Anda di halaman 1dari 16

Environmental health

1 study

BIMA BAY WIRING, NATURAL PHENOMENON VERSUS POLLUTION


A STUDY

Asryadin1, Syarifuddin1, Nahrio1, M. Sidik2, Lalu Addien Faqih Panjenengan3


1. Kota Bima Health Department
2. Kabupaten Bima Health Department
3. Dr. R. Soedjono Hospital, Selong, East Lombok

INTRODUCTION
Lautan merupakan bagian bumi yang sangat luas yang mencakup lebih dari 70% dari
permukaan bumi, menampung 97% air dunia, menampung beberapa ekosistem paling
beragam dan mendukung ekonomi di negara-negara di seluruh dunia (IPCC., 2019).
Organisme mikroskopis di laut adalah sumber utama oksigen di atmosfer dengan menyerap
lebih dari 90% dari kelebihan panas yang dilepaskan ke lingkungan bumi dan hampir
sepertiga dari emisi karbon dioksida. Lautan memperlambat pemanasan planet dan
menstabilkan iklim global (Gruber N, et al., 1994-2007).
Lautan sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia (Rockström J., et
al. 2009), karena menyediakan makanan bagi miliaran orang, mata pencaharian bagi jutaan
orang, serta merupakan sumber dari banyak bahan obat esensial (Ercolano G, et al., 2019).
Selain itu, lautan merupakan sumber kegembiraan, keindahan, kedamaian, dan wahanan
wisata (Martínez ML, et al. 2007). Lautan sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Kelangsungan hidup bagi populasi yang rentan tergantung pada kesehatan lautan
(The L. 2019).
Meskipun ukurannya sangat luas, lautan berada di bawah ancaman. Aktivitas manusia
merupakan sumber utama ancaman tersebut (IPCC., 2019). Perubahan iklim dan gangguan
lingkungan lainnya menyebabkan suhu permukaan laut meningkat, gletser mencair, serta
spesies algae berbahaya dan bakteri patogen bermigrasi ke perairan yang sebelumnya tidak
terkontaminasi. Volume lautan yang semakin meningkat yang disertai dengan badai pesisir
yang ganas dapat membahayakan 600 juta orang diseluruh dunia yang tinggal dalam jarak
10 meter dari permukaan laut (Whitmee S, 2015). Kenaikan konsentrasi CO 2 di atmosfer
telah menyebabkan pengasaman lautan, yang pada gilirannya menghancurkan terumbu
karang, mengganggu perkembangan tiram dan kerang lainnya, dan melarutkan
mikroorganisme yang mengandung kalsium di dasar dari jaring makanan (Keeling RF.,
2010). Lautan kehilangan oksigen (IPCC., 2019). Selain itu, stok ikan yang menurun
karena penangkapan skala besar, eksplorasi minyak, dan penambangan logam bawah laut
yang sangat mengancam ekosistem dasar laut (Cuyvers L, Berry W, Gjerde K., 2018).

1
Environmental health
2 study

Kejadian yang berlangsung beberapa waktu yang lalu di Teluk Bima Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang mulai terlihat pada tanggal 25/26 April 2022 merupakan salah satu
fenomena yang cukup menggemparkan warga Kota/Kabupaten Bima maupun luar wilayah
Bima. Menurut beberapa kajian awal berdasarkan pengujian laboratorium dan pemeriksaan
setempat, terdapat tiga kemungkinan penyebab yang menjadi estimasi, yaitu : (1) Lendir
Laut (Sea Snot), (2) Peledakan jumlah dan metabolisme algae (Algaee Blooms) dan (3)
Tumpahan Minyak (Spill Oil). Teluk Bima merupakan jalan air utama yang terletak di
sebelah utara Pulau Sumbawa, serta berlokasi di Kota Bima (Ensiklopedia.
site:upwikims.cyou. diakses 04 Mei 2022).
Pencemaran lingkungan merupakan ancaman besar yang terus berkembang dan
menjadi penyebab terbesar dari penyakit di dunia serta bertanggung jawab pada sekitar 9
juta kematian dini per tahun (Landrigan PJ, et al. 2018). Pencemaran laut menyebabkan
kerugian ekonomi, menghambat pembangunan ekonomi lintas nasional, dan menghambat
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) (United Nations, 2018).
Pencemaran laut adalah komponen yang sangat penting dalam pencemaran lingkungan
tetapi kurang di tangani secara serius dari kejaian pencemaran global (UNESCO/diakses
04 Mei 2022), yang memiliki berbagai dampak langsung dan tidak langsung pada
kesehatan manusia maupun keberlangsungan hidup biota laut itu sendiri.
Tujuan dari tinjauan dalam tulisan ini adalah untuk mengkaji dampak pencemaran laut
terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, khususnya mengkaji estimasi penyebab
fenomena air laut yang terjadi di Teluk Bima dengan memperhatikan banyak aspek.
Informasi yang disajikan dalam ulasan ini akan memandu pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yaitu dalam upaya pencegahan dan pengurangan yang
signifikan dari semua pencemaran laut, meningkatkan kesadaran akan terjadinya
pencemaran laut di antara penentu kebijakan, pemimpin terpilih, masyarakat sipil dan
publik serta untuk mengkatalisasi aksi global untuk memantau, mengendalikan, dan
mencegah pencemaran laut.

2
Environmental health
3 study

Gambar 1. Polusi laut-Komplek penyebab (Landrigan PJ, et al. 2020).

MATERI DAN METODE


Tulisan ini berisi serangkaian ulasan yang berfokus pada topik dan fenomena yang
terjadi di Teluk Bima. Pembahasan dilakukan melalui pengamatan kualitas air laut pada
Teluk Bima berdasarkan hasil beberapa pengujian laboratorium pada spesimen yang
diambil sejak tanggal 27-29 April 2022 oleh Dinas Kesehatan Kota Bima juga dari
beberapa instansi yang melakukan pemeriksaan seperti Dinas Lingkungan Hidup Kota
Bima dan Kabupaten Bima dan BBTKL Surabaya. Kami mengidentifikasi dan membuat
estimasi berdasarkan data dan fakta yang menghubungkan fenomena yang terjadi/polutan
dengan efek kesehatan pada biota laut maupun pada manusia dan membaginya dalam tiga
kategori estimasi sumber penyebab yaitu : (1) Harmfull algaee blooms; (2) Spill oil dan (3)
Sea snot. Kami juga dalam kajian ini tidak hanya mempertimbangkan efek kesehatan
fenomena/polutan individu, tetapi juga campuran kompleks fenomena/polutan kimia dan
fenomena/kontaminan biologis yang ditemukan berdasarkan hasil pengamatan dan

3
Environmental health
4 study

pengujian laboratorium.

HASIL PENGUJIAN SAMPEL AIR LAUT


Hasil pengujian laboratorium sampel air laut :
1. Hasil Uji 1 (27 April 2022)
Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel air laut
Parameter Uji Hasil (Titik 1) Baku Mutu Air Laut
Fisika
Bau Amis Tidak berbau/Amis
Suhu 300C Alami ±30C
Warna Keruh kekuningan Alami
Kekeruhan 74,6 ntu <5 ntu
TDS 19,8 ppt 20 ppm
DHL 12,36 µmhos/cm Max 2.250 µmhos/cm
Dissolved Oxygen 4,74 mg.l
Kimia
pH 9,7 6,5-8,5
Klor bebas 0,36 mg/l 0,03 mg/l
Total klor 57 mg/l
Nitrat 9,75 mg/l 0,008 mg/l
Nitrit 0,01 mg/l 0,01 mg/l
Minyak lemak 0,0 mg/l
Keterangan :
Jenis sampel : Air laut
Lokasi pengambilan : Perairan Wadumbolo
Petugas sampling : Fathurrahmaniah, M.Si, Agus Hartyna, Amd. Kes
Sumber : UPT. Labkesda dan Pemeliharaan Alkes Kota Bima
Referensi : Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004
2. Hasil Uji 2 (28 April 2022)
Tabel 2. Hasil pemeriksaan sampel air laut
Baku Mutu Air
Parameter Uji Hasil (Titik 1) Hasil (Titik 2) Hasil (Titik 3)
Laut
Fisika, Kimia
Bau Amis Amis Amis Tidak berbau/Amis
Suhu 310C 29,80C 29,00C Alami ±30C
TDS 33,8 ppt 32,8 ppt 31,8 ppt 20 ppm
DHL Max 2.250 µmhos/cm
pH 8,55 8,5 8,4 6,5-8,5
Dissolved Oxygen 0,0 mg/l 7,3 mg/l 6,13 mg/l >5 mg/l
NaCl 25,3 ppt 24,8 ppt 25,7 ppt ±<5% dari rerata
salinitas air laut tsb
Konduktifitas 52,1 mS 49,7 mS 49,0 mS
ORP 85,2 mS 92,2 mS 90,1 mS
Kimia (Logam berat)
Arsen TTD TTD TTD TTD
Keterangan :
Jenis sampel : Air laut

4
Environmental health
5 study

Lokasi pengambilan : Titik 1 Perairan wadumbolo


Titik 2 Pantai lawata (1)
Titik 3 Pantai lawata (2)
Petugas sampling : Nahrio, Amd. Kes., S.Sos
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bima
Referensi : Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004
3. Hasil Uji 3 (29 April 2022)
Tabel 3. Hasil pemeriksaan sampel air laut
Parameter Uji Hasil (Titik 1) Hasil (Titik 2) Baku Mutu Air
Laut
Fisika
Bau
Suhu
Warna
Kekeruhan
TDS
DHL
Dissolved Oxygen
Kimia
pH
Klor bebas
Total klor
Nitrat
Nitrit
Biologi

Keterangan :
Sumber : BBTKL Surabaya
Referensi :

PEMBAHASAN DAN DISKUSI


Algaee Blooms Yang Berbahaya
Banyak algae yang merupakan penghasil toksin, bakteri patogen, virus, jamur, dan
protozoa yang berasal dari laut dan muara lingkungan (Landrigan PJ, et al. 2020). Algae
merupakan biota yang sangat penting bagi jaring makanan akuatik dan merupakan
produsen karbon tetap sebagai nutrisi penting bagi ekosistem perairan, serta menyediakan
oksigen. Planktonik yang hidup bebas merupakan spesies algae yang mendominasi lautan.
Di pesisir dan muara, cyanobacteria, serta dinoflagellata, diatom, dan cryptophytes muncul
secara musiman dan merupakan komponen vital ekosistem. Lapisan yang terapung dari
makroalgae coklat (Sargassum) berfungsi sebagai habitat untuk banyak spesies laut.

5
Environmental health
6 study

Sargassum juga menyerap CO2 dan dengan demikian mengurangi pemanasan global dan
pengasaman laut (Young CS, Gobler CJ. 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (SPL) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dimana sampel air laut diambil
pada tanggal 29 April 2022. Hasil identifikasi cepat tim IPB dan tim UNRAM
menunjukkan adanya kelimpahan fitoplankton yang sangat tinggi dari kelas
Bacillariophyceae (Diatom). Fitoplankton tersebut diduga mengarah pada genus Navicula
atau Mastogloia dengan estimasi kelimpahan berkisar 10 – 100 milyar sel per liter.

Berdasarkan baku mutu air laut pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021,
ambang batas kelimpahan fitoplankton bagi wisata bahari dan biota laut adalah 1.000 sel
per mililiter. Dengan kata lain, kelimpahan fitoplankton yang melebihi ambang batas
tersebut dianggap tidak baik. Selain itu, apabila dibandingkan dengan fenomena blooming
lainnya, kelimpahan plankton jenis diatom ini memiliki nilai yang sangat tinggi.
Konsentrasi unsur hara seperti nitrogen, fosfor, dan silikat yang berlebih, dapat memicu
pertumbuhan pesat fitoplankton di kolom air. Pertumbuhan logaritmik yang pesat
fitoplankton di kolom air dapat berlangsung Selma 3-5 hari. Setelah itu, fitoplankton akan
mengalami fase stationary (pertumbuhan normal) dan fase death (mati alami). Ketika
fitoplankton yang kelimpahannya sangat tinggi ini mati, maka akan mengapung di
permukaan laut membentuk lapisan coklat serupa jelly.

Lapisan ini merupakan material biologis berupa biomassa fitoplankton


(Bacillariophyceae) yang mengalami peledakan pertumbuhan pesat (blooming). Blooming
diduga terjadi karena kombinasi antara fenomena alam (iklim dan oseanografi) dan
kemungkinan adanya pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) perairan dari sumber yang tidak
tentu (non point sources). Fitoplanton dari kelas Bacillariophyceae bukan penghasil racun,
namun tetap memberikan dampak ekologi dan sosial berupa kekurangan oksigen bagi biota
laut dan menurunnya estetika perairan (https://ipb.ac.id/news/index/2022/diakses 04 Mei
2022).

Fenomena algaee blooms berdasarkan temuan tim IPB diatas tetap menjadi perhatian
meskipun dalam pengujian hasil sampel yang diambil, biomassa fitoplankton
Bacillariophyceae bukan penghasil racun namun pengujian lebih lanjut harus tetap
dilakukan. Anderson and White, 1992; Coulson et al., 1968; Landsberg, 2002
menyebutkan bahwa racun yang dihasilkan oleh ganggang berbahaya/Harmfull algaee
6
Environmental health
7 study

blooms (HAB) diketahui menyebabkan kematian dan efek kesehatan yang merugikan bagi
biota laut lain, manusia serta satwa liar. Racun HAB juga dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi terutama untuk budidaya dan perikanan (Hoagland et al., 2002).

Temuan investigasi tim IPB yang menemukan jenis algae Bacillariophyceae (Diatom)
sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Jenis algae ini
merupakan algae yang bersifat saprofit namun juga dapat menjadi berbahaya (Young CS,
Gobler CJ. 2018). Menurut Maeda Y, dkk (2018), Mikroalgae laut sangat penting bagi
kesehatan manusia tidak hanya karena merupakan bagian jaring makanan bagi biota laut
namun juga menyediakan makanan untuk akuakultur dan menghasilkan berbagai senyawa
farmasi. Sisi negatifnya, beberapa spesies algae berbahaya dan menghasilkan racun yang
kuat. Ketika kepadatan tinggi spesies ini menumpuk di area lautan dan membentuk
Harmfull Algaee Blooms (HAB), algae yang terakumulasi membuang nutrisi anorganik di
kolom air yang memungkinkan bakteri masuk termasuk patogen dan menguraikan bahan
organik. Konsekuensinya adalah berkurangnya oksigen terlarut dalam air yang
menyebabkan kematian ikan, dan berbagai dampak ekologis yang merugikan (Hallegraeff
G, 2003).

HAB bukanlah fenomena baru, namun frekuensi dan besarnya kehjadian HAB terus
meningkat di beberapa wilayah di dunia (Anderson DM, et al., 20120). Peningkatan ini
telah dikaitkan dengan tiga faktor : (1) Meningkatnya pencemaran laut terutama dari
perairan pantai oleh nitrogen dan fosfor yang mengarah pada eutrofikasi, Sumber nitrogen
yang berasal dari limbah pertanian, dan limbah septic tank dari sumur injeksi; (2)
Pemanasan permukaan laut; dan (3) Pengasaman laut. Peningkatan frekuensi dan
keparahan HAB berhubungan dengan perubahan pola cuaca seperti peristiwa pemanasan
global dan perubahan arus laut. Pemanasan permukaan laut menyebabkan perluasan
jangkauan spesies HAB dan munculnya racun (Lefebvre KA, et al. 2016).

HAB menyebabkan berbagai penyakit manusia seperti : (1) Paralytic Shellfish


Poisoning (PSP) yang disebabkan oleh saxitoxins (STX), neurotoksin kuat yang bekerja
pada reseptor sistem saraf lainnya. PSP biasanya dimulai dengan sensasi kesemutan atau
mati rasa pada wajah, leher, jari tangan, dan kaki (Wiese M, et al. 2010); (2) Amnesic
shellfish poisoning (ASP) yang disebabkan oleh domoic acid (DA), racun kuat yang
diproduksi oleh diatom planktonik yang menargetkan reseptor glutamat di pusat sistem
saraf. Setelah gastrointestinal awal gejala, orang yang terkena mengalami kebingungan,
kelesuan, disorientasi, dan kehilangan memori jangka pendek (Muha N, et al. 2011); (3)

7
Environmental health
8 study

Diarrhetic shellfish poisoning (DSP) yang dikaitkan dengan paparan asam okadaat dan
racun dinofisis. Sindrom ini muncul dengan diare, mual, muntah dan sakit perut, namun
belum ada kasus kematian yang dilaporkan (Morabito S, et al, 2018); (4) Neurotoxic
shellfish poisoning (NSP) disebabkan oleh brevetoxins (BTX), neurotoksin yang
menyebabkan depolarisasi saraf, sel otot dan jantung. NSP menghasilkan campuran gejala
gastrointestinal dan neurologis - mual, muntah, diare, dan kram perut, kelumpuhan, kejang,
dan koma (Watkins SM, et al. 2008); (5) Ciguatera Fish Poisoning (CFP) disebabkan oleh
konsumsi ikan dan kerang yang telah mengakumulasi ciguatoxins (CTX). CTX adalah
neurotoksin yang menargetkan saluran natrium (Darius HT, et al. 2018) serta (6)
Clupeotoxism yaitu bentuk keracunan manusia terkait HAB yang disebabkan oleh
konsumsi ikan dan krustasea terkontaminasi oleh palytoxin (PTX). Gejala termasuk pada
gastrointestinal, neurologis, dan gejala kardiovaskular, serta kelemahan, batuk, dan nyeri
otot (Hamade AK, et al. 2012–2014).

Jelaskan hasil pengujian lab……………………………….

Tumpahan Minyak (Oil Spill)


Polusi minyak yang berasal dari kegiatan manusia di habitat laut disebabkan oleh
ekstraksi minyak dan transportasi, termasuk kecelakaan kapal tanker dan pembuangan
operasional (Blackburn et al. 2014). Tumpahan minyak dapat menyebabkan toksisitas
terhadap lingkungan secara langsung, berkepanjangan, dan meluas (Brussard et al. 2016).
Minyak mentah dan produk minyak bumi adalah campuran hidrokarbon ringan kompleks
dan berat, logam beracun, dan bahan kimia lainnya. Hidrokarbon aromatik polisiklik
(PAH) adalah komponen yang sangat berbahaya. Saat tumpahan minyak dan kebocoran
melepaskan bahan kimia beracun ke laut atau lingkungan, tumpahan ini akan terakumulasi
dalam jaring makanan; membunuh ikan, burung, dan mamalia laut; menghancurkan
perikanan komersial, dan tempat tidur kerang; melepaskan bahan kimia beracun yang
mudah menguap seperti benzena ke atmosfer; dan garis pantai yang kotor (Landrigan J., et
al. 2020).

Sebagian besar tumpahan minyak yang masuk ke lingkungan laut pada awalnya
mengapung dan membentuk slick yang tersebar di permukaan air. Slick ini diangkut secara
horizontal oleh angin dan arus. Minyak yang kemudian terperangkap di kolom air di bawah
slick melalui dispersi dengan atau tanpa bahan kimia dispersan (Dewan Riset Nasional
2003). Organisme yang menggunakan habitat ini dapat terpapar bahan kimia minyak yang
menyebabkan berbagai efek toksik (Incardona et al. 2014, 2015; Buskey et al. 2016).

8
Environmental health
9 study

Dampak minyak pada organisme di kolom air sangat penting secara biologis (Lewis dan
Ricker 2020). Upaya untuk mengkarakterisasi dampak terhadap komunitas biologis di
kolom air umumnya didasarkan pada pengamatan minyak, pengukuran kimia hidrokarbon
terkait minyak bumi di lingkungan dan biota yang berbeda, pemantauan penduduk,
pengujian toksisitas berbasis laboratorium, dan penentuan efek toksik yang bergantung
pada dosis senyawa kimia yang ditemukan dalam minyak (Martínez-Gómez dkk. 2010).

Efek ekosistem dari tumpahan minyak berupa gangguan sumber makanan biota laut,
perusakan habitat muara dan terumbu karang, dan pengotoran pantai. Biota laut dan satwa
liar pesisir, termasuk burung dan mamalia, dapat terpapar polutan berbasis minyak melalui
konsumsi, penyerapan, dan inhalasi dan apabila dikonsumsi manusia dapat menyebabkan
masalah pencernaan, pendarahan, kerusakan ginjal dan hati, kegagalan reproduksi serta
anemia. PAH yang terkandung dalam tumpahan minyak telah terbukti menyebabkan
kerusakan DNA pada spesies laut dan telah terkait dengan lesi hati, paru dan jantung pada
Anjing laut (Council NR. 2003, Pérez-Cadahía B, et al. (2006).

Pengujian toksisitas penting dilakukan untuk menentukan bagaimana paparan minyak


berdampak pada organisme. Data toksikologi dapat menginformasikan keadaan darurat dan
respon mitigasi, penilaian jenis dan besarnya kerusakan sumber daya alam serta prediksi
konsekuensi masa depan dari peristiwa tersebut (Kirby et al. 2007). Kondisi lingkungan,
termasuk suhu, salinitas, dan bahan organik terlarut, dapat mengubah toksisitas melalui
dinamika eksposur yang kompleks (Ramachandran et al. 2006). Uji toksisitas standar
sangat penting untuk membuat keputusan tindakan pencegahan dan pengendalian tentang
tumpahan minyak (Colvin et al. 2020).

Burton G.A., et al. (2021) melakukan uji bioassay untuk melakukan pelacakan
kejadian tumpahan minyak yang akan mempengaruhi kehidupan organisme laut di perairan
Amerika Serikat menggunakan alat yang dimodifikasi dari 2 sistem yaitu : cincin
penilaian ekotoksisitas sedimen atau SEA Ring dan dan partikel hanyut simulator (DPS).
Alat ini dinamakan Teknologi Drifting exposure and effects assessment ring (DEEAR).
Teknologi ini dapat meningkatkan penilaian di masa depan untuk memastikan toksisitas
minyak yang merugikan secara real time dan oleh karena itu, menjadi alat yang berguna
untuk penilaian respon dan kerusakan.

Teknologi DEEAR memberikan kemampuan baru dan unik untuk menghubungkan


paparan dan efek buruk akibat tumpahan minyak. Uji coba teknologi DEEAR di Teluk San
Diego dan lepas pantai Santa Barbara, California, AS, menunjukkan kemampuan unik
9
Environmental health
10 study

untuk secara simultan menilai paparan dan efek minyak waktu nyata pada invertebrata dan
ikan di kolom air selama periode 24 jam (minimum). Teknologi ini dapat meningkatkan
penilaian di masa depan untuk memastikan toksisitas minyak yang merugikan secara real
time dan oleh karena itu, menjadi alat yang berguna untuk penilaian respon dan kerusakan.

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium yang dilakukan oleh UPT. Labkesda Kota
Bima pada pengambilan sampel tanggal 27 April 2022, tidak ditemukan kandungan
minyak dan lemak termasuk estimasi keberaaan minyak yang bersumber dari PT.
Pertamina Bima yang berlokasi tepat di depan perairan Wadumbolo dimana sampel petama
diambil an merupakan pusat aal terbentknya fenomena pada air laut di Teluk Bima
………….

Ingus Laut (Sea snot)


Ingus laut (Sea snot) dapat didefinisikan sebagai akumulasi materi berwarna putih-
coklat dan berbentuk seperti jelly yang muncul dalam waktu singkat di permukaan laut.
Meskipun fenomena ingus laut dan alasan kemunculannya merupakan subjek yang
kompleks, dapat dikatakan bahwa ingus laut sebagian besar terdiri dari struktur organik
yang terdiri dari campuran karbohidrat dan protein (Yücel et al. 2021).

Danovaro et al. 2009 menyatakan bahwa peristiwa pembetukan sea snot yang terjadi
di laut di Mediterania Turki beberapa waktu yang lalu sebenarnya telah dimulai pada awal
tahun 1700-an yang terjadi di Laut Marmara pada bulan September-Oktober 2007 (Aktan
et al.2008). Baru-baru ini pada bulan Desember 2020, pembentukan sea snot tercatat
secara ilmiah di Selat anakkale Turki di atas kumpulan karang keras, gorgonian,
coralligenous, dan spons (Özalp 2021). Setelah itu, Balkis-Özdelice et al. (2021)
menemukan bahwa bakteri Phaeocystis pouchetii (Pic. 2) menghasilkan busa mucilaginous
di Laut Marmara. Formasi berbusa dan berfilamen ini mempengaruhi kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan (Keleÿ et al. 2020).

Gambar 2. Phaeocystis pouchetii (Hariot) Lagerheim, 1893. motile cell c. 5 µm long,

10
Environmental health
11 study

colony up to 1.5-2 mm (Inouye, I & Ishimaru, T. 1990).

Yıldız T. dan Gönülal O. (2021) dalam penelitiannya yang menggunakan metode


interview dan pengisian kuesioner secara online kepada para nelayan disekitar laut
Marmara Turki menemukan bahwa 89,1% (188 orang) nelayan yang berpartisipasi dalam
survei berpikir bahwa sea snot akan mempengaruhi proses penangkapan ikan selain
pengaruh utamanya terhadap biota laut itu sendiri seperti kail pancing nelayan yang
tersumbat, jaring yang membawa sea snot menyebabkan beratnya beban jaring, dan
peningkatan beban kerja nelayan, belum lagi kemungkinan sea snot mengandung
mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan. Isu penting lainnya yang
mempengaruhi industri perikanan akibat sea snot adalah penurunan konsumsi ikan (Yıldız
T dan Gönülal O.,2021)

Kultur mikrorganisme termasuk patogen dilakukan setelah pengambilan sampel ke3


oleh BBTKL Surabaya pada tanggal 29 April 2022. Hasil kultur menunjukkan beberapa
pathogen yang diuji dan di estimasi terlihat pada sampel seperti Vibrio, sp, Bacillus, sp
tidak dilaporkan (hasil negatif). Mikroorganisme yang dilaporkan pada pengujian sampel
yaitu bakteri Escherica coli dengan kelimpahan ………………

Polusi Bahan Kimia


Pelepasan logam beracun termasuk limbah logam berat utama seperti mercury ke
lingkungan telah terjadi sejak lama dengan dimulainya kegiatan penambangan dan semakin
meningkat sejak awal Revolusi Industri (McConnell JR, et al., 2008). Mercury adalah
pencemar logam terbesar di lautan yang memiliki resiko tinggi bagi kesehatan manusia
(Landrigan PJ, et al. 2011). Selama 500 tahun terakhir, aktivitas manusia telah
meningkatkan total Mercury pada lingkungan termasuk lautan sekitar 450% di atas
ambang batas kemampuan kompensasi alam.

Saat ini, sekitar 70% mercury beredar di lingkungan. Keberadaan mercury dalam
jumlah besar di lingkungan dan potensi perubahan iklim untuk memobilisasi kembali
mercury ini memperumit proyeksi paparan masa depan dan dampaknya bagi kesehatan
manusia. Diperkirakan 2.220 ton mercury saat ini terpapar ke lingkungan setiap tahun
sebagai akibat dari aktifitas manusia. Emisi ini menyumbang sekitar 30% emisi mercury
saat ini, dan 60% lainnya dari arus emisi mercury hasil dari daur ulang lingkungan dari
mercury antropogenik yang sebelumnya disimpan di tanah dan air, sedangkan 10% sisanya
berasal dari sumber alami seperti gunung berapi (Landrigan PJ, et al. 2020).

11
Environmental health
12 study

Methylmercury adalah polutan persisten di laut. biokonsentrasi mercury bergerak ke


atas jaring makanan, sehingga spesies predator puncak seperti tuna dan bluefish serta
mamalia laut dapat mengakumulasi konsentrasi methylmercury di jaringan mereka yang 10
juta kali atau lebih besar dari yang ada di perairan sekitarnya. Konsumsi metal mercury
pada biota laut menyebabkan : (1) Kehilangan Fungsi neurokognitif yang cepat pada orang
dewasa dan (2) Efek cardiovaskuler.

Logam berat lain sepeti arsenic …

Pengujian laboratorium logam berat secara kualitatif yang dilakukan pada


pengambilan sampel ke-2 oleh Tim Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan pada tanggal
28 April 2022 tidak menunjukkan keberadaan logam berat yang diujikan seperti arsen dan
mercury……………….

Bakteri Laut, Virus, dan Protozoa


Mikrorganisme sepeti bakteri dan virus melimpah di lautan. Setiap sentimeter kubik
air laut rata-rata mengandung satu juta mikroba sel, sedangkan pelabuhan laut global
diperkirakan mengandung 4–6 × 1030 sel mikroba (Whitman WB., et al. 1998). Meskipun
sebagian besar bakteri di lautan tidak berbahaya bagi manusia, beberapa bersifat patogen.
Patogen laut alami yang sangat penting bagi kesehatan manusia termasuk Vibrio cholerae,
Vibrio vulnificus, Vibrio parahaemolyticus, dan , sp (Landrigan PJ., et al. 2018).

Perubahan iklim, pemanasan permukaan laut, dan polusi laut yang memburuk dapat
memperluas rentang geografis alam patogen laut serta mikroorganisme di lautan. Bakteri
berbahaya dapat pindah ke muara, teluk, dan wilayah lautan yang sebelumnya tidak dihuni
oleh mikroorganisme tersebut. Infeksi mikroba berkontribusi terhadap degradasi
lingkungan laut yang rapuh seperti terumbu karang yang berkontribusi terhadap kematian
kerang di alam liar dan daerah pertanian, sehingga mempengaruhi ekonomi (Landrigan PJ.,
et al. 2018).

Spesies bakteri Vibrio merupakan penyebab utama penyakit dan kematian. Vibrio
cholerae adalah spesies yang menjadi perhatian terbesar karena memiliki pertahanan
musim yang kuat, dan pada suhu air yang lebih hangat dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi spesies di muara dan perairan pantai termasuk pada teluk dan pelabuhan
(Ceccarelli D, et al. 2019). Pemanasan perairan pesisir yang disebabkan oleh perubahan
iklim cenderung lebih meningkatkan kelimpahan bakteri Vibrio dan memperluas
jangkauan geografis bakteri tersebut.

12
Environmental health
13 study

Terdapat beberapa indikasi bahwa setelah kejadian cuaca ekstrim seperti saat badai,
kekeringan, dan badai tropis bergeser dalam komposisi spesies Vibrio dan pergeseran ini
didorong oleh pembuangan limbah dan nutrisi anorganik ke perairan pantai (Landrigan PJ.,
et al. 2018).

Bakteri Escericia coli yang terdeteksi pada pengujian yang dilakukan …………

SIMPULAN
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Dinas Kesehatan Kota Bima dan BBTKL Surabaya ………

DAFTAR PUSTAKA

Aktan, Y., Dede, A., Çiftçi, P.S. (2008) Mucilage event associated with diatom
and dinoflagellates in Sea of Marmara, Turkey. Harmful Algaee News 36: 1-3.
Anderson DM, Cembella AD, Hallegraeff GM. Progress in understanding harmful algael
blooms: aradigm shifts and new technologies for research, monitoring, and
management. Annual Review of Marine Science. 2012; 4: 143–176
Blackburn M, Mazzacano CAS, Fallon C, Black SH. 2014. Oil in our oceans. A review of
the impacts of oil spills on marine invertebrates. Xerces Society for Invertebrate
Conservation, Portland, OR, USA.
Colvin KA, Lewis C, Galloway TS. 2020. Current issues confounding the rapid
toxicological assessment of oil spills. Chemosphere 245:125585.
Danovaro, R., Fonda, U.S., Pusceddu, A. (2009) Climate change and the potential
spreading of marine mucilage and microbial pathogens in the Mediterranean Sea.
PLoS One 4(9): e7006.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Special Report on the Ocean and
Cryosphere in a Changing Climate. Geneva, Switzerland: IPCC. 2019.
Gruber N, Clement D, Carter BR, et al. The oceanic sink for anthropogenic CO2 from
1994 to 2007.
Science. 2019; 363(6432): 1193–1199.
Inouye, I & Ishimaru, T. 1990. Haptophyceae. In “Red tide organisms in Japan-An
illustrated taxonomic guide”. (Y. Fukuyo, H. Takano, M. Chihara & K. Matsuoka
eds) . Uchida Rokakuho, Tokyo, p. 362-369.
Rockström J, Steffen W, Noone K, et al. A safe operating space for humanity. Nature.
2009; 461(7263):
472.
Ercolano G, De Cicco P, Ianaro A. New drugs from the sea: Pro-apoptotic activity of
sponges and algae derived compounds. Marine Drugs. 2019; 17(1): 31.

13
Environmental health
14 study

Martínez ML, Intralawan A, Vázquez G, et al. The coasts of our world: Ecological,
economic and social importance. Ecological Economics. 2007;63(2–3): 254–272.
The L. Saving the Pacific islands from extinction. Lancet (London, England). 2019;
394(10196): 359.
Whitmee S, Haines A, Beyrer C, et al. Safeguarding human health in the Anthropocene
epoch: Report of The Rockefeller Foundation–Lancet Commission on planetary
health. The Lancet. 2015; 386(10007):1973–2028.
Keeling RF, Körtzinger A, Gruber N. Ocean deoxygenation in a warming world. Annual
Review of Marine Science. 2010; 2: 199–229.
Keleş, G., Yilmaz, S., Zengin, M. (2020) Possible economic effects of musilage
on Sea of Marmara Fisheries. Int J Agric For Life Sci 4(2): 173-177.
Cuyvers L, Berry W, Gjerde K, et al. Deep Seabed Mining, a Rising Environmental
Challenge. IUCN; 2018.
Landrigan PJ, Fuller R, Acosta NJ, et al. The Lancet Commission on pollution and health.
The Lancet. 2018; 391(10119): 462–512.
United Nations. The Sustainable Development Goals report 2018. 2018.
UNESCO. Facts and Figures on Marine Pollution. http://www.unesco.org/new/en/natural-
sciences/ioc-oceans/focus-areas/rio-20-ocean/blueprint-for-thefuture-we-want/marine-
pollution/facts-and-figureson-marine-pollution/diakses 05 Mei 2022
https://ipb.ac.id/news/index/2022/05/tim-ipb-university-berikan-respon-cepat-terhadap-
fenomena-munculnya-lapisan-coklat-tebal-di-teluk-bima/dikases 04 Mei 2022
Anderson, D., 2014. HABs in a changing world: a perspective on harmful algael blooms,
their impacts, and research and management in a dynamic era of climactic and
environmental change. In: Harmful algaee 2012 : proceedings of the 15th International
Conference on Harmful Algaee. Changwon, Gyeongnam, Korea. October 29 -
November 2, 2012, CECO,.
Coulson, J.C., Potts, G.R., Deans, I.R., Fraser, S.M., 1968. Dinoflagellate Crop in the
North Sea: Mortality of Shags and other Sea Birds caused by Paralytic Shellfish
Poison. Nature 220, 23–24.
Landsberg, J.H., 2002. The effects of harmful algael blooms on aquatic organisms.
Reviews in Fisheries Science 10, 113–390.
Hoagland, P., Anderson, D., Kaoru, Y., White, A., 2002. The economic effects of harmful
algael blooms in the United States: estimates, assessment issues, and information
needs. Estuaries 25, 819–837.
Philip J. Landrigan, John J. Stegeman, Lora E. Fleming, Denis Allemand‖, Donald M.
Anderson, Lorraine C. Backer, Françoise Brucker-Davis, Nicolas Chevalier, Lilian
Corra, Dorota Czerucka‖, Marie-Yasmine Dechraoui Bottein‖‖, Barbara Demeneix,
Michael Depledge, Dimitri D. Deheyn, Charles J. Dorman, Patrick Fénichel, Samantha
Fisher, Françoise Gaill, François Galgaeni, William H. Gaze, Laura Giuliano, Philippe
Grandjean, Mark E. Hahn, Amro Hamdoun, Philipp Hess, Bret Judson, Amalia
Laborde, Jacqueline McGlade, Jenna Mu, Adetoun Mustapha, Maria Neira, Rachel T.
Noble, Maria Luiza Pedrotti, Christopher Reddy, Joacim Rocklöv, Ursula M. Scharler,
Hariharan Shanmugam, Gabriella Taghian, Jeroen A. J. M. van de Water‖, Luigi
Vezzulli, Pál Weihe, Ariana Zeka, Hervé Raps‖ and Patrick Rampal. 2020. Human

14
Environmental health
15 study

Health and Ocean Pollution. Annals of Global Health. 2020; 86(1): 151, 1–64.
Young CS, Gobler CJ. The ability of macroalgaee to mitigate the negative effects of ocean
acidification on four species of North Atlantic bivalve. Biogeosciences. 2018; 15(20):
6167–6183.
Maeda Y, Yoshino T, Matsunaga T, et al. Marine microalgaee for production of biofuels
and chemicals. Current Opinion in Biotechnology. 2018; 50: 111–120.
Hallegraeff G. Harmful algael blooms: A global overview. Manual on Harmful Marine
Microalgaee. 2003; 33: 1–22.
Hay ME, Fenical W. Marine plant-herbivore interactions: The ecology of chemical
defense. Annual Review of Ecology and Systematics. 1988; 19(1):111–145.
Hallegraeff GM. Ocean climate change, phytoplankton community responses, and harmful
algael blooms: a formidable predictive challenge 1. Journal of Phycology. 2010; 46(2):
220–235.
Lefebvre KA, Quakenbush L, Frame E, et al. Prevalence of algael toxins in Alaskan
marine mammals foraging in a changing arctic and subarctic environment. Harmful
Algaee. 2016; 55: 13–24.
Wiese M, D’agostino PM, Mihali TK, et al. Neurotoxic alkaloids: Saxitoxin and its
analogs. Marine Drugs. 2010; 8(7): 2185–2211.
Muha N, Ramsdell JS. Domoic acid induced seizures progress to a chronic state of
epilepsy in rats. Toxicon. 2011; 57(1): 168–171.
Morabito S, Silvestro S, Faggio C. How the marine biotoxins affect human health. Natural
Product Research. 2018; 32(6): 621–631.
Watkins SM, Reich A, Fleming LE, et al. Neurotoxic shellfish poisoning. Marine drugs.
2008; 6(3): 431–455.
Hamade AK, Deglin SE, McLaughlin JB, et al. Suspected palytoxin inhalation exposures
associated with zoanthid corals in aquarium shops and homes—Alaska, 2012–2014.
MMWR Morbidity and Mortality Weekly Report. 2015; 64(31): 852.
Brussard CPD, Peperzak L, Beggah S, Wick LY, Wuerz B, Weber J, Arey JS, van der
Burg B, Jonas A, Huisman J, van der Meer JR. 2016. Immediate ecotoxicological
effects of short‐lived oil spills on marine biota. Nat Commun 7:11206.
National Research Council. 2003. Oil in the Sea III: Inputs, Fates, and Effects. National
Academy of Sciences, Washington, DC.
Buskey EJ, White HK, Esbaugh AJ. 2016. Impact of oil spills on marine life in the Gulf of
Mexico: Effects on plankton, nekton, and deep‐sea benthos. Oceanography 29:174–
181.
ncardona JP, Gardner LD, Linbo TL, Brown TL, Esbaugh AJ, Mager EM, Stieglitz JD,
French BL, Labenia JS, Laetz CA, Tagal M, Sloan CA, Elizur A, Benetti DD, Grosell
M, Block BA, Scholz NL. 2014. Deepwater Horizon crude oil impacts the developing
hearts of large predatory pelagic fish. Proc Natl Acad Sci USA 111:E1510–E1518.
Lewis CG, Ricker RW. 2020. Overview of ecological impacts of deep spills: Deepwater
Horizon. In Murawski SA, Ainsworth CH, Gilbert S, Hollander DJ, Paris CB, Schluter
M, Wetzel DL, eds, Deep Oil Spills: Facts, Fate, and Effects. Springer, Cham,
Switzerland, pp 344–354.

15
Environmental health
16 study

Martínez‐Gómez C, Vethaak AD, Hylland K, Burgeot T, Köhler A, Lyons BP, Thain J,


Gubbins MJ, Davies IM. 2010. A guide to toxicity assessment and monitoring effects
at lower levels of biological organization following marine oil spills in European
waters. ICES J Mar Sci 67:1105–1118.
Council NR. Oil in the sea III: Inputs, fates, and effects. US: National Academies Press;
2003.
Pérez-Cadahía B, Laffon B, Pásaro E, et al. Genetic damage induced by accidental
environmental pollutants. The Scientific World Journal. 2006; 6: 1221–1237.
Kirby M, Lyons B, Barry J, Law R. 2007. The toxicological impacts of oil and chemically
dispersed oil: UV‐mediated phototoxicity and implications for environmental effects,
statutory testing and response strategies. Mar Pollut Bull 54:464–488.
Ramachandran S, Sweezey M, Hodson P, Boudreau M, Courtenay S, Lee K, King T,
Dixon JA. 2006. Influence of salinity and fish species on PAH uptake from dispersed
crude oil. Mar Pollut Bull 52:1182–1189.
Taner Yıldız1, Onur Gönülal. 2021. Sea snot and its impacts on the fisheries in the Sea of
Marmara and its adjacent waters. J. Black Sea/Mediterranean Environment Vol. 27,
No. 2: 167-183 (2021)
Yücel, M., Salihoğlu, B., Kalkan-Tezcan, E., Mantıkcı, M., Haznedaroğlu, B., Örek, H.,
Ak, Y., Yenigün, O. (2021b) Sea snot: The ‘organic uprisal‘ of the sea. Sarkaç.
Available at: https://sarkac.org/2021/05/deniz-salyasi-nedir/ (accessed 05 May 2022).
McConnell JR, Edwards R. Coal burning leaves toxic heavy metal legacy in the Arctic.
Proceedings of the National Academy of Sciences. 2008; 105(34):12140–12144.
Landrigan PJ, Goldman LR. Children’s vulnerability to toxic chemicals: a challenge and
opportunity to strengthen health and environmental policy. Health Affairs. 2011;
30(5): 842–850.
G.A. Burton Jr.,a,* E.C. Cervi,a G. Rosen,b M. Colvin,b B. Chadwick,b N. Hayman,c S.E.
Allan,d L.M. DiPinto,d R. Adams, M. McPherson,e and E. Scharberg. 2021. Tracking
and Assessing Oil Spill Toxicity to Aquatic Organisms:A Novel Approach.
Environmental Toxicology and Chemistry—Volume 40, Number 5—pp. 1452–1462,
2021
Whitman WB, Coleman DC, Wiebe WJ. Prokaryotes: The unseen majority. Proceedings of
the National Academy of Sciences. 1998; 95(12): 6578–6583.

16

Anda mungkin juga menyukai