Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Diabetes Melitus (DM)

a. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan

heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glikosa dalam darah

atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam

jumlah tertantu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati dari makanan

dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas,

mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur

produksi dan penyimpananya (Brunner & Suddarth, 2013).

Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap

insulin dapat menurun atau pankreas dapat menghentikan sama

sekali produksi insulin keadaan ini menimbulkan hiperglikemia

yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti

diabetes ketoasidosis dan sindrom heperglikemi hiperosmoler

nonketotik (HNNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut

menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit

ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf)

Diabetes melitus (DM) juga disertai dengan peningkatan insidens

penyakit makro vaskuler yang mencangkup infark miokard, stroke

dan penyakit vaskuler perifer (Brunner & Suddarth, 2013).

9
10

Diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis

merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar

glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula

darah suatu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah

puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dl. (Brunner & Suddarth,

2013)

b. Tipe-Tipe

Ada beberapa tipe diabetes melitus (DM) yang berbeda

penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebabnya, perjalan klinik

dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama adalah :

1) Tipe I : Diabetes melitus (DM) tergantung insulin dependen

diabetes melitus (IDDM), Kurang lebih 5% hingga 10%

penderita diabetes melitus (DM) mengalami tipe I yaitu

diabetes melitus (DM) yang tergantung insulin pada diabetes

jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal

menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses

otoimun. Sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan

untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes melitus

(DM) tipe I ditandai dengan awitan mendadak yang biasanya

terjadi pada usia 30 tahun.


11

2) Tipe II : Diabetes melitus (DM) tidak tergantung Non-Insulin

Dependen Diabetes Melitus (NIDDM), Kurang lebih 90%

hingga 95% penderita Diabetes melitus (DM) tipe II yaitu

diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes melitus (DM)

tipe II terjadi akibat penurunan sensivitas terhadap insulin yang

disebut resitensi insulin atau akibat penurunan jumlah produksi

insulin. DM tipe II pada mulanya diatasi dengan diet dan

latihan jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi terapi diet dan

latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral. Pada

sebagian penyandang diabetes melitus tipe II, obat oral tidak

mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan

penyuntikan insulin. DM tipe II paling sering ditemukan pada

individu yang berusia 30 tahun dan obesitas.

3) Diabetes Pada Kehamilan

Diabetes yang muncul hanya pada saat hamil disebut

juga diabetes tipe gestasi atau gestasional diabetes. Keadaan

ini terjadi karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang

menyebabkan resitensi insulin.

4) Diabetes Tipe Lain

Diabetes tipe lain merupakan diabetes sekunder atau

akibat dari penyakit lain yang mengganggu produksi insulin

atau mempengaruhi kerja insulin


12

c. Faktor Resiko

1) Faktor Resiko yang Dapat Diubah

a) Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang

ditunjukan dalam aktivitas sehari-hari, makanan cepat saji,

olahraga tidak teratur dan minum bersoda adalah salah satu

gaya hidup yang dapat memicu terjadinya diabetes melitus

tipe II.

b) Diet yang Tidak Sehat

Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurangnya

olahraga, menekan nafsu makan, sering mengkomsumsi

makanan siap saji

c) Obesitas

Obesitas merupakan salah satu faktor resiko utama

untuk terjadi penyakit diabetes melitus. Obesitas dapat

membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (Resisten

insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka

tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila

lemak tubuh berkumpul, Peningkatan berat badan dan dapat

menyebabkan resiko terjadinya DM

d) Pekerjaan dan Pendidikan

Pekerjaan seseorang mempengaruhi aktifitas tingkat

fisiknya dan orang yang mempunyai pendidikan yang

tinggi akan banyak pengetahuan tentang kesehatan.


13

Perhitungan Berat Badan Ideal Sesuai Index Massa

Tubuh (IMT) menurut WHO (2014), yaitu:

IMT= BB (kg )/ TB (m2)

Tabel 2.1. klasifikasi Sesuai Index Massa Tubuh (IMT)

Sesuai Index Massa Tubuh (IMT) Klasifikasi Berat Badan


(BB)
< 18, 5 Kurang
18,5-22.9 Normal
22-24,9 Kelebihan
≥25,0 Obesitas
(American Diabetes Association [ADA], 2018).

e) Tekanan Darah Tinggi

Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan

kecepatan denyut jantung, peningkatan restensi (tekanan)

dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume

aliran darah (American Diabetes Association [ADA],

2018).

f) Riwayat Diabetes Gestasional Sewaktu Hamil

Kadar gula darah yang tidak terkontrol pada kehamilan

dapat menimbulkan banyak resiko dikemudian diantaranya

bayi lahir berukuran besar, bayi lahir prematur, keguguran,

bayi lahir mati, tekanan darah tinggi dan kematian ibu

(American Diabetes Association [ADA], 2018).


14

2) Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah

a) Usia

Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi

resiko tekanan diabetes tipe II. Diabetes melitus tipe II

terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering

setelah usia 45 tahun (American Heart Association [AHA],

2012). Meningkatnya resiko DM dengan bertambahnya

usia dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi

fisiologis tubuh.

b) Riwayat Keluarga Diabetes Melitus

Seseorang anak dapat diwarisi gen penyebab

diabetes melitus orang tua. Biasanya seseorang yang

menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga

terkena penyakit tersebut. Fakta menunjukan bahwa mereka

yang memiliki ibu penderita DM tingkat resiko tekanan

DM sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat

lebih tinggi jika memiliki ayah penderita DM. Apabila

kedua orangtuanya menderita DM, maka akan memiliki

resiko terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi.

c) Riwayat Diabetes Pada Kehamilan

Mendapatkan diabetes melitus selama kehamilan

atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan

resiko DM tipe II.


15

d. Etiologi

1) Diabetes tipe I

Diabetes tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta

penkreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin

pula lingkungan (misalnya infeksi virus) diperkirakan turut

menimbulkan distruksi sel beta.

a) Faktor-Faktor Genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu

sendiri: mewarisi suatu prediposisi atau kecendrungan

genetikk kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecendrungan

genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe

antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas

antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan

puluh lima persen pasien berkulit putih (Caucasian) dengan

diabetes tipe I memperlihakan tipe HLA yang spesifik

(DR3 atau DR4). Resiko terjadinya diabetes tipe I

meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang

memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko

tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada

individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika

diandingkan dengan populasi umum).


16

b) Fakto-Faktor Imunologi

Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu

respons otoimun. Respons ini merupakan respons abnormal

diamana antibodi terarah pada jaringan noramal tubuh

dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi

terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen

(internal) terdeteksi pada pada saat diagnosis dibuat dan

bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda

klinis diabetes tipe I. Riset dilakukan untuk mengevaluasi

efek imnosupresif terhadap perkembangan penyakit pada

pasien diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada

pasien pradiabetes (pasien dengan atibodi yang terdeteksi

terapi tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset

lainya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin

dengan dosis kecil terhadap fungsi sel beta.

c) Faktor-Faktor Lingkungan

Penyelidikan juga sedang dilakukan kemunngkinan

faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel

beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan

bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses

otoimun yang menimbulkan distruksi sel beta.


17

Interaksi antara foktor-faktor genetik, imunologi

dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe I merupakan

pokok perhatian yang terus berlanjut. Meskipun kejadian

yang menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti

sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik

merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya

diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum dapat

diterima.

2) Diabetes tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih

belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang

peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu

terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan

dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor ini

adalah: Usia (resistensi insulin cendrung meningkat pada usia

di atas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga, dan kelompok

etnik (di Amerika Serikat, golongan hispanik serta penduduk

asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar

untuk terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan

Afro-Amerika).
18

e. Patofisiologi Diabetes Melitus

Patofisiologi Diabetes melitus tipe II

Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua

masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan

sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,

terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa

didalam sel. Resistensi insulin pada diabtes tipe II disertai

dengan penurunan reaksi intrasel ini, dengan demikian insulin

menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa

oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan

jumlah insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi dan meningkatan kebutuhan akan insulin, maka

kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang

merupkan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat

insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang

menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi


19

pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang

tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainya yang

dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik

(HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita

diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas akibat

intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selam bertahun-

tahun) dan progresif, maka diabetes tipe II dapat berjalan tanpa

terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut

seringg bersifat ringgan dan dapat mencangkup kelelahan,

iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama

sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur

(jika kadar glukosanya sangat tinggi).

Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%),

penyakit diabetes tipe II yang dideritanya ditemukan secara

tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani

pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi

tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun

adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya,

kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer)

mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.


20

Penaganan primer tipe II adalah dengan menurunkan

berat badan, karena resistensi insulin berkaitan obesitas.

Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk

meningkatkan efektivitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat

ditambah jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan

kadar glukosa darah. Jika penggunaan obat oral dengan dosis

maksimal tidak berhasil menurunkan kadar glukosa hingga

tingkat memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagian

pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama

periode stress fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau

pembedahan (Brunner & Suddrtha, 2013).

f. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh

penyakit Diabetes Militus yaitu:

1) Pengeluaran Urin (Poliuria)

Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih

dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal. Poliuria

timbul sebagai gejala Diabetes Militus dikarnakan kadar gula

dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk

menguranginya dan berusaha untuk mengeluarkan melalui urin.

Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam

hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa.


21

2) Timbul Rasa Haus (Polidipsia)

Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul

karena kadar glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh

merespon untuk meningkatkan asupan cairan.

3) Timbul Rasa Lapar (Polifagia)

Pasien diabetes melitus akan merasa cepat lapar dan

lemas, hal tersebut sebabkan karena glukosa dalam darah

cukup tinggi

4) Berat Badan Menurun

Berat badan menurun dikarenakan tubuh terpaksa

mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi,

maka terjadi penurunan berat badan)

g. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan utama terapi diabetes mencoba menormalkan

aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk

mengurani terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan

teuropatik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa

darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius

pada pola aktivitas pasien (Brunner & Suddartha, 2013).


22

1) Terapi Farmakologis

Pemberian terapi farmakologis harus diikuti dengan

peraturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan yaitu:

a) Golongan Sulfonilurea

Mekanisme kerja golongan ini adalah merangsang

sekresi insulin di sel beta di pangkreas dengan menutup

kanak K ATP yang ada di membran sel beta, sehingga

memberikan efek merangsang untuk meningkatkan sekresi

insulin. Generasi pertama dari sulfonilurea adalah

tulbutamide dan klorpropamide. Generasi kedua dari

sulfonilurea yang umumnya digunankan adalah gliburid

atau glibenklamid glipizid. Efek samping yang umumnya

terjadi dari golongan ini adalah hipoglikemia, penambahan

berat badan, pusing.

Tabel 2.2 Obat Golongan Sulfonilurea

Nama obat Dosis/ tablet Frekunsi/ hari


Gliburid 2,5-5mg 1-2x sehari
Glipizid 5-10mg 1x2 sehari
Glikazid 80 mg 1x 3 sehari
Gliquidon 30 mg 1x sehari
Glimepirid 1-4mg 1x sehari
23

b) Golongan Meglitinid

Mekanisme kerja golongan ini sama dengan

sulfonilurea yaitu dengan menyerang insulin di sel beta di

pangkreas dengan menutup kanal K ATP yang berada di sel

beta di pankreas, sehingga sekresi insulin meningkat.

Tabel 2.3 Obat Golongan Meglitinid

Nama obat Dosis/ tablet Frekunsi/ hari


Repaglinid 0,5-2 mg 2-4x sehari
Glipizid 60-120 mg 3x sehari

c) Golongan Biquanid

Mekanisme kerja dari golongan ini adalah

menurunya produksi glukosa dihepar dan meningkatnya

sensitifitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Obat

pilihan pertama pada pasien DM tipe II. Efek samping dari

penggunana obat tersebut adalah hipoglikemia, dengan

dosis 500mg /tablet frekuensi pemakain 1-3x sehari.

d) Golongan Penghambat Alpa-glikosidase

Mekanisme kerja dari golongan ini glikosidase

sehingga memperlambat absopsi karbohidrat dan mencegah

peningkatan glukosa dijaringan tubuh, efek samping yang

sering terjadi flatulen malabsopsi dan diare. Golongan obat

ini adalah acarbose dengan dosis 100-500mg/tablet dengan

frekuensi 3xsehari.
24

e) Golongan Penghambat DPP-4 (dipeptide pepside-4)

Mekanisme kerja dengan meningkatakan sekresi

insulin dengan cara menghambat sekresi glukagon dan

meningkatkan sekresi insulin disel beta di pankreas. Efek

samping yang terjadi hipoglikemia dan gastoitestinal

Tabel 2.4 Obat Golongan Penghambat DPP

Nama obat Dosis/ tablet Frekunsi/ hari


Vidagliptin 50 mg 1-2x sehari
Sitagliptin 25-50-100 mg 1x sehari
Saxagliptin 5 mg 1x sehari
Linagliptin 5 mg 1x sehari

f) Golongan penghambat SGLT-2 (Sodium glucose

Cotransporter 2) Mekanimse kerja nya adalah menghambat

penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal. Efek

samping dari obat tersebut terjadi dehidrasi, pusing,

poliurea. Golongan ini merupakan antideibates golongan

terbaru.

Tabel 2.5 Golongan Penghambat SGLT2

Nama obat Dosis/ teblet Frekeunsi/hari


Canagliflozin 300 mg 1x sehari
Dapagliflozin 10 mg 1x sehari
empagliflozin 2 mg 1x sehari

b. Terapi Non Farmakologis

1) Diet

Prinsip umum diet dan pengendalian berat badan

merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes dan

disarankan untuk mencapai tujuan yaitu dengan


25

memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya

vitamin, mineral), mencapai dan mempertahankan berat

badan yang sesuai, memenuhi kebutuhan energi, Mencegah

fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal

melalui cara-cara yang aman dan praktis dan menurun

kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.

2) Pendidikan Kesehatan

Pendidikan awal akan membahas pentingnya

konsentensi atau kontiunitas pada kebiasaan makan.

Hubungan antara makan dan insulin dan adanya rencana

makan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Kemudian pendidikan tindak lanjut akan memfokuskan

pada penatalaksaaan yang lebih dalam.

3) Pamantauan Glukosa

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa

darah secara mandiri penderita diabetes kini dapat

mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa

darah secara optimal. Pemantauan dapat memungkinkan

deteksi dan pencegahan hiperglikemia serta hipoglikemia

serta kemungkinan dapat mengurangi komplikasi diabetes

jangka panjang.
26

4) Terapi (jika diperlukan)

Sebagaimana dinyatakan sebelumnya hormon

insulin disekresikan oleh sel-sel beta pulau langerhans,

homron ini bekerja untuk menurunkan kadar glukosa

postprandial dengan memudahkan pengambilan serta

penggunaan glukosa oleh sel-sel otot.

Pada diabetes tipe I tubuh kehilangan kemampuan

untuk memperoduksi insulin dengan demikian insulin

eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas,

sedangkan pada diabetes tipe II insulin mungkin diperlukan

pada terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar

glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia tidak berhasil

mengontrolnya.

5) Latihan Fisik

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan

diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa

darah dan mengurangi faktor kardiovaskuler. Latihan akan

menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki

pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga

dapat diperbaiki dengan berolahraga. Salah satunya dengan

Heel Raises Exercise merupakan latihan pada tumit kaki

yang dilakukan dengan sudut 45° dengan 25-40x

pengulangan.
27

Aktifitas fisik pada kaki juga dapat menyebabkan

peningkatan kontraksi otot ekstermitas bawah seperti otot

fleksor hip fleksor ektensor knee dan otot-otot pergerakan

ankle. Semua efek ini sangat bermanfaat pada pasien

diabetes melitus karena dapat menurunkan berat badan,

menggurangi rasa stres dan mempertahankan kesegaran

tubuh. Latihan juga dapat mengubah kadar lemak darah

yaitu meningkatkan kadar HDL kolestrol dan menurunkan

kadar kolestrol total dan trigliserida. Semua manfaat ini

sangat penting bagi penderita diabetes melitus .

h. Komplikasi Diabetes Melitus

1) Komplikasi Akut

Komlikasi Akut pada DM meliputi:

a) Hipoglikemia

Adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan

kadar gula darah dari dalam darah dari normal (70 mg/dl)

tanda dan gejala dari hipoglikemia yaitu pusing, rasa lapar

yang berat, gemetar, berkeringat, gelisah, dan pandangan

kabur.

Hipogkemia diklasifkasikan dalam beberapa bagian

keparahan, yaitu Hipoglikemia berat yaitu pada keadaan

paien yang membutuhkan bantuan pemberian karbohidrat

dan glukagon dari orang lain, Hipoglikemia sistematik yaitu

apabila gula darah sewaktu < 70 mg/dl dan tanpa gejala


28

hipoglikemia, Hipoglikemia asimtomatik yaitu apabila gula

darah sewaktu <70 mg/dl dan tanpa gejala hipoglikemia,

Hipoglikemia realative yaitu apabila gula darah sewaktu

>70 mg/dl dengan gejala hipoglikemia dan Probable

hipoglikemia yaitu apabila gejala hipoglikemia tanpa

pemeriksaan gula darah sewaktu.

b) Ketoasidosis Diabetik

Adalah suatu perbedaan dimana menjadi

peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi dengan

disertai gejala asidosis dan plasma keton. Tanda dan gejala

dari ketoasidosis diabetik yaitu frekuensi buang air kecil

meningkat, sering haus, kelelahan, napas cepat dan berbau

keton, mual dan muntah.

Pencegahan pada keadaan ketoasidosis diabetik

meliputi: Menjaga pola makan, pemeriksaan kadar gula

darah secara rutin pemantauan pada penggunaan obat

antidiabetes oral dan obat-obatan yang lain yang dikosumsi

oleh pasien DM dan Mencukupi kebutuhan cairan tubuh

2) Komplikasi Kronik

Komplikasi Kronik terjadi karena keadaan

hiperglikemia yang menyebabkan peningkatan pembentukan

protein glikasinin enzim serta peningkatan proses glikosilasi.

Komplikasi kronik terdiri dari:


29

a) Komplikasi Mikrovaskuler

Terjadi komplikasi mikrovaskuler akibat pada

pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi

tersebut meliputi :

1) Rtinopati Diabetik

yaitu suatu keadaan dimana ketajaman pada

penglihatan pada mata terganggu akibat hiperglikemia

yang dapat mengakibatkan kebutaan apabila tidak

dikendalikan. Gejala-gejala retinopati adalah

penglihatan menurun, tampak bercak hitam pada

penglihatan, dan nyeri pada mata.

2) Nefropati Diabetik

yaitu penyakit yang menyerang ginjal akibat

dari diabetes yang ditandai dengan adanya

proteinuri pasien dan hipertensi. Gejala-gejala

nefropati adalah frekuensi buang air kecil

meningkat, Gatal-gatal, hilangnya nafsu makan,

insomnia, lemas, mual dan muntah, urin berbusa

3) Neuropati Diabetik

Adalah suatu gangguan pada syaraf akibat

diabetes yang ditandai dengan kesemutan, nyeri dan

mati rasa. Gejala-gejala lain dari neouropati adalah

gangguan keseimbangan, keringat berlebihan,

disfungsi eraksi, dan penurunan libido.


30

b) Komplikasi Makrovaskuler

Terjadinya komplikasi makrovaskuler ditimbulkan

akibat anterosklerosis dan pembuluh-pembuluh daerah

besar mengalami plak atheroma. Akibat dari komplikasi

tersebut meliputi:

1) Penyakit Jantung Koroner

Adalah kelainan pada jantung terjadi karena

penurunan kerja jantung dalam memompa darah dalam

keseluruhan tubuh akibat dari penumpukkan lemak

yang mengeras pada pembuluh darah pada penderita

DM. pencegahan penyakit jantung koroner pada

penderita DM tipe II meliputi yaitu menereapkan pola

makan yang sehat, melakukan olahraga secara rutin,

menurunkan berat badan, mengendalikan stress,

mengontrol tekanan darah dan istirahat yang cukup

2) Penyakit Pembuluh Darah Terapi atau PAD

Adalah gangguan pada pembuluh darah, dimana

terjadi penyumbatan pada ateri pada kaki. Gangguan

tersebut dapat menyebabkan nyeri pada saat

beraktifitas.

3) Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada

semua orang dengan ulkus maupun neuropati perifer

atau peripheral octrial disease (PAD) meliputi:


31

(a) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk

dipasir dan di air, Periksa kaki setiap hari, dan

dilaporkan kepada dokter apabila kulit terkelupas,

kemerahan atau luka

(b) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum

memakainya dan Selalu menjaga kaki dalam

keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim

pelembab pada kulit kaki yang kering.

(c) Potong kuku secara teratur, Keringkan kaki dan sela-

sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi

dan Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak

menyebabkan lipatan pada ujung-ujung jari kaki

(d) Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara

teratur, Jika sudah ada kelainan bentuk kaki,

gunakan alas kaki yang dibuat khusus dan Sepatu

tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan

gunakan hak tinggi, Hindari penggunaan bantal atau

botol berisi air panas/batu untuk menghangat kan

kaki (Nanda, 2015).


32

2. Perifer Arteri Disease (PAD)

a. Definisi

Peripheal Arterial Disease (PAD) adalah gangguan struktur

dan fungsi aorta, cabang viseralnya, dan gangguan Arteri yang

memperdarahi ekstremitas bawah yang disebabkan oleh proses

aterosklerosis atau trombeomboli. Gangguan vaskuler terjadi pada

Arteri koroner yang memperdarahi ekstremitas arteri karotis, Arteri

renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis, dan semua

percabangan yang keluar dari aorta iliaka. Arteri ekstremitas bawah

yang sering terdapat gangguan vaskuler adalah arteri femoralis dan

poplitea (80-90%), dari Arteri aoro-iliaka (30%) (Thendria et

al.,2014).

PAD dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur

ataupun fungsi dari pembuluh darah. PAD merupakan bagian dari

proses penyakit sistematik yang berpengaruh terhadap kelainan

arteri multiple. adanya PAD pada suatu arteri menjadi prediktor

kuat adanya PAD pada arteri lainya, termasuk pada pembuluh

darah koroner, karotis dan serebal.

b. Etiologi

Penyabab terbesar PAD adalah adanya aterosklerosis,

sehingga dapat dikatakan bahwa faktor resiko aterosklerosis juga

menjadi faktor resiko PAD. Faktor resiko klasik PAD pada usia

tua, hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus, dan merokok.


33

c. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya PAD adalah usia kurang < 50

tahun dengan dengan diabetes dan salah satu faktor resiko

aterosklorosis merokok, hipertensi, usia 50-69 tahun dengan

riwayat diabetes, usia 70 tahun keatas, dan gangguan tekanan pada

ekstermitas bawah (Beckman et al, 2011).

d. Patofisiologi

Faktor risiko terjadinya PAD adalah aterosklerosis,

penyakit degeneratif, keluhan, displasia, inflamasi vaskuler

(arteritis), arteritis, trombosis in situ, dan trombeomboli, tetapi

penyebab utama PAD adalah aterosklerosis (Ilminova et al.,2015.

Endotelium normalnya berfungsi mempertahankan

homeostasis pembuluh darah. Endotel berfungsi meregulasi proses

inflamasi di pembuluh darah dengan cara menghambat agregasi

platelet dan memfasilitasi aliran darah titik endotelium normal

akan memproduksi nitrit oksidase yang berfungsi menghambat

aktivasi trombosit, akan terjadi disfungsi endotel titik disfungsi

endotel tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan pada

produksi oksida nitrat (Ilminova et al.,2015).


34

e. Gejala Klinis

Nyeri pada daerah yang mengalami penyempitan pembuluh

darah merupakan tanda gejala utama PAD. Apabila yang terkena

adalah pembuluh darah kaki maka tanda gejala awal adalah nyeri

(klaudisio) dan rasa leleah pada otot yang berpengaruh.

Sensasi pada kaki akan terasa pada saat berjalan dan bisa

menghilang pada saat istirahat. Apabila penyakit bertambah parah,

sensai dapat terasa saat aktivitas fisik ringan bahkan saat

beritirahat.

Tanda gejala lain yang dapat terjadi antara lain yaitu, pulasi

yang lemah bahkan tidak ada pada kaki, luka pada jari-jari kaki,

yang sulit sembuh bahkan tidak sembuh, buruknya pertumbuhan

kuku dan rambut pada kaki, dan disfungsi ekresi terutama pada

pasein DM (Adinda, dkk 2018)

Pasien dengan PAD yang parah dapat mengalami

klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang

pendek, atau mengalami sensasi sakit dikaki ketika istirahat atau

ketika berbaring ditempat tidur dimalam hari. Pada kasus yang

parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh

dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki

atau jari (Adinda, dkk 2018)


35

f. Diabetes Melitus dengan PAD

Terjadi peningkatan resiko terjadinya PAD simtomatik dan

asimtomatik pada pasien DM sebesar 1,5-4 kali lipat titik resiko

terjadinya klaudikasio intermitent juga meningkat pada pasien

diabetes dibanding pasien non diabetes. risiko untuk mengalami

amputasi juga lebih tinggi 7 sampai 15 kali lipat pada pasien

diabetes dengan PAD dibandingkan dengan pasien non diabetes.

PAD terjadi karena adanya proses aterosklerosis yang

berlangsung lama. Kejadian PAD ini dapat dipercepat dengan

keadaan kelainan metabolisme seperti hiperglikemia, hipertensi,

dislipidemia, peningkatan faktor koagulasi khususnya pada

penderita diabetes melitus. Kejadian PAD sering dikaitkan dengan

terjadinya penurunan nilai ABI sehingga <0,90. Pada penelitian

yang dilakukan oleh rahmaningsih (2016) menyatakan bahwa

Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai ankle brachial

index dengan kejadian diabetic foot ulcer pada nilai ABI yang

rendah dibandingkan dengan penderita DM dengan nilai ABI

normal.

g. Pemeriksaan Fisik

1) Lihat kelainan bentuk kaki

2) Membandingkan tekanan darah pada tubuh untuk menegetahui

tekanan pada pada tubuh yang terkenal lebih rendah atau tidak

3) Memeriksa apakah ada luka atau tidak

4) Melihat apakah ada perubuhana pada rambut, kulit, dan kuku.


36

h. Tes Diagonestik

1) Ankle Brachial Index

2) Doppler Vaskuler

3) Monofilamnet

4) Magnetic Resonance Angiography, CT angiography.

3. Ankle Brachial Index (ABI)

a. Definisi

Ankle Brachial Indekx (ABI) merupakan pemeriksaan

noninvasive pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi

tanda dan gejala klinis iskemia, penurunan perfusi perifer yang

dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati. Tekanan darah

sitolik pergelangan kaki lebih tinggi dari tekanan darah sitolik

brachialis merupakan estimasi terbaik dari tekanan darah sistolik

pusat (Adinda, dkk 2018).

Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan resiko yang

lebih tinggi mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ABI ini

umunya digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit

pembuluh darah arteri perifer dan digunakan untuk menilai tingkat

keparahan penyakit pembuluh darah arteri perifer (Simatupang

dkk. 2013). ABI adalah pemeriksaan noninvasive yang dilakukan

dengan mudah menggunakan dopler tangan dan tensimeter dengan

nilai normal 0,9-1). ABI digunakan untuk menunjang diagnosis

penyakit vaskuler pada DM dengan menyediakan indikator objektif

perfusi arteri ke ekstermitas bawah (Adinda, dkk 2018).


37

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ABI

Pada dasarnya ABI merupakan hasil pembagian dari

tekanan darah sistolik ankle dengan tekanan darah sistolik

brachial. Tekanan darah merupakan hasil dari peningkatan

cardiac output oleh resistensi perifer yang dirumuskan dengan

Tekanan darah = Curah Jantung X Resistensi Perifer

Berikut adalah faktor-faktor fisiologi utama yang dapat

mempengaruhi tekanan darah (Adinda dkk, 2018).

1) Aliran Baik Vena

Aliran baik vena merupakan aliran yang membawa

darah dari seluruh tubuh ke vantrikel kiri jantung. Jika darah

yang kembali menurun, otot jantung tidak tidak akan

terdistensi, kekuatan vantrikuler pada fase sistolik akan

menurun.

2) Frekuensi dan Kekuatan Kontraksi Jantung

Secara umum apabila kontraksi dan kelainan kekuatan

kontraksi jantung meningkat. Akan tetapi, apabila jantung

berdetak terlalu kencang vantrikel tidak akan terjadi

sepenuhnya diantara detakan, sehingga curah jantung dan

tekanan darah akan menururun.


38

3) Resisten Perifer

Resisten perifer merupakan resisten dari pembuluh

darah bagi aliran darah.

4) Elatisitas Arteri Besar

Elastisitas arteri adalah kemampuan serat elastik yang

membuat dinding arteri elastik sehingga arteri dapat

membesar/mengembang untuk secara sementara menampung

kelebihan volume darah dan menyimpan sebagian energy

tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi jantung dinding yang

terenggang.

5) Viskoditas Darah

Viskositas darah bergantung pada keberadaan sel-sel

darah dan protein plasma termasuk di dalamnya zat-zat nutrient

seperti glukosa, asam amino, lemak dan vitamin serta zat sisa

seperti karatin dan bilirubin.

6) Hormon

Beberapa hormon memiliki efek terhadap tekanan darah.

Contohnya pada saat sters, medulla kelenjar adrenal akan

meneyekresikan noreprinefrin dan epinefrin, yang keduanya

akan menyebabkan vasokontriksi sehingga meninggalkan

tekanan darah.
39

c. Prosedur ABI

Cara pengukuran ABI pada dasarnya sama dengan

pengukuran tekanan darah. Manset tekanan diletakkan dilengan

atas dan dipompa sampai titik tidak ada nadi brachialis yang

dapat diteksi dengan doppler. Kemudian manset perlahan

dikempiskan sampai dopler dapat mendeteksi kembali nadi, angka

yang ditunjukkan oleh tensimeter saat nadi kembali terdeteksi

merupakan nilai tekanan sistolik. Tindakan ini dilakukan kembali

pada kaki, manset diletakkan didistal betis dan doppler diletakkan

diatas dorsalis pedis atau tibialis brachialis merupakan nilai ABI.

Adapun prosedur pengukuran ABI sebagai berikut (Society,

2012).

1) Siapkan sphygmomanometer dan stetoskop serta alat tulis.

2) Kaji faktor yang mempengaruhi tekanan darah.

3) Kaji tempat yang paling baik untuk melakukan pengukuran

tekanan darah.

4) Bantu klien untuk mengambil posisi beban lengan atas pada

setinggi jantung dengan telapak tangan menghadap keatas.

5) Posisikan klien duduk atau berbaring beban lengan atas

setinggi jantung dengan telapak tangan menghadap keatas.

6) Gulung lengan baju pada bagian tas lengan

7) Palpasi arteri brachialis, letakkan manset 2,5 cm diatas nadi

brachialis, selanutnya dengan anset masih kempis pasang

manset dengan rata pas sekeliling lengan atas


40

8) Pastikan manometer diposisikan vertical sejajar mata dan

pengamat tidak boleh lebih jauh dari 1 meter dan Letakkan

earpiece stetoskop pada telinga dan pastian bunyi jelas, tidak

redup (muffled).

9) Carilah lokasi arteri brachialis dan letakkan belutan

diafragma hestipiece disatasnya serta jangan membiarkan

chestipiece menyentuh manset atau baju klien dan Tutup

katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang

10) Kembung kan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang

dipalpasi, kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan

air raksa turun dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik.

11) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang terdengar

dan Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana

bunyi redup timbul kemudian Kempiskan manset dengan

cepat dan sempurna buka manset dari lengan kecuali jika ada

rencana untuk mengulang dan Bantu klien utntuk kembali

keposisi yang nyaman dan rapikan kembali baju lengan atas

serta beritahu hasil pengukuran kepada klien


41

d. Cara Perhitungan ABI

Setelah mendapatkan tekanan darah sistoli pada masing-

masing brachialis, maka dilihat tekana sitolik yang lebih tinggi,

perhitungan nilai ABI dilakukan dengan vena membagi tekanan

darah sistolik tertinggi dari dorsalis pedis atau tibia posterior

dengan tekanan darah sistolik brachialis tertinggi American

Diabetes Association, (2017)

ABI= Tekanan sitol pergelangan kaki

Tekanan sistolik tertinggi lengan

1) 1.00-1-40 mmHg : Normal

2) 0,91-0,99 mmHg : Boderline/ sedang

3) <0,90 mmHg : Abnormal /Penyakit Arteri Perifer

4. Heel Raises Exercise

a. Definisi

Heel Raises Exercise merupakan latihan pada tumit kaki

yang dilakukan dengan sudut 45° dengan 40x pengulangan selama

5-10 menit. Manfaat dari heel raises exercise dapat dilakukan

untuk meningkatkan mobilitas dan peningkatan fungsi kekuatan

otot dan meningkatkan kualitas kemampuan kinerja otot. Aktifitas

fisik pada kaki juga dapat menyebabkan peningkatan kontraksi

otot ekstermitas bawah seperti otot fleksor hip fleksor ektensor

knee dan otot-otot pergerakan ankle.


42

Perfusi perifer yang meningkat juga membuat produksi

kelenjar keringat meningkat. Peningkatan kelenjar produksi

kelenjar keringat maka kelembapan kaki dapat membaik sehingga

kulit tidak kering dan pecah-pecah. Latihan kaki juga akan

menstimulus kontraksi otot interntik kaki sehingga akan

meningkatkan kekuatan otot kaki, peningkatan kekuatan otot kaki

memperbaiki fleksibilitas sendi kaki sehingga mencegah terjadinya

penekanan pada kaki yang berlebihan. Hal tersebut akan mencegah

terbentuknya kalus pada telapak kaki dan mencegah terjadinya

perubahan bentuk kaki. Penekanan yang dilakukan mengakibatkan

vasodilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan refleks pada otot

didinding atreiol. Penakanan yang dilakukan dapat mendorong

aliran darah vena kembali kejantung sehingga siklus darah yang

lancar menuju jaringan dan sel saraf akan mempengaruhi proses

metabolisme dan konduksi saraf perifer dapat meningkat (Aulia,

2017).

Heel Raises adalah latihan jari kaki setinggi mungkin tanpa

mencondongkan berat badan kedepan. tahan posisi dan jaga

keseimbangan selama 6 detik. usahakan berat badan bertumpu

pada jempol kaki selama melakukan gerakan berjinjit keatas dan

kebawah. Ulangi sebanyak 25-40 kali selama < 5-10 menit. Jika

sudah mampu melakukan 25-40 kali gerakan ini dengan mudah,

coba turunkan kaki satu persatu. lalu lanjutkan dengan gerakan

berjinjit dengan satu kaki (Herlambang, 2013).


43

b. Tujuan Heel Raises

Tujuan kenaikan tumit adalah untuk meningkatkan

kekuatan otot sehingga aliran darah mengalir dan sampai ke perifer

kemudia tertekuk posisi, semakin kuat otot-otot yang bersangkutan

dengan ekstensi kaki ini, semakin efektif tindakan. Latihan ini

adalah salah satu yang terbaik untuk mengembangkan kekuasaan di

otot betis dan ekstensor kaki lainnya. Hal ini juga memperkuat

tendon sekitar dan sangat penting untuk sendi pergelangan kaki.

tumit kenaikan dan dilakukan dengan berdiri dengan jari kaki

beberapa inci terpisah, untuk meningkatkan jari kaki 3 atau 4 inci

pada basis stabil. Menaikkan dan menurunkan tumit dengan

kecepatan tetap, naik setinggi mungkin pada jari kaki sehingga ada

berbagai macam gerakan pada pergelangan kaki (Herlambang,

2013).

c. Prosedur Heel Raises Exercise :

1) Pesiapan pasien

a) Lakukan kontrak topik, waktu, tempat pelaksanaan 1 hari

dilakukan heel raises exercise

b) Beri salam terapeutik

c) Jelaskan prosedur tindakan kepada pasien

d) Jelaskan tujuan dan manfaat tindakan


44

2) Pelaksanaan

a) Mencuci tangan sebelum melakukan tindakan

b) Posisikan pasien berdiri

c) Melakukan pemanasan aktifitas fisik

d) Perlahan angkat tumit dari lantai tahan sekitar 6 detik,

kemudian perlahan turunkan tumit ke lantai lakukan

pengulangan 25-40x selama 5-10 menit

e) Latihan dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 1 bulan.

Gambar 2.1 Prosedur Heel Raises


45

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Aulia Rahman (2017) melakukan penelitian dengan judul pengaruh

Heel Raises Exercise terhadap nilai angkle brachial index (ABI) Pada

pasien diabetes militus tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian

dengan pendekatan eksperimen semu/ quasi eksperimen yaitu

rancanag percobaan dengan penelitian uji klinis tetapi melakukan

perlakuan tekni pendekatan terapi non farmakologi dengan melakukan

Heel Raises Exercise pada pasein DM tipe II (Sugiyono, 2010).

Penenitian ini menggunakan rancangan non equivalent control grup

pretes- postes design. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 34

yang terdiri dari 17 kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol.

Hasil terdapat perbedaan signitif nilai ABI antara kelompok intervensi

dengan kelompok kontrol dengan nilai 1,141 ± 0,11 untuk kelompok

intervensi dan 0,158 ± 0,112 untuk kelompok kontrop p-value 0,000

sedangan hasil rata-rata kedua kelompok didapatkan perbedaan retera

pada kelompok intervensi didapatkan 1,12 ± 0,11 dan untuk kelompok

kontrol 1,05± 0,15 p-value 0,082 dari hasil kedua kelompok ini

didapatkan hasil yang menunjukan efektivitas kedua tretment naik

menggunakan Heel Raises Exercise.


46

2. Ika Putri, dkk (2017) melakukan penelitian dengan judul pengaruh

latihan terhadap nilai ABI pada pasien DM Tipe. penelitian latihan

Heel Raises Exercise yang merupakan latihan kaki yang digunakan

untik sirkualsi darah perifer pada pasien DM Tipe 2, penelitian ini

bertujuan untuk mempengaruhi Pengaruh Heel Raises Exercise

terhadap nilai ABI pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Semarang.

Rancangan penelitian ini adalah quasi expermintal menggunakan

pretes dan postes with control grup design. Jumlah sample

menggunakan purposive sampling. Uji statistik menggunakan man

whitney tes, hasil penelitian menunjukan bahwa p-value 0,000

sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Heel Raises Exercise

terhadap nilai ABI Pada pasein DM tipe II.

3. Herlambang (2017) melakukan penelitian dengan judul pengaruh

latihan terhadap nilai ABI pada pasien DM Tipe. penelitian latihan

Heel Raises Exercise yang digunakan untik sirkualsi darah perifer pada

pasien DM Tipe 2, penelitian ini bertujuan untuk mempengaruhi

Pengaruh Heel Raises Exercise terhadap nilai ABI pada pasien DM

tipe 2 di RS tangerang. Rancangan penelitian ini adalah quasi

expermintal menggunakan pretes dan postes with control grup design.

Jumlah sample menggunakan purposive sampling. Uji statistik

menggunakan man whitney tes, hasil penelitian menunjukan bahwa p

value 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Heel

Raises Exercise terhadap nilai ABI Pada pasein DM tipe I


47

C. Karangka Teoritik

Faktor-Faktor yang mempengaruhi


DM

1. Faktor ginetik
2. Usia
3. Obesitas
4. Gaya hidup
5. Diet yang tidak sehat

Diabetes Melitus

Penatalaksaan Farmakologis : Penatalaksanaan non-


farmakologis :
1. Golongan sulfonilurea
2. Golongan Meglitinid 1. Edukasi
3. Golongan Biquanid 2. Pemantuan glukosa
4. Metformin dan Trazolidindion 3. Diet
5. Glinko sidase alfa 4. Latihan jasmani
6. Dipeptidyl peptidase IV
Heel Raises Exercise

Sirkulasi Darah Ke perifer lancar

Nilai ABI Meningkat


Keterangan : (yang diteliti)

: (tidak diteliti)

Gambar 2.2: Karangka Teoritik


48

1. Definisi Konseptual

Defenisi konseptual penelitian adalah suatu uraian dan

visualisasi hubungan dan kaitan antara variabel yang satu dengan yang

lainnya (Notoatmodjo, 2018). Pada konsep penelitian ini yang menjadi

variabel independen adalah Heel Raises Exercise dan variabel

Dependen adalah nilai Ankle Brachial Index Adapun Kerangka

konseptual penelitian yang dilakukan adalah hubungan antara 2

variabel sebagai berikut :

Variabel Independen: Variabel Dependen:


Heel Raises Exercise Nilai Ankle Brachial Index
(ABI)

Gambar 2.3: Karangka Konseptual

2. Definisi Operasional

Definisi operasinoal merupakan suatu hal yang penting

diperlukan agar pengukuran variabel atau pengumpulan data (variabel)

itu konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan

responden yang lain. Disamping variabel harus didefinisi operasinoal

juga dijelaskan cara atau metode pengukuran hasil ukur atau

kategorinya, serta skala pengukuran yang digunakan (Notoatmodjo,

2018).

Adapun variabel dalam penelitian ini dijelakan pada definisi

operasional adalah sebagai berikut:


49

Tabel 2.6: Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skla


operasional mengukur ukur
Heel Heel Raises SOP 1. Dilakukan ---
Raises Exercise merupakan 2. Tidak dilakukan
Exercise latihan tumit naik
yang dilakukan
selama 25-40 kali
pengulangan selama
< 5-10 menit.
Latihan ini
menstimulus saraf
ke jaringan perifer
dan meningkatkan
kekuatan otot
sehingga aliran
darah ke perifer
membaik.
ABI ABI merupakan 1. Dopler SOP Hasil Interval
hasil pembagian vaskuler Pengukuran 1.00-1-40 mmHg: Normal
dari tekanan darah 2. Tensi ABI 0,91-0,99 mmHg: Pembatasan
sistolik ankle meter Perfusi/ boderline
dengan tekanan <0,90 mmHg: Abnormal/
darah sistolik Penyakit Arteri Perifer
brachial.
Dengan pengukuran
langsung dilakukan
kedua lengan dan
kaki pasien.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua

variabel, variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2018).

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:“ Ada pengaruh Heel Raises

Exercise terhadap nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien DM tipe

II.

Anda mungkin juga menyukai