Anda di halaman 1dari 40

BAHAN AJAR

KONSEP DASAR
PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN

( PENGANTAR CIVICS )

Drs. Sri Harmianto, M.Pd

Diedarkan terbatas untuk kalangan sendiri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

I
DAFTAR ISI

BAB 1 . LATAR BELAKANG PENDIDIKAN MORAL


A. Theory of Americanization . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B. Materi Civics / PKn. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
C. Civics Burgerkunde ke PKN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

BAB 2. NILAI DAN MORAL


A. Nilai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
B. Sikap. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
D. Norma . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . 10
E. Moral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . 11
F. Etika. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

BAB 3. PENGERTIAN PENDIDIKAN MORAL


A. Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
B. Moral & Etik. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
C. Pancasila dan Norma Moral. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20

BAB 4. BENTUK PENDIDIKAN MORAL


A. Bentuk Pendidikan Moral di Indonesia . . . . . . . . . . 23
B. Pendidikan Moral dan Causa Materialis Pancasila. . 24
C. Obyek Moral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
D. Kesadaran Moral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
E. Perkembangan Moral dalam Pendidikan Moral . . . 27
 Teori Perkembangan Moral Nouman J Bull
 Teori Perkembangan Moral Jean Piaget
 Teori Perkembangan Moral John Dewey
 Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

Daftar Pustaka 37

i
Prolog

Ciri negara yang menjunjung Nilai Demokrasi :

 Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia


 Adanya lembaga perwakilan rakyat yang representatif
 Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang akan
duduk di lembaga perwakilan rakyat tersebut
 Adanya pembatasan waktu bagi pemegang kekuasaan
Pemerintahan negara
 Adanya Pendidikan Civics

( Pakar ahli Hukum International Commisions of Jurist )

ii
BAB 1. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN MORAL

A. THEORY OF AMERICANIZATION
Mata Pelajaran Civics pada mulanya dimunculkan di Amerika Serikat pada tahun 1790. Mata
pelajaran civics ini bertujuan untuk “mengamerikakan orang amerika” atau dikenal sebagai THEORY
OF AMERICANIZATION. Hal ini dikarenakan orang Amerika sebenarnya berasal dari berbagai
bangsa / etnis eropa dan sekitarnya, yamg membawa kultur dan kekhasan ras masing-masing.
Keanekaragaman ini menimbulkan permasalahan karena masing-masing ras tersebut berusaha
berintegrasi dan berakumulasi yang dilandasi perasaan senasib dan sepenanggungan untuk menjadi
suatu bangsa besar agar dapat mencapai tujuan bersama dalam satu negara yaitu Amerika. Mengingat
emigrasi besar-besaran dari daratan Eropa untuk mencari tanah baru tersebut ternyata memiliki
karakteristik tersendiri yaitu ras yang berasal dari negara yang sama ternyata saat di Amerika menempati
wilayah baru yang sama pula, berakibat menimbulkan rasa kedaerahan atas ras yang sejenis untuk lebih
menonjolkan dari ras yang lain. Selain masalah keanekaragaman ras harus diamati pula yaitu dasar
filosofi tiap orang yang mencari tanah air baru dan harapan masa depan tersebut ternyata didasarkan
rasa tidak puas menjadi warganegara di negara Eropa yang pada saat itu banyak mendapat tekanan dari
penguasa tirani / raja. Rasa ketidakpuasan atas dinjak-injaknya hak asasi pribadi oleh penguasa tersebut
menjadi dasar pembentuk filosofi bangsa Amerika yang menginginkan pengakuan atas hak pribadi pada
tiap warganegara, yang pada akhirnya memunculkan paham individualisme yang berujung pada
Liberalisme.

Asal ras yang beraneka macam pada bangsa Amerika, menimbulkan keinginan pada bangsa Amerika
untuk menyatukan persepsi dan pemahaman para warganegara melalui jalur pendidikan
“pewarganegaraan” yang pada akhirnya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang dikenal
sebagai CIVICS. Mata pelajaran Civics diajarkan di sekolah-sekolah pada mulanya dengan materi
tentang kepemerintahan (government), hak dan kewajiban warganegara yang merupakan bagian dari
ilmu politik.
Menurut asal etimologis, Civics berasal dari kata latin CIVIS yang berarti sebagai warganegara, sesama
warganegara, sesama penduduk, orang yang setanah air, bawahan atau kawula. Istilah Civics merupakan
sebutan kehormatan yang menunjukan status keanggotaan negara yaitu “Civis Rimanus Sum” yang
artinya aku warganegara Romawi, sedangkan orang dari luar negara tersebut dianggap bukan sebagai
warganegara Romawi yang dibedakan oleh hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain yang
bukan warganegara Romawi.

1
Untuk memberikan gambaran apakah Civics tersebut maka ada beberapa definisi yang dapat
disimak sebagai bahan membentuk pengertian baru.
1. Civics is study of city government and the duties of citizens ( the advanced Learner’s Dictionary of
current English, 1954)
2. Civics the element of political science or that science dealing with right and duties of citizens
( Dictionary of Education, 1956)
3. Civics is the department of political science dealing with right of citizens and duties of citizens
(Webster New Collegiate Dictionary, 1954)
4. Civics is the science right or duties of citizenship, especially as the subyect of school course ( A
Dictionary of American, 1956 )
5. Civics is Science of government ( Webster’s New Coneise Dictionary ).
6. Civics is the science of citizenship, the relation of man, the individual to man in organized
collections, the individual to the state ( Creshore Education )
7. Civics is the study of government and citizenship that is the duties right and priviledge of
citizenship ( Edmonson, 1968 )

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa Civics menyangkut :


1. Warganegara dengan hak dan kewajibannya
2. Pemerintah
3. Negara
4. Civics adalah cabang dari ilmu politik

Menurut Prof Dr. Ahmad Sanusi SH, MPA diperoleh pengertian bahwa sejauh Civics dapat dipandang
sebagai disiplin dalam ilmu politik maka fokus studinya adalah “ mengenai kedudukan dan peranan
warganegara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan
konstitusi negara yang bersangkutan ”

Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Studi Civics tidak bertitik tolak dengan negara atau masyarakat sebagai kesatuan makro, sebaliknya
studi Civics memusatkan titik tolaknya pada individu warganegara sebagai kesatuan mikro,
2. Variable yang relevan dengan individu sebagai kesatuan mikro adalah Variabel Kontinum yaitu:
tingkahlaku, potensi, kesempatan, hak dan kewajiban, cita-cita dan aspirasi, kesadaran usaha dan
kegiatan, kemampuan, peranan hasil dan potensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
sesuai dan sepanjang serta sejauh yang diberikan konstitusi negaranya,

2
3. Studi Civics mendapat input dari disiplin ilmu-ilmu lain antara lain Ilmu Politik. Berhubung
dengan itu korelasi dengan disiplin ilmu-ilmu tersebut sangat erat sekali sehingga implikasinya
yang logis membuat studi Civics akan berkembang maju dan terarah jika disiplin ilmu yang lainnya
itu juga berkembang,
4. Civics berkepentingan dan bertugas menyelidiki dan menemukan kebenaran dalam arti logis dan
faktuil, yaitu sepanjang mengenai variabel kontinum di atas dari warganegara ditinjau dari
konstitusi negara yang bersangkutan mempunyai kedudukan sentral dalam studi Civics dan sebaik
kriteria dan ukuran ( frame of reference : bingkai ) yang paling obyektif dalam studi Civics.
5. Implikasi / dampak penggunaan kriteria atau ukuran bagi Studi Civics yaitu:
a. Jika yang digunakan kriteria atau ukuran yang bertentangan dengan konstitusi negara yang
bersangkutan hasilnya keliru atau nonsens
b. Jika menggunakan kriteria dan ukuran yang lebih rendah dari konstitusi maka tidak
menjamin obyektivitas bahkan dapat berakibat sangat subyektif dan kadang-kadang
membahayakan.
c. Jika menggunakan kriteria dan ukuran yang bersifat spekulatif dan tidak penjabaran maka
penafsirannya juga akan spekulatif belaka.

B. MATERI CIVICS
Nu’man Sumantri dalam buku Metode Mengajar Civics mengutip pendapat Mariam D Irish yang
menyatakan bahwa isi Civics itu pada dasarnya mengambil isi dari ilmu politik yaitu bagian
demokrasi politiknya, Isi atau materi demokrasi politik tersebut adalah :
1. Konteks idee demokrasi yaitu teori-teori tentang demokrasi politik, teori mayority rule,
minority right, konsep-konsep demokrasi dalam masyarakat, teori demokrasi dalam
pemerintahan, pemerintahan yang demokratis.
2. Konstitusi Negara yaitu sejarah legal status, masalah konstitusi dalam nation building
(pembangunan bangsa), identitas bangsa, integrasi ( persatuan bangsa ), penetrasi,
partisipasi bernegara, distribusi / pembagian kekuasaan.
3. Inputs dari sistem politik yaitu penghargaan pendapat umum dalam kehidupan politik,
studi tentang politik behaviour, kebutuhan pokok manusia, tradisi, status sosial, etnik
group, komunikasi, pengaruh persahabatan, lingkungan kerja.
4. Partai politik dan presure group yaitu sistem kepartaian, fungsi partai politik, peranan
pressure group (kelompok penekan), public relation.
5. Pemilihan Umum (election) yaitu dengan pemilu tercapai distribusi kekuasaan melalui
sistem pemilihan umum.

3
6. Lembaga-lembaga decision maker ( pembuat keputusan ) yaitu legislator dan
kepentingan masyarakat, cara konstitusi memberi peranan policy makers (pembuat
kebijakan) kepada presiden, peran presiden sebagai legislator, proses dan kegiatan dalam
lembaga legislatif.
7. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (administrasi negara)
yaitu kedudukan presiden menurut konstitusi, kontrol lembaga legislatif terhadap presiden
dan birokrasi, pemerintahan, pemerintahan dibawah konstitusi, jasa-jasa pemerintah
(perlindungan thd pemerintah dan fasilitas pemerintah), organisasi dan manajemen
pemerintahan, pemerintahan lokal (local government).
8. Lembaga Yudikatif yaitu sistem peradilan dan peradilan administrasi / tata usaha negara,
hak dan kedudukan seseorang dalam pengadilan, hubungan lembaga antar yudikatif
legisatif dan eksekutif.
9. Output dari sistem demokrasi politik yaitu hak individu dan kemerdekaan individu
sesuai konstitusi, kebebasan pers dan media massa, kebebasan akademis, hak
perlindungan yang sama, cara penduduk memperoleh dan kehilangan kewarga negaraan.
10. Kesejahteraan Umum dan Pertahanan Negara yaitu tugas negara dan kesempatan
warganegara dalam memperoleh hak milik kekayaan, tujuan pajak untuk mencapai
kesejahteraan umum, politik luar negeri dan kkeselamatan nasional, hubungan
internasional.
11. Perubahan sosial (Social Change) dan Demokrasi Politik yaitu demokrasi politik,
pembangunan negara, demokrasi politik yang effektif, mengisi demokrasi politik,
tantangan warganegara menghadapi perkembangan iptek, cara menghadapi organisasi
agama dan keluarga, pendidikan dan demokrasi politik.

Untuk memperkaya materi Civics dan Civic Education yang sesuai dengan syarat, kriteria dan ukuran
Konstitusi - UUD, maka hendaknya memasukkan unsur-unsur:

C. CIVICS – BURGERKUNDE KE PKN


1. Civics telah dikenal di nusantara sejak jaman Hindia Belanda dengan nama Burgerkunde. Ada
dua buku yang digunakan pada waktu itu yaitu Indische Burgerchapkunde karangan P.
Tromp (1936). Buku ini berisikan masalah pribumi, pengaruh barat, bidang sosial, ekonomi,
hukum, ketatanegaraan dan kebudayaan, hindia belanda, rumah tangga dunia, pertanian,
perburuhan, perubahan dan pertumbuhan Dewan Rakyat, Ketatanegaraan Hindia Belanda,
hLingkungan fisik

4
2. Sosial, pendidikan, kesehatan
3. Ekonomi keuangan
4. Politik, hukum, pemerintah
5. Etika, agama
6. Pengetahuan Teknologi
ukum dan pelaksanaan volksraad, pendidikan, kesehatan masyarakat, pajak dan tentara/angaktan
laut.
Selain itu terdapat buku Recht en Plicht (Indische Burgerschapkunde voor iedereen) karangan
JB Vortman (1940) yang berisikan Badan Pribadi, kemasyarakatan, pendewasaan, pernikahan / keluarga,
eigendom Eropa dan hak-hak atas tanah tanah, hak agraria atas tanah, kedaulatan raja dan kewajiban
warganegara dalam pemerintahan Belanda, sejarah pemerintahan Hindia Belanda, masalah perundang-
undangan, sejarah alat pembayaran dan kesejahteraan. Dari dua buku tersebut maka dapat diketahui
bahwa pada waktu itu belum dapat kesatuan pendapat tentang materi burgerkunde. Tidak semua
sekolah lanjutan mendapat pelajaran burgerkunde ( Civics ), karena sebagian besar mendapat pelajaran
Staats Inrechting ( tata negara ).
Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan 1950 tidak ditemukan pelajaran
Civics karena saat itu bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan . Barulah pada
tahun 1950 dalam GBPP untuk Sekolah Menengah Atas ditemukan pelajaran Kewarganegaraan yang
diberikan disamping Tata Negara yang berisikan tugas dan kewajiban warganegara terhadap
pemerintah, masyarakat dan keluarga serta diri sendiri, misalnya;
1. akhlak, pendidikan, pengajaran dan ilmu pengetahuan
2. kehidupan rakyat, kesehatan, imigrasi, perusahaan, perburuhan, agraris, kemakmuran rakyat,
kewanitaan dll
3. keadaan dalam dan luar negeri, pertahanan rakyat, perwakilan pemerintahan dan permasalahan luar
negeri
Ilmu Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran diberikan bersama-sama dengan mata pelajaran
Hukum Tata Negara demikian pula ujiannya , tetapi penilaiannya dipisahkan satu dengan lainnya.
Pada tahun 1955, ada buku Kewarganegaraan yaitu “Inti Pengetahuan Warganegara” disusun
oleh Mr.JC.Simorangkir, Mr.Gusti Mayur dan Mr.Sumintarjo. Dalam kata pendahuluan dinyatakan
Kewarganegaraan bertujuan: “untuk membangkitkan dan memelihara keinsyafan dan kesadaran
bahwa warganegara Indonesia itu mempunyai tanggungjawab terhadap diri sendiri, terhadap
masyarakat, terhadap negara (good citizenship)”. Adapun materinya yaitu Indonesia tanah airku,
Indonesia Raya, Bendera dan lambang negara, warganegara beserta hak dan kewajibannya,
ketatanegaraan, keuangan negara, pajak perekonomian termasuk koperasi.

5
Pada tahun 1961 istilah Kewarganegaraan diganti dengan istilah “Kewargaan Negara”
atas prakarsa Dr. Saharjo SH dengan alasan agar sesuai Pasal 26 ayat 2 UUD 1945 yang
menitikberatkan pada “Warga” sebagai warganegara suatu negara. Istilah Kewargaan Negara baru
digunakan pada tahun 1967 melalui Instruksi Direktur Jenderal Pendidikan Dasar No. 31 tahun 1967
tanggal 28 Juni 1967.
Perkembangan buku yang digunakan setelah Dekrit 5 Juli 1959 yaitu pelajaran Civics yang
semula berisikan Pidato Kenegaraan Presiden ditambahkan Pancasila, Sejarah Pergerakan, Hak dan
kewajiban warganegara. Kemudian terbit buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia”. Pada tahun
1966 buku tersebut dilarang digunakan dan untuk mengisi kekosongan materi maka Depdikbud
menginstruksikan, bahwa materi Civics adalah:
1. Pancasila
2. Undang Undang Dasar 1945
3. Ketetapan-ketetapan MPRS
4. Perserikatan Bangsa Bangsa
5. Orde Baru
6. Sejarah Indonesia
7. Ilmu Bumi Indonesia
Dari masa Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan tidak ada kejelasan penggunaan
istilah Pendidikan Kewargaan Negara atau Kewargaan Negara. Pada tahun 1968, Civics dengan
nama Pendidikan Kewargaan Negara, berisikan:

Sekolah Dasar Program ini meliputi pelajaran Sejarah Indonesia,


Civics dan Ilmu Bumi

Sekolah Menengah Program ini mengindentikan Civics dengan


Pertama Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya:
1. 30 % Sejarah Kebangsaan
2. 30 % Kejadian setelah Indonesia Merdeka
3. 40 % Undang Undang Dasar 1945

Sekolah Menengah Bahan pelajaran sebagian besar terdiri UUD 1945


Atas

Pada tahun 1972 diadakan Seminar Nasional Pengajaran dan Pendidikan Civics (Civic Education) di
Tawangmangu yang menegaskan batasan yaitu :

6
Istilah Istilah baru Pengertian
sebelumnya
Civics Ilmu Kewargaan Negara Suatu disiplin yang obyek
(IKN) studinya mengenai
peranan para warganegara
dalam bidang spirituil,
sosial, ekonomis, politis,
yuridis, kultural sesuai
dengan dan sejauh yang
diatur dalam pembukaan
UUD 1945 dan UUD
1945
Istilah Istilah baru Pengertian
sebelumnya
Civic Pendidikan Kewargaan Suatu program
Education Negara ( PKN) pendidikan yang tujuan
utamanya membina
warganegara yang lebih
baik menurut syarat-
syarat, kriteria dan
ukuran, ketentuan-
ketentuan Pembukaan
UUD 1945 dan UUD
1945

Berkaitan dengan Civics dan Civic Education maka perlu dipahami bahwa:
1. Civics diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang sejajar dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ini adalah
suatu perkembangan ilmu pengetahuan karena pada awalnya Civics adalah bagian dari ilmu
politik yaitu Demokrasi Politik, kemudian dalam perkembangannya menjadi ilmu sosial yang
berdiri sendiri.
2. Baik Ilmu Kewargaan Negara maupun Pendidikan Kewargaan Negara selalu memakai Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai Syarat Ukuran dan Kriteria
(frame of reference)

7
3. Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Dasar 1945 adalah Hukum
Dasar ( Konstitusi ) yaitu konstitusi yang tertulis yang berkedudukan sentral dan sebagai kriteria
obyektif dalam rangka menjamin obyektifitas dalam membina warganegara
4. Civic Education menyangkut minat, pengalaman, pribadi, dan kepentingan masyarakat yang
unsur-unsurnya harus dimanifestasikan dalam “desirable personal qualities“ yaitu warganegara
yang diharapkan di masa yang akan datang
Pada tahun 1975 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) diganti
dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran ini mempunyai dasar kontitusional
yaitu Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 yang menyatakan “ untuk mencapai cita-cita tersebut maka
kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari Taman Kanak Kanak sampai perguruan tinggi
baik negeri maupun swasta harus berisikan pendidikan moral Pancasila dan unsur-unsur yang
cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda “
Perlu diamati bahwa ada perbedaan pada istilah “pendidikan moral Pancasila” (pmP) dan
“Pendidikan Moral Pancasila“ (PMP), yaitu memiliki perbedaan dalam penggunaan huruf
kapitalnya. Bagi pendidikan moral Pancasila (pmP) yaitu semua unsur yang dapat membantu
terwujudnya moral Pancasila sehingga meliputi seluruh mata pelajaran yang ada di sekolah,
sedangkan Pendidikan Moral Pancasila yaitu bidang studi berdiri sendiri yang diprogram secara
terencana untuk membina siswa agar memiliki moral Pancasila.
Pendidikan Moral bukan Pendidikan Etika karena etika adalah suatu cabang ilmu filsafat yang
obyeknya adalah tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik atau buruknya. Karena itulah
Pendidikan Moral mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Pendidikan Etika.

8
BAB 2. NILAI DAN MORAL

1. Nilai
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu mengadakan hubungan dengan sesamanya
atau dengan lingkungan, yang dalam hubungan tersebut terbentuklah penilaian dalam keadaan
sadar maupun tidak sadar.
Nilai atau valere dapat diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau sesuatu yang berguna,
sedangkan aliran Idealisme Modern menyebut nilai-nilai adalah obyektif . Menurut Plato, nilai
adalah dunia konsep, dunia ide, dunia universal dan dunia nilai merupakan dunia senyatanya
dan tetap. Hakekat nilai lebih utama daripada pemahaman psikologis. Menurut Prof. E.C.
Spoulding dari aliran Realisme Modern menyatakan nilai adalah Subsistensi nilai-nilai bebas dari
keinginan dan kesukaan manusia.
Prof. C.J. Ducasse, berpendapat nilai dari sesuatu atau hal ditentukan oleh hasil interaksi
antara subyek yang menilai dan obyek yang dinilai atau hasil interaksi dua variable atau lebih.
Dalam Ensiklopedi Britania, nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu obyek
yang menyangkut suatu jenis atau minat.
Menurut Sidi Gazalba dalam buku Sistematika Filsafat, dinyatakan bahwa Manusia
dalam tindakan dan laku perbuatannya digerakkan oleh nilai, karena itulah maka pada
akhirnya nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal yang :
1. Menyenangkan ( pleasant )
2. Memuaskan ( satifying )
3. Menarik ( interest )
4. Berguna ( Useful )
5. Menguntungkan ( profitable )
6. Sistem keyakinan ( belief system )
Nilai sifatnya seperti idee sehingga nilai itu abstrak yaitu nilai tidak dapat ditangkap dengan
pancaindra karena itu yang dapat dilihat hanya obyek yang mempunyai nilai atau tingkahlaku
yang mengandung nilai. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan manusia oleh
karena itu nilai bersifat normatif atau merupakan keharusan ( das sollen ) yang harus diwujudkan
dalam tingkah laku kehidupan manusia.

9
2. S i k a p
Sikap adalah keadaan psikologis yang dapat menimbulkan tingkah laku tertentu dalam
situasi tertentu. Sikap adalah suatu keadaan kejiwaan bukan keadaan psikis manusia keadaan ini
ditimbulkan karena adanya nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam sistem nilai seseorang. Nilai itu ada
karena hasil rangsangan ( stimulus ) yang diterima oleh pancaindra manusia sehingga menimbulkan
suatu proses dalam diri individu berupa; suatu kebutuhan yang menimbulkan motif, perasaan,
perhatian atau pengambilan keputusan. Semua proses ini merupakan dasar pembentukan sikap yang
akhirnya melampaui ambang batas terjadi tindakan yang disebut tingkah laku

Motif

Stimulus  Pancaindra Proses  Perasaan  ambang batas  tingkahlaku

Perhatian

Yanto Subiyanto dan Dede Suryadi dalam Pengantar Psikologi, menyatakan terdapat ciri-ciri
Sikap yaitu :
1. Dalam sikap selalu terdapat hubungan obyek dan obyek, tiada sikap tanpa ada obyek,
2. Sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman,
3. Sikap yang pelajari tersebut akan dapat berubah-ubah sesuai pengaruh lingkungan individu
sesuai lingkungan yang berubah pula,
4. Sikap individu bersangkutpaut dengan faktor motivasi dan perasaan, hal inilah yang
membuktikan perbedaan sikap dari ilmu pengetahuan
5. Sikap tidak hilang walaupun kebutuhan telah dipenuhi, sehingga sikap bukanlah reflek atau
dorongan suatu keinginan tertentu.

3. N o r m a
Norma (norm) adalah ukuran dari baik dan buruk suatu perbuatan atau disebut sebagai ukuran
atau pedoman sesuatu itu diterima sebagai sesuatu yang baik atau tidak diterima oleh masyarakat karena
dianggap buruk.
Norma dapat berupa :
1. Norma Agama
2. Norma Kesusilaan,
3. Norma Kesopanan dan
4. Norma Hukum
Sebagai contoh nilai agama berisikan perintah dan larangan tentang tingkah laku ummat
beragama sesuai ajaran agama yang dipeluknya. Norma merupakan ungkapan dari nilai yang

10
menentukan; tingkahlaku manusia dalam masyarakat, antar manusia dengan alam dan manusia
dengan Tuhan.
Tingkahlaku manusia yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat atau
bertentangan dengan norma yang ada akan mengakibatkan pelanggaran norma. Pelanggaran norma ini
menimbulkan sanksi bagi pelanggar norma. Sanksi norma berkaitan dengan sanksi moral, sanksi moral
dan norma dapat berupa:
1. sanksi yang dijatuhkan Tuhan yaitu pembalasan siksa di akherat kelak,
2. sanksi terhadap diri sendiri yaitu bersifat ketuhanan yang diderita selama hidup
3. sanksi pada diri sendiri yaitu yang bersifat kejiwaan seperti penyesalan, bahkan rasa penyesalan
(guilty) yang demikian besar dapat berakibat bunuh diri (suicide)
4. sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat seperti disingkirkan / diisolir / diacuhkan oleh
masyarakat setempat

4. M o r a l
Secara etimolgis kata moral berasal dari “mores” berasal dari kata latin “mos” yang berarti
tatacara, adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah “mores”.
Moral dalam arti adat istiadat atau kebijaksanaan mempunyai arti yang sama dengan “ethos” atau
etika. Moral dalam bahasa Arab disebut “akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut
kesusilaan atau moral. Prof. Dr. N. Drijarkara SJ dalam buku Percikan Filasafat menyatakan bahwa
Moral atau Kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia, dengan kata lain moral atau
kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat
manusia.
Moral memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan
dengan baik atau buruk tingkah laku manusia. Seseorang dikatakan bermoral jika orang tersebut
bertingkahlaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat . Dengan demikian
moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkahlaku manusia di
masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik atau benar. Namun mengingat ukuran baik
dan benar pada tiap orang berbeda (subyektif) maka tetap diperlukan prinsip-prinsip kesusilaan /
moral yang dapat berlaku umum yang tentunya telah diakui kebenaran atau kebaikannya oleh semua
orang.
Menurut Drs. D.A. Wila Huky B.A, dalam Pengantar Filsafat menyatakan ada tiga cara untuk
memahami moral :

11
1. moral sebagai tingkahlaku hidup manusia, yang didasari pada kesadaran bahwa ia terikat
pada keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam lingkungannya,
2. moral sebagai perangkat idee-idee tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu
yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu,
3. moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup
atau agama tertentu

5. Syarat manusia dikatakan bermoral


Mengingat ukuran baik dan benar dapat bersifat subyektif pada setiap orang maka timbul
persoalan tentang ukuran manusia disebut bermoral atau syarat manusia dikatakan bermoral.
Manusia bermoral adalah manusia yang mampu memenuhi sesuai ketentuan kodrat yang tertanam
dalam dirinya sendiri yang tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Syarat manusia dikatakan bermoral yaitu jika seluruh perbuatannya memenuhi ketentuan kodrat
sebagai manusia yang meliputi :
1. dilandasi oleh niat atau kehendak yang baik,
2. kehendak tersebut dilakukan dengan cara yang baik,
3. cara yang baik tersebut untuk mencapai tujuan yang baik.

6. Niat
Niat adalah kesiapan hati yang penuh keikhlasan dan kerelaan. Niat yang berasal dari hati
nurani terdalam yang dilandasi Asma Allah pasti baik dan tidak akan mengecewakan pada suatu
saat nanti. Dalam agama Islam terdapat hadist ; ”tidak akan berubah nasib suatu kaum jika kaum
/ golongan itu tidak berusaha mengubah nasibnya”. Dalam kaitan ini maka manusia dengan niat
dan caranya wajib berusaha karena di akherat nanti akan ditanya / diminta pertanggungjawaban
tentang segala yang telah dilakukan untuk melaksanakan niat baiknya itu, dan bukan ditanya
apakah berhasil mencapai tujuannya, karena masalah tercapainya tujuan atau hasil dari usaha itu
adalah urusan Allah. Kesimpulannya manusia wajib berusaha merealisasikan niat baiknya
dengan cara yang baik agar kelak tercapai tujuan yang baik pula.

Dalam hidup bermasyarakat manusia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku yaitu:
1. Ketentuan agama yang berdasarkan atas wahyu,
2. Ketentuan kodrat diri manusia yaitu ketentuan moral universal atau moral yang
seharusnya ( das sollen )

12
3. Ketentuan adat istiadat buatan manusia yaitu yang berlaku pada waktu tertentu
4. Ketentuan Hukum yang dibuat oleh manusia baik sebagai Adat Kebiasaan atau Hukum
Negara
Dalam ketentuan agama maka hati nurani (qolbu) yang melandasi timbulnya niat yang baik
menjadi ukuran perbuatan sesorang, sehingga sesuatu perbuatan yang baik dapat diukur jika
seseorang tentram / tenang dalam menjalaninya, jika perbuatan dosa maka orang akan bimbang
dalam melaksanakannya dan merasa malu jika orang lain tahu ia melakukannya.
7. Etika
Istilah etika sering disamakan dengan moral, yang diartikan sebagai adat-istiadat atau
kebiasaan yang dalam bahasa Indonesia disama artikan sebagai kesusilaan.
Dr. J. Verkuyl mengatakan “dalam pemakaian di kalangan ilmu pengetahuan kata Etika telah
mendapat arti yang lebih dalam daripada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-
kadang moral dan mos atau mores hanya kelakuan lahir saja, tetapi senantiasa menyinggung juga
kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. Dalam filsafat dinyatakan bahwa
etika adalah sebagai filsafat moral. Istilah moral biasanya digunakan untuk memberikan penilaian
atau predikat terhadap tingkahlaku manusia, karena itu dalam memahami pengertian moral sangat
erat hubungannya dengan etika.
Etika adalah suatu cabang filsafat yang obyeknya adalah tingkahlaku manusia ditinjau dari nilai
baik atau buruknya. Etika digolongkan dalam 3 macam yaitu:
1. Etika Deskriptif
Etika yang berisi tentang keadaan moral yang terdapat pada suatu kelompok manusia
menurut kenyataannya yang berbeda antara bangsa-bangsa, suku-suku dan kelompok
lainnya.
2. Etika Normatif
Etika yang menunjukan ukuran-ukuran moral yang berwujud ketentuan-ketentuan tidak
tertulis, tetapi dipatuhi kelompok pendukungnya. Ukuran moral ini mempunyai sifat yang
umum karena itu sering dipatuhi pula oleh bangsa atau kelompok lain.
3. Etika Kefilsafatan
Etika yang berisikan tentang pengertian moral seperti yang seharusnya yaitu mempunyai
sifat umum universal sehingga sering pula disebut sebagai filasat moral.
Etika tidak sama dengan etiket, karena etiket berupa aturan-aturan untuk menilai sopan
tidaknya seseorang dalam pergaulan, karena itu etiket dianggap lebih sempit cakupannya daripada
norma maupun moral yang mengatur ukuran baik dan buruk yang berlaku lebih umum. lebih luas
bahkan universal.

13
BAB 3. PENGERTIAN PENDIDIKAN MORAL

A. Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah istilah yang mulia, di dalamnya mengandung konotasi yang luhur,
sesuai dengan kemulyaan dan keluhuran penyandangnya. Aktifitas pendidikan tidak pernah berhenti
oleh tapal batas yang pasti. Proses ini berlangsung sepanjang perjalanan sejarah umat manusia,
pendidikanlah yang menentukan pasang surutnya perkembangan kebudayaan semua bangsa.
Segolongan manusia yang menamakan dirinya suatu “bangsa”, lazimnya mempunyai
gambaran (cita-cita) tentang manusia ideal dalam artian yang utuh dan seluas-luasnya. Idealnya
dalam pandangan bangsanya, dalam pandangan sesama manusia dan bahkan ideal dalam pandangan
Tuhannya. Gambaran yang universal itulah yang kemudian disebut pandangan hidup. Karena
segala kegiatan hidupnya diarahkan oleh, dan bertujuan untuk mencapai manusia ideal itu. Oleh
sebab itu pulalah, maka pendidikan sebenarnya merupakan upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan manusia idamannya itu, sesuai dengan pandangan hidup suatu bangsa.
Di kalangan para ahli ilmu pengetahuan, banyak yang memberikan batasan tentang
pendidikan ini. Pada dasarnya batasan-batasan tersebut satu sama lain tidak mempunyai perbedaan
yang prinsip yang perlu dipersoalkan. Dengan demikian pendidikan itu merupakan “pakaian
seragam” semua orang (lebih-lebih para ilmuwan) yang tak pernah ditanggalkan.
Secara singkat Drs. M. Noor Syam mengartikan pendidikan sebagai “usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam manusia dan kebudayaannya”.
Pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai, yang dilakukan melalui aktifitas-aktifitas
yang dapat mengarahkan peserta didik untuk secara mandiri mendewasakan kepribadiannya sesuai
tuntutan pandangan hidupnya.
Pendidikan merupakan suatu usaha, karena itu harus dilakukan secara sadar dan berencana
serta mempunyai tujuan tertentu. Dalam konteks pemikiran ini pendidikan akan nampak sebagai
kegiatan yang dinamis dan progresif, karena dirangsang dan dipacu oleh tujuan pendidikan yang
membawa kenyamanan bagi para pelakunya.
Dengan demikian terjadi suatu proses segala potensi yang ada didayagunakan secara
optimal dan simultan untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan. Proses pendidikan disini
dapat dilihat sebagai aktifitas yang sistematis, yaitu komponen-komponennya saling berhubungan
dan bekerja sama untuk menstransformasikan (mengubah) masukan (input) menjadi keluaran
(output). Keluaran yang dikehendaki berwujud lulusan yang mampu menampilkan diri seutuhnya
sesuai tujuan pendidikan.

14
Sejalan dengan pengertian pendidikan yang telah dikemukakan, maka nilai-nilai (values)
yang mengejawantah dalam kebudayaan umat manusia itu akan menjadi isi dan tujuan pendidikan.
Jelasnya, nilai-nilai itulah yang sebenarnya akan ditanam, dibina dan dilestarikan melalui
pendidikan. Dengan demikian tolok ukurnya ialah peserta didiknya telah mampu tampil sebagai
output yang menghayati nilai-nilai yang sesuai pedoman itu. Dengan kata lain, berhasil tidaknya
pendidikan tergantung dari kenyataan, anak didik telah sanggup mengamalkan nilai-nilai itu dalam
segala tingkah lakunya dan dalam kehidupan nyata.
Bagi suatu bangsa nilai-nilai itu merupakan suatu yang ideal, diyakini dan dipertahankan
sebagai tuntutan tingkah laku. Nilai-nilai itu mengatasi segala dimensi kehidupan dan
dikristalisasikan secara utuh di dalam pandangan hidup. Pengembangan dan pelestariannya,
dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan.
1. Moral dan Etik
Moral berasal dari kata mores artinya mengungkapkan dapat atau tidaknya sesuatu
perbuatan tindakan diterima oleh sesamanya dalam hidup kemasyarakatan. Dapat diterima atau
ditolaknya suatu perbuatan itu mengisyaratkan adanya nilai-nilai tertentu yang dapat dipakai
sebagai pengukur. Nilai yang dapat diterima dan diakui bersama mengatur tata cara saling
berhubungan menjadi suatu kebiasaan yang bersangkutan. Mores mengandung prinsip dan nilai /
norma immanen.
Selain mores ada yang disebut ETIK. Etik mengungkapkan kadar perbuatan dan tindakan
seorang dalam hubungan dengan sesamanya, dan terintegrasinya norma-norma kehidupan yang
diukur dari pernyataan kata dan perbuatan. Etik tidak hanya mengungkapkan norma immanen,
intinya adalah norma transenden.
Manusia pada hakekatnya adalah etis yaitu mempunyai potensi untuk menjadi manusia
yang bermoral, memiliki potensi untuk menjadi manusia yang bermoral, memiliki potensi untuk
hidup penuh dengan nilai / norma, namun potensi itu harus dikembangkan. Agar dapat berkembang
maka perkembangan etik tersebut memerlukan bantuan dari orang yang lebih dewasa.
Pendidikan moral juga menyangkut pula aspek watak. Watak merupakan suatu keseluruhan
yang berkembang secara sistematis, harmonis sesuai dengan perkembangan anak yang dengan
sendirinya tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupan keluarga, bahkan sebelum dilahirkan
mempunyai pengaruh yang dalam dan watak berkembang sesuai pendidikannya.
Dalam buku Value Clarification Technique, Kosasih Djahiri menegaskan bahwa nilai atau
sistem nilai adalah keyakinan, kepercayaan norma-norma atau kepatutan-kepatutan yang dianut
seseorang atau kelompok orang (masyarakat) tentang sesuatu. Sejalan dengan itu, Drs. Huesin
Achmad mengutip pendapat Fraenkel bahwa nilai adalah merupakan standard tingkah laku,

15
keindahan, efisiensi atau penghargaan yang telah disetujui seseorang, dimana ia berusaha hidup
dengan nilai tersebut serta kesediaan mempertahankannya.
Jadi nilai yang merupakan keyakinan batin itu memegang peranan yang sangat penting,
yaitu mengarahkan tingkah laku seseorang/masyarakat. Dengan demikian perbuatan manusia
senantiasa didasarkan atas wujud keyakinan tersebut serta ada hubungan keterkaitan antara
perbuatan dan keyakinan. Dunia lahiriah dan rohaniah merupakan monodualis yaitu yang satu
mempengaruhi yang lain.
Nilai-nilai yang diyakini seseorang dapat dirasakan atau diketahui karena nilai-nilai itu
merupakan keyakinan batin, karena ada tanda-tanda yang dapat ditangkap atau bisa memberikan
isyarat tentang ada tidaknya suatu nilai pada diri seseorang. Meskipun dalam batas-batas tertentu
dapat juga diketahui tentang intensitas keyakinan seseorang terhadap suatu nilai-nilai tertentu.
Untuk menjawab persoalan di atas, J.R. Fraenkel yang dikutip oleh A. Suyitno
menyebutkan adanya delapan indikator yang memberikan petunjuk adanya nilai-nilai yang
dimiliki seseorang. Indikator itu adalah:
1. Tujuan yang dikejarnya 5. Perasaan ( feeling ) nya
2. Aspirasinya 6. Kepercayaan ( belief ) nya
3. Sikap ( attitudenya ) 7. Perbuatannya
4. Minat ( interest ) nya 8. Kekhawatiran ( worries )

Untuk kepentingan studi, nilai-nilai itu kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa macam,
berdasarkan sudut pandangan yang beraneka ragam.
Scheler misalnya membagi nilai-nilai itu ke dalam beberapa bagian, yaitu: nilai hidup (vital),
nilai perasaan indrawi, nilai rohani yang terdiri dari nilai aestetis, nilai moral dan nilai intelektual.
Di samping itu, ada yang membedakan nilai ke dalam nilai keindahan, nilai ekonomik, nilai
pengetahuan, nilai kebudayaan, nilai pendidikan, nilai kehidupan dan lain-lain. Yaitu nilai material,
yaitu nilai-nilai dari sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani, dan nilai rohani, yaitu nilai dari
sesuatu yang bermanfaat bagi unsur rohani manusia. Kemudian nilai rohani ditafsirkan (diperinci)
menjadi nilai kebenaran, keindahan, kebaikan atau moral yang bersumber pada kehendak manusia
yang bebas serta nilai-nilai religius yang merupakan nilai rohani yang tertinggi tingkatannya, yang
bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia. Dengan lebih terperinci, A. Suyitno
mengemukakan pembagian macam ragam nilai sebagai berikut:
1. Dilihat dari ragamnya terdapat:
a. Nilai aestetika e. Nilai hukum
b. Nilai etis f. Nilai sosiologis

16
c. Nilai keagamaan g. Nilai moral
d. Nilai ekonomi dan lain-lain
2. Dilihat dari sumber dan bagi siapa nilai tersebut, dapat diadakan pembagian sebagai berikut:
a. Nilai individual / nilai subyektif
b. Nilai umum / kemasyarakatan
c. Nilai riil atau intrinsik / nilai obyektif
3. Dilihat dari segi waktu:
a. Nilai abadi
b. Nilai temporer
4. Dilihat dari segi keluasan berlakunya:
a. Nilai universal
b. Nilai nasional
c. Nilai regional
d. Nilai lokal
Dari klasifikasi di atas dapat dilihat dengan jelas, bahwa di antara nilai-nilai tersebut ada
yang merupakan nilai moral.
Agar memiliki pengertian yang lebih memadai tentang pendidikan moral Pancasila, maka
selanjutnya harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai ( norma ) moral itu.
Kata “moral” dari segi etimologis diambil dari bahasa latin, yaitu dari kata “mores” ( dari
suku kata “mos” ). Kata mores mempunyai arti: adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak. Dalam
perkembangannya kemudian “mores” diartikans ebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik,
yang susila. Oleh karena itu “moral” dapat diartikan sebagai ajaran kesusilaan. Kata moral
selanjutnya menjadi “moralitas” yang berarti: hal yang mengenai kesusilaan. Kata yang disebut
terakhir ini berarti: kesopanan, sopan santun, keadaban.
Harus diketahui bahwa yang mempunyai nilai moral selalu tindakan manusia yang
dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan
nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia. Dwija Atmaka menyatakan tindakan
yang bersifat moral adalah tindakan yang menjunjung nilai manusia adalah semua tindakan yang
menjaga dan menjamin kelangsungan hidup manusia, baik secara individual, maupun dalam
kelompok, termasuk kesehatan, kemerdekaan, keterjaminan hak-hak asasi. Sebaliknya tindakan
yang menghancurkan nilai manusia dan masyarakat itu disebut inmoral (tidak moral). Singkatnya
semua nilai yang mendukung harkat manusia adalah nilai moral atau etis

17
Oleh Franz von Magnis Suseno ditafsirkan, bahwa norma-norma yang berlaku umum bagi
setiap warga masyarakat itu dapat dibagi menjadi tiga saja, yaitu: norma-norma sopan santun,
norma-norma hukum dan norma-norma moral .
1. Norma-norma sopan santun
Norma-norma sopan santun berbeda dengan norma-norma moral, karena norma yang pertama
ini hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan dan menurut pendapat kebanyakan orang norm
ini dapat diubah. Norma-norma sopan santun hanya nampak dan berlaku berdasarkan konvensi
belaka.
2. Norma-norma hukum
Dihadapkan dengan norma-norma moral, norma-norma hukum ini mempunyai perbedaan yang
tegas. Tidak semua norma hukum sekaligus mengikat secara moral dan tidak semua norma
moral dijadikan norma hukum. Norma hukum adalah norma yang pelaksanaannya dapat
dituntut dan dipaksakan serta pelanggarannya dapat ditindak dengan pasti oleh penguasa yang
sah dalam masyarakat. Norma-norma hukum harus dapat dibuktikan dengan tegas berlakunya.
Biasanya berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan (kecuali hukum adat).
3. Norma-norma moral
Dibedakan dengan norma-norma lainnya, norma-norma moral mempunyai ciri yang spesifik.
Norma yang disebut terakhir ini menjadi dasar yang menentukan bagaimana seseorang menilai
orang lain.
Norma-norma moral adalah norma yang paling dasar, sebab terhadap norma-norma
moral, semua norma lain mengalah. Norma-norma ini lebih besar pengaruhnya dari pada
pendapat-pendapat masyarakat pada umumnya dan bahkan juga daripada kehendak segala
macam penguasa. Atas dasar norma moral biasanya orang mengambil sikap dan menilai norma-
norma lain yang berlaku, termasuk ketentuan ( keputusan ) penguasa. Demikianlah, sehingga
norma-norma moral muncul sebagai satu-satunya norma yang mempunyai kekuatan amat besar
dalam kehidupan manusia.
Hakikat moral dan hal-hal yang berhubungan dengannya ditelaah dalam suatu cabang
filsafat yang disebut filsafat moral (filsafat kesusilaan) yang sering juga disebut etika. Jadi
etika adalah penyelidikan filsafat tentang suatu bidang yang melingkupi kewajiban-kewajiban
manusia serta mengenai yang baik dan yang buruk (bidang moral). Singkatnya Etika
didefinisikan sebagai filsafat tentang bidang moral. Dengan demikian menurut Frans von
Magnis, obyek etika adalah pernyataan-pernyataan moral, karena pandangan-pandangan dan
persoalan-persoalan moral yang disorot itu diungkapkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.

18
B. Kesadaran Moral
Tidak ada unsur lahiriah yang dapat dipastikan bahwa suatu norma itu bersifat moral.
Misalnya suatu larangan: “Jangan mencuri”, dapat sekaligus merupakan norma sopan santun,
norma hukum dan norma moral, karena itu sifat moral itu sesungguhnya bukan suatu sifat
lahiriah belaka melainkan suatu unsur dalam kesadaran manusia yang menyertai kesadaran
tentang norma-norma. Sifat moral suatu norma merupakan sifat yang disadari apabila seseorang
masuk ke dalam suatu keadaan sehingga norma itu perlu dipergunakan.
Oleh karena itu etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral. Dengan fenomena,
yang dimaksud adalah yang terlihat, yang menyatakan diri. Fenomena kesadaran moral adalah
segala yang terdapat / muncul / kelihatan dalam kesadaran moral.
Untuk menegaskan yang dimaksud dengan “kesadaran moral”, Frans von Magnis
memberikan ilustrasi sebgai berikut: “Saya meminjamkan uang sebanyak Rp 100 kepada seorang
janda miskin. Seminggu kemudian uang pinjaman itu dikembalikan, tetapi karena keliru,
dikembalikan sebanyak Rp 1.000. dalam keadaan seperti itu timbul pertanyaan pada diri saya: “Apa
yang harus saya perbuat?”. Ternyata dalam kesadaran saya pada waktu itu ada beberapa unsur,
yakni:
Di satu pihak:
1. Saya sadari, bahwa kelebihan Rp 900 itu menguntungkan saya.
2. Saya tidak merasa takut terhadap akibat-akibat buruk, apabila uang itu saya simpan,
karena tidak mungkin dapat dibuktikan bahwa saya telah menerimanya.
3. Saya berpendapat bahwa janda itu sendiri tidak menyangka kalau kekurangan Rp 900
dalam kasnya itu, karena uangnya lari kepada saya.
4. Kesimpulannya: saya berkeinginan untuk merahasiakan kekeliruan janda tersebut dan
mengantongi uang itu menjadi milik saya sendiri, akan tetapi di lain pihak saya
menyadari, bahwa:
5. Keadaan janda itu miskin, dan kiranya menderita bersama anak-anaknya apabila uang
itu tidak saya kembalikan.
6. Bahwa janda itu berhak atas uang itu.
7. Maka saya tetap merasa wajib untuk memulangkan uang Rp 900 kepada empunya.
Kesadaran yang terakhir inilah yang disebut kesadaran moral.
Melalui contoh di atas, kiranya dapat diperhatikan adanya unsur-unsur pokok dalam
kesadaran moral. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Adanya sikap yang mandiri ( “merdeka” ) terhadap kewajiban itu.
2. Adanya kesadaran, bahwa keputusan itu diambil sebagai tanggung jawab diri sendiri.

19
3. Adanya kesadaran,bahwa keputusan itu menentukan nilai diri.

C. Pancasila dan Norma Moral


Pancasila yang secara harfiah berarti lima dasar, adalah nama Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Istilah Pancasila begitu menyatu dalam sanubari bangsa Indonesia, terutama
setelah timbulnya peristiwa sejarah pada pertengahan dekade enam puluhan.
Pancasila adalah murni milik bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia notabene sebagai
asal mula bahan (causa materialis) dari Pancasila itu. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Pancasila
bersumber dari adat kebiasaan, kebudayaan dalam arti luas dan agama-agama yang telah diyakini,
yang kesemuanya kaya akan nilai-nilai kehidupan. Dari sinilah sesungguhnya nilai-nilai Pancasila
itu diangkat.
Selanjutnya Pancasila “mewakili” seluruh bangsa Indonesia. Ialah yang menjelaskan serta
menegaskan corak, warna atau watak manusia Indonesia, sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang
berkebudayaan, menginsafi keluhuran dan kehaluan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan
hidup kebangsaannya dengan perikemanusiaan yang universal-meliputi alam kemanusiaan yang
seluas-luasnya dan dalam arti kenegaraan pada khususnya.
Dalam kedudukannya seperti itu, kemudian tegas-tegas dikatakan bahwa Pancasila
sesungguhnya merupakan jiwa, kepribadian, serta menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dalam konteks pengertian Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia, dalam hal ini jiwa
mengandung konotasi semangat yang mendorong untuk bergerak sesuai dengan sifat yang dimiliki.
Bangsa Indonesia memiliki kekuatan dan dorongan yang bersumber dari Pancasila. Dengan
demikian Pancasila pantas menjadi watak yang mewarnai sikap dan perilaku bangsa Indonesia.
Tidak terlepas dari itu, Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia tercermin dalam
sifat-sifat watak bangsanya. Selanjutnya Pancasila ini akan membedakan bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain, sebagaimana perbedaan kepribadian antara seseorang dengan orang lain.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa maksudnya bahwa Pancasila itu merupakan
suatu kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya serta
menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Bila mana Pancasila disepakati sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, maka mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan,
jelas merupakan panggilan bagi bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat diambil suatu pemahaman tentang Pancasila bahwa dalam gerak
langkah menuju masyarakat yang dicita-citakan Pancasila berfungsi sebagai arah dan dasar pihak
bagi bangsa Indonesia. Jadi dalam kedudukan ini Pancasila berfungsi ganda, yakni sebagai
landasan dan sekaligus sebagai titik tuju sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

20
Beralasan dari pemikiran di atas, Pancasila perlu dihayati dan diamalkan secara nyata
untuk menjaga kelestariannya demi terwujudnya tujuan nasional sesrta cita-cita bangsa seperti
tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dwija Atmaja menyatakan Pancasila merupakan suatu rangkaian nilai-nilai. Nilai-nilai itu
adalah nilai-nilai moral, karena apabila nilai-nilai itu dihayati dan diamalkan, maka harkat manusia
Indonesia dan bangsa Indonesia dijamin, kelangsungan hidup manusia dan bangsa Indonesia pun
dimungkinkan
Dari pemikiran di atas ada suatu isyarat yang dapat ditangkap, yaitu timbulnya kewajiban
bagi bangsa Indonesia untuk membina nilai-nilai dasar tersebut demi keutuhan dan kelangsungan
hidup bangsa Indonesia. Setidak-tidaknya ditilik dari pertimbangan ini, sesungguhnyalah
pendidikan nilai mutak diperlukan.
Pendidikan Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan secara garis besarnya bertujuan
hendak membina sikap manusia Indonesia (khususnya generasi muda) agar tumbuh, sesuai dengan
pandangan hidupnya, yaitu Falsafah Pancasila. Sikap yang tertentu itu diharapkan mengejawantah
dalam perbuatan yang sehari-hari dilakukan oleh manusia Indonesia. Adapun sebenarnya sikap
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang telah dihayati. Dengan demikian tujuan Pendidikan
Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan pada akhirnya adalah terbinanya tingkah laku manusia
Indonesia yang merupakan pencerminan dari sikap dan nilai-nilai Pancasila yang diwujudkan dalam
kepribadian manusia Indonesia seutuhnya pada masyarakat Pancasila.
Atas jalan pikiran di atas, maka Pendidikan Pancasila tiada lain adalah merupakan
pendidikan nilai-nilai yang mengacu dan berlandaskan tuntutan moral dan nilai-nilai Pancasila.
Selanjutnya Pancasila sebagai sumber norma-norma moral (yang memberikan wawasan
universal tentang batas-batas kehidupan yang harmonis bagi bangsa dan manusia Indonesia), maka
tidak ada lagi kekaburan tentang sifat dasar Pendidikan Pancasila sebagai Pendidikan Moral.
Tegasnya hakekat Pendidikan Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia adalah
pendidikan moral yang bersumber dan berlandaskan Pancasila, dengan sasarannya yang terakhir
yaitu dihayati dan diamalkannya Pancasila oleh setiap anak didik / lulusan di dalam kehidupan
bermasyarakat / bernegara.
Dalam konteks uraian di atas, Pendidikan Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan
sebenarnya merupakan etika karena etika adalah filsafat tentang bidang moral yang dijiwai oleh
Pancasila, karena mata pelajaran ini berusaha memberikan pandangan dan penjelasan penjelasan
tentang Pancasila ditinjau dari segi moral. Pendidikan Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan
menerangkan kewajiban-kewajiban manusia Indonesia serta membedakan baik dan buruk menurut
ukuran nilai Pancasila. Adapun Obyek Pendidikan Pancasila / Pendidikan Kewarganegaraan yang

21
terakait dengan moral dan etika adalah pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang
didasari oleh dan berkaitan dengan moral dan nilai Pancasila.
Dapat disimpulkan, bahwa pendidikan moral / pendidikan Pancasila / Pendidikan
Kewarganegaraan sesungguhnya merupakan pendidikan nilai dan etika yang melalui proses
pendidikan berusaha menanamkan nilai-nilai moral Pancasila dengan tujuan akhir agar terwujudnya
pengamalan Pancasila pada peserta didik / lulusan, khususnya taman kanak-kanak sekolah dasar,
sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah Menengah Umum.

22
BAB IV. BENTUK PENDIDIKAN MORAL

4. BENTUK PENDIDIKAN MORAL DI INDONESIA


Pendidikan moral pada tiap-tiap negara berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam negara yang
menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka pendidikan moral bersumberkan pada agama yang
berlaku di negara itu. Pembentukan moral warganegara dan bangsa negara yang bersangkutan dilakukan
menurut norma-norma agama tersebut melalui pendidikan agama, karena memang agama dijadikan
sumber moral.
Bagi negara yang tidak memakai agama sebagai hukum dasarnya, pendidikan moral didasarkan
pada hukum dasar dan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dasar tersebut, maka melalui
pendidikan Civics dibinalah warganegara yang lebih baik dalam suatu masyarakat yang demokrastis.
Bagi bangsa Indonesia pendidikan moral sudah dikenal sejak lama bahkan sebelum bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pendidikan moral waktu itu terdapat pada Causa Materialis
yang terdiri atas religi, adat-istiadat, kebudayaan bangsa Indonesia.
Religi, adat-istiadat, kebudayaan bangsa Indonesia merupakan asal mula bahan atau Causa Materialis
dari Pancasila dasar negara Republik Indonesia.
Pendidikan moral di Indonesia telah ada sejak berabad-abad dan telah diintegrasikan melalui
bentuk-bentuk pendidikan yang ada pada waktu itu.
Pendidikan Moral antara lain diintegrasikan pada :
1. Nyanyian Daerah ( di Jawa dinamakan Tembang ). Melalui nyanyian daerah, pendidikan moral
diberikan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh di Jawa yaitu Tembang Wulangreh (Paku
Buwono IV), Tembang Tripomo (Mangkunegoro IV), Wedotomo. Syair lagu tersebut banyak
berisikan pendidikan moral yang dikemas secara langsung maupun tidak langsung.
2. Cerita Legenda misalnya Legenda Si Malin Kundang, Legenda Kota Banyuwangi, legenda
tersebut sarat berisikan pendidikan moral.
3. Cerita Binatang (fabel) misalnya cerita kancil, cerita persahabatan antara angsa dan kura-kura,
yaitu tokoh binatang menyandang sifat baik dan buruk sebagaimana manusia namun karena
pemerannya binatang maka dengan sangat halus tidak menyinggung tokoh manusia. Selain itu
unsur kecerdikan, kejujuran, sikap ksatria pada tokoh utama menjadi daya tarik tersendiri bagi
anak-anak.
4. Prof. Asdi S Dipodjojo mengatakan “ usaha menanamkan dan pelestarian moral, tatanan,
tingkahlaku, perbuatan yang telah menjadi kesepakatan masyarakat kepada anggota-anggota
masyarakat penerusnya dengan cerita binatang sebagai wahananya.

23
5. Cerita Wayang (Epos). Epos Ramayana dan Epos Mahabaratha mengandung pendidikan
moral dan pembentukan pribadi manusia yang bersusila, ksatria, jujur dan cinta tanah air. Sikap
kepada Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam cerita Dewaruci, sedang sikap cinta tanah air
digambarkan dengan dasar jiwa ksatria dan pengabdian yang seimbang / tidak memihak
digambarkan dalam cerita Kumbakarna Gugur.
6. Padepokan. Padepokan sebagai tempat yang memberikan ulah Kanuragan, ulah kejiwaan dan ulah
keprajan kanuragan, telah disisipkan pula berbagai pesan agar kemampuan yang dimiliki para siswa
/ santri hendaknya dipakai untuk membela kebenaran dan melindungi kaum yang lemah.
7. Pesantren. Melalui pesantren agama jelas sarat berisikan pendidikan moral agama. Moral. Agama
Islam yang bersifat universal menjadi pelopor pendidikan moral dan menjadi dasar pendidikan
moral.
Pendidikan Moral juga melalui karya sastra. Sastra lama merupakan perwujudan dari pancaran
tata kehidupan masyarakat lama.
Sastera lama Indonesia mempunyai sifat-sifat :
1. Didaktis yaitu memberikan pengajaran dan pendidikan pada pembacanya, baik bersifat didaktis
moral dan didaktis religius.
2. Komunal yaitu menjadi milik bersama
3. Anonim yaitu tidak diketahui nama penggubahnya
4. Simbolis yaitu sebagian besar ceritanya disajikan dalam bentuk perlambang
5. Tradisional yaitu mempertahankan kebiasaan atau adat untuk dapat mempertahankan kebiasaan
atau untuk tetap berlaku sesuai dengan keadaan jamannya.
6. Istana Sentris yaitu sebagian besar ceritanya berkisar pada kehidupan keluarga dalam
lingkungan istana.

B. PENDIDIKAN MORAL DAN CAUSA MATERIALIS PANCASILA


Dari berbagai bukti di atas maka pendidikan moral dan pendidikan religi telah ada sejak
jaman dahulu meskipun bentuknya telah berubah tidak seperti saat ini. Pendidikan Moral
bersumberkan Religi, Adat-istiadat, dan kebudayaan telah diajarkan pula dalam bentuk pepatah,
peribahasa, puisi, nyanyian dan cerita-cerita. Dengan demikian konsep hidup bermoral bagi manusia
Indonesia telah ada sejak jaman dahulu dalam bentuk Causa Materialis Pancasila (asal mula bahan
Pancasila).
Moral Pancasila tersebut sebagai moral bangsa harus tetap dimiliki atau dapat menjadi moral
perseorangan, sehingga manusia Indonesia sebagai pendukung Pancasila mempunyai sikap dan
tingkahlaku yang sesuai dengan sila-sila Pancasila.

24
Sikap dan tingkah laku ini harus mencerminkan sila-sila Pancasila, untuk itu harus ada
proses Internalisasi yang dilakukan melalui jalur :
a. Pendidikan,
b. Imitasi,
c. Latihan dan
d. Suri Tauladan,

C. OBYEK MORAL
Manusia setiap yang akan melakukan perbuatan harus menentukan sendiri yang akan dikerjakan,
karena itulah dipilih SIKAP yang harus diambil. Sikap inilah yang ditentukan oleh kehendak yang
merupakan sikap batin manusia. Dengan demikian maka perbuatan yang akan dilakukan sebenarnya
merupakan obyek yang ada dalam Suara Batin atau Suara Hati ( conscience ) manusia.
Dalam diri manusia ada dua macam suara yaitu :
1. suara hati yang mengarah atau mengajak kepada kebaikan
2. suara was-was yang memberitahu atau mengajak kepada keburukan
Suara hati tersebut akan memanggil-manggil manusia jika manusia akan berbuat , sedang berbuat
jahat dan bahkan setelah berbuat jahat. Suara batin tersebut akan mengingatkan bahwa perbuatan itu
kurang baik. Martin Heidegger menyatakan bahwa “Suara itu berupa seruan atau himbauan yang
memaksa untuk didengarkan”. “ Suara itu datangnya tidak terduga-duga sebelumnya dan tanpa
dikehendaki, suara itu datang dari diriku, akan tetapi juga menguasai diriku “

Akan berbuat

Suara hati yang memaksa Sikap batin Sedang berbuat

Setelah berbuat
Suara batin ini menurut IR Poedjawijatna bisa berupa :
1. Index yaitu yang memberi petunjuk tentang baik buruk suatu tindakan yang mungkin
akan dilakukan seseorang
2. Iudex yaitu hakim karena setelah melakukan suatu perbuatan maka kata hati itu yang
memutuskan / menentukan apakah perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau buruk

25
3. Vindex yaitu penghukum karena jika perbuatan yang telah dilakukan itu buruk maka
kata hatinya akan menghukum terus menerus bahwa perbuatan kita buruk agar kita
menyesali.

Dalam agama Islam, dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dibawa sejak
lahir yaitu Hati Nurani (Qolbu) yang merupakan Fitroh manusia, dan lemah kerasnya hati
nurani tergantung oleh pembentukan lingkungan pribadi yang membentuk keimanan kepada
Allah. Sebaliknya bagi orang yang kurang kuat beragama maka sering bertindak
mengandalkan hati nurani tetapi menyingkirkan ketentuan agama sehingga ukuran baik dan
buruk diukur hanya melalui hati nurani sehingga akhirnya hasilnya labil dan ragu-ragu. Karena
itulah maka manusia seharusnya tidak sekedar mempertimbangkan akal dan hati nurani saja,
tetapi harus dilandasi keimanan dan agama.

D. KESADARAN MORAL
Penilaian terhadap perbuatan bermoral ternyata harus dilihat dan diuji apakah perbuatan
tersebut didasarkan pada kesadaran moral, karena dalam kesadaran moral tingkahlaku atau
perbuatan itu dilaksanakan secara sukarela dan keluar dari kesadaran diri pribadi dan bukannya
merasa terpaksa atau dirasakan sebagai kewajiban. Untuk itu maka melakukan suatu perbuatan
yang didasari nilai rasa wajib itu nilainya lebih rendah dibandingkan rasa sadar, sehingga
manusia harus mampu mengubah rasa kewajiban menjadi kesadaran.
Menurut Frans Von Magnis, “kesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk
melakukan tindakan yang bermoral, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan
bermoral itu ada dan terjadi di setiap hati sanubari manusia, siapapun, dimanapun dan
kapanpun juga”
Dengan demikian suatu perbuatan yang baik, dapat digambarkan :
Kehendak baik  harus sesuai nilai Kodrat manusia  Perbuatan Susila  disyaratkan harus
dengan Cara yang baik dan Tujuan yang baik  yang harus sesuai dengan norma moral dan
norma etis.

26
PERKEMBANGAN MORAL DALAM PENDIDIKAN MORAL
Semua orang yang berpredikat sebagai pendidik dan orangtua harus memahami tentang
perkembangan anak atau pertumbuhan usia anak, karena dari perkembangan usia anak ini maka
sekaligus bisa kita ikuti dengan memahami perkembangan moral anak atau siswanya, sehingga
akan memudahkan orangtua dan pendidikan membantu perkembangan jiwa dan moral anak
yang bersangkutan.
Hal ini karena setiap manusia yang lahir telah dibekali oleh potensi hati nurani yang
diwujudkan dalam tahap-tahap perkembangan moral, perkembangan moral inilah akan tumbuh
bersama dengan kesadaran moral anak.
Ada beberapa teori tentang perkembangan moral yaitu :
1. Teori perkembangan moral dari Nouman J Bull
2. Teori perkembangan moral dari Jean Piaget
3. Teori perkembangan moral dari John Dewey
4. Teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg

Untuk lebih jelas dan rinci tentang Teori Perkembangan Moral baca buku Moral Development
dari Ronald Duska and Marielen Whelan serta dari Elizabeth Hurlock maupun John Santrock
Teori Perkembangan Moral mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pendidikan moral
karena dengan kita memahami teori-teori perkembangan moral maka akan memudahkan para
pendidik ;
1. Memahami tingkat perkembangan moral siswa sehingga guru dapat memberi perlakuan
pembelajaran sesuai tingkat perkembangan moralnya, karena dengan tingkat
perkembangan moral siswa yang berbeda maka memerlukan cara perlakuan yang
berbeda pula.
2. Mengetahui kebutuhan-kebutuhan siswa secara psikologis khususnya sesuai dengan
tugas-tugas perkembangan moralnya.
3. Dapat memilih dan menyeleksi alternatif terbaik untuk menanggulangi masalah-masalah
siswa khususnya yang berkaitan dengan tingkat perkembangan moral.
4. Menyelesaikan permasalahan dalam sistem pembelajaran maupun dalam pengelolaan
kelas sesuai dengan tingkat perkembangan moral siswa.

27
5. Mengingat perkembangan moral memiliki korelasi atau hubungan dengan tingkat
kematangan kognitif, sehingga pendidik dapat menyesuaikan perkembangan kognitif
dengan strategi/pendekatan/sistem pembelajaran sesuai dengan perkembangan moral
peserta didik

Perkembangan kesadaran moral adalah bertahap dan manusia sejak lahir mempunyai potensi
moral yang merupakan peralatan hidup sebagai mahluk sosial. Potensi moral tersebut tumbuh
dan berkembang dalam hubungan pergaulan dengan sesama manusia. Lingkungan alam dan
masyarakatnya yang pada akhirnya membentuk kesadaran moral melalui tahap-tahap
perkembangan.

Pendidikan moral di Indonesia telah ada sejak berabad-abad dalam berbagai bentuk. Pendidikan
moral merupakan masalah yang dihadapi semua orang tua, guru dan masyarakat dari berbagai
latar belakang sosial. Seseorang akan mencapai tingkat perkembangan moral memerlukan
proses pendidikan moral secara terprogram maupun tidak terprogram. Ada dua jalur yang
terprogram dalam kurikulum pendidikan di Indonesia yang diberikan dalam seluruh jenjang
pendidikan adalah :
1. Melalui pendidikan moral yaitu pada mulanya melalui Civics, yang berkembang menjadi
PKN, kemudian menjadi PMP, berubah lagi, menjadi PPKN, selanjutnya pada tahun 2001
berubah menjadi Budi Pekerti dan PKN.
2. Melalui pendidikan Agama yaitu pemberian materi kaidah dan nilai-nilai agama yang
sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Agama merupakan sumber nilai yang
tertinggi atau nilai pamungkas apabila ternyata manusia tidak dapat menjawab pilihan nilai
yang harus diambil atas beberapa alternatif nilai yang dilemmatis.
Selain jalur yang terprogram tersebut telah dibahas adanya pendidikan moral melalui jalur non
formal dan informal yaitu melalui nyanyian daerah, cerita kepahlawanan, cerita binatang,
legenda, padepokan, pesantren, karya sastra dsb yang kesemuanya sarat dengan pendidikan
moral.
Melalui jalur program pendidikan secara utuh maupun melalui non pendidikan bertujuan terjadi
internalisasi nilai pada tiap anak agar kelak mempunyai ukuran nilai yang bersumberkan dari
nilai-nilai yang teruji kebenarannya.

28
Pembahasan pprkembangan moral pada tiap individu dapat dikaji dalam 3 sudut
tinjauan yaitu:
1. perkembangan moral ditinjau dari sudut tingkah laku moral
2. perkembangan moral ditinjau dari sudut pernyataan moral (moral statement )
3. perkembangan moral ditinjau dari sudut pertimbangan moral (moral judgement .

Teori Perkembangan Moral menurut Nouman J. Bull


Teori ini mendasarkan bahwa setiap anak yang lahir tanpa suatu bentuk kesadaran,
amak kecil dapat dikatakan belum memiliki peranan moral, ia belum dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar. Perasaan moral
tentang baik dan buruk akan muncul sebenarnya dari masyarakat luas yang dimulai dari
lingkungan keluarga.

Menurut Nouman J.Bull, tahapan perkembangan moral ada empat tahap yaitu:
1. Anomi ( without law )
Pada tahap ini anak belum mempunyai perasaan moral dan belum ada perasaan untuk
mentaati peraturan-peraturan yang ada, misal membuat lingkaran dengan cara kencing
sambil berlari.
2. Heteronomi ( Law impossed by others )
Pada tahap ini peraturan mulai muncul dan diterima dengan dipaksakan oleh orang lain,
sehingga moralitas terbentuk karena pengaruh dari luar atau external morality.
Pemaksaan peraturan dari luar dengan cara pengawasan, kekuatan atau paksaan
mengakibatkan ada yang individu yang mulai menerjang aturan moralitas tersebut
dengan memakai aturan sendiri, yang berakibat penyimpangan / gesekan antar aturan
nilai. Misalnya tidak mengindahkan aturan tata krama yang berlaku dalam suatu
masyarakat karena tanpa sanksi yang tegas.
3. Sosionomi ( Law driving from society )
Sebagai mahluk bermasyarakat maka manusia mulai menyeragamkan dan mencari
bentuk aturan yang dapat digunakan bersama orang lain, bersama kelompok dan
anggota masyarakat yang lebih luas. Pada tahap ini manusia dituntut untuk menyadari
bahwa dirinya adalah anggota dari suatu kelompok yang memiliki aturan bermain yang

29
sama yaitu moralitas tertentu yang harus wajib ditaati dengan penuh rasa
tanggungjawab.
4. Autonomi ( Law driving from self )
Dalam tahap ini perkembangan moral seseorang telah mencapai tahap yang paling
tinggi, karena pembentukan moral berasal dari kesadaran individu sendiri dan diawasi
dikendalikan oleh diri sendiri pula. Kemandirian pemilihan moralitas ini lebih
menekankan pada kesadaran dan bukan kewajiban, karena bertolak dari rasa kesadaran
maka pengamalan moralitas lebih stabil dan bisa diterima secara luas.

Perkembangan Moral menurut Jean Piaget


Perkembangan moral dari Jean Piaget bertolak dari kajian pertimbangan moral (moral
judgement) yang dimiliki oleh seseorang. Jean Piaget (guru besar psikologi eksperimental dari
Genewa) telah mengadakan penelitian lebih dari 50 tahun mengenai asal-usul dan
perkembangan struktur kognitif dan perkembang-an pertimbangan moral. Jean Piaget
menganalisis “sikap verbal siswa” terhadap aturan permainan, tindakan yang keliru
(clumsiness), mencuri menipu. Jean Piaget berpendapat bahwa dalam tingkat moralitas muncul
keyakinan bahwa “seluruh moralitas terkandung dalam sistem peraturan dan hakekat seluruh
moralitas harus dicari dalam sikap hormat kepada peraturan”
Moralitas dapat dideteksi dan diamati melalui dua indikator yaitu
1. Bagaimana peraturan tersebut dianggap sebagai hal yang membatasi tingkah laku atau
bagaimana kesadaran akan peraturan atau rasa hormat seseorang terhadap suatu peraturan ?
2. Bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan ?

Dari hasil pengamatan Jean Piaget ternyata seorang anak yang sedang bermain kelereng tidak
dijumpai adanya ketaatan bermain karena alasan jika taat peraturan akan mendapat ganjaran
atau hukuman, melainkan menemukan bahwa peraturan itu suci dan tidak dapat diubah oleh
peserta bermain (tahap heteronomi), dan mereka sampai pada kesadaran akan peraturan ( tahap
autonomi ) yaitu peraturan itu adalah hasil persetujuan bersama dari peserta bermain.
Jean Piaget melalui permainan kelereng menemukan ;
1. Sensory motorik yaitu pada anak usia 0 – 2 tahun. Anak-anak bermain kelereng tiada
aturan yang mengendalikan aktivitas mereka dan tidak ada kesadaran akan peraturan

30
yang mengatur penggunaan butir kelereng, misal ; kelereng dilemparkan atau
ditendang bahkan masuk mulut.
2. Pre Operational Representation yaitu pada anak usia 2 – 7 tahun, pada diri anak
mulai timbul secara berangsur-angsur kesadaran akan peraturan, tetapi peraturan itu
dianggap suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan permainan bersifat
egocentris yaitu aturan permainan yang digunakan hanya melihat atau meniru dari
aturan permainan yang sebelumnya telah dilihat atau yang berlaku secara umum, tanpa
disadari bahwa mereka bermain dalam permainan bersama.
3. Concrete Operation yaitu pada anak usia 7 – 11 tahun, pada usia ini anak mulai beralih
dari kesenangan psikomotor menuju pada tingkat kesadaran adanya kerangka aturan
yang disepakati, yang pada akhirnya anak akan berkembang mencapai tahap autonomi
seirama dengan kematangan kognitif.
4. Formal Operation yaitu anak usia 11 sampai dewasa, pada usia ini anak berkembang
menuju kemampuan berpikir abstrak, karena pada saat itu dirasakan pentingnya
penghimpunan aturan (codifikasi of rules). Seluruh aturan permainan dibuat dengan
terperinci bahkan bisa terjadi waktu permainan dapat habis karena mereka sibuk
membuat aturan-aturan permainan baru daripada digunakan untuk melaksanakan
permainan itu sendiri.

Berkenaan dengan dengan teori di atas, maka ada beberapa hal yang patut dicatat yaitu:
1. Rentang titik heteronomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan
daripada totalitas orientasi mental individu.
2. Melalui pergaulan dan kerjasama maka anak mengembangkan pengertian tentang tujuan dan
sumber-sumber aturan-aturan.
3. Anak pada usia 2 – 7 tahun menempatkan dirinya dikendalikan oleh aturan-aturan yang
tidak dapat diganggu gugat. Misal aturan bermain kelereng, rumah-rumahan jika ada yang
memintas di atas garis gundukan pasir sebagai dinding khayal akan marah besar dan
dianggap merusak rumah buatannya.
4. Dalam menghargai aturan yang diterima dari luar, anak belum memiliki pengertian dan
motivasi untuk berbuat konsisten (ajeg) dengan aturan tsb.

31
5. Pada tahap autonomi maka anak akan menyadari adanya aturan yang menghubungkan
dengan pelaksanaan dari aturan tsb, yaitu adanya aturan maka terjadi ketertiban pelaksanaan
permainan dan sebaliknya permainan akan tertib jika sebelumnya dibuat kesepakatan-
kesepakatan aturan bermain.
6. Tujuan dan arah perkembangan kesadaran terhadap aturan, adalah tercapainya autonomi
pembuatan aturan dan pelaksanaan aturan tersebut.
Pemahaman anak terhadap aturan hanya apa yang dilihat kemudian ditiru, kemudian
dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan tidak dapat diganggu gugat atau aturan itu suci,
disebut “Realisme Moral”
Realisme Moral adalah Suatu kecenderungan untuk menganggap kewajiban dan nilai yang
melekat padanya sebagai bagian yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh akal manusia
sebagai sesuatu yang mempengaruhi sendiri tanpa memandang keadaan saat individu
menemukan dirinya. Rasa wajib pada tahap heteronomi dipandang sebagai perintah dan
pengaruh orang dewasa seperti larangan menipu, mencuri, mabuk dsb, sebagai dasar
tumbuhnya suara hati dalam arti moral, sehingga realisme moral akan tercapai pada tahap
autonomi.

Perkembangan Moral menurut John Dewey dan Lawrence Kohlberg


Teori perkembangan moral menurut John Dewey, didasarkan pada perkembangan
koqnitif. Menurut John Dewey pendidikan moral seperti pendidikan intelektual mempunyai
basis pada berpikir aktif mengenai masalah-masalah moral dan keputusan-keputusan
selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan moral
dan intelektual.

John Dewey menarik tiga tingkatan perkembangan moral, yaitu :


1. Tingkat pre-moral atau pre-konvesional. Pada tahap ini tingkah laku atau perbuatan
seseorang dimotivasi oleh dorongan sosial dan biologis.
2. Tingkat tingkah laku konvesional. Pada tahap ini individu menerima ukuran-ukuran yang
terdapat dalam kelompoknya dengan berefleksi secara kritis pada tingkat yang rendah.

32
3. Autonomi. Pada tahap ini tingkat laku atau perbuatan dibimbing oleh pikiran atau
pertimbangan individu sendiri. Apakah ukuran-ukuran yang berasal dari kelompoknya itu
diterima begitu saja, hal ini tergantung pada dirinya.
Pada tahun 1955 Lawrence Kohlberg (Guru besar Pendidikan dan psikologi sosial
di Harvard University, AS) mendefinisikan kembali dan mensahkan (validate) tingkat dan
tahapan yang dirintis oleh John Dewey dan Jean Piaget melakukan penelitian tentang
perkembangan moral selama duapuluh tahun terhadap anak laki-laki di Amerika dan Turki,
seperti Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, tidak memusatkan pada :
1. Tingkah laku moral seseorang, sebab tingkah laku seseorang belum menunjukan banyak
mengenai kematangan moral.
2. Pernyataan (statement) orang, apakah tindakan tertentu itu salah atau benar. Seseorang
dewasa dan anak kecil mungkin berkata mencuri mangga itu salah.
Indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral adalah pertimbangan subjek
mengenai apa yang akan dilakukan itu salah atau benar. Pertimbangan moral ini adalah ciri
khusus penyelidikan Lawrence Kohlberg yang membedakan dari penyelidikan yang
memusatkan pada tingkah laku moral. Dari pertimbangan-pertimbangan yang diberikan itu,
akan membedakan kematangan moral seorang dewasa dengan seorang anak. Misalnya
pertimbangan apa yang dapat dilakukan oleh seorang dewasa atau seorang anak kecil.
Hasil penelitian mengenai pentahapan pertimbangan moral ( moral judgement )
adalah sebagai berikut :
1. Preconventional level.
Pada tahap ini, anak peka terhadap aturan-aturan yang mempunyai latar belakang
budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar atau salah. Tetapi dalam
menafsirkan tanda baik dan buruk, benar atau salah, dipandang dari sudut, akibat fisik
suatu tindakan (atau orang, dsb) atau dari sudut ada tidaknya kekuasaan fisik dari orang-
orang yang mengeluarkan aturan-aturan dan atau yang memberi penilaian baik-buruk itu.
Tingkatan ini dibagi menjadi dua tahap :
Tahap pertama : tahap orientasi kepada hukuman dan kepatuhan.
Yang menentukan baik dan buruknya suatu tindakan adalah akibat fisik yang akan
diperoleh seseorang, bila seseorang tidak mematuhi peraturan. Menghindari
hukuman dan tunduk pada kekuasaan, adalah nilai baginya. Jadi bukan karena rasa

33
hormat pada peraturan moral yang didukung oleh hukuman dan otoritas melainkan
takut pada hukuman yang akan dijatuhkan.
Tahap kedua : tahap orientasi relativis instrumental.
Pada tahap ini baik buruknya tindakan, apabila tindakan itu memberi kepuasan pada
diri sendiri atau kadang-kadang terhadap orang lain. Dalam hubungan dengan orang
lain, ada prinsip timbal balik dimengerti secara fisis dan pragmatis (kebaikan dibalas
kebaikan, keburukan dibalas keburukan). Disini tidak ada prinsip loyal hormat atau
adil.
2. Conventional level.
Pada tingkat ini, usaha dalam memenuhi mempertahankan harapan keluarga, kelompok
atau bangsa, dipandang sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri tanpa melihat
akibat langsung dan nyata. Sikap yang ada bukan hanya akan menyesuaikan diri
dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, tetapi suatu sikap
ingin loyal, ingin menjaga, menunjang dan memberi yustifikasi, ketertiban itu dan sikap
menghubungkan diri dengan individu-individu atau kelompok yang ada di dalamnya.
Dalam tingkatan ini ada dua tahap :
Tahap ketiga : orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”
(Good boys and nice girls).
Tingkah laku dikatakan baik apabila menyenangkan atau dapat membantu orang
lain dan mendapat persetujuan orang lain itu. Tingkah laku tersebut dinilai
menurut kadarnya “Dia bermaksud baik” dan kemudian orang berusaha agar
lingkungan menerima dengan sikap “manis”.
Tahap keempat : orientasi hukum dan ketertiban.
Tingkah laku yang baik berupa melakukan kewajiban dan penghargaan terhadap
penguasa dan ikut serta memelihara ketertiban sosial. Dalam tahap ini orientasinya
pada penguasa, peraturan-peraturan yang ada dan pemeliharaan ketertiban sosial.

3. Tingkat Pasca-konvensional, autonomi atau berprinsip.


Pada tingkat ini tampak dengan jelas untuk menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
moral yang memiliki kesahihan (validity). Penetapan tersebut terlepas dari :
Satu: penguasa kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut,

34
Dua: apakah individu yang bersangkutan masuk dalam kelompok atau tidak.
Tingkatan ini mempunyai dua tahap :
Tahap kelima : orientasi pada konsensus sosial yang sah menurut hukum (social
contract-legalistic orientation).
Ada kecenderungan pada tahap ini, bahwa suatu tindakan yang baik atau
benar dilihat dari segi hak-hak umum dan norma-norma yang telah dikaji dari
seluruh masyarakat. Disini telah ada kesadaran, bahwa nilai dan pendapat
pribadi itu relatif, karena itu perlu ada perbuatan yang mengatur untuk
mencapai kata sepakat.
Selain daripada itu, ada suatu pandangan bahwa segala sesuatu itu harus
sah, menurut hukum (legalistis), tetapi hukum dapat diubah untuk
kepentingan kemaslahatan masyarakat. Di luar hukum ada kebebasan untuk
membuat persetujuan dan kontrak, yang mengikat hak dan kewajiban yang
timbul karena persetujuan itu.
Tahap keenam : orientasi pada asa etika universal (universal,ethical, principle
orientation).
Dalam tahap ini suatu kebaikan/kebenaran didasarkan pada suara hati, sesuai
dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri yang menunjukkan sifat
komprehensif, umum dan ajeg (konsisten). Prinsip-prinsip bersifat abstrak
dan ethis (susila) dan bukan peraturan moral yang kongkrit seperti Perintah
dalam Al Qur’an, Sepuluh Perintah Tuhan dsb. Di dalamnya terkandung
makna, prinsip umum, keadilan, asas timbal balik persamaan hak dan
penghargaan terhadap manusia sebagai manusia pribadi.
Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral, Lawrence Kohlberg
mengemukakan empat sifat dalam perkembangan moral itu. Sifat-sifat tersebut adalah
sebagai berikut: Perkembangan setiap tahap selalu sama (stage development is invariant).
Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan seseorang tidak dapat
mencapai suatu tahap dengan tidak melalui tahap-tahap sebelumnya.
1. Dalam perkembangan tahap pertama. Seseorang tidak dapat memahami penalaran
moral, orang yg berada dalam tahap kedua, kiranya tidak dpt me- loncat utk
memahami penalaran pd tahap keempat paling bisa tahap ketiga.

35
2. Dalam perkembangan moral. Seseorang secara kognitif tertarik untuk berpikir
satu tahap di atas tahapnya sendiri. Seseorang yang berada dalam tahap pertama
akan dirangsang untuk berpikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap
ketiga, dan seterusnya, menurut Lawrence Kohlberg bahwa berpikir secara
kognitif pada tahap yang lebih tinggi lebih memadai bilamana dibandingkan
dengan cara berpikir pada tahap dibawahnya, sebab dapat memecahkan masalah
dengan lebih baik.
3. Dalam tahap perkembangan tahap ke tahap disamping oleh terciptanya cognitive
disequeilibrium, maka bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk
menyelesaikan suatu dilemma moral yang dihadapinya, ia akan dirangsang untuk
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih memadai dalam memecahkan
dilemma moral yang dihadapinya.
Akhirnya tahapan-tahapan dari Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg
mengandung karakteristik sebagai berikut :
Pertama :
Tahapan itu adalah keseluruhan yang terstruktur atau sistim berpikir yang terorganisasi.
Setiap individu konsisten pada tingkat pertimbangan moral.
Kedua :
Tahapan membentuk satu keteraturan gerakan dari satu tahap kepada tahap yang lebih
tinggi dan tidak pernah mundur. Setiap individu tidak pernah meloncati sesuatu tahap.
Ini berarti keseluruhan tahapan itu dialami dan dilalui secara maju dari tingkat terendah
sampai kepada tingkat tertinggi.
Ketiga :
Tahapan berintegrasi secara hierarkhis. Berpikir pada tahapan yang lebih tinggi
termasuk atau lengkap didalamnya berpikir dalam tahapan yang lebih rendah. Seorang
berpikir pada tahap keempat, yakni “Orientasi pada hukum dan ketertiban”, berarti
dalam konteks itu secara serempak ia juga berpikir dalam tahap-tahap satu, dua, dan tiga.
Tetapi belum berpikir pada tahap lima dan enam.
Perkembangan moral seseorang yang diteliti oleh Jean Piaget dan Lawrence
Kohlberg setelah mengadakan penelitian perkembangan moral dengan tahap-tahapnya
selama puluhan tahun. Dalam tahun-tahun itu di interview sebanyak 50 orang remaja

36
laki-laki dibeberapa kota, antara lain di Chicago, Turki, Canada dan lain-lain. Kiranya
teori perkembangan moral ini memberi sumbangan pada pendidikan moral di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Daroeso,Drs,SH,.1988, Dasar Konsep Pendidikan Moral Pancasila, CV.Aneka Ilmu,
Semarang.
Drijarkara,N.S.J, 1989, Percikan Filsafat, Pt Pembangunan, Jakarta.
Nu’man Somantri, 1976, Metode Mengajar Civics, Erlangga, Jakarta
Notonagoro, 1990, Beberapa Hal mengenai Falsafah Pancasila, Pancuran Tujuh, Jakarta
--------------, 1992, Pancasila secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta
Sunoto, 1988, Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan melalui Metafisika, Logika, Etika, FE
UII, Yogyakarta
Zaenuddin Drs, Soenaryati Moehadjir, Dra,.1985, Dasar Konsep Pendidikan Moral
Pancasila, PPKn IKIP Yogyakarta
Zakiah Daradjat, 1988, Membina Nilai Nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai