Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TENTANG

HIDROLOGI

Dosen pengampu : Drs. La Harudu M.Si

OLEH :

NAMA : DICCA CAHYANI

NIM : A1P122002

KELAS :B

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat,
karunia, serta Taufik, dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah tentang" Presipitasi
dan Pengukurannya,dan Evapotranspirasi dan Perhitungannya."Dan juga saya berterima kasih
pada Bapak Dosen mata kuliah'Hidrologi'yang telah memberikan tugas ini kepada saya.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan saya mohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.

Kendari, 8 Maret 2023


Daftar Isi

KATA PENGANTA................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................................iii

A. Latar Belakang..........................................................................................................................

B. Rumusan Masalah......................................................................................................................

C. Tujuan.......................................................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN..........................................................................................................

A. Proses Hujan............................................................................................................................

B. Stasiun dan Pengukuran Hujan................................................................................................

C. Analisis Karakteristik Hujan...................................................................................................

D. Rata Rata Hujan Wilayah........................................................................................................

E. Proses dan Parameter Evapotranspirasi...................................................................................

F. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (metode Penmann,dll)dan Aktual............................

BAB III : PENUTUP....................................................................................................................

A. Kesimpulan...............................................................................................................................

B. Saran..........................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik
dalam bentuk cairan maupun es. hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis di
suatu daerah aliran sungai (DAS), sebagai masukan utama air dalam kawasan. Menurut peraturan
pemerintah nomor 37 tahun 2012 DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan suatu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis, dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.

Apabila daur ini berjalan dengan tidak baik, apaan tuh maka akan mempengaruhi
limpasan air dan perubahan debit aliran dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) sehingga daur
hidrologi sangat dipengaruhi atau berkaitan dengan penggunaan lahan di sekitarnya
(Wibowo),2005).hujan yang turun pada kawasan bervegetasi akan terpartisi menjadi
troughfall,stemflow, dan terintersepsi,erosi dan aliran permukaan terutama pada area yang
terbuka karena adanya energi kinetik dari jatuhan hujan yang lebih besar.

Hutan dalam wilayah DAS mempunyai peranan penting terhadap daur hidrologis
(Pusposutardjo,1984). hutan alam dengan struktur komposisi tegakan yang kompleks akan
mampu menyediakan manfaat lingkungan seperti peredam banjir, erosi, infiltrasi dan sedimen,
serta pengendalian daur hidrologisnya. vegetasi di dalamnya dapat mempengaruhi sifat fisika dan
kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan
dengan demikian dapat mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan (Asdam,2007)

Aliran permukaan dan debit aliran yang lebih besar dapat membawa material tanah yang
ikut terbawa sebagai suspensi. PT, Sari Bumi Kusuma merupakan suatu perusahaan swasta
nasional yang bergerak di bidang industri kehutanan dan memperoleh areal konvensi sejak
dikeluarkannya forestry agreement (FA) no FA/N/016/III/1978, tanggal 29 Maret 1978,tentang
pemberian hak pengusahaan hutan dengan luas 84.000 ha(di kelompok hutan S Delang).
Berdasarkan Add.FA/N-AD/045/VII/1978 tanggal 14 Juli 1979, luasan bertambah menjadi
270.000 ha (penambahan luas 186.000 rp186.000 Han berada di kelompok hutan S. Seruyan).
Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh PT Sari bumi Kusuma sejak tahun 2005 adalah
silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dan silvikultur tebang pilih tanam jalur intensif
(TPTJI). Sistem silvil culture TPTJ intensif mengakibatkan pembukaan areal sekitar 25%, yang
diperuntukkan sebagai tanaman pengayaan (enrichman planting) dengan sistem jalur (Line
planting).implementasi sistem ini diduga pada awal penanaman akan berdampak pada
berkurangnya jumlah pohon per hektar akibat pembuatan jalur tanam sehingga sistem ini
berdampak pada menurunnya presentasi penutupan tajuk pohon (Losdy 2012).
Hal ini kemudian yang menyebabkan peluang yang lebih besar terhadap energi kinetik
hujan yang turun.energi kinetik yang lebih besar secara langsung mengenai permukaan tanah
akan menyebabkan pukulan air hujan semakin besar terhadap tanah yang berarti akan
menimbulkan erosi yang lebih besar, Selain itu, hilangnya vegetasi di atas permukaan tanah
menyebabkan seluruh air hujan sampai ke permukaan tanah sehingga memberikan peluang aliran
permukaan yang lebih besar dan muatan erosi yang terbawa aliran akan menyebabkan
meningkatnya muatan sedimen dan pendangkalan sungai.pendangkalan sungai ini akan berakibat
pada turunnya daya tampung sungai sehingga dapat menyebabkan banjir di bagian hilir.
Pengelolaan hutan alam PT Sari bumi Kusuma melakukan percobaan terhadap sistem silvikultur
yang diterapkan yaitu dengan membuat model pertanaman yang berbeda dalam sistem silvikultur
TPTJ. Percobaan tersebut dilakukan di blok tanam TPTJ Katingan, RKT2011 PT Sari bumi
Kusuma yang terdiri dari 3 plot uji pertanaman dengan kondisi masing-masing plot uji memiliki
perlakuan yang berbeda, plot uji tersebut meliputi plot a yang melingkupi catchment area SPAS
A berlokasi di petak 13 QQ dengan keadaan hutan virgin atau kontrol tanpa perlakuan di
dalamnya, plat B yang melingkupi cathment area SPAS B berlokasi di petak 13 QQ dengan
keadaan hutan bekas pembuatan jalan sarat dan penebangan 2011, pembuatan jalur tanam dan
penanaman memotong kontur, dan blok C yang melingkupi catchman area SPAS C berlokasi di
petak 13 SS dengan bekas jembatan jalan sarad dan penebangan 2011, pembuatan jalur tanam
dan penanaman sistem searah menurut Azizah (2013) nilai rerata debit suspensi di plot A(virgin)
yaitu 0,25 gram per detik atau 7,884 ton/ha/tahun termasuk ke dalam erosi normal dan diplot C
TPTJ berdasarkan kontur memiliki nilai rerata debit suspensi 0,2 gram per detik atau 7,56864
ton/ ha/termasuk ke dalam erosi normal. nilai aliran permukaan normal dan erosi yang relatif
kecil tetap perlu diperhatikan dan dikontrol agar tidak meningkat,sehingga menimbulkan dampak
yang merugikan serta berakibat buruk bagi daerah DAS terutama bagian hilir. Dengan
demikian,Terdapat hubungan antara hujan atau presipitasi dengan pembukaan hutan karena
tebangan dan penanaman terhadap aliran permukaan dan sedimen yang perlu untuk diketahui dan
diteliti lebih lanjut.

B. Rumasan Masalah

Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan proses hujan?

2. Bagaimana stasiun dan pengukuran hujan?

3. Bagaimana analisis karakteristik hujan?

4. Bagaimana rata rata hujan wilayah?

5. Bagaimana proses dan parameter evapotranspirasi?


6. Bagaimana evapotranspirasi potensial (metode penmann,dll)dan aktual?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan proses hujan .

2. Untuk mengetahui stasiun dan pengukuran hujan.

3. Untuk mengetahui analisis karakteristik hujan.

4. Untuk mengetahuirata rata hujan wilayah.

5. Untuk mengetahui proses dan parameter evapotranspirasi.

6. Untuk mengetahui perhitungan evapotranspirasi potensial(metode penmann,ddl)dan aktual.


BAB 2

PEMBABHASAN

A. Proses Hujan

Dari Badan Meteorologi, Klimatologi, serta Geofisika (BMKG), hujan adalah bentuk
presipitasi atau endapan asal cairan atau zat padat. Hal itu asal berasal kondensasi yang jatuh dari
awan menuju permukaan bumi.Hujan sebagai sumber air higienis utama di sebagian besar daerah
di dunia. karena, air yang dihasilkan oleh hujan tersebut bisa membantu berbagai ekosistem.
Tidak kalah penting, fenomena hujan artinya bagian asal proses terbentuknya air. Ketika air itu
jatuh ke permukaan bumi, waktu itulah disebut sebagai hujan. sebab, tidak semua air yang jatuh
dapat mencapai bumi. poly di antaranya yg menguap begitu saja. syarat tadi kerap terjadi di
wilayah panas dan kemarau seperti padang gurun.

Hujan adalah peristiwa turunnya butir-butir air yang berasal dari langit ke permukaan
bumi. hujan juga merupakan siklus air di planet bumi. Definisi hujan yang lainnya adalah sebuah
peristiwa presipitasi (jatuhnya cairan yang berasal dari atmosfer yang berwujud cair maupun
beku ke permukaan bumi) berwujud cairan. Hujan membutuhkan keberadaan lapisan atmosfer
tebal supaya dapat menemui suhu di atas titik leleh ee di dekat dan di atas permukaan bumi.Di
bumi, hujan adalah proses kondensasi(perubahan wujud benda ke wujud yang lebih padat) uap
air di atmosfer menjadi butiran-butiran air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di
daratan. Dua proses yang mungkin terjadi secara bersamaan dapat mendorong udara semakin
jenuh menjelang hujan yaitu pendinginan udara ataupun penambahan uap-uap air ke udara.
Butiran hujan mempunyai ukuran yang berbeda-beda mulai dari yang mirip penekuk(butiran
besar) hingga butiran yang kecil.

Proses terjadinya hujan yaitu:

1.)sinar matahari menyinari bumi, energi dan sinar matahari ini mengakibatkan terjadinya
evaporasi (penguapan) di lautan, samudra, danau, sungai dan sumber air lainnya sehingga
dihasilkan uap-uap air.
2.)uap-uap Air ini akan naik pada ketinggian tertentu dan akan mengalami peristiwa yang disebut
kondensasi. Peristiwa kondensasi ini diakibatkan oleh suhu sekitar uap air lebih rendah daripada
titik embun air.

3.)kemudian uap-uap Air ini akan membentuk awan. Lalu angin( yang terjadi karena perbedaan
antara udara) akan membawa butir-butir air ini.

4.)butir-butir Air ini akan menggabungkan diri (proses ini disebut koalensi) dan akan semakin
membesar akibat turbulensi udara, butir-butir air ini akan tertarik oleh gaya gravitasi bumi
sehingga jatuh ke permukaan bumi.

5.)dan ketika jatuh ke permukaan bumi, butir-butir Air ini akan melewati lapisan yang lebih
hangat di bawahnya. Sehingga butir-butir air sebagian kecil menguap lagi ke atas dan sebagian
lainnya jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan, dan inilah yang dinamakan hujan.

Proses-proses daur hidrologi

1. Evaporasi.

Tahap pertama dalam siklus air adalah evaporasi. Pada evaporasi terjadi  proses
penguapan berubahnya air yang tertampung di sungai, danau, atau laut menjadi uap air karena
panas matahari. Penguapan atau evaporasi terjadi karena perubahan molekul cair menjadi
molekul gas, maka air berubah menjadi uap. Penguapan yang terjadi sendiri kemudian akan
menimbulkan efek naiknya air yang telah berubah menjadi gas ke atmosfer. Sinar matahari
memiliki peran utama pada tahap evaporasi, apabila sinar yang memancar terik maka semakin
besar juga molekul air yang terangkat.

2. Transpirasi.

Selain penguapan pada air yang berada di badan air, penguapan juga terjadi pada bagian
tubuh makhluk hidup khususnya pada hewan. Tahap ini disebut juga transpirasi. Tumbuhan
melakukan penyerapan air lewat akar, lalu dimanfaatkan untuk fotosintesis, selanjutnya uap air
akan dikeluarkan lewat stomata. Sedangkan pada hewan, penguapan terjadi saat hewan
mengkonsumsi air dan selanjutnya akan bernapas yang dapat menghasilkan uap air. Molekul cair
pada hewan dan tumbuhan kemudian akan berubah menjadi uap atau molekul gas. Setelah terjadi
penguangapan pada molekul cair, akan naik menuju atmoster layaknya tahap evaporasi.
Transpirasi terjadi pada jaringan yang ada di hewan dan tumbuhan, meski dari tahap ini air yang
dihasilkan tidak terlalu banyak.

3. Evapotranspirasi.

Evapotranspirasi adalah penguapan air terjadi di seluruh permukaan bumi termasuk


badan air dan tanah maupun jaringan makhluk hidup. Pada tahap ini, akan terjadi penguapan di
saat molekul cair yang menguap merupakan seluruh jaringaan pada makhluk hidup serta air.
Tahap Evapotranspirasi sendiri sebagai tahap yang paling memberikan pengaruh pada jumlah air
yang terbawa di siklus hidrologi.

4. Sublimasi.

Sublimasi adalah peristiwa perubahan es menjadi uap air tanpa menjadi zat cair terlebih
dahulu. Tahap ini terjadi di wilayah kutub, baik kutub utara dan selatan, serta wilayah yang
banyak terdapat lapisan es yang akan mengalami proses sublimasi. Penguapan yang terjadi
merupakan perubahan es sehingga tidak melewati proses cair. Kondisi tersebut yang menjadi
perbedaan dalam tahap evaporasi dan sublimasi yaitu kedua tahap membutuhkan waktu yang
lebih lambat.

5. Kondensasi.

Setelah melalui tahap penguapan yang terjadi dari berbagai sumber, selanjutnya adalah
tahap kondensasi atau pengembunan. Tahap ini air yang telah menguap kemudian berubah
menjadi partikel es. Partikel es yang dihasilkan sendiri sangat kecil dan terbentuk dikarenakan
suhu dingin pada ketinggian atmosfer bagian atas. Partikel es sendiri kemudian berubah menjadi
awan hingga semakin banyak jumlah partikel esnya, awan kemudian semakin berwarna hitam.
Proses perubahan yang terjadi menjadi wujud yang lebih padat, contohnya pada gas yang
berubah menjadi cairan. Secara etimologi sendiri kondensasi merupakan istilah yang berasal dari
bahasa latin Condensate yang maknanya adalah tertutup. Penguapan sendiri sebagai salah satu
contoh dari perubahan fisika, yaitu perubahan zat yang sementara sifatnya. Contohnya pada
perubahan ukuran, wujud, dan bentuk. Perubahan ini kemudian tidak menjadi zat baru dan cairan
yang sudah terkondensasi dari uap ini kemudian dikenal sebagai kondensat. Sementara
kondensor adalah alat yang digunakan untuk melakukan kondensasi uap dan diubah menjadi
cairan.

6.Adveksi.

Adveksi adalah proses berpindahnya awan. Adveksi menjadikan awan-awan menyebar


dan berpindah tempat. Misalnya awan di wilayah lautan berpindah ke wilayah daratan. Awan
yang telah terbentuk pada fase sebelumnya akan berpindah menuju lokasi lain karena pengaruh
angin danperbedaan tekanan udara. Adveksi sebagai suatu penyebaran panas dengan arah
horizontal atau pun mendatar. Gerakan ini kemudian membuat udara di sekitarnya menjadi
panas.

7. Presipitasi.

Presipitasi dapat terjadi karena adanya pendinginan dan penambahan uap air, sehingga air
yang membentuk awan mencapai titik jenuh. Semakin banyak uap air yang terbentuk di
atmosfer, maka tetesan air yang ada di awan akan semakin banyak dan semakin berat. Ketika
awan tidak mampu menampung banyaknya air yang terbentuk, maka air tersebut akan
dikeluarkan dalam bentuk hujan. Jika suhu sekitar kurang dari 0 derajat celcius, kemudian akan
terjadilah hujan es hingga hujan salju.

8.Run Off.

Tahap Run Off dalam siklus air adalah peristiwa hujan yang jatuh ke permukaan bumi
dan terjadi di wilayah dataran tinggi, misalnya hujan di daerah hulu sungai. Hal ini menyebabkan
air mengalir ke daratan yang lebih rendah, sehingga proses Run Off dapat diartikan adalah proses
bergeraknya air. Air mengalir menuju ke laut sebagai tujuan terakhir. Setelah mencapai lautan,
maka akan terjadi evaporasi dan proses siklus air yang lainnya.

9. Infiltrasi.

Selanjutnya adalah tahap infiltrasi. Dalam tahap ini, menjadi faktor pada siklus
hidrologi/siklus air yang berperan penting saat mendistribusi air hujan. Sehingga sangat
memberikan pengaruh kepada permukaan, erosi, banjir, ketersediaan air untuk irigasi saat
kemarau, air bawah tanah hingga ketersediaan air untuk tanaman. Infiltrasi pada umumnya diberi
pengaruh oleh beragam vegetasi dan sifat tanah. Tahapan infiltrasi ini berkaitan dengan
persediaan air sumur hingga air tanah yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

10.Konduksi.

Tahap terakhir adalah tahap konduksi. Konduksi merupakan pemanasan dengan cara
bersinggungan langsung dengan suatu objek. Pemanasan disebabkan oleh molekul udara yang
berada di dekat permukaan bumi. Permukaan bumi bersinggungan dengan bumi yang menerima
panas langsung dari matahari hingga molekul yang telah panas ini kemudian bersinggungan
dengan molekul udara yang belum panas.

Siklus hidrologi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut:

1. Siklus Pendek

Siklus pendek merupakan suatu proses peredaran air dengan jangka waktu relatif
cepat.Proses ini biasanya terjadi di laut.Siklus pendek terjadi saat air laut mengalir
evaporasi( penguapan ), karena adanya panas dari matahari. Uap air dari evaporasi naik ke atas
sampai pada ketinggian tertentu dan mengalami kondensasi sehingga berbentuk awan. Awan
semakin lama semakin besar, maka turunlah sebagai hujan di atas laut. Air yang turun ini
kembali menjadi air laut yang akan mengalami evaporasi lagi. Siklus pendek merupakan suatu
proses peredaran air dengan jangka waktu relative.

2. Siklus Sedang

Siklus sedang, Air laut mengalami evaporasi menuju atmosfer, dalam bentuk uap air
karena panas matahari. Angin yang tertiup membawa uap air laut kea rah daratan. Pada
ketinggian tertentu, uap air yang berasal dari evaporasi air laut, sungai, dan danau terkumpul
makin banyak di udara. Suatu saat uap air menjadi jenuh dan mengalami kondensasi, kemudian
menjadi hujan. Air hujan yang jatuh di daratan selanjutnya mengalir ke parit, selokan, sungai,
danau, dan menuju ke laut lagi.

3. Siklus Panjang

Siklus panjang, Panas sinar matahari menyebabkan evaporasi air laut. Angin membawa
uap air laut ke arah daratan dan bergabung bersama dengan uap air yang berasal dari danau,
sungai, dan tubuh perairan lainnya, serta hasil transpirasi dari tumbuhan. Uap air ini berubah
menjadi awan dan turun sebagai presipitasi (hujan). Air hujan yang jatuh, sebagian meresap ke
dalam tanah (infiltrasi) menjadi air tanah. Adakalanya presipitasi tidak berbentuk hujan, tetapi
berbentuk salju atau es. Sebagian air hujan diserap oleh tumbuhan serta sebagian lagi mengalir di
permukaan tanah menuju parit, selokan, sungai, danau, dan selanjutnya ke laut. Aliran air tanah
ini di sebut perkolasi dan berakhir menuju air laut. Air tanah juga dapat muncul ke permukaan
menjadi mata air. Siklus panjang merupakan siklus yang berlangsung paling lama dan prosesnya
paling lengkap.
B. Stasiun dan Pengukuran Hujan

Dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan, Stasiun pengukur Curah Hujan sangat
dibutuhkan. Data curah hujan sangat penting dalam analisis hidrologi. Tujuan dari setiap
pengukuran curah hujan suatu lokasi adalah untuk memperoleh data yang benar-benar mewakili
lokasi tersebut. Dalam melakukan pengukuran curah hujan terdapat beberapa pertimbangan
antara lain adalah bagaimana menentukan lokasi alat penakar hujan tersebut agar dapat mewakili
daerah yang diinginkan guna menghitung curah hujan suatu area. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Belawan terletak pada provinsi Sumatera Utara. DAS Belawan mempunyai luas wilayah 460km2
dan memiliki jumlah stasiun yang aktif sebanyak 2 buah stasiun. Untuk pengukuran kerapatan
jaringan stasiun hujan pada DAS Belawan, metode digunakan adalah metode Kagan.
Perhitungan kerapatan menggunakan metode Kagan ini dimulai dengan menggunakan koefisien
korelasi antar stasiun hujan untuk curah hujan bulanan. Evaluasi jaringan kagan menunjukkan
hasil yaitu pertama hubungan jumlah stasiun hujan yang dibutuhkan dengan tingkat kesalahan
tertentu (kesalahan perataan dan kesalahan interpolasi), dan kedua lokasi stasiun hujan sesuai
dengan pola jaringan tertentu. Hasil dari metode Kagan ini adalah jumlah dan pola penempatan
stasiun hujan yang optimal. Hubungan jarak dan besar nya curah hujan yang ditunjukkan oleh
koefisien korelasi yang besarnya 0,315. Korelasi ini menunjukkan korelasi yang lemah antar
stasiun hujan dalam DAS Belawan sehingga akan menghasilkan data curah hujan yang kurang
akurat. Berdasarkan pedoman WMO (World Meteorological Organitation) untuk daerah tropik
seperti Indonesia, dalam keadaan normal kerapatan minimum sebesar 100-250 Km2/stasiun
sehingga kerapatan stasiun hujan untuk DAS Belawan sekarang memenuhi syarat yakni 230
Km2/stasiun, namun jumlah stasiun yang ada masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
stasiun yang dituntut dengan cara Kagan sehingga diperlukan penambahan jumlah stasiun. Dari
data curah hujan, untuk kesalahan 10% diperoleh jumlah stasiun sebanyak 5 stasiun hujan
dengan kerapatan 92 km2/stasiun dan untuk kesalahan 5% jumlah stasiun yang diperoleh 27
stasiun hujan dengan kerapatan 17,03km2/stasiun.

C. Analisis karakteristik hujan

Proses hidrologi dalam suatu DASsecara sederhana dapat digambarkandengan adanya


hubungan antara unsur masukan yakni hujan, proses dan keluaranyaitu berupa aliran. Adanya
hujan tertentuakan menghasilkan aliran tertentu pula. Aliran ini selain dipengaruhi oleh
karakteristik DAS dan juga sangat tergantung pada karakteristik hujan yang jatuh.Karakteristik
hujan meliputi tebal hujan,intensitas dan durasi hujan, sedang karakteristik DAS meliputi
topografi,geologi, geomorfologi, tanah, penutuplahan/vegetasi, dan pengelolaan lahan
sertamorfometri DAS.

Sebagaimana diketahui, hujan yang jatuh tidak semuanya akan menjadi limpasan.
Sebagian air hujan akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sebagian terintersepsi oleh tanaman
dan evapotranspirasi ke udara. Dengan demikian jelas bahwa persentase hujan yang menjadi
limpasan tergantung pada berbagai faktor. Bagian air hujan yang menimpa tajuk pohon, akan
membasahi daun dan mengalir ke batang pohon.Sisa air hujan yang langsung jatuh ke permukaan
tanah disebut tembusan (throughfall),sedang bagian air yang kemudian menetesdari dedaunan
dan batang yang disebut crowndrip, yang mengalir lewat sepanjang batang ke permukaan tanah
disebut aliran batang (stemflow) (Anderson et al., 1976).

Banyaknya air yang tidak langsung dapat mencapai permukaan tanah tergantung pada
karakteristik tanaman penutup. Karakteristik ini meliputi bentuk dan ukuran daun, bentuk dan
kerapatan tajuk, kekasaran kulit batang dan kelurusan batang pohon. Air yang dapat mencapai
permukaan tanah masih terbagi bagi lagi, sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian akan
mengisi ledok ledok permukaan tanah (depression storage), dan sisanya akan mengalir sebagai
limpasan (runoff). Banyaknya air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada sifat sifat fisik
tanah terutama tekstur dan stuktur tanah, keadaan topografi permukaan dan keadaan relief mikro
permukaan tanah. Dalam proses hidrologi mulai hujan hingga menjadi limpasan, akan selalu
terjadi penguapan. Besarnya penguapan ini tergantung pada keadaan penutup lahan, keadaan
cuaca dan sifat sifat meteorologis daerah kajian.

Pengalihragaman hujan menjadi limpasan pada suatu DAS sering diterangkan dengan
cara pemodelan. Pemodelan adalah suatu cara/penyederhanaan untuk menerangkan proses rumit
alami ke dalam gambar atau bahasa matematika agarmudah dipahami berdasarkan kaidah kaidah
yang berlaku. Menurut pengertian umum lainnya, model hidrologi adalah sebuah sajian
sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks.

Dalam pemilihan model hidrologi banyak faktor yang dijadikan pertimbangan, seperti
misalnya karakteritik data masukan (data hujan). Sifat-sifat hujan yang jatuh akan mempengaruhi
karakteritik keluaran. Oleh karena itu dipandang sangat penting untuk mengkaji karakteristik
hujan suatudaerah, sehingga pemilihan model hidrologi yang tepat dapat dilakukan.

Salah satu DAS yang selama ini banyak dikaji adalah DAS Bengawan Solo Hulu. DAS
ini merupakan salah satu daerah tangkapan Waduk Gadjahmungkur yang termasuk dalam
kategori DAS ‘sangat kritis’. Sungai-sungai yang masuk ke waduk ini, diketahui banyak
mengandung muatan sedimen (DPU, 1982; Hadi, 2003), sehingga diperkirakan akan
mengganggu operasi bendungan. Dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai proses
hidrologi, erosi dan sedimentasi pada sub-sub DAS ini, maka diharapkan pengendalian banjir,
erosi dan sedimentasi dapat dilakukan dengan baik.

Pemodelan matematis pada dasarnya dapat dibagi dua yakni determistik (bersifat pasti)
dan stokastik (bersifat tidak pasti). Dalam kelompok pemodelan hidrologi deterministik ada
kategori pengelompokan antara pemodelan terdistribusi dan pemodelan lumped. Pemodelan
lumped telah lama dikembangkan, dan banyak dipakai untuk berbagai aplikasi perhitungan
hidrologis. Salah satu pemodelan lumped yang terkenal adalah rumus rasional, yang digunakan
untuk memprediksi debit puncak (Kuichling, 1889 dalam Viesmann, 1989).
Pemodelan.Pemodelan matematis pada dasarnya dapat dibagi dua yakni determistik (bersifat
pasti) dan stokastik (bersifat tidak pasti). Dalam kelompok pemodelan hidrologi deterministik
ada kategori pengelompokan antara pemodelan terdistribusi dan pemodelan lumped. Pemodelan
lumped telah lama dikembangkan, dan banyak dipakai untuk berbagai aplikasi perhitungan
hidrologis. Salah satu pemodelan lumped yang terkenal adalah rumus rasional, yang digunakan
untuk memprediksi debit puncak (Kuichling,1889 dalam Viesmann, 1989).
Pemodelanterdistribusi (distributed modelling) berkembang kemudian, sejalan dengan kemajuan
teknologi komputasi, yakni ditemukannya komputer yang mampu melakukan perhitungan-
perhitungan rumit.

Sebagaimana diketahui bahwa paradigma pengelolaan sumberdaya air untuk masa kini
telah diarahkan ke hal-hal sebagai berikut (James dan Burges, 1982), yaitu: 1) dari pengendali
banjir dan penyediaan sumber air menjadi pengendalian kualitas air dan perlindungan
lingkungan sungai, 2) dari upaya pengendalian dengan bangunan air menjadi pendekatan non
bangunan fisik, 3) dari pemanfaatan data hidrologi secara terbatas menjadi untuk umum, 4) dari
cara-cara pendugaan secara deterministik menjadi cara stokastik. Pada saat sekarang, adanya
keungulan teknologi komputasi dan pemahaman distribusi keruangan mengenai fenomena
hidrologi memberikan pengaruh pada makin baiknya metode pendugaan aliran untuk berbagai
kepentingan pengelolaan sumberdaya air.

D. Rata rata Hujan Wilayah

Berikut ini adalah kajian curah hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia.

1. Januari

Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki curah hujan rata rata bulanan diatas 150
mm. Daerah yang memiliki curah hujan maksimum terdiri dari Lampung dan Jawa dengan
curah hujan diatas 300 mm. Keberadaan monsun Asia dan Australia tidak terlihat jelas pada
bulan ini. Dalam pengertian iklim klasik Indonesia, bulan ini semestinya termasuk dalam
periode monsun asia. Kenyataannya, berda-sarkan analisis angin ECMWF 850 mb. Monsun
Asia ada pada bulan NDJFM. Daerah yang paling berdekatan dengan asal monsun Asia (Riau
kepulauan) justru memiliki curah hujan yang lebih rendah. Kalau dilihat dari analisis angin,
daerah ini memang mensuplai massa udara basah tetapi kecepatan angin terlalu tinggi sehingga
mengurangi kemungkinan hujan di daerah ini. Daerah anomali hujan tinggi, selain di Riau
kepulauan juga terjadi di utara Sulawesi dan Maluku te-ngah.

Anomali lainnya juga terlihat jelas pada kon-tur hujan di Sulawesi selatan atau tepatnya
di sebe-lah barat kota Makasar. Tingginya curah hujan kota Makasar pada bulan ini harus
dipahami dengan situasi kota ini yang terletak dipinggir pantai sebuah semenanjung Sulawesi
selatan yang di tengahnya terdapat ba-risan bukit. Pada baratan pada bulan membawa udara
basah yang memberikan efek orografis ba-yangan hujan (Fohn effect). Sebagai hasilnya curah
hujan di kota ini jauh lebih tinggi dari nilai kontur yang tergambar. Terkadang terdapat data
dengan curah hujan diatas 1500 mm. Faktor kesalahan lain-nya adalah kurangnya titik observasi
di grid ini. Pada grid ini terdapat satu stasiun penakar di kota Makasar. Apabila ingin didapat
pola iklim berdasar hujan yang lebih mewakili maka grid ini membutuhkan jauh lebih banyak
data penakar terutama dari timur semenanjung Sulawesi selatan.

Hasil analisis angin menunjukkan bahwa terjadi konvergensi masa udara di daerah yang
memiliki curah hujan maksimum yaitu selatan Indonesia mulai dari Lampung hingga pulau
Timor. Di daerah sebelah utara Australia terjadi daerah pusaran angin yang menunjukkan daerah
yang sering terjadi siklon tropis. Apabila kita melihat bahwa monsun asia sudah melemah, maka
dapat disimpulkan sementara bahwa curah hujan tinggi di selatan Indonesia terjadi bukan karena
monsun Asia tetapi karena daerah pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan
(daerah ITCZ) dan keberadaan siklon tropis di sebelah utara Australia. Secara khusus dapat
dibagi lagi bahwa di daerah Lampung hingga Jawa pengaruh ITCZ lebih besar ketimbang siklon
tropis, tetapi daerah Nusa Tenggara mendapat pengaruh siklon tropis yang besar pula. Hal ini
jelas terlihat pada grid di daerah selatan laut Banda, yang paling berdekatan dengan lokasi siklon
di utara Australia, memiliki curah hujan mencapai > 350 mm.

Dari pola OLR, daerah yang berpeluang terjadinya hujan adalah daerah pesisir barat
Sumatera dan Jawa. Selain itu Maluku utara hingga Sulawesi utara serta tengah pulau Irian.
Daerah di tengah Irian dengan nilai OLR tinggi dapat dimaklumi secara orografis yaitu daerah
puncak Jayawijaya. Pola OLR tinggi di Maluku tengah dan Sulawesi Utara bertentangan dengan
data hujan yang menunjukkan daerah ini memiliki curah hujan minimum. Secara umum daerah
OLR juga mewakilletak posisi ITCZ yang tepat di daerah khatulistiwa. Dari pola OLR ini juga
terlihat bahwa daerah yang dekat dengan asal monsun Asia tidak memiliki potensi awan
konvektif sebagaimana analisis kita sebelumnya.

Analisis suhu permukaan dari ECMWF menunjukkan bahwa kemungkinan aliran angin
sesuai dengan pola angin ketinggian 850 mb. Arah angin berasal dari laut Cina selatan menuju
daerah benua australia. Kalau dilihat sepintas, keberadaan ITCZ sulit diramalkan dari pola suhu
permukaan yang ada ini. Daerah disebelah utara Australia memiliki suhu permukaan yang tinggi
hingga ada yang mencapai 3030K yang menunjukkan besarnya potensi terjadinya siklon di
daerah ini.

2. Februari

Pola hujan secara umum pada bulan ini tidak jauh berbeda dengan Januari dengan
penurunan intensi-tas hujan terjadi di semua wilayah. Penurunan juga terjadi di Maluku dan utara
Sulawesi, sementara efek orografis di kota Makasar masih terlihat.
Dari analisis angin 850 mb ECMWF dapat terlihat bahwa pola angin masih sangat serupa
dengan pola angin bulan Januari. Hasil ini dapat dimengerti apabila kita memperhatikan pola
suhu permukaan keluaran ECMWF yang mana untuk seluruh wilayah Indonesia, polanya sangat
serupa dengan pola bulan Januari kecuali di daerah Maluku selatan. Peru-bahan ini juga terlihat
dari pola pusaran angin di utara benua Australia yang berpindah lebih ke arah Indonesia.
Sementara pola pusaran disebelah barat pulau Sumatera tetap bertahan pada bulan ini. Dengan
melihat hasil keluaran angin 850 mb, dapat juga dimengerti penurunan intensitas curah hujan di
sebelah selatan Indonesia karena terjadinya kena-ikan kecepatan angin di daerah ini, sehingga
awan konvektif sulit terbentuk. Jadi meskipun ITCZ masih ada dan berpengaruh, aktivitas
konvektif lebih berkurang dibandingkan bulan Janua

Dari pola OLR, terlihat penyebaran daerah konvek-tif terutama di daerah barat Sumatera
berkurang jauh. Yang masih bertahan serupa dengan pola sebelumnya adalah daerah Irian Jaya.
Pengurang-an daerah konvektif di selatan Indonesia ini dapat dimengerti dari analisis angin 850
mb yang mulai memperlihatkan adanya kenaikan kecepatan angin.

3.Maret

Pola curah hujan rata rata bulan Maret masih menunjukkan pola serupa seperti bulan
Februari dan Januari. Dengan intensitas dan pola penyebar-an yang serupa dengan pola bulan
Februari, penjelasan penyebaran pola tidak jauh beda dengan bulan Februari. Penurunan
pengaruh Fohn effect di Makasar lebih diakibatkan terlalu lemahnya angin di daerah tersebut (<
2 m/s). Pada bulan ini, meskipun pola angin masih seragam dengan pola NDJFM yang
menunjukkan pola monsun Asia, tetapi justru pengaruh monsun paling kecil pada bulan ini.

Dari analisis angin ECMWF, terlihat bahwa daerah pusaran angin di daerah sebelah utara
Australia lebih mendekat ke arah Indonesia. Secara umum kecepatan angin sangat lemah (< 2
m/s) sehingga pola hujan yang mungkin terjadi bukanlah pola musiman tetapi lebih disebabkan
oleh faktor gangguan lokal. Pola angin yang sangat mirip dengan bulan Februari tetapi dengan
kecepatan yang jauh lebih rendah ini dapat dimengerti dari analisis pola suhu permukaan yang
masih seragam dengan pola di bulan Februari. Di sebelah selatan Indonesia pe-nyebaran daerah
bersuhu tinggi menyebabkan daerah ini mengalami penurunan kecepatan angin karena
penyebaran daerah ini meluas hingga sebelah barat Sumatera utara.

Pola OLR menunjukkan bahwa daerah konvektif masih terdapat di sebelah barat Sumatera
yang mana terjadinya lebih disebabkan oleh karena terdapatnya daerah perputaran arah angin
disini. Daerah potensial konvektif juga terjadi di daerah Maluku tengah. Interpretasi yang logis
dari hasil di daerah Maluku ini masih belum jelas.

4. April

Bulan ini ditandai dengan menurunnya curah hujan rata rata di Indonesia bagian selatan.
Terlebih di daerah Nusa Tenggara dimana mulai terlihat kedatangan musim kemarau atau
monsun Australia yang kering. Sebagian besar daerah Jawa berpeluang hujan antara 150 – 200
mm/bulan. Hampir seluruh Indonesia memiliki peluang yang serupa seperti ini. Sementara
sebagian daerah Sumatera, seluruh Kalimantan dan Irian Jaya, masih memiliki hujan relatif
tinggi. Daerah hujan rendah di daerah kedatangan monsun Asia semakin mengecil.

Dari analisis angin 850 mb, dapat disimpulkan bahwa bulan April merupakan bulan
transisi dari musim basah menuju musim kering. Pola angin yang jauh dari seragam hampir
terjadi disemua daerah terutama Indonesia bagian barat. Keberadaan ITCZ yang terletak tepat di
khatulistiwa jelas terlihat di pola angin diatas Maluku dan Irian Jaya. Pada bulan ini angin tidak
lagi berasal dari daerah monsun Asia, malahan angin kuat mulai mengalir dari benua Australia.
Keberadaan daerah siklon tropis di utara benua Australia juga menghilang. Arah angin yang
mulai mengarah dari Australia ini dapat dilihat dari pengaruhnya pada pola hujan di daerah nusa
tenggara yang intensitasnya sangat menurun (< 100 mm). Arah angin pada periode transisi ini
yang tidak homogen dapat dimengerti dari pola suhu permukaan yang menggambarkan pola suhu
tinggi hampir diseluruh wilayah Indonesia, dengan ini dapat dimengerti bahwa pada bulan ini
pola hujan terjadinya lebih dikarenakan faktor gangguan lokal. Karena suplai udara basah sudah
jauh berkurang. Pola suhu permukaan, dalam bulan JFM menunjukkan daerah bersuhu tinggi di
selatan Indonesia atau utara Australia yang menjadi faktor pendorong aliran udara dari Asia ke
daerah tersebut. Dengan meratanya penyebaran suhu tinggi permukaan maka tidak mungkin
tampil daerah yang arah anginnya homogen seperti perioda tersebut.

Dari pola OLR terlihat bahwa penyebaran daerah konvektif masih terjadi disebelah barat
Sumatera, Maluku tengah dan Irian Jaya. Hal ini tidak jauh beda dengan kondisi tiga bulan
sebelumnya. Kedatangan monsun Australia yang sudah mulai jelas, juga terlihat daerah bernilai
OLR rendah di Nusa Tenggara. Walau kedatangan monsun Australia sudah mulai terdeteksi
secara umum Indonesia pada bulan ini ada dalam perioda transisi.

5. Mei

Pola hujan bulan ini menunjukkan daerah intensitas cukup merata (150 – 200 mm) hampir
diseluruh Indonesia. Kecuali di sebelah barat Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Daerah
kering meluas hingga Jawa Tengah dan Sulawesi selatan. Dapat dikatakan bahwa pada bulan ini
Indonesia bagian selatan sudah memasuki musim kemarau.

Dari pola angin 850 mb, kondisi transisi masih bertahan terutama di Kalimantan.
Dominasi angin dari Australia semakin menyeruak masuk dan ITCZ mulai tidak jelas
keberadaannya. Selain dominasi angin dari Australia yang kering ternyata selatan Indonesia juga
dipengaruhi oleh kondisi angin kencang yang menghambat terjadinya hujan. Kondisi transisi
tidak jelas terutama terlihat dari suhu permukaan, maksimumnya bergeser ke belahan utara pada
bulan ini. Sebagian besar daerah Indonesia mengalami angin kecepatan “sedang” hingga
“rendah” yang memung-kinkan timbulnya hujan akibat gangguan lokal. Dari pola OLR terlihat
bahwa daerah konvektif juga berkurang dan daerah kering semakin meluas di Indonesia bagian
selatan. Daerah konvektif di barat Sumatera dan Maluku meluas ke utara.

6. Juni

Pola hujan pada bulan ini ditandai dengan makin meluasnya musim kemarau hingga
Sumatera utara. Sluruh Jawa telah masuk musim kemarau dengan beberapa daerah memiliki
curah hujan dibawah 100 mm. Daerah hujan tinggi masih terdapat di sebelah barat Sumatera dan
Kalimantan utara. Sedangkan di Maluku tengah terdapat daerah dengan curah hujan tinggi.
Daerah lainnya, curah hujan merata dengan intensitas 150 – 200 mm. Daerah musim kemarau
memiliki intensitas hujan hingga 0 mm. Pola angin pada bulan ini lebih kurang homogen. Angin
berkecepatan tinggi datang dari benua Australia menuju Asia dan sangat berpengaruh pada
kondisi musim kemarau terutama pada daerah Nusa Tenggara dan Maluku selatan.

Dilihat dari pola suhu permukaan, pemisahan daerah 3010K mulai tampak antara belahan
bumi selatan dan utara. Hal inilah yang membantu memperkuat angin dominan di Indonesia yang
berasal dari Australia. Suhu permukaan ditengah benua Australia telah turun jauh hingga
mengakibatkan angin berkecepatan tinggi.

Pola OLR bulan ini menunjukkan daerah konvektif hanya terdapat di barat Sumatera dan
umumnya di sebelah utara Indonesia. Pola musim kemarau di selatan Indonesia tidak berubah
hingga daerah Kalimantan selatan sebagaimana pola hujan bulan ini.

7. Juli

Pola hujan bulan Juli mennjukkan peningkatan daerah musim kemarau dalam hal daerah
yang intensitas curah hujan < 100 mm. Secara umum pola yang digambarkan serupa dengan
bulan Juni. Daerah musim kemarau meluas hingga Sulawesi utara. Pola angin pada bulan ini juga
tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan bulan sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti karena
dari pola suhu permukaan juga tidak terlihat pola yang berubah jelas jika dibandingkan dengan
bulan sebelumnya. Sementara dari pola OLR kita melihat bahwa daerah musim kemarau
semakin mendesak keatas dan meluas. Seluruh Jawa telah menjadi daerah non-konvektif.

8. Agustus

Pada bulan Agustus ini seluruh pulau Sulawesi memasuki musim kemarau. Hanya daerah
sebelah barat Sumatera curah hujan tinggi masih bertahan. Dapat dikatakan bahwa puncak
musim kemarau terjadi pada bulan ini. Kemarau terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia
kecuali Sumatera bagian barat, sebagian Kalimantan, Maluku tengah dan Irian Jaya. Pergerakan
monsun Australia atau musim kemarau berjalan teratur dan mencapai maksimum pada bulan ini.
Di daerah nusa teng-gara, intensitas hujan mencapai 0 mm. Dari pola angin, tidak tampak
perubahan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dapat dikatakan selama lima bulan MJJAS,
pola angin berlangsung secara homogen. Bertahannya curah hujan tinggi di sebelah barat
Sumatera, sebagian Kalimantan dan Irian Jaya adalah karena perputaran angin di daerah ini. Dari
pola suhu permukaan sebenarnya belahan bumi utara pada bulan ini tidak terlalu hangat
(>3020K), tetapi suhu di belahan bumi selatan terlalu rendah (<2980K)sehingga angin yang
mengalir di Indonesia tetap kencang .

Serupa dengan pola hujan rata rata bulanan, dari pola OLR dapat dilihat bahwa pada
bulan ini daerah musim kemarau mencapai daerah terluas atau bulan ini adalah puncak dari
musim kemarau. Daerah konvektif hanya terlihat di sebelah barat Sumatera dan daerah daerah di
utara Indonesia.

9. September

Bulan september merupakan awal dari peluruhan monsun Australia yang digambarkan
dengan pe-ngurangan daerah musim kemarau. Daerah musim kemarau disebelah utara Sumatera
menghilang. Musim kemarau masih ada di Sumsel, Jawa hingga Timor, Sulawesi dan Maluku.
Daerah Maluku utara dan Irian tetap bertahan dengan curah hujan sedang. Daerah hujan
minimum di sebelah selatan Indonesia juga mulai menampakkan peningkatan intensitasnya.
Daerah minim hujan di Sumatera juga sudah mulai menampakkan peningkatan intensitas.

Pola angin bulan ini menunjukkan pola yang serupa dengan pola angin MJJAS.
Bertahannya secara homogen pola angin ini selama lima bulan menunjukkan kuatnya pengaruh
monsun Australia di Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat bah-wa di selatan Indonesia
suhu permukaan mulai meningkat. Terutama hilangnya kontur suhu < 2980K di utara Australia
yang dapat diartikan mulai berkurangnya suplai udara kering dari benua ini.

Pola OLR menunjukkan adanya peningkatan daerah konvektif di sebelah barat Sumatera.
Daerah ini menunjukkan nilai OLR yang tinggi yang menandakan tingginya aktivitas konveksi
disini. Dari pola bulan ini juga mulai terlihat pindahnya aktivitas konvektif ke wilayah Indonesia
dari utara. Secara umum, Indonesia masih mengalami pola monsun Australia. Hal ini jelas
terlihat dari pola angin yang masih serupa dengan pola MJJAS

10. Oktober

Dari pola hujan bulanan, terjadi pergerakan daerah musim kemarau yang beralih ke
Indonesia timur. Batas musim kemarau mulai dari Jawa timur hingga menutupi seluruh
Indonesia timur kecuali Irian Jaya. Hal yang menarik lainnya adalah datangnya pengaruh
monsun Asia yang nampak dengan timbulnya daerah hujan di utara Kalimantan yang dekat
dengan Asia. Daerah lainnya yang memiliki curah hujan tinggi adalah sebelah barat Sumatera
dengan penyebab klasiknya yaitu pusaran angin di barat Sumatera. Pola angin 850 mb pada
bulan ini tetap menggambarkan pola monsun Australia. Kalau dibandingkan dengan pola hujan
hasil pengamatan, tidak dapat dikatakan bahwa hanya monsun Australia yang berpengaruh pada
bulan ini. Dari data angin mulai terlihat pindahnya daerah ITCZ di utara Indonesia. Dari pola
suhu permukaan, terlihat peningkatan suhu permukaan di Australia utara. Secara umum, seperti
bulan April, suhu permukaan hampir di seluruh wilayah Indonesia seragam. Sehingga
memperkuat hipothesis bahwa bulan ini dikategorikan sebagai masa transisi. Sesuai dengan
gambar pola hujan bulan Oktober, dari pola OLR terlihat juga bahwa musim kemarau masih
terbentang di Indonesia bagian selatan meskipun wilayahnya jauh lebih kecil daripada
sebelumnya.

11. November

Pola hujan bulan ini menunjukkan pudarnya peng-aruh monsun Australia dan masuknya
monsun Asia dengan udara basah sehingga di wilayah utara tampak peningkatan curah hujan
bulanan. Daerah seperti Kalimantan menerima curah hujan hingga lebih dari 350 mm. Daerah
musim kemarau seperti Sulawesi dan Jawa juga mulai menerima peningkatan curah hujan.
Daerah penurunan intensitas hujan malah terjadi di Irian Jaya bagian selatan. Meskipun masih
terdapat musim kemarau, daerah nusa tenggara menerima curah hujan sedang antara 50 – 150
mm. Sehingga dapat dikatakan, pada bulan ini musim kemarau telah lenyap dan digantikan oleh
kehadiran monsun Asia yang basah.

Kondisi pola angin bulan Nopember sangat menarik untuk disimak, terlihat daerah ITCZ
mulai berpindah ke khatulistiwa. Munculnya kembali daerah ITCZ ini lebih diakibatkan tekanan
monsoon Asia karena perpindahan posisi lintang matahari. Selain ITCZ, hampir diseluruh
wilayah Indonesia terjadi penurunan kecepatan angin yang mendorong timbulnya aktivitas
gangguan lokal untuk mempengaruhi intensitas hujan. Dari pola OLR terlihat pengurangan luas
daerah konveksi di sebelah selatan Indonesia. Selain itu daerah konvektif di Sumatera dan Riau
kepulauan juga mengalami peningkatan nilai OLR. Hal ini dapat dimengerti dari pola hujan
bulan ini.

12. Desember

Dalam bulan terakhir ini dapat dilihat bahwa pola monsun Asia dominan di bagian barat
Indonesia hingga Sulawesi selatan. Data penakar di Makasar menunjukkan timbulnya pengaruh
Fohn effect. Sedangkan situasi monsun Australia sudah menghilang sama sekali. Peningkatan
intensitas hujan terjadi hampir di seluruh wilayah. Mengikuti pola sebelumnya daerah yang
intensitas hujan minimal terjadi di Maluku dan Irian.

Dari pola angin terlihat perpindahan lokasi ITCZ lebih ke selatan dan semakin
dominannya aliran angin dari Asia. Kecuali Nusa Tenggara, maka seluruh wilayah Indonesia
dipengaruhi oleh monsun Asia. Perlu dicatat juga mulai timbulnya pengaruh siklon tropis di
utara Australia. Mulai dominannya angin dari Asia juga dapat dijelaskan dengan pola suhu
permukaan. Dari pola suhu permukaan terlihat bahwa di belahan bumi selatan suhu permukaan
lebih tinggi dari belahan bumi utara. Malah di benua Australia, suhu permukaan lebih tinggi dari
303oK. Dari pola OLR juga terlihat tidak adanya daerah non konvektif. Wilayah dengan nilai
OLR rendah sudah menyingkir jauh dari wilayah Nusa Tenggara. Angin di selatan Indonesia
juga berkecepatan rendah, yang memudahkan timbulnya pengaruh gangguan lokal. Wilayah
dengan nilai OLR tinggi meluas, seperti di Irian Jaya dapat dimengerti dengan melihat pola
hujan bulanan pada bulan ini dimana intensitas curah hujan turut meningkat.

E. Proses dan Parameter Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi. Evaporasi
adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air (abiotik), sedangkan
transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman (boitik) akibat proses respirasi dan
fotosistesis.

Kombinasi dua proses yang saling terpisah dimana kehilangan air dari permukaan tanah
melalui proses evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui proses transpirasi disebut
sebagai evapotranspirasi (ET).

Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting
dalam hidrologi karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam badab-badan air,
tanah, dan tanaman. Untuk kepentingan sumber daya air, data ini untuk menghitung
kesetimbangan air dan lebih khusus untuk keperluan penentuan kebutuhan air bagi tanaman
(pertanian) dalam periode pertumbuhan atau periode produksi. Oleh karena itu data
evapotranspirasi sangat dibutuhkan untuk tujuan irigasi atau pemberian air, perencanaan irigasi
atau untuk konservasi air.

Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni:

a.Radiasi surya (Rd): Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan air, tanah dan
tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis lokasi,

b. Kecepatan angin (v): Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya air yang
telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat berlangsung terus sebelum
terjadinya keejenuhan kandungan uap di udara,

c. Kelembaban relatif (RH): Parameter iklim ini memegang peranan karena udara memiliki
kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur udara dan tekanan udara
atmosfir,

d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu ini dapat
berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.
Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi yang
disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman.

1. Evaporasi

Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air
(vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air dapat
terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan vegetasi hijau.

Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase uap. Radiasi
matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara merupakan sumber
energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari permukaan penguapan adalah
perbedaan tekanan antara uap air di permukaan penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama
berlangsungya proses, udara sekitar menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan
melambat will dan kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir.
Pergantian udara jenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin. Oleh
karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin merupakan
parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses evaporasi.

Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan tanaman
pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan juga menjadi faktor
yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan gerakan vertikal air dalam
tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber pembasahan permukaan tanah. Jika tanah
dapat menyuplai air dengan cepat yang memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari
tanah ditentukan hanya oleh kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan
irigasi cukup lama dan kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil,
maka kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi
kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor pembatas.
Berkurannya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi menurun drastis. Proses ini
mungkin akan terjadi dalam beberapa hari.

1. Transpirasi

Proses transpirasi meliputi penguapan cairan (air) yang terkandung pada jaringan
tanaman dan pemindahan uap ke atmosfir. Tanaman umumnya kehilangan air melalui stomata.
Stomata merupakan saluran terbuka pada permukaan daun tanaman melalui proses penguapan
dan perubahan wujud menjadi gas.

Air bersama beberapa nutrisi lain diserap oleh akardan ditransportasikan ke seluruh
tanaman. Proses penguapan terjadi dalam daun, yang disebut ruang intercellular, dan pertukaran
uap ke atmossfir dikontrol oleh celah stomata (stomatal aperture). Hampir semua air yang
diserap oleh akar keluar melalui proses transpirasi dan hanya sebahagian kecil saja yang
digunakan dalam tanaman.
Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap air dan
angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke

Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap air dan
angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke akar juga menentukan
laju transpirasi, termasuk genangan air dan salinitas air tanah. Laju transprasi juga dipengaruhi
oleh karakteristik tanaman, aspek lingkungan dan praktek pengolahan dan pengelolaan lahan.
Perbedaan jenis tanaman akan memberikan laju transpirasi yang berbeda. Bukan hanya tipe
tanaman saja, tetapi juga pertumbuhan tanaman, lingkungan dan manajemen harus
dipertimbangkan dalam penentuan transpirasi.

F.Perhitungan evapotranspirasi potensial (metode Penmann,ddl)dan Aktual

Sama halnya dengan evaporasi, data-data yang dihasilkan dari BMKG akan didapatkan
nilai parameter extraterrestrial radiation (Ra) dan global radiation (Rs). Nilai Ra dan Rs
didapatkan berdasarkan kodingan pada visual basic di Microsoft Excel. Nilai Ra dan Rs akan
digunakan pada model Penman-Monteith (Penman Modifikasi).

Model Penman

Model penman membutuhkan empat parameter data cuaca, yaitu suhu udara, radiasi
matahari, kelembaban relatif, kecepatan angin sehingga persamaan (30) model ini dapat
diberikan sebagai berikut:

ETp = c WRn/ 2.45 + (1 − W)f(u)(ea − ed) ...........................................(30)

Keterangan:

ETp = evapotranspirasi potensial (mm/hari)

W = faktor pemberat yang berkaitan dengan suhu

Rn = radiasi netto ekivalen evaporasi (MJ/m2 /hari)

F(u) = fungsi yang berkaitan dengan kecepatan angin

Ea-ed = perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata dengan tekanan uap
aktual rata- rata udara (mb)

Rnl = radiasi gelombang panjang netto

Rso = radiasi clear-sky

ea = tekanan uap aktual (kPa)


RHmean = kelembaban relatif rata-rata (%) e° = tekanan uap jenuh pada suhu udara tertentu
(kPa)

𝛼𝛼 = albedo atau koefisien refleksi kanopi sesuai tanaman .

Nilai fu dan (ea-ed) dapat dihitung berdasarkan persamaan - persamaan berikut:

f(u) = 0.27 (1 + 8.64u/ 100) ..................(36)

ea = 0.0478Tmean2 − 0.823Tmean + 13.41 ...............................................(37)

ed = ea( RH/ 100)..................................(38)

Keterangan:

u = kecepatan angin (m/s)

Rso = radiasi clear-sky

Menurut Kananto (1995) perhitungan kebutuhan air untuk tanaman atau evapotranspirasi
potensial ETc diperlukan dalam perencanaan dan operasi pengelolaan sumberdaya air. Rumus
perhitungannya adalah: ETc kc xET0 Dengan kc adalah koefisien tanaman yang dikehendaki
dan ET0 adalah evapotranspirasi acuan. Menurut Weert (1994) bahwa evapotranspirasi acuan
(ETo) adalah besarnya evapotranspirasi dari tanaman hipotetik (teoritis) yaitu dengan ciri
ketinggian 12 cm, tahanandedaunan yang ditetapkan sebesar 70 det/m dan albedo (pantulan
radiasi) sebesar 0,23, mirip dengan evapotranspirasi dari tanaman rumput hijau yang luas dengan
ketinggian seragam, tumbuh subur, menutup tanah seluruhnya dan tidak kekurangan air. Masih
dikatakan Kananto (1995) metode perhitungan ET0 dipilih berdasarkan ketersediaan data iklim
temperatur rata-rata bulanan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin. Salah satu studi
pustaka yang ditulis oleh Jansen dkk (1990) mengatakan bahwa salah satu metode non standar
yang memenuhi keempat variabel tersebut di atas adalah Metode FAO Penmann yang terkoreksi
atau lazim disebut Penmann Modifikasi.

Menurut Smith (1991) bahwa metode untuk menghitung ET0 telah banyak ditulis di
dalam literatur. Akhir-akhir ini metode standar telah di rekomendasikan oleh Badan Pangan
Dunia (Food Agricultural Organization). Metode standar FAO telah diujicobakan dan hasilnya
cukup baik dengan data ETo dari Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Afrika. Metode ini
menggantikan Metode FAO 1977 yang ditulis oleh Doorborens dan Pruitts (1977). Masih
menurut Smith (1991) melaporkan bahwa rumus untuk metode standar didasarkan atas rumus
Penmann-Monteith.

Bersumber dari Rahmayeni (2010) bahwa untuk menganalisa evapotranspirasi acuan


(ETo) non standar empat variabel menggunakan rumus Penman-Modifikasi seperti yang telah
direkomendasikan oleh Kananto (1995). Langkah perhitungan dengan metode Penman
Modifikasi adalah mengikuti Persamaan 2 seperti di bawah ini. ETo = C ( W x Rn+( 1– W) x
f(U) x (ea-ed) (2) Dengan : ETo = evapotranspirasi potensial harian (mm/hari) C = faktor
koreksi, W = suatu faktor yang berhubungan dengan temperatur dan suhu, Rn = radiasi
gelombang netto (mm/hari), f(U) = suatu faktor yang bergantung pada kecepatan angin
(km/hari), ea = nilai tekanan uap jenuh (m bar), ed = nilai tekanan uap air nyata (m bar).
BAB 3

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa Evapotranspirasi adalah gabungan dari
dua istilah yaitu yang menggambarkan proses fisika trasfer air kedalam atmosfer,yakni evaporasi
air dari permukaan tanah dan traspirasi dari tumbuhan. Dampak yang di timbulkan dari adanya
evapotranspirasi yaitu tanaman akan layu jika evapotranspirasi terlalu tinggi dan tanaman akan
cepat membusuk jika evapotranspirasi terlalu rendah.

B.Saran

Adapun saran saya yaitu kita tidak luput dari kesalahan dan rasa khilaf. Mungkin hanya
ini yang dapat saya sampaikan. Jika ada kesalahan materi maupun merugikan pihak-pihak
tertentu saya meminta kritik dan sarannya, kritik maupun sarannya sangatlah penting. Terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA

https://bamai.uma.ac.id/2022/11/11/proses-terjadinya-hujan/

https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/20916

Asdak Chay (1995).Hidrologi danPengelolaandaerah Aliran Sungai .Yogyakarta:Gadjah Mada


Press.

Black,Peter E.,(1991)Watershed Hydrology, Prentice Hall,EnglewoodCliffs,New Jersey.

DoorenbosJ.,A.H Kassam ,(1979),Yield Respons to Water,FAO,Romeo.

https://library.unibabwi.ac.id/respositiry/5

https://imsspada.kemdikbud.go.id/mod/resource/view.php?id=62970

Anda mungkin juga menyukai