Anda di halaman 1dari 12

ESSAY

BLOK DISGESTIVE 2

“Kelainan Gastrointestinal Pada Daerah Wisata (Traveller's Diarrhea)”

Disusun Oleh:

Nama : Isnatiya Noviana

NIM : 020.06.0037

Kelas :A

Tutor : dr. Dasti Anditiarina, Sp.K.P.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022
“Traveller’s Diarrhea”

Latar Belakang

Traveler’s Diarrhea atau Diare wisatawan adalah masalah klinis yang paling umum
terjadi pada saat melakukan sebuah perjalanan wisata yang disebabkan oleh makanan atau air
yang terkontaminasi mikroba yang dipengaruhi oleh lama atau tidaknya suatu perjalanan
yang dilakukan oleh seorang wisatawan. Traveler’s Diarrhea merupakan penyakit yang
terjadi karena makanan atau minuman yang tidak biasa dikonsumsi oleh manusia sehingga
menimbulkan shock pada pencernaan dan akan mengalami penolakan dengan cara buang air
besar secara terus menerus dengan konsistensi cair dan lembek. Traveler’s Diarrhea bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lama tinggal, tingkat pendapatan wisatawan, umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, perilaku berisiko seperti kebiasaan cuci tangan, kebiasaan
potong kuku, konsumsi sayur mentah, konsumsi air es, makan dipinggir jalan, konsumsi
makanan yang belum matang, jajan dipinggir jalan. (Pratiwi & Rustiawan, 2015)

Definisi

Traveler’s diarrhea (TD) adalah diare yang dialami oleh wisatawan akibat terpapar
patogen di daerah tujuannya. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk
cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya yaitu
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Dari sudut pandang frekuensi, dikategorikan diare
jika sudah buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar tersebut dapat
disertai lendir dan darah. (Greenwood, 2008)

Epidemiologi

Tempat tujuan merupakan faktor risiko paling menonjol dalam berkembangnya kasus
TD. Daerah yang berisiko tinggi yaitu negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika,
Asia, dan sebagian Timur Tengah. Pada daerah-daerah tersebut telah dilaporkan memiliki
angka serangan berkisar 20 sampai 75%. Wilayah dengan risiko menengah termasuk Cina,
Eropa Selatan, Israel, Afrika Selatan, Rusia, dan beberapa Pulau Karibia (khususnya Haiti
dan Republik Dominika) yaitu serangan dengan kisaran 8% sampai 20% tercatat pada
pelancong ke daerah tersebut. Kanada, Amerika Serikat, Australia, New Zealand, Jepang,
Eropa Utara, dan sedikit pulau-pulau di Karibia memiliki faktor risiko rendah, yaitu berkisar
<5%. Indonesia termasuk di negara dengan tingkat serangan diare turis yang tinggi. (Steffen,
2005)
Musim juga berperan dengan angka kejadian TD. Penelitian yang telah dilakukan di
daerah yang memiliki empat musim mendapatkan serangan paling sering ditemukan pada
bulan-bulan di musim panas dan musim hujan. Konsumsi makanan dan minuman yang
tercemar merupakan sarana masuk dari sebagian besar kuman penyebab diare sehingga risiko
bervariasi sesuai dengan perhatian yang diberikan terhadap diet. (Steffen, 2005)

Gambar 1. Insiden TD menurut wilayah geografis. (Steffen, 2005)

Etiologi

Penyebab utama TD dari sebuah studi di RS Persahabatan Jakarta berurut dari yang
paling sering yaitu (Shah, 2009):

1) E. coli, terutama strain ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EAEC (Enteroaggregative E.


coli), dan DAEC (Diffusely adherent E. coli).
2) Vibrio cholera Ogawa
3) Aeromonas sp
4) Shigella flexneri
5) Salmonella sp
6) Entamoeba histolytica
7) Ascaris lumbricoides
8) Rotavirus
9) Candida sp
10) Vibrio NAG
11) Trichuris trichiura
12) Plesiomonas shigelloides
13) Ancylostoma duodenalis
14) Blastocystis hominis. (Shah, 2009)

Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi berhubungan erat dengan berkembangnya


traveler’s diarrhea. Faktor-faktor risiko tersebut kita pisahkan antara yang bisa dikontrol
dengan yang tidak bisa dikontrol. (Beldorek, 2010)

 Faktor-faktor risiko yang bisa dikontrol:


1. Tingkat kebersihan dari negara asal dan tujuan adalah hal yang mendasar dalam
berkembangnya diare turis.
2. Usia turis, insiden tertinggi termasuk anak-anak kecil dan orang dewasa muda berusia
21 sampai 29 tahun. Balita yang sering menempatkan benda-benda di mulut
merekaenunjukkan tingkat kejadian diare yang tinggi, seperti halnya remaja, yang
biasanya memiliki selera makan yang besar.
3. Olahraga yang sesuai dengan apa yang dimakan dapat melindungi individu terhadap TD
4. Jenis perjalanan, individu yang tinggal dengan penduduk setempat, backpacking,
berkemah, yang melakukan perjalanan hiking dilaporkan lebih sering menderita diare.
5. Makanan yang disajikan di rumah pribadi memiliki risiko yang lebih rendah daripada
yang ada di restoran. Membeli makanan atau minuman dari Pedagang Kaki Lima (PKL)
dilaporkan sangat riskan menimbulkan diare. (Beldorek, 2010)
 Beberapa faktor risiko pejamu tidak dapat diubah oleh perilaku:
Faktor genetik membantu menjelaskan mengapa dalam 1 anggota keluarga, ada
yang menjadi sakit sementara yang lain tidak meskipun risiko lingkungan sama. Penelitian
yang dilakukan telah menunjukkan bahwa single nucleotide polymorphisms (SNP) telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko TD atau diare karena patogen TD tertentu. (Pitzurra,
2010)
1. Polimorfisme genetik dalam grup antigen histo-blood, seperti penggolongan darah
ABO, secretor status, dan kehadiran antigen Lewis, berhubungan dengan kerentanan
tinggi terhadap infeksi oleh strain norovirus.
2. Orang dengan golongan darah O memiliki peningkatan risiko timbulnya gejala berat
ketika terinfeksi Vibrio cholera.
3. Kehadiran SNP tertentu pada pejamu dalam gen penanda inflamasi telah dikaitkan
dengan kerentanan yang lebih tinggi menderita traveler’s diarrhea, termasuk IL-8
(salah satu leukosit prekursor polimorfonuklear), IL-10 (suatu sitokin anti-inflamasi),
laktoferin (komponen granula netrofil), dan osteoprotegerin (anggota dari superfamili
reseptor tumor necrosis factor). (Beldorek, 2010)

Manifestasi Klinis

Diare yaitu didefinisikan sebagai bagian dari setidaknya tiga kali buang air besar
dalam jangka waktu 24 jam, dalam hubungan dengan setidaknya satu gejala dari penyakit
pencernaan seperti mual, muntah, demam, atau perut kram, tenesmus, urgensi tinja, dan
bagian dari tinja berdarah atau berlendir. Biasanya, gejala berkembang dalam minggu
pertama perjalanan dan lebih dari 90% kasus terjadi dalam 2 minggu pertama. Sekitar 80%
dari wisatawan dengan diare mengeluh perut kram, 10% sampai 25% mengalami demam,
20% mengalami muntah, dan antara 5% dan 10% melaporkan memiliki darah atau lendir
dalam tinja mereka. Pada kebanyakan kasus, diare biasanya hanya berlangsung selama 3
sampai 4 hari sebelum sembuh secara spontan tanpa pengobatan. (Pitzurra, 2010)

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu dinilai keadaan umum, kesadaran, berat badan,
temperatur, frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan darah, turgor kulit, kelopak mata, serta
mukosa lidah. Selain itu, perlu dicari tanda-tanda dehidrasi dan kontraksi volume
ekstraseluler, seperti denyut nadi >90 kali/menit dan lemah, hipotensi postural/ortostatik,
lidah kering, kelopak mata cekung, serta kulit yang dingin dan lembab. (Pratiwi & Rustiawan,
2015)

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat atau toksisitas berat atau diare
berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaannya
antara lain pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis
leukosit), kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja, pemeriksaan
Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) mendeteksi giardiasis dan tes serologi
amebiasis, dan foto x-ray abdomen. Pasien dengan diare karena virus, biasanya mempunyai
jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis. Pasien dengan infeksi bakteri
terutama bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih
muda. Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk
mengetahui adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan tinja
dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi
bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa. (Pratiwi & Rustiawan, 2015)

Pasien yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik dalam tiga bulan sebelumnya
atau yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin
clostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien-
pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah atau pasien dengan diare akut persisten.
Pada sebagian besar pasien, sigmoidoskopi mungkin adekuat 13 sebagai pemeriksaan awal.
Pada pasien dengan AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena
kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma di daerah kolon kanan. Biopsi mukosa
sebaiknya dilakukan juga jika mukosa terlihat inflamasi berat. (Pratiwi & Rustiawan, 2015)

Patofisiologi

Patofisiologi yang diusulkan gastroenteritis bakteri termasuk elaborasi enterotoksin


oleh patogen toksigenik, aksi endotoksin lipopoli sakarida, invasi mukosa usus oleh patogen
invasif dan pelepasan sitotoksin. Sebelumnya, semua bakteri perlu menjajah mukosa usus.
Berbagai faktor kolonisasi (motilitas, fimbriae, vili dan adhesins non-fimbrial) telah
terdeteksi, memainkan peran kunci awal untuk perlekatan bakteri pada mukosa usus. Bakteri
kemudian dapat melepaskan racun. Enterotoksin dilepaskan oleh bakteri yang menjajah usus
kecil bagian atas pada sebagian besar kasus. Enterotoxin mengikat reseptor seluler spesifik
untuk menembus ke dalam sel, dan dengan demikian menderegulasi sistem regulasi adenilat
siklase seluler, meningkatkan kadar cAMP, dan dalam menginduksi mekanisme cairan
sekretori. ETEC (ST dan LT enterotoksin) dan Vibrio cholerae (toksin kolera) adalah
prototipe bakteri yang menunjukkan sifat-sifat ini. Diare yang disebabkan oleh enteropatogen
ini bersifat non-inflamasi dan berair. Enterotoksin lain beroperasi melalui jalur cGMP, juga
menyebabkan diare berair. ST enterotoksin dari strain ETEC serta endotoksin
lipopolisakarida menggunakan mekanisme ini. Racun lain seperti racun ciguatera digunakan
jalur yang bergantung pada kalsium dan baru-baru ini jalur oksida nitrat telah dijelaskan
untuk Shigella. Semua mekanisme ini menginduksi peningkatan sekresi cairan dan diare cair.
(Fasano, 1991)

Mekanisme osmotik adalah cara lain untuk menginduksi diare non-inflamasi. Diare
osmotik disebabkan oleh adanya zat terlarut yang sulit diserap sehingga menimbulkan
tekanan osmotik di seluruh mukosa usus. Jenis mekanisme ini terlihat terutama pada diare
kronis dan infeksi rotavirus. Bakteri penyebab diare inflamasi biasanya berkolonisasi di ileum
distal dan kolon di mana mereka menyerang mukosa yang menyebabkan penyakit disentri.
Selain itu, beberapa en teropatogen melepaskan sitotoksin yang mengganggu mukosa usus.
Sitotoksin membunuh sel target melalui dua mekanisme yang berbeda, bekerja pada tingkat
intraseluler menghambat sintesis protein seluler atau menghambat pembentukan filamen
aktin. Shigella dysenteriae tipe 1 adalah prototipe bakteri penyebab diare inflamasi melalui
penghambatan sintesis protein seluler (toksin shiga). Jenis sitotoksin lain bertindak
membentuk pori-pori di membran sel (hemolisin). Vibrio parahemolyticus adalah contoh en
teropathogen yang bekerja melalui satu hemolisin (TDH). Beberapa bakteri mungkin
menunjukkan kedua kapasitas, yaitu melepaskan enterotoksin dan sitotoksin. C. jejuni, yang
memiliki kapasitas invasif, melepaskan enterotoksin yang mirip dengan toksin kolera dan
sitotoksin yang mungkin berperan dalam inflamasi diare. Salmonella sp. dan Aeromonas spp.,
keduanya dengan kapasitas invasif, juga dapat menginduksi kedua jenis mekanisme diare
(sekresi dan inflamasi). (Steinberg & Del, 2002)

Gambar 2. Aktivasi refleks saraf intramural dari sekresi CT. 5-HT = Serotonin; NT =
neurotensin; ACh = asetilkolin; SP = zat P; VIP = peptida usus vasoaktif. (Gascon, 2006)

Kadang-kadang, agen diare menggunakan beberapa mekanisme yang tidak selalu


dipahami dengan baik.Enteroag gregative E. coli (EAEC), misalnya, mampu membentuk
biofilm mukus, tetapi juga menginduksi pemendekan vili, nekrosis hemoragik pada ujung
vili, pengelupasan enterosit dan respons inflamasi ringan. Beberapa strain juga mampu
melepaskan enterotoksin (EAST1). Heterogenitas telah ditetapkan untuk peran beberapa
faktor virulen yang ada pada beberapa strain bakteri EAEC. Ini berpotensi terkait dengan
diare sebagai protein yang dikodekan pertengahan plas yang memiliki sifat sekretori
enterotoksin serta kapasitas untuk menginduksi perubahan dalam sitoskeleton seluler. Selain
dari jalur yang dijelaskan untuk beberapa toksin entero, ada beberapa bukti bahwa LT/ST dari
strain ETEC dan CT dari V. cholerae dapat menyebabkan diare melalui aktivasi refleks saraf
(gambar 2). Mengenai agen virus, mekanisme ini termasuk osmotik dan mekanisme sekretori
melalui interferensi dengan fungsi brush border yang menyebabkan malabsorpsi karbohidrat,
aksi enterotoksin mirip protein (NSP4 untuk rotavirus) dan lisis enterosit faktor virulensi
yang teridentifikasi dengan baik: sitolisis yang bergantung pada kontak, protease, molekul
adhesi toksin dan aktivitas fagositik. Ulserasi usus adalah aturan dan perkembangan penyakit
dapat menyebabkan perforasi usus. Dari dunia usus, E. histolytica dapat menyebar ke organ
tubuh lain, hati yang paling terpengaruh. (Closs, 1998)

Tatalaksana

1. Dehidrasi
Dehidrasi adalah masalah utama untuk penderita diare. Karena itu, penanganan
dehidrasi sangat penting bagi pasien. Sebelum memberikan rehidrasi, yaitu dinilai dulu
derajat dehidrasi yang terdiri dari ringan, sedang, dan berat. Prinsip menentukan jumlah
cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh.
(Hill, 2015)
2. Diet
Untuk diet yaitu selama fase akut penyakit, pasien disarankan untuk minum
minuman sari buah, teh, dan minuman yang tidak bergas. Dianjurkan untuk memilih
makanan yang terdiri dari karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, kentang, pisang, dan
biskuit. Minuman berkafein dan beralkohol harus dihindari karena dapat meningkatkan
motilitas dan sekresi usus. Susu sapi harus dihindari karena ada defisiensi laktase yang
transien. (Hill, 2015)
3. Agen antimotilitas
Agen antimotilitas utama untuk mengatasi gejala diare adalah Loperamide
(Imodium). BSS merupakan pilihan antidiare nonantibiotik yang memiliki efek antisekresi,
antiinflamasi, dan sifat antimikroba dan yang mengurangi frekuensi defekasi dan durasi
diare sekitar 50%. Namun, BSS kurang efektif jika dibandingkan dengan loperamide.
Pemakian antimotilitas harus hati-hati, jika ada tanda-tanda disentri yang dimana
diperlihatkan dengan gejala seperti demam tinggi atau diare berdarah karena kemungkinan
mereka dapat menunda pembersihan enteropatogen invasif hingga memperpanjang
perjalanan penyakit. (Hill, 2015)
4. Pengobatan antibiotik
Pengobatan dengan antibiotik dianjurkan terhadap semua kasus TD sedang sampai
berat dengan nyeri perut, kram, atau diare, terutama jika ada demam atau gejala disentri.
Sampai saat ini, 3 antibiotik telah ditemukan efektif untuk memperpendek durasi TD. Obat
yang direkomendasikan ini termasuk fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin),
rifaximin (Xifaxan, Salix), dan azitromisin. (Hill, 2015)

Komplikasi

 Dehidrasi dapat timbul jika diare dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah,
terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang
meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu
berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat diare dapat mengarah ke gagal
ginjal akut. Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
(Hill, 2015):
1) Dehidrasi Ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya turgor kurang, suara
serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
2) Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB): turgor buruk, suara serak, pasien jatuh
dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam.
3) Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran
menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis. (Hill, 2015)
 Komplikasi juga dapat terjadi setelah kembali ke negara asal turis atau wisatawan. Pasien
dengan TD dapat terus mengeluh beberapa gejala gastrointestinal persisten atau intermiten,
termasuk seperti diare, sembelit, sakit perut, atau bloating (kembung). Antara 5% sampai
dengan 10% dari wisatawan dengan TD biasanya di kemudian hari akan memenuhi
kriteria Roma II untuk irritable bowel syndrome (IBS). Ketika IBS dimulai setelah
serangan diskrit diare atau gastroenteritis, ini disebut sebagai postinfectious (PI)-IBS.
Dalam sebuah klinik untuk penderita IBS di AS, sekitar 10% pasien telah melakukan
perjalanan internasional 6 bulan sebelum muncul gejala IBS. Hal ini menunjukkan
kemungkinan adanya ketertarikan antara TD dan berkembangnya PI-IBS. (Hill, 2015)

Kesimpulan
Traveler’s Diarrhea atau Diare wisatawan adalah masalah klinis yang paling umum
terjadi pada saat melakukan sebuah perjalanan wisata yang disebabkan oleh makanan atau air
yang terkontaminasi mikroba yang dipengaruhi oleh lama atau tidaknya suatu perjalanan
yang dilakukan oleh seorang wisatawan. Traveler’s Diarrhea bisa dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti lama tinggal, tingkat pendapatan wisatawan, umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, perilaku berisiko seperti kebiasaan cuci tangan, kebiasaan potong kuku,
konsumsi sayur mentah, konsumsi air es, makan dipinggir jalan, konsumsi makanan yang
belum matang, jajan dipinggir jalan.
DAFTAR PUSTAKA

Belderok, SM., Dkk. 2011. Incidence, risk factors and treatment of diarrhoea among Dutch
travellers: reasons not to routinely prescribe antibiotics. BMC Infect Dis. 11:295.

Closs, EI., Dkk. 1998. Forstermann U: Coexpression of inducible NO synthase and soluble
guanylyl cyclase in colonic enterocytes: a pathophysiologic signaling pathway for the
initiation of diarrhea by Gram-negative bacteria?. FASEB J; 12: 1643–1649.

Fasano, A., Dkk. 1991. Diarrhea in ciguatera fish poisoning: preliminary evaluation of
pathophysiological mechanisms. Gastroenterology; 100: 471–476.

Gascon, J. 2006. Epidemiology, Etiology and Pathophysiology of Traveler’s Diarrhea.


Hospital Clinic de Barcelona.

Greenwood, Z., Dkk. 2008. Gastrointestinal infection among international travelers globally.
J Travel Med. 15(4):221-228.

Hill, R.D. 2015. Traveler’s Diarrhea: A Clinical Review. JAMA The Journal of the American
Medical Association.

Pitzurra, R., Dkk. 2010. Diarrhoea in a large prospective cohort of European travellers to
resource-limited destinations. BMC Infect Dis. 10:231.

Pratiwi, Z.T., Rustiawan, A. 2015. Hubungan Lama Tinggal, Tingkat Pendapatan Dan
Perilaku Berisiko Dengan Kejadian Diare Wisatawan (Traveler’s Diarrhea) Di Kota
Yogyakarta. Warungboto, Yogyakarta.

Shah, N., Dkk. 2009. Global etiology of travelers’ diarrhea: systematic review from 1973 to
the present. Am J Trop Med Hyg. 80(4): 609-614.

Steffen, R. 2005. Epidemiology of traveler’s diarrhea. Clin Infect Dis. 41(suppl 8):S536-
S540.

Steffen, R. 2005. Epidemiology of traveler’s diarrhea. Clin Infect Dis. 41(suppl 8):S536-
S540.

Steinberg, JR1., Del, R.C2. 2002. Otros bacilos gram negativos; di Mandell, Douglas, Bennett
(eds): Enfermedades Infecciosas, edisi Spanyol ke-5. Buenos Aires, Panamericana,
jilid 2, hlm 2989–2990.
Wang, M., Dkk. 2008. Economic Aspects of Travelers Diarrhea, J. Travel Med. Mar-Apr,
15(2): 110-118. DOI: 10.1111/J. 1708- 8305.2008.00189.

Anda mungkin juga menyukai