atur pasien duduk bila mungkin
c. Kaji tanda-tanda vital pasien
d. Berikan cairan/air yang cukup untuk membantu
menelan, bila sulit menelan anjurkan pasien meletakan
obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan
minum.
e. Setelah pemberian obat lalu dicatat pada kartu obat.
H. Evaluasi
Tanyakan perasaan pasien setelah dilakukan pemberian obat
(Adakah reaksi pada saat dan setelah pemberian obat?)
DOKUMENTAS Catat pada status klien yang meliputi tanggal dan waktu
I dilakukannya pemberian obat.
Referensi:
Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC
Pada penelitian ini didapatkan (p=0,001) yang berarti setelah dilakuka edukasi
ada perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan minum obat pada kelompok
kontrol dan intervensi. Peneliti melakukan intervensi pemberian edukasi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol mendapat informasi sesuai SOP dari
Puskesmas. Kepatuhan minum obat diukur 7 hari sebelum edukasi dan 28 hari
setelah edukasi Kemudian dibagi menjadi dua kelompok intervensi 21 responden
dan kelompok kontrol juga 21 responden.Kesimpulan :Edukasi diet dan terapi
obat mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan minum obat, kepatuhan terhadap
pengobatan merupakan tingkatan perilaku dimana penderita menggunakan obat,
mentaati semua aturan dan nasihat yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan.
Perawat mempunyai peran yang penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan.Salah satu peran penting seorang perawat adalah sebagai
educator.Perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan pada semua
pasien dalam hal pencegahan penyakit, pemulihan penyakit dan memberikan
informasi yang tepat tentang kesehatan. Edukasi kesehatan yang diberikan oleh
perawat akan meningkatkan kepatuhan terhadap program terapi dan pengendalian
penyakit. Melalui kegiatan edukasi yang dilaksanakan secara rutin serta adanya
kegiatan pengontrolan konsumi obat pada pasien secara tidak langsung
meningkatkan kesadaran pasien melaksanakan terapi pengobatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KESEMBUHAN
PASIEN TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS
DELANGGU KABUPATEN KLATEN
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa Ada hubungan antara kepatuhan
minum obat dengan kesembuhan pasien TB BTA positif di Puskesmas Delanggu
Klaten. Hal ini terbukti dengan nilai signifikansi (P) 0.006 dengan (α) = 5% maka
P < 0.05. Dibuktikan dengan sebagian besar Pasien TB di Puskesmas Delanggu
Klaten patuh minum obat sebanyak 25 responden (65,8%) dan kesembuhan pasien
TB BTA positif sebagian besar sembuh sebanyak 32 responden (84,2%) .
Kesimpulan: Kesembuhan pasien TB dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah umur, tingkat pendidikan, status gizi, faktor lingkungan dan
kepatuhan pasien dalam minum obat. Faktor pengaruh yang terbesar dalam
kesembuhan pasien TB adalah kepatuhan minum obat. Kepatuhan ini diartikan
sebagai perilaku pasien untuk minum obat sesuai dengan jenis, dosis, cara minum,
waktu minum dan jumlahhari minum obat yang sesuai dengan pedoman nasional
penanggulangan TB.
Depkes RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient safety).
2nd ed.Jakarta: Depkes RI; 2008.
Ditjen POM, (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
Kee, J.L & Hayes, E.R. (2006).Pharmacology a nursing process approach, 5th edn,
Singapore: Elsevier.
Laban Y.Y., .(2008). Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius.
Priharjo, R. (1994). Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC
Ulfa Husnul Fata, Anita Rahmawati, Nawang Wulandari, et. al. (2018).Pusat
Perawatan Luka Patria Care Blitar Unit Pelayanan Perawatan Luka,
Konseling, Produk Salep Luka Dan Pelatihan Perawatan Luka. Jurnal
Dedikasi, ISSN 1693.
WHO, (1998 ), Nursing care of the sick: A guide for nurses working in small rural
hospitals.
Widiyanto, A. (2016). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Kesembuhan
Pasien Tuberkulosis Paru Bta Positif Di Puskesmas Delanggu Kabupaten
Klaten. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. Volume 6, No 1.
*)
Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
**)
Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
***)
Dosen Program Studi Keperawatan Poltekkes KeMenkes Semarang
ABSTRAK
Pasien post operasi khususnya post operasi fraktur ekstremitas mengalami peningkatan
ketergantungan pemenuhan Activity of Daily Living (ADL). Ambulasi dini adalah salah satu cara
untuk membantu mengurangi ketergantungan dalam pemenuhan ADL. Fraktur adalah terputusnya
kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Operasi tulang untuk menyambung dua
bagian tulang atau lebih dengan menggunakan alat-alat fiksasi dalam seperti plate, screw, nail plate,
wire/K-wire .Ambulasi dini adalah tindakan keperawatan yang paling signifikan untuk mengurangi
komplikasi post operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Ambulasi Dini terhadap
Peningkatan Pemenuhan Activity of Daily Living (ADL) pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas
Di RSUD Ambarawa. Desain penelitian ini adalah one group pre dan post test design. Teknik
sampling penelitian ini adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 30 responden. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat pengaruh ambulasi dini terhadap peningkatan pemenuhan Activity of
Daily Living (ADL) pada pasien post operasi fraktur ekstremitas dengan nilai P sebesar 0,00 (<0.05).
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan peneliti selanjutnya untuk dapat
mengembangkan penelitian dengan memperhatikan faktor dukungan sosial (keluarga) yang
mempengaruhi keinginan untuk ambulasi dini.
ABSTRACT
Post-surgery patients, especially extremity fracture post-surgery ones, found their needs towards the
dependency of Activity of Daily Living (ADL) sufficiency increasing. Early ambulation is one of
among other ways to reduce the dependency of Activity of Daily Living (ADL) sufficiency. Fracture
is the disconnection of bone continuity characterized based on its type and width. Bone surgery is
meant to re-connect a piece of or more bones by applying internal fixation devices such as plate,
screw, nail plate, wire/K-wire. Early ambulation is the most significant nursing care to reduce post-
surgery complication. This study was designed to figure out the influence of early ambulation toward
the increasing of the Activity of Daily Living (ADL) sufficiency for extremity fracture post-surgery
patients at District General Hospital of Ambarawa. The design of this study was one group pre dan
post test design. The sampling method of this study waspurposive samplingwith 30 respondents. The
findings of the study show that there is an influence of early ambulation toward the increasing of the
Activity of Daily Living (ADL) sufficiency for extremity fracture post-surgery patients with 0,000 P
value (p<0.05). The result of this study can be used as a reference for the future researchers to develop
a study by considering the social support factor (family) which influence the need of early
ambulation.
Jenis
Kelamin
Perempuan 5 16.7
Persentas Jumlah 30 100.0
e Laki-
Laki
25
83.3
Berdasarkan
Hasil Penelitian
diatas dapat
diketahui bahwa
Laki-Laki adalah
jenis kelamin
terbanyak yang
mengalami
fraktur pada
ekstremitas
sebesar 25
(83,3%)
0.08
(0.70
–
Am
bula
si
0.78
)
Post0Ambulasi Berdasarkan tabel
. Berdasarkan tabel hasil uji statistik
1 di atas diketahui pengaruh
2 bahwa sebelum Ambulasi dini
pelaksanaaan terhadap
( ambulasi dini, peningkatan
0 sebagian besar pemenuhan ADL
. responden pada pasien post
4 mengalami operasi fraktur
8 gangguan berat ekstremitas di
pemenuhan ADL RSUD Ambarawa,
– sebanyak 26 pada penelitian ini
0 orang sebesar didapatkan nilai p
. 86.7 % dan pre ambulasi
6 gangguan sedang dibandingkan
0 dalam pemenuhan dengan ambulasi
) ADL sebanyak 4 pertama adalah
1 orang sebesar 0,00. Ambulasi 1
4.295 13.3 persen. dibandingkan
Setelah ambulasi dengan ambulasi
0.000 pertama kedua adalah 0,00
Post 0.1 4
Ambulasi 0 mengalami dan ambulasi
0 . . gangguan sedang kedua
(0. 8 0 dalam pemenuhan dibandingkan
60 4 0 ADL sebesar 30 ambulasi ketiga
– 2 0 orang sebesar 100 adalah 0,00. Nilai
0.7 5 0 %. Setelah P < 0,05, hal ini
0) . . dilakukan ambulasi berarti Ho ditolak
1 0 kedua mengalami dan Ha diterima.
0 0 gangguan Jika Ho ditolak,
9 0 sedang dalam maka dapat
2 disimpulkan bahwa
Post0Ambulasi ada pengaruh
. ambulasi dini
0 terhadap
8 peningkatan
pemenuhan ADL.
(
0 4 Jurnal
. Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK),
7 Vol...No...
0
–
0
.
7
8
)
3
0.3457
SD
0.000
0.345 75
0.000 5
Nilai Z hitung pada ambulasi pertama yang pada responden usia 26-35 tahun mengalami
dibandingkan dengan pre ambulasi sebesar fraktur karena terjatuh dan kecelakaan motor.
4.292, ambulasi pertama yang dibandingkan Menurut artikel yang ditulis oleh Widiyanto
dengan ambulasi kedua sebesar 4.842 dan (2014) di Kedaulatan rakyat online, jumlah
ambulasi kedua yang dibandingkan dengan kasus kecelakaan kerja paling banyak dialami
ambulasi ketiga sebesar 5.109. Pada derajat tenaga kerja produktif dengan usia 26-30 tahun
kemaknaan 0,05 maka Z score harus berada sepanjang kurun waktu 2013.
diantara -1,96 dan +1,96. Apabila Z score
tidak berada diantara -1,96 dan + 1,96 maka Dari data diatas, diketahui bahwa kecelakaan
Ha yang diterima. Dari hasil penelitian dapat kerja banyak terjadi di usia 26-30 tahun. Data
disimpulkan bahwa z score berada diluar nilai kecelakan kerja di Indonesia menurut BPJS
kisaran, hal ini berarti ada pengaruh ambulasi pada tahun 2014, 69,59 persen kecelakaan
dini terhadap peningkatan pemenuhan ADL. terjadi di dalam perusahaan saat pekerja
bertugas, 10,26 persen di luar perusahaan, dan
Pada pre ambulasi range sebesar 0,08, pada sekitar 20,15 persen pekerja mengalami
post ambulasi 1 range sebesar 0.12, pada post kecelakaan lalu lintas (Tallo, 2015, ¶4).
ambulasi 2 range sebesar 0.10 dan pada post
ambulasi 3 range sebesar 0.08. Pada pre Salah satu faktor terjadinya kecelakaan kerja
ambulasi range lebih kecil dari range post adalah rendahnya pemahaman terhadap
ambulasi 1 hal ini berarti skor tingkat regulasi ketenagakerjaan dan penerapan
ketergantungan ADL pada pre ambulasi kesehatan dan keselamatan kerja (Departemen
hampir sama sedangkan skor tingkat Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2012, hlm.
ketergantungan ADL pada post ambulasi 33).
pertama bervariasi. Pada range post ambulasi
1 memiliki range lebih besar dari ambulasi 2 Berdasarkan penelitian Kairupan, Monoarfa &
hal ini berarti skor ambulasi 1 lebih bervariasi Ngantung (2014) dengan judul Angka
dibanding skor ambulasi 2. Range post Kejadian Penderita Fraktur Tulang Fasial Di
ambulasi 2 dan post ambulasi 3 lebih besar SMF Bedah BLU RSU Prof. R.D. Kandou
range post ambulasi 2, hal ini berarti skor Periode Januari 2012-Desember 2012, Jumlah
ketergantungan ADL pada post ambulasi 2 penderita fraktur fasial yang dirawat di SMF
lebih bervariasi dibandingkan dengan skor Bedah periode Januari 2012 sampai Desember
ketergantungan ADL post ambulasi kedua. 2012 sebanyak 156 kasus (5,60%) dari total
2786 trauma fasial yang dirawat. Usia
Dari hasil penelitian diatas didapatkan bahwa terbanyak fraktur fasial 20-29 tahun yaitu 78
Ho ditolak dan Ha diterima, karena nilai (50,00%); pria lebih banyak dari wanita yaitu
p<0,05 dan z score berada diluar batasan z 132 kasus (84,62%); penyebab terbanyak
score yang ada. Hal ini berarti ada pengaruh akibat kecelakaan lalulintas yaitu sebanyak 82
Ambulasi dini terhadap peningkatan kasus (52,56%). Hasil penelitian diatas,
pemenuhan ADL pada pasien post operasi ditemukan juga oleh peneliti dimana jumlah
ekstremitas di RSUD Ambarawa. usia fraktur ekstremitas terbanyak pada umur
26-35 tahun, penyebab fraktur pada penelitian
peneliti juga dikarenakan kecelakaan motor.
8 Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK),
Vol...No...
yang mengalami fraktur berdasarkan jenis memperhatikan faktor budaya masyarakat
kelamin, laki-laki sebanyak 25 orang dan yang mempengaruhi keinginan untuk
perempuan sebanyak 5 orang. ambulasi dini, dapat menggunakan desain
2. Tingkat ketergantungan setelah dilakukan penelitian yang berbeda dimana peneliti
ambulasi terakhir semakin menurun. selanjutnya dapat mengukur pre ambulasi
Sebelum pelaksanaaan ambulasi dini, dan post ambulasi 48 jam saja serta
sebagian besar responden mengalami mempertimbangkan tingkat pengetahuan
gangguan berat pemenuhan ADL sebanyak responden supaya dapat memilih metode
26 orang sebesar 86.7 % dan gangguan yang tepat untuk menjelaskan manfaat dan
sedang dalam pemenuhan ADL sebanyak 4 prosedur ambulasi dini sebelum melakukan
orang sebesar 13.3 persen.Setelah ambulasi ambulasi dini.
pertama mengalami gangguan sedang
dalam pemenuhan ADL sebesar 30 orang
sebesar 100 %. Setelah dilakukan ambulasi
kedua mengalami gangguan sedang dalam DAFTAR PUSTAKA
pemenuhan ADL sebanyak 4 orang sebesar
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural
13,3 % dan tidak mengalami gangguan
Keperawatan : Konsep dan Aplikasi
pemenuhan ADL sebanyak 26 orang
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta :
sebesar 86,7 %.Setelah dilakukan ambulasi
Salemba Medika.
dini ketiga, tidak mengalami gangguan
pemenuhan ADL sebanyak 30 orang Ajidah, & Haskas, Y. (2014). Pengaruh
sebesar 100%. Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik
3. Ambulasi dini terhadap peningkatan Usus Pada Pasien Pasca Operasi
pemeuhan Activity of Daily Living (ADL) Laparatomi di Ruang Rawat Inap RSUP
di RSUD Ambarawa, hal ini berdasarkan Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
uji wilcoxon didapatkan p value pre ISSN: 2302-1721. 3(6)
ambulasi, ambulasi 1, ambulasi 2, ambulasi
3 sebesar 0,00 dan nilai Z score sebesar Alavi, Negin M., Safa, A., & Abedzadeh-
pada perbandingan pre ambulasi dan Kalahroudi, M. (2014). depency in
ambulasi 1 sebesar 4.292, perbandingan activities of daily living following limb
ambulasi 1 dan ambulasi sebesar 4.842 dan trauma in elderly referred to shahid
perbandingan ambulasi 2 dan ambulasi 3 beheshti hospital, kashan-iran in
sebesar 5.109. Ambulasi berpengaruh 2013.3(3). e20608
dilihat dari hasil p value p<0,05 dan Z
score terletak diluar +1,96 dan -1,96. Borley, Neil R, Grace, Pierce A. (2007). At a
Glance Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Alih
SARAN Bahasa Vidhia Umami. Jakarta :
Erlangga.
1. Bagi RSUD Ambarawa
RSUD Ambarawa dapat menggunakan Brooker, Chris. (2009). Ensiklopedia
hasil penelitian ini sebagai salah satu Keperawatan. Alih bahasa Adry
alternatif untuk mengatasi ketergantungan Hartono, Brahm U. Pendit, Dwi
ADL pada pasien post operasi fraktur Widiarti. Jakarta : EGC.
ekstremitas dengan memberikan ambulasi
dini. Carl, Elizabeth K. (2007). Trauma psycholog:
issues in violence, disaster, health, and
2. Pendidikan Keperawatan illness. Greenwood Publishing Group:
Sebagai pemebelajaran pentingnya United States of America.
melakukan pengkajian ADL dan
melakukan ambulasi dini pada pasien post Craven F. R, & Hirne J. C. (2009).
operasi fraktur ekstremitas. Fundamentals of Nursing : Human,
Helath and Function ( 6th edition). USA
3. Penelitian selanjutnya : Lippincott Williams & Wilkins.
Untuk Peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian ini dengan Cornelly, Neil R., & Silverman, David G.
(2009). Review of Clinical Anesthesia
49
REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA DISFAGIA
Jenny J. C. Pandaleke
Lidwina S. Sengkey
Engeline Angliadi
Abstract: Dysphagia is a common symptom in clinical pratice, suffered by all age groups,
and associated with multiple systemic disorders, inter alia: diabetes mellitus, hyperthyroidism,
lupus erythematosus, dermatomyositis, stroke, as well as Parkinson’s and Alzheimer’s
diseases. The diagnosis of dysphagia is based on anamnesis, physical examination (including
examination of the patient during eating or drinking), and supporting examination, such as
videofluorographic swallowing study (VFSS) and fiberoptic endoscopic evaluation of
swallowing (FEES). The management of dysphagia in the medical rehabilitation field requires
a teamwork consisting of a physical therapist, a speech therapist, an occupational therapist,
rehabilitation nurses, as well as a nutritionist and several other specialists. The occurence of
dysphagia is closely connected with malnutrition, dehydration, respiratory tract infections,
duration of hospitalization, and even death. Therefore, early diagnosis and treatment are very
important in the management of dysphagia.
Keywords: dysphagia, rehabilitation
Abstrak: Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik, dan bisa diderita oleh semua
kelompok usia dan berhubungan dengan multiple systemic disorders, antara lain diabetes
melitus, hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson
dan Alzheimer. Diagnosis disfagia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
(termasuk pemeriksaan saat penderita makan atau minum), dan pemeriksaan penunjang
seperti videofluroskopi dan fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES).
Penanganan dalam bidang rehabilitasi medik membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari
seorang dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, ahli terapi bicara, ahli terapi
okupasi, perawat rehabilitasi, dan juga membutuhkan kerjasama dengan seorang ahli gizi dan
beberapa bidang spesialisasi yang lain. Disfagia sangat berhubungan dengan terjadinya
malnutrisi, infeksi saluran pernapasan, dehidrasi, bertambahnya jumlah hari rawat, dan
bahkan kematian. Oleh karena itu, diagnosis dan penanganan dini sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan disfagia.
Kata kunci: disfagia, rehabilitasi
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu praktek klinik pada semua kelompok usia
dys yang artinya sulit dan phagein yang dan sering berhubungan dengan multiple
artinya memakan. Disfagia memiliki systemic disorders (misalnya: diabetes
banyak definisi tetapi yang sering melitus, hipertiroidisme, lupus eritema-
digunakan adalah kesulitan dalam tosus, dermatomiositis, stroke, serta
menggerakan makanan dari mulut ke dalam penyakit Parkinson dan Alzheimer).1,3
lambung.1,2 Terdapatnya disfagia dapat mengaki-
Disfagia sering ditemukan dalam batkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi,
157
158 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164
infeksi saluran napas, bertambahnya jumlah sphincter (PES). UES berfungsi mengu-
hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh rangi risiko aliran balik makanan dari
sebab itu, diagnosis dan penanganan dini esofagus ke faring. Pada waktu tertentu
terhadap disfagia sangat penting sfingter ini terbuka untuk mengijinkan bo-
4-6
dilakukan. lus makanan masuk ke dalam esofagus.2,7
Esofagus merupakan lapisan otot
PROSES MENELAN berbentuk tabung dengan panjang sekitar
23-25 cm dan mempunyai sfingter pada
Struktur yang berperan kedua ujungnya, yaitu UES pada bagian
Area anatomi yang berhubungan atas dan lower esophagal sphincter (LES)
dengan proses menelan meliputi rongga pada bagian bawah.2
mulut, faring, laring, dan esofagus. Struktur
rongga mulut meliputi bibir anterior, gigi, Fungsi menelan normal
palatum durum, palatum mole, uvula,
Proses menelan dibagi menjadi 4 fase
mandibula, dasar mulut, lidah, dan arkus
yaitu: 1) fase persiapan oral; 2) fase oral; 3)
faringeus.2
fase faringeal; dan 4) fase esofageal.2,8
Lidah sebagian besar disusun oleh
serat-serat otot rangka yang dapat bergerak
Fase persiapan oral
ke segala arah. Sehubungan dengan proses
menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral Selama fase persiapan oral makanan
dan bagian faringeal. Lidah bagian oral dimanipulasi dan dikunyah. Proses mengu-
meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan nyah sendiri merupakan suatu pola siklik
belakang daun lidah. Lidah bagian oral berulang dari gerakan rotasi lateral otot-
aktif selama proses bicara dan proses otot labial dan mandibular. Lidah memo-
menelan pada fase oral, dan berada sisikan makanan di atas gigi saat gigi atas
dibawah kontrol kortikal (volunter). Lidah dan bawah bertemu dan menghancurkan
bagian faringeal atau dasar lidah dimulai material diatasnya. Makanan akan jatuh ke
dari papila sirkumvalata sampai tulang arah medial menuju lidah dan lidah akan
hioid. Dasar lidah aktif selama fase mengembalikan material tersebut ke atas
faringeal dan berada dibawah kontrol gigi pada saat mandibula dibuka. Selama
involunter dengan koordinasi batang otak, mengunyah, lidah mencampur makanan
tetapi bisa juga berada dibawah kontrol dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal
volunter. Atap mulut dibentuk oleh maksila akan menutup sulkus lateral dan mencegah
(palatum durum), velum (palatum mole), makanan jatuh ke arah lateral ke dalam
dan uvula. 2 sulkus di antara mandibula dan pipi.2,7,8
Struktur faring yang berperan dalam
proses menelan meliputi 3 otot konstriktor Fase oral
faringeal, yaitu superior, medial, dan Fase oral diawali saat lidah memulai
inferior, yang berorigo pada kranium, pergerakan posterior dari bolus makanan.
tulang hioid, dan kartilago tiroid, serta Selama fase ini lidah mendorong bolus ke
berinsersio pada bagian posterior median arah posterior sampai terjadi pemicuan fase
raphe. Otot krikofaringeal merupakan faring. Bagian tengah lidah secara ber-
struktur faring yang paling inferior. urutan menekan bolus ke arah posterior
Kontraksi otot ini akan mencegah melawan palatum durum. Suatu fase oral
masuknya udara ke dalam esofagus saat yang normal membutuhkan otot labial yang
respirasi. Otot ini melekat pada kartilago intak untuk memastikan penutupan bibir
krikoid dan bersama dengan lamina krikoid yang sempurna sehingga mencegah
membentuk valvula ke dalam esofagus makanan keluar dari rongga mulut;
yang dikenal dengan upper esophageal pergerakan lidah yang lengkap untuk
sphincter (UES) atau pharyngoesophageal mendorong bolus ke posterior; otot bukalis
Pandaleke, Sengkey, Angliadi; Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia 159
yang intak untuk memastikan material tidak faringeal dipicu melewati cricopharyngeal
jatuh ke dalam sulkus lateralis; dan otot juncture ke dalam esofagus,dengan nilai
palatum yang normal serta kemampuan normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum
untuk bernapas secara normal melalui bisa sampai 1 detik.2,7
hidung. Oral transit time adalah waktu
yang dihitung sejak awal pergerakan lidah Fase esofageal
untuk memulai fase oral sampai saat bolus
head melewati titik antara arkus faringeus Waktu transit esofageal diukur dari
anterior dan titik dimana batas bawah saat bolus memasuki esofagus pada UES,
mandibula menyilang dasar lidah, dengan melewatinya, dan masuk ke dalam lambung
nilai normal sekitar 1-1,5 detik.2,8 melalui LES, dengan nilai normal ber-
Pada saat lidah bergerak membawa variasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang
bolus ke arah posterior, reseptor sensorik dimulai pada puncak esofagus mendorong
pada orofaring dan lidah sendiri dirangsang bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal
untuk mengirimkan informasi sensorik ke sepanjang esofagus sampai LES terbuka
korteks dan batang otak. Selanjutnya, pusat dan memungkinkan bolus memasuki
pengenalan sensorik pada medula dalam lambung. Fase esofageal ini tidak dapat
nukleus traktus solitaris mengidentifikasi diintervensi dengan terapi latihan atau
stimulus menelan dan mengirimkan infor- teknik kompensasi apapun; oleh sebab itu,
masi ke nukleus ambigus yang kemudian bila ditemukan kecurigaan adanya
menginisiasi fase faringeal. Pada saat bolus gangguan pada fase esofageal, penderita
head melewati setiap titik yang terletak perlu dirujuk ke ahli gastroenterologi
antara arkus faringeus bagian anterior dan sehingga bisa dilakukan pemeriksaan dan
daerah dimana dasar lidah melintasi tepi penanganan lebih lanjut.2,8,9
bawah mandibula, fase oral berakhir dan
fase faringeal dipicu.2,8
DISFAGIA
Fase faringeal Penyebab disfagia
Fase faringeal dimulai saat terjadi Disfagia dapat terjadi pada satu atau
proses pemicuan. Pada fase ini terjadi lebih fase menelan dan dapat disebabkan
beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi oleh berbagai macam penyebab (Tabel 1).
velum serta penutupan sempurna dari port Penderita dengan gangguan neurologik
velopharyngeal untuk mencegah masuknya lebih sering mengalami gangguan pada fase
material ke dalam rongga hidung; 2) oral.8
elevasi dan pergerakan anterior dari hioid
dan laring; 3) penutupan laring oleh 3 Penilaian disfagia
sfingter untuk mencegah masuknya
material ke dalam jalan napas; 4) Penilaian disfagia dilakukan dengan
terbukanya sfingter krikofaringeal untuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
memungkinkan masuknya material dari pemeriksaan penunjang.9
faring ke esofagus; 5) melandainya dasar
lidah untuk membawa bolus ke faring Anamnesis
diikuti retraksi dasar lidah untuk Data harus dikumpulkan dari riwayat
menyentuh bagian anterior dari bulging kesehatan umum penderita. Riwayat
posterior dinding faring; dan 6) kontraksi neurologik yang mungkin berhubungan
dari atas ke bawah yang progresif dari otot- dengan beberapa penyakit yang dapat
otot konstriktor faringeal. Pharyngeal menyebabkan disfagia seperti multiple
transit time adalah waktu yang dihitung sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson
sejak bolus bergerak dari titik dimana fase dan Alzheimer harus ditanyakan.
160 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164
kali menelan untuk setiap bolus. Pemberian menutup pita suara sebelum dan selama
makanan dalam jumlah terlalu banyak dan proses menelan sehingga melindungi
terlalu cepat akan menyebabkan terkum- trakea dari aspirasi. Makanan atau
pulnya bolus di dalam laring dan menye- minuman di tempatkan dalam mulut,
babkan aspirasi sedangkan pemberian penderita diminta untuk menarik napas
makanan dalam jumlah sedikit dan secara dalam kemudian ditahan, lalu penderita
lambat akan mengurangi terjadinya menelan 1-2 kali sambil tetap menahan
aspirasi.2 napas, dan batuk dengan segera setelah
menelan.
Modifikasi diet - Super-supraglotic swallow: dirancang
Modifikasi tekstur bolus sangat untuk menutup pintu masuk jalan napas
diperlukan untuk mencegah terjadinya secara volunter dengan mengangkat
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair kartilago aritenoid ke anterior, ke
lebih sulit dikontrol dan lebih mudah bagian dasar dari epiglotis sebelum dan
menyebabkan aspirasi karena dapat selama proses menelan serta menutup
mengalir langsung ke dalam faring sebelum erat pita suara palsu.
terjadinya refleks menelan. Bolus yang - Mandehlson maneuever: penderita
lebih kental atau makanan padat lunak diminta untuk merasakan adanya
lebih aman karena kemungkinan untuk sesuatu bergerak pada bagian dalam
masuk dalam pintu laring lebih kecil. lehernya saat menelan, kemudian
Selain itu, bolus yang lebih kental melakukan proses menelan kembali
meningkatkan pergerakan lidah dan (menggunakan dry swallow atau
membantu mempercepat terjadinya inisiasi dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk
fase faringeal.2,17 menahan gerakan tadi selama 3-5 detik,
Rekomendasi lain yaitu makanan kemudian menelan dan rileks.
dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung Teknik untuk memperbaiki oral sensory
tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan awareness
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1
sendok teh setiap kali menelan. Penderita Terdapat beberapa jenis teknik yang
juga diminta untuk tidak makan sambil meliputi:2,19,20
berbicara. Bila menggunakan makanan 1. Menekan sendok ke arah bawah
kental, makanan dengan kekentalan seperti melawan lidah saat pemberian makanan
madu yang dapat dijadikan pilihan.18 ke dalam mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik
Compensatory swallowing maneuver sensorik tertentu, seperti bolus dingin,
Manuver menelan dirancang untuk bolus dengan tekstur tertentu, atau
menempatkan bagian tertentu dari proses bolus dengan rasa yang kuat seperti jus
menelan normal dibawah kontrol volunter lemon
yang meliputi:2,19 3. Memberikan bolus yang harus
dikunyah sehingga proses mengunyah
- Effortful swallow: bertujuan mem- tersebut akan memberikan stimulasi
perbaiki gerakan dasar lidah ke arah oral.
posterior selama fase faringeal. 4. Memberikan volume bolus yang besar.
Penderita diminta untuk menelan 5. Thermal tactile stimulation (TTS)
dengan menggerakan lidah ke arah dengan melakukan gerakan stroking
posterior secara kuat untuk membantu pada arkus faringeus anterior. Stroking
perjalanan bolus melewati rongga dilakukan menggunakan kaca laring
faring. berukuran 00 (telah dimasukan dalan es
- Supraglotic swallow: bertujuan selama ±10 detik) pada arkus faringeus
Pandaleke, Sengkey, Angliadi; Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia 163
anterior dari bagian dasar ke arah atas aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,
sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini obstruksi jalan napas bila bolus berukuran
diangap bisa memberikan stimulus cukup besar yang memasuki jalan napas,
sensorik ke batang otak dan korteks dan kematian.2,19
sehingga saat penderita sudah mulai
fase oral, maka fase faringeal akan
terpicu lebih cepat. PROGNOSIS
Gangguan menelan yang diakibatkan
Stimulasi elektrikal oleh stroke atau traumatic brain injury
Neuromuscular electrical stimulation memiliki potensi untuk pulih. Mann et al.
(NMES) bekerja dengan memberikan mendapatkan bahwa sekitar 87% penderita
stimulasi listrik pada otot-otot menelan stroke kembali ke diet semula setelah 6
lewat elektroda yang ditempatkan di atas bulan, tetapi hasil videofluroskopi menun-
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang jukkan terdapat 51% penderita yang tetap
penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan adanya gangguan pada
menunjukkan bahwa NMES merupakan proses menelan. Penderita dengan kondisi
alternatif terapi yang efektif dan aman yang statis atau progresif seperti amyo-
untuk penderita disfagia serta dapat thropic lateral sclerosis, multipel sklerosis,
digunakan pada anak-anak. Penggunaan muskular distrofik, dan Parkinsonisme
NMES ini efektif pada disfagia akibat harus dievaluasi secara periodik, dengan
penyakit tertentu seperti stroke, kanker mempertimbangkann pemberian nonoral
pada kepala dan leher, serta multipel feeding.8,23
sklerosis.20,21
SIMPULAN
Terapi latihan
Diagnosis dan penanganan dini pen-
Terapi latihan digunakan untuk me- derita disfagia sangat diperlukan. Pena-
nguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup nganan disfagia dalam bidang rehabilitasi
gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari medik bertujuan untuk mempertahankan
mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan asupan nutrisi yang adekuat dan me-
pita suara. Terapi latihan yang biasanya maksimalkan proteksi terhadap jalan napas;
digunakan antara lain: latihan LGS rahang, dalam hal ini sangat diperlukan kerjasama
latihan penguatan otot lidah, latihan tim rehabilitasi dengan bidang spesialisasi
adduksi pita suara, dan latihan metode lainnya.
Shaker.8,19
DAFTAR PUSTAKA
Penyesuaian peralatan yang digunakan
1. Skavaria AM, Schroeder-lopez RA.
Beberapa peralatan telah dibuat untuk
Dysphagia Management. In: Gillen G,
membantu penderita disfagia, termasuk Burkhard A, editors. Stroke
penderita yang juga mengalami kelemahan Rehabilitation: A Functional Based
ekstremitas atas yang akan memengaruhi Approach. St Louis: Mosby, 1998; p.
kemandirian penderita untuk makan. 407-22.
Peralatan tersebut misalnya gelas dengan 2. Longemann JA. Evaluation and Treatment
sedotan, nose cutout cup, plate guard, of Swallowing Disorder (Second
sedotan, serta garpu dan sendok yang Edition). Austin: Pro-ed, 1998.
dimodifikasi.8,22 3. Fass R, Gasiorowska A. Current approach
to dysphagia. Gastroenterology and
Hepatology Journal. 2009;5:269-79.
KOMPLIKASI DISFAGIA 4. Falsetti P, Acciai C, Palilla R, Bosi M,
Carpinteri F, Zingarelli A, et al.
Komplikasi disfagia dapat berupa Oropharyngeal dysphagia after stroke:
164 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164
INTISARI
LatarBelakang : Hipertensi merupakan penyakit darah tinggi. Hipertensi tidak dapat disembuhkan
namun dapat dikendalikan melalui kontrol kesehatan secara rutin, dan mengkonsumsi obat secara
teratur untuk mengurangi risiko komplikasi
Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh edukasi terhadap kepatuhan minum obat penderita
hipertensi di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.
Metode Penelitian : Penelitian quasi experiment dengan pre test and post test non-equivalent control
group. Jumlah sampel sebanyak 42 responden di bagi kelompok intervensi 21 responden dan
kelompok kontrol 21 responden dengan total sampling. Instrument kepatuhan minum obat
menggunakan lembar catatan minum obat. Hasil penelitian dianalisis dengan uji independent sampel t
tes.
Hasil Penelitian : Setelah dilakukan edukasi ada perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan
minum obat pada kelompok kontrol dan intervensi (p=0,001)
Kesimpulan : Edukasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan minum obat penderita hipertensi.
1
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …
pengetahuan seseorang terhadap objek baru post non-equivalent Control Group. Pada
dalam kehidupannya maka akan lahir sikap desain ini peneliti melakukan intervensi
positif yang nantinya kedua komponen ini pemberian edukasi pada kelompok intervensi
menghasilkan tindakan yang baru yang lebih dan kelompok kontrol mendapat informasi
baik. Dengan mendapatkan informasi yang sesuai SOP dari Puskesmas. Kepatuhan minum
benar, diharapkan penderita hipertensi obat diukur 7 hari sebelum edukasi dan 28 hari
mendapat bekal pengetahuan yang cukup setelah edukasi Sampel yang digunakan dalam
sehingga dapat menurunkan resiko komplikasi penelitian adalah berjumlah 42 responden
(Sutrisno, 2013). dengan kriteria inklusi penderita hipertensi
Puskesmas selain melakukan yang bersedia jadi responden, yang datang
pencegahan primer juga perlu melakukan rutin di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan
pencegahan sekunder yang lebih ditujukan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur.
pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan Kemudian dibagi menjadi dua kelompok
penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat intervensi 21 responden dan kelompok kontrol
dilakukan pencegahan tersier yaitu juga 21 responden. Pengambilan sampel
pengobatan dini untuk mencegah terjadinya dengan total sampling.
kearah komplikasi. Pengobatan hipertensi Data kepatuhan minum obat di dapat dari
dilakukan oleh penderita selama hidupnya catatan minum obat penderita hipertensi.
sehingga dituntut kerelaan dan kepatuhan HASIL PENELITIAN
penderita untuk menjalankan pengobatan 1. Karakteristik responden
dengan benar dan tekun serta mematuhi Tabel 1. Distribusi karakteristik responden
nasehat dokter. Ada beberapa langkah untuk berdasarkan IMT, usia, jenis kelamin,
menurunkan tekanan darah tinggi. Di pendidikan, pekerjaan, pendapatan di Pos
antaranya, menurunkan nilai angka sistolik Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto
maupun diastolik, dan pengobatan yang Kota Kediri Jawa Timur (pada bulan Juni
diarahkan untuk mengontrol tekanan darah 2016, n = 21)
sehingga tercapai tekanan yang normal. Peran
Karakteristik Kontrol Intervensi
perawat sebagai pemberi pendidikan kesehatan n % n %
kepada pasien hipertensi dapat menambah IMT
1. Kurus 0 0 1 4,8
pengetahuan dan bisa merubah perilaku pasien 2. Normal 18 85, 15 71,4
untuk berhidup sehat dan 3. Gemuk 3 7 5 23,8
14,
berkualitas(Kemenkes, 2011). 3
METODE PENELITIAN Usia
1. 36 – 44 2 9,5 0 0
Desain yang digunakan dalam penelitian tahun 7 3,3 10 47,6
ini adalah Quasi Eksperimen with Pre test and 2. 45 – 59 12 57. 11 52,4
2
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …
hipertensi
2.Perbedaan kepatuhan minum obat
Dari hasil penelitian yang disajikan
penderita hipertensi sebelum dan sesudah
pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata
edukasi pada kelompok kontrol dan
skor kepatuhan minum obat responden
intervensi
penderita hipertensi pada kelompok
Tabel 2 Hasil uji beda skor kepatuhan
minum obat responden penderita hipertensi kontrol mengalami peningkatan dari 5,05
obat sebelum dan sesudah pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi di Pos menjadi 23,00 dengan perbedaan rerata
Pembinaan Terpadu Kelurahan Mojoroto
Kota Kediri Jawa Timur (pada bulan Juni- 17,952. Rerata skor kepatuhan minum
Juli 2016, n = 21)
obatresponden penderita hipertensi pada
Kepatuhan
Rerata+ s.d p-value
Minum kelompok intervensi sesudah mendapat
obat
edukasidiet dan terapi obat mengalami
Kontrol 0,000*
Sebelum 5.05 + 1.499
peningkatan dari 5,10 menjadi 25,76
Sesudah 23.00+ 2.864
Intervensi 0,000*
dengan perbedaan rerata 20,667. Ada
Sebelum 5.10 + 1.338
P ISSN 2337-649X Anik N, Edukasi Terhadap Kepatuhan Minum …
Dyah Wijayanti
Prodi DIII Keperawatan Kampus Sutopo Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya
ABSTRAK
Individu dengan kanker serviks mungkin mengalami kecemasan karena sakit yang berkepanjangan
dan tidak mudah untuk disembuhkan. Salah satu upaya untuk mengurangi kecemasan adalah melalui
relaksasi autogenik (AT). Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh relaksasi autogenik pada
kecemasan pada pasien kanker serviks di Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas Balongsari dan Puskesmas
Rangkah Surabaya dengan desain penelitian one group pre-post test design. Sampel terdiri dari 15 orang
yang diberikan relaksasi autogenik selama dua minggu. Sampel dipilih dengan consecutive sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner sebelum dan
sesudah intervensi. Uji statistik menggunakan Wilcoxon Signed hasil Ranking Test.The menunjukkan bahwa
ada pengaruh yang signifikan pada pengurangan kecemasan pada pasien kanker serviks sebelum dan
sesudah intervensi autogenik relaksasi dengan p = 0,011 (p <0,05). Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa
efek relaksasi autogenik pada kecemasan pada pasien dengan kanker serviks. Penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan dengan lebih banyak sampel dan pengujian laboratorium melalui pemeriksaan Endorphin β untuk
mendapatkan hasil pengukuran yang komprehensif.
ABSTRACT
Individuals with cervical cancer may experience anxiety because of the prolonged illness and not
easy to be healed. One of the efforts to reduce anxiety is through autogenic relaxation (AT). The
purpose of this study is to analyze the effect of autogenic relaxation on anxiety in cervical cancer
patients at Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas Balongsari and Puskesmas Rangkah Surabaya with pre
experimental research design: one group pre-post test design. The sample consist of 15 persons given
autogenic relaxation for two weeks. Samples were selected by consecutive sampling. Data collection
was done by measuring the level of anxiety based on the questionnaire before and aft.er the
intervention. The statistical test used the Wilcoxon Signed Rank Test.The results show that there is
significant effect on anxiety reduction in cervical cancer patients before and after autogenic relaxation
intervention with p= 0.011 (p< 0.05). The conclusion of the research is that autogenic relaxation effects
on anxiety in patients with cervical cancer. Further studies need to be done with more samples and
laboratory testing through β Endorphin examination in order to obtain a comprehensive measurement
result.
JURNAL KEPERAWATAN 33
mencapai titik maksimum pada usia 50-an (Carr,
2004). Separuh dari seluruh kanker serviks
terjadi pada wanita usia 35 sampai 55 tahun
(Zeller, 2007). Kanker dengan insiden paling
banyak ke dua yang terjadi di Indonesia adalah
kanker serviks dengan 16 per 100.000
perempuan (Depkes, 2011). Studi pendahuluan
data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
rekapitulasi pasien kanker serviks tahun 2012,
terdapat 140 orang yang berobat di pelayanan
paliatif Puskesmas di Surabaya.
Individu yang mengalami kanker serviks
dapat mengalami kecemasan karena penyakit ini
berkepanjangan dan tak kunjung sembuh
(Nurhidayati & Mamnu’ah, 2005). Penderita
kanker akan mengalami pola perilaku yang
berbeda yaitu shock, marah, denial, bargaining,
keadaan tidak berdaya dan keputusasaan (Yani,
JURNAL KEPERAWATAN 34
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
2007). Tiga puluh dua persen pasien kanker Pada penelitian ini menggunakan Sample
stadium lanjut mengalami kecemasan kematian Size Tables for Clinical Studies edisi ke 3 oleh
tingkat sedang (Neel et al, 2012). Machin, Campbell, Tan & Tan (2009). Perhitungan
Berdasarkan studi pendahuluan besar sampel dengan membandingkan dua
didapatkan bahwa pasien kanker serviks di kelompok berpasangan (paired group), observasi
puskesmas Surabaya, mengalami kecemasan dilakukan sebelum dan sesudah suatu intervensi
ringan 2 orang (25%), cemas sedang 5 orang menggunakan rumus (Machin, , Campbell, Tan &
(62,5%) dan cemas berat 1 orang (12,5%). Tan (2009). Selanjutnya menggunakan tabel
Jika mengetahui dirinya menderita sample size for paired continuous data with two-
kanker stadium lanjut maka akan menampilkan sided α= 0,05 pada buku Sample Size Tables for
reaksi takut akan kematian, ketidakmampuan, Clinical Studies edisi ke 3 oleh Machin, Campbell,
diterlantarkan, ketergantungan, kehilangan Tan & Tan, tahun 2009, pada α = 0,05 uji dua
kemandirian, diputuskan dari hubungan fungsi arah dengan power = 90% (0,9) didapatkan hasil
peran (Tim Kanker Serviks, 2010). Pengobatan Npairs = 13.Perkiraan proporsi dropout penelitian
kanker merupakan stressor baru bagi penderita. (f) 15% maka berdasarkan rumus (Madiyono,
Perasaan negatif dan informasi yang kurang dari Moeslichan, Sastroasmoro, Budiman, & Purwanto,
petugas kesehatan tentang pelaksanaan, manfaat 2008) Sampel yang dibutuhkan adalah lima belas
dan efek samping dari kemoterapi dapat orang.
menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada Pengumpulan data tingkat kecemasan
pasien (Gale, 2000). dengan menggunakan kuesioner The Zung Self-
Peran perawat sangat penting dalam Rating Anxiety Scale (SAS) yang dimodifikasi
penanggulangan kecemasan dan berupaya agar sesuai dengan kondisi pasien kanker serviks dan
pasien tidak cemas melalui asuhan keperawatan sudah dilakukan uji validitas dengan nilai r>0,632
yang komprehensif secara biologis, psikologis, dan uji reliabilitas Cronbach’s Alpha sama dengan
sosial dan spiritual. Salah satunya adalah dengan 0,907. Pengukuran kecemasan dilakukan pada
relaksasi. Relaksasi dapat memutuskan pikiran- sebelum dan sesudah intervensi. Analisa data
pikiran negatif yang menyertai kecemasan deskriptif variabel yang berbentuk kategorik (usia,
(Greenberg,2002). Autogenik Training (AT) pendidikan, agama, pekerjaan, usia waktu
merupakan relaksasi dengan penyampaian sugesti menikah, jumlah anak, lama menderita,
positif yang membuat efek relaksasi psikologis dan pendapatan, stadium) atau dikategorikan
pada akhirnya akan didapatkan efek anxiolitik (kecemasan) disajikan dalam bentuk proporsi.
(Vidas, Smalc, Catipovic dan Kisik, 2011). Analisa bivariat menggunakan uji Wilcoxon Sign
Tujuan dari penelitian ini adalah Rank Test, dengan tujuan untuk mengetahui
menganalisis pengaruh relaksasi autogenik perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan
terhadap penurunan kecemasan pada pasien intervensi relaksasi autogenik.
kanker serviks
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAHAN DAN METODE
Relaksasi Autogenik Terhadap Kecemasan
Jenis penelitian ini adalah pra Pada Pasien Kanker Serviks
eksperimental dengan desain one group pre-post
test design. Penelitian ini hanya melibatkan satu Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu,
kelompok yang diberikan pelatihan relaksasi mulai tanggal 13 Mei–3 Juni 2014 di wilayah kerja
autogenik. Populasi pada penelitian ini adalah Puskesmas Pacar Keling, Balongsari dan Rangkah
seluruh pasien kanker serviks yang berobat pada Surabaya. Setelah mendapatkan intervensi
Poli Paliatif Puskesmas di Surabaya. Tehnik relaksasi autogenik, sebagian besar pembimbing
pengambilan sampel menggunakan tehnik klinik mengalami penurunan kecemasan. Hal ini
nonprobability sampling yaitu consecutive didukung bahwa pada saat sebelum diberikan
sampling. Lokasi penelitian ini adalah di wilayah intervensi, terdapat 8 orang (53%), kategori
kerja Puskesmas Pacar Keling, Puskesmas kecemasan sedang dan setelah diberikan
Balongsari dan Puskesmas Rangkah Surabaya intervensi, 9 orang (60%), mempunyai kategori
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 minggu, kecemasan ringan. Nilai rata-rata kecemasan pada
mulai tanggal 13 Mei-3 Juni 2014. Kriteria inklusi pre test 72,20 sedangkan nilai rata-rata
pada penelitian ini adalah pasien kanker serviks kecemasan pada post test 66,27. Penurunan
stadium lanjut yang menjalani pengobatan paliatif kecemasan ekstrim terjadi pada 3 orang (20%).
pada Puskesmas di Surabaya, pasien kanker Hal ini didukung karena pembimbing klinik
serviks yang berumur 30-55 tahun, sedangkan menderita kanker serviks sejak 1-2 tahun yang
kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien lalu, sudah selesai menjalani pengobatan
kanker serviks yang fisiknya tidak memungkinkan kemoterapi, mendapat dukungan sosial keluarga
dilakukan perlakuan relaksasi autogenik yang adekuat.
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
Tabel 1 Tabulasi silang pre test dan post test relaksasi autogenik terhadap tingkat
kecemasan pasien kanker serviks, Mei 2014
Kategori tingkat Pre test Post Wilcoxon
kecemasan test Sign Rank
Test
f % f % p
Ringan 4 27 9 60
Sedang 8 53 5 33,33 0,011
Berat 3 20 1 6,67
JURNAL KEPERAWATAN 35
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
individu. Perubahan gambaran diri terjadi pada Relaksasi autogenik membuat pembimbing
hampir semua penderita kanker, jika perubahan ini klinik mendapatkan kondisi rileks, peningkatan gaya
tidak terintegrasi dengan konsep diri maka kualitas berpikir positif dengan sealalu menanamkan pada
hidup penderita akan menurun secara drastis diri sendiri bahwa pembimbing klinik harus
(Indrayani, 2007). menjalani hidup dengan ikhlas, semangat dan
Dari teori diatas, maka pada pembimbing selalu berusaha untuk memperoleh yang terbaik.
klinik yang mendapatkan terapi kemoterapi maupun Relaksasi autogenik juga dapat meningkatkan
radiasi, diperlukan relaksasi untuk menurunkan koping menjadi lebih adaptif yaitu dengan selalu
kecemasan dan efek samping pengobatan serta mengutarakan permasalahan yang berhubungan
tidak kalah penting adalah dukungan keluarga, dengan kesehatan sehingga mendapatkan
terutama dukungan suami dari pasien yang pengobatan yang tepat. Relaksasi juga dapat
mendapat terapi radiasi, karena adanya perubahan memberikan perasaan tenang dan tentram
fungsi seksual. Perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dapat menurunkan kecemasan, hal ini
selama maupun setelah relaksasi, mempengaruhi dibutuhkan dalam upaya memperoleh kesehatan
kerja saraf otonom. Respon emosi dan efek pembimbing klinik. Relaksasi autogenik adalah
menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini terapi yang diarahkan pada diri sendiri (self-
mengubah fisiologi dominan simpatis menjadi directed therapy) yang memfokuskan pada repetisi
dominan sistem parasimpatis (Oberg,2006). atau pengulangan frase status yang dirasakan
Autogenic Training (AT) telah digunakan tubuh seperti kehangatan dan rasa berat pada
secara luas untuk mengontrol ansietas dengan tubuh (American Holistic Nurses’ Association, 2005).
melatih sistem syaraf otonom untuk menjadi rileks Autogenik Training (AT) merupakan intervensi
dan berefek pada stabilitas emosi seseorang untuk meningkatkan body’s natural melalui
(Hurgobin, 2006). Relaksasi autogenik bertujuan mekanisme self-recuperative dan merupakan satu-
agar melalui konsentrasi pasif, seseorang mampu satunya tehnik yang melibatkan tehnik pikiran dan
untuk mengembalikan pengaruh rangsangan tubuh dengan dasar riset medis, sehingga dapat
aktivitas simpatis dari sistem saraf otonom untuk dijelaskan secara ilmiah bagaimana tehnik ini
mengaktifkan aktifitas parasimpatis (Hurgobin, bekerja (Sadigh, 2001). Pada sistem limbik dan
2006). Untuk merasakan hasil dari relaksasi korteks serebri diharapkan pasien akan mempunyai
autogenik, diperlukan waktu yang bervariasi antara respons adaptif yang positif. Dari respons
masing-masing individu, namun rata-rata seseorang penerimaan diri, setelah pasien mendapatkan
telah merasakan efek positifnya setelah 2-3 minggu pembelajaran maka persepsi pasien menjadi positif,
latihan rutin, dengan frekuensi yang paling baik koping positif dan akhirnya perilaku pasien dalam
untuk mendapatkan hasil yang optimal adalah 2 perawatan menjadi positif. Seseorang dengan
sampai 3 kali setiap hari, yang dapat dilakukan gambaran diri yang positif (harga diri yang tinggi
pada waktu luang klien seperti saat bangun tidur, dan keyakinan terhadap diri sendiri yang tinggi)
istirahat siang dan sebelum tidur (Sadigh, 2001). memiliki respon biologis terhadap stres dan tingkat
Dalam intervensi pada penelitian ini, distres yang rendah dan kesehatan mental yang
terbukti bahwa efek positif dari AT berhasil lebih baik (Taylor, 2012).
meningkatkan keefektifan dalam mengurangi Autogenic training (AT) merupakan
tingkat kecemasan dengan latihan rutin 2 kali standar intervensi keperawatan yang telah terdaftar
sehari selama 2 minggu. Didukung dengan analisa di Nursing Intervention Classification (NIC)
data pada penelitian ini yaitu pada pre-post dan telah digunakan secara luas dalam intervensi
menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan keperawatan untuk mengatasi kecemasan dalam
nilai p=0,011 (p<0,05), hal ini menunjukkan bahwa berbagai situasi dengan tingkat evidence based
terdapat pengaruh tingkat kecemasan pre dan post level I (Ackly, 2008). Pelaksanaan relaksasi
pemberian intervensi relaksasi autogenik pada autogenik membutuhkan kondisi psikologis yang
pasien kanker serviks. Pemikiran yang positif, tenang dan tingkat keyakinan spiritual yang baik.
perasaan pasrah, kondisi lingkungan yang tenang Muatan Auto-sugesti yang dilakukan dalam
serta posisi yang nyaman dalam melakukan relaksasi autogenik dapat dimodifikasi dengan
relaksasi autogenik dapat meningkatkan keyakinan ucapan do’a sesuai keyakinan pembimbing klinik
positif terhadap diri, meningkatkan integritas diri, sehingga akan mengopimalkan fase penerimaan
membentuk koping dan respon emosi yang positif, alam bawah sadar. Pada respons sosial, diharapkan
meningkatkan pertahanan diri dan perasaan tenang pasien mempunyai koping yang konstruktif
serta menurunkan aktifitas saraf simpatis sehingga sehingga kecemasan berkurang dan akan
menurunkan sekresi hormon berdampak terhadap interaksi sosial yang positif,
norepinefrin-katekolamin, meningkatkan baik dengan keluarga, teman, tetangga dan
vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan masyarakat.
vaskularisasi yang pada akhirnya dapat Teori adaptasi merupakan suatu
menurunkan emosional. pendekatan yang dinamis, perawat berperan dalam
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
memberikan asuhan keperawatan yaitu yang terjadi dapat diobservasi dengan segera
memfasilitasi potensi perempuan untuk beradaptasi (Tomey & Alligood, 2006). Stimulus fokal pada
terhadap faktor stimulus yang membuat suatu pengalaman aspek perempuan dengan kanker
perubahan baik itu positif maupun yang negatif. serviks adalah penyakit kanker serviks itu sendiri.
Tujuan keperawatan menurut teori adaptasi Roy Penyakit kanker serviks adalah penyakit yang
adalah meningkatkan respon adaptasi individu ditularkan melalui hubungan seksual (Meszaros,
terhadap keempat model adaptasi tanpa 2006). Penyakit ini terjadi karena adanya HPV yang
mengeluarkan energi terhadap rangsangan stimulus menginfeksi serviks perempuan. Penderita kanker
yang dialaminya sehingga individu tersebut memiliki ini akan mengalami perubahan-perubahan fisik
integritas, dengan asumsi dasar bahwa salah yang berdampak pada perubahan aspek lainnya
satunya adalah manusia dipandang sebagai sistem baik psikologis maupun sosial. Stimulusi selanjutnya
adaptif yang mempunyai kemampuan berespon adalah stimulus kontekstual yaitu semua stimulus
terhadap stimulus apapun, baik berasal dari yang dialami individu baik internal maupun
lingkungan eksternal untuk mencapai kondisi sehat eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat
yang optimal (Roy, 1991, dikutip dalam Tomey & diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan.
Alligood, 2006). Individu, keluarga, kelompok, Rangsangan ini muncul secara bersamaan dan
masyarakat sebagai penerima asuhan keperawatan dapat menyebabkan respon negatif pada stimulus
dipandang sebagai holistic adaptive system dalam fokal (Tomey & Alligood, 2006). Terjadinya stimulus
segala aspek sebagai satu kesatuan. Manusia ini dapat dipicu oleh adanya stimulus fokal.
merupakan satu sistem terdiri dari fisiologis, Stimulus kontekstual adalah pada aspek spiritual,
psikologis, sosial dan spiritual (Kozier, Erb & jenis kelamin, tahap perkembangan, konsep diri,
Snyder, 2004). peran fungsi, independensi, pola interaksi sosial,
Sistem adalah satu kesatuan yang mekanisme koping, stress emosional dan fisik,
dihubungkan karena fungsinya, sebagai kesatuan religius serta lingkungan fisik. Stimulasi residual
untuk beberapa tujuan dan adanya saling adalah stimulus yang berpengaruh terhadap
ketergantungan dari setiap bagiannya. Sistem kemampuan adaptasi individu. Stimulasi ini memiliki
terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan
balik. Model Adaptasi Roy mengidentifikasi bahwa situasi yang ada tetapi sulit untuk diobservasi.
input sebagai stimulus merupakan kesatuan Stimulus ini terdiri atas kepercayaan, sikap, sifat
informal, bahan-bahan atau energi dari lingkungan individu yang berkembang sesuai dengan
yang dapat menimbulkan respon yaitu stimulus pengalaman masa lalu. Hal ini memberikan proses
fokal, residual, kontekstual (Robinson & Kish, belajar untuk toleransi. Pada tahap ini pengalaman
2001). Mekanisme kontrol sebagai subsistem masa lalu adalah hal yang sangat berpengaruh. Roy
adaptasi dibagi atas regulator dan kognator. Output (1989, dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan
adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau bahwa beberapa faktor pengalaman masa lalu
secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari relevan untuk menjelaskan bagaimana keadaan
dalam maupun dari luar dibedakan sebagai respon saat ini.
adaptif dan maladaptif. Respon adaptif dapat Sikap, budaya dan karakter adalah faktor
meningkatkan integritas seseorang. Hal ini dapat residual yang sulit diukur dan memberikan efek
terlihat bila seseorang mampu melaksankan tujuan pada situasi sekarang. Adanya stimulus-stimulus
yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, tersebut dikontrol dengan suatu mekanisme koping.
perkembangan, reproduksi dan keungggulan. Mekanisme tersebut akan berproses terhadap
Sedangan respon maladapatif dapat terlihat bila stimulus tersebut yang akan menghasilkan output
seseorang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai yang dapat diamati, diukur atau secara subyektif
dengan tujuan (Roy, 1991, dalam Tomey & dapat dilaporkan baik yang berasal dari dalam
Alligood, 2006). maupun dari luar diri inidvidu tersebut. Output pada
Model adaptasi Roy merupakan model penerapan model adaptasi Roy terhadap aspek
yang sesuai diterapkan dalam asuhan keperawatan psikologis, sosial, dapat dilihat dari adanya
pada perempuan dengan kanker serviks. Perubahan penurunan kecemasan. Roy menjelaskan bahwa
yang terjadi pada kehidupan penderitaanya sebagai keperawatan sebagai proses interpersonal yang
akibat dari proses penyakit perlu diadaptasi oleh diawali adanya kondisi maladaptasi akibat
perempuan maupun keluarganya. Stimulus fokal, perubahan lingkungan baik internal maupun
kontekstual maupun residual pada perempuan eksternal. Manusia sebagai sistem, berinteraksi dan
dengan kanker serviks merupakan stressor yang mengatasi lingkungan melalui mekanisme adaptasi
menuntut perempuan dan keluarganya bio-psiko-sosial-spiritual (holistik). Didalam
mempertahankan kehidupan melalui mekanisme menghadapi perubahan atau stimulus, manusia
adaptasi. Stimulus fokal merupakan stimulus yang harus menjaga integritas dirinya dan selalu
langsung berhadapan dengan individu dan beradaptasi secara menyeluruh (holistic adaptive
mengalami efek segera dan perubahan perilaku system). Tindakan keperawatan diarahkan untuk
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
mengurangi atau mengatasi dan meningkatkan pembimbing klinik untuk berlatih relaksasi
kemampuan adaptasi manusia. Peran perawat autogenik, hal ini dikarenakan pembimbing klinik
adalah memfasilitasi potensi klien melakukan sudah beradaptasi dan merasa nyaman dengan
adaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan rumahnya sendiri, relaksasi autogenik mudah
dasarnya untuk mempertahankan homeostatis atau dilakukan, tidak memerlukan baju dan tempat
integritasnya (Roy and Andrews, 1991). Salah satu khusus serta pembimbing klinik sudah bisa
tehnik yang digunakan dalam beradaptasi merasakan manfaatnya baik secara fisik maupun
menghadapi perubahan adalah dengan relaksasi. psikologis. Hasil penelitian didukung dengan analisa
Autogenic training (AT) merupakan standar data pre-post test menggunakan uji Wilcoxon Sign
intervensi keperawatan yang telah terdaftar di Rank Test dengan nilai p=0,002 (p<0,05), hal ini
Nursing Intervention Classification (NIC) dan telah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tingkat
digunakan secara luas dalam intervensi kecemasan antara sebelum dan sesudah pemberian
keperawatan untuk mengatasi kecemasan dalam intervensi relaksasi autogenik pada pasien kanker
berbagai situasi dengan tingkat evidence based serviks.
level I (Ackly, 2008). Analisis berdasarkan data
demografi pembimbing klinik meliputi bahwa KESIMPULAN DAN SARAN
mayoritas usia waktu menikah adalah antara 15-20
tahun, mayoritas mempunyai anak 3-4 orang, Relaksasi autogenik yang dilakukan 2 kali
hampir separuh pembimbing klinik mempunyai per hari selama 2 minggu dapat menurunkan
pendapatan antara 500.000-1.000.000, hal ini kecemasan pasien kanker serviks. Respon emosi
merupakan faktor resiko kanker serviks. dan efek menenangkan yang ditimbulkan dari
Suwiyoga (2007) menyatakan bahwa relaksasi ini mampu mengubah fisiologi dominan
berbagai penelitian menunjukkan terdapat simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis.
hubungan yang bermakna antara lesi pra kanker Saran dari peneliti bagi pelayanan
dan kanker serviks dengan aktivitas seksual pada kesehatan, yaitu bahwa pemberian relaksasi
usia dini, khususnya sebelum umur 17 tahun. Hal autogenik dapat digunakan sebagai intervensi
ini diduga ada hubungan dengan belum matangnya keperawatan mandiri yang diberikan oleh perawat
daerah transformasi pada usia tersebut bila sering dalam menurunkan kecemasan pasien kanker
terpapar. Paritas dapat meningkatkan insiden serviks dalam mencapai kualitas hidup yang lebih
kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi baik. Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya
dari aktivitas seksual dan saat mulai kontak intervensi diberikan dalam waktu yang lebih lama
pertama kali daripada akibat trauma persalinan. dan menggunakan sampel yang lebih banyak
(Suwiyoga, 2007). Tingkat sosial ekonomi dengan kelompok kontrol sebagai pembanding
seseorang mempengaruhi terjadinya kanker serviks. dalam pemberian intervensi sehingga diharapkan
Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian hasil yang lebih baik. Pada penelitian selanjutnya
yang menyebutkan bahwa infeksi HPV lebih sering juga disarankan pengukuran kecemasan, sebaiknya
terjadi pada wanita dengan tingkat pendidikan dan selain menggunakan kuesioner, juga menggunakan
pendapatan yang rendah. Kaitan antara status uji laboratorium melalui pemeriksaan β Endorphin
sosial ekonomi yang rendah dengan status gizi agar didapatkan hasil pengukuran yang
adalah karena status gizi berhubungan dengan komprehensif.
daya tahan tubuh baik terhadap infeksi maupun
kemampuan untuk melawan keganasan (Suwiyoga, DAFTAR PUSTAKA
2007).
Pada penelitian ini terdapat beberapa Ackly, B.J., 2008. Evidence_Based Nursing Care
keterbatasan, diantaranya adalah jumlah sampel Guidelines : Medical-Surgical Interventions.
yang sedikit, sehingga tidak ada kelompok kontrol, Amsterdam:Mosby Elsevier
kondisi rumah pembimbing klinik yang beragam
dan ada beberapa yang kurang ideal untuk Alwisol., 2004. Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi.
digunakan sebagai tempat relaksasi, sehingga Malang: Penerbit Universitas
peneliti perlu memodifikasi ruangan sesuai dengan Muhammadiyah Malang
kondisi rumah pembimbing klinik, misalnya atap
rumah dari asbes, hal ini akan terasa panas dan American Holistic Nurses’ Association, 2005. Holistic
kurang nyaman untuk digunakan sebagai tempat Nursing: A Handbook for Practice (4th
relaksasi, sehingga harus menggunakan kipas angin edition ed.). Sudbury: Jones and Bartlett
terlebih dahulu sampai suhu ruangan dirasakan Publishers.
sejuk, setelah itu baru kegiatan relaksasi dimulai.
Adanya keterbatasan pada kondisi rumah
pembimbing klinik pada saat melakukan relaksasi
autogenik, namun hal ini tidak mengurangi antusias
Vol. IX No 1 April 2016 ISSN 1979 - 8091
Carr, A., 2004. Positive Psychology: The Science of psychological well-being. KwaZuluNatal:
Happiness and Human Strengths. Hove Faculty of Arts University of Zululand.
and New York: Brunner-Routledge Taylor
& Francis Group. Iconomou, G., Iconomou, A.V., Argyriou, A.A.,
Nikolopoulos, A., Ifanti, A.A., & Kalofonos,
Depkes R.I., 2011. Kanker Leher Rahim Lebih Cepat H.P, 2008. Emotional distress in cancer
di temukan, Lebih Besar Kemungkinan patients at the beginning of chemotherapy
Sembuh. Leaflet. Pusat Promosi and its relation to quality of life. Journal of
Kesehatan. Jakarta Selatan. Leaflet. Clinical Oncology, 13(2), 217-22
Edianto, D., 2006. Kanker Serviks. Buku Acuan Indrayani, Desy, 2007. Pengalaman Hidup Klien
Nasional Onkologi Ginekologi. Yayasan Kanker Serviks di Bandung. Diakses
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Edisi tanggal 7 Juli 2014. Website
Pertama. Cetakan Pertama. Jakarta www.jurnalkanker serviks.com.
Einstein, M.H., Joanne, K.R., Richard, J.C., Kanji et al., 2004. Autogenic training reduces
Jacquelyn, M.S., James, P.H, Joseph, P.C, anxiety after coronary angioplasty:
2011. Quality of life in cervical cancer A randomized clinical trial. Journal.
survivors: Patient and provider American Journal of Clinical Hypnosis; Jul
perspectives on common complications of 2004; 47, 1; ProQuest Psychology Journal
cervical cancer and treatment.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, 2004.
Farada, R.A, 2011. Pengaruh teknik relaksasi Fundamentals of Nursing Concepts,
autogenik terhadap tingkat kecemasan Process and Practice 7th Ed., New Jersey:
pada ibu primigravida trimester III di Pearson Education Line
wilayah kerja puskesmas Kotakulon
Kabupaten Bondowoso. Skripsi. PSIK : Machin, D., Campbell, M., Tan, S. B., & Tan, S. H.,
Universitas Jember. 2009. Sample Size Tables for Clinical
Studies (3th ed.). West Sussex: Wiley-
Fitriana N.A dan Ambarini, T.K (2012). Kualitas Blackwell. Retrieved. Diakses tanggal 21
Hidup Pada Penderita Kanker Serviks Maret 2014. Website
Yang Menjalani Pengobatan http://www.doc88.com/p-
Radioterapi. Jurnal Psikologi Klinis 910614898608.html
dan Kesehatan Mental. Vol. 1 No.
02, Juni 2012. Fakultas Psikologi Unair Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S.,
Surabaya. Budiman, I., dan Purwanto S.H., 2008.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam:
Frumovitz, M., Charlotte C.S., Leslie R.S., Mark F.M, Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2008.
Anuja J.J., Taylor, W., Patricia, E., Therese Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
B.B., Charles F.L., David M.G., & Diane ed 3. Jakarta: C.V. Sagung Seto; 302-330.
C.B, 2005. Quality of Life and Sexual
Functioning in Cervical Cancer Survivors. Meszaros, Gary, 2006. Crash Course: Endocrine and
Journal of Clinical Oncology Vol. 23 Reproductive Systems. Philadelphia:
Number 30, 23:7428-7436. Elseiver Mosby
Gale et al., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Nasir dan Munith., 2011. Dasar-dasar Keperawatan
Onkologi. Jakarta : EGC Jiwa: Pengantar Teori Abdul Nasir dan
Abdul Munith. Jakarta: Salemba Medika
Greenberg, J.S., 2002. Comprehensive stress
management( 7th ed). New York:The Neel et al., 2012. Determinant of Death Anxiety in
McGraw-Hill Companies. Patients With Advanced Cancer. Diakses
tanggal 5 April 2014. Jam 5.25 WIB.
Herdata, 2008. Kemoterapi. Diakses tanggal 2 Juli Website
2014. Website http://spcare.bmj.com/content/early/201
wwww.ebookfkunsyiah.wordpress.com. 3/08/22/bmjspcare-20 12- 000420.abstract
Nurhidayati, dan Mamnu’ah., 2005. Hubungan Vidas, M., Smalc, V.F., Catipovic, M., dan Kisik, M,
Tingkat Pengetahuan tentang kanker 2011. The Application of Autogenic
Serviks Dengan Tingkat Kecemasan pada Training in Councseling Center for Mother
Klien Kanker Serviks .Jurnal Kebidanandan and Child in Order to Promote
Keperawatan 1: 95-104. Breastfeeding. Collegium Antropologium,
723-731.
Oberg, E., 2006. Mind-body Techniques to Reduce
Hypertension’s Chronic Effects. Integrated Yani, D.I., 2007. Pengalaman Hidup Klien Kanker
Medicine Journal. Vol.8:5. Serviks di Bandung. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Robinson & Kish, 2001. Edvance Practice Nursing.
St. Louis : Mosby Inc. Zeller, Jhon L., 2007. Carcinoma of The Cervix.
Journal of American Medical Association
Sadigh, M. R., 2001. Autogenic Training: A Mind (298):19. Diakses tanggal 5 Januari 2014.
Body Approach to the Ttreatment of Jam 15.36. Website
Fibromyalgia and Chronic Pain Syndrome. http://jama.amaassn.org
Haworth Medical Press.
Aris Widiyanto
Akper Mamba'ul 'Ulum Surakarta
7
8 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 6, No 1,Mei 2016, hlm 01-117
PENDAHULUAN
Tuberkulosis atau TB adalah besar. Sehingga dapat terjadi kasus TB
penyakit menular yang disebabkan oleh kebal obat atau TB MDR (multy drug
Mycobacterium tuberculose yang resistant) dan apabila oarang lain tertular
merupakan bakteri tahan asam (BTA). TB maka akan mengalami resistensi yang
masih merupakan masalah kesehatan di sama (Depkes RI, 2007). Dengan kondisi
dunia. Menurut laporan World Health pasien TB di Kabupaten Klaten pada
Organization (WHO) tahun 2012, tahun 2013 yang banyak diderita oleh usia
sebanyak 8,6 juta orang telah terinfeksi produktif (usia 25-44 tahun) yaitu sebesar
TB dan 1,3 juta orang meninggal karena 36,94% atau sebanyak 232 kasus dan
TB. Secara nasional, target untuk angka kesembuhan yang menurun maka
penemuan kasus baru TB paru BTA masih merupakan masalah yang perlu
positif adalah 70%. Tetapi di Jawa diteliti.
Tengah, target ini belum terpenuhi. Dari Kesembuhan pasien TB
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
penemuan kasus baru BTA positif (case diantaranya adalah umur, tingkat
detection rate/ CDR) berkisar pada angka pendidikan, status gizi, faktor lingkungan
59%. Sedangkan untuk angka dan kepatuhan pasien dalam minum obat.
kesembuhan (cure rate) di Jawa Tengah Umur berhubungan dengan metabolisme
pada tahun 2011 mengalami penurunan tubuh termasuk dalam proses penyerapan
bila dibandingkan tahun 2010 yaitu dari obat. Semakin tua, maka proses
85,15% menjadi 82,50%. Semakin metabolisme akan semakin menurun.
menurun pada tahun 2012 yaitu 81,46%. Sedangkan pendidikan merupaka salah
Angka tersebut masih dibawah target satu dari faktor eksternal yang
nasional yaitu sebesar 85%. Di Kabupaten mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada
Klaten juga terjadi penurunan angka orang dengan tingkat pendidikan tinggi
kesembuhan. Pada tahun 2013 pada biasanya bertindak lebih preventif pada
tribulan I, angka kesembuhan mencapai suatu penyakit. Untuk status gizi, pada
93% tetapi menurun pada tribulan II yaitu orang dengan berat badan kurang akan
86% dan semakin menurun pada tribulan mempunyai risiko terhadap penyakit
III menjadi 82%. infeksi, sementara orang yang mempunyai
Penderita TB tentu merupakan berat badan di atas ukuran normal akan
beban baik secara ekonomi maupun mempunyai risiko penyakit degeneratif
psikologis bagi keluarganya. Diperkirakan (Supriasa dkk, 2002). Kondisi lingkungan
seorang pasien TB dewasaakan yang meningkatkan risiko penyakit TB
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 adalah kondisi lingkungan yang lembab
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat karena kuman TB berkembangbiak
pada kehilangan pendapatan tahunan dengan baik pada lingkungan gelap dan
rumah tangganya sekitar 20-30% (Depkes lembab. Faktor pengaruh yang terbesar
RI, 2007). Selain itu, pada pasien TB yang dalam kesembuhan pasien TB adalah
tidak dapat menyelesaikan pengobatannya kepatuhan minum obat. Kepatuhan ini
secara tuntas maka resiko terjadi resistensi diartikan sebagai perilaku pasien untuk
kuman TB terhadap obat TB semakin minum obat sesuai dengan jenis, dosis,
cara minum, waktu minum dan jumlah
Aris Widiyanto, Hubungan Kepatuhan Minum Obat 9
DAFTAR RUJUKAN
DepKes RI. 2006. Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes RI.
Hayati, Armelia, 2011. Evaluasi
Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru Tahun 2010 –
2011 di Puskesmas Kecamatan
Pancoran Mas Depok. Jakarta: