Anda di halaman 1dari 3

ASWAJA MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

A. Pengertian Aswaja

Menurut pendapat KH.Musthofa Bisri Aswaja adalah : paham yang menganut pola
madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam
Maliki. Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-
Maturidi dalam bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi
dan Al-Ghazali.

Sementara Menurut pandangan KH.Dawam Anwar memahami Aswaja sebagai Islam itu
sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti
sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan
zaman).

B. Sejarah Singkat Aswaja

Ketika pasca Nabi Muhammad Saw wafat banyak munculnya berbagai macam aliran pada
Situasi saat itu banyak kekacauan politik, seperti kesenjangan internal semakin parah di akhir
kekhalifahannya. Sejatinya, model pemerintahan Utsman Ra tidak jauh berbeda dengan
pendahulunya Umar Ra. Namun, karena tak mampu mengatasi campur tangan keluarganya,
yakni Umayyah dan memberikan panggung seluas-luasnya. Kepadan mereka. Beberapa gubernur
sebelumnya yang diangkat pada masa Umar dipecat dan diganti oleh anggota keluarganya. Sikap
yang demikian inilah yang menimbulkan rasa simpatik terkikis dari beberapa pihak, menuduh
korup, kecendrungan nepotis dan menghambur-hambutkan uang negara untuk keluarga sendiri.
Pihak oposisi dari sebagian yang tidak terima melakukan demonstrasi: yang waktu itu ada 500
orang mengepung rumah beliau, sehingga menjadikannya terbunuh.

Kemudian Sayyidina Ali tampil di pentas politik yang kacau itu. Posisi beliau serba dilematis
bahkan lebih parah dari sebelumnya. Dia harus berhadapan dengan dua kubu sekaligus, Thalhah
dan Zubair yang disokong oleh Sayyidatina Aisyah Ra yang disebut perang Jamal. Pihak lain
gubernur, yakni Muawiyah dan beberapa keluarganya yang tidak mau mengakui kekhalifahan
Ali Kw. Bahkan Muawiyah menuduh Ali terlibat dalam penutupan kasus pembunahan Utsman
dan melindungi si pembunuh. Pada dekade itulah muncul beberapa perbedaan-perbedaan yang
semakin menyala bersamaan dengan pecahnya perang shiffin (37 H): perang saudara antara
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syiria dan sayyidina Ali Kw. Dari situ lahir
golongan khawarij yang keluar (tidak sependapat) dengan Ali dan Muawiyah. Juga oknum-
oknum memperjuangkan keadilan (al-‘adalah) seraya mengibarkan bendera Syiah.

Satu abad kemudian lahir Mu’tazilah di bawah kepengurusan Washil bin ‘Atho (80-113 H) yang
meyakini adanya kehendak bebas dalam diri manusia. Sebaliknya muncul Jabariah sebagai
antitesis Mu’tazilah yang berkeyakinan bahwa manusia ini seperti “robot” dan “wayang” yang
tidak punya ikhtiar apapun. Tidak hanya di situ, ada juga sekte Mujassimah   yang menyerupakan
Tuhan dengan makhluk.

Situasi yang kacau, saling menyalahkan, memfitnah dan membunuh saat itu memunculkan
sekelompok orang yang memiliki pemikiran untuk menjaga peradaban dan keamanan umat. Bagi
kelompok tersebut, jika chaos situasi tetap dibiarkan maka akan menyengserakan umat dan
membawa umat pada kemunduran dan kehancuran. Karena itulah mereka merasa perlu untuk
menjaga kemananan dan menyelamatkan peradaban umat. Kelompok yang terakhir inilah yang
disebut-sebut sebagai kelompokj Ahlu Sunnah Wal Jama’ (Aswaja).

C. Aswaja Sebagai Manhajul Fikr Wal harokah

Pada awalnya Kelompok ini adalah satu mazhab di antara mazhab-mazhab yang ada
dalam Islam. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, ketika Islam semakin meluas
dan ilmu pengetahuan serta peradaban semakin berkembang, Aswaja sebagai Mazhab
bergeser menjadi Aswaja Manhaj (metode): baik sebagai manhajul al-fikr, manhajulal-
hayah ataupun manhaj al-haraqah.

Aswaja sebagai manhajul fikr adalah upaya para ulama untuk menjaga peradaban dan stabilitas
keamanan manusia di muka bumi. Aswaja menolak cara-cara berpikir dan bertindak licik, kasar,
merusak, intoleran serta hal-hal yang membawa pada chaos dan kemudaratan. Karena itu
kelompok Aswaja, misalnya NU sebagai prototipe Islam Aswaja di Indonesia sangat teguh
menjaga tradisi sembari terus mengikuti perkembangan zaman (al-muhafazhatu alal qadimis-
shalih wal akhdzu bil jadidil-ashlah). Tidak hanya itu, bahkan tidak hanya menjaga dan
mengambil, Aswaja juga menghendaki produksi dan kreativitas setiap saat dalam hal-hal
positif (al-ijad).

Konsep Aswaja kemudian di aplikasikan ke dalam beberapa prinsip, di antaranya adalah : 

1. Tawasuth (moderat)). Maksudnya adalah seorang Muslim haruslah dapat bersikap


moderat, tidak timpang dalam menyikapi persoalan. 
2. Tasamuh  (toleran), yaitu seorang Muslim haruslah bersikap toleran dengan cara
menghargai orang atau kelompok lain di luar dirinya sebagaimana ia menghargai diri dan
kelompoknya sendiri. 
3. Tawazun (imbang), yuaitu seorang Muslim harus berimbang dan mampu menakar setiap
persoalan sesuai timbangannya tidak curang dan zalim. Dan yang terakhir adalah 
4. Ta’addul (adil), yaitu seorang Muslim harus mengedepankan nilai-nilai keadilan.
Keadilan harus diperjuangkan dan ditegakkan dalam melihat persoalan apapun.  Selain
prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, Awaja juga memegang prinsip  kuliyah al-
khamsah atau Maqosid Asyri’ah (tujuan-tujuan syari’atau Islam) yang sudah diyakini
dan dijalani sebelumnya dalam Islam secara kesuluruhan.

Secara garis besar, peta pemikiran Aswaja sebagai sumber kebenaran dan kebaikan ia juga
menjadi sumber pengetahuan dan peradaban. Bahkan, yang mengibarkan bendera Aswaja selain
Ulama adalah filosof, Teolog, Sufi, Sastrawan, Sejarawan dan lain-lain. Dengan demikian,
jelaslah bahwa ideologi Aswaja tidak harus dipahami ansich sebagai doktrin teologi dan akidah
belaka. Islam pun sebenarnya juga bukan cuma agama (al-din) yang berisi akidah dan syariah.

ADIL DAN MAKMUR KU PERJUANGKAN

SALAM PERGERAKAN!!!!!!!!!

Semarang.12,Maret,2019

Anda mungkin juga menyukai