Anda di halaman 1dari 32

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengolahan Hasil Perikanan


Sebagai sumber bahan pangan, ikan mempunyai beberapa keunggulan
komparatif dari sudut pandang ilmu gizi dan kesehatan dibandingkan dengan
pangan yang berasal dari darat. Keunggulan tersebut adalah (Poernomo et al.
2004) :
(1) Kandungan protein yang tinggi dengan susunan asam amino essensial (lisin,
leusin, fenilalanin, triptopan, dan lain-lain) yang lengkap, sangat diperlukan
untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan kecerdasan khsususnya bagi bayi
dan anak-anak.
(2) Kandungan asam-asam amino tertentu seperti taurine, glutathione, protamine,
yang mempunyai fungsi khusus dalam metabolisme tubuh.
(3) Lemak ikan kaya kandungan asam lemak tak jenuh jamak berantai panjang
(Polyunsaturated Fatty Acids = PUFA) konfigurasi ω-3 seperti EPA
(Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) yang sangat
diperlukan pada proses pembentukan jaringan otak (kecerdasan).
(4) Kandungan mineral makro maupun mikro yang tinggi, yang sangat
dibutuhkan untuk metabolisme tubuh sebagai kofaktor enzim (misal: Ca, Na,
Mg, Zn, Fe, I).
(5) Kandungan vitamin A yang tinggi dan “squalen” (dari hati ikan cucut), yang
masing-masing sangat diperlukan untuk kesehatan mata dan vitalitas tubuh.
Di sisi lain, ikan dan komoditas perairan lainnya dikategorikan sebagai
bahan pangan yang sangat mudah mengalami kemunduran mutu dan pembusukan
(highly persihable food), baik karena karakteristik dari komoditasnya (faktor
internal) maupun karena lingkungan (external) (Clucas, 1981). Segera setelah
ikan ditangkap/mati, maka serangkaian proses kemunduran mutu baik yang
disebabkan oleh reaksi kimia, enzimatis, dan mikrobiologis akan segera
berlangsung yang kesemuanya ini bermuara pada pembusukan sehingga ikan dan
komoditas perairan lainnya tidak layak lagi untuk dikonsumsi sebagai bahan
pangan. Bagi negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan kondisi suhu
lingkungan yang relatif tinggi akan mempercepat proses kemunduran mutu
tersebut. Oleh karena itu teknik penanganan yang tepat dan cepat sangat mutlak
diperlukan.
2.1.1 Metode penanganan (handling) untuk memperlambat
proses kemunduran mutu
Pada produk pangan yang cepat membusuk seperti ikan basah, mutu ikan
selalu identik dengan kesegaran. Dalam istilah ”segar” tercakup dua pengertian
yaitu (i) baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan, dan (ii) mutunya
masih original, belum mengalami kemunduran (Ilyas, 1983). Cara penanganan
ikan yang benar segera setelah ditangkap akan menentukan mutunya.
Pembuangan sumber-sumber bakteri pembusuk dalam tubuh ikan seperti insang,
bagian dalam perut (jeroan) dan lendir adalah langkah awal guna
mempertahankan mutu ikan sesegar mungkin. Dua metode penanganan dalam
mempertahankan kesegaran ikan atau memperlambat proses kemunduran mutu,
yaitu pendinginan dan pembekuan.
(1) Pendinginan (chilling)
Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan dengan suhu chilling (-1 - 5 oC)
adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme dan proses-proses kimia serta
fisis lainnya yang dapat mempengaruhi atau menurunkan kesegaran (mutu) ikan.
Dalam pendinginan diperlukan refrigrant (bahan pendingin), yang merupakan
sejenis medium atau alat untuk memindahkan panas. Bahan pendingin tersebut
berfungsi untuk memindahkan panas dari sebuah ruangan tertutup yang berisi
bahan makanan yang didinginkan. Sifat-sifat bahan pendingin yang ideal adalah;
mempunyai titik didih dan titik cair yang rendah, tidak menyebabkan karat pada
logam, tidak bisa terbakar atau meledak, tidak menyebabkan luka-luka, tidak
berbau busuk, murah dan dalam jumlah sedikit mudah diketahui.
Cara pendinginan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
1) Pengesan (icing)
Fungsi dari es adalah: (a) mempertahankan suhu ikan tetap dingin; (b)
menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah dan bekteri dari
permukaan badan ikan; (c) mempertahankan keadaan berudara (aerob) pada
ikan, selama disimpan dalam palka.
2) Pendinginan dengan air laut atau air garam dan es (iced-sea water).
Ikan yang didinginkan dengan brine + es atau air laut + es pada suhu -1,7 oC
(memakai air laut yang bersih atau brine 3%), lebih tahan lama bila
dibandingkan dengan yang hanya di-es dengan suhu 2 – 3 oC. Kekurangannya
adalah bila tidak ada sirkulasi brine dingin, suhu dalam wadah tidak merata
sehingga mutu ikan tidak seragam.
3) Penyimpanan di dalam air laut yang didinginkan secara mekanis (storage of
fish in refrigerated sea water = RSW). Dalam pendinginan ini dibutuhkan air
laut yang bersih atau larutan garam berkadar garam sampai 8% untuk
menghasilkan suhu air -1 oC sampai -2 oC. Keuntungannya adalah: (a)
penanganan lebih mudah dan praktis; (b) dapat menghindari kehilangan berat
dan kemungkinan tergencetnya ikan oleh tumpukan es; (c) mengurangi
kemungkinan kontaminasi bakteri karena adanya garam.
4) Pengesan dengan air garam (brine)
Brine merupakan salah satu cara untuk mendinginkan ikan pada suhu
mendekati titik beku ikan. Dengan pemakaian es air garam (terbuat dari
larutan NaCl 3%) akan dihasilkan suhu sekitar -1,1 o
C pada ikan.
Kelemahannya, es air garam lebih cepat mencair, sehingga keperluan es
sangat banyak. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan laju penurunan
mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan laju penurunan mutu ikan
Suhu (oC) Kegiatan bakteri Mutu ikan
25 – 10 Luar biasa cepat Cepat turun, daya awet 3 – 10 jam
10 – 2 Pertumbuhan kurang cepat Mutu menurun kurang cepat, daya
awet 2 – 5 hari
2 - (-1) Pertumbuhanlebih berkurang Penurunan mutu agak lambat, daya
awet 3 – 10 hari
-1 Kegiatan dapat ditekan Sebagai ikan basah penurunan mutu
minimum, daya awet 5 – 20 hari
-2 - (-10) Ditekan tidak aktif Penurunan mutu minimum, tekstur
tidak kenyal dan rasa tidak segar,
daya awet 7 – 30 hari
< -18 Ditekan minimum, bakteri Mutu ikan belut lebih baik, daya
tersisa tidak aktif awet setahun
Sumber: Yunizal dan Wibowo (1998)
(2) Pembekuan (freezing)
Pembekuan dimaksudkan untuk mengawetkan sifat-sifat alami ikan.
Pembekuan menggunakan suhu yang lebih rendah, yaitu jauh di bawah titik beku.
Keadaan beku menyebabkan bakteri dan enzim terhambat kegiatannya sehingga
daya awetnya lebih besar dibandingkan dengan yang hanya didinginkan. Pada
suhu -12 oC, kegiatan bakteri telah dapat dihentikan akan tetapi proses-proses
kimia-enzimatis masih terus berjalan (Murniyati, 2000). Pembekuan berarti
mengubah kandungan cairan pada ikan menjadi es. Pada tubuh ikan sebagian
besar (60 – 80%) terdiri atas cairan yang terdapat di dalam sel, jaringan dan
ruangan antar sel. Ikan mulai membeku pada suhu antara -0,6 sampai -2 oC, atau
rata-rata -1 oC. Mula-mula yang membeku adalah air bebas (± 67%), kemudian
disusul air terikat (± 5%). Pembekuan dimulai dari bagian luar dan bagian tengah
membeku paling akhir.
Pada pembekuan komersial dikenal dua penggolongan, yaitu pembekuan
lambat (slow freezing) dan pembekuan cepat (quick freezing). Kristal-kristal es
yang terbentuk selama pembekuan dapat berbeda-beda ukurannya, tergantung
pada kecepatan pembekuan. Pembekuan cepat menghasilkan kristal yang kecil-
kecil di dalam jaringan daging. Jika dicairkan kembali, kristal-kristal es yang
mencair diserap kembali oleh daging dan hanya sejumlah kecil yang lolos keluar
sebagai drip (Moeljanto, 1992). Sedangkan pada pembekuan lambat
menghasilkan kristal es berukuran besar. Kristal es ini mendesak dan merusak
susunan jaringan daging. Tekstur daging ketika ikan dicairkan menjadi kurang
baik, daging menjadi berongga-rongga (keropos, honey combed). Beberapa
metode pembekuan yang digunakan untuk membekukan produk perikanan
(Moeljanto, 1992) adalah:
1) Sharp freezing merupakan pembekuan dengan meletakkan ikan pada rak- rak
yang terdiri dari pipa-pipa pendingin (cooling pipe). Secara keseluruhan
kecepatan pemindahan panas dalam proses pendinginan berjalan lambat,
tetapi bagian yang menempel pada pipa pendingin cukup cepat. Proses
pendinginan ini tergantung pada udara dingin yang disirkulasikan melalui
kipas dan alatnya digolongkan kedalam sharp freezer.
2) Blast freezing merupakan sebuah ruangan atau kamar atau terowongan
(tunnel). Udara dingin di dalamnya disirkulasikan ke sekitar produk yang
dibekukan dengan bantuan kipas. Alat yang digunakan digolongkan kedalam
air blast freezer.
3) Contact plate freezing merupakan teknik pembekuan dengan cara menjepit
produk diantara dua plat atau lempengan logam yang didalamnya dialiri
bahan pendingin. Pembekuan dengan contact plate freezer berjalan cepat (1,5
– 3 jam) dan efisien, khususnya untuk produk-produk yang dikemas.
4) Immersion freezing merupakan jenis freezer yang digunakan untuk
pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna. Cara pembekuannya yaitu
dengan mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17
o
C atau dengan menyemprot ikan memakai brine.
5) Cryogenic freezing merupakan jenis freezer yang menggunakan CO2 dan N2
cair. Konsepnya berbeda dengan jenis freezer lainnya karena tidak
dihubungkan dengan mesin refrigerasi. Produk dibekukan dengan cara
menyemprotkan CO2 dan N2 cair ke atas produk dan bergerak kedepan keluar
dari freezer.

2.1.2 Titik-titik kritis (crtitical control point = CCP) pada penanganan,


pendinginan dan pembekuan ikan
Pembuangan sumber-sumber bakteri pembusuk dalam tubuh ikan seperti
insang, jeroan dan lendir adalah langkah awal guna mempertahankan mutu ikan
sesegar mungkin. Selain itu penerapan penanganan dengan sistem rantai dingin
(cold chain system) merupakan salah satu solusi. Guna mendapatkan
meningkatkan nilai tambah (added value), teknologi pengolahan baik pengolahan
secara tradisional maupun modern termasuk diversifikasi produk juga memegang
peranan yang sangat penting.
Materi Dasar-dasar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan ini dibagi
kedalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu: (1) pengolahan tradisional, yang terdiri
dari: pengasinan, pemindangan, fermentasi dan pengasapan; (2) pengolahan
produk bernilai tambah (added value product) berbasis surimi menjadi produk-
produk turunannya seperti otak-otak, nugget dan bakso; (3) pengolahan modern,
yaitu pengalengan. Karena sangat beragamnya produk-produk olahan hasil
perikanan, maka contoh-contoh yang diberikan adalah produk-produk olahan yang
mempunyai nilai jual tinggi, dan bersifat khas daerah sebagai “exotic indogeneous
fisheries products”, khususnya terhadap produk-produk olahan tradisional.
Untuk menjamin terhadap mutu ikan, maka proses penanganan,
pendinginan dan pembekuan harus dilakukan secara tepat, cepat dan sistematis.
Pada Tabel 3 memaparkan titik-titik kritis yang harus dikontrol, bahaya (hazard)
yang ditimbulkan dan cara pencegahannya.
Tabel 3. Titik-titik kritis yang harus dikontrol, bahaya (hazard) yang ditimbulkan
dan cara pencegahannya
Tingkat
Alur Proses Bahaya
Cara Pencegahan Pengontrolan
Titik Kritis
Kontaminasi (bahan kimia, Hindari penangkapan/pemancingan di
Ikan Hidup (Live Fish) enterik patogen, dan area yang terkontaminasi dan area CCP-2
biotoksin) terdapatnya biotoksin
Penangkapan (Catch)
Pertumbuhan bakteri,
Penanganan dalam waktu singkat
Penanganan saat penangkapan permukaan fillet yang CCP-1
mencegah/menghindari penanganan
(Catch Handling) bergelombang, CCP-2
yang kasar
perubahan warna
Pendinginan (Chilling) Pertumbuhan bakteri Suhu rendah CCP-1
Pendaratan Ikan (Landing)
Memastikan sumber bahan baku
Penerimaan Bahan Baku di Kualitas standar saat
terpercaya, memiliki HACCP-plan
UPI (Arrival of Raw Material memasuki proses CCP-2
dan daftar pemasok yang disetujui/
at Factory) pengolahan
garansi supplier, evaluasi sensoris.
Pertumbuhan bakteri,
Pendinginan (Chilling) deteriorasi/perubahan Memastikan suhu tetap rendah CCP-1
warna.
Pengolahan (Processing) : Potongan kulit, tulang, dan Pengaturan mesin yang tepat,
Pengesan (De-icing) membran pada saat instruksi dari personil, pastikan
Pencucian (Washing) pemfilletan, ditemukannya intensitas cahaya pada meja candling, CCP-2
Pemiletan (Filleting) parasit pada fillet sering melakukan pergantian personil.
Pengulitan (Skinning) , CCP-2
Pemotongan (Trimming)
Candling
Pastikan ketelitian skala, pastikan
Kelebihan/kekurangan
Penimbangan (Weighing) bahan kemasan yang memadai dan CCP-1
bobot, deteriorasi selama
Pengemasan (Packaging) metodenya (misalnya metode vakum) CCP-2
penyimpanan (segar/beku)
Pengolahan yang cepat, higiene CCP-1
Tahapan Pengolahan Pertumbuhan bakteri,
perusahaan/sanitasi kualitas air CCP-2
(All processing steps) kontaminasi, bakteri enterik
CCP-1
Pendinginan/Pembekuan/
Pastikan pengecekan suhu tetap
Penyimpanan Perubahan warna CCP-1
rendah
(Chilling/Freezing –Storage)
Sumber: FAO (1995)
2.1.3 Pengolahan tradisional hasil perikanan
Prinsip pengolahan hasil perikanan tradisional adalah mengurangi kadar
air sampai batas tertentu yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme
sehingga menyebabkan produk menjadi awet. Untuk mendaptakan cita rasa dan
aroma yang enak, penggunaan garam sebagai bahan tinambah atau food additive
masih sangat dominan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang pangan, maka penggunaan bahan
tinambah selain garam sudah banyak dilakukan seperti glisin, protamin, dan asam
aspartat. Dengan adanya sentuhan-sentuhan tersebut, maka produk olahan
tradisional hasil perikanan mempunyai citarasa, citra yang lebih bagus dan dapat
digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan konsumsi rakyat Indonesia
terhadap komoditas perikanan (Santoso, 1997).
(1) Ikan asin
Penggaraman merupakan kombinasi dari proses fisika dan kimia, yaitu
penetrasi garam kedalam tubuh ikan dan keluarnya air dari jaringan yang
menghasilkan perubahan berat. Pada ikan yang mengalami penggaraman,
pengurangan berat menunjukkan berhasilnya proses penggaraman karena
merupakan hasil reaksi antara garam dengan ikan. Pada prinsipnya teknik
penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Penggaraman kering (dry salting), yaitu proses penggaraman dimana bahan
(ikan) yang akan digarami diberi kristal-kristal garam (kristal garam
berkontak langsung dengan bahan). Karena konsentrasi garam di permukaan
bahan lebih tinggi daripada cairan di dalam bahan, maka terjadi penarikan air
bersama dengan masuknya garam kedalam bahan dan proses ini akan terhenti
setelah mencapai keseimbangan. Dengan demikian ikan akan terendam
dalam larutan garam (brine) pekat.
2) Penggaraman basah (wet salting/brine salting), proses penggaraman dimana
bahan/ikan dimasukkan dalam larutan garam yang telah disediakan dengan
konsentrasi sesuai yang diinginkan. Proses penggaraman ini mempunyai
kelemahan yaitu selama perendaman berlangsung terjadi penurunan
konsentrasi garam, sehingga proses penetrasi garam lambat dan kurang
merata.
3) Penggaraman kombinasi/campuran (mix salting), yaitu kombinasi antara
penggaraman kering dan basah. Mula-mula ikan ditaburi kristal garam dan
selanjutnya dicelupkan dalam larutan garam.
Salah satu produk olahan yang terkenal adalah ikan asin jambal roti yang
merupakan salah satu produk olahan khas daerah Pangandaran-Ciamis Jawa Barat
yang dibuat dari ikan manyung (Arius spp.). Hasil akhir disebut ikan asin jambal
roti, karena tektsur ikan asin yang dihasilkan menyerupai roti tawar.
(2) Ikan pindang
Pemindangan sebagai salah satu metode pengolahan hasil perikanan
tradisional yang merupakan kombinasi antara proses penggaraman dan perebusan.
Kombinasi penggaraman dan perebusan menyebabkan penurunan kadar air pada
ikan sebagai produk ikan olahan setengah basah. Kelebihan yang dimiliki ikan
pindang adalah hasil olahannya dapat langsung dikonsumsi tanpa harus dimasak
terlebih dahulu dan rasanya sesuai dengan selera kebanyakan penduduk Indonesia
(Poernomo et al, 2004).
Berdasarkan metode pengolahannya, pemindangan dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu:
1) Pemindangan garam (salt boiling); proses pemindangan yang dibuat dengan
cara ikan ditaburi garam dengan konsentrasi tertentu (ikan berkontak
langsung dengan kristal-kristal garam) dan ditambahkan sejumlah air
kemudian direbus sampai ikan masak. Pindang ini juga dikenal dengan
pindang paso, pendil atau badeng (berdasarkan wadah yang digunakan untuk
merebus).
2) Pemindangan air garam (brine boiling); proses pemindangan yang dibuat
dengan cara merebus ikan yang sudah diatur dalam wadah tertentu (dari
anyaman bambu) dalam larutan garam yang panas selama waktu tertentu.
Berdasarkan wadah yang digunakan, pindang ini juga dikenal dengan
pindang naya, besek atau kudung.
2.1.4 Pengolahan produk bernilai tambah (added value products) berbasis
surimi
Surimi dapat didefinisikan sebagai bentuk cincang dari daging ikan yang
telah mengalami proses penghilangan tulang (deboning), pencucian dan
penghilangan sebagian kadar air (dewatering) sehingga dikenal sebagai protein
konsentrat basah (wet concentrate protein) dari daging ikan (Okada, 1992).
Bertak dan Kaharadian (1995) mendefinisikan surimi sebagai hancuran daging
ikan yang dicuci berkali-kali dan dicampur dengan cryoprotectant untuk
mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan beku. Surimi
mempunyai tekstur, gel dan sifat pengikat yang baik. Secara teknis semua jenis
ikan dapat dibuat surimi. Daging ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk
gel secara sempurna sehingga dapat menghasilkan tekstur yang elastis, rasa enak
dan penampakan putih (Miyake et al., 1985).
Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan
adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging. Jumlah protein larut air yang
hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci yang akan berpengaruh
terhadap kekuatan gel. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan
dicuci dengan air bersuhu 10-15 oC (Schawrz dan Lee, 1988). Diagram alir proses
pembuatan surimi disajikan pada Gambar 2.

Ikan

Pencucian

Pemfiletan

Pemisahan tulang dan pelumatan


Meat-bone separator

Daging Lumat
Pertama: air dingin
Pencucian Kedua: air dingin
Ketiga: air dingin + NaCl 0,2 - 0,3 %

Pengurangan air
Screwpress
Penambahan cryoprotectant Silent cutter

Pengepakan dan pembekuan

Surimi beku
Gambar 2 Proses pengolahan surimi (Okada, 1992).
Surimi merupakan produk olahan hasil perikanan yang bersifat setengah
jadi (intermediate product) yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
produk-produk olahan yang membutuhkan sifat pembentukan gel yang lebih
dikenal dengan ”surimi-based products” seperti bakso, otak-otak dan nugget.
(1) Bakso ikan
Bakso ikan adalah produk olahan daging ikan berbentuk gel homogen yang
dibuat dari campuran daging lumat, tepung tapioka/sagu dan bumbu-bumbu
seperti: bawang putih, bawah merah, lada, garam, gula dengan proses
penggilingan, pengadonan, pencetakan dan perebusan. Fungsi teknologi
pembuatan bakso adalah sebagai upaya untuk mendapatkan produk hasil
perikanan berbentuk gel dengan rasa yang disukai menurut selera, terutama pada
sensasi kekenyalan pada waktu ditekan dan dikunyah (Poernomo et al, 2004). Proses
pengolahan bakso dapat dilihat pada Gambar 3.

Surimi

Penimbangan

Pencampuran/Pengadonan
Gambar 3 Diagram dengan
alir proses pembuatan urutan:
bakso ikan.
1. daging 2. garam
2.2 Unit Pengolahan Ikan3. tapioka 4. es
5. minyak goreng 6. gula
Unit Pengolahan Ikan
7. (UPI)
lada adalah tempat usaha yang digunakan untuk
8. MSG

Pencetakan : dengan tangan dalam air hangat

menangani dan mengolah ikan. Unit pengolahan ikan berdasar Peraturan Menteri
Perebusan ± 80 - 90 oC
(sampai dengan mengapung ± 10 menit)

Bakso
Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan
Hasil Perikanan dibedakan menjadi; UPI skala mikro, UPI skala kecil, UPI skala
menengah, dan UPI skala besar.
Pembedaan skala UPI ditetapkan berdasarkan parameter:
1) Omset, adalah total volume produksi hasil olahan dikali harga satuan dalam
satu tahun (dalam rupiah)
2) Aset, adalah kekayaan produktif diluar bangunan dan tanah yang dikonversi
dalam rupiah
3) Jumlah tenaga kerja, adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam satu UPI
selain pemilik, baik tenaga kerja tetap maupun harian/borongan
4) Status hukum dan perijinan, adalah legalitas yang diperoleh UPI baik badan
hukum maupun perijinan usaha lain
5) Penerapan teknologi, adalah jenis dan tingkatan peralatan produksi yang
digunakan oleh UPI:
[1] Manual yaitu penerapan teknologi proses produksi UPI yang
sebagian besar menggunakan tenaga manusia
[2] Semimekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi UPI
yang sebagian menggunakan mesin
[3] Mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi UPI yang sebagian
besar menggunakan mesin
6) Teknis dan manajerial, adalah kemampuan pengelolaan suatu UPI dari aspek
produksi pengolahan hasil perikanan untuk memenuhi kriteria sertifikasi:
[1] UPI yang belum memiliki SKP adalah UPI yang dalam operasional
usaha pengolahannya belum atau sudah menerapkan dan memenuhi
persyaratan kelayakan dasar tetapi belum dilakukan penilikan oleh
petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh Competent Authority;
[2] SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan cq. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan yang menerangkan bahwa UPI telah memenuhi persyaratan
kelayakan dasar yang ditentukan;
[3] Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku
Otoritas Kompeten (Competent Authority) yang menerangkan bahwa UPI
telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT.
Berdasarkan parameter tersebut ditetapkan nilai kumulatif untuk masing
masing skala usaha sebagai berikut; UPI skala mikro memiliki nilai kumulatif
parameter skala usaha antara 20 – 44, UPI skala kecil memiliki nilai kumulatif
parameter skala usaha antara 45 – 69, UPI skala menengah memiliki nilai
kumulatif parameter skala usaha antara 70 – 89, dan UPI skala besar memiliki
nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90 – 100.
Kriteria usaha menengah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1999 Tentang Pemberdayaan Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
(1) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp l0.000.000.000.00 (sepuluh miliar
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
(2) Milik warga negara Indonesia;
(3) Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai dan berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha besar;
(4) Berbentuk usaha orang perseorangan badan usaha yang tidak berbadan
hukum dan atau badan usaha yang berbadan hukum.
Untuk mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan, bidang-bidang
pemberdayaan usaha menengah yang mendapat perhatian meliputi:
(1) Pembiayaan
1) melakukan fasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal
kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses
terhadap pasar modal dan lembaga pembiayaan lainnya;
2) membentuk dan rnengembangkan lembaga penjamin kredit, serta
meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor;
3) melakukan fasilitasi restrukturisasi utang/kredit usaha menengah yang
bermasalah.
(2) Pemasaran
1) mendorong peningkatan pangsa pasar melalui pengembangan sarana
promosi, forum bisnis, informasi, penetrasi, jaringan pasar serta
kemitraan usaha;
2) membantu pelaksanan penelitian dan pengembangan pemasaran,
pemasyarakatan E-commerce serta peningkatan fungsi rumah dagang
(trading house).
(3) Teknologi
Mendorong pelaksanaan alih teknologi untuk pengembangan dan
peningkatan mutu desain, produk, proses produksi dan pelayanan sehingga
memenuhi standar mutu internasional.
(4) Sumber daya manusia
Menggalakkan lembaga-lembaga yang sudah ada dan yang akan
dikembangkan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, bimbingan dan
konsultasi dalam rangka peningkatan kemampuan manajerial, teknik
produksi, mutu produk dan pelayanan serta pemasaran.
(5) Perizinan
Menyederhanakan sistem dan prosedur perizinan terutama pendirian,
pembiayaan dan pengembangan.
(6) Menyusun skala prioritas dalam pemberdayaan usaha menengah terutama
yang berkaitan dengan pengembangan ekspor, penyerapan tenaga kerja
serta pemenuhan kebutuhan pokok.
2.3 Analisis Kelayakan Finansial
Analisis finansial dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang
terjadi pada usaha pengolahan ikan. Struktur biaya tersebut terdiri dari biaya tetap
dan biaya variabel. Analisis finansial bertujuan untuk mengetahui tingkat
kelayakan usaha. Kriteria penilaian kelayakan usaha rugi laba meliputi: analisis
pendapatan atau keuntungan usaha, revenue cost ratio, payback period, dan
analisis titik impas (Sutojo S., 2002).
(1) Analisis keuntungan usaha
Total penerimaan merupakan fungsi dari hasil usaha UPI (Q) dan harga
(P) sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = f (P,Q)

Total penerimaan merupakan penerimaan langsung dari kegiatan usaha


UPI selama 1 (satu) tahun yang digunakan sebagai dasar analisis. Untuk biaya
produksi (Total Cost =TC) yang merupakan keseluruhan dari biaya produksi per
tahun dapat diuraikan ke dalam komponen biaya tetap (Fixed Cost = FC) dan
biaya variabel (Variable Cost = VC), sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:

TC = TFC + TVC

Keuntungan berusaha merupakan hasil pengurangan dari penerimaan


selama satu tahun dikurangi biaya produksi selama satu tahun, sehingga dapat
dituliskan sebagai berikut:

= TR - TC

(2) Revenue cost ratio


Analisis ini digunakan untuk melihat layak tidaknya suatu usaha yang
dijalankan, dalam hal ini kegiatan budidaya laut dengan membandingkan
penerimaan selama 1 tahun dengan biaya produksi selama 1 tahun.

R/C Ratio = Revenue/Cost

Kriteria:
R/C Ratio < 1 ; usaha tidak layak
R/C Ratio = 1 ; usaha impas
R/C Ratio > 1 ; usaha layak
(3) Payback period
Analisis ini dilakukan untuk melihat waktu pengembalian investasi dengan
membandingkan investasi dengan keuntungan selama satu tahun. Rumus yang
digunakan:

PP = Investasi /

Dari metode analisis tersebut akan dihasilkan suatu kombinasi nilai kelayakan
terhadap suatu kawasan/lokasi yang potensial untuk dikembangkan baik secara
kelayakan fisik maupun kelayakan sosial, ekonomi dan manfaat.
(4) Analisis titik impas
Analisis titik impas dilakukan untuk melihat produksi susu minimum yang
harus dihasilkan. Dengan analisis titik dapat diketahui pada tingkat produksi
berapa hasil penjualan sama dengan jumlah biaya, sehingga perusahaan tidak
memperoleh keuntungan atau kerugian. Untuk mengetahui ini semua, maka
dilakukan pemisahan biaya tetap dengan biaya variabel secara jelas dan benar.
Pendekatan untuk perhitungan titik impas dalam penelitian ini adalah BEP dalam
jumlah unit produksi dan harga. Untuk menentukan titik impas dapt dilakukan
dengan rumus sebagai berikut:

2.4 Analisis Kinerja Keuangan


(1) Rasio likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan
UPI dalam membayar kewajiban jangka pendek. Menurut Darsono (2006)
likuiditas secara umum didefinisikan sebagai kemampuan UPI untuk memenuhi
semua kewajibannya yang jatuh tempo menyediakan dana lancar setiap saat
diperlukan untuk mengantisipasi penarikan simpanan. Jumlah alat-alat
pembayaran (alat-alat likuid) yang dimiliki oleh UPI pada suatu saat tertentu
merupakan ”kekuatan membayar” dari UPI yang bersangkutan.
Suatu UPI yang mempunyai ”kekuatan membayar” belum tentu dapat
memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi atau dengan
kata lain UPI tersebut belum tentu mempunyai ”kekuatan membayar”.
”Kemampuan membayar” baru terdapat pada UPI apabila ”kekuatan
membayar”nya adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua
kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Suatu UPI yang mempunyai
”kekuatan membayar” sedemikian besarnya sehingga mampu memenuhi segala
kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan bahwa UPI tersebut
adalah ”likuid” dan sebaliknya yang tidak mempunyai ”kemampuan membayar”
adalah ”illikuid”. Jenis-jenis rasio likuiditas yang biasa digunakan yaitu current
ratio, cash ratio dan quick ratio.

1) Current ratio
Current ratio menunjukkan sejauh mana kewajiban lancar (current
liabilities) dijamin pembayarannya oleh aktiva lancar (current asset).

Current Rati Aktiva Lancar x 1 kali


o
Kewajiban Lancar

2) Cash ratio
Analisis cash ratio sering dilakukan untuk mengukur likuiditas perusahaan
berdasarkan komposisi dari pos tunai (cash) dan surat-surat berharga terhadap
kewajiban lancar. Rumus perhitungan cash ratio sebagai berikut.

Cash Rati Kas Surat Berh arg x 1 kali


o a
Kewajiban Lancar

3) Quick ratio
Perhitungan nilai quick ratio didasarkan pada kualitas dan komposisi dari
persediaan barang (inventory). Bila persediaan barang memiliki perputaran yang
cepat (fast moving item) maka nilai likuiditasnya akan lebih baik dibandingkan
dengan barang yang perputarannya lambat (slow moving item). Perhitungan nilai
quick ratio sebagai berikut:

Aktiva Lancar Persediaan


Quick Ratio x 1 kali
Kewajiban Lancar

(2) Rasio leverage


Rasio leverage adalah nilai rasio yang menunjukkan sejauh mana
perusahaan dibiayai oleh hutang. Jenis rasio leverage meliputi debt to equity ratio
(DER), long term leverage dan short term leverage.
1) Debt to equity ratio (DER)
Nilai DER diperoleh dengan melakukan perbandingan antara total
kewajiban (total hutang) dengan total modal sendiri (equity). Rasio ini
menunjukkan sejauh mana modal sendiri menjamin seluruh hutang. Perhitungan
nilai DER sebagai berikut:

DER Total Kewajiban x 1 kali


Modal Sendiri

2) Long term leverage


Long term leverage digunakan untuk mengetahui kondisi perusahaan
terhadap hutang-hutang jangka panjang. Perhitungan nilai long term leverage
sebagai berikut:

Longterm Kewajiban Jangka Panjang


Leverage x 1 kali
Modal Sendiri

3) Short term leverage


Short term leverage digunakan untuk mengetahui kondisi perusahaan
terhadap hutuang-hutang jangka pendek. Perhituang nilai short tem leverage
sebagai berikut:
Shorterm Leverage DER Longterm Leverage

(3) Ratio coverage


Ratio coverage yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban-kewajiban kreditnya dengan sumber dana yang diperoleh
dari bisnis. Pendekatan yang banyak digunakan dalam analisis coverage yaitu
times interes earned ratio atau EBIT coverage ratio. Perhitungan EBIT coverage
ratio sebagai berikut:

EBIT Laba Sebelum Bunga dan Pajak x 100%


Coverage Rati
o
Beban Bunga

(4) Rasio aktivitas


Rasio aktivitas terdiri dari asset turnover, fixed turnover, perputaran
piutang dagang, perputaran persediaan dan perputaran hutang dagang.
1) Asset turnover
Perputaran aktiva menunjukkan kemampuan manajemen mengelola
seluruh investasi (aktiva) untuk menghasilkan penjualan. Perhitungan nilai asset
turnover sebagai berikut:
Penjualan Bersi
Asset Turnover x 1 kali
Aktiva h

2) Fixed asset turnover


Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai perputaran
aktiva, sering digunakan analisi perputaran aktiva tetap (fixed asset turnover)
secara khusus. Rumus perhitungan nilai fixed asset turnover sebagai berikut:

Fixed Turnover Penjualan Bersih x 1 kali


Aktiva Tetap

3) Perputaran piutang dagang


Perputaran piutang dagang (account receivable turnover) menunjukkan
berapa kali piutang dagang perusahaan berputar dalam satu tahun. Rumus
perhitungan analisis perputaran piutang dagang sebagai berikut:

Penjualan Kredit
Perputaran Piutang Dagang x 1 kali
Piutang dagang

4) Perputaran persediaan
Perputaran persediaan merupakan indikator keberhasilan manajemen
dalam mengelola persediaan barang. Rumus perhitungan mengenai nilai
perputaran persediaan barang sebagai berikut:

HPP
Perputaran Persediaan Barang 1 kali
x
Persediaan

5) Perputaran hutang dagang


Rasio ini menunjukkan jumlah perputaran hutang dagang dalam satu
tahun. Rumus perhitungan perputaran hutang dagang sebagai berikut:

HPP
Perputaran Hutang x 1 kali
Dagang Hutang Dagang

(5) Rasio rentabilitas


Rasio rentabilitas yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan
mencetak laba. Return of asset (ROA) atau disebut juga Return of Investment
(ROI) merupakan indikator tingkat pengembalian dari usaha yang dilakukan atas
seluruh investasi yang telah dilakukan (Yusuf, 1996). Semakin tinggi nilai rasio
ROA berarti semakin baik kinerja pengelolaan UPI. Sedangkan nilai Return of
Equity (ROE) menunjukkan keberhasilan usaha yang dilakukan oleh UPI untuk
meningkatkan kekayaan pemberi modal. Rasio ini sangat tepat untuk digunakan
karena UPI memiliki karakter modal bersumber dari banyak pihak. Semakin
tinggi nilai ROE menunjukkan kinerja UPI yang semakin baik.
Ukuran rasio rentabilitas yang sering digunakan meliputi gross profit
margin, net profit margin, return on investment (ROI), dan retur on equity (ROE).
1) Gross profit margin
Rasio ini mengukur berapa persen keuntungan yang dicapai dengan
menjual produk. Rumus perhitungan analisis gross profit margin sebagai berikut:

Gross Profit Margin Laba Kotor 100%


Penjualan x

2) Net profit margin


Net profit margin mengukur tingkat keuntungan bersih yang diperoleh dari
usaha yang dijalankan. Rumus perhitungan analisis net profit margin sebagai
berikut:

Net Profit Margin Laba Bersih 100%


Penjualan x

3) Return on investment (ROI)


Rasio ini menunjukkan tingkat pengembalian bisnis atas seluruh investasi
yang telah dilakukan. Rumus perhitungan ROI sebagai berikut:

Laba Bersih
ROI 100%
Total Aktiva x
4) Return on equty (ROE)
Return on equity (ROE) mengukur berapa besar pengembalian yang diperoleh
pemilik usaha atas modal yang ditanamkan pada usaha tersebut. Rumus
perhitungan ROE sebagai berikut:
Laba Bersih
RO 100%
Modal Sendiri
E x
2.5 Optimalisasi
Optimalisasi produksi diperlukan UPI dalam rangka mengoptimalkan
sumberdaya yang digunakan agar suatu produksi dapat menghasilkan produk
dalam kuantitas dan kualitas yang diharapkan, sehingga dapat mencapai tujuan
UPI yang menguntungkan. Secara umum, optimalisasi merupakan suatu usaha
pencapaian keadaan terbaik yang merupakan pendekatan normatif dengan
mengidentifikasi penyelesaian terbaik dari suatu permasalahan yang diarahkan
pada titik maksimal atau minimal fungsi tujuan.
Setiap UPI atau produsen berusaha mencapai keadaan optimal dengan
memaksimalkan keuntungan yang dihasilkan atau dengan meminimalkan biaya
yang dikeluarkan dalam proses produksi. UPI selalu berusaha mencapai hasil
terbaik yang mungkin dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Namun
demikian solusi permasalahan dalam teknik optimalisasi jarang menghasilkan
suatu solusi yang terbaik. Hal ini terjadi karena berbagai kendala yang dihadapi
berada di luar jangkauan UPI.
Menurut Soekartawi (1995), optimalisasi produksi adalah penggunaan
faktor–faktor produksi yang terbatas seefisien mungkin. Faktor–faktor produksi
tersebut adalah modal, mesin, peralatan, bahan (bahan baku dan bahan tambahan
pangan) dan tenaga kerja. Berdasarkan langkah–langkah optimalisasi, maka
setelah masalah diidentifikasi dan tujuan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah
formulasi model matematik yang meliputi 3 (tiga) tahap, yaitu (Mulyono, 1991):
(1) Menentukan variabel yang tidak diketahui (variabel keputusan) dan
dinyatakan dalam simbol matematik.
(2) Membentuk fungsi tujuan yang ditunjukkan sebagai suatu hubungan linier
(bukan perkalian) dari variabel keputusan.
(3) Menentukan semua kendala masalah tersebut dan mengekspresikan dalam
persamaan atau pertidaksamaan yang juga merupakan hubungan linier dari
variabel keputusan yang mencerminkan keterbatasan sumberdaya masalah itu.
Fungsi tujuan dalam teknik optimalisasi merupakan unsur yang penting
karena akan sangat menentukan kondisi optimal suatu keadaan. Selain itu
pembentukan model perlu perhatian khusus, sebab model akan membantu dalam
menganalisis untuk mengambil keputusan ke arah kerangka logis secara
menyeluruh. Penyelesaian suatu optimalisasi jarang diperoleh suatu hasil yang
terbaik karena disebabkan oleh berbagai kendala yang bersifat fisik, teknis, dan
beberapa kendala lain yang berada diluar jangkauan pelaku kegiatan tersebut.
2.5.1 Program linier
Linear programming adalah suatu metode programasi yang variabelnya
disusun dengan persamaan linier. Oleh berbagai analis, linear programming
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “programasi linier”,
“pemrograman garis lurus”, “programasi garis lurus”, atau lainnya
(Soekartawi, 1995). Menurut Supranto (1988), sebagian besar dari persoalan
manajemen berkenaan dengan penggunaan sumberdaya secara efisien atau alokasi
sumber–sumber yang terbatas (tenaga kerja terampil, bahan mentah, modal) untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (desire objective) seperti penerimaan hasil
penjualan yang harus maksimal, jumlah biaya transportasi yang harus minimal,
dan sebagainya. Untuk mencapai hasil yang maksimal dengan sumberdaya yang
terbatas tersebut, maka terdapat suatu metode yang dapat digunakan yaitu linear
programming yang dapat memberikan banyak sekali hasil pemecahan persoalan
sebagai alternatif pengambilan tindakan.
Menurut Handoko (1997), linear programming adalah suatu metode
analitik paling terkenal yang merupakan suatu bagian kelompok teknik–teknik
yang disebut programasi matematik. Pada umumnya, metode–metode programasi
matematikal dirancang untuk mengalokasikan berbagai sumberdaya yang terbatas
diantara berbagai alternatif penggunaan sumberdaya–sumberdaya tersebut agar
berbagai tujuan yang telah ditetapkan (biasanya maksimisasi laba atau minimisasi
biaya) dicapai atau dioptimalkan. Sebutan linear dalam “linear programming”
berarti hubungan–hubungan antara faktor–faktor adalah bersifat linier atau
konstan, atau fungsi–fungsi matematik yang disajikan dalam model haruslah
fungsi–fungsi linier. Hubungan linier berarti bahwa bila satu faktor berubah, maka
suatu faktor lain berubah dan dengan jumlah yang konstan secara proporsional.
Sebagai contoh, fungsi pengupahan jam kerja para karyawan atas dasar satuan jam
kerja adalah linier (semakin banyak jam kerja, semakin besar upah total).
Menurut Soekartawi (1995), program linier mempunyai beberapa
kelebihan sebagai berikut: (1) mudah dilaksanakan, apalagi kalau dengan
menggunakan alat bantu komputer; (2) dapat menggunakan banyak variabel,
sehingga berbagai kemungkinan untuk memperoleh pemanfaatan sumberdaya
yang optimal dapat dicapai; dan (3) fungsi tujuan (objective function) dapat
difleksibelkan (direlax) sesuai dengan tujuan penelitian atau berdasarkan data
yang tersedia. Misalkan bila ingin meminimalkan biaya atau memaksimalkan
keuntungan dengan data yang terbatas.
Kelemahan dari program linier ini adalah apabila alat bantu komputer
tidak tersedia, maka program linier dengan menggunakan banyak variabel akan
menyulitkan analisisnya dan bahkan tidak mungkin dikerjakan dengan cara
manual saja. Variabel yang sedikit jumlahnya dapat dikerjakan secara manual
dengan metode simpleks.
Program linier itu sendiri sebenarnya merupakan metode perhitungan
untuk perencanaan terbaik diantara kemungkinan–kemungkinan tindakan yang
dapat dilakukan. Penentuan rencana terbaik tersebut terdapat banyak alternatif
dalam perencanaan untuk mencapai tujuan spesifik pada sumberdaya yang
terbatas. Dengan demikian, maka teknik program linier dapat digunakan dalam
dua cara, yaitu (Soekartawi, 1995):
(1) Meminimumkan biaya dalam rangka tetap mendapatkan total penerimaan atau
total keuntungan sebesar mungkin (selanjutnya cara seperti ini dikenal dengan
istilah program “minimisasi” atau “meminimumkan” (minimize).
(2) Memaksimumkan total penerimaan atau total keuntungan pada kendala
sumberdaya yang terbatas (selanjutnya disebut dengan istilah program
“memaksimumkan”, atau “maksimisasi” (maximize).
Kedua cara tersebut hasilnya relatif tidak berbeda. Penggunaan salah satu
dari cara tersebut dilakukan karena tersedianya data yang berbeda. Hal ini dapat
terjadi karena data yang digunakan di program linier ini dapat berupa data yang
dikumpulkan sendiri (data primer) sehingga peneliti yang bersangkutan dapat
menggunakan program linier sesuai dengan kehendaknya.
Menurut Nasendi dan Anwar (1985), agar dapat menyusun dan
merumuskan suatu persoalan dan atau permasalahan yang dihadapi ke dalam
program linier, maka terdapat lima syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
(1) Tujuan
Tujuan ini harus jelas dan tegas yang disebut fungsi tujuan. Fungsi tujuan
tersebut dapat berupa dampak positif, manfaat–manfaat, keuntungan–
keuntungan, dan kebaikan–kebaikan yang ingin dimaksimalkan, atau dampak–
dampak negatif, kerugian–kerugian, resiko–resiko, biaya–biaya, jarak–jarak,
waktu, dan sebagainya yang ingin diminimalkan.

(2) Alternatif perbandingan


Harus ada sesuatu atau berbagai alternatif yang ingin diperbandingkan,
misalnya antara kombinasi waktu tercepat dan biaya tertinggi dengan waktu
terlambat dan biaya terendah; atau antara alternatif padat modal dengan padat
karya; atau antara kebijakan A dan B; atau antara proyeksi tinggi dengan
rendah; dan sebagainya.
(3) Sumberdaya
Sumberdaya yang dianalisis harus berada dalam keadaan yang terbatas.
Misalnya keterbatasan waktu, keterbatasan biaya, keterbatasan tenaga,
keterbatasan luas tanah, keterbatasan ruangan, dan lain–lain. Keterbatasan
dalam sumberdaya tersebut dinamakan sebagai kendala atau syarat ikatan.
(4) Perumusan kuantitatif
Fungsi tujuan dan kendala tersebut harus dirumuskan secara kuantitatif dalam
suatu model yang disebut sebagai model matematik. Model adalah abstraksi
dan simplifikasi dari dunia atau keadaan yang nyata yang menyatakan
berbagai hubungan fungsional yang langsung maupun tidak langsung,
interaksi dan inter-dependensi antara satu unsur dengan unsur lainnya yang
membentuk suatu sistem. Suatu model yang baik harus memenuhi
tiga kriteria, yaitu : (1) kesesuaian, yaitu model harus mampu merangkum
unsur–unsur yang sangat pokok dari persoalan yang dihadapi; (2)
kesederhanaan, yaitu model harus dibuat sesederhana mungkin sesuai dengan
kemampuan yang ada dan sesuai dengan urgensi permasalahan yang dihadapi;
dan (3) keserasian, yaitu model tersebut harus mampu mengesampingkan hal–
hal yang kurang berguna.
(5) Keterkaitan Peubah
Peubah–peubah yang membentuk fungsi tujuan dan kendala tersebut harus
memiliki hubungan fungsional atau hubungan keterkaitan. Hubungan
keterkaitan tersebut dapat diartikan sebagai hubungan yang saling
mempengaruhi, hubungan interaksi, interdependensi, timbal balik, saling
menunjang, dan sebagainya. Model matematis program linier dalam bentuk
standar dirumuskan sebagai berikut (Nasendi dan Anwar, 1985):
Maksimisasi atau minimisasi Z = c1X1 + c2X2 + …. + cnXn (fungsi tujuan)
Fungsi tujuan tersebut di atas harus memenuhi kendala–kendala atau
syarat–syarat ikatan sebagai berikut :
a11X1 + a12X2 + …. + a1nXn ≤ atau ≥ b1 a21X1
+ a22X2 + …. + a2nXn ≤ atau ≥ b2 am1X1 +
am2X2 + …. + amnXn ≤ atau ≥ bm
dan
Xj ≥ 0, untuk j = 1, 2,3, …, n (syarat non–negatif)
dimana :
Xj = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan ke–j, untuk j = 1, 2, 3, ..., n
(yang ingin dicari; yang tidak diketahui).
cj = koefisien peubah pengambilan keputusan dalam fungsi tujuan,
untuk j = 1, 2, 3, …, n.
aij = koefisien teknis dalam kendala ke–i pada aktivitas ke–j,
dimana i = 1, 2, 3, …, m sedangkan j = 1, 2, 3, ….,n.
bi = sumberdaya yang terbatas, yang membatasi kegiatan atau usaha yang
bersangkutan; disebut pula konstanta atau “nilai sebelah kanan” dari kendala ke–
i.
Menurut Nasendi dan Anwar (1985), penggunaan program linier harus
memenuhi beberapa asumsi berikut:
(1) Linearitas, yaitu asumsi ini menginginkan agar perbandingan antara input
yang satu dengan input lainnya, atau untuk suatu input dengan output besarnya
tetap dan terlepas (tidak tergantung) pada tingkat produksi. Jika fungsi tujuan
cjXj bersifat nonlinier, maka teknik program linier ini tidak dapat dipakai.
(2) Proporsionalitas, yaitu asumsi ini menyatakan bahwa jika peubah pengambil
keputusan Xj berubah, maka dampak perubahannya akan menyebar dalam
proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan cjXj dan fungsi kendala aijXj.
Misalnya, jika kita naikkan nilai Xj dua kali, maka secara proporsional
(seimbang dan serasi) nilai–nilai aijXj akan menjadi dua kali lipat. Implikasi
asumsi ini ialah bahwa dalam model program linier yang bersangkutan tidak
berlaku hukum kenaikan yang semakin menurun.
(3) Aditivitas, yaitu asumsi ini menyatakan bahwa nilai parameter suatu kriteria

optimalisasi (koefisien peubah pengambil keputusan dalam fungsi tujuan)

merupakan jumlah dari nilai individu–individu cj dalam model program linier

tersebut. Dampak total terhadap kendala ke–i merupakan jumlah dampak

individu terhadap peubah pengambilan keputusan Xj.

(4) Divisibilitas, yaitu asumsi ini menyatakan bahwa peubah–peubah pengambil

keputusan Xj, jika diperlukan dapat dibagi ke dalam pecahan–pecahan, yaitu

bahwa nilai–nilai Xj tidak perlu integer (hanya 0 dan 1 atau bilangan bulat),

tetapi dapat berupa non integer (misalnya 1/2; 0.58; 38.987; dan sebagainya).

(5) Deterministik, yaitu asumsi ini menghendaki agar semua parameter dalam

model program linier (yaitu nilai–nilai cj, aij, dan bi) tetap dan diketahui atau

ditentukan secara pasti. Dalam dunia nyata kadang asumsi ini memang

memuaskan dengan baik sekali. Namun dalam model–model program linier

yang sekiranya dipakai untuk perencanaan jangka panjang, biasanya

parameter penduganya (misalkan koefisien fungsi tujuan atau nilai sebelah

kanan) diramalkan terlebih dahulu (dengan teknik statistik), sehingga

pertimbangan ketidaktahuan juga turut diperhitungkan. Atau dalam

program linier sendiri


kelemahan asumsi ini dipenuhi oleh analisis post optimal atau analisis

parametrisasi.

2.5.2 Analisis primal-dual


Menurut Nasendi dan Anwar (1985), setiap persoalan program linier
selalu memiliki dua macam analisis, yaitu: (1) analisis primal; dan (2) analisis
dual. Kedua analisis ini seringkali dikatakan sebagai dua paket yang menjadi satu
sehingga umumnya disebut sebagai analisis primal–dual. Apabila akan menyusun
suatu persoalan primal program linier ke dalam bentuk dual, maka selalu harus
dirumuskan terlebih dahulu ke dalam bentuk “kanonik”. Persoalan maksimisasi
mengharuskan semua rumusan kendalanya mempunyai tanda “lebih kecil
daripada atau sama dengan”. Jika persoalannya adalah minimisasi maka tanda
fungsi syarat ikatannya harus “ lebih besar daripada atau sama dengan”. Semua
konstanta atau nilai sebelah kanan fungsi kendala yang bersangkutan harus selalu
non–negatif dalam suatu rumusan yang berbentuk kanonik.
Jika suatu persoalan dalam rumusan program liniernya memiliki fungsi
kendala kesamaan (nilai sebelah kanannya bertanda sama dengan), maka fungsi
kendala tersebut dapat ditukar atau diganti dengan dua fungsi lainnya, yaitu : (1)
bertanda “lebih kecil daripada atau sama dengan”, atau (2) bertanda “lebih
besar daripada atau sama dengan”. Salah satu diantara kedua fungsi kendala lain
tersebut (pilih mana saja), kemudian diambil dan dikalikan dengan –1 untuk
mendapatkan fungsi kendala baru yang sesuai dengan aturan yang diminta oleh
bentuk kanonik tersebut (Nasendi dan Anwar, 1985).
Menurut Mulyono (1991), bila masalah primal dibandingkan dengan
masalah dual, maka akan terlihat beberapa hubungan seperti berikut:
(1) Koefisien fungsi tujuan masalah primal menjadi konstan sisi kanan masalah
dual. Sebaliknya, konstan sisi kanan primal menjadi koefisien fungsi tujuan
dual.
(2) Tanda pertidaksamaan kendala dibalik.
(3) Tujuan diubah dari maksimisasi (minimisasi) dalam primal menjadi
minimisasi (maksimisasi) dalam dual.
(4) Setiap kolom pada primal berhubungan dengan suatu baris (kendala) dalam
dual, sehingga banyaknya kendala dual sama dengan banyaknya variabel
primal.
(5) Setiap baris (kendala) pada primal berhubungan dengan suatu kolom dalam
dual, sehingga ada satu variabel dual untuk setiap kendala primal.
(6) Bentuk dual dari dual adalah bentuk primal.
2.5.3 Analisis post optimal
Menurut Nasendi dan Anwar (1985), analisis post optimal (disebut juga
analisis pasca optimal atau analisis setelah optimal, atau analisis kepekaan dalam
suasana ketidaktahuan) merupakan suatu usaha untuk mempelajari nilai–nilai dari
peubah–peubah pengambil keputusan dalam suatu model matematika jika satu
atau beberapa atau semua parameter model tersebut berubah. Dalam suatu
persoalan program linier, analisis post optimal menyangkut analisis terhadap
nilai–nilai peubah pengambilan keputusan sebagai dampak perubahan dalam: (1)
koefisien fungsi tujuan, (2) koefisien teknologi (koefisien input–output), (3) nilai
sebelah kanan model (dalam hal ini nilai sebelah kanan fungsi kendala), dan (4)
adanya tambahan fungsi kendala baru maupun tambahan peubah pengambil
keputusan.
Asumsi deterministik dalam model program linier menyatakan bahwa
semua parameter model (aij, cj, dan bi) diketahui konstan. Pada kenyataannya,
asumsi ini sulit sekali atau jarang sekali terjadi. Oleh sebab itu perlu dilakukan
analisis post optimal yang bertujuan untuk mengetahui perubahan solusi optimal
sebagai respon terhadap perubahan parameter–parameter input tersebut. Analisis
post optimal perlu dilakukan mengingat bahwa dalam dunia nyata penuh dengan
ketidakpastian, sehingga dengan analisis ini dapat diketahui sejauh mana jawaban
optimal tersebut dapat diterapkan apabila terjadi perubahan dalam parameter yang
membangun model atau menganalisis pengaruh perubahan–perubahan yang
mempengaruhi produksi optimal. Tujuan akhir dari analisis ini adalah untuk
memperoleh informasi tentang solusi optimal yang baru dan yang dimungkinkan
atau yang sesuai dengan perubahan dalam parameter tersebut dengan perhitungan
tambahan yang minimal.
2.6 Cara Berproduksi yang Baik
Good Manufacturing Practices merupakan suatu pedoman persyaratan dan
tata cara berproduksi yang baik bagi suatu UPI dengan tujuan agar UPI memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk hasil perikanan
yang bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Menurut Taheer (2005), cara
berproduksi yang baik terdiri dari beberapa aspek yang saling berkaitan dan
berpengaruh langsung terhadap produk yang diolah dan dihasilkan yaitu,
Bangunan UPI, Manajemen, Utilitas UPI, Pemeliharaan Alat, Penyimpanan dan
Peralatan.
Konstruksi bangunan UPI yang higienis sangat penting untuk menjamin
proses produksi dapat dilakukan dan menghasilkann produk yang aman (food
safety) dan bermutu (quality assurance). Dalam mendisain UPI hal-hal yang harus
diperhatikan adalah struktur suara, keamanan, lay out UPI yang baik, ruang yang
cukup untuk memenuhi tujuan produksi, dan pemisahan ruang processing dengan
ruang yang lain, seperti gudang penyimpanan dan fasilitas lain. Pemilihan lokasi
UPI juga berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan. UPI sebaiknya jauh
dari pabrik-pabrik lain yang memproduksi bahan kimia atau produk lain yang
berbahaya karena limbah yang dihasilkan dapat saja secara langsung mencemari
produk olahan.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem
jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa
hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu,
tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut
(Zaibet L, 2000). Kunci utama HACCP adalah mencegah bahaya dan identifikasi
titik pengawasan yang mengutamakan pada pencegahan bahaya daripada
mengandalkan pengujian produk akhir (Pennington, 2000).
Penetapan tingkat resiko dilakukan berdasarkan tabel resiko sesuai dengan
yang ada di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Produk ikan tradisional
(ikan asin, abon, bakso ikan, pindang, kerupuk kulit dan dendeng ikan) sebagai
bahan baku bisa menjadi sumber mikroba terutama ikan busuk dan kotoran yang
menempel pada bahan baku ikan. Begitupula dengan air yang digunakan apabila
tidak sempurna perebusan/pemasakannya. Bahaya yang mungkin timbul adalah
disebabkan oleh bakteri terutama dari saluran pencernaan dan kulit, seperti
Salmonella sp. dan bakteri dari air yang terkontaminasi seperti Escheria coli
(Okonko et al. 2009).
Pada proses pengolahan ikan tradisional, bahan baku ikan berupa ikan segar
yang berasal dari perairan yang tidak tercemar. Selain bahan baku yang
digunakan adalah semua jenis ikan segar yang belum mengalami pengolahan dan
belum disiangi dan di simpan dalam wadah yang baik dan diberi es sehingga suhu
produk mencapai 0-5 ºC, saniter dan higienis sehingga dapat menekan aktivitas
mikroba (Quang, 2005).
Selain itu produk ikan tradisional memiliki kemungkinan mengalami
kontaminasi kembali setelah pengolahan sebelum pengemasan. Proses sealer
dilakukan dengan manual, sehingga kontaminasi dari udara, tangan, dan kemasan
bisa saja terjadi. Bahkan, potensi bahaya terjadinya kontaminasi kembali, apabila
terjadi kesalahan penanganan selama distribusi, penjualan dan penanganan oleh
konsumen. Kesalahan tersebut, seperti tutup kemasan telah terbuka namun
dikonsumsi dalam rentang waktu yang lebih dari sehari dan penempatannya tidak
saniter (Heruwati, 2002).
2.7 Prosedur Standar Operasi Sanitasi (Sanitation Standard Operating
Procedure)
Sanitasi adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk menjaga
kebersihan. Sanitasi merupakan suatu hal penting yang harus dimiliki UPI dalam
menerapkan Good Manufacturing Practices. Sanitasi dilakukan untuk mencegah
penyakit atau kecelakaan akibat mengkonsumsi produk olahan (pangan) yang
diolah/diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor
didalam pengolahan pangan yang berperan dalam pemindahan bahaya (hazard)
sejak penerimaan bahan baku (receiving), pengolahan, pengemasan dan
penggudangan produk hingga produk akhir didistribusikan (Taheer, 2005).
Tiga kunci pemerintah mengenai keamanan pangan adalah: 1) produk
pangan dikatakan tercemar apabila pada tahap persiapan, pengemasan dan
produksi dikerjakan dalam kondisi yang tidak saniter baik tercemar oleh filth atau
telah tercemar oleh kotoran yang membahayakan kesehatan. Praktek sanitasi yang
buruk dapat menyebabkan kontaminasi yang membahayakan, bahkan pada
banyak kasus dapat menyebabkan food borne illness atau kematian. Praktek
sanitasi meliputi pembersihan, pengelolaan limbah dan higienis pekerja yang
terlibat. Hubungan ketiganya dapat dilihat pada gambar 3. Proses sanitasi meliputi
didalam maupun diluar production house. Hal-hal yang berpengaruh dalam
pembersihan antara lain: suhu, waktu, konsentarsi larutan yang digunakan, dan
peralatan mekanis. Untuk higienis pekerja, sanitasi meliputi cuci tangan dan
pembersihan badan sebelum masuk ke area production house atau memegang
semua peralatan dan bahan-bahan yang akan diolah, melepas semua perhiasan
yang dipakai, menggunakan pakaian yang bersih, menutup rambut dengan topi,
menutup tangan dangan sarung tangan dan menggunakan alas kaki. Praktek
Sanitasi dalam Good Manufacturing Practices dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembersihan Pengelolaan Limbah

Sanitasi

Higiene Pekerja

Gambar 4 Praktek sanitasi dalam Good Manufacturing Practices (Taheer, 2005).

Sanitasi diterapkan pada UPI bertujuan untuk menghilangkan kontaminan


dari produk olahan dan mesin pengolahan ikan serta mencegah kontaminasi ulang
(recontamination). Pada prinsipnya sanitasi adalah kebersihan, sehingga jika
proses dilakukan dalam kondisi bersih, cemaran kimia, fisik dan mikrobiologi
tidak akan ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak. Manfaat yang dapat
diperoleh dari menerapkan sanitasi pada UPI adalah: bagi konsumen, akan
terhindar dari penyakit atau kecelakaan akibat keracunan pangan; sementara
produsen (UPI) adalah dapat meningkatkan mutu dan umur simpan produk
olahan, mengurangi complain dari konsumen (customer) dan mengurangi biaya
recall.
Program sanitasi dalam UPI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
program pembinaan mutu secara keseluruhan. Oleh karena itu, komitmen dan
tekad manajemen UPI dalam pelaksanaan program sanitasi menunjukkan
bagaimana komitmen dan perhatiannya terhadap program pembinaan mutu.
Program sanitasi dijalankan sama sekali bukan untuk mengatasi masalah kotornya
lingkungan atau kotornya proses pengolahan, akan tetapi untuk menghilangkan
dan mengendalikan kontaminan dari peralatan, bahan-bahan dan mesin
pengolahan serta mencegah terjadinya rekontaminasi.
Dalam proses sanitasi, diperlukan suatu prosedur standar yang dapat
mencakup seluruh area production house dalam memproduksi produk olahan
mulai dari kebijakan UPI, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung
jawab melakukan sanitasi, cara pemantauan, sampai cara pendokumentasiannya.
Prosedur standar yang digunakan adalah prosedur operasi standar untuk sanitasi
(Sanitation Standard Operating Procedure- SSOP). Prosedur ini dibuat untuk
membantu UPI dalam mengembangkan dan menerapkan prosedur pengawasan
sanitasi, melakukan pemantauan sanitasi, serta memelihara kondisi dan praktek
sanitasi.
Proses higienis dan sanitasi dilakukan pada mesin, peralatan pengolahan,
gedung dan fasilitas UPI lainnya. Prosedur sanitasi harus disesuaikan dengan jenis
dan tipe mesin serta peralatan pengolahan yang digunakan. Dalam melakukan
sanitasi terdapat 5 (lima) tahapan standar yang digunakan, yaitu:
(1) Langkah awal (Pre rinse)
Pre rinse merupakan suatu tahap awal yang dilakukan sebagai persiapan
untuk kegiatan pembersihan. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran
dan sisa bahan lain dengan cara mengerik, membilas dengan air, menyedot
kotoran dan sebagainya.
(2) Pembersihan
Proses ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran, darah atau bahan
lainnya dengan cara mekanis atau mencuci dengan lebih efektif. Pada tahapan ini
biasanya pembersihan dilakukan dengan menggunakan air dan detergen, bahkan
untuk noda-noda tertentu, seperti minyak dapat menggunakan air hangat dan
sabun.
(3) Pembilasan
Pembilasan dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang
mungkin masih menenmpel atau tertinggal setelah proses pembersihan, seperti
darah, lendir dan lain-lain. Pembeilasan yang paling efektif adalah dengan
menggunakan air yang mengalir.
(4) Desinfeksi
Pembersihan akhir dengan menggunakan desinfektan sangat disarankan
untuk menghilangkan mikroba yang mungkin masih bertahan pada proses
pembersihan.
(5) Pembilasan kering (drying)
Pembilasan kering dilakukan agar tidak terdapat genangan air yang dapat
menjadi media pertumbuhan mikroba. Pengeringan biasanya menggunakan
evaporator atau dengan lap yang bersih.
Menurut Food and Drug Administration USA dalam Hermawan (1995),
dalam penerapan SSOP terdapat 8 (delapan) aspek, yaitu:
(1) Keamanan air;
(2) Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan/makanan;
(3) Pencegahan kontaminasi silang;
(4) Kebersihan pekerja;
(5) Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi;
(6) Pelabelan dan penyimpanan yang tepat;
(7) Pengendalian kesehatan karyawan;
(8) Pemberantasan hama.

Anda mungkin juga menyukai