Dosen Pembimbing :
Istianah., S.Kep.,Ners.,M.Kep
ii
DAFTAR ISI
COVER --------------------------------------------------------------------------------------- i
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------- iii
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar Belakang ---------------------------------------------------------------- 1
1.2 Tujuan -------------------------------------------------------------------------- 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ----------------------------------------------------------- 3
2.1 Konsep Dasar teori ---------------------------------------------------------- 3
2.1.1 Definisi Etiologi ----------------------------------------------------- 3
2.1.2 Klasifikasi GGA ------------------------------------------------------ 4
2.1.3 Manifestasi Klinis -------------------------------------------------- 5
2.1.4 Patofisologi ---------------------------------------------------------- 5
2.1.5 Pathway -------------------------------------------------------------- 9
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang ------------------------------------------ 10
2.1.7 Penatalaksanaan --------------------------------------------------- 11
BAB III KONSEP ASUHAN -------------------------------------------------------------- 13
3.1 Asuhan keperawatan -------------------------------------------------------- 13
BAB IV PENUTUP ------------------------------------------------------------------------- 23
4.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------------- 23
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------------- 24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinis yang di
tandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasannya dalam
beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju
filtrasi glomerolus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar
kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5% mg/dl/hari dan at kadar nitrogen
urea darah sebanyak 10% mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF (Acute
Renal Failure) biasanya disertai oleh oliguria (keluaran urine <400 ml/hari).
Penyebab Gagal Ginjal akut di bedakan menjadi gagal ginjal pre-renal,
gagal ginjal renal, dan gagal ginjal post renal, gagal ginjal pre-renal
merupakan hipoperfusi ginjal, hipoperfusi dapat menyebabkan oleh
hipovolemia atau menurunya volume sirkulasi yang efektif. Pada gagal ginjal
pre renal intregritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis
dapat lebih baik apabila factor penyebab dapat di koreksi. Apabila upaya
perbaika hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal
berupa nekrosis tubular akut karena iskemia.
Upaya untuk mengurangi gagal ginal akut dalam penanganan masalah
tergantung pada kerja sama yang baik anatara perawat, pasien, dan keluarga.
Maka perawatan pada penderita yang dapat di berikan secara komorehensif
yaitu membatasi aktifitas selain itu tindakan yang lain dapat pengatruan pola
makan, mempertahankan cairan tubuh,dengan menerapkan pola kehidupan
yang sehat, teratur dan seimbang mulai dari asuhan pola makan, gaya hidup,
kebiasaan keseharaian yang dilakukan, olahraga dsb sebagai penunjang
pemeliharaan kesehatan.
1.2. Tujuan
1. Memahami Konsep Dasar Penyakit GGA
2. Mengetahui Definisi GGA
3. Mengetahui Etiologi GGA
4. Mengetahui klasifikasi GGA
5. Mengetahui Manifestasi Klinis GGA
6. Mengetahui Patofisologi GGA
1
7. Mengetahui Pathway GGA
8. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang GGA
9. Mengetahui Penatalaksanaan GGA
10. Mengetahui Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP DASAR TEORI
2.1.1 Definisi
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja
sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh,
menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan
kalium didalam darah atau produksi urin (Adelia 2013).
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur
akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Awitan gagal ginjal dapat terjadi secara akut dan kronis. Dikatakan
akut apabila penyakit berkembang sangat cepat, terjadi dalam
beberapa jam atau dalam beberapa hari (Retni, A., & Ayuba, A. 2021)
Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai suatu penurunan yang
cepat dan mendadak dari fungsi ginjal (Nurul, Islamy, and Yonata Ade
2019).
2.1.2 Etiologi
Menurut Robert Sinto, Ginova Nainggolan (2010) etiologi gagal ginjal
akut dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesisnya
yakni :
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan prerenal
a. Dehidrasi
b. Muntah dan diare
c. Diabetes militus
d. Luka bakar
e. Pemakaian deuretik yang tidak sesuai
f. Asidosis
g. Syok
2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal
3
a. Hipertensi
b. Nefrotaksin (antibiotik : gentamicin, kanamisin)
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
a. Hiperplasia prostat
2.1.3 Klasifikasi
Gangguan ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-
renal, renal, post-renal (Kairupan, J. D., & Palar, S. 2020).
1. Gagal Ginjal Akut Prarenal
GGA Prarenal adalah terjadinya penurunan aliran darah ginjal
(renal hypoperfusion) yang mengakibatkan penurunan tekanan
filtrasi glomerulus dan kemudian diikuti oleh penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG). Keadaan ini umumnya ringan yang
dengan cepat dapat reversibel apabila perfusi ginjal segera
diperbaiki. Pada GGA prarenal aliran darah ginjal walaupun
berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat
metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila hipoperfusi
ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan NTA. GGA
prarenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan
histologik atau morfologi pada nefron.
2. Gagal Ginjal Akut Renal
GGA renal yaitu kelainan yang berasal dari dalam ginjal dan yang
secara tiba-tiba menurunkan pengeluaran urin. Katagori GGA ini
selanjutnya dapat dibagi menjadi :
a. Keadaan yang mencederai kapiler glomerulus atau pembuluh
darah kecil ginjal lainnya.
b. Keadaan yang merusak epitel tubulus ginjal.
c. Keadaan yang menyebabkan kerusakan interstisium ginjal.
Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi
pada ginjal, yang mudah mengalami kerusakan bila terjadi
iskemia atau oleh obat nefrotoksik, oleh karena itu kelainan
tubulus yang disebut Nekrosis Tubular Akut (NTA)
merupakan penyebab terbanyak GGA renal.
4
3. Gagal Ginj al Akut Postrenal
GGA postrenal adalah suatu keadaan di mana pembentukan urin
cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat.
Penyebab tersering adalah obstruksi. Obstruksi aliran urin ini
akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transpor
tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang
permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala yang timbul oleh adanya penyakit gagal ginjal,
diantaranya yaitu (Haryono, 2013) dan (Nursalam & B, 2009):
1. Kardiovaskular: Darah tinggi, perubahan elektro kardiografi
(EKG), perikarditis, efusi perikardium, dan tamponade
perikardium.
2. Gastrointestinal : Biasanya terdapat ulserasi pada saluran
pencernaan dan pendarahan.
3. Respirasi : Edema paru, efusi pleura, dan pleuritis.
4. Neuromuskular : Kelemahan , gangguan tidur, sakit kepala, letargi,
gangguan muskular, neuropati perifer, bingung, dan koma.
5. Metabolik/Endokrin: Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan
hormon seks menyebabkan penurunan libido, impoten.
6. Muskuloskeletal : Kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang.
7. Integumen : Warna kulit abu-abu, mengilat, pruritis, kulit kering
bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
2.1.5 Patofisiologi
Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan
dan kerusakan nefron yang mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif
menghilang. Total laju filtrasi glomerolus (GFR) dan klirens mengalami
penurunan sedangkan terjadi peningkatan pada Blood urea nitrogen
dan kreatin. Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi
karena fungsinya untuk menyaring menjadi lebih banyak. Hal ini
berakibat pada ginjal, dimana ginjal kehilangan kemampuan dalam
mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan dalam
5
jumlah besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan. Tubulus
pada akhirnya akan kehilangan kemampuan dalam menerima
elektrolit dan urine yang dibuang mengandung banyak sodium yang
mengakibatkan terjadinya poliuri (Bayhakki, 2013) dalam
(Khanmohamadi, 2014).
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury
(AKI)/(GGA) :
1. Penurunan perfusi ginj al (pre-renal)
2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
- Bladder outlet obstruction (post renal)
- Batu, trombus atau tumor di ureter
1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-
rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama,
maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana
arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi
mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini
disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum
terjadi kerusakan struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki
homeostasis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi
ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI,
NSAID terutama pada pasien - pasien berusia di atas 60 tahun
dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi
GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal
jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul
keadaan - keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal seperti
penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler),
penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal
akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.
6
2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari
beberapa penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer
kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :
a. Pembuluh darah besar ginj al
b. Glomerulus ginjal
c. Tubulus ginjal : nekrositubular akut
d. Interstitial ginjal
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah
nekrosi tubular akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan
nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang
sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA
terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler
terjadi:
a. peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus
yang menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
b. terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan
peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin
dan ketersediaan nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-
sintase.
c. peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor
dan interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan
ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin
dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang
terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di
atas secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi
intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah
sepsis, iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous
dengan dasar patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan
7
perubahan perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis
tubular akut (NTA). Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan
bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari
kerusakan parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan
pembuluh darah.
Sepsis-associated AKI
Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di
Negara berkembang. Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi
pada keadaan tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus
sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan
vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan
secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya
debris tubular dan cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG
karena terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat
peningkatan regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada
pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang
banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis
yang berlanjut akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem
renin-angiotensus-aldosteron, vasopressin dan endothelin. Sepsis
bisa memicu kerusakan endothelial yang menghasilkan
thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta
adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal.
3. Gagal Ginjal Akut Post Renal
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10%
dari keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi
intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena
deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (
mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis
papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post-
8
renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli - buli dan
ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana
ginjal satunya tidak berfungsi.
2.1.6 Pathway/ WOC
Merusak
jaringan ginjal
Penurunan GFR
9
Edema paru Kekurangan Mual
volume muntah
cairan
Ketidak anoreksia
efektifan
pola napas
Ketidak
seimbangan
nutrisi
kurabg dari
kebutuhan
tubuh
10
piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit
prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy
brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat
ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau
nefritis tubulointerstitial
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma)
dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat
mengarahkan pada penentuan tipe AKI.
Tabel. Kelainan Analisis Urin
Indeks diagnosis AKI prerenal AKI renal
Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik >1,020 1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH.0) >500 300
Kadar natrium urin (mmol/L) >10 (>20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi Na (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin dan Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3
11
munculnya penyakit lain yang berpotensi menambah masalah bagi
pasien. Beberapa pengobatanya yaitu :
1. Menjaga Tekanan Darah
Dengan menjaga tekanan darah maka dapat mengontrol
kerusakan ginjal, karena tekanan darah sendiri dapat
mempercepat kerusakan tersebut. Obat penghambat ACE
merupakan obat yang mampu memberi perlindungan tambahan
pada ginjal dan mengurangi tekanan darah dalam tubuh dan
aliran pembuluh darah.
2. Perubahan Gaya Hidup
Hal yang bisa dilakukan ialah dengan merubah gaya hidup seperti
mengurangi konsumsi garam, menurunkan berat badan
diutamakan bagi penderita obesitas
3. Obat-obatan
Obat-obatan seperti anthipertensi, suplemen besi, agen pengikat
fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih),
transfusi darah.
4. Intake cairan dan makanan
Yaitu dengan cara minum air yang cukup dan pengaturan diit
rendah protein memperlambat perkembangan gagal ginjal.
5. Hemodialisis
Yaitu terapi pengganti ginjal yang berfungsi mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme atau racun dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium,kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat,
dan zat-zat lain melalui membran semi permiable sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal. (Rudy Hartyono,
2013)
12
BAB III
KONSEP ASUHAN
3.1 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1.1 Pengkajian
1. Anamnesis
pengkajian sebagai dasar formulasi yang dinyatakan sebagai
diagnose keperawatan. (dinartidan yuli mulyani, 2017).
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas
klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien yang
meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa
medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun
wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang
sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan
pada umumnya lanjut usia.
Identitas klien yaitu : nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
suku/bangsa, golongan darah, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian, No. RM, diagnose medis, dan alamat.
Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan
produksi miksi.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi
penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara singkat
perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan
jumlah urine output tersebut ada hubunganya dengan
predisposisi penyebab, seperti pasca-perdarahan setelah
melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka
bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya
riwayat minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik,
13
adanya riwayat pemasangan transfusi darah, serta adanya
riwayat trauma langsung pada ginjal.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanaya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi
sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus
dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab pasca-renal. Penting untuk dikaji
tentang riwayat pemakaian obat- obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan latergi.
Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada
fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat,
frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh
dan denyut nadi. Tekanan darah terjadi perubahan dari
hipertensi ringan sampai berat.
b. B1 (breathing)
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola
napas dan bernapas dengan bau urine fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons
uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga
didapatkan pernapasan Kussmaul.
c. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan
auskultasi akan menemukan adanya frictionrub yang
merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari
sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan
adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat
dari penurunan produksi eritroprotein, lesi gastrointestinal
14
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan
darah, biasanya dari saluran GI. Adanya penurunan curah
jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan
memperberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah
sering didapatkan adanya peningkatan.
d. B3 (Brain)
Gangguan status mental penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit asam basa). Klien beresiko kejang, efek sekunder
akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur,
kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada
fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
e. B4 (Bladder)
Perubahan pola kemih pada periode oliguri akan terjadi
penurunan frekwensi dan penurunan urine autput< 400
ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi
peningkatan yang menunjukanpeningkatan jumlah urine
secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus.pada pemeriksaan didapatkan berubahan warna
urine menjadilebih pekat/gelap.
f. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan.
g. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum efek
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari
hipertensi.
4. Pemeriksaan Penunjang
b. Laboraturium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan
menunjukan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <
15
1,020 menunjukan penyakit ginjal, pH urine >7,00
menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari
350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio
urine: serum sering 1:1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan
yang tetap dalam BUN dan laju peningkatanya bergantung
pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal,
dan masukan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat
dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan
laju filtrasi glomerulus tidak mampu meneksresikan kalium.
Katabolisme protein menghasilkan pelepasan kalium seluler
kedalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat.
Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksaan pH. Pasien oliguru akut tidak dapat
mengeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis
asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu,
mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah
dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif
menyertai gagal ginjal.
5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalmenjagah keseimbangan dan
mencegah komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah
komplikasih gagal ginjal akut yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein,
natrium dapat dikonsumsi secarah bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan
luka.
16
b. Koreksi hiperkalemi. Peningkatkan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium
Polistrirensulfonat), secarah oral atau melalui retensi enema.
Natrium polistrirensulfonat bekerja denagn mengubah ion
kalium menjadi natrium disaluranintestinal.
c. Terapi cairan.
d. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat.
e. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis.
6. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek
sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisial dari edema paru dan respon asidosis
metabolik.
b. Kekurangan volume cairan/Hipovolemik b.d. fase diuresis
dari gagal ginjal akut.
c. Defisit nutrisi
7. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
Keperawatan (SDKI) (SLKI)
Pola Nafas Tidak Efektif Pola Nafas (L.01004) manajemen Jalan Napas
(D.0005) Setelah dilakukan asuhan (I.01011)
keperawatan, maka pola observasi :
nafas membaik dengan 1. Monitor pola napas
criteria hasil : (frekuensi,
1. Ventilasi semenit kedalaman, usaha
meningkat napas)
2. Kapasitas vital 2. Monitor bunyi napas
meningkat tambahan (mis.
3. Diameter thorax Gurgling, mengi,
anterior-posterior wheezing, ronkhi
meningkat kering)
4. Tekanan ekspirasi 3. Monitor sputum
meningkat Terapeutik :
5. Tekanan inspirasi 1. Pertahankan
meningkat kepatenan jalan
6. Dispnea menurun napas dengan head-
7. Penggunaan otot lift dan chin-lift
17
bantu napas menurun (jaw-thrust jika
8. Pemanjangan fase curiga trauma
ekspirasi menurun servikal)
9. Ortopnea menurun 2. Posisikan semi
10. Pernafasan pursed-lip fowler atau fowler
menurun 3. Berikan minum
11. Pernafasan cuping hangat
hidung menurun 4. Lakukan fisioterapi
12. Frekuensi nafas dada, jika perlu
membaik 5. Lakukan
13. Kedalaman nafas penghisapan lender
membaik kurang dari 15 detik
14. Ekskursi dada 6. Lakukan
membaik hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan
sumbatan benda
padat dengan forsep
McGill
8. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Hipovolemi (D.0023) Status cairan (L.03028) Manajemen Hipovolemia
Setelah dilakukan asuhan (I.03116)
keperawatan, maka status Observasi :
cairan membaik dengan 1. Periksa tanda dan
criteria hasil : gejala hipovolemia
1. Kekuatan nadi (mis. Frekuensi nadi
meningkat meningkat, nadi
18
2. Turgor kulit teraba lemah, tekanan
meningkat darah menurun,
3. Output urine tekanan nadi
meningkat menyempit, turgor
4. Pengisian vena kulit menurun,
meningkat membrane mukosa
5. Ortopnea menurun kering, volume urine
6. Dispnea menurun menurun, hematokrit
7. Paroxysmal nocturnal meningkat, haus,
dyspnea (PND) lemah)
menurun 2. Monitor intake dan
8. Edema anasarka output cairan.
menurun Terapeutik :
9. Edema perifer 1. Hitung kebutuhan
menurun cairan
10. Berat badan menurun 2. Berikan posisi
11. Distensi vena modified
jugularis menurun trendelenburg
12. Suara napas 3. Berikan asupan
tambahan menurun cairan oral
13. Kongesti paru Edukasi :
menurun 1. Anjurkan
14. Perasaan lemah memperbanyak
menurun asupan cairan oral
15. Keluhan haus 2. Anjurkan
menurun menghindari
16. Konsentrasi urine perubahan posisi
menurun mendadak
17. Frekuensi nadi Kolaborasi :
membaik 1. Kolaborasi pemberian
18. Tekanan darah cairan IV isotonis
membaik (mis. NaCl, RL)
19. Tekanan nadi 2. Kolaborasi pemberian
membaikmembran cairan IV hipotonis
mukosa membaik (mis. Glukosa 2,5%,
20. Jugular Venous NaCl 0,4%)
Pressure (JVP) 3. Kolaborasi pemberian
membaik cairan koloid (mis.
21. Kadar Hb membaik Albumin, plasmanate)
22. Kadar Ht membaik 4. Kolaborasi pemberian
23. Central Venous produk darah
Pressure membaik
24. Refluks hepatojugular
19
membaik
25. Berat badan membaik
26. Hepatomegali
membaik
27. Oliguria membaik
28. Intake cairan
membaik
29. Status mental
membaik
30. Suhu tubuh membaik
Defisit Nutrisi (D.0019) Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi
Setelah dilakukan asuhan (I.03119)
keperawatan, maka status Observasi :
nutrisi membaik dengan 1. Identifikasi status
criteria hasil : nutrisi
1. Porsi makan yang 2. Identifikasi alergi dan
dihabiskan meningkat intoleransi makanan
2. Kekuatan otot 3. Identifikasi makanan
mengunyah meningkat yang disukai
3. Kekuatan otot menelan 4. Identifikasi kebutuhan
meningkat kalori dan jenis
4. Serum albumin nutrient
meningkat 5. Identifikasi perlunya
5. Verbalisasi keinginan penggunaan selang
untuk meningkatkan nasogastrik
nutrisi meningkat 6. Monitor asupan
6. Pengetahuan tentang makanan
pilihan makanan yang 7. Monitor berat badan
sehat meningkat 8. Monitor hasil
7. Pengetahuan tentang pemeriksaan
pilihan minuman yang laboratorium
sehat meningkat Terapeutik :
8. Pengetahuan tentang 1. Lakukan oral hygine
standar asupan nutrisi sebelum makan, jika
yang tepat meningkat perlu
9. Penyiapan dan 2. Fasilitasi menentukan
penyimpanan makanan pedoman diet (mis.
yang aman meningkat Piramida makanan)
10. Penyiapan dan 3. Sajikan makanan
penyimpanan secara menarik dan
minuman yang aman suhu yang sesuai
meningkat 4. Berikan makanan
11. Sikap terhadap tinggi serat untuk
20
makanan/minuman mencegah konstipasi
sesuai dengan tujuan 5. Berikan makanan
kesehatan meningkat tinggi kalori dan
12. Perasaaan cepat tinggi protein
kenyang menurun 6. Berikan suplemen
13. Nyeri abdomen makanan, jika perlu
menurun 7. Hentikan pemberian
14. Sariawan menurun makan melalui selang
15. Rambut rontok nasogastrik jika
menurun asupan oral dapat
16. Diare menurun ditoleransi
17. Berat badan membaik Edukasi :
18. Indeks Masa Tubuh 1. Anjurkan posisi
(IMT) membaik duduk, jika perlu
19. Frekuensi makan 2. Ajarkan diet yang
membaik diprogramkan
20. Nafsu makan Kolaborasi :
membaik 1. Kolaborasi
21. Bising usus membaik pemberian medikasi
22. Tebal lipatan kulit sebelum makan (mis.
trisep membaik Pereda nyeri,
23. Membrane mukosa antiemetic), jika
membaik perlu
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu
8. Implementasi
Perencanaan merupakan panduan dalam melakukan
intervensi keperawatan dalam rangka memberikan asuhan
keperawatan yang aman, efektif dan etis (SIKI, 2018). Pada tahap
ini untuk melakukan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/
pelaksanaan perencanaan-perencanaan ini dapat tepat waktu dan
efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan,
memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi
21
yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan
perawatan (Doenges E Marilyn,dkk. 2000).
9. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah
evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan(Gaffar,
1997). Evaluasi merupakan hasil pencapaian yang telah dilakukan
dengan berdasarkan criteria hasil dan tujuan. Adapun tujuan dari
evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perawat dapat
mencapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urin (Adelia 2013).
Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan
kerusakan nefron yang mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif
menghilang.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dinarti dan Yuli. (2017). Dokumentasi Keperawatan. Jakarta. Kementrian kesehatan
Republik Indonesia.
Kairupan, J. D., & Palar, S. (2020). Gangguan ginjal akut et kausa sepsis: laporan
kasus. Medical Scope Journal (MSJ), 2(1).
Muttaqin, A. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika
Nurul, Islamy, and Yonata Ade. "Tatalaksana Eklampsia dengan Gagal Ginjal
Akut." JK Unila JURNAL KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 3.1 (2019).
Retni, A., & Ayuba, A. (2021). FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN ANEMIA PADA PASIEN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK DI
RUANG HEMODIALISA RSUD PROF. DR. H. ALOEI SABOE KOTA
GORONTALO. Zaitun (Jurnal Ilmu Kesehatan), 4(1).
Triastuti, I dkk. 2017. Acute Kidney Injury (AKI). https://simdos.unud.ac.id (diakses
pada tanggal 21 Maret 2022)
24
Nurul Islamy, Ade Yonata | Tatalaksana Eklampsia dengan Gagal Ginjal Akut
Abstrak
Eklampsia merupakan kelainan akut disebabkan hipertensi karena kehamilan atau hipertensi yang bertambah berat karena
kehamilan. Eklampsia menyebabkan kegagalan multi organ dengan peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi
mengakibatkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Hampir seluruh organ penting tubuh dapat terganggu dengan berbagai
derajat gangguan yang berbeda terutama glomerulus. Karakteristik histologis lesi renal pada preeklampsia/eklampsia
adalah adanya endoteliasis glomerulus. Glomerulus mengalami pembesaran dengan sel-sel endotel bervakuola yang
menyebabkan vasokonstriksi yang meluas, mengakibatkan terjadi gagal ginjal. Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai suatu
penurunan yang cepat dan mendadak dari fungsi ginjal. Pengelolaan komplikasi dilakukan secara konservatif sesuai dengan
penyebab dan tahapan prarenal, renal atau pascarenal.
Korespodensi: Nurul Islamy. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas. Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1. Bandar Lampung
2. Eklampsia intrapartum, jika kejang terjadi 2. Peningkatan enzim hati yaitu SGOT >70u/L
selama persalinan, dan 3. Trombositopeni, yaitu jumlah trombosit
3. Eklampsia postpartum, jika kejang terjadi <100.000/mm.
setelah persalinan.1,2 Sedangkan kriteria sindroma parsial
Penderita preeklampsia berat yang tidak HELLP adalah jika pasien preeklampsia berat
mendapat penanganan yang memadai atau disertai satu atau dua dari tiga temuan
terlambat mendapat pertolongan bisa laboratorium sindroma HELLP. Pada sindroma
mendapat serangan kejang-kejang yang HELLP terjadi disfungsi endotel, dengan akibat
disebut eklampsia. Eklampsia sering terjadi terjadi peningkatan aktivasi kaskade koagulasi.
pada kehamilan nullipara, kehamilan kembar, Sindroma HELLP dapat menyebabkan terjadi
kehamilan mola dan hipertensi dengan peningkatan angka kematian maternal dan
penyakit ginjal.7,10 Lebih kurang 75% penderita perinatal. Kematian maternal 0-24%.
eklampsia terjadi antepartum dan 25% sisanya Penyebab kematian adalah ruptur hepar,
terjadi pasca-melahirkan. disseminated intravascular coagulation (DIC),
Eklampsia biasanya terjadi akibat edema gagal ginjal akut, edema paru, trombosis
otak yang luas. Peningkatan tekanan darah karotis dan pecah pembuluh darah
yang mendadak dan tinggi menyebabkan serebrovaskuler. Keterlambatan diagnosis dan
kegagalan autoregulasi aliran darah. Sebelum terapi sindroma HELLP akan menyebabkan
serangan kejang pada eklampsia biasanya prognosis menjadi makin buruk. Identifikasi
didahului oleh kumpulan gejala impending dini dari penyakit ini dapat mengurangi angka
eklampsia yang dapat berupa: nyeri kepala, kematian maternal dan perinatal, juga
mata kabur, mual, muntah, dan nyeri mengurangi angka komplikasinya.1,6,8
epigastrium.2,3 Penanganan penderita sindroma HELLP
Eklampsia menyebabkan 50.000 lebih sulit bila dibandingkan dengan
kematian maternal di seluruh dunia dalam penanganan penderita preeklampsia berat,
satu tahun, di samping itu kematian janin karena pada penderita sindroma HELLP
dalam kandungan dan kematian neonatal umumnya telah terjadi disfungsi multiorgan.
mencapai angka 34/1000. Pada penanganan Prioritas utama penanganannya adalah
penderita eklampsia kita harus bertindak lebih stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap
aktif. Stabilisasi keadaan ibu, pembebasan jalan tekanan darah, keseimbangan cairan, dan
nafas, sirkulasi udara, dan stabilisasi sirkulasi gangguan pembekuan darah. Kontrol terhadap
darah harus segera dilakukan, terutama bila tekanan darah yang tinggi perlu segera
dijumpai hipoksemia dan acidemia. Kehamilan dilakukan terutama bila dijumpai tanda-tanda
harus segera diakhiri tanpa memandang usia iritabilitas syaraf pusat dan kegagalan ginjal.
kehamilan dan keadaan janin setelah stabilisasi Seperti penanganan preeklampsia, pemberian
keadaan ibu tercapai.4,7 magnesium sulfat masih merupakan pilihan
Gambaran klinik penderita eklampsia utama. Transfusi darah dan pemberian
biasanya lebih berat dan dapat disertai trombosit harus diperhitungkan untuk
berbagai komplikasi seperti koma, edema mengatasi anemia, atau jika ditemui kadar
paru, gagal ginjal, solusio plasenta, gangguan trombosit ≤50.000/mm3.11,12
pertumbuhan janin, dan kematian janin. Oleh Mekanisme kerja kortikosteroid dalam
karena itu penanganan penderita eklampsia menstabilkan dan memperbaiki keadaan
harus komprehensif dan melibatkan berbagai pasien dengan sindroma HELLP belum jelas
disiplin ilmu. benar. Kemungkinan dengan merangsang
Sindroma HELLP adalah bentuk pelepasan trombosit dari sumsum tulang,
kelainan multisistem yang ditandai dengan menurunkan adhesi trombosit, mengurangi
anemia hemolitik mikroangiopati, disfungsi pembuangan trombosit oleh limpa dan
hati dan trombositopeni. Pemeriksaan retikuloendotelial sistem, memperbaiki
keadaan endotel dan mengurangi aktifitas
laboratorium standar yang diusulkan Sibai
trombosit.
untuk diagnosis sindroma HELLP adalah
sebagai berikut:2,3
1. Hemolisis, dinyatakan peningkatan bilirubin
>1,2mg/dL dan peningkatan LDH >600U/L
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam lebih dari 12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar atau >4 >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam atau
mg/dL dengan kenaikan akut anuria >12 jam
>0,5 mg/dL
b. Vasokontriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B
c. Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a. renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
a. Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan structural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal
kronik, hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor),
vasokontriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin,
takrolimus, radiokontras)
b. Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
c. Penggunaan penyekat ACE, ARB
d. Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
Mieloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/Instrinsik
I. Obstruksi renovaskuler
Obstruksi a. renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis) obstruksi
v. renalis (trombosis kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskuler ginjal
Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
a. Iskemia (serupa AKI prarenal)
b. Toksin
c. Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organic, asetaminofen),
endogen (rabdomiolisis, hemolysis, asam urat, oksalat, myeloma)
IV. Nefritis interstitial
Alergi (antibiotik, OAINS, diuretic, katropil), infeksi (bakteri, virus, jamur), infiltasi (limfoma,
leukemia, sarkoidisis idiopatik)
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metrotreksat, sulfonamide
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenic, hipertrofi prostat, darah
III. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis
**Dikutip dari Nainggolan5
Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal
dengan pedoman volume urin yang diukur (haemodialisa) yang diindikasikan pada
secara serial, serta elektrolit urin dan keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia
serum.6,8,10 (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1),
AKI menyebabkan gangguan pada azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru,
ekskresi renal terhadap natrium, kalium, ensefalopati uremikum, perikarditis
kalsium dan air, hemostasis kation divalen uremikum, neuropati atau miopati
dan mekanisme urinaria. Oleh karena itu, uremikum, disnatremia berat (Na>160
AKI sering menyebabkan hiperkalemia, mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia,
hiponatremia, hiperposfatemia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.
hipokalsemia, hipermagnesemia, dan Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang
asidosis metabolik.3,4,13 tepat untuk menghentikan terapi pengganti
Pengelolaan komplikasi dilakukan ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika
secara konservatif, sesuai dengan anjuran kondisi yang menjadi indikasi sudah
yang dapat dilihat pada Tabel 4. teratasi.11,13
Pengelolaan komplikasi juga dapat
1
PPDS Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: jaquelenekairupan@gmail.com
Abstract: Acute kidney injury (AKI) is a sudden episode of decreased renal function that occurs
within a few hours until a few weeks, followed by renal failure in excretion of nitrogen-waste
products with or without imbalance of fluid and electrolytes. Sepsis is the main cause of critical
illnesses as well as the main cause of AKI, albeit, the pathophysiology of AKI due to sepsis is not
jet fully understood. We reported a female patient aged 35 years with AKI due to sepsis caused by
abscess of suprafundal uterine that occured due to nosocomial infection post laparoscopy of utero
myoma. Diagnosis was based on anamnesis, physical examination, and laboratory examination as
well as radiology examination. The patient had been given an adequate antibiotic treatment with
infection source control, renal supportive therapy using intermittent hemodialysis, exploration
surgery, and abscess drainage. The prognosis of this patient was good since the condition of sepsis
was resolved and the renal supportive therapy of hemodialysis improved her renal function.
Keywords: acute kidney injury, sepsis
Abstrak: Gangguan ginjal akut (GgGA) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi mendadak
dalam beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti oleh kegagalan ginjal untuk mengekskresi
sisa metabolisme nitrogen dengan atau tanpa disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Sepsis merupakan penyebab utama dari penyakit kritis dan juga merupakan faktor
penyebab paling umum untuk terjadinya GgGA namun patofisiologi terjadinya GgGA akibat
sepsis belum dipahami dengan jelas. Kami melaporkan seorang pasien wanita usia 35 tahun
dengan GgGA akibat sepsis yang disebabkan oleh abses suprafundus uteri dengan kausa infeksi
nosokomial pasca laparoskopi mioma uteri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pasien telah diberikan pengobatan
antibiotik adekuat dengan kontrol sumber infeksi, terapi suportif ginjal menggunakan intermittent
hemodialysis, operasi eksplorasi, dan drainase abses. Prognosis pada pasien ini ialah baik bila
kondisi sepsis teratasi dan terapi suportif ginjal hemodialisis memberi hasil perbaikan fungsi
ginjal.
Kata kunci: gangguan ginjal akut (GgGA), sepsis
36
Kairupan, Palar: Gangguan ginjal akut et kausa sepsis … 37
Hasil foto toraks tanggal 13 Juli 2018 dan kanan, terdapat ronki basah kasar pada
dengan kesan kardiomegali Cardiothoracic kedua lapang paru dan tidak ada wheezing.
Ratio (CTR) 56%, efusi pleura bilateral Pemeriksaan jantung didapatkan inspeksi
minimal, corakan vaskularisasi paru me- iktus kordis tidak tampak, palpasi iktus
ningkat, dan suspek efusi perikardial. Hasil kordis tidak teraba, perkusi batas jantung
laboratorium tanggal 14 Juli 2018 ialah kanan di sela iga V linea sternalis kanan,
sebagai berikut: ureum 133 mg/dL; kreati- batas kiri jantung sela iga V linea mid
nin 9,3 mg/dL; protein total 6,4 g/dL; klavikularis kiri, auskultasi denyut jantung
albumin 3,2 g/dL; globulin 3,2 g/dL. Hasil reguler, suara jantung I dan II normal, tidak
laboratorium tanggal 17 Juli 2018 Hb 8,2 ada bising dan gallop. Pada pemeriksaan
g/dL; eritrosit 2,76x106/uL; Ht 23%; leuko- abdomen tampak distensi, luka operasi
sit 29.280/uL; trombosit 398.000/uL; MCH terawat, bising usus normal, defans mus-
29,7 pg; MCHC 35,7 g/dL; MCV 83,2 fL; kular tidak ada, hati dan limpa tidak teraba,
LED 80; GDP 83 mg/dL; ureum 148 mg/dL; shifting dullness positif, ballotement ginjal
kreatinin 10 mg/dL; asam urat 16 mg/dL; Na tidak teraba, nyeri tekan pada daerah
113 mEq/L; K 4,1 mEq/L; Cl 79 mEq/L. epigastrium, dan pada perkusi didapatkan
Hasil ultrasonografi (USG) abdomen tang- suara timpani. Pada pemeriksaan ekstremi-
gal 17 Juli 2018 dengan kesan massa tas teraba hangat, edema pada kedua tangan
hipoekoik di fundus uteri diagnois banding dan tungkai, tidak ada bintik kemerahan/
(dd) hematoma, pseudokista, dan didapat- ruam. Hasil pemeriksaan laboratorium
kan cairan bebas di kavum Douglasi. Saat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou tanggal 17
perawatan di RS Bethesda Tomohon pasien Juli 2018 ialah sebagai berikut: Hb 8,1 g/dL;
didiagnosis dengan acute heart failure dan eritrosit 2,78x106/uL; Ht 22 %; leukosit
GgGA. Terapi selama perawatan ialah injek- 30.900/uL; trombosit 412.000/uL; MCH
si furosemide 20 mg IV bolus dilanjutkan 29,1 pg; MCHC 36,8 g/dL; MCV 79,1 fL;
drips furosemide 120 mg IV, spironolakton SGOT 12 U/L; SGPT 19 U/L; GDS 92
50 mg 1x/hari, gliseril trinitrat 2,5 mg mg/dL; ureum 145 mg/dL; kreatinin 9,1
2x/hari, dan injeksi ampicillin-sulbactam mg/dL; Na 119 mEq/L; K 4,4 mEq/L; Cl 85
1,5 g 3x/hari IV. Pasien kemudian dirujuk ke mEq/L; PT 15,2 detik; INR 1,16 detik;
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada APPT 48,4 detik. Hasil konsultasi ke Bagian
tanggal 17 Juli 2018. Riwayat penyakit Obstetri-Ginekologi ialah pasien didiagno-
keluarga, ibu kandung pasien menyandang sis P0A0 35 tahun pasca laparoskopi mio-
diabetes melitus tipe 2 terkontrol dengan mektomi dengan massa uterus dan disaran-
insulin. Riwayat sosial merokok dan alkohol kan untuk perbaikan keadaan umum sebe-
disangkal pasien. Riwayat alergi tidak ada. lum tindakan operatif. Hasil konsultasi ke
Pemeriksaan fisik tanggal 18 Juli 2018 Bagian Jantung pasien didiagnosis cardio-
saat pasien dikonsulkan ke Bagian IPD renal syndrome (CRS) type 3 dan disaran-
didapatkan keadaan umum tampak sakit kan terapi drips furosemide 240 mg/hari
sedang dengan kesadaran kompos mentis, secara IV, gliseril trinitrat 2,5 mg 2x/hari.
berat badan 65 kg, tinggi badan 155 cm, Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 110 x/ fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
menit reguler, isi cukup, frekuensi pernapas- didiagnosis GgGA et kausa sepsis, sepsis et
an 26 x/menit, suhu badan aksiler 38,9 °C. kausa infeksi intraabdomen dd pneumonia,
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, cardiorenal syndrome type 3, pasca operasi
bibir tidak sianosis, tekanan vena jugularis mioma uteri, anemia et kausa perdarahan
5+4 cm H2O, trakea letak di tengah, tidak pasca operasi, hiperurisemia, hiponatremia
didapatkan pembesaran kelenjar getah dilusional. Terapi disarankan cairan adekuat
bening leher. Dada tampak simetris saat dengan target balans cairan seimbang, diet
statis dan dinamis, stem fremitus teraba ginjal non dialisis protein 0,8 g/kgBB/hari,
sama pada kedua lapang paru, perkusi sonor, kalori 35 kkal/kgBB/hari, transfusi packed
auskultasi suara pernapasan vesikuler kiri red cells (PRC) selang sehari sampai Hb ≥10
Kairupan, Palar: Gangguan ginjal akut et kausa sepsis … 39
g/dL, ceftriaxone 2 g 1x/hari IV, alopurinol urine balans cairan seimbang, diet ginjal non
100 mg 1x/hari. Hasil konsultasi ke Divisi dialisis protein 0,8 g/kgBB/hari, kalori 35
Ginjal-Hipertensi ialah pasien didiagnosis kkal/kgBB/hari. Pasien dikonsulkan ke
dengan GgGA (failure) et kausa sepsis, PPRA dan disarankan pemakaian antibiotik
sepsis et kausa infeksi intraabdomen dd injeksi cefoperazone-sulbactam 500 mg
pneumonia, cardiorenal syndrome type 3, 2x/hari secara IV. Hasil konsultasi ke
pasca operasi mioma uteri, anemia et kausa Bagian Bedah Digestif pasien didiagnosis
perdarahan pasca operasi, hiperurisemia, kolik abdomen dan disarankan untuk
hiponatremia dilusional. Disarankan terapi computerized tomography (CT) scan dengan
suportif ginjal hemodialisis (TSG-HD), diet kontras bila fungsi ginjal baik. Pasien juga
ginjal non dialisis protein 0,8 g/kgBB/hari, dikonsulkan ke Bagian Bedah Vaskular
kalori 35 kkal/kgBB/hari saat ini, takar urine untuk pemasangan akses vaskular yaitu
balans cairan seimbang, serta koreksi elek- double lumen catheter (DLC). Dilakukan
trolit dan anemia. pemeriksaan laboratorium dengan hasil
Pada tanggal 18 Juli 2018, pasien dialih sebagai berikut: Hb 7,8 g/dL; eritrosit
rawat ke bagian IPD dan dilakukan pemerik- 2,65x106/uL; Ht 21,2%; leukosit 25.500/uL;
saan laboratorium kontrol dengan hasil se- trombosit 399.000/uL; MCH 29,4 pg;
bagai berikut: ureum 143 mg/dL; kreatinin MCHC 36,8 g/dL; MCV 80 fL; Anti HCV
9,4 mg/dL; Na 119 mEq/L; K 4,16 mEq/L; kualitatif non reaktif; HBsAg Elisa non
Cl 79,2 mEq/L. Pasien dikonsulkan ke reaktif; Anti HIV (Elisa) non reaktif, dan
Program Pengendalian Resistensi Anti- diperiksakan urinalisis lengkap dengan hasil
mikroba (PPRA) dan disarankan untuk makroskopik warna kuning jernih, mikro-
pemberian antibiotik injeksi ampicillin- skopik eritrosit >50/LPB, leukosit >50/LPB,
sulbactam. Selanjutnya pasien diperiksakan epitel 0-1/LPK, kimia berat jenis 1010, pH
urinalisis lengkap dengan hasil makroskopik 5, leukosit (+3), nitrit (-), protein (+1),
warna kuning keruh, mikroskopik eritrosit glukosa (-), keton (-), urobilinogen (-),
>50/LPB, leukosit 8-10/LPB, epitel 5- bilirubin (-), darah/eritrosit (+5).
6/LPK, kimia berat jenis 1010, pH 5, Hari ke-3 perawatan tanggal 19 Juli
leukosit (+2), nitrit (-), protein (+1), glukosa 2018, pasien mengeluh sesak berkurang,
(-), keton (-), urobilinogen (-), bilirubin (-), kaki bengkak berkurang, nyeri perut ber-
darah/eritrosit (+5). Keluhan saat tersebut kurang. Pemeriksaan fisik ditemukan
sesak berkurang, kaki bengkak berkurang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 74 x/
terdapat nyeri perut. Pemeriksaan fisik menit reguler, isi cukup, frekuensi perna-
ditemukan tekanan darah 100/70 mmHg, pasan 20 x/menit, suhu badan aksiler
nadi 110 x/menit reguler, isi cukup, frekuen- 36,8°C, konjungtiva anemis ronki basah
si pernapasan 24 x/menit, suhu badan aksiler kasar pada kedua basal paru, tidak ada nyeri
38,9 °C, ronki basah kasar pada kedua basal tekan epigastrium, edema kedua tungkai dan
paru, nyeri tekan epigastrium. Pasien di- urine output 1200 mL/15 jam. Terapi dilan-
diagnosis dengan GgGA (failure) et kausa jutkan. Dilakukan pemeriksaan laborato-
sepsis, sepsis et kausa infeksi intraabdomen rium dengan hasil Hb 8,7 g/dL; eritrosit
dd pneumonia, cardiorenal syndrome type 2,94x106/uL; Ht 23,8%; leukosit 30.800/uL;
3, pasca operasi mioma uteri, anemia et trombosit 432.000/uL; MCH 29,6 pg;
kausa perdarahan pasca operasi, hiper- MCHC 36,6 g/dL; MCV 81 fL; eosinofil
urisemia, hiponatremia dilusional. Diberi- 1%; basofil 1%; netrofil batang 5%; netrofil
kan infus EAS pfrimmer 250 mL 7 tetes/ segmen 80%; limfosit 6%; monosit 7%;
menit, injeksi ampicillin-sulbactam 1,5 g eosinofil 307/uL. Hasil patologi anatomi
3x/hari secara IV, injeksi ranitidine 50 mg tanggal 19 Juli 2018 kesan leiomioma uteri.
2x/hari secara IV, natrium bikarbonat 500 Pasien dilakukan TSG-HD dengan akses
mg 3x/hari, transfusi PRC 230 mL setiap vaskular HD DLC pada vena jugularis
selang 1 hari sampai Hb ≥10 g/dL, takar interna dekstra. Pasien kemudian diberikan
40 Medical Scope Journal (MSJ), Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2020, hlm. 36-47
diet ginjal dialisis protein 1,2 g/kgBB/hari, anemis, nyeri tekan di perut kanan bawah,
kalori 35 kkal/kgBB/hari. dan urine output 2500 mL/24 jam. Diberi-
Hari ke-4 perawatan tanggal 20 Juli kan injeksi cefoperazone-sulbactam 1000
2018, pasien mengeluh sesak berkurang, mg 2x/hari secara IV dan terapi lain
kaki bengkak berkurang, nyeri perut hilang dilanjutkan. Hasil kultur darah tidak ada
timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan- pertumbuhan bakteri. Pemeriksaan urina-
an darah 120/70 mmHg, nadi 80 x/menit lisis dengan hasil makroskopik warna
reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan 20 kuning jernih, mikroskopik eritrosit 10-15
x/menit, suhu badan aksiler 36,8°C, ko- /LPB, leukosit 2-4/LPB, epitel 0-1/LPK,
njungtiva anemis ronki basah kasar pada kimia berat jenis 1015, pH 7, leukosit (+1),
kedua basal paru, edema kedua tungkai dan nitrit (-), protein (-), glukosa (-), keton (-),
urine output 1200 mL/21 jam. Terapi dilan- urobilinogen (-), bilirubin (-), darah/eritrosit
jutkan kemudian dilakukan pemeriksaan (+3).
laboratorium dengan hasil Hb 7,6 g/dL; Hari ke-8 perawatan tanggal 24 Juli
eritrosit 2,57x106/uL; Ht 20,7%; leukosit 2018, pasien mengeluh nyeri perut hilang
32.100/uL; trombosit 421.000/uL; MCH timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan-
29,6 pg; MCHC 36,7 g/dL; MCV 80,5 fL; an darah 130/80 mmHg, nadi 78 x/menit
GDS 107 mg/dL; ureum 111 mg/dL; reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan
kreatinin 6,6 mg/dL; Na 129 mEq/L; K 3,8 20x/menit, suhu badan aksiler 36,5°C, kon-
mEq/L; Cl 98 mEq/L. jungtiva anemis dan nyeri tekan di perut
Hari ke-5 perawatan tanggal 21 Juli bawah. Terapi dilanjutkan. Hasil kultur urin
2018, pasien mengeluh nyeri perut ber- tidak ada pertumbuhan bakteri.
kurang. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan- Hari ke-9 perawatan tanggal 25 Juli
an darah 120/70 mmHg, nadi 80 x/menit 2018, pasien mengeluh nyeri perut hilang
reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan-
20x/menit, suhu badan aksiler 36,7°C, an darah 120/70 mmHg, nadi 88 x/menit
konjungtiva anemis dan urine output 2100 reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan 22
mL/24 jam. Terapi dilanjutkan dan dilaku- x/menit, suhu badan aksiler 36,5°C, nyeri
kan TSG-HD. tekan di perut bawah dan epigastrium
Hari ke-6 perawatan tanggal 22 Juli dengan urine output 2000 mL/24 jam.
2018, pasien mengeluh nyeri perut bawah. Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah laboratorium dengan hasil sebagai berikut:
120/80 mmHg, nadi 80 x/menit reguler, isi Hb 12 g/dL; eritrosit 4,18x106/uL; Ht 37,4%;
cukup, frekuensi pernapasan 24 x/menit, leukosit 14.200/uL; trombosit 268.000/uL;
suhu badan aksiler 36,9°C, konjungtiva MCH 28,8 pg; MCHC 32,2 g/dL; MCV 89,4
anemis, nyeri tekan di perut kanan bawah, fL; SGOT 38 U/L; SGPT 50 U/L; GDS 102
dan urine output 2000 mL/24 jam. Dilaku- mg/dL; ureum 86 mg/dL; kreatinin 2,9
kan pemeriksaan laboratorium dengan hasil mg/dL; Na 140 mEq/L; K 3,95 mEq/L; Cl
sebagai berikut: Hb 8,9 g/dL; eritrosit 100 mEq/L; PT 15,7 detik; INR 1,2 detik;
3,08x106/uL; Ht 27,2%; leukosit 26.200/uL; APPT 43,6 detik. Hasil CT scan abdomen
trombosit 374.000/uL; MCH 28,9 pg; tanpa kontras kesan suspek abses (dd. Kista
MCHC 32,7 g/dL; MCV 88,2 fL; GDS 157 kompleks ovarium yang terinfeksi), disertai
mg/dL; ureum 52 mg/dL; kreatinin 3,2 fluid collection dalam kavum Douglasi.
mg/dL; Na 137 mEq/L; K 3,8 mEq/L; Cl Hari ke-10 perawatan tanggal 26 Juli
102 mEq/L. 2018, pasien mengeluh nyeri perut hilang
Hari ke-7 perawatan tanggal 23 Juli timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan-
2018, pasien mengeluh nyeri perut bawah. an darah 120/70 mmHg, nadi 68 x/menit
Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan
130/80 mmHg, nadi 84 x/menit reguler, isi 20x/menit, suhu badan aksiler 36,7°C, nyeri
cukup, frekuensi pernapasan 22 x/menit, tekan di perut bawah dan epigastrium
suhu badan aksiler 37,2°C, konjungtiva dengan urine output 2000 mL/24 jam.
Kairupan, Palar: Gangguan ginjal akut et kausa sepsis … 41
Terapi dilanjutkan dan dilakukan pemerik- 137 mEq/L; K 4 mEq/L; Cl 103 mEq/L; PT
saan laboratorium dengan hasil sebagai 15,4 detik; INR 1,31 detik; APPT 36,2 detik.
berikut: Hb 12,5 g/dL; eritrosit 4,47x106/uL; Hari ke-14 perawatan tanggal 30 Juli
Ht 38,1%; leukosit 11.000/uL; trombosit 2018, pasien mengeluh nyeri perut minimal.
224.000/uL; MCH 28 pg; MCHC 32,8 g/dL; Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah
MCV 85,2 fL; GDS 87 mg/dL; ureum 84 110/80 mmHg, nadi 78 x/menit reguler, isi
mg/dL; kreatinin 2,1 mg/dL; protein total cukup, frekuensi pernapasan 20 x/menit,
8,4 g/dL; albumin 4,18 g/dL; globulin 4,22 suhu badan aksiler 36,8°C, nyeri tekan di
g/dL; Na 140 mEq/L; K 4,3 mEq/L; Cl 103 perut bawah dan epigastrium dengan urine
mEq/L; PT 15 detik; INR 1,14 detik; APPT output 2000 mL/24jam. Terapi dilanjutkan.
42,2 detik. Hasil foto toraks kesan normal. Dilakukan
Hari ke-11 perawatan tanggal 27 Juli operasi laparoskopi eksplorasi dengan adhe-
2018, pasien mengeluh nyeri perut hilang sioisis dilanjutkan dengan drainase abses
timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan- suprafundus uteri. Diagnosis pascabedah
an darah 110/70 mmHg, nadi 78 x/menit P0A0 35 tahun abses suprafundus uteri post
reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan 22 laparoskopi eksplorasi dengan adhesiolisis.
x/menit, suhu badan aksiler 36,8°C, nyeri Dilakukan pemeriksaan laboratorium de-
tekan di perut bawah dan epigastrium. ngan hasil Hb 11,2 g/dL; eritrosit 4x106/uL;
Terapi dilanjutkan. Dilakukan rekam jan- Ht 35,9 %; leukosit 19.800/uL; trombosit
ung dengan hasil kesan sinus rhythm, heart 161.000/uL; MCH 28 pg; MCHC 31,1 g/dL;
rate 85x/menit. Pada hari ini pasien dikon- MCV 89,8 fL; eosinofil 0%; basofil 0%;
sulkan preoperatif untuk tindakan laparo- netrofil batang 1%; netrofil segmen 86%;
skopi eksplorasi dengan pendampingan limfosit 10%; monosit 3%; SGOT 15 U/L;
bedah digestif. Diagnosis pra operasi P0A0 SGPT 29 U/L; bilirubin total 0,3 mg/dL;
35 tahun suspek abses intraabdomen pasca bilirubin direk 0,18 mg/dL; GDS 108
laparoskopi miomektomi, GgGA perbaikan, mg/dL; ureum 51 mg/dL; kreatinin 1,4
sepsis et kausa infeksi intra-abdomen mg/dL; albumin 3,9 g/dL; Na 142 mEq/L; K
perbaikan. 5,1 mEq/L; Cl 106 mEq/L; Ca 8,61 mg/dL;
Hari ke-12 perawatan tanggal 28 Juli Mg 1,57 mg/dL; P 4,8 mg/dL; PT 15,5 detik;
2018, pasien mengeluh nyeri perut berku- INR 1,32 detik; APPT 35 detik.
rang. Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan Hari ke-15 perawatan tanggal 31 Juli
darah 130/80 mmHg, nadi 82 x/menit re- 2018, pasien mengeluh nyeri luka operasi.
guler, isi cukup, frekuensi pernapasan Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah
22x/menit, suhu badan aksiler 37°C, nyeri 114/71 mmHg, nadi 88 x/menit reguler, isi
tekan di perut bawah dan epigastrium. cukup, frekuensi pernapasan 20 x/menit,
Terapi dilanjutkan dan dilakukan TSG-HD suhu badan aksiler 36,6°C, konjungtiva
perioperatif. anemis, nyeri tekan luka operasi, luka
Hari ke-13 perawatan tanggal 29 Juli operasi terawat, dengan urine output 2500
2018, pasien mengeluh nyeri perut berku- mL/24jam. Terapi dilanjutkan. Pada hasil
rang. Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan kultur pus ditemukan kuman Enterobacter
darah 120/80 mmHg, nadi 78 x/menit re- cloacae complex dengan sensitivitas terha-
guler, isi cukup, frekuensi pernapasan dap antibiotik piperacillin/tazobactam, cefe-
20x/menit, suhu badan aksiler 36,5°C, nyeri pime, ertapenem, meropenem, amikacin,
tekan di perut bawah dan epigastrium. tigecycline, trimethoprim/sulfamethoxazole,
Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan tetapi resisten terhadap antibiotik ampicillin,
laboratorium dengan hasil Hb 11,5 g/dL; ampicillin-sulbactam, cefazolin, ceftazidime,
eritrosit 4,09x106/uL; Ht 36,3 %; leukosit ceftriaxone, aztreonam, gentamicin, cefo-
10.600/uL; trombosit 128.000/uL; MCH taxime, amoxicillin serta intermediat terha-
28,2 pg; MCHC 31,8 g/dL; MCV 88,7 fL; dap antibiotik ciprofloxacin dan nitrofuran-
ureum 53 mg/dL; kreatinin 1,4 mg/dL; Na toin. Pasien direncanakan pindah ruangan.
42 Medical Scope Journal (MSJ), Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2020, hlm. 36-47
Hari ke-16 perawatan tanggal 1 Agus- 120/80 mmHg, nadi 73 x/menit reguler, isi
tus 2018, pasien mengeluh nyeri perut cukup, frekuensi pernapasan 20 x/menit,
hilang timbul. Pemeriksaan fisik ditemukan suhu badan aksiler 36,5°C, nyeri tekan luka
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 78 x/ operasi minimal, luka operasi terawat.
menit reguler, isi cukup, frekuensi perna- Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan
pasan 20 x/menit, suhu badan aksiler 36,5°C, laboratorium dengan hasil: Hb 11,6 g/dL;
konjungtiva anemis, nyeri tekan luka operasi, eritrosit 4,16x106/uL; Ht 37,2 %; leukosit
luka operasi terawat dengan urine output 8.400/uL; trombosit 290.000/uL; MCH 27,9
1500 mL/24jam. Terapi dilanjutkan. pg; MCHC 31,2 g/dL; MCV 89,4 fL; ureum
Hari ke-17 perawatan tanggal 2 Agus- 20 mg/dL; kreatinin 0,9 mg/dL.
tus 2018, pasien mengeluh nyeri perut ber- Hari ke-21 perawatan tanggal 6
kurang. Pemeriksaan fisik ditemukan tekan- Agustus 2018, pasien tidak ada keluhan.
an darah 120/80 mmHg, nadi 76 x/menit Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah
reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan 120/80 mmHg, nadi 73 x/menit reguler, isi
20x/menit, suhu badan aksiler 36°C, cukup, frekuensi pernapasan 20 x/menit,
konjungtiva anemis, nyeri tekan luka suhu badan aksiler 36,5°C, nyeri tekan luka
operasi, luka operasi terawat dengan urine operasi minimal, luka operasi terawat.
output 2500 mL/24jam. Terapi dilanjutkan Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan
dan dilakukan pemeriksaan laboratorium laboratorium dengan hasil: Hb 11,4 g/dL;
dengan hasil: Hb 10,7 g/dL; eritrosit eritrosit 4,08x106/uL; Ht 35,9 %; leukosit
3,79x106/uL; Ht 34%; leukosit 8.100/uL; 10.300/uL; trombosit 296.000/uL; MCH 28
trombosit 238.000/uL; MCH 28,1 pg; pg; MCHC 31,9 g/dL; MCV 87,9 fL; SGOT
MCHC 31,3 g/dL; MCV 89,6 fL; SGOT 17 15 U/L; SGPT 19 U/L; ureum 34 mg/dL;
U/L; SGPT 21 U/L; GDS 102 mg/dL; ureum kreatinin 1,1 mg/dL; GDS 89 mg/dL; Na
31 mg/dL; kreatinin 1 mg/dL; albumin 3,85 138 mEq/L; K 3,7 mEq/L; Cl 99 mEq/L; PT
g/dL; Na 136 mEq/L; K 3,92 mEq/L; Cl 98,5 13,3 detik; INR 1,07 detik; APPT 29,2 detik.
mEq/L. Hari ke-22 perawatan tanggal 7 Agus-
Hari ke-18 perawatan tanggal 3 Agus- tus 2018, pasien tidak ada keluhan. Peme-
tus 2018, pasien mengeluh nyeri perut mini- riksaan fisik ditemukan tekanan darah
mal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan 120/70 mmHg, nadi 82 x/menit reguler, isi
tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 82 x/ cukup, frekuensi pernapasan 21 x/menit,
menit reguler, isi cukup, frekuensi perna- suhu badan aksiler 37 °C, nyeri tekan luka
pasan 20x/ menit, suhu badan aksiler 37°C, operasi minimal, luka operasi terawat.
konjungtiva anemis, nyeri tekan luka operasi Double lumen catheter dilepas kemudian
minimal, luka operasi terawat. Terapi pasien rawat jalan dengan terapi vitamin B
dilanjutkan. kompleks 1 tab 3x/hari, lansoprasole 30 mg
Hari ke-19 perawatan tanggal 4 Agus- 2x/hari, dan paracetamol 500 mg 3x/hari
tus 2018, pasien tidak ada keluhan. Peme- kalau perlu. Pasien disarankan untuk pera-
riksaan fisik ditemukan tekanan darah watan luka mandiri dan kontrol rutin di
110/70 mmHg, nadi 82 x/menit reguler, isi Poliklinik Ginjal-Hipertensi RSUP Prof. Dr.
cukup, frekuensi pernapasan 20 x/menit, R. D. Kandou Manado.
suhu badan aksiler 37°C, konjungtiva ane-
mis, nyeri tekan luka operasi minimal, luka BAHASAN
operasi terawat. Terapi injeksi dihentikan Gangguan ginjal akut berdasarkan krite-
diganti dengan terapi oral asam folat 400 ria Kidney Disease: Improving Global Out-
mcg 2x/hari, vitamin B kompleks 1 tab comes (KDIGO) yaitu peningkatan kadar
3x/hari, lansoprasole 30 mg 2x/hari, dan kreatinin serum ≥0,3 mg/dL (≥26,5 µmol/L)
paracetamol 500 mg 3x/hari. dalam 48 jam, atau presentasi kenaikan kadar
Hari ke-20 perawatan tanggal 5 Agus- kreatinin serum ≥50% (1,5 kali kenaikan
tus 2018, pasien tidak ada keluhan. Peme- nilai dasar) dalam 7 hari, atau produksi urin
riksaan fisik ditemukan tekanan darah <0,5 mL/kg/jam dalam waktu 6 jam).1
Kairupan, Palar: Gangguan ginjal akut et kausa sepsis … 43
Populasi berisiko tinggi GgGA akibat interstisial, dan pembuluh darah intrarenal.
sepsis telah diidentifikasi. Pasien usia lanjut Istilah nekrosis tubular akut digunakan
memiliki tingkat kejadian GgGA akibat untuk menunjuk GgGA yang disebabkan
sepsis yang lebih tinggi. Selain itu, wanita dari kerusakan tubulus. Tipe ini merupakan
ditemukan lebih sering dibandingkan pria. yang paling umum dari cedera ginjal
Komorbid dasar, khususnya penyakit ginjal intrinsik. Gangguan ginjal akut dari keru-
kronik (PGK), diabetes melitus, gagal jan- sakan glomerulus terjadi pada kasus glome-
tung, keganasan, dan penyakit hati mening- rulonefritis (GN) akut yang berat. Gangguan
katkan kerentanan pasien terhadap GgGA ginjal akut akibat kerusakan pembuluh
akibat sepsis. Sumber-sumber sepsis khu- darah terjadi karena cedera pada pembuluh
susnya dari infeksi aliran darah, sepsis darah intrarenal menurunkan perfusi ginjal
abdomen dan genitourinarius, endokarditis dan mengurangi LFG dan akhirnya terjadi
infektif, mempunyai kemungkinan yang nefritis interstisial akut karena reaksi alergi
lebih tinggi untuk terjadinya GgGA. Keter- terhadap berbagai obat atau infeksi. Gang-
lambatan pemberian terapi antimikroba guan ginjal akut post-renal terjadi setelah
yang tepat terbukti menjadi prediktor inde- obstruksi akut aliran urin, yang mening-
penden terhadap perkembangan GgGA. katkan tekanan intratubular, dan dengan
Penundaan tambahan dalam pemberian demikian menurunkan LFG.3-6
antimikroba setelah timbulnya hipotensi Pemahaman saat ini tentang patofisio-
menunjukkan hubungan langsung dengan logi terjadinya GgGA akibat sepsis belum
perkembangan GgGA. Pada kasus ini pasien diketahui secara lengkap. Hipoperfusi yang
ialah seorang wanita berusia 35 tahun masuk dimediasi oleh sepsis menyebabkan nekro-
rumah sakit dengan sepsis nosokomial intra- sis tubular disebut sebagai patofisiologi
abdomen dari operasi laparoskopi miomek- utama untuk GgGA akibat sepsis, namun
tomi, pasien sudah diberikan terapi anti- demikian, semakin banyak bukti yang
biotik yang adekuat dari perawatan di rumah menantang paradigma ini. Banyak penyebab
sakit sebelumnya, tetapi proses operatif yang sekarang diakui berperan dalam terja-
untuk drainase abses harus menunggu per- dinya GgGA akibat sepsis, termasuk cedera
baikan keadaan umum pasien.2-4 iskemia-reperfusi pada glomerulus, inflame-
Penyebab GgGA secara garis besar si pada bagian spesifik nefron, hipoksia atau
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-renal, stres oksidatif, sitokin dan kemokin menye-
renal (intrinsik), post-renal. Gangguan babkan cedera langsung pada tubulus, serta
ginjal akut pre-renal akibat dari hipoperfusi apoptosis tubular dan mesenkimal. Tingkat
ginjal menyebabkan penurunan laju filtrasi keparahan cedera dan hasil akhir buruk
glomerulus (LFG) tanpa merusak parenkim terhadap GgGA akibat sepsis disebabkan
ginjal, sebagai respons adaptif terhadap karena keterlambatan pengenalan dini dari
berbagai pengaruh ekstrarenal. Telah dike- cedera. Kasus ini pasien mengalami GgGA
tahui bahwa untuk mempertahankan LFG intrinsik yang disebabkan oleh sepsis intra-
normal tergantung pada perfusi ginjal yang abdomen.6-8
adekuat. Ginjal menerima hingga 25% dari Beberapa definisi konsensus telah
curah jantung dan dengan demikian setiap dikembangkan untuk memberikan kriteria
kegagalan volume sirkulasi darah sistemik yang seragam untuk diagnosis GgGA. Pada
atau kegagalan terisolasi dari sirkulasi tahun 2004, kelompok Acute Dialysis
intrarenal dapat memiliki dampak menda- Quality Initiative (ADQI) mengusulkan
lam pada perfusi ginjal. Etiologi GgGA pedoman konsensus dan pengobatan ber-
renal (intrinsik) dapat menjadi tantangan basis bukti serta pencegahan GgGA, yang
untuk dievaluasi karena berbagai macam kemudian disebut kriteria RIFLE (Risk,
cedera dapat terjadi pada ginjal. Secara Injury, Failure, Loss, dan End-stage kidney
umum, terdapat empat struktur ginjal yang disease). Modifikasi kriteria ini kemudian
terlibat termasuk tubulus, glomerulus, diusulkan oleh Acute Kidney Injury Network
44 Medical Scope Journal (MSJ), Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2020, hlm. 36-47
(AKIN, yang termasuk kelompok ADQI). metabolik yang dapat menyebabkan dis-
Kelompok studi GgGA KDIGO mengusul- fungsi organ dan kematian, dengan ditandai
kan definisi yang dimodifikasi, mengga- dengan kriteria klinis sepsis dengan hipo-
bungkan perbedaan antara definisi RIFLE tensi persisten yang membutuhkan pemberi-
dan AKIN. Pada kasus ini pasien diklasi- an vasopresor untuk menjaga mean arterial
fikasikan ke dalam GgGA tahap 3 berdasar- pressure (MAP) ≥65 mmHg dengan kadar
kan kriteria KDIGO dan termasuk dalam laktat ≥2 mmol/L walaupun telah diberikan
tahap failure bila menggunakan kriteria cairan adekuat sebelumnya. Pada pasien ini
RIFLE dimana terdapat peningkatan kreati- didiagnosis dengan sepsis karena infeksi
nin dari 0,7 mg/dL menjadi 9,1 mg/dL abdominal dan riwayat pemberian antibiotik
sedangkan dari urine output masih dalam sebelumnya, jumlah skor SOFA 4 yaitu
keadaan cukup dimana urine output dalam adanya GgGA dengan jumlah kreatinin >5
24 jam ± 1.500-2.000 mL.8-10 mg/dL, dan ditemukan positif biakan orga-
Pada pasien dengan sepsis abdominal, nisme yang diambil langsung dari abses
deteksi dan perawatan dini sangatlah pen- intraabdominal melalui intervensi bedah
ting untuk meminimalkan komplikasi. laparotomi.2,8,9
Pasien mengeluh nyeri perut, yang awalnya Pendekatan diagnostik untuk membuk-
terasa sejak setelah operasi mioma uteri, tikan sumber infeksi abdomen pada pasien
rasa nyeri tumpul dan tidak terlokalisir sepsis tergantung pada stabilitas hemo-
dengan baik dan sering berkembang dinamik pasien. Sumber infeksi intra-
menjadi nyeri yang stabil, berat, dan lebih abdomen pada pasien yang tidak stabil
terlokalisir.2,8,9 sebaiknya dideteksi dengan USG. Ultra-
Kriteria untuk diagnosis sepsis pertama sonografi abdomen memiliki keuntungan
kali dibentuk oleh American College of portabel sehingga dapat membantu dalam
Chest Physician (ACCP) dan Society of evaluasi kuadran kanan atas (misalnya abses
Critical Care Medicine (SCCM) pada tahun perihepatik, kolesistitis, pankreatitis), kua-
1991 dan direvisi kembali pada tahun 2001, dran kanan bawah, dan patologi pelvis
2016, dan 2017 sehingga membagi sepsis (misalnya appendisitis, abses tuboovarium,
berdasarkan tatalaksana yang dibuat sebagai abses kavum Douglasi), tetapi pemeriksaan
protokol (Surviving Sepsis Guidelines) dan ini kadang terbatas karena ketidaknyamanan
dinilai dengan skor Sequential Organ pasien, distensi abdomen, dan gangguan gas
Failure Assesment (SOFA). Definisi sepsis pada usus. Ketika pasien stabil, CT merupa-
menurut revisi kriteria protokol Surviving kan modalitas pencitraan pilihan untuk
Sepsis Guidelines 2017 adalah keadaan sebagian besar proses intraabdomen. Com-
disfungsi organ yang mengancam jiwa yang puted tomography abdomen dan pelvis, bila
disebabkan karena disregulasi respon tubuh memungkinkan untuk dilakukan, menjadi
terhadap infeksi. Pengelompokan diagnosis studi diagnostik pilihan untuk infeksi intra-
sepsis saat ini hanya menjadi 2 yaitu pasien abdomen. Computed tomography dapat
dengan sepsis dan syok sepsis. Penggunaan mendeteksi sejumlah kecil cairan, area
Systemic Inflammatory Response Syndrome peradangan, dan patologi saluran cerna lain-
(SIRS) dan sepsis berat sudah tidak dipakai nya dengan sensitivitas yang sangat tinggi.
lagi. Komponen dasar dari revisi protokol Pada kasus ini, dari anamnesis, pasien
terbaru sepsis dan syok septik ialah resu- mempunyai keluhan sesak napas yang
sitasi awal, kontrol sumber infeksi, diagno- dirasakan saat istirahat maupun berjalan,
sis (kultur dan pemeriksaan radiologik), nyeri perut menjalar sampai belakang
tatalaksana suportif (ventilasi mekanik, dirasakan hilang timbul setelah pasien
dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi. dioperasi atas indikasi mioma uteri, mual
Seorang pasien dikatakan sepsis bila dan muntah dialami pada saat pasien makan.
terdapat peningkatan skor SOFA ≥2. Syok Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
sepsis didefinisikan sebagai keadaan sepsis darah 100/70 mmHg, nadi 110 x/menit
dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan reguler, isi cukup, frekuensi pernapasan
Kairupan, Palar: Gangguan ginjal akut et kausa sepsis … 45
24x/menit, suhu badan aksiler 38,9°C, ko- jam dari penundaan pemberian antibiotik
njungtiva anemis, abdomen tampak datar, yang tepat. Pada GgGA terkait sepsis, per-
luka operasi terawat, bising usus normal, ubahan tonus pembuluh darah merupakan
lemas, shifting dullness positif, defans penyebab utama hipotensi dan cedera ginjal.
muskular tidak ada, hati dan lien tidak Norepinefrin mempertahankan tekanan arte-
teraba, nyeri tekan pada daerah epigastrium ri rerata dan meningkatkan sirkulasi medu-
dan perut bagian bawah dengan hasil ler ginjal tanpa perubahan aliran darah ginjal
pemeriksaan laboratorium tanggal 17 Juli sehingga memperbaiki fungsi ginjal baik
2018 leukosit 30.900/uL. Hasil CT scan pada hewan coba dan manusia. Norepinefrin
abdomen tanpa kontras kesan suspek abses juga mengembalikan kecepatan normal
(dd. Kista kompleks ovarium yang terin- kapiler dan tekanan filtrasi sehingga nor-
feksi), disertai fluid collection dalam kavum epinefrin menjadi obat lini pertama syok
Douglasi dan hasil USG abdomen kesan septik. Pada pasien ini tidak diberikan nor-
massa hipoekoik di fundus uteri dd/ epinefrin karena belum masuk ke fase syok
hematoma, pseudokista, dan didapatkan sepsis.2,3,14,15
cairan bebas di kavum Douglasi.9,11,12 Pengobatan GgGA akibat sepsis mirip
Infeksi intraabdomen pascaoperasi dengan penatalaksanaan sepsis secara
didiagnosis dengan pemeriksaan radiologis umum yaitu pemberian antibiotik yang tepat
atau pengamatan intraoperatif dalam 30 hari dan terapi suportif yang baik. Pemberian
setelah operasi. Sampel diperoleh dari cairan merupakan hal yang sangat penting
intervensi bedah (laparotomi atau drainase dalam resusitasi terutama pada sepsis.
perkutan dari abses), drain intraabdomen Terapi cairan, lebih lanjut, selain mampu
dimasukkan intraoperatif, atau saluran drai- mengatasi syok septik juga dapat menye-
nase bilier dikultur. Tujuh organisme utama babkan disfungsi ginjal yang lebih banyak
yang diisolasi dari infeksi intraabdomen melalui beberapa mekanisme misalnya pe-
pasca operasi (Eschericia coli, Klebsiella ningkatan tekanan vena setelah terapi cairan
pneumoniae, Enterobacter cloacae, Pseudo- secara langsung meningkatkan tekananan di
monas aeruginosa, spesies kelompok Bacte- interstisial ginjal dan area peritubular pada
roides fragilis, Staphylococcus aureus, dan hewan coba. Pemberian bolus cairan dalam
Enterococcus faecalis) dikumpulkan di 26 jumlah besar (20-30 mL/kg) dikaitkan
pusat medis sekitar Jepang antara Januari dengan kelebihan volume sehingga pende-
2014 dan Februari 2015 dan dirujuk ke katan dengan volume bolus cairan yang
laboratorium pusat (Pusat Penelitian Obat- lebih sedikit (200-500 mL) saat ini direko-
obatan Anti-infeksi di Institut Kitasato, mendasikan. Acute Dialysis Quality Initiative
Tokyo, Jepang). Pada kasus ini dilakukan menyarankan pendekatan terapi cairan pada
kultur pus dari abses suprafundus uteri pasca sepsis dengan membagi menjadi empat
laparoskopi eksplorasi dan adhesiolisis tahap yaitu penyelamatan, optimalisasi,
dengan hasil ditemukan kuman Entero- stabilisasi, dan de-eskalasi. Resusitasi volu-
bacter cloacae complex (Gram negatif). me tinggi diperlukan selama tahap penyela-
Pada pasien ini awalnya diberikan antibiotik matan diikuti optimalisasi dan protokol
spektrum luas untuk Gram negatif dan stabilisasi tergantung masing-masing pasien.
positif ampicillin-sulbactam, setelah hasil Setelah itu, de-eskalasi terdiri dari berku-
kultur kuman selesai maka disesuaikan rangnya total cairan air pada pasien dimana
sesuai dengan sensitivitas kuman Entero- diuretik atau terapi pengganti ginjal. Pada
bacter cloacae complex terhadap antibiotik. pasien ini dilakukan hingga tahap de-
2,8,13
eskalasi dengan penggunaan diuretik dosis
Pengontrolan mikroorganisme dengan maksimal dan TSG-HD.3,4,5,13
cepat masih menjadi pilihan utama peng- Cardio Renal Sydrome (CRS) type 3
obatan sepsis. Tingkat kelangsungan hidup atau disebut sindrom kardiorenal tipe 3
pasien dengan sepsis menurun 7,6% setiap (sindrom renokardiak akut) ditandai oleh
46 Medical Scope Journal (MSJ), Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2020, hlm. 36-47
negatif dan positif dan selanjutnya meng- level. J Am Soc Nephrol. 2015;26:2231-
ikuti hasil sensitivitas kultur pus dari abses, 38.
serta diberikan terapi suportif ginjal dengan 5. Perner A, Prowle J, Joannidis M, Young P,
IHD untuk intervensi dari GgGA akhir agar Hjortrup PB, Pettil€a V. Fluid manage-
ment in AKI. Intensive Care Med. 2017;
dapat menyelamatkan fungsi nefron yang
43:807-15.
mengalami iskemik akut, sehingga tidak 6. PRISM Investigators; Rowan KM, Angus DC,
terjadi iskemik kronik yang dapat menye- Bailey M, Barnato AE, Bellomo R, et al.
babkan PGK. Tindakan operatif laparo- Early, goal-directed therapy for septic
scopy exploration dilakukan setelah ada shock — a patient-level meta-analysis. N
hasil CT Scan untuk membersihkan sumber Engl J Med. 2017;376:2223-34.
infeksi dan drainase abses.2,3,11,15 7. Makris K, Spanou L. Acute kidney injury:
definition, pathophysiology and clinical
SIMPULAN phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016;
Telah dilaporkan seorang pasien wanita 37(2):85-98.
usia 35 tahun dengan gangguan ginjal akut 8. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari
akibat sepsis yang disebabkan abses supra- MS, Annane D, Bauer M, et al. The third
international concensus definitions for
fundus uteri oleh infeksi nosokomial pasca sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA.
laparoskopi mioma uteri. Diagnosis ditegak- 2016;315(8):801-10.
kan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan 9. Moore P, Hsu R, Liu K. Management of acute
fisik, serta pemeriksaan laboratorium dan kidney injury: core curriculum 2018.
radiologi. Pasien telah diberikan pengobatan AJKD. 2018;72(1):136-48.
antibiotik adekuat dengan kontrol sumber 10. Takesue Y, Kusachi S, Mikamo H, Sato J,
infeksi serta terapi suportif ginjal menggu- Watanabe A, Kiyota H, et al. Anti-
nakan intermittent hemodialysis, operasi microbial susceptibility of common patho-
eksplorasi, dan drainase abses. Prognosis gens isolated from postoperative intra-
pasien ini ialah baik bila kondisi sepsis abdominal infection in Japan. J Infect
teratasi dan terapi suportif ginjal hemo- Chemoter. 2018;24:330-40.
11. Surachno R, Bandiara R. Gangguan ginjal akut
dialisis memberikan perbaikan fungsi ginjal.
(acute kidney injury). In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyo-hadi B,
Konflik Kepentingan Syam A, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Penulis menyatakan tidak terdapat Dalam Jilid II (6th ed). Jakarta: Interna
konflik kepentingan dalam studi ini. Publishing, 2014; p. 2147-58.
12. Ostermann M, Joannidis M. Acute kidney
DAFTAR PUSTAKA injury 2016: diagnosis and diagnostic
1. Alobaidi R, Basu R, Goldstein S, Bagshaw S. workup. Crit Care. 2016;20(299):1-13.
Sepsis-associated acute kidney injury. 13. Honore P, Jacobs R, Hendrickx Inne, Bag
Semin Nephrol. 2015;35(1):2-11. shaw S, Joannes-Boyau O, Boer W, et al.
2. Dellinger RP. The Surviving Sepsis Campaign Prevention and treatment of sepsis-
2014: An update on the management and induced acute kidney injury: an update.
performance improvement for adults in Ann Intensive Care. 2015;5(51):1-10.
severe sepsis. Consultant. 2014;54(10). 14. Gomez H, Kellum J. Sepsis-induced acute
3. KDIGO AKI Workgroup. KDIGO clinical kidney injury. Curr Opin Crit Care. 2016;
practice guideline for AKI. Kidney Int 22(6):546-53.
Suppl. 2012;2:1-138. 15. Doyle J, Forni L. Update on sepsis-associated
4. Kellum JA, Sileanu FE, Murugan R, Lucko N, acute kidney injury: emerging targeted
Shaw AD, Clermont G. Classifying AKI therapies. Biologics. 2016;10:149-56.
by urine output versus serum creatinine
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN ANEMIA PADA PASIEN PENYAKIT GAGAL
GINJAL KRONIK DI RUANG HEMODIALISA
RSUD PROF. DR. H. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO
Ani Retni1, Asni Ayuba2
*Email : shafwaalzahra@gmail.com
1)
Staf Dosen Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo
2)
Staf Dosen Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo
Abstrak
Penelitian bertujuan mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian Anemia pada
pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa rutin. Penelitian ini menggunakan
desain observasional analitik melalui pendekatan cross sectional study.Jumlah sampel 30 pasien yang
menjalani Hemodialisa rutin di Ruang Hemodialisa RSUD Prof. DR. H. Aloei. Analisis data
menggunakan uji statistic Chi square test.Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara umur dengan kejadian anemia pasien GGK yang menjalani hemodialisa rutin (P value 0,517),
terdapat hubungan antara status gizi dengan Kejadian Anemia pasien GGKyang menjalani hemodialisa
rutin (P value 0,001) dan terdapat hubungan antara lama pasien GGK yang menjalani hemodialisa
rutin dengan kejadian anemia (P value 0,000).
Abstract
The aims of this research is to determine the factors relevancy with the anemia incidence toward
chronic renal failure patients undergoing hemodialysis routine. This research used analytic
observational design with cross sectional approach. Total of the sample are 30 patients who underwent
hemodialysis routine at Hemodialysis room of Prof. Dr.H.Aloei Saboe Hospital, Gorontalo. Analysis of
the data is used statistical Chi-square test. The result of research showed there was no correlation
between age and the anemia incidence toward CRF patients undergoing hemodialysis routine (P value
0,517), there was relevancy between nutritional status and the anemia incidence toward CRF patients
undergoing hemodialysis routine (P value 0,001) and relevancy between time span of CRF patients
undergoing hemodialysis routine with anemia (P value 0,000)
1 ≤1 tahun 12 40 ≤ 1 tahun 3 10 9 30 12 40
> 1 tahun 18 60 0 0 18 60 0,000
2 >1 Tahun 18 60
Jumlah 21 70 9 30 30 100
Jumlah 30 100
Sumber: Data Primer 2015
Sumber: Data Primer 2015
PEMBAHASAN
4. Kejadian Anemia PasienGagal Ginjal Kronik Hubungan Umur dengan Kejadian Anemia Pasien
yang Menjalani Hemodialisa Rutin Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa
No Kejadian Jumlah % Rutin
Anemia Hasil penelitian diketahui 2 orang responden
1 Tidak anemia 9 30 yang berumur ≤ 35 Tahun, 1 orang menderita anemia
2 anemia 21 70 dan 1 orang tidak menderita anemia sedangkan 28
Jumlah 30 100 orang responden yang berumur > 35 tahun, 20 orang
menderita anemia dan 8 orang tidak menderita
Sumber: Data Primer 2015
anemia. Hasil uji staistik chi square didapatkan nilai
fisher exact sebesar 0,517 (α > 0,05). yang
5. Hubungan Umur dengan Kejadian Anemia menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani umur dengan kejadian anemia pasien gagal ginjal
Hemodialisa Rutin kronik yang menjalani Hemodialisa Rutin di ruang
Kejadian Anemia Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Total
ρ Gorontalo.
Tidak Value Peneliti berpendapat bahwa tidak adanya
Umur Anemia
anemia hubungan antara umur dengan anemia pada pasien
f % f % f % gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisa
Rutin di Ruang Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H.
≤ 35 Aloei Saboe Kota Gorontalo dikarenakan baik
1 3,3 1 3,3 2 6,6
Tahun mereka yang memiliki umur ≤ 35 Tahun maupun
> 35 0,517 yang berumur > 35 tahun secara umum sama-sama
20 66,7 8 26,7 28 93,4
Tahun
menderita anemia. Penyebab anemia itu sendiri dapat
Jumlah 21 70 9 30 30 100 disebabkan oleh banyak faktor dan dapat dialami oleh
Sumber: Data Primer 2015 semua usia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Aprilianti (2013) terhadap 116 pasien yang
Jurnal Zaitun ISSN : 2301-5691
Universitas Muhammadiyah Gorontalo
menjalani hemodialisa rutin di RSUP Hasan Sadikin Anemia pasien gagal ginjal kronik yang
Bandung yang menemukan tidak adanya korelasi menjalani Hemodialisa Rutin di ruang
antara umur pasien dengan kejadian anemia dimana
pasien yang berumur < 35 tahun dan > 35 tahun Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe
secara persentase sama-sama menderita anemia. Kota Gorontalo karena gizi adalah salah satu
Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh
Nurcahyati (2010) yang menemukan tidak adanya khususnya untuk meningkat kebutuhan sel akan
hubungan antara umur dengan kejadian anemia pada
pasien yang menjalani hemodialisa di RS Islam zat-zat tertentu seperti besi (feritin serum), asam
Fatimah Cilacap. folat untuk membantu produksi sel darah merah.
Pendapat peneliti ini sejalan dengan pendapat Pada pasien yang menjalani hemodialisa paling
Sudoyo (2006) yang menjelaskan bahwa pada gagal
sering mengalami kekurangan nutrisi karena
ginjal kronik laju filtrasi glomerulus akan menurun
secara progresif hingga 50% dari normal, terjadi adanya penurunan nafsu makan sehingga asupan
penurunan kemampuan tubulus ginjal untuk nutrisi berkurang dan akan dapat memperburuk
mereabsorbsi dan pemekatan urin, penurunan kejadian anemia bagi mereka yang menjalani
kemampuan pengosongan kandung kemih dengan
sempurna sehingga meningkatkan resiko infeksi dan
hemodialisa rutin.
obstruksi dan penurunan intake cairan sehinggga Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh
beresiko terjadinya kerusakan termasuk penurunan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
sekresi hormon eritropoetin sebagai hormon yang Levin (2008) yang menemukan bahwa terjadi
berperan dalam pembentukan sel darah merah.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bhatta kelainan gizi berupa malnutrisi protein pada
S, et all (2001) bahwa anemia hampir selalu pasien dengan gagal ginjal kronik yang
ditemukan pada penderita gagal ginjal kronis (80- menjalani dialysis. Kehilangan protein dalam
95%), kecuali pada penderita Gagal Ginjal Kronis tindakan hemodialisis bila tidak ditangani
karena ginjal polikistik. Faktor utama penyebab
terjadinya anemia adalah defisiensi eritropoetin dengan baik akan berdampak pada penurunan
(EPO) sebagai akibat kerusakan sel-sel. Penghasil status gizi termasuk anemia. Hasil penelitian
EPO (sel peritubuler) pada ginjal. Aprilianti (2013) terhadap 116 pasien yang
menjalani hemodialisa rutin di RSUP Hasan
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Sadikin Bandung yang menemukan adanya
Hemodialisa Rutin di Ruang Hemodialisa korelasi yang signifikan antara status gizi pasien
Hasil penelitian diketahui 18 orang dengan kejadian anemia.
responden yang memiliki status gizi kurang, 17 Pendapat peneliti ini didukung oleh
orang menderita anemia dan 1 orang tidak pendapat Gibson (2010) yang menjelaskan
menderita anemia sedangkan 12 orang bahwa status gizi dapat mempengaruhi kejadian
responden yang memiliki status gizi baik, 4 anemia karena adanya pembatasan asupan
orang menderita anemia dan 8 orang tidak karena diet. Pendapat yang sama juga
menderita anemia. Hasil uji staistik chi square dikemukakan oleh Bandiara (2006) bahwa
didapatkan nilai fisher exact sebesar 0,001 (α < banyak pasien PGK dengan anemia mempunyai
0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat defisiensi besi tidak bisa memproduksi secara
hubungan antara status gizi dengan kejadian adekuat jumlah sel darah merah. Defisiensi besi
Anemia pasien gagal ginjal kronik yang dapat terjadi karena beberapa penyebab seperti
menjalani Hemodialisa Rutin di ruang kurangnya asupan makanan yang kaya akan
Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe besi. Pada penderita gagal ginjal kronis yang
Kota Gorontalo. menjalani hemodialisa, terjadi kehilangan zat
Peneliti berpendapat bahwa adanya besi 1,5 gr sampai dengan 2 gr. Jumlah ini jauh
hubungan antara status gizi dengan kejadian lebih besar dibandingkan dengan zat besi yang
Jurnal Zaitun ISSN : 2301-5691
Universitas Muhammadiyah Gorontalo
diserap tubuh yang hana 1,2 gram perhari Hasil uji staistik chi square didapatkan nilai fisher
sehingga sehingga apabila zat besi tidak dapat exact sebesar 0,000 (α < 0,05). Hasil menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara Lama Pasien Gagal
disuplay melalui makanan maka pada penderita Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa Rutin
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan Kejadian Anemia di ruang Hemodialisa
regular selalu terjadi defisiensi zat besi sehingga RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
berdampak pada anemia. Menurut pendapat peneliti adanya hubungan
antara lama menjalani hemodialisa dengan kejadian
Namun dalam penelitian ini peneliti juga anemia karena mereka yang telah lama menjalani
menemukan 1 orang pasien yang memiliki status hemodialisa > 1 tahun mengalami penurunan sekresi
gizi kurang tidak menderita anemia dan 4 orang eritopoetin yang sangat besar bila dibandingkan
dengan yang menjalani hemodialisa < 1 tahun yang
responden yang memiliki status gizi baik
masih memiliki sekresi eritopoetin yang sedikit lebih
menderita anemia. Peneliti berpendapat bahwa banyak dibandingkan mereka yang menjalani
hal ini dikarenakan ada factor lain dimana 1 hemodialisa > 1 tahun. Lama HD mempengaruhi
orang pasien yang memiliki status gizi kurang kejadian anemia juga karena kehilangan darah akibat
waktu yang cukup lama dari terapi hemodialisa.
tidak menderita anemia selama menjalani Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil
hemodialisa selalu mendapatkan injeksi Hormon penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Apriyani
Eritopoetin sehingga hal ini dapat meningkatkan (2014) dan Nurcahyati (2010) yang menemukan
sekresi hormone tersebut dan 4 orang responden adanya hubungan yang signifikan dan bermakna
antara mereka yang telah lama menjalani hemodialisa
yang memiliki status gizi baik menderita anemia dengan kejadian anemia.
dikarenakan adanya factor lain yaitu infeksi Pendapat peneliti ini didukung oleh pendapat
serta perdarahan saluran cerna sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudoyo (2006) bahwa
diungkap oleh 4 orang pasien tersebut bahwa anemia yang berkaitan dengan penyebab anemia
pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan
mereka sering mengalami BAB yang bercampur darah, defisiensi eritropoetin, dan defisiensi besi.
dengan darah. sudoyo (2006) juga menjelaskan bahwa penyebab
Pendapat peneliti ini sejalan dengan utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini
adalah dari dialisis yang lama, terutama
pendapat Sudoyo (2006) bahwa faktor-faktor
hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi
yang berkaitan dengan penyebab anemia pada besi juga. Pendapat yang sama juga dikemukakan
penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan oleh Jansen (2007) bahwa lama HD mempengaruhi
darah akibat perdarahan dan adanya inflamiasi. kejadian anemia karena Kehilangan darah akibat
waktu yang cukup lama dari terapi hemodialisa. Hal
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis
ini dapat terjadi karena hampir tidak mungkin semua
memiliki risiko kehilangan darah oleh karena darah pasien kembali seluruhnya setelah terapi
terjadinya disfungsi platelet serta peningkatan hemodialisa. Pasti ada darah pasien yang tinggal di
jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi dialyzer (ginjal buatan) atau bloodline, meskipun
jumlah nya tidak signifikan. Suwitra (2007) juga
seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon menjelaskan bahwa lama menjalani hemodialisis
yang buruk terhadap pemberian eritropoetin juga akan terjadi penurunan kadar asam amino.
pada pasien-pasien gagal ginjal terminal. Kedua hal yang disebutkan diatas menyebabkan
pasien akan mengalami penurunan nafsu makan,
sehingga asupan makanan pasien akan berkurang
Hubungan Lama Pasien Gagal Ginjal Kronik yang serta tubuh akan kehilangan massa otot dan lemak
menjalani Hemodialisa Rutin dengan Kejadian yang berada di subkutan. Penurunan asupan
Anemia di Ruang Hemodialisa makanan dalam jangka waktu lama akan
Hasil penelitian diketahui 12 orang responden yang berpengaruh pada status gizi sehingga hal ini juga
menjalani hemodialisa ≤ 1 tahun, 3 orang menderita akan berdampak pada penurunan sel-sel darah
anemia dan 9 orang tidak menderita anemia merah yang merupakan penyebab utama anemia.
sedangkan 18 orang responden yang menjalani
hemodialisa > 1 tahun, 18 orang menderita anemia.
Jurnal Zaitun ISSN : 2301-5691
Universitas Muhammadiyah Gorontalo
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, G. 2014. Gambaran Konsep Diri Klien yang
Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Pirngadi Medan. Skripsi. FIK. USU.