Disusun Oleh :
David Febryanto, S.Ked 196100802003
Lika Hanifah, S.Ked 196100802021
Ummu Halimatus Sa’diyah, S.Ked 196100802061
Pembimbing:
dr. Ricka Brillianty Zaluchu, Sp. KF
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
REFERAT
Diajukan oleh :
Pembimbing
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa referat ini adalah murni ide penulis yang
diarahkan dan diberikan bimbingan penuh oleh seluruh pembimbing penulis dan tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat pula
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain terkecuali
yang secara jelas tertulis mengacu dan disebutkan di dalam daftar pustaka. Namun
apabila di kemudian hari ternyata di dalam referat ini terdapat tindakan plagiat
ataupun menggunakan jasa orang lain maka penulis bersedia menerima sanksi yang
diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Fakultas Kedokteran Universitas
Palangka Raya.
Penulis
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga referat dengan judul
“DISASTER VICTIM IDENTIFICATION” dapat terselesaikan dengan baik. Dalam
penyusunan referat ini terdapat banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi
namun pada akhirnya dapat dilalui berkat adanya bimbingan, arahan, dukungan, dan
bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Rasa hormat dan terima
kasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doa semoga Allah SWT membalas
segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Amin ya Rabbal Alamin.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis
berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan masukan bagi
pembaca.
Palangka Raya, November 2021
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................... iii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iv
DAFTAR ISI....................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 32
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Tim DVI...................................................................................11
Gambar 2.2 Kontainer dan Perbedaharaan Pemeriksa........................................ 13
Gambar 2.3 Sidik Jari.......................................................................................... 21
Gambar 2.4 Tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.......................... 22
vi
BAB I
PENDAHULUAN
7
pemeriksaan forensik dan penelitian ilmiah. Sistem peradilan di masing-masing
negara akan menetapkan persyaratan-persyaratan legislative dalam mengidentifikasi
korban meninggal. Maka dari itu penulis tertarik untuk mempelajari secara dalam
mengenai DVI.
1.2. Tujuan Penulisan
Referat ini disusun untuk membantu memberikan informasi dan bahan belajar
dalam memahami DVI.
1.3. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
agar dapat mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai DVI.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
2. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
3. UU No.23 tentang kesehatan
4. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
6. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
7. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
2.2. Proses Disaster Victim Identification
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua
tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian
dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim
dari berbagai institusi.6 Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai
dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja
dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman
yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di
TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih
berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah. 6,7 Struktur tim DVI dapat
dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan tergantung dari besarnya suatu
bencana.
1. Tim Spesialis
Tim spesialis dapat berupa cabang kedokteran dari patologis forensic,
odontologis forensic, ahli sidik jari, biologis/genetik forensic, dan antropologis
forensik.
10
2. Tim Ahli Lain
Tim ahli lain yang dimaksud adalah pekerjaan ahli dibidang lain yang turut serta
dalam proses DVI seperti fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti,
perekam scene dan post-mortem, tim pengontrol informasi dan data, tim
pengumpul dan manajemen barang bukti, pengelola kamar mayat, penyidik,
petugas logistik, petugas penghubung, petugas orang hilang, dan ahli teknologi
dan informasi.
11
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh
dipisahkan
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh
korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni
masuk dalam fase kedua dan seterusnya.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada
tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,
langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga
adalah documentation atau pelabelan.10 Pada langkah to secure organisasi yang
memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP
agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah:10,11
12
komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah
ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan
label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.10
Hal-hal yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:13
13
(1) Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto
pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP
(2) Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan
(3) Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas
(4) Keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol
DVI PM
h. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah
i. Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek
j. Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan beri label sesuai nomor properti.
k. Evakuasi jenazah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
2. Fase 2: Fase Pengumpulan Data Jenazah Post Mortem/The Mortuary
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–
lengkapnya mengenai korban.9,11,12 Kegiatan pada fase 2 adalah sebagai berikut:10
a. Menerima jenazah/ potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh,
potongan jenazah dan barang‐barang
c. Membuat foto jenazah
d. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah
14
e. Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang
tersedia
f. Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat
g. Pemeriksaan antropologi forensic: pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
i. Membuat rontgen foto jika perlu
j. Mengambil sampel DNA
k. Menyimpan jenazah yang sudah diperiksa
l. Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di
mayat yang ditemukan di TKP
m. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data
15
memperlambat pembusukan.8,11 Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh
jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli
forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli
antropologi forensik.14 Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-
macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian
Interpol menentukan, Primary Indentifiers yang terdiri dari sidik jari, dental
records, dan DNA. Sedangkan Secondary Identifiers yang terdiri atas medical,
property, photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data ante mortem dan post mortem, semakin banyak yang cocok
maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi
bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.15,16
3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information
Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat
dengan jenazah.10,15 Hal yang dilakukan meliputi:9
a. Menerima keluarga korban
b. Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya
yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota
keluarganya dalam bencana tersebut
c. Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll
d. Data‐data Ante Mortem gigi‐geligi
(1) Data ‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat;
16
(2) Sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari
klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga
pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. Mengambil sampel DNA pembanding
f. Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka data‐data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat)
g. Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM
h. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data
4. Fase 4: Fase Analisa/Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.10,11 Kegiatan :
a. Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit
TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
b. Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
c. Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan
Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
d. Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
e. Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
f. Mengumpulkan hasil identifikasi korban;
17
g. Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban
yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;
h. Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.
5. Fase 5: Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-
legal serta administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.9
2.4. Metode Identifikasi
Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering
merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena adanya
kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. 16 Tujuan utama
pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali
korban dan membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan
mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Permasalahan yang dapat terjadi
adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai
perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya
merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses
identifikasi sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana tetapi
memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas
18
korban.15 Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante
mortem dan post mortem yang didapat dari:12
Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit,
yaitu:
19
d. Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit)
4. Pusat Identifikasi (Identification Centre)
a. Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section)
b. Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized section),
terdiri atas :
1) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
2) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section)
3) Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section)
4) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
5) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
6) Bagian analisis DNA (DNA analysis section)
7) Badan identifikasi (Identification board)
8) Bagian pelepasan jenazah (Body release section)
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu:
1. Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode
yang paling diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi:12
a. Sidik jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai
dalam penentuan identitas:18
20
1) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari
berbeda tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama
tidak ada.
2) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi
empat bulan dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh
kembai pada pola yang sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat
menyebabkan bekas luka permanen.
3) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi
dan diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk
kepentingan perbandingan.
21
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat
dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak,
seperti halnya kebakaran.15,16
Gambar 2.4 Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak
tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.12
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan 2 (dua) kemungkinan:12
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi
atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara
lain mengenai: umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk
wajah. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur
korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang
hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur
atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi
22
yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban.12
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi,
bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung
pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram)
dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat
data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan
sebagainya. 12,13
Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi
melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien
yaitu pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi
korban dengantepat. Semakin lama terpapar dalam air maka proses
pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan
menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer. Proses identifikasi
pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer dengan
sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya
ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun
yang berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang
terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 16
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan
otot mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal
ligament atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan
gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara
tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses
pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila
dan mandibula yangakan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat
lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepasakan sulit dilakukan
23
pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam air. Hal ini pula
yangmempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui pemeriksaan
gigi geligi pada korban tenggelam.
Gambar 2.5 Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi
Postmortem dan HilangnyaJaringan Lunak14
24
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 5
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi
lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan
garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line.
Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah
dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan
bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan
dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan
melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi
permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama
dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk
menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan
22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya
bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan
pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik.7,11
25
Gambar 2.6 Memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-
anak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan
perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari
akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler
(b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.16
Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi
-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita
berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat
ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis
kelamin.12
Penentuan Ras berdasarkan gigi
Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun
beberapa morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara
ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk
26
sekop. Insisivus pada maksila berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2
sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk
seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus, aksesoris
berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras
mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada
20% mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian
bawah mandibula berbentuk lurus.13
27
dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat
memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu
memudahkan identifikasi.12
c. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh
Alex Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa
regio dari DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang
polimorfik dari DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana
sekarang lebih dikenal dengan sebutan “DNA profile.”DNA ini sendiri
biasanya disamakan sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan
membawa informasi herediter yang dibutuhkan organiseme terebut untuk
melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi pengaturan biologis
yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang dimana
struktur dasar yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas
tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan
sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari basa nitrogen DNA, yaitu
adenine, guanine, thymine dan cytosine.15
28
Gambar 2.8 Komponen dari molekul DNA. Molekul DNA
terbentuk dari deoxynucleotida (a): gula deoxyribosa (b)
memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari
empat tipe yang berbeda dari basa nitrogen (c) melekat pada
atom karbon C1, grup hidroksil melekat pada atom karbon
nomor 3, dan grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab
(usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun
lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum
antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah
forensik (dalam identifikasi korban bencana).5,6
29
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan,
etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka,
bukti penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan
informasi krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang
dapat membedakan karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat
diperhitungkan dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat
pacu jantung dan alat prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi.
Tato, tahi lalat, dan kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas.14
b. Kepemilikan
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh
perhiasan, baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode
identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial
yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi
cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban.
Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai,
merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik
pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Dokumentasi seperti KTP,
SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan sarana
yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.16
30
BAB III
KESIMPULAN
31
Interpol proses identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan
sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi
sekunder mencakup datas medis, kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam
menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia
mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia
adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara
Vol.41 (4). Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.
2. Anonym. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : URL:http://www.bnpb.go.id.
3. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush
Fires Tragedy : A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police;
2011.
4. Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat BencanaEdisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2012; p.1-151-61.
5. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.
6. Disaster Victim Identification Guide. 2014. INTERPOL.
7. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification
Guide. [Online] 2009. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/gui
de.pdf
8. Budiyanto A, Widiatmaka W, Dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FK-UI; 1997; p.197-206.
9. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol
XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang: 2009; p.87-92.
10. Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in
the Indian context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.
11. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.
33
12. Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National
Policing Improvement Agency; 2011.
13. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.
14. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York:
CRC Press;1997.
15. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62
16. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014.
Yogyakarta: UNY
34