Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Tn “T” DENGAN


MASALAH HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KAPASA

Oleh :

Muhammad Takdir, S.Kep


NS0621104

CI Lahan CI Institusi

(___________________________) (Sitti Nurbaya, S.Kep.,Ns.,M.Kes)


NIP. NIDN. 0905027903

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2022
LAPORAN INDIVIDU
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA Tn “T”
DENGAN MASALAH HIPERTENSI DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS KAPASA

Oleh :

Muhammad Takdir, S.Kep


NS0621104

CI Lahan CI Institusi

(___________________________) (Sitti Nurbaya, S.Kep.,Ns.,M.Kes)


NIP. NIDN. 0905027903

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2022
1.1. Laporan Pendahuluan
1.1.1 Konsep Keperawatan Gerontik dan Teori Lansia
A. Definisi gerontik
Lansia merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik
masalah ekonomi, social, budaya, kesehatan maupun psikologis,
oleh karenanya agar lansia tetap sehat, sejahtera dan bermanfaat,
perlu didukung oleh lingkungan yang kondusif seperti keluarga
(Ekasari, Riasmini & Hartini, 2019).
Lansia merupakan kelompok berisiko yang memiliki fakor
risiko dan berpotensi tinggi terpapar penyakit. Lanjut usia adalah
masa saat seseorang telah mencapai kematangan dalam ukuran dan
fungsi serta menunjukkan beberapa kemunduran seiring
berjalannya waktu (Rekawati dkk, 2019).
Lansia merupakan kelompok penduduk yang menjadi focus
perhatian para ilmuwan, masyarakat, dan pemerintah karena
membawa berbagai permasalahan yang harus diantisipasi dan
dicarikan jalan keluarnya, termasuk bidang kesehatan (Yanti &
Vera, 2020).
B. Siklus hidup manusia
Siklus hidup manusia merupakan proses perjalanan hidup
manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (Wahyudi, Nugroho 2000 dalam Muhith &
Siyata, 2016) siklus hidup lansia yaitu: (1) Usia pertengahan
(middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, (2) lanjut
usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun, (3) lanjut usia tua (old),
antara 60-75 dan 90 tahun, (4) usia sangat tua (very old), diatas 90
tahun.
C. Tipe-tipe lanjut usia
Tipe-tipe lanjut usia menurut (Ma’rifatul, 2017):
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah pengalaman menyesuaikan diri dengan
perubahan jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah,
rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan
menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan-
kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman
pergaulan, serta memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang
menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik
jasmaniah, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayang,
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit
dilayani dan pengkritik.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis
gelap datang terang, mengikuti kegiatan beribadah, ringan
kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa
minder, menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya. Tipe
ini antara lain: Tipe optimis, tipe konstruktif, tipe
ketergantungan (dependent), tipe defensif, tipe militan dan
serius, tipe marah atau frustasi (the angry man), tipe putus asa
(benci pada diri sendiri) atau self heating man.
D. Mitos-mitos lansia
1. Kedamaian dan ketenangan
Lanjut usia dapat santai menikmati hasil kerja dan jerih
payahnya dimasa muda dan dewasanya, badai dan berbagai
goncangan kehidupan seakan-akan sudah berhasil dilewati.
Kenyataan : (1) Sering ditemui stres karena kemiskinan dan
berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit, (2)
depresi, (3) kekhawatiran, (4) paranoid, (5) masalah psikotik.
2. Mitos konservatisme dan kemunduran
Pandangan bahwa lanjut usia pada umumnya: (1) Konservatif,
(2) Tidak kreatif, (3) menolak inovasi, (4) berorientasi kemasa
silam, (5) merindukan masa lalu, (6) kembali kemasa kanak-
kanak, (7) susah berubah, (8) keras kepala, (9) cerewet.
Kenyataannya: Tidak semua lanjut usia bersikap dan berpikir
demikian.
3. Mitos berpenyakitan
Lanjut usia dipandang sebagai masa degenerasi biologis, yang
disertai oleh berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit
yang menyertai proses menua (lanjut usia merupakan masa
berpenyakitan dan kemunduruan). Kenyataan: (1) Memang
proses penuan disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh
dan metabolisme, sehingga rawan terhadap penyakit. (2) tetapi
banyak penyakit yang masa sekarang dapat dikontrol dan
diobati.
4. Mitos senilitas
Lanjut usia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan
oleh kerusakan bagian otak (banyak yang tetap sehat dan
segar). Banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan daya ingat.
5. Mitos tidak jatuh cinta
Lanjut usia tidak lagi jatuh cinta dan gairah pada lawan jenis
tidak ada. Kenyataan: perasaan cemas dan emosi setiap orang
berubah sepanjang masa. Perasaan cinta tidak berhenti hanya
karena menjadi lanjut usia.
6. Mitos aseksualitas
Ada pandangan bahwa lanjut usia, hubungan seks itu menurun,
minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang.
Kenyataan: Menunjukkan bahwa kehidupan seks pada lanjut
usia normal saja. Memang frekuensi hubungan seksualitas
menurun, sejalan dengan meningkatnya usia, tetapi masih tetap
tinggi.
7. Mitos ketidakproduktifan
Lanjut usia dipandang sebagai usia tidak produktif. Kenyataan:
Tidak demikia, banyak lanjut usia yang mencapai kematangan,
kemantapan dan produktifitas mental dan material.
E. Permasalahan lansia dengan berbagai kemampuannya
Proses menua di dalam perjalanan hidup manusia merupakan
suatu hal yang wajar akan dialami semua orang yang dikarunia
umur panjang. Hanya cepat lambatnya proses tersebut bergantung
pada masing-masing individu yang bersangkutan. Adapun
permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia antara lain
(Juniati dan Sahar 2001 dalam Muhith & Siyata, 2016):
1. Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan
berbagai masalah, baik secara fisik, biologi, mental, maupun
sosial ekonomis. Semakin lanjut usia seseorang, ia akan
mengalami kemunduruan terutama dibidang kemampuan fisik,
yang dapat mengakibatkan penurunan pada peran-peranan
sosialnya. Hal ini juga mengakibatkan timbulnya gangguan
didalam hal mencakupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat
meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan
orang lain.
2. Lanjut usia tidak hanya ditandai dengan kemunduran fisik.
Kondisi lanjut usia dapat pula berpengaruh terhadap kondisi
mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan
semakin berkurang. Hal itu akan dapat mengakibatkan
berkurangnya integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat
memberikan dampak pada kebahagiaan seseorang.
3. Pada usia mereka yang telah lanjut, sebagian dari para lanjut
usia tersebut masih mempunyai kemampuan untuk bekerja.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagiamana
memfungsikan tenaga dan kemampuan mereka tersebut
didalam situasi keterbatasan kesempatan kerja.
4. Masih ada sebagian dari lanjut usia yang mengalami keadaan
terlantar. Selain tidak mempunyai bekal hidup dan
pekerjaan/penghasilan, mereka juga tidak mempunyai
keluarga/sebatang kara.
Dalam masyarakat tradisional, biasanya lanjut usia dihargai
dan dihormati sehingga mereka masih dapat berperan yang
berguna bagi masyarakat. Akan tetapi, dalam masyarakat industri
ada kecendrungan mereka kurang dihargai sehingga mereka
terisolasi dari kehidupan masyarakat.
1.1.2 Konsep Perubahan fisiologi dan psikososial pada lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan,
sosial, dan seksual. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi pada
lansia antara lain;
A. Perubahan fisik
1. Sistem Indera
Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya
dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku.
Otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan
daya komodasi dan jarak jauh atau dekat berkurang.
Perubahan sistem pendengaran selalu berkaitan dengan
presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena
hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama pada bunyi suara atau nada-nada yang
tinggi, suara yang tidak jelas, sulit di mengerti kata-kata,
50% terjadi pada usia di atas 60 tahun.
Perubahan sistem integument, pada lansia kulit mengalami
atrofi, kendur, tidak elastis kering dan keriput. Kulit akan
kekurangan cairan, sehingga menjadi tipis dan bercak.
Kekeringan kulit di sebabkan atrogi glandula sebasea dan
glandula sludoritera, timbul pigmen berwara cokelat pada
kulit di kenal dengan dengan liver spot. Perubahan kulit
menjadi banyak di pengaruhi oleh faktor lingkungan antara
lain angin dan matahari, terutama sinar UV (Azizah, 2017).
2. Sistem musculoskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain
sebagai berikut; 1) Jaringan penghubung (kolagen dan
elastin), perubahan pada kolagen tersebut merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari
duduk ke berdiri, jongkok, berjalan, dan hambatan dalam
melakukan kegiatan sehari-hari, 2) Kartilago, jaringan
kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi
dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian
kemampuan kartilago untuk regenarisasi berkurang dan
degenarisasi yang terjadi cenderung kearah progresif,
konskuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan
terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada
sendi besar penumpu berat badan. Akibat dari itu sendi
mengalami peradangan, kekauan, nyeri, keterbatasan gerak,
dan terganggunya aktifitas sehari-hari, 3) Otot, perubahan
struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, dampak
perubahan pada otot adalah penurunan kekuatan, penurunan
fleksibilitas, penurunan kemampuan fungsional otot, 4)
Sendi, pada lansia jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon,
ligament, dan fasia mengalami penurunan elastisitas.
Ligament dan jaringan periarkular mengalami penurunan
daya lentur dan elastisitas.
3. Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami
hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang
karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan
lipofusin dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan
ikat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang
sehingga kapasitas paru menurun.
4. Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah
untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang
mengalir ke paru berkurang (Azizah, 2011). Perubahan yang
terjadi pada sistem pulmonal akibat proses menua antara
lain; 1) Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya recoil elastis,
dan pembesaran alveoli. Sehingga terjadi penurunan untuk
difusi gas, 2) Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2
residu. Implikasi ini dapat menurunkan saturasi O2, dan
peningkatan volume, 3) Pengerasan bronkus dengan
peningkatan resistensi, implikasi ini dapat menyebabkan
dispnea saat aktivitas (Sunaryo et al., 2018).
5. Sistem pencernaan
Banyak masalah gastrointestinal yang di hadapi oleh lansia
berkaitan dengan gaya hidup. Terjadi perubahan morfologik
degenaratif mulai dari gigi sampai anus antara lain :
perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar, dan otot-
otot pencernaan (Sunaryo et al., 2018).
6. Sistem perkemihan
Berbeda dengan sistem pencernaan, pada sistem perkemihan
terjadi perubahan yang signifikan. Banyak fungsi yang
mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, eksresi, dan
reabsorpsi oleh ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam
pemberian obat pada lansia. Mereka kehilangan kemampuan
untuk mengeksresi obat atau produk metabolisme obat. Pola
berkemih tidak normal, seperti banyak berkemih di malam
hari, sehingga mengharuskan mereka pergi ke toilet
sepanjang malam. Hal ini menunjukkan bahwa inkontinensia
urin meningkat (Azizah, 2017).
7. Sistem saraf
Perubahan yang terjadi pada sistem neurologis akibat proses
menua terbagi atas 3 yaitu ; 1) Konduksi saraf perifer yang
lebih lambat, hal tersebut menyebabkan refleks tendon
dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi, 2)
Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron, implikasi
dari hal ini adalah vasokontriksi dan vasodilatasi yang tidak
sempurna, 3) Termoregulasi oleh hipotalamus kurang
efektif, implikasi dari hal ini adalah bahaya kehilangan
panas tubuh (Sunaryo et al., 2018).
8. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia di tandai dengan
menciutnya ovari dan uterus. Terjadi atrofi payudara. Selapu
lendir vagina menurun, permukaan mejadi halus, sekresi
menjadi berkurang, dan reaksi sifatnya menjadi alkali. Pada
laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,
meskipun adanya penurunan berangsur-angsur. Dorongan
seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal kondisi
kesehatan baik), yaitu dengan kehidupan seksual dapat
diupayakan sampai masa lanjut usia. (Azizah, 2017).
B. Perubahan kognitif
1. Memori (Daya ingat,ingatan)
Daya ingat adalah kemampuan untuk menerima,
mencamkan, menyimpan, dan menghadirkan kembali
rangsangan /peristiwa yang pernah dialami seseorang. Pada
lanjut usia, daya ingat (memory) merupakan salah satu
fungsi kognitif yang seringkali paling awal mengalami
penurunan. Lansia akan kesulitan dalam mengungkapkan
kembali cerita atau kejadian yang di alaminya, keadaan ini
sering menimbulkan kesalahpahaman antar keluarga
(Azizah, 2017).
2. IQ ( Intellegent Quocient)
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi
matematika, tetapi persepsi dan daya membayangkan
(fantasi) menurun, sedangkan fungsi intelektual yang
mengalami kemunduran seperti mengingat daftar, memori
berbentuk geometri, kecepatan menemukan kata,
menyelesaikan masalah (Azizah, 2017).
3. Kemampuan Belajar ( Learning)
Menurut Brocklehurst dan Allen (1987) lansia yang sehat
tidak mengalami demensia dan masih memiliki kemampuan
belajar yang baik. Hal ini sesuai dengan prinsip belajar
seumur hidup. Oleh karena itu sudah selayaknya jika mereka
tetap di berikan kesempatan untuk mengembangkan
wawasan berdasarkan pengalaman (Azizah, 2017).

4. Kemampuan pemahaman (Comprehension)


Kemampuan pemahaman pada lansia mengalami penurunan,
hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan fungsi
pendengarannya lansia yang mengalami penurunan. Dalam
pelayanan terhadap lanjut usia agar tidak timbul salah paham
sebaiknya dalam berkomunikasi dilakukan kontak mata
(saling memandang) agar mereka akan dapat lebih mudah
memahami maksud orang lain (Azizah, 2017).
5. Pemecahan masalah ( Problem Solving)
Pada lanjut usia masalah-masalah yang di hadapi tentu
semakin banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah
dapat dipecahkan menjadi terhambat karena terjadi
penurunan fungsi indera pada lanjut usia, penurunan daya
ingat dan pemahaman. Oleh karena itu, maka dalam
pendekatan pelayanan kesehatan jiwa lanjut usia perlu di
perhatikan ratio petugas kesehatan dan pasien lanjut usia
(Azizah, 2017).
6. Pengambilan keputusan ( Decission Making)
Pengambilan keputusan pada lanjut usia sering lambat atau
seolah-olah terjadi penundaan. Oleh sebab itu, mereka
membutuhkan petugas atau pendamping yang dengan sabar
mengingatkan mereka. Keputusan yang di ambil tanpa di
bicarakan dengan mereka akan menimbulkan kekecewaan
dan dapat memperburuk kondisinya. Oleh karena itu dalam
pengambilan keputusan, kaum tua tetap dalam posisi yang
terhormat
7. Kinerja ( Performance)
Pada lanjut usia memang akan terlihat penurunan kinerja
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penurunan itu
bersifat wajar sesuai perubahan organ-organ biologis
ataupun perubahan yang sifatnya patologis
8. Motivasi
Motivasi adalah fenomena kejiwaan yang mendorong
seseorang untuk bertingkah laku demi mencapai sesuatu
yang di inginkan atau yang di tuntut oleh lingkungannnya.
Motivasi dapat bersumber dari fungsi kognitif dan afektif.
Motif kognitif lebih menekankan pada kebutuhan manusia
akan informasi untuk mencapai tujuan tertentu. Motif ini
mendorong manusia untuk lebih belajar dan ingin
mengetahui. Motif afektif lebih menekankan aspek perasaan
dan kebutuhan individu untuk mencapai tingkat emosional
tertentu. Motif ini akan mendorong manusia unntuk mencari
dan mencapai kesenangan dan kepuasaan baik fisik, psikis,
dan sosial. Pada lanjut usia, motivasi baik kognitif maupun
afektif untuk mencapai/memperoleh sesuatu yang cukup
besar, namun motivasi tersebut seringkali kurang
memperoleh dukungan kekuatan fisik maupun psikologis,
sehingga hal ini banyak berhenti di tengah jalan (Azizah,
2017).
9. Perubahan spiritual
Agama dan kepercayaan lansia makin berintegrasi dalam
kehidupannya terutama dalam keagamaannya (Maslow,
1976). Spiritual pada lansia bersifat universal dan
merupakan proses individual yang berkembang sepanjang
rentang kehidupan. Lansia yang telah memperlajari cara
menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme keimanan
yang akhirnya di hadapkan pada tantangan akhir yaitu
kematian. Satu hal yang di ketahui sedikit berbeda dari
orang yang lebih muda yaitu sikap mereka terhadap
kematian. Hal ini menunjukkan bahwa lansia cenderung
tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian
(Azizah, 2017).
10. Perubahan psikososial
a. Pensiun
Pensiun sering dikatakan secara salah dengan kepasifan
atau pengasingan. Dalam kenyataanya pensiun adalah
tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan
perubahan peran yang menyebabkan stress psikososial.
Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan
identitas dikaitkan dengan peran dalam pekerjaan.
Hilangnya kontak sosial dari area pekerjaan membuat
seseorang lansia pensiunan merasakan kekosongan.
Meskipun bahwa pekerjaan yang pension karena alas an
kesehatan (Azizah, 2017).
b. Perubahan aspek kepribadian
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Fungsi kognitif meliputi: proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian, dll. Sementara fungsi
Psikomotorik meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi,
yang berakibat lansia kurang cekatan.Dengan adanya
penurunan kedua fungsi tersebut, lansia mengalami
perubahan kepribadian (Azizah, 2017).
c. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
Akibat kurangnya fungsi indera pendengaran,
penglihatan, gerak fisik, maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia sehingga
menimbulkan keterasingan. Hal ini sebaiknya di cegah
dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas
selama yang bersagkutan masih sanggup, agar tidak
merasakan keasingan. Apabila jika keterasingan terjadi
lansia tersebut akan semakin menolak untuk di ajak
berkomunikasi dengan orang lain (Azizah, 2017)
d. Perubahan minat
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat
seperti: 1) minat terhadap diri sendiri, 2) minat terhadap
penampilan, 3) minat terhadap uang semakin meningkat.
Untuk itu di perlukan motivasi yang tinggi pada lansia
untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar tetap sehat
secara fisik (Azizah, 2017)

1.1.3 Konsep Penyakit/Kasus


A. Pengertian Hipertensi
Writing Group American Society of Hypertension (WG-
ASH) menyatakan, hipertensi adalah penyakit kardiovaskuler yang
kompleks, dimana tidak hanya tekanan darah yang diukur dalam
kisaran normal, tetapi juga apakah ada risikonya misalnya kelainan
fisiologi dan system, dan penyakit kardiovaskuler yang
disebabkan oleh tekanan darah tinggi (Brook, 2005). (Kurnia,
2020)
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling
sering muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Seseorang
dikatakan hipertensi dan beresiko mengalami masalah kesehatan
apabila setelah dilakukan beberapa kali pengukuran, nilai tekanan
darah tetap tinggi, nilai tekanan darah sistolik 140 MmHg ke atas
atau diastolik 90 MmHg ke atas (Tagle, 2018).
Penyakit hipertensi adalah penyakit kronis yang sering
terjadi tanpa gejala dan membutuhkan kontrol yang optimal serta
kepatuhan secara terus-menerus dalam menjalankan terapinya agar
dapat mengurangi resiko kardiovaskular, serebrovaskular dan
ginjal. Hipertensi adalah suatu kondisi dimana tekanan darah
mengalami peningkatan yang terus menerus menyebabkan suatu
organ di dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang
lebih parah, seperti stroke (terjadi di otak dan menyebabkan
kematian yang tinggi), penyakit jantung koroner (kerusakan
pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kiri (terjadi pada
otot jantung) (Moncloa, 2018).

1.1.4 Etiologi
Etiologi dari hipertensi bisa dilihat dari banyak faktor, dengan
penyebab yang tidak dapat diidentifikasi, tetapi beberapa yang
umumnya terlibat berkaitan dengan homeostatik. Tekanan darah akan
tetap tinggi dan terus naik dari waktu ke waktu karna peningkatan
progresif dalam resistansi arteri perifer. Kenaikan terus menerus dalam
resistensi arteri nadalah karna retensi ginjal yang tidak sesuai terhadap
garam dan air atau ketidaknormalan pada dinding pembuluh darah.
Kondisi tingkat keparahan berhubungan langsung dengan adanya
jumlah dan besarnya faktor resiko, lamanya keberadaan faktor resiko,
dan adanya status penyakit yang menyertai. Tingkat keparahan
komplikasi hipertensi meningkat saat tekanan darah baik sistol maupun
diastol meningkat (Moncloa, 2018)
A. Hipertensi Primer
Hipertensi primer (esensial) disebut juga hipertensi
ideopatik akrna tidak diketahui penyebabnya. Faktor yang
mempengaruhinya yaitu: genetik, lingkungan, hiperaktifitas saraf
simpati sistem renin. Angiotensin dan peningkatan Na+Ca
intraseluler. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko: obesitas,
merokok, alkohol dan polistemia
B. Hipertensi Sekunder
Pada klien yang terkena hipertensi dari sebab yang dapat di
diidentfikasi dengan keadaan penyakit atau salah yang spesifik di
diagnosa dengan hipertensi sekunder dan dalam banyak kasus
penyebab utamanya dapat di perbaiki. Oleh karna itu penting untuk
mengisolasi akar permasalah sehingga regimen pengobatan yang
tepat dapat diresepkan. Tingkat keparahan tergantung dari
penyebab pokonya, faktor-faktor personal, lingkungan serta durasi
status penyakit yang menyertai.

1.1.5 Patofisiologi
Pada dasarnya, terjadinya hipertensi disebabkan oleh
peningkatan aktivitas vasomotor sentral dan peningkatan kadar
neropineprin dan plasma, yang menyebabkan tidak berfungsinya
sistem kendali tekanan darah termasuk disfungsi reflek baroreseptor
ataupun kemoreseptor. Epineprin adalah zat yang disekresikan pada
dari saraf simpatis atau ujung saraf vasokontriktor dan langsung
bekerja pada otot polos pembuluh darah yang menyebabkan
vasokontriksi (Guyton, 2019).
Impuls bereseptor menghambat pusat vasokonstriktor di
medulla oblongata dan menstimulasi pusat saraf vagus. Efeknya adalah
memperluas pembulu darah dari seluruh sistem peredaran darah perifer
dan mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi. Oleh karena itu,
stimulasi reseptor dan barorefleksi pada arteri dapat menyebabkan
tekanan darah menjadi turun (Guyton, 2019). Pada saat yang sama,
ketika komposisi kimiawi darah berubah, misalnya, ketika darah
berubah, mekanisme refleks kemoreseptor terjadi, kandungan oksigen
rendah, kandungan karbon dioksida dan hidrogen tinggi, atau nilai pH
turun. Kondisi ini merangsang reseptor kimiawi yang ada di sinus
caroticus dan mengirim rangsangan yang berjalan di sepanjang saraf
dan saraf vagus ke pusat vasomotor di area kompresi atau
vasokonstriktor, yang juga mengandung bagian dari akselerator
jantung, yang di sebut pelepasan stimulus, berjalan dalam saraf
simpatis menuju ke jantung, zona vasokonstriktor mengirimkan
rangsang ke pembuluh darah sehingga menyebabkan kecilnya diameter
pembuluh darah, disfungsi kedua reflek dapat mengakibatkan aktivasi
pusat vasomotor di batang otak . (Nurrahmani, 2019)

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pada awal proses diagnosis, dokter akan menanyakan gejala
yang dialami, riwayat penyakit yang sama dalam keluarga, riwayat
medis penderita, serta obat-obat yang sedang dikonsumsi oleh
penderita. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk
menilai kondisi jantung, paru-paru, serta melihat tanda adanya
pembengkakan pada tungkai dan pergelangan kaki. Guna memastikan
diagnosis, beberapa pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan,
diantaranya:
A. Foto Rontgen dada.
Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya pembengkakan
pada bilik kanan jantung atau pembuluh darah paru-paru, yang
merupakan tanda dari hipertensi pulmonal.
B. Elektrokardiogram (EKG)
Untuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan mendeteksi
gangguan irama jantung.
C. Ekokardiografi.
Ekokardiografi atau USG jantung dilakukan untuk
menghasilkan citra jantung dan memperkirakan besarnya tekanan
pada arteri paru-paru serta kerja kedua bagian jantung untuk
memompa darah.
D. Tes fungsi paru.
Tes fungsi paru dilakukan untuk mengetahui aliran udara yang
masuk dan keluar dari paru-paru, menggunakan sebuah alat yang
bernama spirometer.
E. Kateterisasi jantung.
Tindakan ini dapat dilakukan setelah pasien menjalani
pemeriksaan ekokardiografi untuk memastikan diagnosis hipertensi
pulmonal sekaligus mengetahui tingkat keparahan kondisi ini.
Dengan katerisasi jantung kanan, dokter dapat mengukur tekanan
arteri pulmonal dan ventrikel kanan jantung.
F. Pemindaian.
Pemindaian seperti CT scan atau MRI digunakan untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai ukuran dan
fungsi jantung, penggumpalan pada pembuluh darah, dan aliran
darah pada pembuluh darah paru-paru. V/Q scan atau ventilation-
perfusion scan. Pemindaian ini bertujuan mendeteksi adanya
gumpalan darah yang menyebabkan hipertensi pulmonal. Dalam
pemindaian ini, zat radioaktif khusus akan disuntikkan pada
pembuluh vena di lengan guna memetakan aliran darah dan udara
pada paru-paru.
G. Tes darah.
Untuk melihat keberadaan zat seperti metamfetamin, atau
penyakit lain seperti penyakit hati yang dapat memicu hipertensi
pulmonal.
H. Polisomnografi.
Digunakan untuk mengamati tekanan darah dan oksigen,
denyut jantung, dan aktivitas otak selama pasien tertidur. Alat ini
juga digunakan untuk mengenali gangguan tidur, seperti sleep
apnea. Biopsi paru. Dilakukan dengan cara mengambil sampel
jaringan paru-paru untuk melihat kelainan di paru-paru yang dapat
menjadi penyebab hipertensi pulmonal (Tagle, 2018).
1.1.7 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non farmakologi dan
terapi farmakologi. Terapi non farmakologi berupa modifikasi gaya
hidup meliputi pola diet, aktivitas fisik, larangan merokok dan
pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologis dapat diberikan
antihipertensi tunggal maupun kombinasi. Pemilihan obat anti
hipertensi dapat didasari ada tidaknya kondisi khusus (komorbid
maupun komplikasi) (Adrianus Kosasih, 2019).
A. Non Farmakologi
Terapi non farmakologi untuk penanganan hipertensi berupa
anjuran modifikasi gaya hidup. Pola hidup sehat dapat menurunkan
darah tinggi. Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda pada
pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko komplikasi penyakit
kardiovaskular rendah. Jika dalam 4-6 bulan tekanan darah belum
mencapai target atau terdapat faktor risiko penyakit kardiovaskular
lainnya maka pemberian medikamentosa sebaiknya dimulai.
Rekomendasi terkait gaya hidup adalah sebagai berikut:
1. Penurunan berat badan.
Target penurunan berat badan perlahan hingga mencapai
berat badan ideal dengan cara terapi nutrisi medis dan
peningkatan aktivitas fisik dengan latihan jasmani.
2. Mengurangi asupan garam.
Garam sering digunakan sebagai bumbu masak serta
terkandung dalam makanan kaleng maupun makanan cepat saji.
Diet tinggi garam akan meningkatkan retensi cairan tubuh.
Asupan garam sebaiknya tidak melebihi 2 gr/ hari.
3. Diet
Diet DASH merupakan diet yang direkomendasikan. Diet
ini pada intinya mengandung makanan kaya sayur dan buah,
serta produk rendah lemak. Pemerintah merekomendasikan diet
hipertensi berupa pembatasan pemakaian garam dapur ½
sendok teh per hari dan penggunaan bahan makanan yang
mengandung natrium seperti soda kue. Makanan yang dihindari
yakni otak, ginjal, paru, jantung, daging kambing, makanan
yang diolah menggunakan garam natrium (crackers, kue,
kerupuk, kripik dan makanan kering yang asin), makanan dan
minuman dalam kaleng (sarden, sosis, kornet, buah-buahan
dalam kaleng), makanan yang diawetkan, mentega dan keju,
bumbu-bumbu tertentu (kecap asin, terasi, petis, garam, saus
tomat, saus sambal, tauco dan bumbu penyedap lainnya) serta
makanan yang mengandung alkohol (durian, tape).
1) Olah raga.
Rekomendasi terkait olahraga yakni olahraga secara
teratur sebanyak 30 menit/hari, minimal 3 hari/ minggu.
2) Mengurangi konsumsi alcohol
Pembatasan konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas
per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita dapat
menurunkan hipertensi.
3) Berhenti merokok.
Merokok termasuk faktor risiko penyakit
kardiovaskular. Oleh karena itu penderita hipertensi
dianjurkan untuk berhenti merokok demi menurunkan
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Santoso, 2018).
B. Farmakologi
Pada hipertensi stadium 2 dan juga hipertensi stadium 1 jika
perubahan gaya hidup dalam 4-6 bulan gagal menurunkan tekanan
darah hingga mencapai target. AHA merekomendasikan inisiasi
terapi farmakologis jika : TD ≥140/90 mmHg pada pasien yang
tidak memiliki penyakit kardiovaskular dan memiliki risiko
penyakit kardiovaskular aterosklerosis dalam 10 tahun <10%. TD
≥130/80 mmHg Terdapat penyakit kardiovaskular atau memiliki
risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dalam 10 tahun >10%
Lansia (≥65 tahun) Memiliki penyakit komorbid tertentu (DM,
CKD, CKD paska transplantasi ginjal, gagal jantung, angina
pectoris stabil, penyakit arteri perifer, pencegahan sekunder stroke
lacunar) (Santoso, 2018).
Menurut Adrianus Kosasih, (2019), ada lima golongan obat
anti hipertensi utama yang rutin direkomendasikan yaitu:
1. ACE
2. ARB beta bloker
3. CCB
4. Diuretic

1.2. Pengkajian
Pengkajian dapat dilakukan minimal sekali, tetapi dapat dilakukan
beberapa kali secara teratur, misal setiap jam pada pasien kritis. Tekhnik
pengkajian meliputi :
A. Anamnesa atau wawancara :
1. Keluhan utama :
Tanyakan tentang gangguan terpenting yang dirasakan klien
sehingga perlu pertolongan. Keluhan yang harus diperhatikan antara
lain sesak napas, nyeri dada menjalar ke arah lengan, cepat lelah,
batuk lendir atau berdarah, pingsan, berdebar-debar, dan lainnya
sesuai dengan patologi penyakitnya.
2. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Tanyakan tentang perjalanan penyakit sejak keluhan hingga klien
meminta pertolongan. Misal: Tanyakan sejak kapan keluhan
dirasakan, berapa kali keluhan terjadi, bagaimana sifat keluhan,
kapan dan apa penyebab keluhan, keadaan apa yang memperburuk
dan memperingan keluhan, bagaimana usaha untuk mengatasi
keluhan sebelum meminta pertolongan dan berhasilkan tindakan
tersebut.
3. Riwayat penyakit terdahulu (RPD)
Tanyakan tentang penyakit yang pernah dialami sebelumnya :
Tanyakan apakah klien pernah dirawat sebelumnya, dengan penyakit
apa, pernahkah mengalami sakit yang berat, riwayat tambahan
disesuaikan dengan patologi penyakitnya, riwayat keluarga, riwayat
pekerjaan, riwayat geografi, riwayat alergi, kebiasaan social,
kebiasaan merokok (Nurhidayat, 2019).
4. Aktivitas / istirahat
a. Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
b. Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea
5. Sirkulasi
a. Gejala :
1) Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/
katup dan penyakit serebrovaskuler
2) Episode palpitasi
b. Tanda :
1) Peningkatan tekanan darah
2) Nadi denyutan jelas dari karotis,ugularis,radialis, takikardia
3) Murmur stenosis vulvular
4) Distensi vena jugularis
5) Kulit pucat,sianosis ,suhu dingin (vasokontriksi perifer)
6) Pengisian kapiler mungkin lambat / tertunda
6. Integritas ego
a. Gejala : riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan
pekerjaan).
b. Tanda : letupan suasana hati, gelisah, penyempitan perhatian,
tangisan meledak, otot uka tegang, menghela nafas, peningkatan
pola bicara.
7. Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini (seperti obstruksi) atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu.

8. Makanan / cairan
a. Gejala :
1) Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi
garam, lemak serta kolesterol
2) Mual, muntah dan perubahan berat badan saat ini
(meningkat/turun)
3) Riwayat penggunaan diuretic
b. Tanda :
1) Berat badan normal atau obesitas
2) Adanya edema
3) Glikosuria
4) Neurosensori
B. Pemeriksaan fisik (Chepalokaudal)
 Keadaan Umum :
 KU baik/sedang/lemah
 Kesadaran : Compos Mentis, Apatis, Stupor, Koma
 Vital sign :
 TD : MmHg
RR : x/mnt
N :x/mnt
S : oC
BB/TB :
 Kepala : Bentuk mesosepal ataukah ada kelainan, adakah jejas
 Rambut :
 Telinga :
 Hidung :
 Mata :
 Mulut dan gigi :
 Leher : Kaji adanya pembesaran lnn, kaji adanya JVP (missal
pembesaran lnn (-) peningkatan JVP (-).
 Thoraks : Inspeksi : Lihat adanya jejas, lihat gerak dada dan
pengembangan dada, adakah kelainan, lihat adanya retraksi dada,
sesuaikan dengan alasan masuk. Palpasi : Kaji pengembangan dada,
rasakan adakah perbedaan antara dada kanan dan kiri. Perkusi :
Lakukan perkusi pada semua area paru. Auskultasi: Lakukan
auskultasi pada semua area paru dan jantung (Nurhidayat, 2019).
C. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
Peralatan Pemeriksaan Non Invasive Jantung Peralatan
Pemeriksaan Invasive Jantung: Pemeriksaan Non Invasive, Foto Thorax,
EKG, Treadmill exercise Chest test/Treadmill test, Echocardiography,
Nuclear cardiology, MRI/CT imaging (Nurhidayat, 2019).

1.3. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).
A. Penurunan curah jantung b.d perubahan afterload
B. Nyeri akut b.d peningkatan tekanan vaskuler selebral dan iskemia
C. Risiko jatuh b.d gangguan keseimbangan
D. Gangguan pola tidur b.d kurang kontrol tidur
1.4. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa
No. SLKI SIKI
Keperawatan

1 Penurunan curah Setelah dilakukan Perawatan Jantung


jantung b.d tindakan keperawatan Observasi
perubahan diharapkan curah 1. Identifikasi
afterload jantung meningkat tanda/gejalah primer
dengan kriteria hasil : penurunan curah
1. Tekanan darah jantung (meliputi
membaik dispenea, kelelahan
2. Lelah menurun adema ortopnea
3. Kekuatan nadi paroxysmal
kapiler meningkat nocturnal dyspnea,
peningkatan CPV
2. Identifikasi
tanda/gejalah
sekunder penurunan
curah jantung
(Meliputi
peningkatan berat
badan, hepatomegaly
ditensi vena,
jugularis,palpitasi,ro
nkhi basah, oliguria,
batuk, kulit pucat)
3. Monitor tekanan
darah (termasuk
tekanan darah
ortostatik)
4. Monitor berat badan
setiap hari pada
waktu yang sama
5. Monitor keluhan
nyeri dada (misalnya
intensi, lokasi
radiasi, durasi
presivitasi yang
mengurangi nyeri)
Teraupeutik
6. Berikan diet jantung
yang sesuai ( misalna
batasi asufan kafein,
natrium, kolesterol,
dan makanan tinggi
lemak)
7. Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk
modifiikasi hidup
sehat
8. Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi stress
jika perlu
9. Berikan dukungan
emosional dan
spiritual
Edukasi
10. Anjurkan
beraktivitas fisik
sesuai toleransi
11. Anjurkan
beraktuvitas secara
bertahap
12. Anjurkan berhebti
merokok
Kolaborasi
13. Kolaborasi
pemberian
antiaritmia, jika
perlu

2 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


peningkatan tindakan keperawatan Observasi
tekanan vaskuler diharapkan tingkat 1. Identifikasi skala
selebral dan nyeri menurun nyeri
iskemia dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi
a. Keluhan nyeri pengetahuan dan
menurun keyakinan tentang
b. Frekuensi nadi nyeri
membaik 3. Identifikasi pengaruh
c. Kesulitan tidur nyeri terhadap
menurun kualitas hidup
d. Tekanan darah 4. Monitor keberhasilan
membaik terapi komplementer
yang sudah diberikan
5. Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Teraupeutik
6. Berikan terapi non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri
7. Fasilitasi istrahat dan
tidur
Edukasi
8. Jelaskan penyebab,
priode, dan pemicu
nyeri
9. Jelaskan strategi
meredahkan nyeri
10. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
11. Ajarkan teknik
nonfarmakoogis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
12. Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu

3 Risiko jatuh b.d Setelah dilakukan Edukasi Pencegahan


gangguan tindakan keperawatan Jatuh
keseimbangan diharapkan tingkat 1. Identifikasi
jatuh menurun gangguan kognitif
dengan kriteria hasil : dan fisik
1. Risiko jatuh saat memungkinkan jatuh
berdiri menurun 2. Ajarkan
2. Risiko jatuh saat mengidentifikasi
duduk menurun perilaku dan factor
3. Risiko jatuh saat yang berkontribusi
dikamar mandi terhadap risiko jatuh
menurun dan cara mengurangi
4. Risiko jatuh saat semua semua factor
membungkuk risiko
menurun 3. Ajarkan
mengidentifikasi
tingkat kelemahan,
cara berjalan, dan
keseimbangan
4. Jelaskan pentingnya
alat bantu jalan
untuk mencegah
seperti tongkat

4 Gangguan pola Setelah dilakukan Dukungan Tidur


tidur b.d kurang tindakan keperawatan Observasi
kontrol tidur diharapkan pola tidur 1. Identifikasi pola
membaik dengan ktivitas dan tidur
kriteria hasil : 2. Identifikasi factor
1. Keluhan sulit penganggu tidur
tidur menurun Fisik/ psikologis)
2. Keluhan tidak 3. Identifikasi makanan
puas tidur dan minuman yang
menurun menganggu tidur
3. Keluhat pola tidur Teraupeutik
berubah menurun 4. Modivikasi
lingkungan
4. Kemampuan (misalnya
beraktivitas pencahayaan,
meningkat kebisingan, suhu,
matras, dan tempat
tidur)
5. Batasu waktu tidur
siang, jika perlu
6. Fasilitasi
menghilangkan
stress sebelum tidur
Edukasi
7. Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
8. Anjurkan
menghindari
makanan/minuman
yang menganggu
tidur
9. Ajarkan relaksasi
ototautogenik atau
cara nonfarmakologi
lainnya.
1.5. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan, tahap ini
muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Implementasi
terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan
keperawatan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi
(Debora, 2017).

1.6. Evaluasi
Evaluasi adalah proses keberhasilan tindakan keperawatan yang
membandingka antara proses dengan tujuan yang telah ditetapkan, dan
menilai efektif tidaknya dari proses keperawatan yang dilaksanakan serta
hasil dari penilaian keperawatan tersebut digunakan untuk bahan perencanaan
selanjutnya apabila masalah belum teratasi.
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan guna tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan
tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang
dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pasien (Dinarti &Muryanti, 2017)
Menurut (Asmadi, 2008) terdapat 2 jenis evaluasi :
A. Evaluasi formatif (proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanaan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data
hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data dengan teori dan
pelaksanaan.
B. Evaluasi Sumatif (Hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir pelayanan, menanyakan respon klien
dan keluarga terkait pelayanan keperawatan, mengadakan pertemuan
pada akhir layanan. Adapun tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait
dengan pencapaian tujuan keperawatan pada tahap evaluasi meliputi:
1) Tujuan tercapai/masalah teratasi : jika klien menunjukan perubahan
sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian/masalah sebagian teratasi : jika klien
menunjukan perubahan sebagian dari kriteria hasil yang telah
ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai/masalah tidak teratasi : jika klien tidak
menunjukan perubahan dan kemajuan sama sekali yang sesuai dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan dan atau bahkan timbul
masalah/diagnosa keperawat.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianus Kosasih. (2019). Penatalaksanaan hipertensi 2019 (Antonia, Ed.).


Jakart: SH.

Azizah, L. M. R. (2017). Keperawatan Lanjut Usia (Edisi 1). Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Debora. (2017). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba


Medika.

Ekasari, Riasmini & Hartini, 2019. Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia: Konsep
& Berbagai Strategi Intervensi. Wineka Media; Malang.

Moncloa, A. B. (2018). Redefinición de la hipertensión arterial SIMPOSIUM


Redefinition of high blood pressure. 64(2), 191–196.

Rekawati dkk, 2019. Model Keperawatan Keluarga Santun Lansia dalam Upaya
Peningkatan Kualitas Asuhan Keluarga pada Lansia: A Literature Review.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes; Volume 10, Nomor 3.

Suarjana. (2018). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.

Tagle, R. (2018). Arterial Hypertension Diagnosis. Revista Clínica Las Condes,


29(1), 12–20. https://doi.org/10.1016/j.rmclc.2017.12.005

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Defenisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Defenisi dan Kriteria Hasil Keperwatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Yanti & Vera, 2020. Penyuluhan Cara Penggunaan Obat Hipertensi secara
Benar Kepada Lansia di Desa Labuhan Labo. Jurnal Education and
Development; Vol.
Pathway

Genetik Respon neurologi


Terhadap stres

Stres lingkungan Hipertensi Elastisitas diding


primer aorta menuru, katub
jantung menebal, dan
Kebiasaan hidup
kaku, kemampuan
Kipertrofi menurun, hilangnnya
ventrikel kiri elastisitas pembuluh
Merokok, alkohol,
konsumsi garam darah
berlebihan
Terbatasnya
aliran darah
Hipertensi
koroner
sekunder

Iskemik
miokard Peningkatan
vaskuler serebral

MK. Penurunan
curah jantung MK. Nyeri akut

Suplai keotak Kurangnya


menurun suplai O2 ke
jaringan

MK. Resiko
ketidak efektifan
Kelemahan
perfusi jaringan
umum
otak

MK. Intoleransi
aktivitas

Anda mungkin juga menyukai