1 study
INTRODUCTION
Lautan merupakan bagian bumi yang sangat luas yang mencakup lebih dari 70% dari
permukaan bumi, menampung 97% air dunia, menampung beberapa ekosistem paling
beragam dan mendukung ekonomi di negara-negara di seluruh dunia (IPCC., 2019).
Organisme mikroskopis di laut adalah sumber utama oksigen di atmosfer dengan menyerap
lebih dari 90% dari kelebihan panas yang dilepaskan ke lingkungan bumi dan hampir
sepertiga dari emisi karbon dioksida. Lautan memperlambat pemanasan planet dan
menstabilkan iklim global (Gruber N, et al., 1994-2007).
Lautan sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia (Rockström J., et
al. 2009), karena menyediakan makanan bagi miliaran orang, mata pencaharian bagi jutaan
orang, serta merupakan sumber dari banyak bahan obat esensial (Ercolano G, et al., 2019).
Selain itu, lautan merupakan sumber kegembiraan, keindahan, kedamaian, dan wahanan
wisata (Martínez ML, et al. 2007). Lautan sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Kelangsungan hidup bagi populasi yang rentan tergantung pada kesehatan lautan
(The L. 2019).
Meskipun ukurannya sangat luas, lautan berada di bawah ancaman. Aktivitas manusia
merupakan sumber utama ancaman tersebut (IPCC., 2019). Perubahan iklim dan gangguan
lingkungan lainnya menyebabkan suhu permukaan laut meningkat, gletser mencair, serta
spesies algae berbahaya dan bakteri patogen bermigrasi ke perairan yang sebelumnya tidak
terkontaminasi. Volume lautan yang semakin meningkat yang disertai dengan badai pesisir
yang ganas dapat membahayakan 600 juta orang diseluruh dunia yang tinggal dalam jarak
10 meter dari permukaan laut (Whitmee S, 2015). Kenaikan konsentrasi CO 2 di atmosfer
telah menyebabkan pengasaman lautan, yang pada gilirannya menghancurkan terumbu
karang, mengganggu perkembangan tiram dan kerang lainnya, dan melarutkan
mikroorganisme yang mengandung kalsium di dasar dari jaring makanan (Keeling RF.,
2010). Lautan kehilangan oksigen (IPCC., 2019). Selain itu, stok ikan yang menurun
karena penangkapan skala besar, eksplorasi minyak, dan penambangan logam bawah laut
yang sangat mengancam ekosistem dasar laut (Cuyvers L, Berry W, Gjerde K., 2018).
1
Environmental health
2 study
Kejadian yang berlangsung beberapa waktu yang lalu di Teluk Bima Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang mulai terlihat pada tanggal 25/26 April 2022 merupakan salah satu
fenomena yang cukup menggemparkan warga Kota/Kabupaten Bima maupun luar wilayah
Bima. Menurut beberapa kajian awal berdasarkan pengujian laboratorium dan pemeriksaan
setempat, terdapat tiga kemungkinan penyebab yang menjadi estimasi, yaitu : (1) Lendir
Laut (Sea Snot), (2) Peledakan jumlah dan metabolisme algae (Algaee Blooms) dan (3)
Tumpahan Minyak (Spill Oil). Teluk Bima merupakan jalan air utama yang terletak di
sebelah utara Pulau Sumbawa, serta berlokasi di Kota Bima (Ensiklopedia.
site:upwikims.cyou. diakses 04 Mei 2022).
Pencemaran lingkungan merupakan ancaman besar yang terus berkembang dan
menjadi penyebab terbesar dari penyakit di dunia serta bertanggung jawab pada sekitar 9
juta kematian dini per tahun (Landrigan PJ, et al. 2018). Pencemaran laut menyebabkan
kerugian ekonomi, menghambat pembangunan ekonomi lintas nasional, dan menghambat
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) (United Nations, 2018).
Pencemaran laut adalah komponen yang sangat penting dalam pencemaran lingkungan
tetapi kurang di tangani secara serius dari kejaian pencemaran global (UNESCO/diakses
04 Mei 2022), yang memiliki berbagai dampak langsung dan tidak langsung pada
kesehatan manusia maupun keberlangsungan hidup biota laut itu sendiri.
Tujuan dari tinjauan dalam tulisan ini adalah untuk mengkaji dampak pencemaran laut
terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, khususnya mengkaji estimasi penyebab
fenomena air laut yang terjadi di Teluk Bima dengan memperhatikan banyak aspek.
Informasi yang disajikan dalam ulasan ini akan memandu pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yaitu dalam upaya pencegahan dan pengurangan yang
signifikan dari semua pencemaran laut, meningkatkan kesadaran akan terjadinya
pencemaran laut di antara penentu kebijakan, pemimpin terpilih, masyarakat sipil dan
publik serta untuk mengkatalisasi aksi global untuk memantau, mengendalikan, dan
mencegah pencemaran laut.
2
Environmental health
3 study
3
Environmental health
4 study
pengujian laboratorium.
4
Environmental health
5 study
Keterangan :
Sumber : BBTKL Surabaya
Referensi :
5
Environmental health
6 study
Sargassum juga menyerap CO2 dan dengan demikian mengurangi pemanasan global dan
pengasaman laut (Young CS, Gobler CJ. 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (SPL) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dimana sampel air laut diambil
pada tanggal 29 April 2022. Hasil identifikasi cepat tim IPB dan tim UNRAM
menunjukkan adanya kelimpahan fitoplankton yang sangat tinggi dari kelas
Bacillariophyceae (Diatom). Fitoplankton tersebut diduga mengarah pada genus Navicula
atau Mastogloia dengan estimasi kelimpahan berkisar 10 – 100 milyar sel per liter.
Berdasarkan baku mutu air laut pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021,
ambang batas kelimpahan fitoplankton bagi wisata bahari dan biota laut adalah 1.000 sel
per mililiter. Dengan kata lain, kelimpahan fitoplankton yang melebihi ambang batas
tersebut dianggap tidak baik. Selain itu, apabila dibandingkan dengan fenomena blooming
lainnya, kelimpahan plankton jenis diatom ini memiliki nilai yang sangat tinggi.
Konsentrasi unsur hara seperti nitrogen, fosfor, dan silikat yang berlebih, dapat memicu
pertumbuhan pesat fitoplankton di kolom air. Pertumbuhan logaritmik yang pesat
fitoplankton di kolom air dapat berlangsung Selma 3-5 hari. Setelah itu, fitoplankton akan
mengalami fase stationary (pertumbuhan normal) dan fase death (mati alami). Ketika
fitoplankton yang kelimpahannya sangat tinggi ini mati, maka akan mengapung di
permukaan laut membentuk lapisan coklat serupa jelly.
Fenomena algaee blooms berdasarkan temuan tim IPB diatas tetap menjadi perhatian
meskipun dalam pengujian hasil sampel yang diambil, biomassa fitoplankton
Bacillariophyceae bukan penghasil racun namun pengujian lebih lanjut harus tetap
dilakukan. Anderson and White, 1992; Coulson et al., 1968; Landsberg, 2002
menyebutkan bahwa racun yang dihasilkan oleh ganggang berbahaya/Harmfull algaee
6
Environmental health
7 study
blooms (HAB) diketahui menyebabkan kematian dan efek kesehatan yang merugikan bagi
biota laut lain, manusia serta satwa liar. Racun HAB juga dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi terutama untuk budidaya dan perikanan (Hoagland et al., 2002).
Temuan investigasi tim IPB yang menemukan jenis algae Bacillariophyceae (Diatom)
sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Jenis algae ini
merupakan algae yang bersifat saprofit namun juga dapat menjadi berbahaya (Young CS,
Gobler CJ. 2018). Menurut Maeda Y, dkk (2018), Mikroalgae laut sangat penting bagi
kesehatan manusia tidak hanya karena merupakan bagian jaring makanan bagi biota laut
namun juga menyediakan makanan untuk akuakultur dan menghasilkan berbagai senyawa
farmasi. Sisi negatifnya, beberapa spesies algae berbahaya dan menghasilkan racun yang
kuat. Ketika kepadatan tinggi spesies ini menumpuk di area lautan dan membentuk
Harmfull Algaee Blooms (HAB), algae yang terakumulasi membuang nutrisi anorganik di
kolom air yang memungkinkan bakteri masuk termasuk patogen dan menguraikan bahan
organik. Konsekuensinya adalah berkurangnya oksigen terlarut dalam air yang
menyebabkan kematian ikan, dan berbagai dampak ekologis yang merugikan (Hallegraeff
G, 2003).
HAB bukanlah fenomena baru, namun frekuensi dan besarnya kehjadian HAB terus
meningkat di beberapa wilayah di dunia (Anderson DM, et al., 20120). Peningkatan ini
telah dikaitkan dengan tiga faktor : (1) Meningkatnya pencemaran laut terutama dari
perairan pantai oleh nitrogen dan fosfor yang mengarah pada eutrofikasi, Sumber nitrogen
yang berasal dari limbah pertanian, dan limbah septic tank dari sumur injeksi; (2)
Pemanasan permukaan laut; dan (3) Pengasaman laut. Peningkatan frekuensi dan
keparahan HAB berhubungan dengan perubahan pola cuaca seperti peristiwa pemanasan
global dan perubahan arus laut. Pemanasan permukaan laut menyebabkan perluasan
jangkauan spesies HAB dan munculnya racun (Lefebvre KA, et al. 2016).
7
Environmental health
8 study
Diarrhetic shellfish poisoning (DSP) yang dikaitkan dengan paparan asam okadaat dan
racun dinofisis. Sindrom ini muncul dengan diare, mual, muntah dan sakit perut, namun
belum ada kasus kematian yang dilaporkan (Morabito S, et al, 2018); (4) Neurotoxic
shellfish poisoning (NSP) disebabkan oleh brevetoxins (BTX), neurotoksin yang
menyebabkan depolarisasi saraf, sel otot dan jantung. NSP menghasilkan campuran gejala
gastrointestinal dan neurologis - mual, muntah, diare, dan kram perut, kelumpuhan, kejang,
dan koma (Watkins SM, et al. 2008); (5) Ciguatera Fish Poisoning (CFP) disebabkan oleh
konsumsi ikan dan kerang yang telah mengakumulasi ciguatoxins (CTX). CTX adalah
neurotoksin yang menargetkan saluran natrium (Darius HT, et al. 2018) serta (6)
Clupeotoxism yaitu bentuk keracunan manusia terkait HAB yang disebabkan oleh
konsumsi ikan dan krustasea terkontaminasi oleh palytoxin (PTX). Gejala termasuk pada
gastrointestinal, neurologis, dan gejala kardiovaskular, serta kelemahan, batuk, dan nyeri
otot (Hamade AK, et al. 2012–2014).
Sebagian besar tumpahan minyak yang masuk ke lingkungan laut pada awalnya
mengapung dan membentuk slick yang tersebar di permukaan air. Slick ini diangkut secara
horizontal oleh angin dan arus. Minyak yang kemudian terperangkap di kolom air di bawah
slick melalui dispersi dengan atau tanpa bahan kimia dispersan (Dewan Riset Nasional
2003). Organisme yang menggunakan habitat ini dapat terpapar bahan kimia minyak yang
menyebabkan berbagai efek toksik (Incardona et al. 2014, 2015; Buskey et al. 2016).
8
Environmental health
9 study
Dampak minyak pada organisme di kolom air sangat penting secara biologis (Lewis dan
Ricker 2020). Upaya untuk mengkarakterisasi dampak terhadap komunitas biologis di
kolom air umumnya didasarkan pada pengamatan minyak, pengukuran kimia hidrokarbon
terkait minyak bumi di lingkungan dan biota yang berbeda, pemantauan penduduk,
pengujian toksisitas berbasis laboratorium, dan penentuan efek toksik yang bergantung
pada dosis senyawa kimia yang ditemukan dalam minyak (Martínez-Gómez dkk. 2010).
Efek ekosistem dari tumpahan minyak berupa gangguan sumber makanan biota laut,
perusakan habitat muara dan terumbu karang, dan pengotoran pantai. Biota laut dan satwa
liar pesisir, termasuk burung dan mamalia, dapat terpapar polutan berbasis minyak melalui
konsumsi, penyerapan, dan inhalasi dan apabila dikonsumsi manusia dapat menyebabkan
masalah pencernaan, pendarahan, kerusakan ginjal dan hati, kegagalan reproduksi serta
anemia. PAH yang terkandung dalam tumpahan minyak telah terbukti menyebabkan
kerusakan DNA pada spesies laut dan telah terkait dengan lesi hati, paru dan jantung pada
Anjing laut (Council NR. 2003, Pérez-Cadahía B, et al. (2006).
Burton G.A., et al. (2021) melakukan uji bioassay untuk melakukan pelacakan
kejadian tumpahan minyak yang akan mempengaruhi kehidupan organisme laut di perairan
Amerika Serikat menggunakan alat yang dimodifikasi dari 2 sistem yaitu : cincin
penilaian ekotoksisitas sedimen atau SEA Ring dan dan partikel hanyut simulator (DPS).
Alat ini dinamakan Teknologi Drifting exposure and effects assessment ring (DEEAR).
Teknologi ini dapat meningkatkan penilaian di masa depan untuk memastikan toksisitas
minyak yang merugikan secara real time dan oleh karena itu, menjadi alat yang berguna
untuk penilaian respon dan kerusakan.
untuk secara simultan menilai paparan dan efek minyak waktu nyata pada invertebrata dan
ikan di kolom air selama periode 24 jam (minimum). Teknologi ini dapat meningkatkan
penilaian di masa depan untuk memastikan toksisitas minyak yang merugikan secara real
time dan oleh karena itu, menjadi alat yang berguna untuk penilaian respon dan kerusakan.
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium yang dilakukan oleh UPT. Labkesda Kota
Bima pada pengambilan sampel tanggal 27 April 2022, tidak ditemukan kandungan
minyak dan lemak termasuk estimasi keberaaan minyak yang bersumber dari PT.
Pertamina Bima yang berlokasi tepat di depan perairan Wadumbolo dimana sampel petama
diambil an merupakan pusat aal terbentknya fenomena pada air laut di Teluk Bima
………….
Danovaro et al. 2009 menyatakan bahwa peristiwa pembetukan sea snot yang terjadi
di laut di Mediterania Turki beberapa waktu yang lalu sebenarnya telah dimulai pada awal
tahun 1700-an yang terjadi di Laut Marmara pada bulan September-Oktober 2007 (Aktan
et al.2008). Baru-baru ini pada bulan Desember 2020, pembentukan sea snot tercatat
secara ilmiah di Selat anakkale Turki di atas kumpulan karang keras, gorgonian,
coralligenous, dan spons (Özalp 2021). Setelah itu, Balkis-Özdelice et al. (2021)
menemukan bahwa bakteri Phaeocystis pouchetii (Pic. 2) menghasilkan busa mucilaginous
di Laut Marmara. Formasi berbusa dan berfilamen ini mempengaruhi kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan (Keleÿ et al. 2020).
10
Environmental health
11 study
Saat ini, sekitar 70% mercury beredar di lingkungan. Keberadaan mercury dalam
jumlah besar di lingkungan dan potensi perubahan iklim untuk memobilisasi kembali
mercury ini memperumit proyeksi paparan masa depan dan dampaknya bagi kesehatan
manusia. Diperkirakan 2.220 ton mercury saat ini terpapar ke lingkungan setiap tahun
sebagai akibat dari aktifitas manusia. Emisi ini menyumbang sekitar 30% emisi mercury
saat ini, dan 60% lainnya dari arus emisi mercury hasil dari daur ulang lingkungan dari
mercury antropogenik yang sebelumnya disimpan di tanah dan air, sedangkan 10% sisanya
berasal dari sumber alami seperti gunung berapi (Landrigan PJ, et al. 2020).
11
Environmental health
12 study
Perubahan iklim, pemanasan permukaan laut, dan polusi laut yang memburuk dapat
memperluas rentang geografis alam patogen laut serta mikroorganisme di lautan. Bakteri
berbahaya dapat pindah ke muara, teluk, dan wilayah lautan yang sebelumnya tidak dihuni
oleh mikroorganisme tersebut. Infeksi mikroba berkontribusi terhadap degradasi
lingkungan laut yang rapuh seperti terumbu karang yang berkontribusi terhadap kematian
kerang di alam liar dan daerah pertanian, sehingga mempengaruhi ekonomi (Landrigan PJ.,
et al. 2018).
Spesies bakteri Vibrio merupakan penyebab utama penyakit dan kematian. Vibrio
cholerae adalah spesies yang menjadi perhatian terbesar karena memiliki pertahanan
musim yang kuat, dan pada suhu air yang lebih hangat dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi spesies di muara dan perairan pantai termasuk pada teluk dan pelabuhan
(Ceccarelli D, et al. 2019). Pemanasan perairan pesisir yang disebabkan oleh perubahan
iklim cenderung lebih meningkatkan kelimpahan bakteri Vibrio dan memperluas
jangkauan geografis bakteri tersebut.
12
Environmental health
13 study
Terdapat beberapa indikasi bahwa setelah kejadian cuaca ekstrim seperti saat badai,
kekeringan, dan badai tropis bergeser dalam komposisi spesies Vibrio dan pergeseran ini
didorong oleh pembuangan limbah dan nutrisi anorganik ke perairan pantai (Landrigan PJ.,
et al. 2018).
Bakteri Escericia coli yang terdeteksi pada pengujian yang dilakukan …………
SIMPULAN
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Dinas Kesehatan Kota Bima dan BBTKL Surabaya ………
DAFTAR PUSTAKA
Aktan, Y., Dede, A., Çiftçi, P.S. (2008) Mucilage event associated with diatom
and dinoflagellates in Sea of Marmara, Turkey. Harmful Algaee News 36: 1-3.
Anderson DM, Cembella AD, Hallegraeff GM. Progress in understanding harmful algael
blooms: aradigm shifts and new technologies for research, monitoring, and
management. Annual Review of Marine Science. 2012; 4: 143–176
Blackburn M, Mazzacano CAS, Fallon C, Black SH. 2014. Oil in our oceans. A review of
the impacts of oil spills on marine invertebrates. Xerces Society for Invertebrate
Conservation, Portland, OR, USA.
Colvin KA, Lewis C, Galloway TS. 2020. Current issues confounding the rapid
toxicological assessment of oil spills. Chemosphere 245:125585.
Danovaro, R., Fonda, U.S., Pusceddu, A. (2009) Climate change and the potential
spreading of marine mucilage and microbial pathogens in the Mediterranean Sea.
PLoS One 4(9): e7006.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Special Report on the Ocean and
Cryosphere in a Changing Climate. Geneva, Switzerland: IPCC. 2019.
Gruber N, Clement D, Carter BR, et al. The oceanic sink for anthropogenic CO2 from
1994 to 2007.
Science. 2019; 363(6432): 1193–1199.
Inouye, I & Ishimaru, T. 1990. Haptophyceae. In “Red tide organisms in Japan-An
illustrated taxonomic guide”. (Y. Fukuyo, H. Takano, M. Chihara & K. Matsuoka
eds) . Uchida Rokakuho, Tokyo, p. 362-369.
Rockström J, Steffen W, Noone K, et al. A safe operating space for humanity. Nature.
2009; 461(7263):
472.
Ercolano G, De Cicco P, Ianaro A. New drugs from the sea: Pro-apoptotic activity of
sponges and algae derived compounds. Marine Drugs. 2019; 17(1): 31.
13
Environmental health
14 study
Martínez ML, Intralawan A, Vázquez G, et al. The coasts of our world: Ecological,
economic and social importance. Ecological Economics. 2007;63(2–3): 254–272.
The L. Saving the Pacific islands from extinction. Lancet (London, England). 2019;
394(10196): 359.
Whitmee S, Haines A, Beyrer C, et al. Safeguarding human health in the Anthropocene
epoch: Report of The Rockefeller Foundation–Lancet Commission on planetary
health. The Lancet. 2015; 386(10007):1973–2028.
Keeling RF, Körtzinger A, Gruber N. Ocean deoxygenation in a warming world. Annual
Review of Marine Science. 2010; 2: 199–229.
Keleş, G., Yilmaz, S., Zengin, M. (2020) Possible economic effects of musilage
on Sea of Marmara Fisheries. Int J Agric For Life Sci 4(2): 173-177.
Cuyvers L, Berry W, Gjerde K, et al. Deep Seabed Mining, a Rising Environmental
Challenge. IUCN; 2018.
Landrigan PJ, Fuller R, Acosta NJ, et al. The Lancet Commission on pollution and health.
The Lancet. 2018; 391(10119): 462–512.
United Nations. The Sustainable Development Goals report 2018. 2018.
UNESCO. Facts and Figures on Marine Pollution. http://www.unesco.org/new/en/natural-
sciences/ioc-oceans/focus-areas/rio-20-ocean/blueprint-for-thefuture-we-want/marine-
pollution/facts-and-figureson-marine-pollution/diakses 05 Mei 2022
https://ipb.ac.id/news/index/2022/05/tim-ipb-university-berikan-respon-cepat-terhadap-
fenomena-munculnya-lapisan-coklat-tebal-di-teluk-bima/dikases 04 Mei 2022
Anderson, D., 2014. HABs in a changing world: a perspective on harmful algael blooms,
their impacts, and research and management in a dynamic era of climactic and
environmental change. In: Harmful algaee 2012 : proceedings of the 15th International
Conference on Harmful Algaee. Changwon, Gyeongnam, Korea. October 29 -
November 2, 2012, CECO,.
Coulson, J.C., Potts, G.R., Deans, I.R., Fraser, S.M., 1968. Dinoflagellate Crop in the
North Sea: Mortality of Shags and other Sea Birds caused by Paralytic Shellfish
Poison. Nature 220, 23–24.
Landsberg, J.H., 2002. The effects of harmful algael blooms on aquatic organisms.
Reviews in Fisheries Science 10, 113–390.
Hoagland, P., Anderson, D., Kaoru, Y., White, A., 2002. The economic effects of harmful
algael blooms in the United States: estimates, assessment issues, and information
needs. Estuaries 25, 819–837.
Philip J. Landrigan, John J. Stegeman, Lora E. Fleming, Denis Allemand‖, Donald M.
Anderson, Lorraine C. Backer, Françoise Brucker-Davis, Nicolas Chevalier, Lilian
Corra, Dorota Czerucka‖, Marie-Yasmine Dechraoui Bottein‖‖, Barbara Demeneix,
Michael Depledge, Dimitri D. Deheyn, Charles J. Dorman, Patrick Fénichel, Samantha
Fisher, Françoise Gaill, François Galgaeni, William H. Gaze, Laura Giuliano, Philippe
Grandjean, Mark E. Hahn, Amro Hamdoun, Philipp Hess, Bret Judson, Amalia
Laborde, Jacqueline McGlade, Jenna Mu, Adetoun Mustapha, Maria Neira, Rachel T.
Noble, Maria Luiza Pedrotti, Christopher Reddy, Joacim Rocklöv, Ursula M. Scharler,
Hariharan Shanmugam, Gabriella Taghian, Jeroen A. J. M. van de Water‖, Luigi
Vezzulli, Pál Weihe, Ariana Zeka, Hervé Raps‖ and Patrick Rampal. 2020. Human
14
Environmental health
15 study
Health and Ocean Pollution. Annals of Global Health. 2020; 86(1): 151, 1–64.
Young CS, Gobler CJ. The ability of macroalgaee to mitigate the negative effects of ocean
acidification on four species of North Atlantic bivalve. Biogeosciences. 2018; 15(20):
6167–6183.
Maeda Y, Yoshino T, Matsunaga T, et al. Marine microalgaee for production of biofuels
and chemicals. Current Opinion in Biotechnology. 2018; 50: 111–120.
Hallegraeff G. Harmful algael blooms: A global overview. Manual on Harmful Marine
Microalgaee. 2003; 33: 1–22.
Hay ME, Fenical W. Marine plant-herbivore interactions: The ecology of chemical
defense. Annual Review of Ecology and Systematics. 1988; 19(1):111–145.
Hallegraeff GM. Ocean climate change, phytoplankton community responses, and harmful
algael blooms: a formidable predictive challenge 1. Journal of Phycology. 2010; 46(2):
220–235.
Lefebvre KA, Quakenbush L, Frame E, et al. Prevalence of algael toxins in Alaskan
marine mammals foraging in a changing arctic and subarctic environment. Harmful
Algaee. 2016; 55: 13–24.
Wiese M, D’agostino PM, Mihali TK, et al. Neurotoxic alkaloids: Saxitoxin and its
analogs. Marine Drugs. 2010; 8(7): 2185–2211.
Muha N, Ramsdell JS. Domoic acid induced seizures progress to a chronic state of
epilepsy in rats. Toxicon. 2011; 57(1): 168–171.
Morabito S, Silvestro S, Faggio C. How the marine biotoxins affect human health. Natural
Product Research. 2018; 32(6): 621–631.
Watkins SM, Reich A, Fleming LE, et al. Neurotoxic shellfish poisoning. Marine drugs.
2008; 6(3): 431–455.
Hamade AK, Deglin SE, McLaughlin JB, et al. Suspected palytoxin inhalation exposures
associated with zoanthid corals in aquarium shops and homes—Alaska, 2012–2014.
MMWR Morbidity and Mortality Weekly Report. 2015; 64(31): 852.
Brussard CPD, Peperzak L, Beggah S, Wick LY, Wuerz B, Weber J, Arey JS, van der
Burg B, Jonas A, Huisman J, van der Meer JR. 2016. Immediate ecotoxicological
effects of short‐lived oil spills on marine biota. Nat Commun 7:11206.
National Research Council. 2003. Oil in the Sea III: Inputs, Fates, and Effects. National
Academy of Sciences, Washington, DC.
Buskey EJ, White HK, Esbaugh AJ. 2016. Impact of oil spills on marine life in the Gulf of
Mexico: Effects on plankton, nekton, and deep‐sea benthos. Oceanography 29:174–
181.
ncardona JP, Gardner LD, Linbo TL, Brown TL, Esbaugh AJ, Mager EM, Stieglitz JD,
French BL, Labenia JS, Laetz CA, Tagal M, Sloan CA, Elizur A, Benetti DD, Grosell
M, Block BA, Scholz NL. 2014. Deepwater Horizon crude oil impacts the developing
hearts of large predatory pelagic fish. Proc Natl Acad Sci USA 111:E1510–E1518.
Lewis CG, Ricker RW. 2020. Overview of ecological impacts of deep spills: Deepwater
Horizon. In Murawski SA, Ainsworth CH, Gilbert S, Hollander DJ, Paris CB, Schluter
M, Wetzel DL, eds, Deep Oil Spills: Facts, Fate, and Effects. Springer, Cham,
Switzerland, pp 344–354.
15
Environmental health
16 study
16