Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

“PREMENSTRUAL DYSPHORIC DISORDER (PMDD)”

Disusun Oleh:
Tiyar Pramawita Andini

201670006

Pembimbing:
dr. Rosalina Asrawaty, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Lengkap Mahasiswa : Tiyar Pramawita Andini

Nomor Induk Mahasiswa : 201670006

Jurusan : Program Pendidikan Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Papua

Bagian Pendidikan : Ilmu Kesehatan Jiwa

Judul Refarat Kedokteran : Premenstrual Dysphoric disorder (PMDD)

Pembimbing : dr. Rosalina Asrawaty, Sp.KJ

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Rosalina Asrawaty, Sp.KJ

ii
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN COVER...................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................5
2.1 Definisi................................................................................................................................5
2.2 Epidemiologi.................................................................................................................5
2.3 Faktor Risiko.................................................................................................................6
2.4 Patofisiologi...................................................................................................................6
2.5 Diagnosis.......................................................................................................................9
2.6 Diagnosis Banding.......................................................................................................10
2.7 Tatalaksana..................................................................................................................11
2.8 Komplikasi...................................................................................................................12
2.9 Prognosis.....................................................................................................................13
2.10 Pencegahan..................................................................................................................13
BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................................................14
REFERENSI...............................................................................................................................15
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menstruasi merupakan siklus pendarahan yang tiap bulan dialami oleh para wanita.
Menstruasi normalnya terjadi selama 3 hingga 7 hari dengan siklus yang umumnya terjadi dalam
28 hari.Wanita bisa jadi sangat sensitif sebelum menstruasi bahkan selama masa menstruasi.
Mood wanita bisa tiba-tiba berubah, kadang merasa sedih, senang, bahkan menangis. Biasanya
wanita menyebutnya dengan PMS (Pramenstruasi). 20% – 40% wanita mengalami gejala
pramenstruasi sedang hingga berat (PMS) dan 3% – 8% lainnya mengalami gejala yang lebih
parah dari PMS, yaitu premenstrual dysphoric disorder (PMDD).1

Meskipun gejala pramenstruasi telah diakui sejak lama, namun seiring berjalannya waktu
dan perkembangan ilmu pengetahuan terdapat kriteria diagnostik yang telah ditentukan baru -
baru ini untuk gangguan pramenstruasi yang telah berubah secara signifikan selama bertahun -
tahun, berevolusi dari "menstruasi moodiness" pada abad ke -18 menjadi "ketegangan
pramenstruasi" pada awal abad ke -19 hingga akhirnya "sindrom pramenstruasi" pada 1950 -an.
Pada saat ini istilah yang cukup umum disebut dengan sindrom pramenstruasi (PMS) kemudian
Pramenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) yang menyumbang bentuk PMS paling parah dengan
gangguan terbesar fungsi wanita dan kualitas hidup yang dirasakan, serta sering memicu pasien
wanita untuk mencari pengobatan.1

Walaupun telah diketahui beberapa faktor penyebab hingga terapi untuk PMDD dalam
beberapa tahun terakhir, namun PMDD seringkali masih sulit untuk terdiagnosis, sehingga
penting untuk kita mengetahui lebih dalam lagi terkait Pramenstrual Dysphoric Disorder
PMDD.1
5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) gangguan disforik pramenstruasi adalah
gangguan mood yang disebabkan oleh hormon yang dapat terjadi berulang. Sama seperti PMS,
PMDD terjadi selama masa pramenstruasi dan umumnya berlangsung hingga saat menstruasi
dimulai. PMDD tidak seumum PMS, kondisi ini hanya menyerang kurang lebih 3-8% wanita
usia reproduksi. Pada wanita yang mengalami PMDD, gejalanya akan lebih parah dari PMS,
terutama gejala yang bersifat psikologis. PMDD biasanya memberikan gejala gangguan
fungsional dan social yang lebih parah dan sangat mempengaruhi kualitas hidup dan
kesejahteraan, PMDD jauh lebih mungkin mengganggu aktivitas sehari-hari penderitanya.
PMDD berkaitan dengan siklus menstruasi, namun bukan merupakan masalah
ketidakseimbangan hormon. PMDD merupakan reaksi negatif yang cukup parah terhadap
kadar hormon estrogen dan progesteron yang naik turun secara alami selama siklus menstruasi.
PMDD tidak terjadi pada setiap siklus, namun cukup sering terjadi dan terkadang beberapa
siklus menunjukkan gejala yang lebih parah dari yang lain. Selama kehamilan dan setelah
menopause, gejala PMDD tidak lagi muncul.1-3

2.2 Epidemiologi
Gejala pramenstruasi dapat mempengaruhi semua wanita usia reproduksi, mulai dari
menarche hingga menopause. Gejala pramenstruasi adalah masalah umum bagi wanita dalam
kelompok usia reproduksi. Di Amerika Serikat, sekitar 70 hingga 90% wanita dalam kelompok
usia reproduksi melaporkan setidaknya beberapa ketidaknyamanan pramenstruasi. Sekitar
sepertiga dari wanita ini memiliki gejala yang cukup baik untuk memenuhi syarat untuk
diagnosis PMS. Bentuk paling parah dari gejala pramenstruasi yaitu PMDD telah dicatat
sekitar berjumlah 3% hingga 8% dari kasus PMS ini. Dalam sebuah studi oleh Halbreich et al.,
mengatakan wanita di AS memiliki sekitar 481 siklus menstruasi selama hidupnya. Dengan
mempertimbangkan 22 bulan selama dua periode kehamilan dan postpartum, diperkirakan
wanita mengalami 459 siklus selama tahun -tahun yang melahirkan anak. Wanita AS dengan
PMDD mengalami rata -rata 6,4 hari gejala parah per siklus menstruasi, hal ini kira -kira setara
dengan 8 tahun gejala melemahkan sepanjang siklus menstruasi. Dengan angka -angka
tersebut akhirnya mengarah pada kepastian bahwa PMS atau PMDD dapat menyebabkan
tekanan dan gangguan fungsional selama durasi yang signifikan dari reproduksi wanita,
menjadikannya masalah kesehatan yang penting.1
Prevalensi PMDD di seluruh Indonesia hingga kini belum diketahui, namun berdasarkan
hasil analisa data pada remaja di Yogyakarta didapatkan hasil remaja yang mengalami gejala
PMS sebanyak 99 remaja atau 42,5% dan yang mengalami gejala PMDD sebanyak 55 remaja
6
atau 23,6%. Gejala fisik yang paling banyak dialami remaja adalah nyeri otot dan persendiaan
sedangkan pada gejala psikologis dan tingkah laku yang paling banyak dialami remaja adalah
mudah marah. Gejala yang dialami remaja mengganggu belajar sehingga 52,8% remaja tidak
dapat mengikuti pelajaran secara efektif.4

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko yang terbukti:1,
 Peristiwa traumatis masa lalu Peristiwa traumatis dan gangguan kecemasan
yang sudah ada adalah faktor risiko untuk pengembangan PMDD. Mekanisme
yang mendasarinya tidak diketahui, membuat penyelidikan lebih lanjut
diperlukan.
 Merokok: Ada hubungan kuat dari bentuk PMS sedang hingga berat dengan
status merokok saat ini dibandingkan dengan non-perokok (risiko relatif [RR]
2.1). Risiko meningkat bahkan untuk mantan perokok (RR 1.8), dan risiko PMS
cenderung meningkat dengan jumlah merokok (RR 1,93 selama 20 slop/tahun).
Selanjutnya, risiko oPMDD secara signifikan lebih tinggi untuk wanita yang
mulai merokok selama masa remaja.
 Obesitas: Risiko PMS meningkat secara signifikan pada wanita dengan BMI di
atau lebih tinggi dari 27,5 dibandingkan dengan wanita dengan BMI kurang dari
20,0 kg/m2. RR pada wanita dengan BMI 35,0 kg/m2 adalah 1,66.

Faktor Risiko Spekulatif


 Genetika: Studi kembar telah melibatkan faktor yang diwariskan dalam
pengembangan PMS/PMDD. Studi terbaru telah memberikan dukungan untuk
keterlibatan gen yang mengkode reseptor 5HT1A serotonergik dan varian alelik
gen alfa reseptor estrogen (ESR1) dalam pengembangan PMS/PMDD.

2.4 Patofisiologi1,2,5,6

Bukti terbaru dari penelitian penelitian menunjukkan bahwa pola pelepasan hormon
reproduksi adalah hal normal pada wanita dengan PMS/PMDD, tetapi mereka memiliki
sensitivitas yang meningkat terhadap variasi siklus dalam kadar hormon reproduksi yang
membuat mereka mengalami suasana hati, perilaku, dan gejala somatik.
7
Peran Steroid Seks

 Progesteron
Banyak ilmuwan telah mengatakan bahwa gejala PMS/PMDD berkembang karena
penurunan progesteron pada fase luteal akhir yang menyebabkan perubahan SSP
dalam asam gamma-aminobutyric (GABA) dan metabolit progesteron yang
berinteraksi dengan kompleks reseptor GABA-A. Namun, ada beberapa ilmuwan lain
yang menentang hipotesis ini dengan menyatakan bahwa pada banyak wanita gejala
dapat dimulai pada ovulasi dan fase luteal awal sebelum penurunan tingkat
progesteron. Untuk mendukung teori tersebut, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa siklus hormonal dapat disupresi atau dikurangi dengan pemberian terapi
dengan hormone gonad-releasing hormone, dan pajanan ulang terhadap progesterone
akan Kembali menimbulkan gejala walaupun hormonnya stabil. Selain itu, teori yang
telh disampaikan diatas bahwa progesterone merupakan factor pemicu PMS sehingga
penggunaan progesterone selama fase PMS/ luteal dianggap sebagai terapi yang
efektif merupakan teori yang kurang tepat.

 Allopregnanolone
Allopregnanolone adalah metabolit progesteron, sperti progesteron, kadar metabolit
ini juga berfluktuasi selama siklus menstruasi. Seperti yang disebutkan, metabolit
progesteron berinteraksi dengan kompleks reseptor GABA-A dan allopregnanolone
secara khusus mempotensiasi respons penghambatan terhadap agonis reseptor GABA-
A. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan P5MS/PMDD telah
mengurangi sensitivitas fungsional reseptor GABA-A karena respon allopregnanolone
yang kurang terhadap stres.

 Estrogen
Beberapa hipotesis penelitian menunjukkan bahwa puncak preovulasi pada estradiol,
peningkatan progesteron postovulasi, atau keduanya memicu gejala PMS/PMDD.
Selain itu juga dilaporkan bahwa estrogen sama manjurnya dengan progesteron dalam
memicu keluhan seperti PMS dan komponen estrogen terapi penggantian hormon
dapat memperkuat disforia yang diinduksi progesteron. Selain itu, pemberian estrogen
dalam fase luteal telah dilaporkan memancing gejala pramenstruasi, dan memberikan
antagonis estrogen dalam fase luteal mengurangi mastalgia pramenstruasi.
8
Peran neurotransmiter pusat

 Serotonin
Serotonin adalah neurotransmitter sentral yang terbukti terlibat dalam regulasi suasana
hati dan perilaku. Steroid seks dapat mempengaruhi perilaku dengan memberikan
efeknya pada penyebaran serotonergik. Terdapat 3 bukti teori, pertama, gejala
pramenstruasi berkurang oleh serotonin reuptake inhibitor (SRI) dan perawatan lain
yang meningkatkan kadar serotonin, seperti agen pelepas serotonin. Kedua,
bertentangan dengan poin pertama, penurunan transmisi serotonergik yang dicapai
dengan diet bebas triptofan atau dengan pengobatan dengan antagonis reseptor
serotonin dapat menimbulkan gejala PMS/ PMDD. Ketiga, wanita dengan
PMS/PMDD memiliki transmisi serotonergik atipikal dan kepadatan lebih rendah dari
reseptor transporter serotonin daripada wanita biasa. Selain itu, mereka memiliki
tingkat respon serotonergik yang lebih tinggi dalam folikular daripada pada fase
luteal, yang berbeda dari yang diamati pada wanita tanpa PMS/PMDD.

 Asam gamma-aminobutyric
GABA adalah neurotransmitter penghambatan, dan beberapa studi pencitraan
menunjukkan kemungkinan peran GABA dalam patofisiologi PMS/PMDD
berdasarkan fakta bahwa beberapa metabolit progesteron berinteraksi dengan reseptor
GABA A, dan bahwa wanita memiliki gejala responsif yang berbeda dengan
kompleks reseptor ini dibandingkan dengan wanita tanpa gejala. Fakta penting lainnya
adalah bahwa neuron GABAergik dan serotonergik memiliki interaksi yang
bermakna, dengan demikian peran GABA dalam patofisiologi PMS/PMDD sesuai
dengan hipotesis serotonin. Selain itu, SRI juga sangat mempengaruhi enzim yang
terlibat dalam menciptakan metabolit progesteron yang pada gilirannya memodulasi
reseptor GABA A.
 Glutamat
Glutamat adalah neurotransmitter rangsang, dan terdapat fluktuasi siklus pada
levelnya selama siklus menstruasi untuk semua wanita (simtomatik dan tanpa gejala),
tetapi wanita simptomatik tampaknya memiliki sensitivitas yang meningkat terhadap
perubahan siklus ini.
 Endorfin Beta
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan PMDD memiliki kadar kortisol
dan beta-endorfin yang lebih rendah selama fase folikel dan luteal. Pengamatan ini
menunjukkan kelainan pada poros hipotalamus-hipofisis-gonad pada PMDD yang
sama dengan temuan disregulasi sumbu HPA dalam gangguan mood.
9
2.5 Diagnosis1,5,6

Berikut ini Gejala klinis pada PMDD yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Suasana hati
 Merasa sedih, tertekan, putus asa, tidak berharga
 Labilitas suasana hati yang ditandai seperti perubahan suasana hati; Tiba -tiba
merasa sedih atau menangis
 Meningkatnya amarah atau mudah marah; Konflik yang sering terjadi dengan
anggota keluarga atau di tempat kerja
 Peningkatan kecemasan atau perasaan berada di ujung waktu, atau diujung tanduk.

2. Perilaku
 Kurangnya energi, kelelahan
 Penurunan minat pada aktivitas normal
 Masalah dengan konsentrasi
 Perubahan nafsu makan, baik makan berlebihan atau keinginan untuk makanan
tertentu
 Perubahan pola tidur, baik hipersomnia atau insomnia
 Merasa kewalahan atau di luar kendali.

3. Somatik
 Pembengkakan payudara atau nyeri
 Nyeri sendi atau otot
 Sensasi kembung atau penambahan berat badan
 Sakit kepala
 Pola ekspresi gejala

Lamanya waktu yang mengalami gejala PMDD bervariasi dari beberapa hari hingga 2
minggu. Untuk sebagian besar wanita gejala meningkat 6 hari sebelum menstruasi dan yang
paling parah yaitu 2 hari sebelum menstruasi. Dari semua gejala yang disebutkan, kemarahan
dan mudah marah adalah yang paling banyak dialami sebelum gejala lainnya muncul.
Menurut DSM-5, gejala harus berkaitan dengan siklus menstruasi dan bukan
menggambarkan gejala gangguan lain, seperti gangguan depresi mayor, gangguan panik,
gangguan dysthymic, atau gangguan kepribadian (walaupun Gejala -gejalanya dapat
ditumpangkan pada gangguan ini). Untuk mengkonfirmasi jika itu benar-benar PMDD paling
10
tidak gejala muncul selama setidaknya 2 siklus menstruasi berturut -turut. Namun, diagnosis
sementara dapat dilakukan sebelum konfirmasi ini.

Skala penilaian1
 Premenstrual Symptom Screening Tool (PSST) Kuesioner yang digunakan untuk
mendiagnosis PMDD dengan 19 item yang memungkinkan pasien untuk menilai
keparahan gejala mereka.
 Calendar of Premenstrual Experiences (COPE) Termasuk 22 gejala yang
dikelompokkan ke dalam 4 kategori: reaktivitas suasana hati, otonom/ kognitif, selera, dan
terkait dengan retensi cairan.
 Visual Analogue Scale (VAS) Steiner et al. Menggunakan skala ini pada tahun 1999
untuk menilai masing -masing dari 4 gejala inti PMDD: perubahan suasana hati, lekas
marah, ketegangan, dan depresi. Skala terdiri dari garis vertikal 100 mm berlabel 0 atau
"tidak ada gejala" di ujung kiri dan 100 atau "parah" di sebelah kanan.
 Daily Record of Severity of Problems (DRSP) Skala ini terdiri dari 24 item dari mana 21
item dikelompokkan menjadi 11 gejala yang berbeda dan 3 item gangguan fungsional.
Item dinilai dari 1 (tidak sama sekali) hingga 6 (ekstrem).
 Patient Reported Outcomes Measurement Information System  (Promis) Deorte et al.
Digunakan Promis Computerized Adaptive Testing (Promis Cat) untuk mendeteksi gejala
pramenstruasi depresi, kecemasan, dan kelelahan; Hasil penelitian ini memberikan bukti
yang baik untuk kegunaan instrumen Promis untuk pengukuran gejala pramenstruasi yang
efektif.

2.6 Diagnosis Banding1


 Gangguan depresi utama: Gejala depresi termasuk suasana hati yang lemah, energi
rendah, anhedonia, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, kesulitan
berkonsentrasi, dan pikiran bunuh diri. Sekitar setengah dari kasus PMS/PMDD
dapat memiliki diagnosis depresi secara bersamaan. Diagnosis PMS atau PMDD
dapat mendahului diagnosis depresi atau depresi dan PMDD dapat terjadi
bersamaan. Kriteria untuk diagnosis gangguan ini berbeda tetapi tidak eksklusif.
 Penyakit tiroid (hipertiroid atau hipotiroid):
 Hipotiroid termasuk penambahan berat badan, sembelit, intoleransi dingin,
depresi, kulit kering.
 Hipertiroid termasuk penurunan berat badan, tidur yang buruk, intoleransi panas,
gangguan ritme jantung seperti fibrilasi atrium, dan hiperrefleksia.
 Gejala gangguan kecemasan termasuk palpitasi dan perasaan takut. Pemicu biasa
dapat diidentifikasi sebagai serangan kecemasan. Kecemasan kronis atau situasional
11
tidak berbeda dengan siklus menstruasi. Generalized Anxiety Disorder dan PMDD
dapatterjadi bersamaan. Kriteria berbeda tetapi tidak eksklusif.
 Mastalgia: Gejala mastalgia mungkin terbatas hanya pada nyeri payudara dan
pembengkakan, dan mastalgia mungkin ada pada waktu selain selama fase luteal
tetapi memburuk selama fase luteal.
2.7 Tatalaksana1,2,5,6
Medika Mentosa

1. Anti-Depresan
Farmakoterapi adalah pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk
PMDD, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors) adalah pengobatan standar emas untuk PMDD dan PMS
terkait suasana hati yang parah. Namun, ada beberapa efek samping yang mungkin
terjadi dengan penggunaan SSRI, yang paling umum adalah mual, insomnia, dan sakit
kepala, meskipun hal ini biasanya terbatas waktunya. SSRI dapat berdampak buruk
fungsi seksual, efek samping yang menetap dan dapat menyebabkan penghentian
pengobatan.
SSRI telah terbukti memiliki onset aksi terapeutik yang singkat pada PMDD, mulai
berlaku dalam beberapa jam hingga beberapa hari, berbeda dengan depresi berat yang
diperlukan beberapa minggu untuk respons terhasap SSRI. Onset aksi yang cepat ini
kemungkinan karena kemampuan SSRI untuk meningkatkan pembentukan steroid
neuroaktif, seperti ALLO. SSRI meningkatkan konversi 5α-dihydroprogesterone (5α-
DHP) menjadi ALLO dalam beberapa menit setelah paparan, kemungkinan besar
melalui aksinya pada enzim yang mengkatalisasi reaksi antara progesteron dan ALLO.
Onset aksi yang singkat ini memungkinkan pemberian dosis intermiten (pemberian obat
hanya selama fase luteal, dari saat ovulasi hingga menstruasi dimulai). Perawatan
intermiten mungkin sangat berguna untuk iritabilitas, mempengaruhi labilitas, dan
perubahan suasana hati, sementara memiliki efek yang lebih lemah pada suasana hati
depresi dan gejala somatik. Suasana hati yang tertekan dan gejala somatik mungkin
memerlukan durasi pengobatan SSRI yang lebih lama untuk menunjukkan perbaikan.

2. Menghambat Ovulasi
 Terapi Hormon
Pada gejala yang sangat parah, dokter dapat menggunakan terapi hormonal untuk
menghambat siklus hipotalamo-gonad; Namun, hal ini dapat menyebabkan
menopause medis dan menyebabkan peningkatan risiko osteoporosis. Dengan
demikian, untuk mencegah efek samping ini, pasien diberi Kembali hormone
estrogen dan gestagen (hormon dengan aktivitas seperti progesteron). Beberapa
12
laporan pasien menunjukkan kekambuhan gejala dengan terapi gestagen tambahan.
Oleh karena itu, sebagai alternatif, dokter dapat menggabungkan agonis GnRH
dengan tibolone (steroid sintetis dengan aktivitas estrogenik, progestogenik, dan
androgenik yang lemah).
 Danazol
Ini adalah agonis/ antagonis androgen parsial sintetis dan inhibitor gonadotropin
yang juga terbukti berkhasiat dalam mengobati PMDD dengan menghambat
ovulasi. Namun, ini dikaitkan dengan hirsutisme dan teratogenisitas dan karenanya
tidak disukai sebagai agen awal.
 Pil kontrasepsi oral (OCP)
Meskipun banyak digunakan dalam praktik klinis, kemanjurannya dalam
mengobati PMDD belum sangat didukung oleh bukti. Wanita pada OCP
mengalami lebih banyak gejala terkait hormon pada hari-hari bebas hormon dan
karenanya pengobatan OCP dengan lebih sedikit hari bebas hormon mungkin
bermanfaat bagi wanita ini. Drospirenone (gestagen) terutama ditemukan efektif
dalam mengobati gejala PMDD karena efek anti-aldosteron dan anti-androgenik.

Non-Medika Mentosa
 Latihan Meringankan gejala melalui peningkatan kadar beta-endorphin; Namun,
hal ini belum terbukti secara pasti.
 Modifikasi Diet Peningkatan asupan karbohidratatau protein ("bahan bakar
pembakaran lambat") diyakini meningkatkan ketersediaan triptofan, yang
mengarah pada peningkatan kadar serotonin. Uji coba terkontrol secara acak telah
menunjukkan keunggulan kalsium dalam meningkatkan gejala emosional dan fisik
dibandingkan plasebo. Meta-analisis telah menunjukkan beberapa manfaat vitamin
B6 di atas plasebo. Chaster-Berry/Vitex Agnus-Castus juga telah terbukti agak
manjur dengan memberikan beberapa efek dopaminergik.
 Manajemen Stres Relaksasi/ Meditasi/ Yoga/ Teknik pernapasan

2.8 Komplikasi5-6

Jika tidak ditangani, premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dapat menimbulkan


komplikasi berupa depresi berat. Akibatnya, penderitanya dapat memiliki keinginan
untuk bunuh diri. PMDD juga dapat menyebabkan penderitanya merasa sangat tertekan.
Kondisi ini bisa menimbulkan dampak negatif pada pekerjaan dan kehidupan sosial
penderita.
13
2.9 Prognosis5,6

Prognosis pada premenstrual dysphoric dirsoder (PMDD) umumnya baik jika


mendapatkan tatalaksana yang tepat dan sedini mungkin untuk meminimalisir risiko
komplikasi terhadap penderitanya.

2.10 Pencegahan1,5,6

Premenstrual dysphoric disorder (PMDD) sulit dicegah karena penyebabnya belum


diketahui secara pasti. Namun, wanita yang memiliki riwayat depresi atau gangguan
kecemasan dianjurkan untuk mengobati kondisi tersebut sehingga risiko terjadinya PMDD
dapat menurun.

Beberapa cara untuk mencegah keparahan gejala PMDD, yaitu:

 Mengonsumsi makanan bergizi lengkap dan seimbang


 Meningkatkan asupan buah-buahan, sayuran, dan karbohidrat kompleks
 Mengurangi asupan makanan cepat saji, serta makanan tinggi gula atau tinggi garam
 Mengurangi konsumsi minuman berkafein
 Beristirahat dan tidur yang cukup
 Mengelola stres dan melakukan teknik relaksasi
 Berolahraga rutin, terutama olahraga peregangan seperti yoga
BAB 3

KESIMPULAN

Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) gangguan disforik pramenstruasi adalah


gangguan mood yang disebabkan oleh hormon yang dapat terjadi berulang. Sama seperti
PMS, PMDD terjadi selama masa pramenstruasi dan umumnya berlangsung hingga saat
menstruasi dimulai. PMDD tidak seumum PMS, kondisi ini hanya menyerang kurang lebih 3-
8% wanita usia reproduksi. Pada wanita yang mengalami PMDD, gejalanya akan lebih parah
dari PMS, terutama gejala yang bersifat psikologis.
Beberapa faktor risiko terjadinya PMDD antara lain yaitu trauma masa lalu, obesitas,
merokok, dan genetika. Pentingnya diagnosis sedini mungkin terhadap PMDD untuk
mencegah gejala yang lebih berat lagi, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan skala
penilaian PMDD yaitu PSTT, VAS, COPE, DRSP, dan PROMIS. Selain itu, diperlukan
tatalaksana yang tepat bagi pasien PMDD yaitu dengan memberikan antidepresan golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), terapi hormone, dan terapi non-medika
mentosa seperti modifikasi diet, serta manajemen stress seperti relaksasi/meditasi/yoga/teknik
pernapasan.
REFERENSI
1. Misra S, Elliot H, Marwaha R. Premenstrual dysphoric dirsorder [Internet]. Treasure Island
(FL): Statpearls; 2022 Jan [updated 2022 May 5 ; cited 2022 Des 5]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532307/

2. Hantsoo L, Epperson N. Premenstrual dysphoric disorder: epidemiology and


treatment. HHS Public Access [Internet]. 2015 Nov [cited: 2022 Des 5];17(11): 1-9.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4890701/pdf/nihms-
789279.pdf

3. Prasad D, Aguiar BW, Kidd KN, Cardoso TDA, Frey BN. Suicidal risk women with
premenstrual syndrome and premenstrual dysphoric disorder. Journal of women
health [Internet]. 2021 [cited: 2022 Des 5]; 30(12): 1693-4. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34415776/

4. Dewi TK, Hapsari ED, Purwanto P. prevalensi gejala premenstrual syndrome (PMS),
dan premenstrualdysphoric disorder (PMDD) pada remaja di kota Yogyakarta.
Journal W. Kesehatan [Internet]. 2019 [cited 2022 Des 5]; 4(1):1. Available from:
https://jurnal.akperdharmawacana.ac.id/index.php/wacana/article/view/88

5. John Hopkins University. Premenstrual dysphoric dirsorder [Internet]. Maryland:


John Hopkins Medicine; 2022 [cited: 2022 Des 5]. Available from:
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/premenstrual-
dysphoric-disorder-pmdd

6. Medical affairs. Could your severe PMS be PMDD [Internet]. Healthline; 2019 Jan
15 [cited; 2022 Des 5]. Available from:
https://ahoy-stage.healthline.com/health/pmdd

Anda mungkin juga menyukai