Anda di halaman 1dari 11

Strategi mengelola konflik organisasi dan negosiasi

a. Strategi mengelola konflik organisasi


Ketika terjadi konflik dalam organisasi tidak semuanya harus dimaknai dengan
permusuhan atau pertikaian. Konflik tersebut juga dapat bermakna sebagai kompetisi,
tegangan (tension), atau ketidaksepahaman (Dalimunthe, 2017). Manjemen konflik
bertugas sebagai untuk memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat
konflik yang merugikan. Dalam proses terjadinya interaksi dalam organisasi
memungkinkan apabila terjadi ketidaksesuaian atau ketidakcocokan antara anggota.
Banyak yang melatarbelakangi terjadinya konflik dalam organisasi, antara lain perbedaan
sifat, perbedaan kepentingan, komunikasi yang buruk, dll. Perbedaan inilah yang mampu
menempatkan suatu organisasi mengalami konflik. Agar suatu organisasi mampu
berkolaborasi dan bekerja secara efektif, maka diperlukan adanya hubungan kerja yang
mendukung antar satu sama lain menuju pencapaian organisasi. Namun, suatu konflik
dalam organisasi dapat menjadi masalah yang serius apabila konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa adanya usaha dalam menyelesaikan. Jika hal terebut terjadi maka hal
tersebut menjadi tanda bahwa manajemen organisasi tidak berfungsi dengan baik. Oleh
karena itu, keahlian dalam mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pemimpin
atau manajer organisasi.
Strategi mengelola konflik organisasi:
1. Akomodasi, yaitu menerima keberadaan konflik yang sedang terjadi di dalam
organisasi (dihindari, ditekan, atau didiamkan).
2. Klarifikasi, yaitu mengidentifikasi karakteristik dan struktur dari konflik yang
sedang terjadi.
3. Evaluasi konflik, yaitu melakukan evaluasi terhadap konflik dengan
menggunakan manajemen konflik. Apabila konflik tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap organisasi (masalah kompleks) maka akan
dilanjutkan ke proses berikutnya, namun jika tidak hal tersebut akan
diberhentikan atau tidak ditindak lanjuti.
4. Menentukan aksi tindakan, yaitu memutuskan tindakan yang akan dilakukan
untuk mengelola konflik dalam organsiasi. Penentuan peran juga dilakukan
sebagai cara untuk menentukan peran dari perencana sebagai partisipan atau
pihak ketiga dalam mengelola organisasi. Keseluruhan strategi tersebut
berlangsung dalam konteks dan pengelolaan konflik, baik dalam segi mediator
maupun antarpihak yang memiliki andil dalam mengelola konflik.

Konflik dalam organisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu konflik fungsional
dan konflik disfungsional. Konflik fungsional merupakan konflik yang
mendukung pencapaian dalam tujuan kelompok atau organisasi. Sedangkan
konflik disfungsional adalah konflik yang menghambat atau merintangi
pencapaian organisasi. Batas yang menentukan antara konflik fungsional dan
disfungsional sering dinilai tidak tegas atau kabur. Suatu konflik mungkin akan
dinilai fungsional bagi organisasi tertentu, namun dinilai tidak fungsional bagi
organisasi lain. Kriteria yang dapat digunakan dalam menilai suatu konflik adalah
dampaknya terhadap organisasi tersebut. Jika adanya suatu konflik mampu
meningkatkan kinerja organisasi maka konflik tersebut akan dinilai sebagai
konflik fungsional. Namun, jika konflik tersebut hanya bisa memuaskan satu
pihak atau individu dalam organisasi tersebut dan menurunkan kinerja dari
organisasi tersebut maka konflik tersebut dinilai sebagai konflik disfungsional.

Terdapat beberapa strategi dalam mengantisipassi konflik dalam organisasi,


yaitu:

1. Pendekatan birokratis
Konflik yang muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi
secara vertikal, pemimpin akan cenderung memakai struktur hirarki dalam
hubungannya secara otokritas. Konflik biasanya terjadi karena pemimpin
berupaya mengontrol segala aktivitas pekerjanya. Oleh karena itu, strategi
pemecahan masalah ini biasanya digunakan sebagai pengganti dari aturan-
aturan birokratis untuk mengontrol pekerjanya. Pendekatan birokratis
dalam organisasi bertujuan untuk mengatisipasi adanya knflik secara
vertikal.
2. Pendekatan intervensi otoritatif dalam konflik lateral
Apabila terjadi konflik lateral, maka biasanya akan diselesaikan oleh
pihak-pihak yang terlibat oleh konflik. Kemudian apabila konflik tersebut
ternyata juga tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, maka biasanya
pemimpin atau manajer akan melakukan intervensi secara otoratif kepada
kedua belah pihak.
3. Pendekatan sistem
Pendekatan sistem adalah pendekatan yang mengkoordinasikan masalah-
masalah konflik yang muncul. Model pendekatan ini biasanya
menekankan pada masalah-masalah yang bersifat kompetisi. Pendekatan
ini menenkankan pada hubungan lateral dan horizontal.
4. Reorganisasi structural
Cara pendekatan ini dapat melalui pengubahan sistem utnuk melihat
kemungkinan terjadinya reorganisasi struktiral, guna meluruskan
perbedaan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai oleh kedua pihak.
Misalnya, kedua pihak membuat semacam wadah baru dalam organisasi
untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai adanya akibat saling
ketergantungan tugas dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang
berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur atau kurang jelas.

b. Negosiasi
Negosiasi merupakan suatu metode yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah
konflik dalam organisasi (Edi Santoso, 2016). Menurut Ivanccvich (2009) negosiasi
adalah sebuah proses dimana kedua belah pihak atau lebih yang memiliki perbedaan
pendapat berusaha mencapai sebuah kesepakatan. Selain itu, menurut Robbins (2007)
negosiasi adalah sebauh proses dimana kedua belah pihak atau lebih melakukan
pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai-nilai tukarnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah sebuah proses dimana dua pihak
atau lebih mencari kesepakatan dari adanya perbedaan pendapat yang berbeda-beda.
Negosiasi dilakuka atas dasar tawar menawar, dimana tawar menawar memiliki dua jenis,
yaitu tawar-menawar distrubtif dan tawar menawar integrative.
Tawar-menawar distributif Tawar-menawar integratif
Tujuan Negosiasi yang berusaha membagi Negosiasi yang didasarkan pada
sesuatu atau sumber daya yang asumsi bahwa terdapat satu
jumlahnya tetap. penyelesaian atau lebih yang dapat
menciptakan keuntungan bagi
masing-masing pihak.
Motivasi Menang-kalah Menang-menang
Fokus Mengambil alih posisi Kepentingan bersama
Kepentingan berlawanan Selaras
Tingakat berbagi  Rendah  Tinggi
informasi  Berbagi informasi hanya  Berbagi informassi akan
akan membuat pihak lain sangat memungkinkan bagi
akan mengambil masing-masing pihak untuk
keuntungan dari salah satu menemukan cara yang akan
pihak. memuaskan kepentingan
kedua pihak.
Lama hubungan Jangka pendek Jangka Panjang

Proses dalam negosiasi terdapat beberapa tahap yang perlu diperhatikan:

1. Persiapan dan perencanaan


Tahap pertama sebelum dilakukan negosiasi ke dua pihak atau lebih harus
mengetahui apa tujuan dari mereka melakukan negosiasi dan memprediksi hasil yang
mungkin akan diperoleh dari yang terbaik hingga terburuk.
2. Definisi aturan-aturan dasar
Kedua belah pihak atau lebih menentukan prosedur dan aturan-aturan dasar untuk
negosiasi. Seperti tempat yang akan digunakan untuk negosiasi, siapa yang
melakukan perundingan, persoalan yang akan dibahas, dan prosedur-prosedur
lainnya. Dalam fase ini para pihak juga akan melakukan pertukaran proposal atau
tuntutan awal yang perlu mereka negosiasikan.
3. Klarifikasi dan justifikasi
Setelah melakukan tahap-tahap sebelumnya maka kedua pihak harus bisa
memberikan pemaparan, penjelasan, menguatkan, mempertahankan, mengklarifikasi,
dan menjustifikasi tuntutan awal.
4. Negosiasi dan pemecahan masalah
Tahap ini akan terjadi proses tawar-menawar dan mencari solusi terbiaik dari hasil
negosiasi yang telah dilakukan oleh kedua pihak atau lebih.
5. Penutupan dan implementasi
Dalam tahap ini akan terjadi formalisasi kesepakatan yang telah dibuat berdasarkan
hal negosiasi, setelah itu akan dilakukan penyusunan prosedur untuk melaksanakan
hasil dari negosiasi tersebut dan akan dilakukan pengawasan dalam pelaksanaannya.
Hal-hal yang mempengaruhi negosiasi, yaitu:
1. Kepribadian
Kepribadian seseorang cukup memberikan pengaruh kepada seseorang dalam
bernegosiasi. Contohnya pada individu yang memiliki kepribadian extrovert
biasanya mereka akan memberikan informasi yang terlalu banyak daripada
seharusnya. Hal ini disebabkan karena individu yang extrovert memiliki sifat
ramah dan selalu ingin membina hubungan yang baik dengan orang-orang
sekitarnya.
2. Emosi (mood emotion)
Pada negosiasi distributive, jika kedua pihak yang bernegosiasi memiliki status
yang sama maka cenderung akan menunjukkan emosi atau marah. Namun, Ketika
bernegosiasi dengan pihak yang lebih tinggi, seperti atasan atau seseorang yang
memiliki kekuasaan lebih besar, akan lebih baik jika tidak mengeluarkan emosi
atau amarah. Hal tersebut akan menghasilkan kebalikannya. Selain itu, hal
tersebut akan mempengaruhi terhadap keputusan yang kurang baik. Sedangkan
pada negosiasi integrative, emosi yang positif akan mengahasilkan keputusan
yang lebih baik. Hal tersebut karena suasan hati yang positif akan mengarah ke
arah yang positif.
3. Culture (kebudayaan)
Perbedaan budaya juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang
dalam melakukan negosiasi. Hal tersebut dikarenakan kebudayaan memiliki nilai
dan kebiasaan yang berbeda jika dibandingkan dengan kebudayaan yang lain.
4. Gender
Misalnya, terdapat stereotype dimana wanita dipandang lebih kooperatif dalam
melakukan negosiasi dibandingkan dengan laki-laki. Walaupun jika dibandingkan
sebenarnya antar laki-laki dan wanita memiliki potensi yang sama. Sebenarnya
yang membedakan kedua gender tersbeut adalah adanya perbedaan hasil atau nilai
dari yang mereka harapkan. Seperti, seorang wanita akan menganggap hubungan
baik dengan rekan kerjanya lebih penting jika dibandingkan dengan kenaikan gaji.

Strategi mengelola konflik individu dan antarindividu


Konflik yang terjadi pada individu biasanya dilatarbelakangi adanya masalah
atau stress di luar organisasi, misalnya adanya kekhawatiran finansial, masalah
keluarga, masalah pernikahan, dll. Bagi individu yang mengalami konflik, penting
dilakukannya pendekatan karena stress dapat mempengaruhi produktivitas kerja.
Perbedaan pendekatan individu dengan organisasi tidak dapat dibedakan secara
tegas, namun pengurangan tingkat stress dapat dilakukan pada tingakt individu
maupun organisasi, yaitu:
1. Pendekatan individu
 Meningkatkan keimanan
 Melakukan meditasi atau mengatur pernapasan
 Melakukan kegiatan olahraga
 Melakukan dukungan sosial dari keluarga atau teman-teman
 Melakukan variasi kebiasaan sehingga terhindar dari perasaan
bosan.
2. Pendekatan perusahaan
 Melakukan perbaikan iklim kerja menjadi lebih kondusif.
 Melakukan perbaikan lingkungan fisik saat bekerja.
 Menyediakan saran dan prasarana olahraga.
 Melakukan analisis kejelasan dalam pelaksanaan tugas.
 Melakukan peningkatan partisipasi bagi setiap individu dalam
proses pengambilan keputusan.
 Melakukan restrukturisasi dalam tugas.
 Menerapkan konsep manajemen yang berdasarkan sasaran

Konflik dalam diri individu merupakan konflik internal yang terjadi pada diri
seseorang (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi apabila individu
mengalami ketidakpastian tentang pekerjaan yang diharapkan atau individu
tersebut harus memilih tujuan yang saling bertentangan (Dina Amalia, 2016).
Terdapat tiga tipe konflik pada tingkat individu:
1. Approach-approach conflict (konflik mendekat-mendekat)
Konflik ini meliputi situasi yang mampu membuat seseorang harus memilih
antara dua macama alternatif positif yang masing-masing memiliki daya tarik
yang sama. Misalnya, pada seseorang yang harus memilih menerima sebuah
promosi yang cukup dihargai dalam organisasi atau menerima pekerjaan baru
yang sangat menarik dan ditawarkan oleh perusahaan lain.
2. Avoidance-avoidance conflict (konflik menghindari-menghindari)
Konflik ini menciptakan sebauh situasi yang mengharuskan seseorang untuk
memilih dua macam alternatif negative yang keduanya tidak memiliki daya
Tarik. Misalnya, Ketika seorang pekerja dihadapkan pada pilihan bahwa dia
akan dipindahkan ke kota lain yang lokasinya cukup jauh atau di-PHK oleh
tempat dia berkerja.
3. Approach -avoidance conflict (konflik pendekatan-menghindari)
Konflik ini meliputi sebuah situasi yang membuat seseorang harus mengambil
keputusan dengan konsekuensi yang postif atau negatif. Misalnya, pada
seorang pekerja yang diberi tawaran promosi yang bergaji besar, namun
mengandung tanggung jawab yang sangat besar.
Konflik antarindividu atau interpersonal conflict memiliki sifat subsatnsif,
emosional, atau bahkan keduanya. Konflik ini dapat terjadi apabila ketika ada
perbedaan tentang suatu isu, tindakan, kepribadian, atau tujuan dalam sebuah
oraganisasi. Dalam jenis konflik ini, kerja sama dalam organisasi atau hasil
bersama sangatlah memnetukan. Karena konflik ini mampu memberikan
dampak pada organisasi baik kecil atau besar.

Dalam mengelola konflik antarindividu, sering digunakan model dimension of


conflict handling intention dari K.Thomas, yaitu (Hapsari, 2016):
1. Competing, hal ini terjadi Ketika setiap orang yang berusaha dalam
memuaskan keinginannya tanpa adanya prediksi dari akibat yang akan
ditimbulkan oleh pihak lain. Sehingga, dalam competing ini tiap individu
memiliki sifat yang agresif. Oleh karena itu, pada pengelolaan konflik
dnegan cara competing ini harus ada salah satu pihak yang mengalah dan
mengorbankan tujuannya demi tercapainya tujuan pihak lain atau
sebaliknya.
2. Collaborating, dalam situasi dimana pihak-pihak yang memiliki konflik
menginginkan tercapainya tujuan masing-masing, untuk itu dilakukan
Kerjasama atau kolaborasi agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai.
3. Avoiding, yaitu keinginan untuk menarik diri atau menghindari dari
terjadninya konflk yang sedang terjadi. penghindaran ini umumya tidak
menyelesaikan masalah, karena apabila penghindaran dilakukan sebelum
terdjadinya konflik maka akan membuat individu mempunyai rasa
tertekan. Hal tersebut terjadi karena individu tersebut tidak mau
mengungkapkan apa yang dirasakan dalam pikirannya. Sementara itu,
penghindaran yang dilakukan Ketika konflik sudah terjadi akan
menyebabkan konflik semakin berlarut-larut.
4. Accommoding, terdapat kemauan dari satu phak yang berkonflik untuk
mendahulukan tercapainya tujuan dari individu lain.
5. Compromising, yaitu adanya situasi dimana masing-masing pihak yang
berkonflik mau mengalah demi tercapainya tujuan bersama. Dalam
pengelolaan konflik compromising ini diharapkan agar tidak ada pihak
yang kalah atau menang, namun masing-masing pihak diharapkan mampu
menemukan satu kesepakatan bersama.
Sedangkan menurut Wijono (1993), untuk mengatasi dan mengelola
konflik dalam diri antarindividu diperlukan minimal tiga strategi, yaitu
(Amalia, 2018):
1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Strategi ini berorientasi pada dua individu yang sama-sama kalah.
Biasanya individu yang mengalami konflik akan mengambil jalan
tengah/berkompromi atau bisa saja membayar sekelompok orang yang
terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang ketiga sebagai
penengah. Dalam strategi ini, konflik bisa diselesaikan dengan
melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan
buntu.Maka, Ketika hal tersebut terjadi, pihak ketiga akan dipanggil
untuk campur tangan. Terdapat dua tipe utama dalam camour tangan
pihak ketiga:
a. Arbitrasi
Arbitrasi merupakan prosedur dimana pihak ketiga mendengarkan
kedau pihak yang mengalami konflik. Pihak ketiga bertindak
sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaikan
konflik melalui suatu perjanjian yang bersifat mengikat.
b. Mediasi
Mediasi atau mediator digunakan untuk menyelesaikan konflik,
seorang mediator tidak berwenang secara langsung terhadap pihak-
pihak yang mengalami konflik. Selain itu, rekomendasi atau saran
yang diberikan oleh mediator bersifat tidak mengikat.
2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam startegi ini menekankan bahwa aadanya salah satu pihak yang
akan menang dan kalah. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah atau konflik dengan win-lose strategy dapat
melalui cara sebagai berikut:
a. Penarikan diri, yakni proses penyelesaian konflik antara dua atau
lebih pihak yang terlibat dan mengalami ketidakpuasan sebagai
adanya akibat dari ketergantungan tugas.
b. Taktik-taktik pengahalusan dan damai, yakni dengan melakukan
tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari
terjadinya konfrontasi karena adanya perbedaan atau kekaburan
dalam batas-batas bidang kerja.
c. Taktik Paksaan dan penekanan, yakni menggunakan kekuasaan
yang bersifat formal dengan menunjukkan kekuatan melalui sikap
otoriter karena adanya pengaruh sifat-sifat individualis.
d. Taktik yang berorientasi pada negosiasi (tawar-menawar) dan
pertukaran persetujuan, sehingga tercapainya suatu kompromi
yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian konflik ini dipandang lebih manusiawi, karena
menggunakan segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam
usaha untuk menciptakan relasi komunikasi dan interkasi yang dapat
membuat pihak yang berkonflik saling merasa diuntungkan atau aman
dari ancaman, merasa dihargai, sehingga mampu menciptakan suasana
yang kondusif. akhirnya, akan memperoleh kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam usaha
menyelesaikan konflik. Terdapat 2 cara di dalam strategi ini yang
dapat digunakan sebagai alternatif pemecahan konflik antarindividu:
a. Pemecahan masalah terpadu, yaitu usaha dalam menyelesaikan
masalah secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
dari kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antarpihak, yaitu dalam penyelesaian melalui
proses konsultasi. Umunya, proses ini akan ditangani oleh
konsultan yang mana keduanya tidak mempunyai kewenangan
untuk menyelesaiakn konflik dengan kekuasaan.
References
Amalia, D. (2018). Pengelolaan Konflik Secara Positif Bagi Individu Maupun Organisasi.

Dalimunthe, S. F. (2017). Manajemen Konflik Dalam Organisasi. 14.

Dina Amalia, E. D. (2016). Konflik Dan Negosiasi.

Edi Santoso, L. B. (2016). Manajemen Konflik.

Hapsari, I. M. (2016). KONFLIK ANTAR INDIVIDU DAN PENGARUHNYA PADA EFEKTIFITASNYA TIM. 14.

Anda mungkin juga menyukai