Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS ANESTESI

SECTIO CAESAREA DENGAN ANESTESI SPINAL

Disusun oleh :

Rendy Cendranata

112018034

Pembimbing :

dr. Crispinus Adhi Suryo, Sp. An


dr. Bambang Priambodo, Sp. An
dr. Agnes Minarni, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 23 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
LEMBAR PENILAIAN

Nama Rendy Cendranata


NIM  112018034
Tanggal  08 Desember 2020
Judul kasus Sectio Caesarea dengan Spinal Anestesi
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data
Analisa masalah
Penguasaan teori
Referensi
Pengambilan keputusan klinis
Cara penyajian
Bentuk laporan
Total
Nilai %= (Total/35)x100%
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)

Komentar penilai

Nama Penilai Paraf/Stempel


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk. Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS PRA-ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU ANESTESI
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

Nama : Rendy Cendranata Tandatangan

NIM : 112018034

Dr. Pembimbing : dr. Crispinus Adhi Suryo, Sp. An ....................

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 20 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Kb. Pala II
Tanggal masuk RS : 06 Desember 2020

II. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 08 Desember 2020 pukul 09.00 di kamar
penerimaan operasi RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Keluhan Utama
Pasien G3 P1 A1 dengan usia kehamilan 40 minggu datang ke RSAU dr. Esnawan
Antariksa untuk melakukan tindakan operasi yang sudah di jadwalkan.
Keluhan Tambahan
Tidak ada.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G3 P1 A1 dengan usia kehamilan 40 minggu datang ke RSAU Esnawan
Antariksa untuk melakukan tindakan operasi SC yang sudah di jadwalkan pada
tanggal 08 Desember 2020. Pasien mengatakan tidak ada keluhan lain yang di rasakan
seperti demam, pusing, dll.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes, hipertensi, jantung dan asma disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan bahwa keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit darah
tinggi, gangguan perdarahan, asma, kencing manis, stroke, jantung, dan paru.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memilik riwayat alergi obat, minuman ataupun makanan.

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 160 cm

Tanda – Tanda Vital


Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Suhu : 36,5 °C
Nadi : 90 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit

Pemeriksaan Sistematis
Hasil Pemeriksaan
Kepala Normocephali
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Hidung Tidak di lakukan
Telinga Simetris, liang telinga lapang, sekret -/-
Mulut Tidak di lakukan
Gigi geligi Tidak di lakukan
Leher KGB tidak teraba membesar
Thorax Tidak di lakukan
Cor Tidak di lakukan
Pulmo Suara nafas vesikuler normal, Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Besar, terdapat strie gravidarum.
Ekstremitas Akral hangat (+) Edema (–)

IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium


Hematologi
Hemogoblin : 13.9 g/dl
Leukosit : 6500 mm3
Hematokrit : 38 %
Trombosit : 250.000 mm3
Waktu Pendarahan : 3 menit
Waktu Pembekuan : 6 menit
Faal Ginjal
Ureum : 38 mg/dL
Kreatinin : 1.3 mg/dL
Diabetes
Glukosa Sewaktu : 110 mg/dL
Imunoserologi
HbsAg : Non Reaktif
Anti HIV : Non Reaktif

V. Status Fisik ASA


ASA 1

VI. Diagnosis Kerja


G3 P1 A1 usia kehamilan 40 minggu.

VII. Rencana Tindakan Bedah


Sectio caesarea

VIII. Rencana Tindakan Anestesi


Anestesi Spinal

IX. Preoperasi
1. Memastikan identitas pasien sesuai dengan yang tertulis pada rencana operasi.
2. Memastikan pasien sudah mengenakan pakaian operasi dan tutup kepala dan
masker.
3. Memastikan apakah pasien sudah puasa 6-8 jam.
4. Menanyakan apakah ada alergi obat atau makanan.
5. Menanyakan apakah ada riwayat asma
6. Menanyakan apakah ada riwayat penyakit kronis lainnya (hipertensi, dm, dll)
7. Menanyakan apakah pasien memakai gigi palsu, kacamata, lensa kontak, alat
bantu dengar.
8. Lakukan pemeriksaan fisik
9. Alat disiapkan dan pemasangan manset, nasal kanul, saturasi.
10. Pasien dengan posisi duduk dengan kepala menunduk, memastikan kondisi pasien
stabil dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, memastikan cairan infuse.
11. Tindakan sepsis antisepsis pada bagian punggung yang akan ditusuk.
12. Penusukan jarum introducer Quincke no. 25 sedalam kira-kira 2cm ke arah sefal,
kemudian memasukkan jarum spinal beserta mandrinnya ke lubang jarum
terssebut.
13. Setelah memastikan adanya cairan LCS yang keluar lewat jarum spinal, pasang
spuit yang berisi obat anestesi. Setelah keluar cairan serebrospinal disuntikan
bupivakain HCL 20mg.
14. Tindakan aspirasi dilakukan terlebih dahulu, setelah itu memasukkan obat secara
perlahan dengan kecepatan stabil.
15. Setelah obat anestesi masuk, baringkan pasien setelah itu operasi dapat dimulai.

X. Intra Operasi
Lama pembiusan : 60 menit
Lama operasi : 50 menit

Monitoring
o Pernafasan: Spontan dibantu dengan pemberian O2 menggunakan nasal
canule, 2 lpm, SpO2 99%
o Pemantauan tanda vital di monitor
o Medikasi durente operasi
 Ondansentron 4 mg/IV
 Ketorolac 30 mg/IV
 Tramadol 100 mg/IV
o Cairan masuk :
Ringer laktat 500 cc
o Cairan keluar :
Pendarahan sesuai dokter operasi

XI. Post Operasi


Post Anesthesia Care Unit (PACU)
Keluhan :-
Tekanan Darah : 129/85 mmHg
Suhu : 36,0°C
Pernafasan : Spontan
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit

Aldrete Score
Kesadaran :2
Respirasi :2
Sirkulasi :2
Warna kulit :2
Aktivitas :2
Total : 10

VAS :0

XII. Penatalaksanaan
 Monitor tanda-tanda vital dan perdarahan
 Dapat pindah ruangan bila aldrete score >8 dan VAS <3

Tinjauan pustaka
Pendahuluan

Anestesi spinal merupakan tindakan anestesi memasukkan obat anestesi lokal ke


dalam ruang subarakhnoid pada daerah lumbal. Tergantung dosis yang diberikan, anestesi
lokal tersebut dapat menimbulkan efek neurologis mulai dari hilangnya sensasi panas sampai
timbulnya anestesi lengkap pada daerah sekitar daerah dermatom. Anestesi spinal ini mulai
diperkenalkan sejak abad kedua puluh tetapi masih dalam perdebatan. Setelah tahun 1950 di
Amerika Serikat penggunaan anestesi spinal semakin berkembang sejalan dengan semakin
meningkatnya keamanan dan kenyamanan untuk pasien. Mulai tahun 1975 anestesi spinal
mulai diakui dapat memberi keuntungan bagi pasien dan lebih mudah untuk dikerjakan
sehingga bukan hanya menjadi alternatif dari anestesi umum.1,2

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-
tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen, dan ekstremitas bawah.
Teknik ini baik bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes
mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan
metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan. Anestesi spinal ini lebih mudah dilakukan, onset
lebih cepat, blokade syarafnya menyakinkan, kemungkinan toksisitasnya tidak ada karena
dosis yang rendah, dan karena adanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak
enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.2 Sebelum dilakukan spinal anestesi perlu
dilakukan informed consent (izin dari pasien) tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap
diri pasien dan evaluasi preoperasi. Teknik apapun itu usahakan untuk mempertahankan
kestabilan sistem kardiovaskuler dan oksigenasi yang cukup.

Anestesi spinal adalah tindakan untuk memblok saraf sensorik, motorik dan otonom
dengan cara memasukkan obat anestesik lokal kedalam ruang subarakhnoid. Teknik ini
sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1 Anestesi spinal yang pertama kali dikerjakan
pada manusia pada tahun 1899 oleh Bier, tetapi karena angka kematian yang tinggi, teknik
tersebut tidak popular. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis dari anstetik lokal di dalam
ruang subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat dicegah. Sesudah penyuntikan intratekal yang
terpengaruh lebih dahulu yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis, diikuti dengan saraf
untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu
serabut motoris, rasa getar dan propioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu tungkai bawah. Setelah anestesia selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
yang sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali. 2 Sifat anestetik lokal
yang ideal sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen.
Kebanyakan anestetik lokal memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebab
anestetik lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin,
sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakan
operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang waktu pemulihan. Zat anestetik
lokal juga harus dapat larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami
perubahan.2,3

Patofisiologi

Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan posterior yang melewati cairan
serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan
epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal.
Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek
yang minimal pada medula spinalis.1,2,3

Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah
penyuntikkan. (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari
anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat
penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel
saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi
dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor
antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien. Selanjutnya
obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal
di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik
lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu.

Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan kaudal) dan
menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi langsung
anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan
volume anestesi lokal untuk mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi
lokal pada epidural anestesi pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih
tinggi. Selain itu, tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang
harus diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan
menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah
eferen motorik dan outflow otonom1,3.

Blokade somatic

Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan tonus otot


rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat baik. Blok sensori
menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan blokade motorik
menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi
sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama
kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan
bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin.
Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level
injeksi, menjelaskan fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya
menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen
lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari
blokade motorik1.

Blokade otonom

Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade dari
simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa dideskripsikan sebagai
torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral. Serabut saraf praganglion simpatis
(kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa
menyebabkan rantai simpatis ke atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan
posganglion sel pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus.
Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis1.

Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang disertai dengan
penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus vasomotor secara primer
ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5 dan L1, yang menginervasi otot polos
arteri dan vena. Blokade dari nervus ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena,
penurunan pengisian darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus
vasodilatasi ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek
dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi vasokonstriksi
diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga
memblok serabut akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan
oleh bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara
meningkatkan venous return dengan head down position1.

Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini


diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien sehat akan
secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan usaha ini hipotensi
masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan
dan autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi
berlebih dan simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi
menggunakan vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik
vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung
menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan
meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera1.

Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal dengan blok
neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang berasal dari C3-C5. Bahkan
dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya ada sedikit penurunan
kapasitas vital, yang disebabkan oleh hilangnya kontribusi otot perut untuk ekspirasi paksa1.

Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan neuroendokrin


trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf aferen somatik dan viceral.
Respon ini termasuk peningkatan hormon adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin,
norepinefrin, dan level vasopresin melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron.
Neuroaksial blokade dapat menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini1.

Efek Samping2

Sistem kardiovaskular

 Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.


 Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.

 Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.

 Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk


hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang dapat
mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.

Sistem pernafasan

 Relaksasi otot polos bronkus

 Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau depresi
langsung pusat pengaturan nafas.

 Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya
berpengaruh kecil pada volume tidal, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan
kapasitas vital akibat penurunan kontribusi otot abdomen dalam ekspirasi paksa. Pasien
ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk.
Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output dan tekanan arteri pulmonal
serta peningkatan ventilasi atau ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan
penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus
diberikan oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan1.

Sistem pencernaan

Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T5-L1. Akibat blokade
simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi
sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi
spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi,
penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal
setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual.
Dengan demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang
tinggi
Sistem saraf pusat

Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-
tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa tinitus dan
pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid.
Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah
mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma.

Imunologi

Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-
amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.

Ginjal dan hepar

Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai tekanan
arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak terjadi hipotensi
berat maka aliran darah ginjal serta urin output masih dalam batas normal selama
anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari
hipotensi

Penggolongan Anastesi Local dan Durasi


Obat-Obat Anestesi Spinal

1. Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-
butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat
butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini
bersifat long acting. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini
sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun- tahun
terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada
blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan
bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-
22,5 mg.

Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila
diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan
dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya
yang panjang adalah sifat blokade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama
dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri
selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik pasca bedah dapat berlangsung
selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan
memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan
obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 –
0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi
0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

2. KLONIDIN

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif.
Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam
beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg),
intramuscular (2μg/kg), intravena (1- 3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal
75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin
menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek
sedasi dan anxiolisis.

Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitas sirkulasi


intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk
peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada
medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering,
inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal, dan pengobatan dari
beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi
nafas dan mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2- adrenergik parsial selektif yang bekerja
secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti
efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis
dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal
ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan
obat per oral.

1. FENTANYL

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan


sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl
digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit
pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk
mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien
yang siap menggunakan analgesik narkotika.

Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada
pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila
pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan
secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan
penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis
tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 μg menghasilkan
efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis
tinggimeningkatkan kejadian efek samping.

INDIKASI

Tindakan anestesi spinal diindikasikan untuk pembedahan daerah yang diinervasi oleh
cabang T4 ke bawah, misalnya :3,4,5
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rectum perineum
4. Bedah obstetri ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah, pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya
dikombinasi dengan anestesi umum ringan
Dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut :3,4,5
1. Setiap prosedur, dimana anestesi lokal dapat menghasilkan kondisi operasi yang
nyaman dan memuaskan.
2. Penyakit paru yang diderita oleh pasien masih dapat terkompensasi dengan baik.
3. Tidak memiliki riwayat yang tidak baik dengan anestesi lokal.
4. Mengantisipasi masalah – masalah dengan rumatan jalan nafas.
5. Untuk operasi darurat tanpa puasa yang adekuat, anestesi jenis ini sangat
dianjurkan, untuk menghindari kemungkinan aspirasi isi lambung.
KONTRA INDIKASI

Absolut :

1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
Relatif :
1. Septikemia
2. Pasien kurang atau tidak kooperatif
3. Pasien dengan kelainan neurologis
4. Deformitas tulang belakang

KEUNTUNGAN

1. Pasien tetap sadar


2. Dapat menghindari masalah-masalah pada anestesi umum
3. Pasien dapat makan dan minum setelah operasi.5
4. Terdapat bukti definitif bahwa ujung jarum yang telah ditempatkan dengan baik pada
posisi yang tepat ( dengan aspirasi cairan serebrospinalis )
5. Hanya sejumlah kecil anestesi lokal dibutuhkan karena sifat dasar cairan LCS, dosis
ini ternyata menghilangkan kemungkinan keracunan karena kelebihan dosis.6
KERUGIAN

1. Bahaya infeksi yang menyebabkan meningitis bila jarum dimasukkan ke dalam kulit
yang telah disiapkan. Suntikan ke dalam LCS melalui daerah yang terinfeksi adalah
kontraindikasi mutlak.
2. Insidens “ nyeri kepala spinalis” dikaitkan dengan kebocoran LCS setelah aspirasi
jarum, telah berhasil dikurangi, tetapi belum sama sekali dihilangkan, dengan
penggunaan jarum spinalis halus (25 dan 26 g ).
3. Penyuntikan volume anestesi lokal yang terlalu banyak atau penyebaran yang terlalu
tinggi atau tidak diharapkan dapat menyebabkan paralisis respirasi yang lama.
Penyulit ini membutuhkan ventilasi buatan.
4. Kerusakan medulla spinalis, atau radiks nervus spinalis baik karena trauma langsung
atau spasme arteri yang memperdarahi medulla spinalis, atau karena hipotensi, jarang
terjadi, kecuali jika sebagian larutan lain di luar anestesi lokal disuntikkan. Anestesi
spinalis tidak boleh digunakan jika terdapat penyakit spinalis neurologik aktif.7
5. Retensi urin mungkin terjadi setelah anestesi spinalis karena blok nervus S2-S4
sehingga menyebabkan menurunkan reflex berkemih.
6. Nyeri punggung seringkali terjadi sesudah anestesi spinalis, terutama jika pungsi
lumbalis dilakukan usaha yang berulangkali.
7. Terjadi resiko potensial dari hematoma yang meluas pada kanalis spinalis dan
kompresi medulla spinalis atau nervus yang terjadi setelah pungsi lumbalis pada
penderita dengan kelainan pembekuan darah atau karena antikoagulan.5

TEKNIK ANESTESI SPINAL

Blok neuraksial hanya dilakukan di tempat yang mempunyai fasilitas alat-alat dan
obat-obat yang diperlukan untuk intubasi dan resusitasi yang siap sewaktu-waktu dibutuhkan.
Anestesi regional akan lebih mudah bila sebelumnya dilakukan premedikasi yang baik.
Persiapan pasien non farmakologi juga sangat membantu. Pasien harus dijelaskan apa yang
diharapkan sehingga dapat meminimalkan kecemasan. Pemberian oksigen dengan masker
atau kanul nasal dapat membantu mencegah terjadinya hipoksemia, terutama bila
menggunakan sedatif. Monitoring minimal yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan pulse
oximetry. Monitoring pada anestesi regional sama dengan pada anestesi umum.

Setelah monitor terpasang, pasien ditidurkan posisi lateral dekubitus atau pasien
didudukkan. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien
duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan
menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan panggul dan
lutut difleksikan maksimal.1,3 Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di
daerah antara vertebra lumbalis. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang belakang adalah L4 atau L4-5. tentukan tempat tusukan, misalnya pada
L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medula
spinalis.1,3,4

Gambar 1. Permukaan anatomi untuk mengidentifikasi tinggi tulang belakang

Sterilkan tempat tusukan dengan povidon iodin dan alkohol. Lakukan penyuntikan jarum
spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10-30o terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan subarachnoid.3
Gambar 2. Potongan sagital tempat tusukan spinal

Cabut stilet, lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikan obat anestetik local
yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subarachnoid. Kadang-kadang untuk memperlama
kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.4

A. Posisi Pasien 1,5

1. Posisi Duduk
Midline anatomi lebih mudah dinilai ketika pasien posisi duduk dari pada
ketika pasien posisi lateral dekubitus. Perbedaan ini lebih jelas pada pasien yang
sangat gemuk / obese. Pasien duduk dengan siku diletakkan diatas paha atau tepi meja
operasi atau dengan memeluk bantal. Fleksi dari spinal (tulang belakang membusur
maksimal) menjadikan area target yang berdekatan dengan prosesus spinosus dan
spinal mendekat ke permukaan kulit.
Gambar 3. Posisi duduk untuk blok neuraksial Gambar 4. Efek fleksi, target area membuka

2. Posisi Lateral Dekubitus


Beberapa ahli anaestesi lebih suka posisi lateral untuk blok sentral. Pasien
tidur miring dengan lutut fleksi sampai menyentuh perut atau dada seperti fetal
position. Asisten dapat membantu memposisikan pasien.
Gambar 5. Posisi lateral dekubitus untuk blok neuraksial

3. Posisi Prone
Posisi ini mungkin digunakan untuk prosedur anorektal pada larutan obat
anestesi hipobarik, lebih jauh blok ini dilaksanakan pada posisi yang sama seperti
prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien tidak harus bergerak mengikuti blok.
Ketika liquor cerebrospinal (LCS) tidak menetes melalui jarum, penempatan ujung
jarum pada subarakhnoid perlu dikonfirmasi dengan aspirasi LCS.

B. Pendekatan Anatomis
1. Pendekatan Median1,4
Tulang belakang teraba dan posisi tubuh pasien diperiksa untuk memastikan
bahwa tulang belakang tegak lurus dengan bidang datar. Tekanan antara prosesus
spinosus vertebra atas dan bawah pada level yang akan di digunakan diraba,
menentukan tempat jarum akan disuntikkan. Setelah persiapan dan dilakukan anestesi
lokal, masukkan jarum pada median/midline. Prosesus spinosus dari tulang belakang
ke kulit mengarah kebawah, untuk itu jarum yang akan dimasukkan mengarah sedikit
ke sefal. Pada jaringan subkutan terasa ada sedikit tahanan pada jarum. Saat jarum
masuk lebih dalam, melalui ligamentum supraspinosum dan interspinosum akan
terasa meningkatnya kerapatan jaringan.

Jika jarum menyentuh tulang pada saat masih dangkal, mungkin jarum
membentur prosesus spinosus bagian bawah. Jika jarum membentur tulang setelah
jarum masuk dalam, biasanya jarum yang di midline membentur prosesus spinosus
bagian atas, atau posisi jarum disebelah lateral midline dan membentur lamina. Pada
kasus yang lain, jarum bengkok arah jarum belok. Saat jarum menembus ligamentum
flavum, biasanya tahanan akan meningkat secara nyata.

Setelah menembus ligamentum flavum, disini terdapat perbedaan prosedur


anestesi spinal dan epidural. Pada anestesi epidural, setelah menembus ligamentum
flavum tiba-tiba di temui hilangnya tahanan (loss of resistance), berarti jarum telah
masuk ke dalam ruang epidural. Pada anestesi spinal, jarum selanjutnya menembus
ruang epidural dan menembus membran dura-subarachnoid yang ditandai dengan
mengalirnya LCS keluar melalui jarum.

Gambar 6. Pendekatan midline

2. Pendekatan Paramedian 1,4


Teknik paramedian dipilih bila blok epidural atau spinal sulit dilakukan,
terutama pada pasien yang tidak bisa diposisikan dengan mudah, misalnya pada
pasien dengan artritis berat, kiposkoliosis atau pernah menjalain operasi tulang
belakang sebelumnya.
Tempat masuknya jarum pada pendekatan paramedian ini adalah 2 cm lateral
bawah mengarah ke prosesus spinosus atas pada level yang diinginkan. Karena
disebelah lateral, akan menembus ligamentum interspinosum dan otot paraspinosus,
jarum akan melalui tahanan yang lebih kecil. Jarum mengarah ke midline dengan
sudut 10-25o. Identifikasi dari ligamentum flavum dan masuknya ke ruang epidural
dengan hilangnya tahanan (loss of resistance) sulit dipisahkan dibandingkan dengan
pendekatan median/midline.

Jika menyentuh tulang ketika masih dangkal dengan pendekatan paramedian,


mungkin jarum membentur dengan bagian medial dari lamina bagian bawah dan
arahnya harus dialihkan ke atas dan barangkali diarahkan sedikit ke lateral. Pada
kasus dimana membentur tulang setelah masuk dalam, biasanya jarum menyentuh
bagian lateral dari lamina bagian bawah dan arah harus dialihkan sedikit ke atas,
mengarah ke midline.
Gambar 7. Pendekatan Paramedian

C. Jarum Spinal1

Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bambu runcing (jenis Quincke – Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung
pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala
pasca penyuntikan spinal.
Gambar 8. Jenis jarum spinal

KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL

1. Komplikasi Segera6

A. Hipotensi

Mekanisme yang mendasari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal terutama


akibat blok saraf simpatik preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya
pada pembuluh darah arteri dan arteriola tetapi juga pada vena dan venula, sehingga
terjadi penurunan tahanan pembuluh darah perifer. Smith dkk menyatakan terjaddinya
hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya venous return karena penumpukan
darah pada pembuluh darah vena. Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus
arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan
dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri tetapi tidak semuanya hilang dan masih
terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi arteri tidak merata bahkan di daerah yang
mengalami blok simpatis sekalipun. Vasodilatasi daerah yang terblok membuat
kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak terblok.6,7,8

Derajat hipotensi yang relative ringan sebagian besar berasal dari perubahan
tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan darah terus turun di bawah batas kritis
dapat menyebabkan gangguan perfusi oksigen ke jaringan perifer sehingga terjadi
hipoksia. Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh
beberapa factor yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat,
tingkat hambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi. 6,7,8
Bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, harus segera ditherapi dengan tujuan
untuk mengembalikan oksigenasi jaringan yaitu dengan meningkatkan curah jantung,
meningkatkan tekanan dan aliran perfusi jaringan dan meningkatkan kandungan
oksigen dalam darah. Terdapat 4 tindakan utama untuk terapi hipotensi pada anestesi
spinal, yaitu posisi head down/ tredelenberg, pemberian oksigen, pemberian cairan
intravena dan terapi vasopresor. 6,7,8

B. Total Spinal Anestesi

Total spinal anestesi merupakan komplikasi dari spinal anestesi yang sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan apneu. Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis
sampai cervical sehingga dapat menyebabkan hipotensi berat, bradikardi, dan terjadi
gangguan respirasi. Jika terjadi hipotensi dalam waktu yang lama akan
mengakibatkan hipoperfusi pada pusat respirasi yang berujung pada terjadinya apneu.

Selain hipotensi berat, gangguan respirasi atau apneu juga dapat terjadi karena
blok nervus frenikus yang mempersarafi otot diafragma sehingga pasien sulit
bernapas dan terjadi apneu.

Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi ini diantaranya adalah


posisi pasien dan barisitas dari larutan, peningkatan tekanan intra abdominal yang
mendadak, batuk atau pasien mengangkat kaki pada saat obat dimasukan. Penaganan
total spinal anestesi adalah dengan melakukan ABC resusitasi, intubasi, pemberian
oksigen 100% dan terapi seperti pada penanganan hipotensi.7,8

C. Reaksi Toksik Sistemik

Absorpsi dari obat – obatan anestesi local yang berlebihan dapat mengakibatkan
produksi toxic serum level yang sangat tinggi. Gejala yang terlihat pada pasien
dengan reaksi toksik sistemik adalah sesuai dengan organ target yang terkena.

Yang sangat ekstrim adalah bila mengenai system saraf pusat, yaitu dapat terjadi
kejang dan penurunan kesadaran. Pada system kardiovaskuler dapat terjadi hipotensi
dan aritmia. Penanganan yang dilakukan berupa terapi simptomatik dan suportif. 7,8

D. Reaksi Alergi
Gejala yang terlihat pada reaksi alergi ini bermacam – macam, dari hanya sekedar
kemerahan pada kulit, urtikaria, mengenai mukosa, mata, system pencernaan, system
pernapasan, system kardiovaskuler sampai terjadinya syok anafilaktik.

Dalam menangani reaksi alergi ini, dari yang ringan sampai berat obat pilihan
utama yang kita gunakan adalah adrenalin. Setelah itu dapat diberikan obat anti
histamine 1, anti histamine 2, baru kemudian mengobati sesuai organ target yang
terkena. 8

E. Hipotermia

Yang dirasakan pasien adalah rasa dingin dan badannya akan menggigil.
Penyebab pasti pada menggigil belum diketahui, bisa diakibatkan suhu ruangan yang
dingin, penguapan tubuh yang mengalami vasodilatasi.

Penanggulangan: pasien diselimuti, suhu ruangan dihangatkan, oksigenasi, bila


belum berhasil dapat diberikan petidin dengan dosis 12,5 mg iv.8

2. Komplikasi lanjut 7,8

A. Nyeri Kepala

Nyeri kepala yang terjadi pasca anestesi spinal ini mengenai 5 – 10 % dari pasien.
Nyeri kepala ini juga lebih banyak mengenai wanita daripada pria dan lebih banyak
mengenai usia muda. Ukuran jarum juga dapat mempengaruhi terjadinya nyeri kepala
pasca anestesi spinal ini. Penyebab dari nyeri kepala ini sendiri adalah adanya suatu
kebocoran dari LCS dan iritasi selaput otak. Pencegahan yang dapat dilakukan antara
lain adalah dengan penggunaan jarum ukuran kecil, penyesuaian bevel jarum,
pensterilan dan bebas zat kimia. Pengelolaan untuk nyeri kepala ini adalah tirah
baring 24 – 72 jam, Nacl 25 – 50 ml, cairan oral/ parenteral, analgetik, blood patch
epidural, dan stagen.

B. Sakit Punggung

Saat jarum melewati kulit, jaringan subkutan, dan ligamentum dapat


menyebabkan trauma. Sakit punggung post operasi ini biasanya ringan dan dapat
sembuh dengan sendirinya walaupun bisa berlangsung selama seminggu. Walaupun
terlihat ringan, tapi sakit punggung bisa menandakan suatu komplikasi yang lebih
serius misalnya epidural hematoma dan abses. Penanganan dari sakit punggung ini
adalah dengan pemberian analgetik anti inflamasi dan tirah baring.

C. Retensi Urine

Blok anastesi local pada radix S2-S4 dapat menurunkan tonus dari kandung kemih
dan menghambat releks berkemih seseorang. Efek retensi urin ini lebih banyak terjadi
pada pasien pria. Penanganannya adalah dengan memasang kateter. Disfungsi
kandung kemih yang persisten dapat terjadi sebagai manifestasi dari cedera saraf.

D. Meningitis dan Arachnoiditis

Pada anestesi spinal, dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kontaminasi
peralatan yang digunakan, obat yang disuntikan, atau organism yang ada pada kulit
yang kurang dibersihkan. Untungnya, hal ini jarang terjadi. Arachnoiditis merupakan
komplikasi lain yang juga jarang dilaporkan. Ditandai dengan gejala seperti nyeri dan
gejala neurological lainnya. Pada gambaran radiographic didapatkan gambaran
gumpalan di radix saraf. Pencegahan yang paling utama adalah penggunaan jarum
spinal yang disposable. Dengan begitu, kita juga bisa melaksanakan salah satu unsur
dari patients safety.
KESIMPULAN

Anestesi spinal merupakan tindakan anestesi memasukan obat anestesi local ke dalam
LCS, yang disuntikan dalam ruang subarachnoid pada daerah lumbal. Teknik dalam
melakukan anestesi spinal ini, dengan memposisikan pasien : duduk, lateral dekubitus, dan
prone. Sedangkan dalam memasukkan jarum, menggunakan 2 pendekatan yaitu : pendekatan
median dan pendekatan paramedian. Pada anestesi spinal jarum dimasukkan di bawah L3
pada dewasa dan L1 pada anak – anak, untuk menghindari trauma pada medulla spinalis. Bila
LCS telah mengalir keluar melalui jarum, berarti ujung jarum telah masuk ke ruang
subarachnoid dan obat anestesi bisa dimasukkan. Tindakan anestesi spinal bisa menyebabkan
beberapa macam komplikasi, yang dibagi menjadi komplikasi segera dan komplikasi lanjut.
Yang termasuk dalam komplikasi segera adalah hipotensi, total spinal anestesi, reaksi toksik
sistemik, reaksi alergi, dan hipotermia. Sedangkan yang termasuk dalam komplikasi lanjut
antara lain adalah nyeri kepala, sakit punggung, retensi urin, meningitis dan arachnoiditis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Epidural, and Caudal Blocks. Clinical
Anesthesiology. 5th ed. USA; Lange Medical Books / Mc Graw Hill Medical Publishing
Division; 2013; 937-974.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Analgesia Regional. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007; 5: 105-120.

3. Kristanto S. Analgesia Regional. Anestesiologi. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009; 22: 109-114.

4. Bernards CM. Epidural and Spinal Anesthesia. Clinical Anesthesia. Philadelpia,


Lippincot Williams and Wilkins; 2006; 691-717.

5. Meryana. Anestesia / Analgesia dalam Obstetri Ginekologi. Jakarta [online] 2009 (Cited
Desember 2020). Available at : http://meryana79.wordpress.com/

6. Prabowo. Anestesi Regional. Jakarta [online] 2009 (Cited Desember 2020). Available at :
http://drboen.blogspot.com/2009/07/anestesi-regional.html

7. Sulistio K. Analgesia Regional. Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta; Bursa


Kedokteran Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 15: 107-
118.

8. Birnbach DJ, Ferous F. Complication of Obstetric Regional Anesthesia. San Fransisco:


Churcill Livingstone; 2000; 235-241.

Anda mungkin juga menyukai