Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI REFLEKSI KASUS

Februari 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO PALU

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN CHOLELITHIASIS


MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTESIA
(GETA)”

Disusun Oleh:

Muhammad Ramadhan I.

N 111 21 012

Pembimbing Klinik:
dr. Imtihanah Amri, Sp.An
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muhammad Ramadhan Imaduddin


No. Stambuk : N 111 21 012
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus :“Manajemen Anestesi Pada Pasien dengan Diagnosis
Cholelithiasis menggunakan Teknik General Endotracheal
Anestesia (GETA)”

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Februari 2023


Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Imtihanah Amri, Sp.An Muhammad Ramdhan I.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3

BAB III LAPORAN KASUS.....................................................................................19

BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................34

BAB V PENUTUP.....................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................39

BAB I
PENDAHULUAN

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang


mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.1,2

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis
maupun selama pemantauan.3

Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi
orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara
Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). 1
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang
disebut ”5 Fs”: female, fertile, fat, fair dan forty. Di Amerika 10- 20 % laki-laki
dewasa menderita batu empedu, di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki, sementara
di Indonesia, kebanyakan lebih dari 80% gejala batu empedu tidak nampak. Kasus
kolelitiasis di Indonesia kurang mendapat perhatian karena sering sekali asimtomatik
sehingga sulit di deteksi atau sering terjadi kesalahan diagnosis. 1,4,5

Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20
tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30%
mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cholelithiasis
2.1.1 Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, atau biliary
calculus. Kolelitiasis atau batu empedu dikenal ada tiga jenis, yaitu batu
kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin, dan batu campuran.4,6
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung
empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.4
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu
di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya.1,6

Gambar 1. Batu dalam kandung empedu.


2.1.2 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka
kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia
Tenggara hanya saja baru mendapatkan perhatian klinis dan publikasi
penelitian masih terbatas karena sebagian besar pasien kolelitiasis
asimtomatik. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam
kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)
khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair (kulit putih), dan forty
(empat puluh tahun).1,4,9
Kolelitiasis sudah banyak ditemukan pada populasi umum, 13,1% pria
dan 33,7% wanita dari 11.840 orang yang dilakukan otopsi terdiagnosis
kolelitiasis. Dari 20 juta orang di negara Barat, 20% perempuan dan 8%
laki-laki usia diatas 40 tahun menderita kolelitiasis. Kolelitiasis umumnya
timbul pada orang dewasa yang berusia 20-50 tahun, kira-kira 20%
penderita kolelitiasis berumur di atas 40 tahun, wanita lebih berisiko
mengalami kolelitiasis karena pengaruh hormon esterogen, dan orang
dengan diabetes mellitus lebih beresiko karena memiliki kadar kolesterol
yang tinggi.9

2.1.3 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan
batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung
20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung
empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kaslium dalam kandung
empedu.10
Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan
pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan
penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk
menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi
di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam
bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah.
10

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang


terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu,
lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila
empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan
membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam
kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah
ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu.1,11

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu


empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:7

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Batu kolestrol murni merupakan hal yang
jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya
merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Proses fisik
pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
- Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
- Pembentukan nidus.
- Kristalisasi/presipitasi.
- Agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain

Gambar 5. Batu kolesterol

2. Batu pigmen
Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.

Gambar 6. Batu pigmen coklat

b. Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu
pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien
dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini
terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.

Gambar 7. Batu pigmen hitam

3. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme
yang sama dengan batu kolesterol.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan alian empedu secara parsial maupun
total sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase berulang batu empedu
melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan
sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila
batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu
besar ataupun karena adanya striktur, batu akan tetap berada disana sebagai
batu duktus sistikus.10,12
2.1.4 Faktor Resiko
Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:
1. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih
muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap
batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin
tinggi. Hal ini disebabkan:
 Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
 Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu
 Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin
bertambah.5,9
2. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu
empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.5,9
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan
kandung empedu.5,9
4. Nutrisi parenteral jangka lama
Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
2.1.5 Tatalaksana
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya
gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simtomatik dan kolelitiasis yang asimtomatik. Pada kolelitiasis yang
asimtomatik, perlu dijelaskan pada pasien bahwa tidak diperlukan tindakan
sampai kolelitiasis menjadi simtomatik. Jika tidak ditemukan gejala,. nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak.3,4
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran
batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid
(UDCA), extracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL) dengan pemberian
kontinyu obat - obatan, penanaman obat secara langsung di kandung empedu.
Terapi medikamentosa dengan UDCA untuk menurunkan saturasi kolesterol
empedu dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan kolesterol
dari batu serta mencegah pembentukan inti batu. Pada pasien dengan fungsi
kandung empedu yang masih baik dan batu radiolusen < 10 mm, disolusi
lengkap tercapai pada 50 % pasien dengan 6 bulan sampai 2 tahun dengan
UDCA dengan dosis 8-12 mg/kgBB per hari.3
UDCA digunakan untuk melarutkan batu kolesterol yang kecil pada
pasien dengan penyakit batu empedu simtomatik yang menolak dilakukan
tindakan kolesistektomi dengan dosis 8-13 mg/kg/hari. UDCA juga efektif
untuk pencegahan batu empedu pada pasien obesitas yang menjalani terapi
penurunan berat badan yang cepat. Namun terapi dengan tindakan bedah tetap
diindikasikan karena UDCA tidak sepenuhnya menghancurkan batu. Lima
puluh persen pasien yang mendapat terapi UDCA mengalami serangan
ulangan dalam 5 tahun.3
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.4 Pilihan
penatalaksanaan bagi pasien dengan gejala simtomatik, antara lain:
1. Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan baku emas
dalam penanganan kolelitiasis dengan gejala (simtomatik).
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi
yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.3,4
2. Kolesistektomi laparaskopi
Laparoskopik kolesistektomi merupakan tindakan yang paling
umum dilakukan untuk pengangkatan batu empedu, terutama pada
kasus yang sudah mengalami komplikasi seperti kolangitis.
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.3,4
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit
dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi. Kolesistektomi laparaskopik ini sendiri juga
merupakan modalitas terapi yang unggul dalam tatalaksana batu
CBD.3,4,8

Gambar 10. Kolesistektomi laparoskopi

3. Disolusi Medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang
dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan
batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu yang
dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya
harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu
kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.4,8

4. Disolusi Kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol
yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung
empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu.
Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).4,8

2.1.6 Prognosis
Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan meningkatnya
kematian atau ditandai dengan kecacatan. Jadi prognosis cholelithiasis
tergantung dari ada/tidak dan berat/ringannya komplikasi. Namun, adanya
infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran
biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian, dengan
diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan
biasanya sangat baik.1

2.2 Anatomi Jalan Napas


Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trachea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua
bagian, yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Setelah
melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan di hangatkan dan di
lembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trachea, kemudian ke
bronchiolus, bronchiolus respiratorius, duktus alveolaris sampai alveolus.
Antara trachea dan alveolus terdapat 23 kali percabangan saluran udara. Enam
belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksi yang
menyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar, bagian ini terdiri atas bronchus,
bronchiolus, dan bronchiolus terminalis. Tujuh percabangan berikutnya
merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana proses pertukaran gas
terjadi, yang terdiri atas bronchiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan
alveolus. Adanya percabangan saluran udara yang majemuk ini akan
meningkatkan luas total penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm 2 di
trachea menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara
didalam saluran udara kecil berkurang ke nilai yang sangat rendah. [21]

2.3 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible
akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral. Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi,
anestesi intravena, ataupun kombinasi kedua teknik tersebut. Saat memilih
teknik dan obat yang akan digunakan dalam anestesi umum perlu
dipertimbangkan berbagai hal, antara lain adalah keamanan dan kemudahan
dalam melakukan teknik tersebut, kecepatan induksi dan pemulihan, stabilitas
hemodinamik, efek samping yang ditimbulkan, serta biaya yang diperlukan. [21]

[22] [23]

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi


untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi
anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan
masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya
reflek bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi.12 Obat anestesi yang
diberikan secara intravena lebih popular untuk induksi anestesi karena obat ini
lebih cepat dan mulus dibandingkan dengan yang berkaitan dengan obat
inhalasi. Beberapa obat anestesi intravena : Thiopental, propofol, etomidate,
ketamine. [24]
Teknik general anestesi inhalasi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi. Bebebrapa obat anestesi inhalasi seperti: Halothan, isofluran,
sevofluran, desfluran, Nitrous Oksida. [25]
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun
nasotrakeal.Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah
untuk memudahkan pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial,
mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. [26]
2.4 Intubasi Endotrakeal
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea kedalam trakea
melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tindakan intubasi trakea
merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. [27]
Pipa endotracheal terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk
yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah
kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotracheal mempunyai balon (cuff)
pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea.
Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-
laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. [27]
2.4.1 Indikasi Intubasi Endotrakeal
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut: [27]
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi.

2.4.2 Kontraindikasi Intubasi Endotrakeal


Ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan
pada saat dilakukan intubasi, antara lain : [27]
1) Tumor: Higroma kistik, hemangioma, hematom
2) Infeksi: Abses mandibula, peritonsiler abses, epiglotitis
3) Kelainan kongenital: Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4) Benda asing
5) Trauma: Fraktur laring, fraktur maxila/mandibula, trauma tulang leher
6) Obesitas
7) Extensi leher yang tidak maksimal: Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
8) Variasi anatomi: Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek,
gigi moncong

2.5 Jalur Pemberian Anestesi Umum


2.5.1 Pramedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode
sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-
obat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah
untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida, antiautonomik, dan
analgesia. [28]
Tujuan pemberian terapi premedikasi: [28]
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah
konduksi anestesi.Untuk anak prasekolah dan usia sekolah yang tidak
bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat dilakukan dengan
pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB.
Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit setelah
pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau dengan
latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine
(dipakai atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan
maksimal 0,5 mg), yang dapat digunakan untuk mencegah bradikardia,
khususnya pada anak-anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan
diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan antasida
peroral).
2.5.2 Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi
yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut
maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat
anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini
disebut pemulihan/recovery. [28]
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping
itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari
obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia
dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi
akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi. [28]
2.5.3 Maintenance
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat
inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat
kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang tingkatan
algesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul: [28]
a) Gerakan lengan atau kaki
b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai
pipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor
laryngeal,broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah
cepat,
f) Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan
obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya
menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini disebut balance
anestesi. [28]
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena itu balance
anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau control
respiration. [28]
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioiddosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2. [28]
2.5.4 Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
seblumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi
inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial
tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi dalam
darah. [28]
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya
pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga
dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar
membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk,
muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan
naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam
kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. [28]
Skor Pemulihan Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
room (RR). [28]
a) Aldrete Score
Aldrete score adalah skor pemulihan pasca anestesi yang
dikembangkan oleh J.Antonio Aldrete,MD dan diterbitkan pertama
kali pada tahun 1979 dan diperbaharui pada tahun 1995. Score ini
merupakan criteria yang menyatakan stabil atau tidaknya pasien
setelah anestesi yang diukur berdasarkan pengukuran kesadaran,
aktivitas, respirasi, sirkulasi (tekanan darah dan laju pernafasan), dan
warna kulit. [28]
Score
No. Kriteria Score
1 Warna Kulit Merah/Normal 2
Pucat 1
Sianosis 0
2 Pergerakan/Motorik Gerak empat anggota tubuh 2
Gerak dua anggota tubuh 1
Tidak ada gerak 0
3 Pernafasan Nafas dalam, batuk dan tangis kuat 2
Nafas dangkal dan adekuat 1
Nafas apnea / nafas tidak adekuat 0
4 Tekanan darah TD berbeda ± 20 mmHg dari Pre- 2
Op
TD berbeda 20-50 mmHg dari 1
Pre-Op
TD berbeda ± 50 mmHg dari Pre- 0
Op
5 Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Score ≥ 9, Pasien boleh pindah ke ruang perawatan.
Score < 9 pasien dipindahkan ke ICU

Tabel 1. Skor Pemulihan Post Anestesia dari Aldrete

Hasil yang diperoleh dari kriteria ini berkisar 1-10. Pasien akan
dinilai saat masuk ke Recovery Room, setelah itu dilakukan penilaian
kembali setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4 kali, kemudian
skor total akan dihitung dan dicatat pada catatan penilaian. [28]
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 38 tahun
Berat badan : 60 kg
Alamat : Jl Tg Satu No. 74
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen
Diagnosa Pra Anestesi : Cholelithiasis + Cholecystisis
Jenis Pembedahan : Laparascopy + Cholecystectomy
Tanggal Operasi : 26/01/2023
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Anestesiologi : dr. Imtihanah Amri, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Agung Kurniawan, Sp.B, Subsp. BD(K), M.Kes

3.2. PENGKAJIAN MEDIS PASIEN


A. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
2. Riwayat Penyakit sekarang : Pasien masuk dari poli digestif dengan
keluhan nyeri sebelah kiri yang di rasakan kurang lebih satu bulan
yang lalu dan memberat beberapa hari terakhir. Sebelumnya pasien
pernah di rawat di Rumah Sakit Budi Agung dengan keluhan yang
sama namun tidak membaik. Riwayat mual (+) dan muntah (+), nyeri
tekan (+). BAK dan BAB lancar

3. Riwayat Penyakit dahulu :


 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Alergi Obat dan Makanan (-)
 Riwayat Diabetes Melitus (-)
 Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
 Riwayat operasi sebelumnya (-)
4. Riwayat penyakit keluarga :
 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Alergi Obat dan Makanan (-)
 Riwayat Diabetes Melitus (-)
5. Anamnesis tambahan :
Gigi goyang (-), gigi palsu (-)

B. Pemeriksaan Fisik Pre Operatif


1. Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6 oC
3. Pemeriksaan Fisik
 Kepala : Lingkar kepala 54 cm
 Mata : Anemis (-/-), Ikterus (-/-)
 Bibir : Sianosis (-)
 Mulut : T1/T1, Gigi goyang (-)
 Toraks
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor (+) di kedua lapang paru
Auskultasi :Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Jantung
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II murni, reguler
 Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Tympani,
Palpasi : Nyeri tekan (+)
 Ekstremitas :Akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT (<2
detik)
Pergerakan ekstremitas kanan atas : bebas
Pergerakan ekstremitas kiri atas : bebas
Pergerakan ekstremitas kanan bawah : bebas
Pergerakan ekstremitas kiri bawah : bebas
4. B1 (Breath)
Airway tidak ada sumbatan, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 20
x/menit, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-), leher pendek
(-), pergerakan leher bebas, faring hiperemis(-), pernapasan
vesikuler(+/+), suara pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-)
5. B2 (Blood)
Akral hangat, HR : 80 x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. Masalah
pada sistem cardiovaskuler : Hipertensi (-)
6. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6), Refleks Cahaya +/+,
Kaku Kuduk (-)
7. B4 (Bladder)
BAK (+) lancar, masalah pada sistem renal/endokrin (-).
8. B5 (Bowel)
Keluhan mual (+), muntah (+).
Abdomen:
Inspeksi : tampak datar Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal,
Palpasi : nyeri tekan (+), tidak teraba massa, Perkusi : tympani (+)
pada seluruh lapang abdomen.

9. B6 (Back & Bone)


Nyeri tulang belakang (-), ekstremitas deformitas(-)

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin (16/01/2023)

White Blood Cell 9.1 x 10*3/uL Normal


(WBC)
Red Blood Cell 4,61 x 10*6/uL Normal
(RBC)
Hemoglobin (Hb) 12,6 g/dl Normal
Hematokrit (Hct) 37,8% Normal

Platelet (PLT) 311 x 10*3/uL Normal

Pemeriksaan Laboratorium lain (16/01/2023)

IgM anti-SARS-Cov Non-reaktif


2
IgG anti-SARS-Cov Non-reaktif
2
HbsAg Non-reaktif

SGOT 20 U/L Normal

SGPT 18 U/L Normal

D. Assesment
 Status fisik ASA 1
 Diagnosis pra-bedah : Cholelithiasis + Cholecystisis

E. Plan
 Jenis anestesi : General Anestesi
 Teknik anestesi : General Anestesi Intubasi ETT
 Jenis pembedahan : Laparascopy + Cholecystectomy

F. Persiapan Pre-Operatif
Di ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 12 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm
Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.
G. Persiapan alat (STATICS)
a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope : pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien pada kasus ini digunakan
ETT no 7
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya
H. Prosedur General Anestesi
1. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan
cairan NaCl 0,9% 20 tpm
2. Memasang monitor untuk melihat heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi
3. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Ondasentron 4 mg/iv
4. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Midazolam 2 mg/iv
5. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Fentanyl 100 mcg/iv
6. Diberikan obat induksi yaitu Propofol 80 mg/iv
7. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv
8. Memposisikan kepala ekstensi pada leher, lalu memberikan ventilasi
tekanan positif
9. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara
lembut dengan cara menyisipkan laringoskop ke sisi kanan mulut
pasien, lalu menggusur lidah ke kiri hingga terlihat epiglotis dan
menyusuri hingga pita suara sudah terlihat.
10. Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada pasien ini
menggunakan ETT dengan ukuran 7
11. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan mengisi balon dengan
udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik
12. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar
bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian
mengecek pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru
yang simetris kiri dan kanan
13. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau
tercabut di sebelah kanan mulut pasien
14. Maintenance selama operasi diberikan:
15. Sevoflurans 2 vol %
16. O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
17. Diberikan analgetik yaitu Ketorolac 30 mg/iv
18. Operasi selesai, pasien di pindahkan ke ruang perawatan
I. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Cholelithiasis + Cholecystisis
b) Diagnosis post-bedah : -
c) Jenis pembedahan : Laparascopy + Cholecystectomy
d) Jenis anastesi : General anastesi
e) Teknik anastesi : Intubasi ETT
f) Preoksigenasi : O2 5 l/menit via face mask
g) Premedikasi anestesi : Ondansentron 4 mg/iv
Midazolam 2 mg/iv
Fentanyl 100 mg/iv
h) Induksi : Propofol 80 mg/iv
i) Intubasi :
 Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv tunggu 3
menit.
 Memposisikan kepala ekstensi pada leher, lalu memberikan
ventilasi tekanan positif
 Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop
secara lembut dengan cara menyisipkan laringoskop ke sisi kanan
mulut pasien, lalu menggusur lidah ke kiri hingga terlihat epiglotis
dan menyusuri hingga pita suara sudah terlihat
 Memasukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ETT melewati pita suara, pada
pasien ini menggunakan ETT dengan ukuran 7,0
 Mengangkat laringoskop dan stilet ETT dan mengisi balon
dengan udara 10 ml. Waktu intubasi ± 20 detik
 Menghubungkan ETT dengan ambubag dan melakukan
ventilasi sambil melakukan auskultasi, pertama pada
lambung (tidak terdengar bunyi gurgling) artinya udara tidak
masuk ke esofagus. Kemudian mengecek pada paru kanan dan
kiri sambil memperhatikan pengembangan dada, terdengar bunyi
napas dan pengembangan paru yang simetris kiri dan kanan
 Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau
tercabut di sebelah kanan mulut pasien

j) Maintenance : O2 4 lpm via ETT


Sevoflurance 2% via ETT
k) Obat tambahan : Efedrin 10 mg/iv dan Ketorolac 30 mg/iv
l) Respirasi : Terkontrol
m) Anestesi mulai : 09.05 waktu OK
n) Operasi mulai : 10.00 waktu OK
o) Lama operasi : 1 jam 45 menit (10.00-11.45 waktu OK)
p) Lama anestesi : 2 jam 10 menit (10.00-12.10 waktu OK)

Tabel 3. Laporan Monitoring Anestesi


Jam Tekanan Frekuensi Saturasi Terapi
darah denyut nadi oksigen

09.25 120/70 98 98 Premedikasi


Ondancentron 4
mg/iv
Midazolam 2 mg/iv

Fentanyl 100 mg/iv

10.00 122/80 92 100 Propofol 80 mg/iv

Atracurium 25 mg/iv
10.05 115/75 90 100
10.10 110/70 85 100 Mulai operasi

10.15 80/52 110 100

10.20 80/62 90 100

10.25 80/65 90 100

10.30 85/65 90 100


10.35 85/70 90 100
10.40 120/88 90 100 Fentanyl 30 mcg/im

10.45 128/80 90 100

10.50 139/70 95 100

10.55 92/66 95 99

11.00 125/90 110 99

11.05 103/70 115 99

11.10 80/55 115 100

11.15 80/60 115 100

11.20 89/50 110 100

11.25 90/52 122 100

11.30 82/42 120 99 Efedrin 10 mg


11.35 80/40 115 99

11.40 70/24 116 99

11.45 102/60 98 100 Selesai Operasi

11.50 108/62 88 100

11.55 118/70 89 100 Ketorolac 30 mg

12.00 120/75 80 100

12.05 115/60 77 99

12.10 112/65 75 99 Pasien sadar

Tabel 4. Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre BB : 60 kg Input:
Operasi Maintenance kebutuhan cairan per jam (M): NaCl 1500cc
Perempuan : 35ml/kgBB/24jam
= 35 x 60kg = 2100ml/24jam
= 87 ml/jam Output :
  Urin 500 cc
Cairan Pengganti Puasa (P) :
Lama puasa (Jam) x (M)
P = 12 jam x 87 cc/jam
= 1044 cc
 
Defisit cairan puasa (D) :
(P) – cairan yang masuk saat puasa
D = 1044cc –1500cc = -456 cc
Durante Estimasi Blood Volume (EBV) : Input:
Operasi EBV = 65 mL/kg BB - RL 700cc
= 65 mL x 60 Kg
= 3900 cc

Jumlah perdarahan selama operasi : ± 100cc Output:


-Perdarahan:
%Perdarahan :
100cc
Jumlah perdarahan : EBV x 100%
= 400 : 3900 x 100%
= 10,2%

Stress Operasi (Operasi sedang) :


SO = 6 ml/kgBB/jam x BB (kg)
= 360 ml/jam

Operasi berlangsung menit


Stress operasi x lama operasi
6 x 105 menit = 630 cc

Perhitun Total cairan Masuk (input) :


gan = Preoperatif + Durante Operatif
Cairan = 1500 + 700 ml = 2200 ml

Total cairan yang dibutuhkan :


Cairan pengganti puasa + Stress Operasi 100
menit+ Perdarahan : 1044 + 360 + 100 = 1504 ml

Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – total cairan yang dibutuhkan
= 2200 ml - 1504 ml
= +696 ml

I. POST OPERATIF

Tekanan Darah : 115/65 mmHg


Nadi : 75 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
SpO2 : 98%
Glasgow coma scale E4V5M6.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Aldrete score)


Warna Merah/Normal 2

Pernapasan Dangkal,namun pertukaran udara adekuat 2

Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20 mmHg dari pre- 2


op

Kesadaran Sadar penuh dan mudah dipanggil 2


Aktivitas Gerak 4 anggota tubuh 2

Total 10

Score ≥ 9 pasien dipindahkan ke ruang perawatan

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ny. Y, usia 38 tahun di rawat di ruang Teratai dengan diagnosis


Cholelithiasis + Cholecystisis akan dilakukan tindakan operasi Laparascopy +
Cholecystectomy. Sebelum dilakukan tindakan operasi, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan pre-op yang meliputi anemnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan status ASA serta untuk menentukan rencana jenis
anastesi yang akan dilakukan. Penentuan status fisik pasien pra anastesi berdasarkan
klasifikasi status fisik pra anastesi American Society of Anestesiology (ASA) sebagai
berikut:[29]

ASA I : Pasien sehat yang memerlukan operasi

ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah atau penyakit lain.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat dengan berbagai sebab

ASA V : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung


mengancam kehiduannya, atau pasien yang tidak diharaokan hiduup
setelah 24 jam baik dioperasi maupun tidak. 21

ASA VI : Pasien mati otak yang organnya akan diambil untuk didonorkan

E : Jika prosedur darurat, fisik status diikuti oleh “E” (misalnya, “2E”)

Pada persiapan pereoperatif dilakukan juga puasa sebebelum operasi. Puasa


preoperatif pada pasien pembedahan efektif merupakan suatu keharusan sebelum
tindakan operatif, hal ini berguna untuk mengurangi volume dan keasaman lambung
serta mengurangi risiko regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal dengan
Mendelson’s syndrome selama anestesi terutama pada saat induksi. Sewaktu
diinduksi anestesi, refleks batuk dan menelan akan dihambat, sedangkan makanan
didalam lambung meningkatkan risiko aspirasi. Puasa preoperatif pada pasien
pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa
menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif disarankan menurut ASA
adalah 6 jam untuk makanan padat dan 2 jam untuk air putih. [30] Pada pasien ini
disarankan untuk puasa 6-8 jam.

Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu.


Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik, golongan sedatif,
dan golongan analgetik. Tujuan pemberian premedikasi adalah untuk menimbulkan
rasa nyaman, megurangi reresi kelenjar dan menekan refleks vagus, memperlancar
induksi, mengurangi dosis anestesia, serta mengurangi rasa sakit dan kegelisahan
pasca bedah. Salah satu tujuan premedikasi berguna meredakan kecemasan dan
ketakutan. Midazolam merupakan golongan obat benzodiazepin yang biasa
digunakkan untuk premedikasi. [31]
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa
ondacentron 4 mg/iv, midazolam 2 mg/iv, fentanyl 8 mcg//iv.

Diberikan fentanyl karena sifat analgesia yang baik, onset yang cepat dan
durasi yang singkat, sedikit mendepresi kardiovaskular serta tidak menyebabkan
pelepasan histamin, maka fentanyl sering kali menjadi pilihan utama sebagai agen
premedikasi dan induksi dalam anestesi umum. Fentanyl merupakan suatu agonis
reseptos mu (µ) dan sifat anelgetiknya 100 kali lebih poten dari morfin. Fentanyl
umumnya diberikan secara intravena walaupun dapat juga diberikan secara
intramuscular, intratekal dan epidural.[32]

Diberikan obat tambahan berupa Ondansentron 4 mg yang diberikan secara


bolus iv. Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dalam
mengantogonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di
area postrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Ondansentron
digunakan untuk pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi
dan pengobatan kanker dengan radioterapisitotoksika. [33]

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. 17Induksi
pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu Propofol 80 mg I.V (dosis
induksi 1-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi
dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi
neuron yang hancur oleh GABA. [34]

Pemberian injeksi atracurium 25 mg (dosis induksi 0,5 mg/kgBB) sebagai


pelemas otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat
pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2,5-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 30-45 menit. [34]
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode head
tilt, chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut
dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa
endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 7,5. Pemasangan
ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan. [34]
Setelah diintubasi dengan menggunakan endotracheal tube, maka dialirkan
sevofluran 2 vol%. Sevofluran merupakan halogen eter yang memiliki proses induksi
dan pemeliharaan paling cepat. Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan
aritmia selama anestesi berlangsung. Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit
menurun sehingga tekanan darah pun sedikit menurun. [34]

Aliran oksigen sekitar 5 lpm sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan


dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
menjelang operasi hampir selesai. Kemudian dilakukan ekstubasi endotrakeal secara
cepat dan pasien dalam keadaan sadar untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut. [34]
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama anestesi 2
jam 35 menit (10.00-11.45 waktu OK). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(recovery room). Alderete score 10, sehingga pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :


1. Pada kasus ini dilakukan operasi Laparascopy + Cholecystectomy pada pasien
perempuan dengan diagnosis Cholelithiasis + Cholecystisis usia 38 tahun, dan
setelah dilakukan anamnesis/alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan pemerikaan
penunjang, maka ditentukan status fisik ASA I karena pasien sehat tanpa
penyakit organik, biokimia, atau psikiatrik dan hasil pemeriksaan laboratorium
pada pemeriksaan darah rutin menunjukka hasil yang normal
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan teknik
Intubasi ETT. Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi
dikarenakan memberikan ketenangan maksimal untuk waktu yang lebih lama.
3. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan dipantau tanda-
tanda vitalnya serta penilaian skor pemulihan anestesi pada pasien ini dengan
Aldrette Score dengan hasil 10 sehingga pasien dipindahkan ke ruang perawatan
DAFTAR PUSTAKA

1. Rekate HL. A contemporary definition and classification of


hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol. 2009 Mar;16(1):9-15. [ PubMed]
2. Vinchon M, Rekate H, Kulkarni AV. Pediatric hydrocephalus outcomes:
a review. Fluids Barriers CNS. 2012 Aug 27;9(1):18. [ PMC free article]
[ PubMed]
3. Warf BC. Comparison of 1-year outcomes for the Chhabra and Codman-
Hakim Micro Precision shunt systems in Uganda. a prospective study in
195 children. J Neurosurg 2005;102:358-62. [PubMed] [Google Scholar]
4. Chen S, Luo J, Reis C, Manaenko A, Zhang J. Hydrocephalus after
Subarachnoid Hemorrhage: Pathophysiology, Diagnosis, and
Treatment. Biomed Res Int. 2017;2017:8584753. [ PMC free article]
[ PubMed]
5. Langner S, Fleck S, Baldauf J, Mensel B, Kühn JP, Kirsch M. Diagnosis
and Differential Diagnosis of Hydrocephalus in Adults. Rofo. 2017
Aug;189(8):728-739. [ PubMed]
6. Tully HM, Dobyns WB. Infantile hydrocephalus: a review of
epidemiology, classification and causes. Eur J Med Genet. 2014
Aug;57(8):359-68. [ PMC free article] [ PubMed]
7. Garne E, Loane M, Addor MC, Boyd PA, Barisic I, Dolk H. Congenital
hydrocephalus--prevalence, prenatal diagnosis and outcome of
pregnancy in four European regions. Eur J Paediatr Neurol. 2010
Mar;14(2):150-5. [ PubMed]
8. Isaacs AM, Riva-Cambrin J, Yavin D, Hockley A, Pringsheim TM, Jette
N, Lethebe BC, Lowerison M, Dronyk J, Hamilton MG. Age-specific
global epidemiology of hydrocephalus: Systematic review, metanalysis
and global birth surveillance. PLoS One. 2018;13(10):e0204926. [ PMC
free article] [ PubMed]
9. Munch TN, Rostgaard K, Rasmussen ML, Wohlfahrt J, Juhler M,
Melbye M. Familial aggregation of congenital hydrocephalus in a
nationwide cohort. Brain. 2012 Aug;135(Pt 8):2409-15. [ PubMed]

44
10. Damkier HH, Brown PD, Praetorius J. Cerebrospinal fluid secretion by the
choroid plexus. Physiol Rev. 2013 Oct;93(4):1847-92. [ PubMed]
11. Preuss M, Hoffmann KT, Reiss-Zimmermann M, Hirsch W,
Merkenschlager A, Meixensberger J, Dengl M. Updated physiology and
pathophysiology of CSF circulation--the pulsatile vector theory. Childs
Nerv Syst. 2013 Oct;29(10):1811-25. [ PubMed]
12. Eymann R. [Clinical symptoms of hydrocephalus]. Radiologe. 2012
Sep;52(9):807-12. [ PubMed]
13. Fink KR, Benjert JL. Imaging of Nontraumatic Neuroradiology
Emergencies. Radiol Clin North Am. 2015 Jul;53(4):871-90, x. [ PubMed]
14. Hamilton MG. Treatment of hydrocephalus in adults. Semin Pediatr
Neurol. 2009 Mar;16(1):34-41. [ PubMed]
15. Markey KA, Mollan SP, Jensen RH, Sinclair AJ. Understanding idiopathic
intracranial hypertension: mechanisms, management, and future
directions. Lancet Neurol. 2016 Jan;15(1):78-91. [ PubMed]
16. Bidot S, Saindane AM, Peragallo JH, Bruce BB, Newman NJ, Biousse
V. Brain Imaging in Idiopathic Intracranial Hypertension. J
Neuroophthalmol. 2015 Dec;35(4):400-11. [ PubMed]
17. Bakkour A, Morris JC, Wolk DA, Dickerson BC. The effects of aging
and Alzheimer's disease on cerebral cortical anatomy: specificity and
differential relationships with cognition. Neuroimage. 2013 Aug
01;76:332-44. [ PMC free article] [ PubMed]
18. Richards JE, Sanchez C, Phillips-Meek M, Xie W. A database of age-
appropriate average MRI templates. Neuroimage. 2016 Jan 01;124(Pt
B):1254-1259. [ PMC free article] [ PubMed]
19. Rojas R, Riascos R, Vargas D, Cuellar H, Borne J. Neuroimaging in
drug and substance abuse part I: cocaine, cannabis, and ecstasy. Top
Magn Reson Imaging. 2005 Jun;16(3):231-8. [ PubMed]
20. Holt JL, Kraft-Terry SD, Chang L. Neuroimaging studies of the aging
HIV-1-infected brain. J Neurovirol. 2012 Aug;18(4):291-302. [ PMC
free article] [ PubMed]
21. Amri I. Kuliah Umum Manajemen Jalan Nafas. 2020.

45
22. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange.
23. Okta, I.B,. Subagiartha, I.M,. Wiryana,M. 2017. Perbandingan Dosis
Induksi Dan Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor Yang
Mendapatkan. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 9(3) : 137-145.
24. Arvianto,. Oktaliansah, E,. Surahman, E. 2017. Perbandingan antara
Sevofluran dan Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia
Target Controlled Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan
Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 5(1) : 24-31.
25. Rajagopal, S. buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Tangerang Selatan : karisma
publishing group. 2014.
26. Darsana, I. Dewa Gede Oka. General Anastesi Face Mask (GA FM) pada
Pasien Combutio Grade II A. Jurnal Kedokteran. 5.1; 2019 : 143-153.
27. Gwinnutt, CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta. 2014.
28. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed. 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI; 2009.
29. Lewar E I. Efek Pemberian Obat Anestesi Inhalasi Sevofluran Terhadap
Perubahan Frekuensi Nadi Intra Anestesi Di Kamar Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Umu Rara Meha Waigapura. Jurnal Info Kesehatan.
14(2);2015
30. Hartanto B, Suwarman, Sitanggang R H. Hubungan antara Duarasi Puasa
Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi pada Pasien Operasi
Elektif di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 4(2);2016:87-94.
31. Matana M, Laihad M, Tambojong H. Efek Premedikasi Midazolam 0,05
mg/kgbb/iv Terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi. Jurnal e-Biomedik.
1(1);2013:619-696

46
32. Siswagama T A, Bagianto H, Laksono R M. Efek Pemberian Pre-empive
Fentanyl 25µg terhadap Kejadian Batuk setelah Bolus Fentanyl 2 µg/kg IV
(Fentanyl Induced Cough). Jurnal Anestesiologi Indonesia. 5(1);2013:1-10
33. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Ed.
5. Jakarta : FKUI ; 2016.
34. Butterworth JF, Wasnick JD, Mackey DC. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6th ed. New York: McGraw Hill Education; 2018.

47

Anda mungkin juga menyukai