Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TELAAH KURIKULUM MI

PENGERTIAN,FUNGSI,KOMPONEN,DAN JENIS-JENIS KURIKULUM

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Anendhea Silvyna (21591014)
2. Ayu Jamiah (21591023)
3. Ahmad Keito (21591001)
Lokal : PGMI-5B
Dosen Pengampu : Siti Zulaiha, M.Pd,I

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Telaah Kurikulum . Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ibu Siti Zulaiha, M.Pd,I. Pada mata
kuliah Telaah Kurikulum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang pengertian,fungsi,komponen,jenis-jenis kurikulum bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Siti Zulaiha, M.Pd,I. selaku dosen bidang
studi/mata kuliah Telaah Kurikulum, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Curup, 1 September 2023

Penyusun

2
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI .....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................5
C. Tujuan ....................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum .........................................................................................6
B. Fungsi Kurikulum ...............................................................................................10
C. Komponen-komponen Kurikulum......................................................................15
D. Jenis-jenis Kurikulum..........................................................................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................23
B. Kritik dan Saran....................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia
melalui proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan terjadi melalui
interaksi insani, tanpa batasan ruang dan waktu. Pendidikan tidak di mulai dan di akhiri di
sekolah. Pendidikan di mulai dari lingkungan keluarga dilanjutkan dan ditempuh dalam
lingkungan sekolah, diperkaya dalam lingkungan masyarakat dan hasil- hasilnya digunakan
dalam membangun kehidupan pribadi, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan sekolah disebut Pendidikan formal
disebabkan ada unsur kesengajaan, diniati, direncanakan, diatur sedemikian rupa melalui tata
cara dan mekanisme sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau diberlakukan
untuk itu. Dengan demikian, dalam pendidikan formal ada ketentuan dan peraturan yang
mengikat. Aturan dan keterikatan diwujudkan dalam satu sistem pendidikan sebagai
subsistem dari kehidupan sosial pada umumnya. Sistem adalah seperangkat objek atau
konsepsi yang memiliki sejumlah komponen yang saling berhubungan dan mempengaruhi
satu sama lainnya untuk mencapai tujuan. Tujuan umum pendidikan diperlukan sebagai arah
dari sistem dan pelaksanaan pendidikan sedangkan komponen pendidikan adalah unsur yang
dapat menyanggah tercapainya tujuan pendidikan. Dalam pendidikan formal pelaksanaan
pendidikan dibagi atau diatur dalam tahapan atau tingkatan pelaksanaan pendidikan. Tingkat
pendidikan dalam sistem pendidikan nasional terdiri atas tingkat pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Setiap tingkat memiliki tujuan tersendiri yang
merupakan penjabaran dan tujuan umum pendidikan nasional.1
Proses pendidikan merupakan salah satu upaya yang bisa oleh manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan sebagai jawaban atas
kewajiban yang di perintahkan kepada manusia. Terlaksananya tugas dan fungsi manusia
tersebut sangat ditentukan oleh ilmu pengetahun dan pengalaman yang dia peroleh. Upaya
yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan adalah dengan cara bersungguh-
sungguh
membaca, menelaah dan mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Supaya tujuan tersebut
tercapai, maka sebagai langkah awal dalam kegiatan pendidikan adalah menyiapkan
perangkat yang diperlukan dalam proses pendidikan, yang salah satunya adalah kurikulum.
Desain kurikulum yang dirumuskan idealnya mampu merespon berbagai tuntutan dan
kebutuhan baik peserta didik maupun masyarakat sebagai pengguna kurikulum.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi saat ini,
tentu banyak hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam segala aspek kehidupan.
Tuntutan kebutuhan manusia baik menyangkut material maupun spiritual merupakan suatu
keniscayaan yang harus terpenuhi. Menurut perspektif pendidikan dengan beragamnya
kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, menuntut adanya perubahan paradigma atau pola
pikir dalam manajemen pendidikan.
Salah satu aspek yang mendorong terjadinya suatu perubahan dalam pengeloaan
pendidakan adalah pengembangan kurikulum. Kedududkan kurikulum dalam proses
pendidikan memiliki perananyang sangat strategis selain untuk mengembangakan peserta
didik ke arah perkembangan yang optimal baik jasmani maupun ruhani juga kurikulum
sebagai tolak ukur dalam malihat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Perubahan kurikulum
semestinya didasarkan atas hasil evaluasi yang dilakukan oleh para akhli dengan melihat
1
Dra. Nini Ibrahim, M.Pd. Telaah Kurikulum Dan Buku Teks Bahasa Indonesia, Jakarta Selatan,Agustus 2006,
hal 1.

4
kondisi riil yang terjadi, baik saat ini maupun yang akan datang.2

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. apa pengertian kurikulum ?
2. apa saja fungsi kurikulum ?
3. apa saja komponen kurikulum ?
4. apa saja jenis-jenis kurikulum?

C. Tujuan Masalah
Adapun Tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa pengertian kurikulum
2. Untuk mengetahui apa saja fungsi kurikulum
3. Untuk mengetahui apa saja komponen kurikulum
4. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis kurikulum

2
Dr. Harlen Simanjuntak, M.Pd. Diktat Telaah Kurikulum, Medan, 1 Agustus 2021, hal 2.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurikulum Dan Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan dapat diartikan sebagai proses bimbingan terhadap
berbagai potensi yang dimiliki manusia sampai terbentuknya kepribadian yang utuh baik
jasmani maupun rohani sehingga dapat terwujud kehidupan yang harmonis, bahagia, adil dan
makmur baik di kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan demikian pendidikan itu adalah
upaya mempersiapkan generasi penerus (peserta didik) dengan kemampuan dan keahliannya
(skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun
ketengah lingkungan masyarakat, sehingga (manusia) bermanfaat adanya bagi kepentingan
dan kemaslatan dirinya dan orang lain.
Pandangan lain dapat dikemukakan bahwa pendidikan itu adalah segenap kegiatan
yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai budaya pada diri
sejumlah peserta didik, atau keseluruhan kegiatan proses pewarisan yang mendasarkan
segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai yang diambil dari hasil cipta
karsa orang dewasa yang ditanamkan pada peserta didik (orang yang belum dewasa) untuk
mencapai perkembangan yang optimal, baik aspek jasmani maupun ruhani. Pendidikan
adalah suatu proses perubahan tingkah laku manusia baik terkait dengan aspek sikap,
keterampilan maupun pengetahuan. Perubahan ini menjadi bukti bahwa manusia telah
mengalami proses pendidikan, sehingga dengan kata lain kalau pendidikan itu tidak
malahirkan perubahan tingkhah laku berarti pendidikan itu gagal atau tidak berhasil.
Selain itu juga pendidikan merupakan proses pewarisan budaya dari orang dewasa
kepada orang yang belum dewasa. Proses pewarisan budaya ini dilakukan oleh orang dewasa
yang mempunyai ilmu pengatahuan, baik ilmu yang terkait dengan keahliannya maupun ilmu
lain yang mendukung terhadap keahliannya itu.
Proses pewarisan budaya dalam kontek ini adalah bagaimana sejumlah pengalaman
belajar hari ini dan yang akan datang diberikan kepada peserta didik dengan menggunakan
pendekatan yang lebih beroreintasi pada kepentingan dan kebutuhan peserta didik sesuai
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kedudukan pendidik mempunyai peran
yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi peserta didik ke arah perkembangan
yang optimal, baik aspek jasmani maupun ruhaninya. Tugas pendidik adalah mengantarkan
orang yang belum dewasa menjadi orang dewasa. Beberapa karakteristik orang dewasa
menurut kontek pendidikan adalah yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam dan
mampu diimplementasikan dalam proses pendidikan tentang, kompetensi pedagogik,
profesional, kepribadian dan sosial.
Lebih jelasnya penulis kemukakan Ke empat pengetahuan yang harus dimiliki
pendidik sebagai berikut :
1. Ilmu pengetahuan tentang pedagogik
Pengetahuan ini terkait dengan wawasan terhadap perkembangan dan pertumbuhan
peserta didik, prilaku belajar, gaya belajar, model-model pembelajaran, berbagai strategi
pembelajaran termasuk pelaksanaan evaluasi.
2. Ilmu pengetahuan tentang profesional
Maksud profesional adalah seorang pendidik itu mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang materi pembelajaran yang menjadi keahlian dan konsennya selama ini,

6
sehingga yang bersangkutan tidak diragukan lagi .
3. Ilmu pengetahuan tentang kepribadian
Kepribadian dimaksudkan bahwa seorang pendidik itu mempunyai akhlak yang baik
dan mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. kepribadian seorang pendidik
tercermin dalam prilaku keseharian, baik ketika berhubungan dengan
Allah SWT, maupun dengan sesama manusia.
4. lmu pengetahuan tentang sosial
Pengetahuan tentang sosial adalah suatu kegiatan yang ada hubungannya dengan
sesama manusia, baik dalam kontek individu maupun kelompok atau berjamaah. Pengetahuan
ini dikaitkan dengan orang dewasa dimaksudkan bagaimana manusia itu selalu memposisikan
dirinya bagian dari orang lain artinya hidup manusia itu tidak bisa sendirian dan terlepas dari
manusia yang lain. Kaitannya dengan pendidikan kompetensi pengetahuan sosial bagi orang
dewasa bisa diimlelemntasikan ketiaka beralngsungnya proses pembelajaran di kelas maupun
diluar kelas.

Atas dasar pengertian di atas, maka Penididikan merupakan sebuah rangkaian proses
pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk
menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Khaliq-
Nya dan juga sebagai Khalifatu fil ardh (pemelihara) pada alam semesta ini. Dengan kata
kain pendidikan itu adalah proses pewarisan budaya dari orang dewasa kepada orang yang
belum dewasa sehingga terjadi perubahan tingkah laku baik aspek pengetahuan, sikap mapun
keterampilan3

2. Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Pada awalnya, istilah
kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi
Kuno di Yunani. Dalam bahasa Latin, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti berlari
(running) sebagai suatu pengalaman hidup (Marsh, 2009: 3). Dalam bahasa Prancis, istilah
kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run).
Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start
sampai dengan garis finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Jarak yang harus
ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat
di dalamnya. Program tersebut berisi mata pelajaran-mata pelajaran yang harus ditempuh
oleh peserta didik selama kurun waktu tertentu, seperti SD/MI (enam tahun), SMP/MTs (tiga
tahun), SMA/SMK/MA (tiga tahun), dan seterusnya. Dengan demikian, secara terminologis
istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan tuntutan
masyarakat, perkembangan seni-budaya, peledakan informasi dan penduduk, mengakibatkan
tugas dan tanggung jawab sekolah semakin kompleks. Hal ini juga berdampak terhadap
perubahan pengertian kurikulum secara luas. Pengertian kurikulum secara modern adalah
semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi atau materi) yang telah disusun secara ilmiah,
baik yang terjadi di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah atas tanggung
jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Ada empat implikasi dari pengertian
modern dari kurikulum ini. Zainal Arifin (2011: 4) mengemukakan bahwa keempat implikasi
tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kurikulum tidak hanya terdiri atas sejumlah mata
pelajaran, tetapi juga meliputi semua kegiatan dan pengalaman potensial yang telah disusun
secara ilmiah. Kedua, kegiatan dan pengalaman belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi
3
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia.

7
juga di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah. Kegiatan belajar di sekolah meliputi
menyimak, bertanya, diskusi, melakukan demonstrasi, belajar di perpustakaan, melakukan
eksperimen di laboratorium, workshop, olahraga, kesenian, organisasi siswa, dan lain-lain.
sedangkan kegiatan belajar di luar sekolah meliputi mengerjakan tugas atau PR di rumah,
observasi, wawancara, studi banding, pengabdian pada masyarakat, program pengalaman
lapangan, dan lain-lain. Demikian juga pada pengalaman belajar, di mana pengalaman belajar
terdiri dari pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung. Dengan demikian, intra-
curricular, extra-curricular, dan co-curricular termasuk kurikulum. Ketiga, guru sebagai
pengembang kurikulum perlu mengunakan multistrategi dan pendekatan, serta berbagai
sumber belajar secara bervariasi. Keempat, tujuan akhir kurikulum bukan untuk memperoleh
ijazah, tetapi untuk mencapai tujuan pendidikan.
Selain pengertian kurikulum secara tradisional dan modern tersebut, banyak ahli
mengemukakan tentang pengertian kurikulum. Terdapat banyak definisi kurikulum yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dipahami karena dasar filsafat
yang dianut oleh penulis berbeda-beda. Meskipun demikian, terdapat kesamaan dari definisi-
definisi tersebut yang berupa satu fungsi kurikulum, yaitu kurikulum adalah alat untuk
mencapai tujuan pendidikan (Dakir, 2010: 1).
Ornstein & Hunkins (2009: 10-11) memberikan lima pokok pengertian kurikulum.
Kelima pokok pengertian kurikulum tersebut meliputi: 1) kurikulum dapat didefinisikan
sebagai sebuah rencana yang disusun untuk mencapai tujuan-tujuan; 2) definisi secara luas,
kurikulum berhubungan dengan pengalaman-pengalaman belajar peserta didik; 3) kurikulum
adalah sebuah sistem yang berhubungan dengan orang banyak; 4) kurikulum dapat
didefinisikan sebagai suatu bidang studi yang terdiri dari dasar, bidang ilmu pengetahuan,
penelitian, teori, prinsip, dan ahli-ahli di dalamnya; dan 5) kurikulum didefinisikan sebagai
dengan istilah mata pelajaran (Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Sejarah, dan lain-lain) atau
materi (bagaimana cara yang ditempuh untuk mengorganisasi dan mengasimilasi informasi).4
Definisi lain mengenai kurikulum menurut pendapat para ahli atau pakar:

1) John Dewey (1902)


Sejak lama telah menggunakan istilah kurikulum dan hubungannya dengan anak
didik. Dewey menegaskan bahwa kurikulum dan anak didik merupakan dua hal yang berbeda
tetapi keduanya adalah proses tunggal dalam bidang pendidikan. Kurikulum merupakan suatu
rekonstruksi berkelanjutan yang memaparkan pengalaman belajar anak didik melalui suatu
susunan pengetahuan yang terorganisasikan dengan baik yang biasanya disebut kurikulum.

2) Franklin Bobbt (1918)


Kurikulum adalah susunan pengalaman belajar terarah yang digunakan oleh sekolah
untuk membentangkan kemampuan individual anak didik.

3) Harold Rugg (1827)


Kurikulum sebagai suatu rangkaian pengalaman yang memiliki kemanfaatan
maksimum bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuannya untuk menyesuaikan dan
menghadapi berbagai situasi kehidupan.

4) Hollins Caswell (1935)


Kurikulum adalah susunan pengalaman yang digunakan guru sebagai proses dan
prosedur untuk membimbing anak didik menuju kedewasaan.

4
Hj. Nurhayati.,S.Ag.,MM. Telaah Kurikulum(Sebuah Pengantar Mata Kuliah Telaah Kurikulum di
Perguruan Tinggi Agama Islam Yang Mengacu Pada KKNI). Bandung. Januari 2020. Hal 4.

8
5) Ralph Tyler (1857)
Kurikulum adalah seluruh pengalaman belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh
sekolah untuk mencapai tujuan pendidikannya.

6) Hilda Taba (1962)


Kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum
dan khusus dan materinya dipilih dan diorganisasikan berdasarkan suatu pola tertentu untuk
kepentingan belajar dan mengajar. Biasanya dalam suatu kurikulum sudah termasuk program
penilai hasilnya.

7) Robert Gagne (1967)


Kurikulum adalah suatu rangkaian unit materi belajar yang disusun sedemikian rupa
sehingga anak didik dapat mempelajarinya berdasarkan kemampuan awal yang dimiliki atau
dikuasai sebelumnya.

8) James Popham dan Eva Baker (1970)


Kurikulum adalah seluruh hasil belajar yang direncanakan dan merupakan tanggung
jawab sekolah. Materi kurikulum mengacu pada tujuan pengajaran yang diinginkan.

9) Michael Schiro (1978)


Kurikulum sebagai proses pengembangan anak didik yang diharapkan terjadi dan
digunakan dalam perencanaan.

10) Saylor, Alexander, dan Lewis (1981)


Kurikulum sebagai suatu rencana yang berisi sub kumpulan pengalaman belajar bagi
anak didik. Sedangkan pengertian kurikulum sebagaimana tercantum dalam UUSPN
(Depdikbud, 1989) adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar”. Apabila kita telaah, akan terlihat bahwa pengertian-pengertian tersebut pada
dasarnya memiliki arti yang hampir sama walaupun berbeda dalam ruang lingkup
penekanannya. Sebagian pengertian kurikulum ditafsirkan secara luas yang penekanannya
mencakup seluruh pengalaman belajar yang diorganisasikan dan dikembangkan dengan baik
serta dipersiapkan bagi anak didik untuk mengatasi situasi kehidupan sebenarnya. Adapun
pengertian lainnya ditafsirkan secara sempit yaitu hanya menekankan pada kemanfaatannya
bagi guru dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar.

11) Glatthorn (1987)


Kurikulum paling tidak harus memenuhi dua kriteria yaitu:
a) Kurikulum harus mencerminkan pengertian umum tentang peristilahan pendidikan
sebagaimana sering digunakan oleh pendidik.
b) Kurikulum harus bermanfaat bagi guru dalam membuat perencanaan pengajaran
yang baik.

12) Kurikulum KBK


Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum
menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai

9
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.5

B. Fungsi Kurikulum
Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dengan ini pendidikan diharapkan
mampu menjawab persoalan masyarakat serta mempu meningkatkan derajat manusia.
Kedudukan kurikulum dalam aktivitas belajar mengajar sangat krusial. Maka dari itu
kurikulum mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi Kurikulum Dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan.


Fungsi kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu alat untuk
membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional,
termasuk berbagai tingkatan tujuan pendidikan yang ada dibawahnya. Kurikulum sebagai alat
dapat diwujudkan dalam bentuk program, yaitu kegiatan dan pengalaman belajar yang harus
dilaksanakan oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Program tersebut harus
dirancang secara sistematis, logis, terencana, dan sesuai dengan kebutuhan, sehingga dapat
dijadikan acuan bagi guru dan peserta didik dalam/1melaksanakan proses pembelajaran yang
efektif dan efisien. (zainal Arifin, 2011: 13).

2. Fungsi Kurikulum Bagi Sekolah Yang Bersangkutan

Fungsi kurikulum bagi sekolah yang bersangkutan ini paling tidak dapat disebutkan
dua macam. Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan. Manifestasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah berupa
program pengajaran. Program pengajaran itu sendiri merupakan suatu sistem yang terdiri dari
berbagai komponen yang kesemuanya dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan yang akan dicapai tersebut disusun secara berjenjang mulai
dari tujuan pendidikan yang bersifat nasional sampai tujuan instruksional. Jika tujuan
instruksional tercapai (hasilnya langsung dapat diukur melalui kegiatan belajar mengajar di
kelas) pada gilirannya akan tercapai pula tujuan-tujuan pada jenjang di atasnya. Setiap
kurikulum sekolah pasti didalamnya tercantum tujuan-tujuan pendidikan yang akan atau
harus dicapai melalui kegiatan pengajaran. Kedua, kurikulum dijadikan pedoman untuk
mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Dalam pelaksanaan
pengajaran misalnya, telah ditentukan macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok
bahasan atau materi pelajaran untuk tiap semester, sumber bahan, metode, atau cara
pengajaran, alat dan media pengajaran yang diperlukan. Di samping itu, kurikulum juga
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan jenis program, cara penyelenggaraan, strategi
pelaksanaan, penanggung-jawab, sarana dan prasarana, dan sebagainya. (Burhan
Nurgiyantoro, 2008:6).

3. Fungsi Kurikulum Bagi Sekolah Tingkat Di Atasnya

Dalam hal ini kurikulum dapat untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan
proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu maka
kurikulum pada tingkat diatasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya saja, jika suatu
bidang studi telah diberikan pada kurikulum sekolah tingkat bawahnya, harus
dipertimbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum sekolah tingkatan di atasnya terutama
dalam hal pemilihan bahan pengajaran.Penyesuaian bahan tersebut dimaksudkan untuk
5
Abmad, H. M. DKK, 1998. Pemgembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Setia.

10
menghindari keterulangan penyampaian yang bisa berakibat pemborosan waktu, dan yang
lebih penting lagi adalah untuk menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu. Di samping
itu, terdapat juga kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga pengajar. Bila suatu
sekolah atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan tenaga guru (LPTK), maka
lembaga tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat di bawahnya tempat
calon guru yang dipersiapkan itu akan mengajar. (Burhan Nurgiyantoro, 2008:7).

4. Fungsi Kurikulum Bagi Setiap Jenjang Pendidikan

Sering kita mendengar, bahwa perguruan tinggi mengeluh tentang mutu lulusan
SLTA yang kurang memadai. Para guru di SLTA memberikan alasan, karena terdapat
kelemahan pada lulusan SMP. Guru SMTP tidak mau menerimanya begitu saja, akhirnya
melemparkan kelemahan itu kepada SD. Guru-guru di SD inilah yang menjadi tumpuan
masalah. Tindakan saling melemparkan kekurangan atau kesalahan bukan merupakan solusi
yang terbaik, karena dapat menimbulkan persoalan yang semakin meruncing. Salah satu jalan
keluarnya ialah setiap jenjang pendidikan harus sama-sama saling menyesuaikan dan
mempelajari kurikulum pada sekolah-sekolah yang ada di bawah atau di atasnya. Jadikanlah
kurikulum SD sebagai dasar pertimbangan untuk mengembangkan kurikulum SMP, dan
kurikulum SMP sebagai bahan pertimbangan pengembangan kurikulum di SMA. Begitulah
seterusnya sampai di perguruan tinggi. Melalui cara seperti itu, maka kesinambungan
kurikulum pada semua jenjang pendidikan akan semakin jelas. Bagi sekolah yang berada
diatasnya, kurikulum merupakan pengembangan atau lanjutan dari pendidikan sebelumnya.

Dengan demikian, fungsi kurikulum bagi setiap jenjang pendidikan ialah :

(a) fungsi kesinambungan, yaitu sekolah pada tingkat yang lebih atas harus mengetahui dan
memahami kurikulum sekolah yang dibawahnya, sehingga dapat dilakukan penyesuaian
kurikulum,

(b) fungsi penyiapan tenaga, yaitu bilamana sekolah tertentu diberi wewenang
mempersiapkan tenaga-tenaga terampil, maka sekolah tersebut perlu mempelajari apa yang
diperlukan oleh tenaga terampil, baik mengenai kemampuan akademik, kecakapan atau
keterampilan, kepribadian maupun hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial. (Zainal
Arifin, 2011: 14).

5. Fungsi Kurikulum Bagi Guru

Dalam praktik, guru merupakan ujung tombak pengembangan kurikulum sekaligus


sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Guru juga sebagai faktor kunci (key factor) dalam
keberhasilan suatu kurikulum. Bagaimanapun baiknya suatu kurikulum disusun, pada
akhirnya akan sangat bergantung dengan kemampuan guru di lapangan. Efektifitas suatu
kurikulum tidak akan tercapai, jika guru tidak dapat memahami dan melaksanakan kurikulum
dengan baik sebagai pedoman dalam proses pembelajaran. Artinya, guru tidak hanya
berfungsi sebagai pengembang kurikulum, tetapi juga sebagai pelaksana kurikulum. Guru
betul-betul dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan
kurikulum itu sendiri, perkembangan IPTEK, perkembangan masyarakat, perkembangan
psikologi belajar, dan perkembangan ilmu pendidikan. Guru harus memiliki kompetensi

11
profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi personal, dan kemampuan sosial secara
seimbang dan terpadu. Bagi guru, memahami kurikulum merupakan suatu hal yang mutlak
dan harga mati. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh guru dan disampaikan kepada peserta
didik harus sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Guru dengan kurikulum tidak
bisa dipisahkan, tetapi harus merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga menjadi satu raga.
(Zainal Arifin, 2011: 15).

6. Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah

Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah merupakan pedoman untuk mengatur dan
membimbing kegiatan sehari-hari di sekolah, baik kegiatan intra kurikuler, ekstra kurikuler
maupun ko-kurikuler. Pengaturan kegiatan ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih,
seperti jenis program pendidikan apa yang sedang dan akan dilaksanakan, bagaimana
prosedur pelaksanaan program pendidikan, siapa orang yang bertanggung jawab dan
melaksanakan program pendidikan, kapan dan dimana program pendidikan akan
dilaksanakan. Bagi kepala sekolah, kurikulum merupakan barometer keberhasilan program
pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai
administrasi kurikulum dan mengontrol kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
agar sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Disinilah pentingnya pemerintah melibatkan
kepala sekolah dalam merancang kurikulum, termasuk sosialisasi kurikulum baru. (Zainal
Arifin, 2011:13).

7. Fungsi Kurikulum Bagi Pengawas (Supervisor)

Bagi para pengawas, fungsi kurikulum dapat dijadikan sebagai pedoman, patokan,
atau ukuran dalam membimbing kegiatan guru di sekolah. Kurikulum dapat digunakan
pengawas untuk menetapkan hal-hal apa saja yang memerlukan penyempurnaan atau
perbaikan dalam usaha pengembangan kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan. Para
pengawas harus bersikap dan bertindak secara profesional dalam membimbing kegiatan guru
di sekolah. Pengawas juga perlu mencari data dan informasi mengenai faktor pendukung dan
penghambat implementasi kurikulum dalam hubungannya dengan peningkatan mutu guru,
kelengkapan sarana pendidikan, pemantapan sistem administrasi, bimbingan dan konseling,
keefektifan penggunaan perpustakaan, dan lain-lain. Implikasinya adalah pengawas harus
menguasai kurikulum yang berlaku agar dapat memberikan bimbingan secara professional
kepada guru-guru, terutama dalam pengembangan program pembelajaran dan
implementasinya. (zainal arifin, 2011: 15).

8. Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua

Orang tua sebagai pendidik di lingkungan keluarga berkewajiban atas masa depan
anaknya. Hitam putihnya anak tergantung pada keluarga (orang tua). Di sisi lain anak juga
menjadi bagian dari sekolah. Dengan demikian orang tua juga berkewajiban untuk
berpartisipasi terhadap sekolah atas perkembangan kualitas peserta didik. Kurikulum sebagai
alat pencapaian tujuan pendidikan, orang tua wajib berpartisipasi memberikan masukan

12
dalam
pengembangan kurikulum. Kurikulum bagi orang tua sebagai bentuk partisipasi orang tua
terhadap sekolah untuk membentuk dan mengembangkan karakter peserta didik (anak
anaknya). Oleh karena itu pemahaman orang tua terhadap kurikulum menjadi sesuatu yang
mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. (Abdullah Idi, 2011:209).

9. Fungsi Kurikulum Bagi Masyarakat

Pada tamatan sekolah memang dipersiapkan untuk terjun di masyarakat atau tegasnya
untuk bekerja sesuai dengan keterampilan profesi yang dimilikinya. Oleh karena itu,
kurikulum sekolah haruslah mengetahui atau mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan
masyarakat atau para pemakai keluaran sekolah. Untuk keperluan itu, perlu ada kerjasama
anatara pihak sekolah dengan “pihak luar” dalam hal pembenahan kurikulum yang
diharapkan. Dengan demikian, masyarakat atau para pemakai lulusan sekolah dapat
memberikan bantuan, kritik atau saran yang berguna bagi penyempurnaan program
pendidikan di sekolah. Dewasa ini kesesuaian antara program kurikulum dengan kebutuhan
masyarakat (baca: lapangan pekerjaan) harus benar-benar diusahakan. Hal itu mengingat
seringnya terjadi kenyataan bahwa lulusan sekolah belum siap pakai atau tidak sesuai dengan
tenaga yang dibutuhkan dalam lapangan pekerjaan. Akibatnya walau semakin menumpuk
tenaga kerja yang ada, kita
memiliki ketrampilan atau keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
pada lapangan pekerjaan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, ada seorang tokoh
Pendidikan yang mengemukakan agar sekolah tingkat SD sudah dibuat menjadi dua jalur,
yaitu jalur akademis (dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah) dan jalur vokasional
(dipersiapkan untuk segera bekerja. Hal itu berdasarkan kenyataan penelitian bahwa masih
sebagian besar anak tamatan SD yang tidak meneruskan pendidikan ke tingkat atasnya.
Sering terjadi karena
segera diajarkan di sekolah. Sebagai contoh hal yang berhubungan dengan keguruan misalnya
dapat disebutkan pembekalan keterampilan membuat satuan pelajaran (seperti dikemukan di
atas).

Penyiapan keterampilan para tamatan sekolah untuk bekal terjun di masyarakat kerja,
juga ditentukan oleh misi suatu sekolah. Dalam hal ini biasanya tergantung jenis-jenis
sekolah, apakah ia sekolah umum atau kejuruan. Misi suatu sekolah apakah ia bertugas
mempersiapkan tamatannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (jalur
akademis), atau untuk bekerja (jalur vokasional), atau untuk kedua-duanya, akan mewarnai
pendidikan keterampilan yang diajarkan oleh pihak sekolah yang bersangkutan. Dengan
adanya hal itu, para pemakai lulusan sekolah tentunya sudah tanggap, lulusan dengan
keterampilan mana (atau apa) yang mereka butuhkan, dan itu harus dialamatkan pada sekolah
yang sesuai misalnya. (Burhan Nurgiyantoro, 2008: 6-9).

10. Fungsi Kurikulum Bagi Pemakai Lulusan

Instansi atau perusahaan manapun yang mempergunakan tenaga kerja lulusan suatu
lembaga pendidikan tentu menginginkan tenaga kerja yang bermutu tinggi dan mampu
berkompetisi agar dapat meningkatkan produktifitasnya. Biasanya, para pemakai lulusan

13
selalu melakukan seleksi yang ketat dalam penerimaan calon tenaga kerja. Seleksi dalam
bentuk apa pun tidak akan membawa arti apa-apa jika instansi tersebut tidak mempelajari
terlebih dahulu kurikulum yang telah ditempuh oleh para calon tenaga kerja tersebut.
Bagaimanapun, kadar pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki calon
tenaga kerja, merupakan produk dari kurikulum yang ditempuhnya. Para pemakai lulusan
harus mengenal kurikulum yang telah ditempuh calon tenaga kerja. Studi kurikulum akan
banyak membantu pemakai lulusan dalam menyeleksi calon tenaga kerja yang handal,
enerjik, disiplin, bertanggung jawab, jujur, ulet, tepat dan berkualitas.(Zainal Arifin, 2011:
16).

11. Fungsi Kurikulum Bagi Siswa Sebagai Subjek Didik

Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam
fungsi kurikulum yaitu :

a. Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function)

Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan


harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena
itu, siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi dilingkungannya.

b. Fungsi integrasi (the integrating function)

Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota
dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang
dibutuhkan dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya

c. Fungsi diferensiasi (the differentiating function)

Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan


harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa
memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani
dengan baik.

d. Fungsi persiapan (the propaedeutic function)

Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.

14
Selain itu kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam
masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

e. Fungsi pemilihan (the selective function)

Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan


harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program
belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat
hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual
siswa berarti pula diberikan kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai
dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum
perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.

f. Fungsi diagnostik (the diagnistic function)

Fungsi diagnosik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat endidikan harus
mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan
(potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa
dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimiliknya atau memperbaiki
kelemahan-kelemahannya. (Toto Ruhimat,dkk., 2011: 9-10).6

C. Komponen-Komponen Kurikulum
Komponen-komponen kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses
atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Suatu kurikulum harus memiliki
kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara
kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua
kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu sesuai dengan isi dan tujuan.
Demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum. Adapun komponen-
komponen kurikulum sebagai berikut:

1. Tujuan
Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan,
kebutuhan, dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan arah pada
pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Kategori tujuan pendidikan, yaitu
tujuan umum dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Tujuan pendidikan
merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal Pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan
institusional, merupakan sasaran pendidikan suatu Lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler,
adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Tujuan instruktusional yang
merupakan target yang harus dicapai oleh suatu mata pelajaran. Yang terakhir ini masih
dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum, sedangkan tujuan instruksional yang
berjangka cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus.
Gate dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan yaitu intellectual skill, cognitive
strategies, verbal information mator skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). Bloom
mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku
individu, yaitu domain kognitif yang dibagi menjadi enam tingkatan dan yang paling rendah,
yaitu : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Domain afektif
6
Anam, C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.Sidoarjo: Qitshoh Digital Press.2009.

15
berkenaan dengan penguasan dan pengembangan perasaan, sikap minat, dan nilai-nilai.
Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan
motorik. Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective), memberikan
beberapa keuntungan:
1) Tujuan khusus memudahkan dalan mengkomunikasikan maksud kegiatan mengajar
kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark (1963 siswa yang mengetahui tujuan-
tujuan khusus suatu pokok bahasan, diberikan referensi dan sumber: memadai, dapat belajar
sendiri dalam waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa.
2) Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan menyusun bahan ajar.
3) Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media mengajar.
4) Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian.

Dengan tujuan khusus guru lebih mudal menentukan bentuk tes, lebih mudah
merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria pencapaiannya. Pengembangan
tujuan-tujuan mengajar yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu:
1) sukar menyusun tujuan-tujuan khusus untuk domain afektif,
2) sukar menyusun tujuan-tujuan khusus pada tingkat tinggi.

Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974), Gagne (1974),
DeCecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuan khusus perilaku yang diperlihatkan
siswa pada akhir suatu kegiatan belajar. Ahli di atas juga memberikan beberapa spesifikasi
dan tujuan-tujuan mengajar khusus, yaitu:
1) Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan (1)
menggunakan kata-kata kerja yang menunjukan tingkah laku yang dapat diamati, (2)
menunjukan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa, (3) memberikan
pengkhususkan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan siswa dan orang-orang yang
dapat diajak bekerja sama.
2) Menunjukan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dalam bentuk: (1)
ketepatan atau ketelitian respons, (2) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3) Menggambarkan kondisi atau lingkukan yang menunjang tingkah laku siswa, berupa : (1)
kondisi atau lingkungan fisik, (2) kondisi atau lingkungan psikologis.

2. Bahan Ajar
Sekuens bahan ajar Topik-topik atau sub-topik tersebut tersusun dalam sekuens
tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan. Ada beberapa cara untuk menyusun sekuen
bahan ajar, yaitu:
1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat
digunakan sekuens kronologis. Peristiwa-penistiwa sejarah, perkembangan historis suatu
institusi, penemuan-penemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens
kronologis.

2) Sekuens kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuen kronologis adalah sekuen kausal.
Menurut Rowntree (1974:75) “sekuens kausal cocok untuk Menyusun bahan ajar dalam
bidang meteorologi dar geomorfologi”.

3) Sekuens struktural. Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah mempunyai struktur
tertentu. Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi tersebut perlu disesuaikan dengan
strukturnya. Misalnya dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih
dahulu mengajarkan pemantulan dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan pembiasan

16
cahaya tidak mungkin diajarkan tanpa terlebih dahulu mengajarkan masalah cahaya. Masalah
Cahaya pemantulan-pembiasan, dan alat-alat optik tersusun secara struktural.

4) Sekuens logis dan psikologis. Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan urutan logis.
Rowntree (1974: 77) melihat perbedaan antara sekuens logis dan psikologis. Menurut
sekuens logis bahan ajar dimulai bagian menuju pada keseluruhan, dan yang sederhana
kepada yang kompleks, tetapi menurut sekuens psikologis sebaliknya dan keseluruhan
kepada bagian, dan yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuens logis bahan ajar
disusun dan yang nyata kepada yang abstrak, dan benda-benda kepada teori, dan fungsi
kepada struktur, dan masalah bagaimana kepada masalah mengapa.

5) Sekuens spiral. Di kembangkan oleh Bruner (1960). Bahan ajar dipusatkan pada topik atau
pokok bahan ajar yang popular dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam
dengan bahan ajar yang lebih kompleks.

6) Rangkaian ke belakang (backward chaining). Dikembangkan oleh Thomas Gilbert (1962).


Dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir dan mundur ke belakang.
Contoh, proses pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah, yaitu: (a)
pembatasan masalah (b) penyusunan hipotesis (c) pengumpulan data, (d) mulai dengan
langkah (e) interpretasi hasil tes. Dalam mengajar mulai dengan langkah (e), kemudian guru
menyajikan data tentang sesuatu masalah dan langkah (a) sampai (d), dan siswa diminta
untuk membuat interpretasi hasilnya (e). pada kesempatan lain guru menyajikan data tentang
masalah lain dan Langkah (a) sampai (c) dan siswa diminta untuk mengadakan pengetesan
hipotesis (d) dan seterusnya.

7) Sekuens berdasarkan heirarki belajar. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun
secara heirarkis mulai dari yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,
motor-chain learning, wrbal association, multiple discrimination, concept learning, Lwincipie
learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 63-64).

3. Strategi Mengajar
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree (1974:93-97)
membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery Learning dan Groups-Individual
Learning. Ausubel dan Robinson (1969:43-45) membaginya atas strategi Reception Learning
-Discovery dan Rote Learning - Meaningful Learning.

a. Reception/Exposition Learning-Discovery Learning Reception learning dilihat dan sisi


siswa sedangkan exposition dilihat dan sisi guru. Exposition atau reception learning
keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir atau bentuk jadi, baik
secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut untuk mengolah, atau melakukan
aktivitas lain kecuali menguasainya. Discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam
bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan
bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

b. Rote Learning - Meaningful Learning Rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa
tanpa memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan
menghafalnya. Meaningful learning penyampaian bahan mengutamakan maknanya bagi
siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970:52-53) sesuatu bahan ajar bermakna bila
dihubungkan dengan struktur kognitif yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas

17
fakta-fakta, data, konsep, proposisi, dalil, hukum, dan teori-teori yang telah dikuasai siswa
sebelumya, yang tersusun membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut
Ausubel and Robinson menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-meaningful
learning dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4 kombinasi strategi
belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote-reception learning, c)
meaningful-discovery learning, d) rote-discovery learning.

c. Group Learning - Individual Learning Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas


belajar yang bersifat individual atau dalam kelompok-kelompok kecil.

4. Media Mengajar
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru
untuk mendorong siswa belajar. Serta berbagai bentuk alat penyaji perangsang belajar,
berupa alat-alat elektronika seperti mesin pengajar, film, audio cassette, video cassette,
televisi, dan komputer. Rowntree (1974:104-113) mengelompokan media mengajar menjadi
lima macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, symbol tertulis, dan
rekaman suara.

a. Interaksi insani. Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih.
lnteraksi insani dapat berlangsung melalui komunikasi verbal atau non verbal. Untuk
pengembangan segi-segi afektif, bentuk-bentuk komunikasi non verbal seperti: perilaku,
penampilan fisik, roman muka, gerak-gerik, sikap, dan lain-lain lebih memegang peranan
penting sebagai contoh-contoh nyata. Intensitas interaksi insani dalam metode ceramah lebih
rendah dibandingkan dengan metode diskusi, permainan, simulasi, sosiodrama, dan lain-lain.

b. Realita. Realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orang, binatang, benda-
benda, peristiwa, dan sebagainya yang diamati siswa.

c. Pictorial. Media ini menunjukan penyajian berbagai bentuk variasi gambar dan diagram
nyata ataupun simbol, bergerak atau tidak, dibuat di atas kertas, film, kaset, disket, dan media
lainnya. Media pictorial mempunyai banyak keuntungan karena hampir semua bentuk,
ukuran, kecepatan, benda, makhluk, dan peristiwa dapat disajikan dalam media ini. Seperti
sketsa dan bagan sampai dengan yang cukup sempurna film bergerang yang berwarna dan
bersuara, atau bentuk-bentuk animasi yang disajikan dalam bentuk video atau komputer.

d. Simbol tertulis. Simbol tertulis merupakan media penyajian informasi yang paling umum,
tetapi tetap efektif. Ada beberapa macam bentuk media simbol tertulis seperti buku teks,
buku paket, paket program belajar, modul dan majalah-majalah. Penulisan simbol-simbol
biasanya dilengkapi dengan media pictorial seperti gambar-gambar, bagan, grafik,
sebagainya.

e. Rekaman suara. berbagai bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak dalam bentuk
rekaman suara. Rekaman suara dapat disajikan secara tersendiri atau digabung dengan media
pictorial. Penggunaan rekaman suara tanpa gambar dalam pengajaran bahasa cukup efektif.

5. Evaluasi Mengajar
Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta
menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan
umpan balik demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar dan proses pelaksanaan
mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha

18
penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar. Penentuan sekuens,
bahan ajar, strategi dan media mengajar. Prinsip-prinsip evaluasi:

a. Prinsip keseluruhan
Anak sebagai keseluruhan. Menilai anak bukan kecerdasan saja melainkan seluruh
pribadinya.

b. Prinsip Kontinuitas
Penilaian tidak boleh dilakukan secara insidentil. Karena pendidikan itu sendiri adalah
suatu proses yang kontinu maka penilaian pun harus dilakukan secara kontinu (terus
menerus).
c. Prinsip Objektivitas
Penilaian harus objekiif. Oleh karena itu rasa benci, yang pilih kasih dan lain-lain
harus dihilangkan. Penilaian harus didasarkan kenyataan yang sebenarnya.

1) Evaluasi hasil belajar-mengajar


Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah
ditentukan. Evaluasi ini disebut juga evaluasi hasil belajar mengajar. Evaluasi formatif
ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan balajar dalam jangka waktu
yang relatif pendek. Tujuan utama dan evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan
untuk menilai proses pengajaran. Hasil evaluasi formatif ini terutama digunakan nntuk
memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu aiengatasi kesulitan-kesulitan belajar
siswa. Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan
yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu
semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi
yang lebih luas dan pada evaluasi formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan siswa. Ini sesuai dengan
pendapat Drondlund (1976:499) bahwa evaluasi sumatif berguna bagi: (1) assigning grades,
(2) reporting learning progress to parents, (3) improving learning and instruction. Dengan
demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih bersifat relatif.
Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional.

2) Evaluasi pelaksanaan mengajar


Dalam pengajaran bukan hanya hasil belajar mengajar tetapi keseluruhan hasil
pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi komponen tujuan mengajar, bahan
pengajaran (yang menyangkut sekueris bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta
komponen evaluasi mengajar sendiri. Stufflebeam dan kawan-kawan (1977:234)
mengemukakan komponen- komponen yang dievaluasi meliputi: komponen tingkah laku
yang mencakup aspek-aspek (subkomponen): kognitif; afektif, dan psikomotor; komponen
mengajar mencakup subkomponen: isi, metode, organisasi, fasilitas, dan biaya; dan
komponen populasi, yang mencakup: siswa, guru, administrator, spesialis pendidikan,
keluarga, dan masyarakat. Bentuk-bentuk notes, seperti observasi, studi dokumenter, analisis
pekerjaan, angket, dan checklist. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru atau oleh pihak-pihak
lain yang berwewenang atau diberi tugas, seperti kepala sekolah dan pengawas, tim evaluasi
kanwil atau pusat. Karena sifatnya menyeluruh dan terus menerus tersebut maka evaluasi
pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai suatu monitoring.7

D. Jenis-Jenis Kurikulum

7
Dakir, H. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Reneka Cipta. Killen.

19
Seperti yang dikemukakan Sukmadinata paling tidak terdapat empat jenis kurikulum
yang penting diketahui sebagai dasar melakukan pengembangan kurikulum kearah lebih baik
dengan melihat perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kompleks8
a. Kurikulum Subjek Akademik
Jenis ini adalah jenis tertua karena digunakan sejak sistem sekolah pertama sekali
diperkenalkan. Kurikulum ini berawal dari konsep pendidikan klasik seperti perrenaliasme
dan essensialisme yang selalu berorientasi pada nilai-nilai masa lalu. Kurikulum ini lebih
mengutamakan isi pendidikan . belajar adalah upaya menguasai ilmu sebanyak-banyaknya.
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu yang berkembang. Karena jenis kurikulum ini
lebih mementingkan pengetahuan, maka coraknya lebih bersifat intelektual. Bahkan nama-
nama yang tercantum dalam kurikulum hampir sama dengan nama-nama disiplin keilmuan
yang ada, seperti bahasa dan sastra, geografi, matematika, ilmu kealaman dan seterusnya.
Terdapat ciri khusus dari jenis kurikulum subjek akademis, apabila dilihat dari tujuan,
metode, organisasi dan evaluasi. Tujuan jenis kurikulum ini adalah pemberian pengetahuan
yang solid serta melatih siswa menggunakan ise-ise dan proes penelitian. Dengan menguasai
berbagai disiplin keilmuan diharapkan siswa memiliki konsep-konsep dan cara yang dapat
terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas.

b. Jenis Kurikulum Humanistik


Jenis kurikulum ini perancangnya lebih berpusat pada siswa, karena itu sering disebut
dengan learner bassed curriculum dan memandang pengajaran lebih holistik di mana belajar
difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu pengembangan potensi peserta didik
secara utuh dan optimal. Pengembangan kurikulum ini menekankan pada pelayanan peserta
didik menemukan makna dalam belajar sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya,
serta mengakomodasi kebutuhan pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-
kebutuhan khusus peserta didik. Pendekatan ini mengedepankan model interdisipliner atau
integrated curriculum yang didasarkan pada psikologi humanistik dimana pengembangan
individu (domain efektif) sama pentingnya dengan isi yang akan diajarkan.
Guru sering mengacu pada “teachable moment” ketika peserta didik memperlihatkan
minat khusus pada bidang pengetahuan tertentu, guru membimbing peserta didik dalam
mengeksplorasikan topik/tema/1terhadap pembelajaran baru tersebut. pendekatan ini
sekarang banyak digunakan dalam mengembangkan kurikulum dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu anak usia 3-4 tahun atau pendidikan
TK-SD/MI kelas 1-3 dengan pembelajaran tematik, pelajaran IPS dan pelajaran IPA terpadu.

c. Jenis Kurikulum Rekonstruksi Sosial


Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan jenis kurikulum yang telah dibicarakan
sebelumnya. Kurikulum ini memusatkan perhatian pada problem sosial yang dihadapi
masyarakat. Dasar pemikiran kurikulum ini lebih dekat dengan interaksional. Pandangan
dasar jenis kurikulum ini adalah bahwa pendidikan bukanlah urusan pribadi tetapi kerja
kolektif dan urusan bersama yang melibatkan guru, siswa, dan masyarakat. Ada beberapa ciri
desain jenis kurikulum ini, antara lain bahwa asumsi dasar arah pengembangan kurikulum ini
adalah rekonstruksi sosial sebagai tujuan utama, yaitu menghadapkan siswa pada tantangan,
ancaman, dan hambatan –hambatan yang dihadapi manusia. Jadi perhatian jenis kurikulum
ini lebih terfokus pada masalah-masalah sosial yang mendesak. Pola organisasi jenis
kurikulum ini disusun seperti roda sehingga semua komponen dalam kurikulum saling
berkaitan secara utuh. Komponen kurikulum rekonstruksi sosial terdiri dari tujuan dan isi

8
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum : Teoridan Praktik, (Bandung; Remaja
Rosdakarya 2000).hlm.81-96

20
kurikulum, metode dan evaluasi. Pelaksanaan kurikulum rekonstruksi sosial banyajk
dilaksanakan di daerah-daerah yang belum tentu tingkat ekonomi dan sosial.

d. Jenis Kurikulum Teknologi


Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat global
menghendaki adanya pola pengembangan kurikulum yang mengakomodasi perkembangan
teknologi penting untuk diapresiasi. Ada beberapa ciri kurikulum teknologis, diantaranya
adalah jenis kurikulum ini tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi yang dirumuskan
dalam bentuk prilaku. Metode yang dipertimbangkan dalam kurikulum jenis ini selalu
diarahkan agar siswa memiliki kemampuan dasar untuk merespon perkembangan teknologi.
Organisasi bahan ajar jenis kurikulum teknologis dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu
dengan mengalami sintesis kreatif.
Selanjutnya,evaluasi jenis kurikulum ini dapat dilakukan setiap saat sebagai umpan
balik, penyempurnaan satuan pelajaran dan seterusnya. Pengembangan kurikulum teknologis
memiliki beberapa kriteria, yaitu;
a. Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang
kurikulum yang lain.
b. Hasil pengembangan kurikulum yang berbentuk model harus dapat diuji coba ulang dan
memberikan hasil yang lebih baik.

e. Jenis Kurikulum Hidden Kurikulum


Istilah hidden curriculum menunjuk kepada segala sesuatu yang dapat berpengaruh di
dalam berlangsungnya pengajaran dan pendidikan, yang mungkin meningkatkan atau
mendorong atau bahkan melemahkan usaha pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata lain,
konsep hidden curriculum menunjuk pada praktek dan hasil persekolah yang tidak diuraikan
dalam kurikulum terprogram atau petunjuk kurikulum kebijakan sekolah, namun merupakan
bagian yang tidak teratur dan efektif mengenai pengalaman sekolah. Hidden
(ketersembunyian) merupakan aspek alamiah dalam hal yang berhubungan dengan
pengalaman sekolah pertanyaan ini perlu dimengerti dan dipahami oleh setiap pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan dan kurikulum. Namun pertama-tama seyogyanya kita
mengerti apa arti hidden curriculum. Kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) adalah
kurikulum yang tidak direncanakan. Hilda Taba mengatakan “curriculum is a plan for
learning”, yakni aktivitas dan pengalaman anak di sekolah harus direncanakan agar menjadi
kurikulum. Ada juga yang berpendapat bahwa kurikulum sebenarnya mencakup pengalaman
yang direncanakan dan juga yang tidak direncanakan, yang disebut kurikulum tersembunyi.
Anak didik mempunyai aturan tersendiri sebagai reaksi terhadap kurikulum formal seperti
tentang mencontek, membuat pekerjaan rumah, menjadi juara kelas, sikap terhadap guru,
mencari strategi belajar yang efektif, dan banyak lagi hal lainnya.
Beberapa ahli pendidikan juga mencoba menelaah hidden curriculum. Seperti A. V.
Kelly dalam buku The Curriculum menjelaskan bahwa, Some educationist speak of the
hidden curriculum, by which they mean those thing which pupils learn at school because of
the way in which the work of the school is planned and organized, and through, the materials
provided, but which are not in themselves overtly included in the planning or even in the
consciousness of those responsible for the school arrangements. Social roles, for example, are
learnt in this way, it is claimed, as are s3x roles and attitudes to many other aspects of living.
Implicit in any set of arrangements are the attitudes and values of those who create them, and
these will be communicated to pupils in this accidental and perhaps even sinister way. This
factor is of course of particular significance when the curriculum is planned and imposed by
government. “Beberapa ahli pendidikan berbicara tentang kurikulum tersembunyi, dengan
apa yang mereka maksud dengan hal yang siswa pelajari di sekolah. Karena cara dimana

21
pelajaran/pekerjaan sekolah yang direncanakan dan diatur melalui materi yang
disediakan/diberikan, tetapi apa yang tidak ada pada diri mereka pada lahirnya termasuk
dalam perencanaan atau meskipun kesadaran akan tanggung jawab pada susunan sekolah.
Peran sosial, contohnya dipelajari dengan cara ini, itu diklaim sebagaimana peran dan sikap
seseorang berdasar jenis kelamin terhadap aspek kehidupan lainnya. Implisit disetiap
wacana/susunan yaitu sikap dan nilai yang membuatnya, dan ini akan disampaikan kepada
siswa secara kebetulan atau mungkin dengan cara menakutkan. Faktor ini pasti berarti ketika
kurikulum direncanakan dan ditentukan oleh pemerintah”.
Menurut Overly dan Valance, dalam Subandijah, hidden curriculum meliputi
kurikulum yang tidak dipelajari, hasil persekolahan non-akademik. Dalam kaitan ini, banyak
para ahli kurikulum yang mengajukan konsepsi maupun pengertian hidden curriculum,
misalnya: Dreeben memfokuskan pada apa yang dipelajari di sekolah sebagai suatu fungsi
struktur sosial kelas dan latihan otoritas guru. Kolhberg mengidentifikasikan hidden
curriculum sebagai hal yang berhubungan dengan pendidikan moral dan peranan guru dalam
mentransformasikan standar moral. Henry cenderung pada hubungan antara siswa dengan
guru, aturan untuk mengatur hubungan tersebut dan peranan aturan ini dalam mendidik untuk
kepatuhan (decolitas). Kritisi sosial seperti Goodman, friedenberg, Reiner dan Illich
menggunakan konsepsi hidden curriculum sebagai aturan untuk mengidentifikasikan dan
menjelaskan penguatan sekolah mengenai struktur kelas dan norma sosial tertentu.9

9
Muhaimin, Sutia dan Sugeng LP. Pengembangan Model KTSP pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta;
Rajawali Press 2008).hlm.8.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Pada awalnya, istilah
kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi
Kuno di Yunani. Dalam bahasa Latin, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti berlari
(running) sebagai suatu pengalaman hidup (Marsh, 2009: 3). Dalam bahasa Prancis, istilah
kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). secara terminologis istilah
kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau
diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.
Fungsi kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu alat untuk
membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional,
termasuk berbagai tingkatan tujuan pendidikan yang ada dibawahnya.
komponen-komponen kurikulum sebagai berikut:
1. Tujuan
2. Bahan Ajar
3. Strategi Mengajar
4. Media Mengajar
5. Evaluasi Mengajar
Jenis-jenis kurikulum :
a. Kurikulum Subjek Akademik
b. Jenis Kurikulum Humanistik
c. Jenis Kurikulum Rekonstruksi Sosial
d. Jenis Kurikulum Teknologi

B. Kritik Dan Saran


Dalam makalah ini pastinya terdapat kekurangan yang menyertai kelebihan, maka
dari itu bila dalam kepenulisan, terdapat banyak kekurangan mohon untuk memberi masukan
ataupun saran yang membangun sehingga dapat menjadi periksa. Selain itu juga dapat
bermanfaat umumnya kepada pembaca sebagaimana sebagai ilmu pengetahuan dalam bidang
ilmu pengembangan kurikulum.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abmad, H. M. DKK, 1998. Pemgembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Setia.


Anam, C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.Sidoarjo: Qitshoh
Digital Press.2009.
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia.
Dakir, H. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Reneka Cipta.
Killen.
Dr. Harlen Simanjuntak, M.Pd. Diktat Telaah Kurikulum, Medan, 1 Agustus 2021.
Dra. Nini Ibrahim, M.Pd. Telaah Kurikulum Dan Buku Teks Bahasa Indonesia, Jakarta
Selatan,Agustus 2006.
Hj. Nurhayati.,S.Ag.,MM. Telaah Kurikulum(Sebuah Pengantar Mata Kuliah Telaah
Kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam Yang Mengacu Pada KKNI). Bandung.
Januari 2020.
Muhaimin, Sutia dan Sugeng LP. Pengembangan Model KTSP pada Sekolah dan
Madrasah (Jakarta; Rajawali Press 2008).
Rosdakarya 2000).
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum : Teoridan Praktik, (Bandung;
Remaja

24

Anda mungkin juga menyukai