Februari 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO PALU
Disusun Oleh:
Muhammad Ramadhan I.
N 111 21 012
Pembimbing Klinik:
dr. Imtihanah Amri, Sp.An
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................34
BAB V PENUTUP.....................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................39
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis
maupun selama pemantauan.3
Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi
orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara
Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). 1
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang
disebut ”5 Fs”: female, fertile, fat, fair dan forty. Di Amerika 10- 20 % laki-laki
dewasa menderita batu empedu, di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki, sementara
di Indonesia, kebanyakan lebih dari 80% gejala batu empedu tidak nampak. Kasus
kolelitiasis di Indonesia kurang mendapat perhatian karena sering sekali asimtomatik
sehingga sulit di deteksi atau sering terjadi kesalahan diagnosis. 1,4,5
Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20
tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30%
mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cholelithiasis
2.1.1 Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, atau biliary
calculus. Kolelitiasis atau batu empedu dikenal ada tiga jenis, yaitu batu
kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin, dan batu campuran.4,6
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung
empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.4
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu
di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya.1,6
2.1.3 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan
batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung
20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung
empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kaslium dalam kandung
empedu.10
Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan
pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan
penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk
menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi
di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam
bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah.
10
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Batu kolestrol murni merupakan hal yang
jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya
merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Proses fisik
pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
- Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
- Pembentukan nidus.
- Kristalisasi/presipitasi.
- Agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain
2. Batu pigmen
Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.
3. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme
yang sama dengan batu kolesterol.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan alian empedu secara parsial maupun
total sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase berulang batu empedu
melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan
sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila
batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu
besar ataupun karena adanya striktur, batu akan tetap berada disana sebagai
batu duktus sistikus.10,12
2.1.4 Faktor Resiko
Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:
1. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih
muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap
batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin
tinggi. Hal ini disebabkan:
Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu
Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin
bertambah.5,9
2. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu
empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.5,9
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan
kandung empedu.5,9
4. Nutrisi parenteral jangka lama
Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
2.1.5 Tatalaksana
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya
gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simtomatik dan kolelitiasis yang asimtomatik. Pada kolelitiasis yang
asimtomatik, perlu dijelaskan pada pasien bahwa tidak diperlukan tindakan
sampai kolelitiasis menjadi simtomatik. Jika tidak ditemukan gejala,. nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak.3,4
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran
batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid
(UDCA), extracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL) dengan pemberian
kontinyu obat - obatan, penanaman obat secara langsung di kandung empedu.
Terapi medikamentosa dengan UDCA untuk menurunkan saturasi kolesterol
empedu dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan kolesterol
dari batu serta mencegah pembentukan inti batu. Pada pasien dengan fungsi
kandung empedu yang masih baik dan batu radiolusen < 10 mm, disolusi
lengkap tercapai pada 50 % pasien dengan 6 bulan sampai 2 tahun dengan
UDCA dengan dosis 8-12 mg/kgBB per hari.3
UDCA digunakan untuk melarutkan batu kolesterol yang kecil pada
pasien dengan penyakit batu empedu simtomatik yang menolak dilakukan
tindakan kolesistektomi dengan dosis 8-13 mg/kg/hari. UDCA juga efektif
untuk pencegahan batu empedu pada pasien obesitas yang menjalani terapi
penurunan berat badan yang cepat. Namun terapi dengan tindakan bedah tetap
diindikasikan karena UDCA tidak sepenuhnya menghancurkan batu. Lima
puluh persen pasien yang mendapat terapi UDCA mengalami serangan
ulangan dalam 5 tahun.3
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.4 Pilihan
penatalaksanaan bagi pasien dengan gejala simtomatik, antara lain:
1. Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan baku emas
dalam penanganan kolelitiasis dengan gejala (simtomatik).
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi
yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.3,4
2. Kolesistektomi laparaskopi
Laparoskopik kolesistektomi merupakan tindakan yang paling
umum dilakukan untuk pengangkatan batu empedu, terutama pada
kasus yang sudah mengalami komplikasi seperti kolangitis.
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.3,4
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit
dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi. Kolesistektomi laparaskopik ini sendiri juga
merupakan modalitas terapi yang unggul dalam tatalaksana batu
CBD.3,4,8
3. Disolusi Medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang
dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan
batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu yang
dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya
harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu
kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.4,8
4. Disolusi Kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol
yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung
empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu.
Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).4,8
2.1.6 Prognosis
Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan meningkatnya
kematian atau ditandai dengan kecacatan. Jadi prognosis cholelithiasis
tergantung dari ada/tidak dan berat/ringannya komplikasi. Namun, adanya
infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran
biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian, dengan
diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan
biasanya sangat baik.1
[22] [23]
Hasil yang diperoleh dari kriteria ini berkisar 1-10. Pasien akan
dinilai saat masuk ke Recovery Room, setelah itu dilakukan penilaian
kembali setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4 kali, kemudian
skor total akan dihitung dan dicatat pada catatan penilaian. [28]
BAB III
LAPORAN KASUS
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin (16/01/2023)
D. Assesment
Status fisik ASA 1
Diagnosis pra-bedah : Cholelithiasis + Cholecystisis
E. Plan
Jenis anestesi : General Anestesi
Teknik anestesi : General Anestesi Intubasi ETT
Jenis pembedahan : Laparascopy + Cholecystectomy
F. Persiapan Pre-Operatif
Di ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 12 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm
Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.
G. Persiapan alat (STATICS)
a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope : pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien pada kasus ini digunakan
ETT no 7
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya
H. Prosedur General Anestesi
1. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan
cairan NaCl 0,9% 20 tpm
2. Memasang monitor untuk melihat heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi
3. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Ondasentron 4 mg/iv
4. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Midazolam 2 mg/iv
5. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Fentanyl 100 mcg/iv
6. Diberikan obat induksi yaitu Propofol 80 mg/iv
7. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv
8. Memposisikan kepala ekstensi pada leher, lalu memberikan ventilasi
tekanan positif
9. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara
lembut dengan cara menyisipkan laringoskop ke sisi kanan mulut
pasien, lalu menggusur lidah ke kiri hingga terlihat epiglotis dan
menyusuri hingga pita suara sudah terlihat.
10. Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada pasien ini
menggunakan ETT dengan ukuran 7
11. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon dengan
udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik
12. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar
bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian
mengecek pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru
yang simetris kiri dan kanan
13. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau
tercabut di sebelah kanan mulut pasien
14. Maintenance selama operasi diberikan:
15. Sevoflurans 2 vol %
16. O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
17. Diberikan analgetik yaitu Ketorolac 30 mg/iv
18. Operasi selesai, pasien di pindahkan ke ruang perawatan
I. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Cholelithiasis + Cholecystisis
b) Diagnosis post-bedah : -
c) Jenis pembedahan : Laparascopy + Cholecystectomy
d) Jenis anastesi : General anastesi
e) Teknik anastesi : Intubasi ETT
f) Preoksigenasi : O2 5 l/menit via face mask
g) Premedikasi anestesi : Ondansentron 4 mg/iv
Midazolam 2 mg/iv
Fentanyl 100 mg/iv
h) Induksi : Propofol 80 mg/iv
i) Intubasi :
Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv tunggu 3
menit.
Memposisikan kepala ekstensi pada leher, lalu memberikan
ventilasi tekanan positif
Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop
secara lembut dengan cara menyisipkan laringoskop ke sisi kanan
mulut pasien, lalu menggusur lidah ke kiri hingga terlihat epiglotis
dan menyusuri hingga pita suara sudah terlihat
Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada
pasien ini menggunakan ETT dengan ukuran 7,0
Mengangkat laringoskop dan stilet ETT dan mengisi balon
dengan udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik
Menghubungkan ETT dengan ambubag dan melakukan
ventilasi sambil melakukan auskultasi, pertama pada
lambung (tidak terdengar bunyi gurgling) artinya udara tidak
masuk ke esofagus. Kemudian mengecek pada paru kanan dan
kiri sambil memperhatikan pengembangan dada, terdengar bunyi
napas dan pengembangan paru yang simetris kiri dan kanan
Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau
tercabut di sebelah kanan mulut pasien
Atracurium 25 mg/iv
10.05 115/75 90 100
10.10 110/70 85 100 Mulai operasi
10.55 92/66 95 99
12.05 115/60 77 99
Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – total cairan yang dibutuhkan
= 2200 ml - 1504 ml
= +696 ml
I. POST OPERATIF
Total 10
BAB IV
PEMBAHASAN
ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah atau penyakit lain.
ASA VI : Pasien mati otak yang organnya akan diambil untuk didonorkan
E : Jika prosedur darurat, fisik status diikuti oleh “E” (misalnya, “2E”)
Diberikan fentanyl karena sifat analgesia yang baik, onset yang cepat dan
durasi yang singkat, sedikit mendepresi kardiovaskular serta tidak menyebabkan
pelepasan histamin, maka fentanyl sering kali menjadi pilihan utama sebagai agen
premedikasi dan induksi dalam anestesi umum. Fentanyl merupakan suatu agonis
reseptos mu (µ) dan sifat anelgetiknya 100 kali lebih poten dari morfin. Fentanyl
umumnya diberikan secara intravena walaupun dapat juga diberikan secara
intramuscular, intratekal dan epidural.[32]
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. 17Induksi
pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu Propofol 80 mg I.V (dosis
induksi 1-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi
dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi
neuron yang hancur oleh GABA. [34]
44
10. Damkier HH, Brown PD, Praetorius J. Cerebrospinal fluid secretion by the
choroid plexus. Physiol Rev. 2013 Oct;93(4):1847-92. [ PubMed]
11. Preuss M, Hoffmann KT, Reiss-Zimmermann M, Hirsch W,
Merkenschlager A, Meixensberger J, Dengl M. Updated physiology and
pathophysiology of CSF circulation--the pulsatile vector theory. Childs
Nerv Syst. 2013 Oct;29(10):1811-25. [ PubMed]
12. Eymann R. [Clinical symptoms of hydrocephalus]. Radiologe. 2012
Sep;52(9):807-12. [ PubMed]
13. Fink KR, Benjert JL. Imaging of Nontraumatic Neuroradiology
Emergencies. Radiol Clin North Am. 2015 Jul;53(4):871-90, x. [ PubMed]
14. Hamilton MG. Treatment of hydrocephalus in adults. Semin Pediatr
Neurol. 2009 Mar;16(1):34-41. [ PubMed]
15. Markey KA, Mollan SP, Jensen RH, Sinclair AJ. Understanding idiopathic
intracranial hypertension: mechanisms, management, and future
directions. Lancet Neurol. 2016 Jan;15(1):78-91. [ PubMed]
16. Bidot S, Saindane AM, Peragallo JH, Bruce BB, Newman NJ, Biousse
V. Brain Imaging in Idiopathic Intracranial Hypertension. J
Neuroophthalmol. 2015 Dec;35(4):400-11. [ PubMed]
17. Bakkour A, Morris JC, Wolk DA, Dickerson BC. The effects of aging
and Alzheimer's disease on cerebral cortical anatomy: specificity and
differential relationships with cognition. Neuroimage. 2013 Aug
01;76:332-44. [ PMC free article] [ PubMed]
18. Richards JE, Sanchez C, Phillips-Meek M, Xie W. A database of age-
appropriate average MRI templates. Neuroimage. 2016 Jan 01;124(Pt
B):1254-1259. [ PMC free article] [ PubMed]
19. Rojas R, Riascos R, Vargas D, Cuellar H, Borne J. Neuroimaging in
drug and substance abuse part I: cocaine, cannabis, and ecstasy. Top
Magn Reson Imaging. 2005 Jun;16(3):231-8. [ PubMed]
20. Holt JL, Kraft-Terry SD, Chang L. Neuroimaging studies of the aging
HIV-1-infected brain. J Neurovirol. 2012 Aug;18(4):291-302. [ PMC
free article] [ PubMed]
21. Amri I. Kuliah Umum Manajemen Jalan Nafas. 2020.
45
22. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange.
23. Okta, I.B,. Subagiartha, I.M,. Wiryana,M. 2017. Perbandingan Dosis
Induksi Dan Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor Yang
Mendapatkan. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 9(3) : 137-145.
24. Arvianto,. Oktaliansah, E,. Surahman, E. 2017. Perbandingan antara
Sevofluran dan Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia
Target Controlled Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan
Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 5(1) : 24-31.
25. Rajagopal, S. buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Tangerang Selatan : karisma
publishing group. 2014.
26. Darsana, I. Dewa Gede Oka. General Anastesi Face Mask (GA FM) pada
Pasien Combutio Grade II A. Jurnal Kedokteran. 5.1; 2019 : 143-153.
27. Gwinnutt, CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta. 2014.
28. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed. 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI; 2009.
29. Lewar E I. Efek Pemberian Obat Anestesi Inhalasi Sevofluran Terhadap
Perubahan Frekuensi Nadi Intra Anestesi Di Kamar Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Umu Rara Meha Waigapura. Jurnal Info Kesehatan.
14(2);2015
30. Hartanto B, Suwarman, Sitanggang R H. Hubungan antara Duarasi Puasa
Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi pada Pasien Operasi
Elektif di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 4(2);2016:87-94.
31. Matana M, Laihad M, Tambojong H. Efek Premedikasi Midazolam 0,05
mg/kgbb/iv Terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi. Jurnal e-Biomedik.
1(1);2013:619-696
46
32. Siswagama T A, Bagianto H, Laksono R M. Efek Pemberian Pre-empive
Fentanyl 25µg terhadap Kejadian Batuk setelah Bolus Fentanyl 2 µg/kg IV
(Fentanyl Induced Cough). Jurnal Anestesiologi Indonesia. 5(1);2013:1-10
33. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Ed.
5. Jakarta : FKUI ; 2016.
34. Butterworth JF, Wasnick JD, Mackey DC. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6th ed. New York: McGraw Hill Education; 2018.
47