Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Pendidikan


Profesi Dokter Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Disusun Oleh :
David Febryanto, S.Ked 196100802003
Lika Hanifah, S.Ked 196100802021
Ummu Halimatus Sa’diyah, S.Ked 196100802061

Pembimbing:
dr. Ricka Brillianty Zaluchu, Sp. KF

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
REFERAT

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

Diajukan oleh :

David Febryanto, S.Ked 196100802003


Lika Hanifah, S.Ked 196100802021
Ummu Halimatu Sa’diyah, S.Ked 196100802061

Telah disetujui oleh :

Pembimbing

dr. Ricka Brillianty Zaluchu, Sp. KF

ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa referat ini adalah murni ide penulis yang
diarahkan dan diberikan bimbingan penuh oleh seluruh pembimbing penulis dan tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat pula
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain terkecuali
yang secara jelas tertulis mengacu dan disebutkan di dalam daftar pustaka. Namun
apabila di kemudian hari ternyata di dalam referat ini terdapat tindakan plagiat
ataupun menggunakan jasa orang lain maka penulis bersedia menerima sanksi yang
diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Fakultas Kedokteran Universitas
Palangka Raya.

Palangka Raya, November 2021

Penulis

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga referat dengan judul
“DISASTER VICTIM IDENTIFICATION” dapat terselesaikan dengan baik. Dalam
penyusunan referat ini terdapat banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi
namun pada akhirnya dapat dilalui berkat adanya bimbingan, arahan, dukungan, dan
bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Rasa hormat dan terima
kasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doa semoga Allah SWT membalas
segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Amin ya Rabbal Alamin.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis
berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan masukan bagi
pembaca.
Palangka Raya, November 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................... iii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iv
DAFTAR ISI....................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1


1.2 Tujuan Penulisan................................................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan............................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 8

2.1 Dasar Disaster Victim Identification.................................................. 8


2.2 Proses Disaster Victim Identification ................................................ 9
2.3 Fase-fase Disaster Victim Identification............................................. 10
2.4 Metode Identifikasi............................................................................. 17
BAB III KESIMPULAN.................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 32

v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Tim DVI...................................................................................11
Gambar 2.2 Kontainer dan Perbedaharaan Pemeriksa........................................ 13
Gambar 2.3 Sidik Jari.......................................................................................... 21
Gambar 2.4 Tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.......................... 22

Gambar 2.5 Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat................................................... 24

Gambar 2.6 Gambaran panoramic X ray pada anak-anak.................................. 25


Gambar 2.7 Gigi seri berbentuk sekop........................................................................ 27

Gambar 2.8 Komponen dari molekul DNA................................................................ 28

Gambar 2.9 Bukti Dokumen............................................................................... 29

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang dimiliki negara
Indonesia memungkinkan terjadinya bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam,
faktor non alam, maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta dampak psikologis yang
dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan sosial. 1 Menurut World
Health Organization (WHO) bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang membutuhkan respon
dari luar masyarakat atau wilayah yang terdampak. Sedangkan menurut Undang-
undang Nomor 24 tahun 2007 bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak biologis.2
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan telah memberikan
amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi
terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan dengan tujuan
memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur dengan
layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Selain itu terdapat pula dampak
hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus
criminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Disaster
Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan
prosedur dalam mengidentifikasi identitas korban meninggal akibat suatu bencana
massal yang tetap harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mengacu
pada standar baku Interpol. Metode identifikasi korban meninggal melibatkan banyak

7
pemeriksaan forensik dan penelitian ilmiah. Sistem peradilan di masing-masing
negara akan menetapkan persyaratan-persyaratan legislative dalam mengidentifikasi
korban meninggal. Maka dari itu penulis tertarik untuk mempelajari secara dalam
mengenai DVI.
1.2. Tujuan Penulisan
Referat ini disusun untuk membantu memberikan informasi dan bahan belajar
dalam memahami DVI.
1.3. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
agar dapat mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai DVI.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Disaster Victim Identification


Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat
bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan
ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari
dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari
tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.1
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari
proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan
hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan
kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya
dalam pencarian korban.Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok
maka akan semakin baik.2
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya
identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober
2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi
yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir
99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.3 Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004
dan No.Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada
Bencana Massal.4,5 Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
1. UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

9
2. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
3. UU No.23 tentang kesehatan
4. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
6. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
7. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
2.2. Proses Disaster Victim Identification
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua
tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian
dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim
dari berbagai institusi.6 Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai
dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja
dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman
yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di
TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih
berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah. 6,7 Struktur tim DVI dapat
dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan tergantung dari besarnya suatu
bencana.
1. Tim Spesialis
Tim spesialis dapat berupa cabang kedokteran dari patologis forensic,
odontologis forensic, ahli sidik jari, biologis/genetik forensic, dan antropologis
forensik.

10
2. Tim Ahli Lain
Tim ahli lain yang dimaksud adalah pekerjaan ahli dibidang lain yang turut serta
dalam proses DVI seperti fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti,
perekam scene dan post-mortem, tim pengontrol informasi dan data, tim
pengumpul dan manajemen barang bukti, pengelola kamar mayat, penyidik,
petugas logistik, petugas penghubung, petugas orang hilang, dan ahli teknologi
dan informasi.

Gambar 2.1 Struktur Tim DVI8


2.3. Fase-fase DVI
Proses DVI meliputi 4 fase dimana setiap fase mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yang terdiri dari:9
1. Fase 1: Fase TKP/The Scene
Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:8,9,11
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan
dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada
setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah
kemungkinan tercampur atau hilang

11
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh
dipisahkan
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh
korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni
masuk dalam fase kedua dan seterusnya.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada
tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,
langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga
adalah documentation atau pelabelan.10 Pada langkah to secure organisasi yang
memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP
agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah:10,11

a. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan


(penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan
memasang police line.
b. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
c. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
d. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
e. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
f. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban. Pada langkah documentation organisasi yang memimpin

12
komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah
ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan
label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.10

Gambar 2.2 Kontainer dan Perbedaharaan Pemeriksa12

Hal-hal yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:13

a. Membuat sector-sektor atau zona pada TKP


b. Memberikan tanda pada setiap sector
c. Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh/ibu jari kiri jenazah
d. Memberikan label hijau (property label) pada barang-barang pemilik yang
tercecer
e. Membuat sketsa dan foto setiap sector
f. Foto jenazah dari jarak jauh, sedang, dan dekat beserta label jenazahnya
g. Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut:

13
(1) Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto
pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP
(2) Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan
(3) Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas
(4) Keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol
DVI PM
h. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah
i. Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek
j. Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan beri label sesuai nomor properti.
k. Evakuasi jenazah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
2. Fase 2: Fase Pengumpulan Data Jenazah Post Mortem/The Mortuary
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–
lengkapnya mengenai korban.9,11,12 Kegiatan pada fase 2 adalah sebagai berikut:10
a. Menerima jenazah/ potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh,
potongan jenazah dan barang‐barang
c. Membuat foto jenazah
d. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah

14
e. Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang
tersedia
f. Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat
g. Pemeriksaan antropologi forensic: pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
i. Membuat rontgen foto jika perlu
j. Mengambil sampel DNA
k. Menyimpan jenazah yang sudah diperiksa
l. Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di
mayat yang ditemukan di TKP
m. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data


primer dan data sekunder sebagai berikut:13

a. Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)


b. Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi


DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board
DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain
mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk

15
memperlambat pembusukan.8,11 Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh
jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli
forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli
antropologi forensik.14 Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-
macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian
Interpol menentukan, Primary Indentifiers yang terdiri dari sidik jari, dental
records, dan DNA. Sedangkan Secondary Identifiers yang terdiri atas medical,
property, photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data ante mortem dan post mortem, semakin banyak yang cocok
maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi
bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.15,16
3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information
Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat
dengan jenazah.10,15 Hal yang dilakukan meliputi:9
a. Menerima keluarga korban
b. Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya
yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota
keluarganya dalam bencana tersebut
c. Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll
d. Data‐data Ante Mortem gigi‐geligi
(1) Data ‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat;

16
(2) Sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari
klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga
pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. Mengambil sampel DNA pembanding
f. Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka data‐data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat)
g. Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM
h. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data
4. Fase 4: Fase Analisa/Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.10,11 Kegiatan :
a. Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit
TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
b. Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
c. Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan
Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
d. Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
e. Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
f. Mengumpulkan hasil identifikasi korban;

17
g. Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban
yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;
h. Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.
5. Fase 5: Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-
legal serta administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.9
2.4. Metode Identifikasi
Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering
merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena adanya
kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. 16 Tujuan utama
pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali
korban dan membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan
mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Permasalahan yang dapat terjadi
adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai
perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya
merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses
identifikasi sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana tetapi
memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas

18
korban.15 Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante
mortem dan post mortem yang didapat dari:12

1. Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.


2. Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum
dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis,
bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18
1. Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun
terdaftar sebagai korban selamat).
2. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit,
yaitu:

1. Bagian korban hilang (Missing Branch)


a. Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit)
b. Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
c. Daftar korban (Victim list)
2. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery)
a. Koordinator tim pemulihan (Recovery coordinator)
b. Tim pencari (Search team)
c. Tim dokumentasi (Photography team)
d. Tim pemulihan jenazah (Body recovery team)
e. Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property recovery team)
f. Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue station)
3. Bagian kamar mayat (Mortuary Branch)
a. Unit keamanan (Security unit)
b. Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
c. Unit pengumpul data post mortem (Post-mortem record unit)

19
d. Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit)
4. Pusat Identifikasi (Identification Centre)
a. Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section)
b. Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized section),
terdiri atas :
1) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
2) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section)
3) Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section)
4) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
5) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
6) Bagian analisis DNA (DNA analysis section)
7) Badan identifikasi (Identification board)
8) Bagian pelepasan jenazah (Body release section)

Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu:

1. Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan (perhiasan dan


pakaian), dan dokumentasi.
2. Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology, antropologi, dan
biologi molekuler.

Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu:
1. Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode
yang paling diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi:12
a. Sidik jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai
dalam penentuan identitas:18

20
1) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari
berbeda tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama
tidak ada.
2) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi
empat bulan dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh
kembai pada pola yang sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat
menyebabkan bekas luka permanen.
3) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi
dan diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk
kepentingan perbandingan.

Gambar 2.3 Sidik Jari


b. Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan
hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian
tubuh yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban,
mengenal pasti pelaku dalam kasus jenayah berdasarkan kesan gigitan pada
korban dan memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Gigi
adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap
trauma, pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik
berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan
gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang
tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya tahan terhadap

21
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat
dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak,
seperti halnya kebakaran.15,16

Gambar 2.4 Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak
tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.12
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan 2 (dua) kemungkinan:12
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi
atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara
lain mengenai: umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk
wajah. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur
korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang
hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur
atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi

22
yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban.12
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi,
bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung
pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram)
dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat
data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan
sebagainya. 12,13
Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi
melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien
yaitu pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi
korban dengantepat. Semakin lama terpapar dalam air maka proses
pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan
menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer. Proses identifikasi
pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer dengan
sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya
ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun
yang berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang
terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 16
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan
otot mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal
ligament atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan
gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara
tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses
pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila
dan mandibula yangakan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat
lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepasakan sulit dilakukan

23
pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam air. Hal ini pula
yangmempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui pemeriksaan
gigi geligi pada korban tenggelam.

Gambar 2.5 Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi
Postmortem dan HilangnyaJaringan Lunak14

a). Identifikasi odontologi forensik


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:4
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

 Penentuan Usia berdasarkan gigi


Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik

24
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 5
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi
lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan
garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line.
Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah
dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan
bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan
dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan
melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi
permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama
dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk
menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan
22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya
bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan
pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik.7,11

25
Gambar 2.6 Memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-
anak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan
perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari
akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler
(b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.16
 Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi
-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita
berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat
ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis
kelamin.12
 Penentuan Ras berdasarkan gigi
Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun
beberapa morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara
ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk

26
sekop. Insisivus pada maksila berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2
sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk
seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus, aksesoris
berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras
mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada
20% mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian
bawah mandibula berbentuk lurus.13

Gambar 2.7 Gigi seri berbentuk sekop. 12

Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap :15
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang
bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh:13
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self
curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up,

27
dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat
memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu
memudahkan identifikasi.12
c. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh
Alex Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa
regio dari DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang
polimorfik dari DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana
sekarang lebih dikenal dengan sebutan “DNA profile.”DNA ini sendiri
biasanya disamakan sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan
membawa informasi herediter yang dibutuhkan organiseme terebut untuk
melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi pengaturan biologis
yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang dimana
struktur dasar yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas
tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan
sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari basa nitrogen DNA, yaitu
adenine, guanine, thymine dan cytosine.15

28
Gambar 2.8 Komponen dari molekul DNA. Molekul DNA
terbentuk dari deoxynucleotida (a): gula deoxyribosa (b)
memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari
empat tipe yang berbeda dari basa nitrogen (c) melekat pada
atom karbon C1, grup hidroksil melekat pada atom karbon
nomor 3, dan grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27

Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu


organisme. Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang
terorganisir ke dalam 23 kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas
dua set kromosom. Dua set tersebut berasal dari tiap orangtua, yang memberikan 46
kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosomal dan pasangan ke 23 ialah
kromosom X dan Y. Yang dimana pada perempuan memiliki dua kromosom X
sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom Y.13
Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut dengan gen. Hal
inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang sangat vital paa
struktur dan fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang dikoding DNA berbentuk
polimorfik yang artinya timbul dalam beberapa bentuk, dan inilah yang digunaan
pada ilmu forensik. Sistem yang sangat diketahui dengan baik saat ini ialah sistem
golongan darah ABO.3,7

Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab
(usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun
lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum
antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah
forensik (dalam identifikasi korban bencana).5,6

2. Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan, fotografi/visual)


a. Riwayat medis

29
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan,
etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka,
bukti penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan
informasi krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang
dapat membedakan karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat
diperhitungkan dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat
pacu jantung dan alat prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi.
Tato, tahi lalat, dan kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas.14
b. Kepemilikan
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh
perhiasan, baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode
identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial
yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi
cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban.
Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai,
merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik
pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Dokumentasi seperti KTP,
SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan sarana
yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.16

Gambar 2.9 Bukti dokumen

30
BAB III
KESIMPULAN

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap


bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa
bumi, gunung meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. 1 Bencana
yang terjadi selalu menimbulkan kondisi gawat darurat. Kondisi ini dapat berakhir
pada terjadinya krisis kesehatan di masyarakat yang terkena bencana. Umumnya
korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim
pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu
ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Undang-undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan
masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal.
Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat
dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya
semasa hidup.11
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana
massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta
mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter
spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang),
kepolisian, fotografi, dan ahli DNA. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana
yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang
runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan
terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem,
semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem,
fase anter mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari

31
Interpol proses identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan
sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi
sekunder mencakup datas medis, kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam
menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia
mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia
adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara
Vol.41 (4). Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.
2. Anonym. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : URL:http://www.bnpb.go.id.
3. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush
Fires Tragedy : A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police;
2011.
4. Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat BencanaEdisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2012; p.1-151-61.
5. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.
6. Disaster Victim Identification Guide. 2014. INTERPOL.
7. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification
Guide. [Online] 2009. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/gui
de.pdf
8. Budiyanto A, Widiatmaka W, Dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FK-UI; 1997; p.197-206.
9. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol
XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang: 2009; p.87-92.
10. Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in
the Indian context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.
11. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.

33
12. Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National
Policing Improvement Agency; 2011.
13. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.
14. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York:
CRC Press;1997.
15. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62
16. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014.
Yogyakarta: UNY

34

Anda mungkin juga menyukai