Syair Andalusia
Karya sastra sebagai cermin kehidupan, dalam tema dan idenya sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan penyairnya. Baik lingkungan alam, ekonomi dan politik. Begitu juga
dengan sya‟ir-sya‟ir Arab Andalusia. Karena panjangnya rentang waktu keberadaan Islam di
Andalusia, karya-karya sastranya dibagi berdasarkan perkembangan politik:
1. Periode yang dimulai dengan kemenangan Islam tahun 93 H / 712 M dan berakhir
dengan berdirinya daulah bani umayyah di Andalusia dibawah kekuasaan Abdurrahman Ad-
Dakhil tahun 138 H / 755 M.
2. Periode pembentukan pemerintahan dimulai dari berkuasanya daulah umayyah di
andalusia dibawah pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil dan keturunannya sampai tahun
238 H / 852 M.
3. Periode konflik pemerintahan mulai sejak berkuasanya Abdurrahman Ausath dan
dan keturunannya berakhir pada tahun 316 H / 929 M.
4. Periode Khilafah atau Masa keemasan Islam di Andalusia di bawah kekuasaan
Khalifah An-Nashir Lidinillah (Abdurrahman III) berakhir pada tahun 366 H / 976 M.
5. Periode kemunduran yang berakhir pada tahun 399 H / 1009
M. Macam-macam tujuan syair andalusia:
1. Madh (Pujian)
Syair ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa senang dan cinta terhadap orang yang pernah
berjasa atau orang yang sangat dihormati dan juga merupakan sarana untuk mencari
kehidupan. Penyair Andalusia merupakan generasi dari penyair timur. Penyair ini tetap
memelihara dengan baik gaya bahasa yang terdahulu dan ditujukan untuk kerajaan. Penyair
Madh yang paling terkenal di Andalusia yaitu, Ibnu Hani, Ibnu Darraj, Ibnu Zaidun, Ibnu
Syahid, dan Lisanuddin bin Al-Khotib. Contoh syair di bawah ini mengikuti style
Mutanabbi,
yang ditujukan untuk memuji Khalifah, sebagaimana perkataan al- Mu‟iz liddinillah al-
Fatimi:
2. Risa‟(Ratapan / elegi)
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalusia, menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai
ekspresi kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar bersatu merebut kembali harta
mereka. Penyair yang terkenal dengan tujuan syair ini yaitu Ibnu „abd Rabbihi, Ibnu
Hani‟,
Ibnu zaidun. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang fakih yang juga penyair Abdullah bin
Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Ghassâl, yang terpaksa mengungsi
ke Granada saat jatuhnya kota Toledo tahun 1094 M yang keruntuhannya diibaratkan
dengan pakaian yang carut marut, dia berkata:
3. Hija‟ (Ejekan)
penyair Andalusia jika mengejek mereka tidak terlalu memperpanjang dan cenderung untuk
bersikap toleransi, memaafkan dan tidak sampai melampaui batas dalam ejekannya. Penyair
yang terkenal dengan tujuan syair ini adalah Ibnu hani‟, Ibnu Khufajah, Abu bakar al-
makhzumi, Ibnu jubair. Ibnu Jubair al-Andalusi berkata:
“Wahai penunggang unta yang galak, apakah kamu tahu tebusanmu adalah diriku bagaimana
petunjuk jalan itu?”
4. Ghazal (Rayuan)
Syair ini banyak beredar di andalusia, bahkan pola syairnya lebih umum dan luas,
penduduk andalusia lebih terkenal dengan kelembutan dan kecendrungannya. Beberapa syair
ini suci nan indah, dan menggambarkan pencitraan perempuan dan deskripsi dari pesonanya.
Syair ini mencerminkan kepribadian penyair. Penyair yang terkenal dengan tujuan syair ini
yaitu yahya bin hakam, ibnu zaidun, abu amir bin syahid, ibnu „abd rabbihi. Ibnu „abd
rabbihi berkata:
“Ciri ma‟rifat itu dengan jar, tanwin, nida‟, al ma‟rifah, musnad, dan isim”
Pada awal kekuasaan Islam di Andalusia, bentuk sya‟irnya masih mengikuti style sya‟ir
Arab di Jazirah Arab dan penyairnya pun masih penyair rantau. Kemudian berkembang dari
segi tema, style, dan struktur sya‟ir. Style sya‟ir Arab Andalusia terkenal dengan
kelembutan dan kehalusan dalam pemilihan diksi, dan gaya bahasa terutama dalam tasybih
(perumpamaan) dan majaz isti‟arah (personifikasi).
Di masa ini pula lahir satu bentuk puisi yang oleh ahli sastra dipandang juga sebagai
benih lahirnya puisi Arab bebas, yaitu al-muwasysyah. Bentuk puisi ini cukup popuper
di Andalusia pada abad III H. Meskipun jenis puisi ini kemudian juga menyebar ke dunia
Timur, orang-orang Andalusia dalam hal kreasi al-muwasysyah ini lebih unggul dari
pada orang-orang Timur.
Secara etimologis, al-muwasysyah merupakan derivasi dari kata al-wusyah yang berarti
sebuah kalung dari permata dan mutiara yang masing-masing dirangkai dan dihubungkan
sedemikian rupa serta dipakai kalung oleh wanita. Ungkapan „saubun muwasysyahun‟ berarti
baju yang dibordir dan dihias. Secara terminologis, al-muwasysyah memiliki banyak definisi.
Salah satunya adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Sina‟ al Malik al Misry dalam bukunya Dar
al-Tiraz. Menurutnya, al-muwasysyah adalah ungkapan yang berwazan, metrik tertentu
dengan qafiyah, rima yang berlainan; paling banyak terdiri dari enam qafl dan lima larik
yang selanjutnya disebut al-muwasysyah al taam dan minimal terdiri dari lima qafl dan lima
larik yang kemudian disebut al-muwasysyah al aqra‟. Yang pertama diawali dengan qafl
dan yang kedua dimulai dengan bait, larik.
Bentuk al-muwasysyah sendiri cukup beragam, tetapi yang paling populer adalah penyair
menulis dua larik yang masing-masing sadrnya berima sama dan masing- masing „ajznya juga
memiliki rima lain yang sama. Dua larik itu lalu dikuti oleh tiga larik yang masing-masing
sadrnya sama dan masing-masing „ajznya juga berima sama. Kemudian diikuti dua larik
yang kedua sadr dan „ajznya mempunyai rima yang sama dengan awal al-muwasysyah.
Selanjutnya penyair menulis lima larik lain yang susunannya sama. Bentuk lain al-
muwasysyah adalah penyair menulis satu larik yang sadr dan „ajznya berima sama, lalu tiga
syatr dengan satu rima yang berlainan dengan larik, kemudian dua syatr yang rimanya
sama dengan larik pertama, dan seterusnya.
Muwasysyah muncul karena corak kehidupan masyarakat Andalusia yang sarat
kemewahan, kesenangan, dan hiburan. Al-Muwasysyah merupakan bentuk ekspresi yang
sesuai dengan kecenderungan itu. Bentuk ini merupakan satu pembaharuan dalam tipografi
puisi Arab, bukan dalam isinya.
Penyair pertama yang meretas jenis puisi ini menurut Ibnu Khaldun adalah Miqdam bin al
Mu‟afy al Qubry dan diikuti oleh Abu Umar Ashmad bin Abd Rabbah, pengarang buku al
„Iqd. Sedangkan yang berhasil mempopulerkan al-muwasysyah ke seluruh Andalusia adalah
Ibadah bin Ma‟ al-Sama‟ (w. 422 H). Sepeninggalnya muncul beberapa penyair al-
muwasysyah Andalusia, antara lain yang populer adalah : Yahya bin Baqqy, Abu Bakar
bin
zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al Din bin al Khatib.
Sebagai sebuah pembaharuan dalam bentuk atau tipografi dan bukan dalam isi maka
tema- tema yang diusung al-muwasysyah tetap berkisar pada masalah-masalah seperti
cinta, khamer, dan pemerian alam. Setelah itu baru masuk pada tema-tema madah
(eulogi), hija‟
(satire), dan risa (elegi). Terkadang sebuah al-muwasysyah memuat lebih dari satu tema. Ahli
Tasawuf di masa kemunduran Islam bahkan pernah menjadikannya sebagai media untuk
menyampaikan gagasan dan pemikirannya yang sarat nasehan dan pujian agama.
Biasanya, al-muwasysyah terdiri dari beberapa bagian, yaitu :
1. Al-Matla‟ atau al-mazhab, yaitu pembuka al-muwasysyah. Matla‟ ini disebut qafl pertama.
Apabila qafl pertama ada maka disebut al-muwasysyah al-taam dan bila tidak ada maka
disebut al-muwasysyah al-aqra‟.
2. Al Qafl, yaitu bagian al-muwasysyah yang rimanya berulang enam kali dalam al-
muwasysyah al-taam atau lima kali dalam al-muwasysyah al-aqra‟. Qafl-qafl itu
memiliki satu rima dalam keseluruhan al-muwasysyah. Qafl terakhir disebut al-kharjah.
3. Al Daur, yaitu bagian yang terletak setelah al-matla‟ dalam al-muwasysyah al-taam. Dalam
al-muwasysyah al-aqra,‟ al-daur ini terletak di permulaan al-muwasysyah. Daur ini
berulang- ulang setelah setiap qafl. Ia terdiri dari tiga bagian dan hanya sedikit yang lebih
dari lima.
4. Al Bait, yaitu daur itu sendiri atau daur dengan qafl yang mengiringinya.
5. Al Kharjah, yaitu qafl terakhir. Metrik (wazan), rima (qafiyah), dan jumlah bagian al-
kharjah sama dengan matla‟ dan qafl. Dalam kharjah dimungkinkan adanya dialek, kata
asing, atau ungkapan tidak baku “ammy,” dan terkadang melalui perantaraan bahasa hewan.
6. Al Samt, yaitu satu istilah untuk menyebut setiap syatr dalam daur. Paling sedikit jumlah
al samt dalam satu daur itu tiga. Terkadang samt ini terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat
fiqrah. Setiap fiqrah memiliki satu rima yang diulang-ulang dalam samt-samt sebuah daur
akan tetapi dalam setiap daurnya, rima itu berlainan. Kata “qultu,” “qalat,” “Gana,” dan
“Syada” seringkali terdapat pada bagian terakhir al samt yang mempunyai kharjah.
7. Al Gusn, yaitu sebutan untuk setiap syatr matla‟, qafl, atau kharjah dalam al
muwasysyah. Jumlah al gusn dalam matla,‟ qafl, dan kharjah harus sama.
: : .
(( ))
(( ))
(( ))
(( ))
(( ))
B. Penyair Andalusia
1. Ibnu zaidun (394-463 H/1003-1071 M)
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin abdullah bin ahmad bin ghalib bin zaidun al-
makhzumi dan lahir di cordoba. Ibnu Zaidun diangkat oleh penguasa pemerintahan Islam di
Spanyol, Al-Mutadhid Al-Abbadi sebagai pejabat. Ibnu zaidun adalah penulis dan penyair
yang dinamakan dengan, “Buhturi di Barat”, di mana gaya bahasa beliau termasyhur
dengan kelembutan, indah didengar dan perumpamaan yang indah. Ibnu Zaidun dianggap
sebagai penyair terbesar Andalusia. Ia berasal dari keluarga bangsawan Makhzum, salah
satu keturunan Quraisy. Ia tak hanya memiliki kemampuan dalam menggerakkan pena. Ia
pun memiliki kekuasaan pedang, karena ibnu zaidun juga menjabat sebagai komandan
pasukan. Ibnu zaidun bergelar dzu al-wizaratain atau penguasa dua kementerian. Ibnu
Zaidun terkenal
dengan tujuan syair madh, ritsa‟, hanin, alam.
Penyair tersohor kalangan wanita yaitu Ayesah , Hasana al-Tamimiyah, Umm al-Ula, Al-
walladah (seorang wanita berbakat), al-Aruziyah wanita yang mahir dalam bidang retorika,
Maria (dari Seville, salah satu guru wanita pada masa ini, ia mengajarkan ilmu retorika,
syair dan kesusastraan), Hafsah binti al-Hajj (selain terkenal sebagai wanita cantik, ia
berbakat dalam berbagai bidang dan hidupnya kaya raya)