Dosen Pengampu:
Ahmad Saddad, M.Ag.
Disusun oleh:
Abi Mahimsa (12312193014)
Ahmad Miftahul Minan (12312193017)
Irbah Fairuz Husniah (12312193003)
A. Latar Belakang
Fokus pembahasan ilmu nahwu yakni bagaimana kita merangkai kata-kata menjadi
kalimat yang sempurna, baik dari sisi susunan kata maupun perubahan akhir pada setiap kata
dalam suatu kalimat yang biasa disebut dengan istilah i’rab. Adapun kata-kata yang berubah-
ubah harakatnya (mu’rab dengan harakat), ada pula yang harakatnya sama akan tetapi
hurufnya berbeda-beda (mu’rab dengan huruf), dan ada juga kata yang harakat dan hurufnya
selalu sama (mabni). Sebagai seorang muslim, hendaknya kita mempelajari Bahasa Arab agar
bisa memahami isi kandungan al-Qur’an maupun sunnah dengan mudah. Oleh karena itu,
pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas tentang fi’il ditinjau dari perubahan bentuk
akhirnya (fi’il mabni dan mu’rab).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas tentang fi’il mabni dan fi’il
mu’rob. Selain itu, makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Nahwu dan
Sharof.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fi’il mabni dan fi’il mu’rob itu?
2. Dimana saja tempat fi’il mabni dan fi’il mu’rob?
3. Apa saja hukum I’rob bagi fi’il mabni dan fi’il mu’rob?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fi’il mabni dan fi’il mu’rob.
2. Untuk mengetahui dimana saja letak fi’il mabni dan fi’il mu’rob.
3. Untuk mengetahui hukum I’rob bagi fi’il mabni dan fi’il mu’rob.
BAB 2
PEMBAHASAN
Di dalam ilmu nahwu ada yang namanya kalimat yang mu’rob dan mabni. mu’rob
adalah sekelompok kata yang berubah-ubah kondisi akhirnya dengan mengikuti kaidah
i’rab.1 Sedangkan, mabni adalah sekelompok kata yang tidak berubah-ubah kondisi
akhirnya. Ia selalu dalam keadaan tetapdan tidak berubah maupun terpengaruh oleh keadaan
apapun.2 Kedua jenis kalimat ini bisa masuk kalimat fi’il dan kalimat isim.
A. Fi’il Mabni
Fi’il mabni merupakan fi’il yang berharakat dan huruf akhirnya tidak berubah-ubah
(tetap) meskipun dimasuki ‘amil.3 Fi’il-fi’il yang termasuk fi’il mabni yakni fi’il madhi, fi’il
amar, dan fi’il mudlari’. Sedangkan tandan-tanda mabni pada fi’il mabni dapat dilihat dari
harakat lam fi’ilnya.
B. Kategori dan Hukum I’rob Fi’il Mabni
1. Fi’il madhi
Dalam fi’il madhi terdapat tiga bentuk mabni, yakni:
a) Mabni fathah
Ketika tidak bertemu dengan wawu jama’ dan dhamir rafa’ mutaharrik.
Contoh: َس < ِم َعyang artinya “Dia (laki-laki) telah mendengar”. Pada lafadh َس < ِم َع
termasuk mabni fathah karena tidak bertemu dengan wawu jama’ dan dhamir rafa’
mutaharrik. Huruf akhir pada lafadh tersebut harus selalu dibaca fathah meskipun
kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan mengalami perubahan.
b) Mabni dhammah
Ketika bertemu dengan wawu jama’. Contoh: َك< ِذبُوْ اyang artinya “Mereka
(laki-laki) telah berbohong”. Pada lafadh َك< ِذبُوْ اtermasuk mabni dhammah karena
bertemu dengan wawu jama’. Huruf akhir pada lafadh tersebut (berupa )بharus
selalu dibaca dhammah meskipun kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan
mengalami perubahan.
c) Mabni sukun,
Ketika bertemu dengan dhamir rafa’ mutaharrik. Contoh: َ َغ َس ْلنyang artinya
“Mereka (perempuan) telah mencuci”. Pada lafadh ََس < ْلن
َ غtermasuk mabni sukun
1
Ummu Rizan, Abu Rizan, "ILMU NAHWU Untuk Pemula", ke-1. (Pustaka Bisa, 2014). hlm. 206
2
Ibid,.hlm 209.
3
Abdul Haris, ”TEORI DASAR NAHWU & SHARF", ke-1. (Jember: Al-Bidayah, 2017). hlm 89
karena bertemu dengan dhamir rafa’ mutaharrik. Huruf akhir pada lafadh tersebut
(berupa )لharus selalu dibaca fathah meskipun kemasukan ‘amil dan tidak
diperbolehkan mengalami perubahan.4
2. Fi’il amar
Dalam fi’il amar terdapat empat bentuk mabni, yakni:
a) Mabni fathah
Ketika bertemu dengan nun taukid. Contoh: ِإ ْذهَبَ ّنyang artinya “Benar-benar
pergilah kamu (laki-laki)”. Pada lafadh ِإ ْذهَبَ ّنtermasuk mabni fathah karena bertemu
dengan nun taukid. Lafadh tersebut harus selalu dibaca fathah meskipun kemasukan
‘amil dan tidak diperbolehkan mengalami perubahan.
d) Mabni sukun
Ketika berasal dari fi’il yang lam fi’ilnya berupa huruf shahih dan pada huruf
akhir tidak bertemu sesuatu berupa alif tatsniyah, wawu jama’, ya’ mu’annats
mukhattabah, nun taukid, dan nun niswah. Contoh: ِإ ْس َم ْعyang artinya “Dengarlah
kamu (laki-laki)”. Pada lafadh ِإ ْس َم ْعtermasuk mabni sukun karena berupa shahih
akhir dan huruf akhirnya tidak bertemu dengan sesuatu. Huruf akhir pada lafadh
tersebut (berupa )عharus selalu dibaca sukun meskipun kemasukan ‘amil dan tidak
diperbolehkan mengalami perubahan.
b) Mabni dengan membuang huruf ‘illat
Ketika berasal dari fi’il yang lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat dan pada huruf
akhir tidak bertemu dengan sesuatu. Contoh: ش
ِ ِإ ْمyang artinya “Berjalanlah kamu
(laki-laki)”. Pada lafadh ش
ِ ِإ ْمtermasuk mabni dengan membuang huruf ‘illat (berupa
)يyang termasuk mu’tal akhir dan huruf akhirnya tidak bertemu dengan sesuatu.
Fi’il yang berstatus mabni dengan membuang huruf ‘illat harus selalu dibuang huruf
‘illatnya meskipun kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan mengalami
perubahan.
c) Mabni dengan membuang huruf nun
Ketika berasal dari al-af’alal al-khamsah. Contoh: ِإ ْخ َرجُ<<<وْ اyang artinya
“Keluarlah kalian (laki-laki)”. Pada lafadh ِإ ْخ َرجُ<<<وْ اtermasuk mabni dengan
membuang huruf nun karena termasuk al-af’alal al-khamsah. Fi’il yang berstatus
mabni dengan membuang huruf nun harus selalu dibuang huruf nunnya meskipun
kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan mengalami perubahan.5
4
Ibid.hlm 84.
5
Ibid.hlm 85.
3. Fi’il mudlari’
Dalam fi’il mudlari’ terdapat dua bentuk mabni, yakni:
a) Mabni fathah
Ketika bertemu dengan nun taukid. Contoh: يَرْ فَ َع ّنyang artinya “Dia (laki-laki)
benar-benar sedang/akan mengangkat”. Pada lafadh يَرْ فَ َع ّنtermasuk mabni fathah
karena bertemu dengan nun taukid. Huruf akhir (berupa )عpada lafadh tersebut
harus selalu dibaca fathah meskipun kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan
mengalami perubahan.
b) Mabni sukun
Ketika bertemu dengan nun niswah. Contoh: َ يَ<<ْأ ُك ْلنyang artinya “Mereka
(perempuan) sedang/akan makan”. Pada lafadh َ يَْأ ُك ْلنtermasuk mabni sukun karena
bertemu dengan nun niswah. Huruf akhir pada lafadh tersebut (berupa )لharus
selalu dibaca sukun meskipun kemasukan ‘amil dan tidak diperbolehkan mengalami
perubahan.6
C. Fi’il Mu’rob
Fi’il Mu’rob adalah fi’il atau kata kerja yang harokat pada huruf akhirnya bisa
berubah-ubah tergantung dengan ‘amil yang memasukinya, sehingga ada kemungkinan bisa
dibaca rofa’, nasob, dan jazem.7
Kalimat fi’l yang dikategorikan seabagi fi’il mu’rob yakni hanyalah fi’il mudlori’,
selama fi’il tersebut tidak bertemu dengan nun tauqid dan nun inats. Untuk pembahasan fi’il
mudlori’ yang dihukumi mabni ini sudah dijelaskan di atas. Fi’il mudlori’ ketika di hukumi
mu’rob, maka hukum I’robnya ada 3, yakni sebagia berikut:
1) I’rob rafa’, yakni ketika fi’il mudlori’ tidak bertemu dengan ‘amil nawasib dan ‘amil
jazem.
Contoh:
( يَ ُّك ُلDia laki-laki sedang makan). Lafad tersebut mu’rob harus dibaca rofa’
karena sepi dari ‘amil nawasib dan ‘amil jawazim. Tanda rofa’nya dlomah
secara dhohir atau jelas ditampakan karena termasuk fi’il mudlori’ yang
shohih akhir.
6
Ibid.hlm 86.
7
Ibid.hlm 89.
س ِرى
ْ َ( يDia laki-laki sedang berjalan). Lafad tesebut mu’rob harus dibaca rofa’
karena sepi dari ‘amil nawasib dan ‘amil jawazim. Alamat rofa’nya dlomah
yang dikira-kiraka karena lafad tersebut termasuk fi’il mu’tal lam.
ُ ( يَ ْنmereka sedang /akan menolong). Lafad tersebut mu’rob harus diaca
َصرُون
rofa’ karena sepi dari ‘amil nawasib dan ‘amil jawazim. Alamat rofanya yakni
dengan menetapkan nun pada akhirnya karena lafad tersebut termasuk dalam
al af’al al khomsah.8
2) I’rob nashob, yakni ketika fi’il mudlori’ bartemu dengan amil’ nawasib.
Contoh:
( َأنْ يَ َّك َلDia laki-laki sedang makan). Lafad tersebut mu’rob harus dibaca
nashob karena bertemu dengan ‘alim yang menasobkan yakni أن. alamat
nashobnya fathah ditampakan secara dhohir di akhir karena termasuk fi’il
mudlori’ yang shohih akhir.
ْى لَن
َ س ِر
ْ َ( يDia laki-laki tidak akan makan). Lafad tersebut mu’rob harus dibaca
nashob karena bertemu dengan ‘alim yang menasobkan yakni لن. Alamat
nashobnya fathah ditampakan secara dhohir di akhir, karena lafad tersebut
termasuk mu’tal ya’ atau huruf akhirnya berupa huruf ‘ilat.
ْ ُر ْوا لَنAAص
ُ ( َي ْنmereka tidak menolong(. Lafat tersebut mu’rob harus dibaca
nashob karena bertemu dengan ‘alim yang menasobkan yakni لن. Alamat
nashobnya dengan membuang huruf nun pada akhirnya karena lafad tersebut
termasuk al af’al al khomsah.
3) I’rob jazem, yakni ketika fi’il mudlori’ bertemu dengan amil-amil jawazim.
contoh:
( لَ ْم يَ ُّك ْلDia laki-laki tidak makan). Lafad tersebut mu’rob dan harus dibaca
jazem karena bertemu dengan amil jawazim yakni berupa لم. Alamatnya sukun
secara dhohir diakhir dan merupakan fi’il yang shohih akhir.
َ ( لَ ْم َي ْخDia laki-laki tidak takut). Lafad tersebut termasuk fi’ilmu’rob yang
ش
harus dibaca jazem karena bertemu dengan ‘amil jawazim berupa لم. Alamat
Jazemnya dengan membuang huruf ‘ilat karena dia termasuk fi’il mu’tal lam.
( لَ ْم يَ ْف َعلُ ْواmereka laki-laki tidak berbuat). Lafad tersebut termasuk fi’il mu’rob
yang harus dibaca jazem kerana bertemu dengan amil jawazi berupa لم. Alamat
8
Ibid.hlm 90.
jazemnya dengan membuang nun pada akhirnya karena lafad tersebut
termasuk al af’al al khomsah.9
Kesimpilan
Dari pembahasan di atas dapat kita pahami bahwa dalam gramatika bahasa Arab ada
yang namanya fi’il mu’rob dan fi’il mabni. Fi’il mu’rob adalah fi’il yang harokat huruf
akhirnya bisa berubah sesuai dengan amil yang memasukinya, sedangkan fi’il mabni adalah
fi’il yang harokat huruf akhirnya tidak bisa berubah dalam keadaan apapun. Keduanya
tersebut juga mempunyai letak dan hukum i’rob sendiri-sendiri.
Pertanyaan
9
Ibid.hlm 93.
DAFTAR PUSTAKA
Haris, Abdul. TEORI DASAR NAHWU & SHARF. Ke-1. Jember: Al-Bidayah, 2017.
Rizan, Abu, Ummu Rizan. ILMU NAHWU Untuk Pemula. Ke-1. Pustaka Bisa, 2014.