Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH AL-QUR'AN

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampu : Abdul rohim, S.Ag.,M.Pd.I

Disusun Oleh :
Ayu Citra Lestari

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS KKEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Pancasila Sebagai Sistem
Filsafat”

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya para
mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


dalam pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pangandaran, 06 Okt 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………..……….2

Daftar Isi………………………………………………………………………….….……..3

Bab 1 Pendahuluan

Latar Belakang…………………………………………………………………......4

Rumusan Masalah……………………………………………………………........5

Tujuan……………..………………………………….............................................5

Bab 2 Pembahasan

a. Pengertian Al-qur’an………………….…………………….............................6

b. Pengumpulan Al-qur’an.....................................................................................9

c. Penyalinan Al-qur’an……………………………... ……………….....……..15

d. Fungsi Dan Peranan Al-qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari........................19

e. Sejarah Al-qur’an…………………………………………………………….20

f. Suroh-suroh Dalam Al-qur’an………………………………………………..21

Bab 3 Penutup

a. Kesimpulan…………………………..............................................................23

b. Saran. ……………………………..................................................................23

Daftar Pustaka………………………….........................................................................24
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada umumnya di dunia ini terdapat berbagai macam dasar negara yang
menyokong negara itu sendiri agar tetap berdiri kokoh, teguh, serta agar tidak
terombang ambing oleh persoalan yang muncul pada masa kini. Pada hakikatnya
ideologi merupakan hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi
terhadap dunia kehidupannya. Maka terdapat sesuatu yang bersifat dialektis antara
ideologi dengan masyarat negara. Di suatu pihak membuat ideologi semakin realistis
dan pihak yang lain mendorong masyarakat mendekati bentuk yang ideal. Idologi
mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga
membentuk masyarakat menuju cita-citanya. Indonesia pun tak terlepas dari hal itu,
dimana Indonesia memiliki dasar negara yang sering kita sebut Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi


negara dan karakteristik Pancasila sebagai ideologi negara. Sejarah indonesia
menunjukan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi
kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar
kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur.

Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dalam masing-
masing sila tidak bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila
merupakan pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia. Bahwasanya Pancasila yang
telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan
Undang- Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa,
yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu
kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia. Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa
Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwijudkan dalam pergaulan hidup sehari-
hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermatabat dan berbudaya tinggi.
Melalui makalah ini diharapkan dapat membantu kita dalam berpikir lebih kritis
mengenai arti Pancasila.
Rumusan Masalah

 Apa pengertian dari Pancasila dan Filsafat ?


 Bagaimana pengertian Pancasila sebagai suatu filsafat?
 Apa saja objek dari filsafat Pancasila?
 Bagaimana Pancasila melalui pendekatan dasar Ontologis, Epistemologis, serta
Aksikologis?
 Apa hakekat dari Pancasila?

Tujuan

 Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila dan Filsafat.


 Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Pancasila sebagai suatu
filsafat.
 Untuk mengetahui objek dari filsafat Pancasila
 Untuk mengetahui dan memahami Pancasila melalui pendekatan dasar
Ontologis, Epistemologis, serta Aksikologis.
 Untuk mengetahui hakekat dari Pancasila.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an
"Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi
Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar
dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca). Di dalam Al Qur’an sendiri ada
pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18
surah (75) Al Qiyaamah:

Artinya: ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan


(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika
kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".

Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan
diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"

Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi
Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya
tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an

Isi atau tubuh dari Al-Quran disusun dalam bentuk bahasa Arab Klasik, hal ini
juga diyakini merupakan transkrip literal dari Allah SWT yang kemurnian atau
keasliannya sangat terjaga. Hal ini bahkan dijanjikan dalam Al-Quran itu sendiri pada
surat Al-Buruj ayat 21-22 yang berbunyi:

‫ ۙ ٌد‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIْ‫بَ ْلهُ َوقُرْ ٰانٌ َّم ِجي‬


‫فِ ْيلَوْ ٍح َّمحْ فُوْ ٍظ‬

“Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Quran yang mulia.”


“Yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuzh).”

Tentunya, kata Al-Quran yang muncul ini dalam bentuk yang berbeda dengan
berbagai arti. Banyak ahli yang mengatakan bahwa istilah Al-Quran merupakan
padanan dalam bahasa Syiria yang artinya adalah ‘membaca kitab suci atau
pelajaran’. Terlepas dari itu, kata Al-Quran menjadi istilah dalam bahasa Arab.Dalam
ayat lain. istilah Al-Quran merujuk pada satu hal yang dibacakan oleh Nabi
Muhammad. Konteks ini terlihat dalam surat Al-Araf ayat 203-204 yang berbunyi,

َ‫ ُر ِم ْن َّربِّ ُك ْم َوهُدًى َّو َرحْ َمةٌلِّقَوْ ٍمي ُّْؤ ِمنُوْ ن‬Iِ‫ ۤا ِٕٕى‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫ص‬
َ َ‫َواِ َذالَ ْمتَأْتِ ِه ْمبِ ٰايَ ٍةقَالُوْ الَوْ اَل اجْ تَبَ ْيتَهَ ۗاقُاْل ِ نَّ َمٓااَتَّبِ ُع َمايُوْ ٰ ٓحىاِلَيَّ ِم ْن َّربِّ ۗ ْي ٰه َذاب‬
ِ ‫َواِ َذاقُ ِرئ َْالقُرْ ٰانُفَا ْستَ ِمعُوْ الَهٗ َواَ ْن‬
َ‫صتُوْ الَ َعلَّ ُك ْمتُرْ َح ُموْ ن‬

“Dan apabila engkau (Muhammad) tidak membacakan suatu ayat kepada mereka,
mereka berkata, “Mengapa tidak engkau buat sendiri ayat itu?” Katakanlah
(Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku
kepadaku. (Al-Qur’an) ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”.
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu
mendapat rahmat.”

Al-Quran menggambarkan dirinya sendiri sebagai pembeda atau Al-Furqan, kitab


utama atau Ummul Kitab, penuntun atau Huda, kebijaksanaan atau Hikmah,
pengingat atau Dzikir, dan sesuatu yang diturunkan dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang rendah atau Tanzil.

B. PengumpulanAl-Qur'an
Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang
Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal
al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir
akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya para huffazh.
Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di lembaran-
lembaran.

Zaid bin Tsabit ra berkata:

Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban Perang Ahlul Yamamah.
Saat itu Umar bin Khaththab berapa di sisinya.

Abu Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata:
“Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’
(para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para
qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan
hilanglah sebagian besar al-Qur`an.”

Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw?” Umar menjawab: “Demi Allah ini
adalah sesuatu yang baik.” Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga
Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu
Bakar berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar.

Zaid bin Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku,
“Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah
memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah
saw sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia.”

Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari


tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan
kepadaku mengenai pengumpulan al-Qur`an.

Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah


dilakukan oleh Rasulullah saw?” Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang
baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataaannya sampai Allah memberikan
kelapangan pada dadaku seperti yang telah diberikanNya kepada Umar dan Abu
Bakar ra.

Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah


kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat, hingga aku
dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku
temukan dari yang lainnya, yaitu ayat:
Laqad jaaa`akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaiHi maa ‘anittum hariishun
‘alaikum bil mu`miniina ra`uufur rahiim

Artinya:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-
Taubah [9]: 128)

Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan
hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di
hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima,
kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat: 1) Harus
diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal oleh salah
seorang dari kalangan sahabat.

Saking telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti


karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat
at-Taubah tsb ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja.
Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa
Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah
sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.

Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an, namun
mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja.

Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat


namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan
al-Qur`an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-
lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.

Lembaran-lembaran al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama


hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya.
Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.

C. Penyalinan Al-Qur`an
Kemudian datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra.
Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin
al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah
melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka
membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu
juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin
Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi
dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama
muslim. Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan
Bashrah.Hudzaifah pun marah. Kedua matanya merah.
Hudzaifah berkata, “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan
penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan
Amirul Mu`minin, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut
menjadi satu.”

Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul


Mu`minin Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul
Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab (al-
Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Utsman kemudian mengutus
seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an
yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan
setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran al-
Qur`an itu kepada Utsman. Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk
menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf. Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang
biasa menulis?” Dijawab, “Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.” Utsman
bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?” Dijawab, “Said
bin al-‘Ash. Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid
untuk menuliskan al-Qur`an.”

Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami
kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.

Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang
menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat.
Ketika Said bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit
menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena
memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya.
Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu
tertulis di dalam lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka
memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk
menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin
teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti
dalam lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu
merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan
bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.

Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena
mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran
al-Qur`an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.

Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushhaf,


Utsman segara mengembalikannya kepada Hafshah.

Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah


negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah
salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah
dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf
Utsmani.

Utsman kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum


muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk
dibakar.
Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari
mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai
kepada kita sekarang.

Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan
titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf
yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan
bacaan bagi para pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada
masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan
dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan
kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.

Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf
lainnya.

Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama
dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin
terjaganya al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari
al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.

Allah SWT berfirman:

“ Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun “

Artinya:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-


benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Oleh karena itu, tidak perlu kita ragu-ragu terhadap orisinalitas al-Qur`an. Tak
perlu kita terprovokasi tipu daya orang-orang liberal yang berupaya membuat kita
ragu-ragu terhadap al-Qur`an. Orang-orang liberal itu memang telah berguru kepada
para orientalis yang mempelajari al-Qur`an bukan untuk mengimaninya, bukan untuk
menerapkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Mereka mempelajari al-Qur`an
untuk mencari-cari cara agar bisa melemahkan aqidah umat Islam. Semoga Allah
menghancurkan rencana-rencana mereka. Semoga Allah membuat sakit yang ada
pada hati mereka semakin parah dan semakin parah. Semoga Allah segera
membinasakan mereka karena sakit itu. Amin ya Allah ya Mujiibas saa`iliin.

D. Fungsi dan Peranan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari


Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT pasti ada manfaatnya. Al Quran
mengandung banyak pokok ajaran sehingga seluruh hidup dan kehidupan ini menjadi
teratur.Oleh karena itu di dalam Al Quran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
tentang fungsi Al Quran, seperti dikutip dari buku Al Quran dan Hadist karya
Muhaemin:

1. Petunjuk bagi Manusia


Al Quran adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia yang beriman
dan bertakwa daam hidup dan kehidupannya.
Hal ini sesuai firman Allah dalam Surat Al A'raf ayat 52:
٥٢ - َ‫ ْل ٰنهُ َع ٰلى ِع ْل ٍمهُدًى َّو َرحْ َمةًلِّقَوْ ٍمي ُّْؤ ِمنُوْ ن‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫ص‬
َّ َ‫َولَقَ ْد ِج ْئ ٰنهُ ْمبِ ِك ٰتبٍف‬

"Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Qur'an) kepada mereka,


yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman."
Hal ini dapat terlihat bagi siapa saja (manusia) yang mengikuti petunjuk Al
Quran akan mendapatkan kemuliaan, kejayaan, keselamatan, dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

2. Sumber Pokok Ajaran Islam


Sumber pokok ajaran Islam adalah Al Quran.
Sebab dari Al Quranlah diambil segala pokok syariat dan dalil-dalil syar'i
yang mencakup seluruh aspek hukum bagi manusia dalam menjalani hidup
di dunia atau di akhirat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An Nisa ayat 105:
ٰ
ِ ‫اِنَّآاَ ْن َز ْلنَآاِلَ ْيك َْال ِك ٰتبَبِ ْال َحقِّلِتَحْ ُك َمبَ ْينَالنَّا ِسبِ َمآاَ ٰرىكَاللّ ۗهُ َواَل تَ ُك ْنلِّ ْلخ َۤا ٕىِنِ ْينَخ‬
١٠٥ – ۙ ‫َص ْي ًما‬

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu


(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah
engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang yang berkhianat,”

3. Pengajaran bagi Manusia


Al Quran adalah pengajaran bagi manusia. Karena itu manusia mengetahui
jalan yang hak dan batil, antara yang benar dan yang sesat dan lainnya.
Hal ini tercantum dalam Surat Yunus ayat 57:

ُّ ِ‫ٰيٓاَيُّهَاالنَّا ُسقَ ْد َج ۤا َء ْت ُك ْم َّموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِشفَ ۤا ٌءلِّ َماف‬


٥٧ - َ‫ ُدوْ ۙ ِر َوهُدًى َّو َرحْ َمةٌلِّ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْين‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫ىالص‬

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an)


dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”
Dengan fungsi Al Quran itulah Al Quran memiliki peran yang sangat
penting dalam menjalani hidup. Tujuannya agar hidup berjalan kebenaran
dan keselamatan di dunia dan akhirat.

E. Sejarah tentang al-Qur’an


Sumber-sumber sejarah Islam mengatakan bahwa kumpulan wahyu Al-Quran
yang lengkap ditulis setelah kematian Nabi Muhammad. Ketika banyak sahabat-
sahabat Nabi yang hafal Al-Quran terbunuh di medan perang, ketakutan akan
kehilangan pengetahuan Al-Quran mulai muncul. Maka dari itu diputuskan untuk
mengumpulkan wahyu Al-Quran. Tulisan-tulisan wahyu Al-Quran datang dari
berbagai bahan seperti cabang pohon palem, batu dan ingatan para sahabat.

Sahabat Nabi, Zaid bin Tsabit, diketahui telah menyalin ayat-ayat Al-Quran
pada lembaran perkamen apapun yang bisa ditemukan, dan kemudian
menyerahkannya kepada Khalifah Umar bin Khattab yang pada saat itu menjabat
dari 634 – 644 M. Setelah kematian Umar bin Khattab, koleksi dari catatan Al-
Quran diwariskan kepada putrinya Hafsah.
Pada saat kepemimpinan Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan, ia mulai
menyadari adanya sedikit perbedaan dalam pengucapan Al-Quran saat Islam
berkembang dari Jazirah Arab ke Persia dan Afrika Utara. Untuk mencegah
adanya perbedaan dalam penulisan ayat-ayat Al-Quran, Khalifah Utsman bin
Affan yang menjabat dari tahun 644-656 M memerintahkan salinan dari Zaid bin
Tsabit dikirim ke pusat kota.

Dalam dua puluh tahun setelah kematian Nabi Muhammad, Al-Quran dibuat
dalam bentuk tertulis. Teks tersebut menjadi model dari mana salinan dibuat dan
disebarluaskan ke seluruh pusat kota negara-negara Muslim. Beberapa versi lain
dari Al-Quran kini telah dimusnahkan. Para ilmuwan dan sejarawan Muslim
meyakini dan menerima bahwa teks Al-Quran saat ini merupakan versi asli yang
disusun oleh para Khalifah.

Pada tahun 1972, di masjid yang berada di kota Sanaa Yaman, sebuah
manuskrip ditemukan. Manuskrip tersebut telah terbukti sebagai teks Al-Quran
yang paling kuno yang diketahui ada pada saat itu. Studi menunjukan bahwa
perkamen tersebut berasal dari periode sebelum 671 M.

Menurut sejarah Islam, Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad secara


terpisah dan berangsur-angsur. Seringkali ayat-ayat yang diturunkan merupakan
kelompok ayat yang terpisah. Sumber-sumber Islam menyimpan sejumlah besar
laporan tentang kejadian di mana suatu surat atau bagian dari sebuah surat
diturunkan. Dengan demikian, para penafsir Al-Quran pra-modern
membayangkan wahyu AL-Quran terkait erat dengan peristiwa-peristiwa tertentu
dalam kehidupan Nabi Muhammad.

Hadits ini diterima oleh umat muslim sebagai sumber hukum agama dan
pedoman moral setelah Al-Quran. Hadits atau sunnah ini bisa didefinisikan
sebagai biografi Nabi Muhammad yang diabadikan oleh ingatan para sahabat-
sahabatnya. Perkembangan hadits adalah elemen paling penting selama tiga abad
pertama dalam sejarah islam.

Hadits juga disebut sebagai tulang punggung dalam peradaban islam dan di
dalam agama islam otoritas hadits sebagai sumber hukum agama dan pedoman
hidup menempati urutan kedua setelah kitab suci Al-Quran. Otoritas hadits
berasal dari Al-Quran yang memerintahkan umat islam untuk mentaati dan
mengikuti ucapan Nabi Muhammad. Hal ini tertera dalam surat An-nur ayat 54
dan surat Al-Ahzab ayat 21, yang artinya,

“Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa
yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan
kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.”
ٰ ‫ُوااللّهو ْاليَوْ مااْل ٰ خرو َذكَر‬
‫اللّهَ َكثِ ْير ًۗا‬ ٰ ‫لَقَ ْدكَانَلَ ُكمفيْرسُوْ ٰللّها ُ ْسوةٌحسنَةٌلِّم ْنكَانَيرْ ج‬
َ َ َ ِ َ ََ َ َ َ َ َ ِ ‫ْ ِ َ اِل‬
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan
yang banyak mengingat Allah.”

Meskipun jumlah ayat yang berkaitan dengan hukum dalam Al-Quran tidak terlalu
banyak, hadits memberikan arahan tentang segala hal mulai dari rincian kewajiban
ritual seperti mandi, wudhu, dan tata cara sholat, sampai bentuk salam yang benar
hingga pentingnya berbuat baik kepada para budak. Jadi, sebagian besar aturan
syariah atau hukum islam berasal dari hadits, bukan dari Al-Quran.
Berbeda dengan Al-Quran, tidak semua umat muslim meyakini akan orisinalitas
hadits atau tidak percaya semua catatan hadits. Hal ini datang karena hadits tidak
ditulis oleh para pengikut Nabi Muhammad segera setelah kematiannya, namun
hadits ditulis beberapa generasi kemudian. Hadits disusun dan dikumpulkan menjadi
kumpulan besar literatur Islam. Koleksi-koleksi hadits yang berbeda akan menjadi
pembeda dari berbagai cabang agama Islam.

F. Surah-surah dalam al-Quran


Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan
batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang
ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).Sebagian dari surat-
surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih
dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap
surat.

Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan
pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:

1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al


Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan
Yunus.

2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih


seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.

3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari


seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.

4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha,


Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

kesimpulan dari pembahasan diatas Al- Quran adalah satu satunya kitab yang tidak
mengalmi perbuahan dan pengaruh dari luar , dan mempelajarinya adalah
ibadah,meskipun hanya membacanya saja tanpa tau artinya itu sudah menjadi amal
untuk kita apalagi memepelajari keseluruhannya Al Quran juga merupakan kalam
ALLAH yang di bukukan untuk dijadikan pedoman dalam menjaankan hidup di
dunia demi kemaslahatan di akhirat nanti.

Saran

Secara sadar dan menyadari bahwasanya penulis masih sangat jauh dari
sempurna, dengan adanya makalah ini penulis akan belajar lebih baik lagi untuk
kedepannya dengan mencari sumber sumber yang lebih luas lagi,jika ada kekurangan
dari penulis mohon dimaafkan karna penulis belum sempurna dan tidak luput dari
salah
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/NurDh2/makalah-alquran-ii-191792748

https://www.google.com/amp/s/news.detik.com/berita/d-5322811/pengertian-dan-
fungsi-al-quran-dalam-kehidupan-sehari-hari/amp

http://joerzack.tripod.com/SEJARAH_AL_QURAN.htm

http://media.isnet.org/islam/Bucaille/BQS/QSejarah1.html

http://mediaislamnet.com/2010/08/sejarah-penulisan-pengumpulan-dan-penyalinan-
al-quran/

Anda mungkin juga menyukai