Anda di halaman 1dari 15

“TREND DAN ISSU KEPERAWATAN MATERNITAS FAMILY CENTERED

MATERNITY CARE DAN EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM KEPRAWATAN


MATERNITAS”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III

OSIANA MANTIR 2121015


ZHADIAN WARDANI ABDULLAH 2121016
EMANUEL DEDO NGARA 2121017
MUHAMMMAD TAHIR 2121018
PRISKAWATI S. TANUA 2121019
YENITA SERA BULU 2121020

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan makalah dengan judul
“TREND DAN ISSU KEPERAWATAN MATERNITAS FAMILY CENTERED
MATERNITY CARE DAN EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM KEPRAWATAN
MATERNITAS” Tak ada gading yang tak retak karenanya kami sebagai tim penulis menyadari
bahwa penulisan makalah ini masi jauh dari kata sempurna,baik dari sisi materi maupun
penulisannya.Kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima berbagai masukan
maupun saran yang bersifat membangun yang diharapkan berguna bagi seluruh pembaca.

Makassar, 08 oktober,2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG........................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................... 4
C. TUJUAN................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
A. TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN MATERNITAS.................................. 5
B. EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS 8
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 21
A. KESIMPULAN .................................................................................................... 21
B. SARAN.................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 22
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keperawatan merupakan profesi yang dinamis dan berkembang secara terus-menerus
dan terlibat dalam masyarakat yang yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode
keperawatan kesehatan berubah, karena gaya hidup masyarakat berubah dan perawat sendiri
juga dapat menyesuaikan perubahan tersebut. Keperawatan menetapkan diri dari ilmu social
bidang lain karena focus asuhan keperawatan bidang lain meluas. Tren dalam pendidikan
keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta keperawatan yang menerima pendidikan
keperawatan, baik peserta didik dari D3 keperawatan, S1 keperawatan atau kesehatan
masayrakat sampai ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu S2.
Tren paraktik keperawatanmeliputi berbagai praktik di berbagai tempat praktik
dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus menerus
meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota tim asuhan keperawatan. Peran
perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan. Tren dalam keperawatan
sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-aspek dari keperawatan yang
mengkarakteristikan keperawatan sebagai profesi meliputi: pendidikan, teori, pelayanan,
otonomi, dan kode etik. Aktivitas dari organisasi keperawatan professional menggambarkan
trend dan praktik keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai
wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam
tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya maka
keperawatan dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungannya setiap saat.
Asuhan maternitas menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang bermakna
dalam keluarga dan mempertimbangkan factor krusial dalam meningkatkan Kesehatan dan
kesejahteraan keluarga besar secara keseluruhan. Keperawatan maternitas meliputi asuhan
keperawatan kepada wanita pada masa reproduksi dan keluarganya dalam menjalani seluruh
tahapan kehamilan, melahirkan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan bagaimana Trend dan issue keperawatan maternitas?
2. Jelaskan bagaimana Evidence based practice dalam keperawatan maternitas?
C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan agar kami dan pembaca mengetahui dan memahami
tentang :
1. Untuk mengetahui Trend dan Issue keperawatan maternitas?
2. Untuk mengetahui Evidence based practice dalam keperawatan maternitas ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN MATERNITAS


1. Pengambilan keputusan terkait kontrasepsi
Masalah kesehatan wanita sangat penting untuk diketahui karena wanita merupakan
seseorang yang akan melahirkan generasi penerus bangsa. Masalah pertama yang menjadi
trend saat ini adalah bagaimana wanita dapat mengambil keputusan sendiri dalam memilih
jenis kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
faktor ekonomi dan sosial. Khususnya juga faktor, Dengetahuan, keteriangkauan dan
aksesibilitas kontrasepsi. Komunikasi pasangan tentang kesuburan dan keluarga berencana,
dan dukungan suami serta paparan media massa juga merupakan faktor yang mempengaruhi
seorang wanita untuk menggunakan alat kontrasepsi (Poppov, 2015).
Selain faktor diatas faktor seksualitas, usia, paritas, kebijakan sosial, moral, keyakinan
budaya dan agama juga menjadi faktor yang ikut menentukan sikap seseorang dalam
menggunakan alat kontrasepsi (Capova, 2014).
Partisipasi dan pemberdayaan wanita merupakan salah satu langkah dalam mencapai
keberhasilan program KB, yang tentu juga harus didukung oleh anggota keluarga
yanglain.Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan harus ditingkatkan sehingga
masyarakat mampu untuk hidup secara berkualitas. Partisipasi wanita dalam memutuskan
alat kontrasepsi apa yang akan dipakai akan memperjelas apa yang sebenarnya diinginkan
oleh wanita itu sendiri dan semakin banyak wanita yang terlibat dalam pengambilan
keputusan akan semakin baik. Partisipasi wanita dalam KB bukan semata-mata karena
wanita merupakan suatu obyek dalam penggunaan alat kontrasepsi akan tetapi lebih kepada
meningkatkan keberdayaan wanita dalam pengambilan keputusan baik untuk dirinya sendiri
maupun keluarganya (Setiyowati & Ronoatmodjo, 2021).
Pemilihan jenis kontrasepsi atau keikutsertaan dalam program KB juga menjadi
tanggung jawab suami dimana suami dapat memberikan dukungan berupa izin dalam
penggunaan alat kontrasepsi atau suami yang menggunakan alat kontrasepsi sehingga tidak
menimbulkan diskriminasi dan ketimpangan peran serta tanggung jawab dalam keluarga.
Namun, masih ada masalah isu ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan kesehatan
reproduksi serta ada anggapan bahwa pengguna kontrasepsi adalah urusan perempuan masih
merupakan salah masalah juga dalam kesehatan wanita yang harus diselesaikan. Semakin
banyak wanita yang diberdayakan, semakin besar kemungkinan menggunakan kontrasepsi
modern, melahirkan difasilitas kesehatan dengan tenaga yang terlatih. Pemberdayaan wanita
mengarah pada perubahan positif yang signifikan di banyak domain (Yaya et al., 2018).
Evidence based terkait pengambilan keputusan yang dilakukan oleh wanita
diantaranya Talapere Usha Kiran dkk (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa wanita
yang berperan dalam pengambilan keputusan dan menggunakan kontrasepsi sebesar 54,6%
dan wanita yang tidak berperan dalam pengambilan keputusan dan menggunakan
kontrasepsi sebesar 44% (Talapere Usha Kiran, Rajshree Dayanand Katke, Priyadarshini
Mane, Priyadarshini Mane, 2019). Beberapa hasil penelitian baik dari dalam maupun luar
negeri, seperti yang dilakukan di Indonesia mengenai pengambilan keputusan antara lain
dilakukan oleh Astuti (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
peran wanita dalam pengambilan keputusan dengan penggunaan kontrasepsi dengan nilai p
value 0,004 (Astuti & Ilyas, 2015). Ihsani (2018) dalam penelitiannya tentang peran wanita
dalam pengambilan keputusan menunjukkan bahwa peran wanita mempunyai hubungan
yang signifikan terhadap penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dengan
nilai OR 3,3 (Ihsani, 2018).
Salah satu peran penting dalam penggunaan kontrasepsi adalah peran wanita dalam
pengambilan keputusan dengan penggunaan metode kontrasepsi modern. Peran
pemberdayaan wanita dalam memutuskan alat kontrasepsi apa yang akan digunakan yang
merupakan salah satu hak wanita dalam menjaga kesehatan dirinya
2. Pernikahan dini
Selanjutnya, trend masalah kesehatan yang kedua yang dihadapi oleh wanita yaitu
pernikahan dini. Dampak negatif dari pernikahan dini di Indonesia adalah risiko kematian
ibu dan bayi sebesar 30%, 56% remaja perempuan mengalami Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, dan hanya 5,6% remaja dengan pernikahan dini yang masih melanjutkan sekolah
setelah kawin (Puspasari, & Pawitaningtyas, 2020).
Pernikahan dini terjadi pada fase remaja. Merupakan masa peralihan atau masa
transisi dari anak menuju masa dewasa dan mempunyai rasa ketertarikan dengan lawan
jenis. Remaja mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat pada aspek fisik, psikologis
dan juga intelektual. Karakteristik remaja yaitu memiliki keingintahuan yang besar,
menyukai petualangan dan tantangan serta berani menanggung risiko atas perbuatannya
tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Hal ini menyebabkan remaja mudah
melakukan seks bebas yang berakhir pada pernikahan dini (Tsany, 2015).
Alasan melakukan pernikahan dini yaitu untuk menghindari seks bebas, juga
khawatir tidak segera mendapatkan pasangan hingga usia tua,lepas dari kemiskinan (Stark,
2017). Faktor lingkungan dan budaya juga mempengaruhi terjadinya pernikahan dini.
Padahal pernikahan dini memiliki resiko tinggi terhadap angka kematian ibu. Umur ibu saat
melahirkan memiliki resiko dengan kematian bayi. Anak dari ibu yang sangat muda saat
melahirkan menggambarkan resiko kematian yang tinggi. Pada ibu dengan usia melahirkan
kurang dari 20 tahun, terjadi kematian bayi 54 dari 1.000 kelahiran dan diatas 40 tahun
terjadi 46 dari 1.000 kelahiran (BPS dan Unicef 2016). Ada beherana Damnak negatif dari
pernikahan dini di Indonesia.
Dampak tersebut adalah 56% remaja perempuan mengalami kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) meskipun tidak terlalu sering. Remaja tidak mampu mencapai pendidikan
yang lebih tinggi karena hanya 5,6% remaja dengan pernikahan dini yang masih
melanjutkan sekolah setelah kawin, serta risiko kematian ibu dan bayi sebesar 30%,
kemiskinan dan mengakibatkan berkurangnya akses pendidikan pada perempuan (Delprato
et al., 2015)
Kondisi yang fatal dan Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan
persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak
normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.
Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal
dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara
global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian
anak perempuan usia 15-19 tahun.
3. Stunting pada perempuan
Capaian Sustainable Development Goals (SDGs) lebih bersifat komprehensif dengan
melibatkan lebih banyak negara. SDGS terdiri atas 17 tujuan dan 169 target. Agenda
pengembangan terkait gizi memiliki dua capaian, yakni Tidak Kelaparan' (Without Hunger)
dan menghapuskan semua bentuk gizi buruk di tahun 2030, termasuk mencapai target
internasional berupa pengurangan stunting pada anak anak usia dibawah lima tahun, dan
memenuhi kebutuhan nutrisi untuk remaja, wanita, wanita hamil dan menyusui, serta lansia.
Terdapat enam indikator pencapaian kedua target tersebut, meliputi prevalensi anak stunting
di bawah lima tahun; prevalensi pendek-badan pada anak di hawah dua tahun atau havi di
hawah 2 tahun: oizi huruk anak-anak dibawah usia 5 tahun; prevalensi anemia pada wanita
hamil; presentasi bayi berusia kurang dari 6 bulan yang menerima ASI eksklusif; dan
kualitas konsumsi makanan sesuai nilai/skor pola makanan ideal atau Hope Food Pattern
(PPH), yang salah satu indikatornya adalah tingkat konsumsi ikan (Setyowati, H. N., &
Rosemary, R. (2020).
Dalam kasus isu-isu kesehatan perempuan termasuk stunting pada perempuan dan
anak-anak, kepemimpinan perempuan yang mampu menyuarakan kepentingan perempuan
menjadi signifikan karena dunia sosial dibangun dengan budaya male dominated sehingga
isu-isu kesehatan perempuan menjadi marginal dan tidak dianggap penting. Perempuan
merupakan muted group (kelompok terbungkam); yang memiliki pengalaman berbeda
dengan bahasa yang ada dalam masyarakat apalagi perempuan dari kelompok marginal.
Sistem bahasa yang ada yang didominasi laki-laki mewakili kepentingan mereka sendiri;
tidak mewakili kelompok perempuan. West & Turner (2008) menegaskan bahwa perempuan
tidak sebebas atau mampu sebagaimanalaki-laki mengatakan apa yang mereka inginkan
karena kata-kata atau norma untuk penggunaan mereka telah dirumuskan oleh kelompok
dominan, yaitu laki-laki.
Dampak stunting antara lain yaitu mudah sakit, kemampuan koginitf berkurang, saat
tua berisiko terkena penyakit berhubungan dengan pola makan, fungsi-fungsi tubuh tidak
seimbang, mengakibatkankerugian ekonomi, postur tubuh tidak maksimal saat dewasa.
Salah satu indikator kejadian malnutrisi di Papua Nugini adalah stunting (Gibson 2019).
Pencegahan stunting sebaiknya dilakukan sejak dini, dalam artian sejak anak anak
masih dalam kandungan ibunya. Mengingat bahayanya dampak yang ditimbulkan dari
stunting maka kita harus tahu cara pencegahannya, khususnya bagi perempuan. Peran
perempuan dalam pencehagan stunting meliputi: memeriksa kehamilan 4 kali selama masa
kehamilan, ibu hamil minum pil FE 90 butir selama masa kehamilan, hadir dalam konseling
dan perawatan kehamilan, proses kehamilan ditangani oleh tenaga kesehatan, rutin hadir
dalam posyandu, melakukan perawatan nifas oleh bidan/dokter, melakukan imunisasi
lengkap setip bayi di atas 12 bulan, mengikuti kegiatan pengasuhan balita dan pemenuhan
gizi minimal 1 bulan sekali (Timban, 2019).
Di Indonesia, Program pencegahan stunting difokuskan pada 1000 hari pertama
kehidupan, yang terdiri dari 270 hari kehamilan dan 730 hari setelah melahirkan. Fokus
intervensi program ini pada pemberian nutrisi khusus bagi ibu hamil dan nifas. Selain itu
juga, pencegahan stunting juga perlu adanya intervensi pada remaja perempuan sebelum
masa konsepsi yang rentan mengalami anemia. Sehingga harapannya pada masa pra
konsepsi, remaja perempuan tidak tidak mengalami anemia maupun berat badan kurang
(underweight) (Putri, Arimbi, & fauzi, 2016). Berikut contoh pencegahan stunting yang
berfokus pada seribu hari awal kehidupan:
4. Anemia Defisiensi Besi (ADB)
Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh memiliki jumlah sel darah merah
(eritrosit) yang terlalu sedikit, yang mana sel darah merah itu mengandung hemoglobin yang
berfungsi untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kadar feritin dan hemoglobin
sering digunakan untuk mengukur anemia defisiensi besi (ADB). Sampai saat ini ADB
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat oleh karena ADB dapat menyerang semua
kelompok umur, terutama kelompok wanita hamil. Prevalensi ADB pada wanita hamil
relatif masih tinggi dan bervariasi.
Besarnya prevalensi ADB pada kelompok wanita hamil dipengaruhi oleh
peningkatan kebutuhan besi yang tidak mampu di tutupi hanya dengan diet besi harian.
Perubahan pada tubuh wanita hamil yang signifikan yaitu, jumlah darah dalam tubuh
meningkat sekitar 20 30 %, sehingga memerlukan peningkatan kebutuhan pasokan besi dan
vitamin untuk membuat hemoglobin (Hb). Masa prahamil yang dimaksud adalah masa
dengan rentangan usia remaja hingga usia reproduktif (Idaman, 2021).
Kejadian anemia pada ibu hamil memberikan dampak bagi janin antara lain pada
janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan antara lain cacat tabung
saraf pada janin. Pada janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
antara lain cacat tabung saraf pada janin, apabila ibu kekurangan asam folat atau vitamin B9
berupa anenchephalus, memicu terjadinya kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah
pada ibu hamil yang mengalami defisiensi zat besi (Noya A,2016).
5. Kesehatan mental pada wanita hamil dimasa pandemic covid 19
Wanita hamil dan janinnya merupakan populasi berisiko tinggi selama wabah
penyakit menular. Perubahan fisiologis dan mekanis pada kehamilan secara umum
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama jika sistem kardiorespirasi terpengaruh,
dan dapat menyebabkan gagal napas pada ibu hamil. Meskipun semua orang berisiko
tertular, ibu hamil merupakan kelompok yang lebih rentan terkena virus.
Pembatasan sosial menyebabkan kurangnya dukungan sosial untuk banyak wanita
hamil karena mereka terpisah dari orang yang mereka sayangi. Dukungan sosial membantu
wanita hamil dengan stresor kehidupan mereka. Dukungan sosial yang tidak konsisten
merupakan salah satu faktor risiko yang signifikan untuk depresi pada wanita hamil (Negron
et al., 2013).
Dalam keadaan normal diperkirakan secara global sekitar 10% ibu hamil menderita
gangguan jiwa, terutama depresi dan bahkan lebih tinggi (16%) di negara berkembang
(Zeng et al., 2020). Hal ini dapat diperburuk selama pandemi COVID-19 ketika wanita
hamil mungkin memiliki akses yang terbatas ke layanan kesehatan mental. Di Cina,
sebanyak 5.3% ibu hamil mengalami gejala depresi, 6.8 % mengalami kecemasan, 2.4%
mengalami ketidaknyamanan fisik, 2,6 % mengalami insomnia, dan 0.9% mengalami Post-
Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Zhou et al, 2020).
Depresi pada masa kehamilan (depresi antenatal) suatu keadaan dimana ibu
mengalami perasaan tertekan, kehilangan minat, dan berkurangnya energi yang
menyebabkan berkurangnya aktivitas selama minimal 2 minggu. Gejala lainnya adalah
kurangnya minat pada kehamilan, pikiran untuk bunuh diri dan anhedonia (Wichman &
Stern, 2015). Terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan depresi selama kehamilan
yaitu termasuk kurangnya dukungan sosial, hidup seorang diri. teriadi perselisihan
pernikahan, kehamilan vang tidak diinginkan, sudah memiliki banyak anak, dan kehamilan
pada masa remaja. Selain itu, riwayat pribadi atau keluarga pernah mengalami depresi
sebelumnya juga menjadi faktor predisposisi (Wichman & Stern, 2015).
Bagi ibu hamil yang mengalami depresi yang tidak terobati adalah cenderung
memiliki nutrisi yang lebih buruk, tidak memperhatikan kehamilannya, tidak patuh dalam
pemeriksaan kehamilan, dan tidak mengenali tanda-tanda persalinan. Sedangkan, dampak
depresi antenatal pada janin dapat terlihat dari hasil kelahirannya. Ibu yang mengalami
depresi antental mempunyai peluang lebih besar melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR),
kelahiran prematur, skor APGAR yang lebih rendah, dan lingkar kepala yang lebih kecil
(Wichman & Stern, 2015). Sebuah studi mengidentifikasi bahwa kelahiran prematur dan
berat lahir rendah menjadi hasil utama yang ditemukan dari depresi antenatal (Dadi, Miller,
Bisetegn, & Mwanri, 2020).
Evedence based terkait depresi salah satunya penelitian prospective cohort di
Australia meneliti tentang gejala depresi antenatal yang diukur dengan EPDS dan dilakukan
uji hubungan dengan BBLR (<2500 g) dan kelahiran prematur (<37 minggu). Hasil
penelitian menemukan prevalensi gejala depresi ibu selama kehamilan adalah 7%.
Prevalensi bayi BBLR sebanyak 4% dan persalinan prematur sebanyak 10,9%. Berdasarkan
analisis ditemukan bahwa gejala depresi antenatal dikaitkan dengan kemungkinan lebih
tinggi kelahiran BBLR (AOR = 1,7, 95% CI: 1,2-2,3, P = 0,003) dan kelahiran prematur
(AOR = 1,3, 95% CI: 1,1 -1,7, P = 0,018) dibandingkan dengan ibu dengan skor EPDS lebih
rendah (Eastwood, Ogbo, Hendry, Noble, & Page, 2017). Hasil studi di Amerika Serikat,
depresi antenatal menunjukkan peningkatan risiko small for gestational (SGA) yaitu ukuran
berat lahir bayi dibawah persentil 10% menurut usia kehamilan saat dilahirkan. Hasil
tersebut didukung dengan penelitian yang menemukan adanya hubungan signifikan antara
ibu hamil dengan gejala depresi kategori tinggi dengan SGA (p = 0,02) dibandingkan
dengan ibu hamil yang memiliki gejala depresi kategori rendah (Goedhart et al., 2010).

B. EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM KEPERAWATAN MATERNITAS


1. The microbiota of the vulva and vagina: Ways of washing to optimise the protective function
of the vulvo-vaginal microbiota during pregnancy.
Penelitian yang dilakukan oleh Banga dan Louise (2021) yang dipublikasikan
melalui New Zealand College of Midwives Journal terkait microbiota yang ada pada vagina
dan vulva yang memiliki fungsi penting bagi perlindungan area V wanita, selama masa
kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mereview cara wanita membersihkan area V nya,
meningkatkan kesadaran pentingnya mikrobiota vulo-vagina bagi kesehatan wanita
khususnya bagi ibu hamil. Metode yang digunakan adalah literature review untuk
menemukan cara wanita membersihkan area Vnya, produk yang digunakan. Dan efeknya
pada vulvo-vagina mikrobiota.
Hasil nya ditemukan bahwa secara umum, wanita yang secara rutin menggunakan
sabun, tisu anti bakteri, gel, dan invasive produk seperti flannel scrubs, terbukti dapat
mengubah keseimbangan pH pada area vulva dan vagina. Tindakan pembersihan Vagina
yang menyebabkan perubahan level pH berdampak pada fungsi protektif mikrobia menjad
tidak stabil, meningkatkan kolonisasi streptococcus vaginal grub B. sehingga pada
kesimpulannya, peneliti memberikan himbauan kepada wanita untuk kembali "just wash
with water" (membasuh vagina menggunakan air) supaya meningkatkan fungsi
perlindungan oleh mikrobiota yang ada di vulva dan vagina, dan juga melindungi kulit
vulva, meningkatkan kepercayaan diri dengan kebersihan vagina.
a. Konstipasi pada Kehamilan
Ligat Pribadi Sembiring (2017) telah melakukan review penelitian tentang konstipasi
pada kehamilan, yang dipublikasikan pada jurnal ilmu Kedokteran. Kata konstipasi atau
constipation berasal dari constipare (bahasa Latin) yang artinya bergerombol bersama
menyusun menjadi menggumpal keras. Konstipasi bukanlah merupakan suatu penyakit
melainkan suatu gejala, biasanya penderita mengeluhkan: proses mengedan terlalu kuat
(52%), tinja yang keras seperti batu (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan
(34%) dan defekasi yang jarang (33%).
Sejumlah 11-38% wanita hamil pernah mengalami konstipasi. Pada umumnya
keluhan yang dialami adalah mengedan terlalu kuat, tinja yang keras dan rasa
pengeluaran tinja yang tidak komplit. Resiko konstipasi pada wanita hamil semakin
besar jika sudah mempunyai riwayat konstipasi sebelumnya dan riwayat konsumsi
suplemen besi. Prevalensi konstipasi hampir sama antara trimester pertama, kedua dan
ketiga selama kehamilan. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelas sosioekonomi
bawah, menengah dan atas.
Konstipasi fungsional umumnya yang terjadi pada wanita hamil umumnya. Ada
beberapa faktor mengapa wanita hamil mengalami konstipasi yakni: faktor hormonal,
perubahan diet, pertumbuhan janin dan aktifitas fisik. Riwayat posisi saat defekasi juga
menjadi resiko untuk timbulnya konstipasi.
Pada wanita hamil terjadi perubahan hormonal yang drastis yakni peningkatan
progesteron selama kehamilan. Progesteron akan menyebabkan otot-otot relaksasi untuk
memberi tempat janin berkembang. Relaksasi otot ini juga mengenai otot usus sehingga
akan menurunkan motilitas usus yang pada akhirnya menyebabkan konstipasi (slow-
transit constipation). Disamping itu selama kehamilan tubuh menahan cairan, absorbsi
cairan di usus meningkat sehingga isi usus cenderung kering dan keras yang
memudahkan terjadinya konstipasi.
Penatalaksanaan non farmakologi pada konstipasi ibu hamil menggunakan Terapi
lini pertama adalah meningkatkan asupan serat dan cairan, serta aktifitas fisik yang
cukup. Ibu hamil disarankan untuk hindari makan porsi besar 3 kali sehari tetapi
makanlah dengan porsi kecil dan sering. Jauhi ketegangan psikis seperti stres dan cemas.
Jangan menahan rasa ingin buang air besar karena akan memperbesar resiko konstipasi.
Pemberian probiotik pada wanita hamil juga dianjurkan karena dapat memperbaiki
keseimbangan flora kolon dan memperbaiki fungsi pencernaan. Jahe dalam diet juga
disebutkan dapat membantu mengurangi morning sickness dan konstipasi dan mencegah
kembung (Ojieh, 2012).
Sedangkan untuk penatalaksanaan farmakologi pada konstipasi adalah dengan
pemberian obat pencahar (laxatives). Secara umum golongan obat pencahar terbagi atas:
bulking agents, pelunak tinja (stool softeners), pencahar minyak mineral (lubricant
laxatives), pencahar bahan osmotik (osmotic laxatives) dan pencahar perangsang
(stimulant laxatives).
Pada wanita hamil terapi farmakologi diberikan jika penatalaksanaan non
farmakologi tidak berhasil. Pemberiannya hanya bila benar-benar diperlukan dan tidak
untuk jangka panjang. Keefektifan obat juga masih diragukan seperti Bulking agents
dianggap cukup aman karena tidak diabsorbsi. Tetapi tidak efektif karena penderita
diharuskan banyak minum selama pemberian obat dan bisa dijumpai efek samping
kembung dan kram perut. Contohnya Psyllium yang termasuk golongan B untuk
kehamilan menurut badan FDA (Food and Drug Administration). Lubricant laxatives
dapat menyebabkan penurunan absorbsi vitamin yang larut lemak. Golongan ini
diabsorbsi sedikit dan tidak menunjukkan efek lanjut pada wanita hamil. Tetapi belum
ada rekomendasi FDA untuk penggunaan pada wanita hamil.
Sebagai kesimpulan bahwa konstipasi merupakan masalah yang sering dikeluhkan
wanita hamil yang disebabkan berbagai faktor seperti faktor hormonal, perubahan pola
diet, pertumbuhan janin, kurangnya aktifitas fisik dan riwayat posisi saat defekasi.
Terapi lini pertama lebih diutamakan yakni berupa penatalaksanaan non farmakologi.
Penggunaan obat pencahar (laksansia) sebagai terapi lini kedua diberikan hanya bila
benarbenar diperlukan dan dan tidak untuk penggunaan jangka panjang.
b. Hipertensi pada kehamilan
Haidar Alatas pada tahun 2019 telah mempublikasikan hasil penelitiannya tentang
hipertensi pada kehamilan. Peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas pada ibu oleh
danya Hipertensi pada kehamilan sering terjadi (6-10 %), janin dan perinatal. Hipertensi
pada kehamilan merupakan penyakit tidak menular penyebab kematian maternal.
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari
orang ke orang. Penyebab kematian hampir 70% di dunia disumbangkan oleh PTM.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013, tampak kecenderungan
peningkatan prevalensi PTM seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit sendi
(Kemenkes RI, 2018).
Pencegahan hipertensi pada kehamilan, Pertama: Pencegahan Pre-eklampsia Tidak
ada tes yang akurat untuk memprediksi perkembangan semua kasus preeclampsia baik
trimester pertama atau kedua. Akan tetapi, kombinasi dari faktor risiko ibu, tekanan
darah, placental growth factor dan pemeriksaan doppler arteri uteri dapat membantu
memprediksi akan terjadinya pre-eklampsia pada ibu hamil dengan hipertensi. Aspirin
150 mg/hari dapat untuk mencegah kejadian pre-eklampsia pada pre-term (sebelum 37
minggu kehamilan).
International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)
memberikan rekomendasi penyaringan pada trimester pertama untuk risiko pre-
eklampsia ketika hal ini dapat diintegrasikan ke dalamsistem kesehatan setempat,
meskipun efektivitas biaya dari pendekatan ini masih harus dipertanyakan.
ISSHP merekomendasikan untuk wanita dengan faktor-faktor risiko klinis yang kuat
untuk preeclampsia (yaitu, sebelum pre eklampsia, hipertensi kronis, diabetes pra-
kehamilan, BMI ibu > 30 kg/m2, sindrom antifosfolipid) harus diobati, idealnya sebelum
16 minggu tetapi boleh sebelum 20 minggu, dengan aspirin dosis rendah (75-162
mg/hari, seperti pada studi RCT). Wanita yang berisiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia
seperti di atas harus menerima kalsium tambahan (1,2-2,5 g/hari) jika asupan mereka
cenderung rendah (<600 mg/hari), disamping aspirin. Ketika asupan tidak dapat dinilai
atau diperkirakan, tetap untuk diberikan kalsium.
Selanjutnya pencegahan hipertensi gestasional. Hipertensi gestasional terjadi setelah
usia kehamilan mencapai 20 minggu tanpa adanya proteinuria. Kelahiran dapat berjalan
normal walaupun tekanan darahnya tinggi. Penyebabnya belum jelas, tetapi merupakan
indikasi terbentuknya hipertensi kronis di masa depan sehingga perlu diawasi dan
dilakukan tindakan pencegahan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Telenursing membantu pasien dan keluarganya untuk berpartisipasi aktif
dalamperawatan, terutama sekali untuk self management pada penyakit kronis. Hal
itumemungkinkan perawat untuk menyediakan informasi secara akurat dan tepat waktudan
memberikan dukungan secara langsung (online). Kesinambungan pelayananditingkatkan
dengan memberi kesempatan kontak yang sering antara penyediapelayanan kesehatan dan
pasien dan keluarga-keluarga merek Telenursing saat inisemakin berkembang pesat di
banyak Negara.
Tren paraktik keperawatan meliputi berbagai praktik di berbagai tempat praktikdimana
perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terusmenerus meningkatkan
otonomi dan penghargaan sebagai anggota tim asuhankeperawatan. Peran perawat
meningkat dengan meluasnya focus asuhankeperawatan. Tren dalam keperawatan sebagai
profesi meliputi perkembanganaspek-aspek dari keperawatan yang mengkarakteristikan
keperawatan sebagaiprofesi meliputi: pendidikan, teori, pelayanan, otonomi, dan kode etik.
B. SARAN
Sebagai tenaga kesehatan kita bisa melakukan pencegahan masalah-masalah tersebut
dengan melakukan edukasi. Masalah-masalah tersebut harus diketahui dan dipahami agar
dapat menurunkan angka terjadinya masalah tersebut. Serta EBP juga merupakan salah satu
langkah atau metode untuk memberikan pelayanan yang maksimal dan berkualitas. EBP
merupakan salah satu langkah yang dapat menjamin pelayanan keperawatan yang diberikan
oleh perawat adalah berkualitas, tepat sasaran dan memang didasarkan oleh studi yang
kredibel dan dapat dipercaya.
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu di
Indonesia sehingga dapat dikembeangkan dalam tatanan layanan keperawatan.
Perlu dikembangkannya intervensi yang spesifik untuk mengatasi nyeri, karena belum
tertasinya nyeri meskipun telah dilakukan upaya mandiri untuk mengatasi. Diharapkannya
pelayanan perawatan professional untuk mengatasi masalah nyeri yang muncul seperti
mengusap-usap perut, mendampingi ibu, care, atau memperhatikan dan lebih mengerti
kondisi ibu serta peralatan yang lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

Sembiring, L. P. (2017). Konstipasi pada Kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran, 9(1), 7-10.

Setiyowati, E., & Ronoatmodjo, S. (2021). Hubungan Peran Wanita dalam Pengambilan
Keputusan dengan Penggunaan Kontrasepsi Modern Pada Wanita Usia 15-49 Tahun di
Indonesia (Analisis Data SDKI 2017). JURNAL DUNIA KESMAS, 10(1), 39-50.

Setyowati, H. N., & Rosemary, R. (2020). Rumah Gizi 'Aisyiyah:Komunikasi Kesehatan


dengan Pendekatan Agama-Budaya. Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 141-161.

Stark, L. (2017). Early marriage and cultural constructions of adulthood in two slums in Dar
es Salaam. Culture Health & Sexuality 20(357) November 2017. https://
doi.org/10.1080/13691058.2017.1390162

Talapere Usha Kiran, Rajshree Dayanand Katke, Priyadarshini Mane, Priyadarshini Mane,
P. G. P. (2019). How empowered are women to choose contraception ? 5(10), 2019-2025.
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2016.11022016404

Timban, Tangkere & Lumingkewa. (2019). Peran perempuan dalam pencegahan stunting di
kecamatan bunaken kota manado provinsi sulawesi utara. The Studies of Social Science
Volume 2, Issue 1, 2020 pp. 8-14

Tsany, F. (2015). Trend Pernikahan Dini di Kalangan Remaja (Studi Kasus Di Kabupaten
Gunung Kidul Yogyakarta Tahun 2009-2012). Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Vol. 9 No. 1
Januari-Juni 2015, 9, 83 103. https://doi.org/10.14421/jsa.2015.091-05

Unicef. (2012). Progress for Children. A Report Card on Adolescent (Issue 10). Unicef.

West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar teori komunikasi: analisis dan aplikasi. Jakarta:
Salemba Humanika.

Wichman, C. L., & Stern, T. A. (2015). Lessons learned at the interface of medicine and
psychiatry. Primary Care Companion to the Journal of Clinical Psychiatry, 17(2).
https://doi.org/10.4088/PCC.15f01776

Zeng, L.-N., Chen, L.-G., Yang, C.-M., Zeng, L.-P., Zhang, L.-Y., & Peng, T.-M. (2020).
Mental health care for pregnant women in the COVID-19 outbreak is urgently needed.
Women and Birth, January. h>ps://doi.org/10.1016/j.wombi.2020.03.009

Zhou, Y., Shi, H., Liu, Z., Peng, S., Wang, R., Qi, L., Li, Z., Yang, J., Ren, Y., Song, X.,
Zeng, L., Qian, W., & Zhang, X. (2020). The prevalence of psychiatric symptoms of
pregnant and non-pregnant women. during the COVID-19 epidemic. Translational
Psychiatry, 10(1), 319. h>ps://doi.org/10.1038/s41398-020-01006-x

Anda mungkin juga menyukai