Anda di halaman 1dari 15

Efektifitas Pembinaan Mental Narapidana

A. Pendahuluan

Penyalahgunaan Narkotika terus meningkat, berbagai cara Narkotika


dari suntik dan pembuatan tato, ketergantungan Narkotika tidak hanya
menimbulkan dampak fisik psikis pada diri seseorang. Berbagai upaya
dilakukan Lapas Narkotika untuk memberi harapan bagi Narapidana latihan
Narkotika salah satunya pembinaan mental. Masalah yang di kaji dalam
Penelitian ini mengenai pembinaan mental Narapidana dan model
pembinaannya di Lapas Narkotika Cirebon. Penelitian ini merupakan
Penelitian Empiris yang menggunakan metode survei, observasi, wawancara
dan studi pustaka. Data yang diperoleh dikumpulkan dan dianalisis secara
kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Hasil Berdasarkan penelitian,
pembinaan mental yang dibutuhkan petunjuk operasional diantaranya,
program methadone, terapi masyarakat, pembinaan yang melibatkan
masyarakat dan program pelatihan Kriminon. Pembinaan mental Narapidana
Narkotika belum sepenuhnya melaksanakan program tersebut, program
methadone, terapi masyarakat, pelatihan Criminon sudah terpenuhi, program
pembinaan Narapidana yang melibatkan masyarakat belum terpenuhi.
Pembinaan Narapidana harus dilakukan terpadu, petugas Lapas, masyarakat
dan Narapidana.

Ketergantungan pada narkoba tidak hanya menimbulkan dampak


fisik, tetapi juga psikologis pada seseorang. Efek kecanduan yang dirasakan
oleh pemakainya menyebabkan sulitnya untuk keluar dari ketergantungan
pada zat ini. Selain itu ketergantungan narkoba dapat menimbulkan masalah
psikologis, organik, fisiologis, dan pengaruh narkoba juga dapat menimbulkan
berbagai masalah, misalnya menyebabkan gangguan jiwa, kecemasan,
ketakutan akan depresi dan masalah psikologis lainnya. Narkotika dan
minuman keras merusak hati, lambung, otak, dan saraf yang menyebabkan
hilangnya daya ingat, kecemasan, dan sebagainya (Wani dan Sankar, 2016).
Badan Narkotika Nasional(BNN)memperkirakan ada sekitar 3,2 juta orang
yang telah terjebak dalam kecanduan narkoba. Meskipun masalah narkotika
muncul, pemerintah kita memberikan harapan kepada semua orang,
keluarga, orang yang terkena dampak penyalahgunaan narkotika dan yang
terkait dengan masalah kesehatan, sosial dan mental.(Narindrani, 2017). Hal
lain dalam masalah adiksi, khususnya adiksi Narkotika selalu berkaitan
dengan kondisi yang terjadi pada susunan saraf pusat sehingga sering
disebut sebagai penyakit otak. Karena sifat zat yang memiliki sifat depresan,
halusinogen, dan stimulan untuk waktu penggunaan tertentu dapat
mengakibatkan tiga kondisi, yaitu gangguan (personality disorder), penyakit
(penyakit akibat penyalahgunaan), dan penyakit. Selain itu, penyalahgunaan
narkotika akan mengubah karakter seseorang, baik kognisi, perilaku, emosi,
psikologis maupun masalah sosial. Dalam penelitian ini juga dapat diketahui
bahwa secara teoritis penyalahguna narkotika adalah orang yang cara
berpikirnya tidak normatif, rendahnya kesadaran membina hubungan sosial
yang normatif, rendahnya empati sosial, mereka adalah individu yang tidak
memiliki kekayaan emosional, tidak toleran terhadap kondisi yang tidak
menyenangkan, tidak sabar dan keterampilan memecahkan masalah rendah
dan orang yang impersonal dan murung. Metode komunitas terapeutik dipilih
karena model rehabilitasi ini disusun berdasarkan kajian terhadap individu
penyalahguna dengan berbagai karakteristik dan akibat yang ditimbulkan dari
penyalahgunaan narkotika. Penerapan di Lapas Narkotika Kelas II A Cirebon
yang terintegrasi dalam satu tempat dilakukan berbagai pelayanan, sinergis
antara medis, rehabilitasi sosial dan psikoterapi dengan melibatkan profesi
terkait untuk memberikan pelayanan pertolongan kepada klien.

Jumlah Penyalahgunaan Narkoba yang terus meningkat, misalnya jarum


suntik dan pembuatan tato, ketergantungan narkotika tidak hanya
menimbulkan dampak fisik tetapi juga psikis pada seseorang. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah tentang pembinaan mental narapidana
dan model pembinaannya di Lapas Narkotika Cirebon. Penelitian ini
merupakan penelitian empiris dan pengumpulan data meliputi survei,
observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Data dianalisis secara kualitatif
dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan
mental memerlukan pembinaan operasional meliputi, program metadon,
terapi komunitas, pembinaan yang melibatkan masyarakat dan program
pelatihan Criminon Indonesia. pembinaan mental Narapidana Narkotika
belum sepenuhnya melaksanakan program metadon dan terapi komunitas;
Latihan Criminon sudah terpenuhi sedangkan yang lainnya belum.
Pembinaan terhadap narapidana harus terintegrasi antara petugas lapas,
masyarakat dan juga narapidana.

Keputusan Menteri Kesehatan996/Menkes/SK/VIII/2002bahwa


ketergantungan narkotika merupakan penyakit dalam ICD-10 (1992
klasifikasi internasional penyakit dan masalah kesehatan) yang
diklasifikasikan dalam gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif
akibat penggunaan zat psikoaktif). Ketergantungan narkotika merupakan
penyakit yang kompleks dan ditandai dengan dorongan yang tidak
tertahankan untuk menggunakan narkotika (craving) dan oleh karena itu ada
usaha keras untuk memperolehnya meskipun beberapa akibat akan
terwujud. Penyakit ini sering menjadi kronis dengan episode pemulihan dan
kekambuhan, meskipun terkadang apnea lama. Mengingat
permasalahannya sangat kompleks, maka penanggulangan melalui
rehabilitasi harus bersifat komprehensif, multi disiplin yang melibatkan
masyarakat secara aktif secara berkelanjutan, konsisten dan konsisten
(Amri, 2018).

B. Metode

Menurut McCarthy, diperlukan manajemen operasional (pengobatan)


dengan pembinaan narapidana penyalahgunaan narkotika, antara lain:
program Metadon (metadon), program Komunitas Terapi dan program
Pemasyarakatan Berbasis Komunitas bagi pecandu Narkotika (Belinda,
2001). Proses melepaskan diri dari ketergantungan narkotika bagi
penggunanya tidaklah mudah, selain menjalani rehabilitasi narkotika mereka
juga membutuhkan dukungan keluarga dan masyarakat untuk dapat kembali
hidup sehat dan produktif.

Untuk mengubah perilaku Narapidana agar tidak menggunakan narkoba


lagi, maka diberikan penguatan keagamaan berupa pembinaan spiritual.
Dengan pemberian pembinaan spiritual, Narapidana menjadi sadar dan
merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan di masa lalu(Mujiati &
Budiartati, 2017).

Pembinaan mental diberikan dengan harapan dapat menyeimbangkan


perilaku agresif narapidana, melalui upaya peningkatan kesadaran
intelektual, keagamaan, sosial, hukum, berbangsa dan bernegara, dengan
memberantas faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama. atau
kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenakan pidana jika
dilanggar(Wirohati, 2013).

Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan narapidana jiwa di Lapas Narkotika


Cirebon kelas II A menggunakan sistem rehabilitasi. Sehingga dapat
diketahui sejauh mana pembinaan mental narapidana di Lapas Narkotika
Kelas II A Cirebon telah dilakukan. Pelaksanaan Pembinaan Mental
Narapidana di Lapas Narkotika Kelas II A Cirebon membutuhkan berbagai
program operasional terkait Pembinaan Narapidana Narkotika, untuk
mencapai hal-hal yang menjadi latar belakang permasalahan dalam
penelitian ini.
Pertama, program metadon, program ini disebut Program Terapi
Pemeliharaan Metadon (PTRM), adalah pemberian obat metadon setiap hari
kepada pasien ketergantungan heroin di institusi kesehatan seperti
puskesmas dan rumah sakit dengan pengawasan langsung oleh tenaga
kesehatan. Sifat memelihara atau mempertahankan pasien selama mungkin
menjalani terapi tersebut sampai akhirnya dosis dapat dikurangi secara
bertahap dan jika mungkin dihentikan. Dosis awal diberikan dalam kisaran
15-30 mg/hari dan ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai 60-120
mg/hari pada terapi tahap pertama.

Selama penggunaan metadon, pengguna tetap bergantung pada opiat


secara fisik. Tetapi metadon menawarkan pengguna kesempatan untuk
mengubah hidup mereka menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko yang
terkait dengan penggunaan narkoba suntik dan juga mengurangi kejahatan
yang sering dikaitkan dengan kecanduan. Dan karena penggunaan metadon
mengurangi penggunaan jarum suntik secara bergantian, perilaku yang
sangat berisiko untuk mengurangi HIV dan virus lainnya. PTRM memiliki dua
pilihan.
Tujuan pertama adalah untuk membantu pengguna berhenti menggunakan
heroin yang diganti dengan tingkat metadon yang dikurangi selangkah demi
selangkah selama periode waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk
mengurangi beberapa efek buruk dari penyuntikan heroin. Opsi ini
memberikan terapi pemeliharaan, yaitu memberikan metadon kepada
pengguna secara terus menerus dengan dosis yang disesuaikan agar
pengguna tidak mengalami gejala putus obat.(sakaw).Metadon diberikan
kepada klien program dalam bentuk cairan (larutan sirup), diminum di bawah
pengawasan PTRM setiap hari.
Setiap klien membutuhkan dosis yang berbeda, karena perbedaan
metabolisme, berat badan dan toleransi opiat. Diperlukan waktu untuk
menentukan dosis metadon yang tepat untuk setiap klien. Pada awalnya,
klien harus diamati setiap hari dan reaksi terhadap dosis dinilai. Klien
menunjukkan tanda-tanda putus obat, dosis harus ditingkatkan umumnya
program dimulai dengan dosis 20 mg metadon dan kemudian meningkat dari
5 menjadi 1 mg per hari. Biasanya, klien tetap menjalani terapi dan dapat
berhenti menggunakan heroin pada dosis metadon sedang hingga tinggi (60-
100 mg)( Narindrani, 2017). Terapi ini terbukti memiliki banyak manfaat
antara lain mengurangi penggunaan narkoba, penyakit terkait jarum suntik,
dan kriminalitas. Perawatan ini juga dapat membantu seseorang bekerja dan
berpartisipasi dalam interaksi sosial normal lainnya. Kedua, Therapeutic
Community Program, Therapeutic Community adalah program berbasis
komunitas yang berbasis pada pemanfaatan komunikasi di komunitas
sebagai metode terapi dan rehabilitasi. Glenn R. Hanson menjelaskan bahwa
pada dasarnya, komunitas terapeutik adalah rehabilitasi, pembelajaran
kembali perilaku sosial normatif dan penguatan keterampilan sosial, nilai-nilai
hidup, dan kehidupan emosional, fisik dan psikologis melalui rehabilitasi di
tempat tinggal secara bergantian.kelompok swadayaPecandu berusaha
untuk pemulihan dengan memberikan perawatan dan bantuan kepada
pasangannya untuk memastikan kepribadian bersama (Wulanjaya, 2013).
Berikut penjelasan Glenn R Hanson mengenai hal tersebut:

TC untuk pengobatan penyalahgunaan dan kecanduan narkoba telah ada


selama 40 tahun. Secara umum TC adalah lingkungan perumahan bebas
narkoba yang menggunakan model hierarkis dengan tahapan pengobatan yang
mencerminkan peningkatan tanggung jawab pribadi dan sosial. Pengaruh
teman sebaya, dimediasi melalui berbagai proses dasar yang digunakan untuk
membantu individu belajar dan mengasimilasi norma sosial dan
mengembangkan keterampilan sosial yang lebih efektif. TC berbeda dari
pendekatan pengobatan lainnya terutama dalam penggunaan komunitas,
mengompresi staf perawatan dan mereka yang dalam pemulihan sebagai agen
perubahan utama. Pendekatan ini sering disebut sebagai “metode komunitas”
anggota TC berinteraksi secara terstruktur dan tidak terstruktur untuk
mempengaruhi sikap, persepsi dan terkait dengan penggunaan narkoba.
Banyak individu yang diadministrasikan ke TC memiliki riwayat fungsi sosial,
pendidikan/keterampilan kejuruan, dan ikatan komunitas dan keluarga yang
positif yang telah terkikis oleh penyalahgunaan zat mereka. Bagi mereka,
pemulihan meliputi rehabilitasi-pembelajaran ulang atau pemantapan kembali
fungsi, keterampilan dan nilai yang sehat serta pemulihan kesehatan fisik dan
emosional. Kediaman TC lainnya tidak pernah memiliki gaya hidup fungsional
untuk orang-orang itu, TC biasanya ada paparan pertama untuk hidup teratur.
Pemulihan bagi mereka melibatkan "habilitasi" - belajar untuk pertama kalinya
keterampilan perilaku, sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan kehidupan
sosial. Prinsip dasar TC kedua adalah swadaya. Saling membantu berarti
bahwa individu juga memastikan tanggung jawab parsial untuk pemulihan
rekan-rekan mereka-aspek penting dari perawatan individu sendiri(Hanson,
2002)

Untuk mendukung pelaksanaan program komunitas terapeutik dan terdapat


empat kategori struktural dalam program komunitas terapeutik diantaranya
program Morning Meeting, program ini merupakan salah satu komponen
utama yang harus dilakukan setiap pagi dalam menginisiasi kegiatan
residen/klien, untuk mengembangkan nilai-nilai kehidupan berdasarkan
konsep terapeutik komunitas. Morning meeting adalah rapat pada pagi hari,
dalam kegiatan ini dipimpin oleh Pembina. Kegiatan yang dilakukan pada
Morning meeting adalah Sharing antar peserta yang dipimpin oleh Pembina
dalam kegiatan ini. Para peserta berbagi tujuan apa yang ingin mereka
capai pada hari itu.

Program komunitas terapeutik ini membuktikan bahwa intervensi komunitas


terapeutik efektif dalam mengurangi tingkat stres pada narapidana yang akan
kembali ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Brabender et al.
(Tukang cukur, 2014)berpendapat bahwa terapi kelompok atau group therapy
merupakan salah satu teknik intervensi yang bertujuan untuk memperbaiki
dan memecahkan masalah psikologis. Hasil ini juga didukung oleh kelebihan
dari terapi kelompok itu sendiri dimana kelompok terapi subjek mendapatkan
ketenangan dan dukungan karena mengetahui banyak orang yang memiliki
masalah serupa, bahkan lebih parah. Mereka juga dapat belajar dari
pengalaman orang lain dengan mengamati bagaimana orang lain berperilaku
dan mereka dapat menilai sifat dan reaksi melalui interaksi dengan berbagai
macam orang, tidak hanya dengan terapis. Dengan terjalinnya hubungan
sosial yang baik dalam terapi kelompok yang mengakibatkan penurunan
stres pada narapidana, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Cohen et al.(Cohen dkk. 2002)menyatakan bahwa orang yang memiliki
banyak ikatan sosial (pasangan, teman, kerabat, dan anggota kelompok)
hidup lebih lama dan kurang rentan terhadap penyakit yang berhubungan
dengan stres daripada orang yang memiliki sedikit kontak sosial yang
mendukung.

C. Hasil
Pertama,Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cirebon dalam
operasionalisasinya belum sepenuhnya dapat melaksanakan program yang
ada, yang telah terpenuhi adalah program Metadon, program terapi
komunitas dan program pelatihan Kriminon, sedangkan program pembinaan
yang melibatkan masyarakat (Pemasyarakatan Berbasis Masyarakat
Pecandu Narkotika) melalui program asimilasi keluar, tidak dapat dipenuhi.
Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon harus mencari solusi untuk
pengembangan Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon.

Kedua, Program Pelatihan Kriminon Indonesia di Lapas Narkotika Kelas IIA


Cirebon telah berkembang dengan baik. Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Kelas IIA Cirebon telah menyelenggarakan pelatihan program
Pidana ini sebanyak 64 (enam puluh empat) kali.

D. Diskusi

Pengembangan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cirebon


Sebagai Bentuk Tujuan Pemasyarakatan Terhadap Mental Narapidana

Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon merupakan salah satu Lapas yang khusus
menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika,
yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan pembinaan
narapidana, yang tujuannya untuk menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak
mengulangi.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat terselenggaranya pembinaan bagi


narapidana dan siswa pemasyarakatan berdasarkan sistem pemasyarakatan.
Seluruh lapas dan kasus narkotika ditempatkan baik di lapas maupun korban.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan telah diatur berbagai ketentuan tentang cara memperlakukan
narapidana(Imron, 2013).

Sistem pemasyarakatan, perlakuan terhadap narapidana harus dipisahkan


sesuai dengan karakteristiknya. Peraturan Standar Minimum Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk perlakuan terhadap narapidana mengharuskan
narapidana selalu harus dipisahkan menurut status hukumnya (tahanan
peradilan), jenis kelamin (laki-laki dari perempuan) dan usia (anak-anak dari
orang dewasa). Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan pasal 12 juga mengatur bahwa dalam rangka pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan penggolongannya berdasarkan:
umur; jenis kelamin; lamanya waktu pidana dijatuhkan; jenis kejahatan; dan
kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pengobatan.

Perkembangan pola dan jenis kejahatan seperti terorisme, narkotika, korupsi


dan kejahatan lainnya secara langsung mempengaruhi pelaksanaan sistem
pemasyarakatan. Penggolongan narapidana juga memerlukan penyesuaian
karena pelaku tindak pidana ini berpotensi menjadi narapidana yang berisiko
tinggi.

Narapidana yang berisiko tinggi adalah narapidana berdasarkan penilaian


ditetapkan sebagai narapidana berisiko tinggi berdasarkan keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, hasil pemeriksaan narapidana yang dinyatakan
berisiko tinggi ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan
atas usulan tim melalui kantor wilayah. Ada dua kualifikasi untuk menilai
narapidana berisiko tinggi, yaitu kualifikasi A dan kualifikasi B. Kualifikasi A
adalah penilaian terhadap narapidana tertentu yang memuat penilaian
memenuhi salah satu hal yang berkaitan dengan jaringan yang masih aktif,
kemampuan mengakses senjata dan bahan peledak, memiliki catatan pelarian,
akses dan pengaruh di dalam Lembaga Pemasyarakatan, terbukti berusaha
melarikan diri, memiliki kemampuan untuk melarikan diri dengan atau tanpa
bantuan orang lain, residivis, terpidana mati dan seumur hidup. Kualifikasi B
adalah penilaian risiko penularan penyakit dari narapidana yang mengidap HIV
atau AIDS, tuberkulosis (TB), hepatitis, dan penyakit menular berbahaya
lainnya

DAFTAR PUSTAKA

JDH19 (1): 133-151 |DOI: 10.20884/1.jdh.2019.19.1.2066

Astuti, A. (2011). Pembinaan Mental Narapida di Lembaga Pemasyarakatan


Wiragunan

Yogyakarta.Jurnal Kewarganegaraan. 1(1). 1-15.

Aulia, P. (2017). Terapi Kelompok Untuk Mengurangi Stres Anak Didik


Pemasyarakatan yang Akan Bebas.Jurnal RAP UNP. 8(1). 69-78.

Bangsing, IK., & Wadhanti, A. (2017). Perencanaan dan


Perancangan Lembaga Pemasyarakatan Dengan Penurunan Tingkat
Depresi untuk Narapdana Perempuan.Jurnal Anala.1(17). 1-8.

Belinda, RM. (2001). Koreksi Berbasis Komunitas. Monterey California:


Brooks/Cole
Perusahaan penerbit.

Brabender, VA., Fallon, AE., & Smolar, AI. (2004). Penting dari Terapi
Kelompok. Baru

Jersey: Jhon Willey & Sons, Inc.

Cohen, S., Kammarck, T., & Mermelstein, R. (1983). Ukuran Global dari Stres
yang Diprediksi.

Jurnal Kesehatan dan Perilaku Sosial.2(4). 385-396.

Gani, S. (2013). Komunitas Terapi (TC) pada Residen Penyalahguna


Narkoba di Panti Sosial Marsudiputra Dharmapala Inderalaya Sumatera
Selatan. Jurnal Konseling dan Pendidikan. 1(1). 54-57.
Gunarto, MP. (2009).Sikap Memidana yang Berorientasi Pada Tujuan
Pemidanaan. Jurnal Mimbar Hukum. 21(1). 93-107.

Hairina, Y. & Komalasari. (2017).Kondisi Psikologis Narapdana Narkotika di


Lapas

Narkotika Klas II Karang Litan Martapuna. Studia Yusiana. 5(1). 94-104.

Hamja. (2015).Model Pembinaan Narapdana Berbasis


Masyarakat(Berdasarkan komunitas

koreksi)Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Mimbar Hukum. 27(3). 446-


458.
Hanson, GR. (2002). Apa itu Komunitas Terapi.Jurnal Komunitas Terapi.2(3). 1-
12.

Haryono. (2017).Kebijakan Perlakuan Khusus Terhadap Narapidana Risiko


Tinggi di

Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal JIKH. 11(3). 231-247.

Hawi, A. (2018).Remaja Pecandu Narkoba : Studi tentang Rehabilitasi


Integratif di Panti Rehabilitasi Narkoba Pondok Pesantren Ar – Rahman
Palembang. Jurnal Tadrib. 4(1). 99-119.

Hubbard, LR. (2004). Kriminon Indonesia. Los Angeles: Asosiasi untuk


Kehidupan yang Lebih Baik dan

Pendidikan Internasional.

Imron, MA. (2013).Hubungan Fungsional Badan Narkotika Nasional


dengan Lapas dalam Penanggulangan Narkotika di Lapas. Jurnal Ius.
1(2). 327-345.

Kottler, J., & Brown, R. (1996). Pengantar Kembali ke Konseling Herapeutik.


Tiga Danau:

Perusahaan Penerbitan Cole.

Kristianingsih, SA (2009).Penahanan Pemmenjaraan pada Narapdana


Narkoba di Rumah Tahanan Salatiga. Jurnal Humanitas. 6(1). 1-15.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaran Negara


Republik Indonesia Indonesia Tahun 1995 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3614.[150]
Efektifitas Pembinaan Mental Narapidana Di Cirebon...Hamja
Liwarti. (2013).Hubungan Antara Pengalaman Spiritual dengan Psikologikal
Well-Being

Pada Penghuni Lapas. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi. 1(1). 1-12.

Mostafazadeh, B., Ebrahimi, R., Titidej V., Sanaeizadeh, H. (2017).


frekuensi dari Perubahan Patologis Paru-Paru Tubuh dengan Hasil
Toksikologi Postmortem Positif untuk Narkotika dan Psikotropika. Jurnal
Toksikologi Iran. 11(1). 49-54. doi: 10.29252/arakmu.11.1.49.

Mujiati, M., & Budiartati. (2017).Kegiatan Pembinaan Rohani dalam


Upaya Mengubah Perilaku Sosial Peserta Rehabilitasi Narkoba. Jurnal
Pendidikan Nonformal dan Pemberdayaan Masyarakat. 1(2). 146-151.

Narindrani, F. (2017).Sistem Hukum Pencegahan Peredaran Narkotika di


Lembaga
Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang). Jurnal Rechtsvinding. 6(1). 111-123.
Nastami, B. (2012).Kerentanan Terpapar HIV Pada Perempuan Penghuni
Penjara. Jurnal

Kriminologi Indonesia. 8(1). 12-25.

Richard, S. (1996). Pengantar Koreksi. Illionis: Coklat & Patokan;

Riskiyani, S. (2016). Terasa (Tidak) Seperti di Rumah;Perlakuan di


Lapas, Interaksi Sosial dan Harapan Pengguna Narkoba Mantan
Narapidana. Jurnal Etnosia. 1(1). 71-84.

Riza, M. (2012).Resiliensi pada laki-laki di lapas Klas I Madaeng. Jurnal


Psikologi Kepribadian dan Sosial. 1(3). 142-147.
Rukmana, A. (2014).Perdagangan Narkotika dalam Perspektif Hukum Pidana

Internasional”. Jurnal Ilmu Hukumpendapat hukum. 2(1). 1-8

Saefudin, Y., Raharjo A. & Budiono (2017), Urgensi Pengkajian Terpadu


Narkoba

Tindak Pidana (Studi Di Kabupaten Purbalingga), JDH 17 (1). 40-52.

Sulhin, I., & Hendiarto, YT. (2011).Identifikasi Faktor Determinan Residivisme.


Jurnal

Kriminologi Indonesia. 7(3). 355-366.

Wani, MA., & Sankar, R. (2016). Dampak Kecanduan Narkoba terhadap


Kesehatan Mental. Jurnal dari Gangguan Jiwa dan Pengobatannya.
2(1). 1-3.
Wirohati, M. (2013).Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pembinaan
Mental Dengan Agresivitas Verbal Pada Narapdana Di Lapas Gedung
Pane Semarang. Jurnal Psikologi Undip. 12(2). 183-191.

Wulanjaya, NR (2013).Metode ImplementasiKomunitas Terapi.Jurnal Ilmu


Kesejahteraan Sosial. 2(1). 1-22.[151]
ENGLISH ASSIGNMENT
NAME : AMANDA (PO713202201036)
NIRTAMALA (PO713202201053)
CLASS : 2.B

Anda mungkin juga menyukai