Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

KELOMPOK 1
Riska Damayanti
Kurniati
Dewi Bulqis Saputri
Reni Angraeni
Ratih Purwasi
Ainun Fitri Ulifiah
Agusti
Justan

SMA NEGERI 1 AJANGALE


TAHUN PELAJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas berkah dan rahmat-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PANCASILA SEBAGAI
IDEOLOGI TERBUKA”.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang
telah memberikan masukan-masukan kepada penulis.
Makalah ini disusun untuk para pembaca dapat memperluas pengetahuan
tentang "PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA" dan juga untuk
memenuhi sebagian tugas PKn.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan. Terima kasih.

Pompanua, September 2015


Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................ i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 1
C. Tujuan.................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka..................................................... 2
B. Pancasila sebagai Sumber Nilai dan Paradigma Pembangunan ......... 4
C. Bersikap Positif Terhadap Pancasila sebagai Ideologi Terbuka ......... 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 9
B. Saran.................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas
serta karakteristik masing – masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu
sendiri . Namun demikian dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa
datang dari luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga
tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut.
Ideologi pancasila sebagai idielogi bangsa dan negara indonesia
berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. pada awalnya secara
kausalitas bersumber dari nilai – nilai yang dimilki oleh bangsa Indonesia yaitu
dalam adat – istiadat , serta dalam agama – agama bangsa indonesia sebagai
pandangan hidup bangsa . oleh karena itu , nilai – nilai pancasila berasal dari nilai
– nilai pandangan hidup bangsa telah diyakini kebenarannya kemudian diangkat
oleh bangsa Indonesia sebagai dasar filsafat negara dan kemudian menjadi
ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu , ideologi pancasila ada pada
kehidupan bangsa dalam rangka bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa setiap bangsa pasti memiliki
ideologi yang menjadi ciri khas dari bangsa itu. Dalam praktiknya, ideologi itu
ada yang bersifat terbuka , dan ada pula yang bersifat tertutup. Dalam hal ini ,
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.
Sebagai ideologi terbuka , pancasila mudah disusupi oleh ideologi yang
lain yang boleh jadi bertentangan dengan nilai dan jatidiri bangsa Indonesia.
Segenap komponen bangsa Indonesia pun didorong untuk terus mengembangkan
secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
Karena itu , segenap komponen bangsa harus mempertajam kesadaran tentang
nilai dasar pancasila itu dan nilai – nilai dasar pancasila itu bersifat abadi , dan
universal.

B. Rumusan Masalah
Dalam Bab Pembahasan penulis akan menguraikan sesuai rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Mengapa Pancasila disebut ideologi terbuka?
2. Mengapa Pancasila dianggap sebagai Sumber Nilai dan Paradigma
Pembangunan?
3. Bagaimana bersikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka?

C. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
1. Untuk lebih mengetahui bahwa Pancasila sebagai Ideologi Terbuka.
2. Untuk mengetahui Pancasila sebagai Sumber Nilai dan Paradigma
Pembangunan.
3. Untuk mengetahui cara bersikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi
terbuka.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka


1. Ideologi Tertutup dan Ideologi Terbuka
Terkait dengan soal penafsiran ideologi, penting diketahui adanya dua
macam watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
Ideologi Tertutup adalah ideologi yang bersifat mutlak. Ideologi
macam ini memiliki ciri :
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat,
melainkan cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk
mengubah masyarakat;
b. Apabila kelompok tersebut berhasil menguasai negara, ideologinya itu
akan dipaksakan kepada masyarakat. Nilai-nilai, norma-norma dan
berbagai segi kehidupan masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi
tersebut;
c. Bersifat totaliter, artinya mencakup/mengurusi semua bidang kehidpan.
Karena itu, ideologi tertutup ini cenderung cepat-cepat berusaha
menguasai bidang informasi dan pendidikan sebab, kedua bidang tersebut
merupakan sarana efektif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat;
d. Pluralisme pandangan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak
dihormati;
e. Menurut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total dan kesediaan untuk
berkorban bagi ideologi tersebut.
f. Isi ideologi tidak hanya nilai-nilai dan cita-cita, tetapi tuntutan-tuntutan
konkret dan operasional yang keras, mutlak, dan total.
Sedangkan Ideologi Terbuka adalah ideologi yang tidak dimutlakkan.
Ideologi macam ini memiliki ciri :
a. Merupakan kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat (falsafah).
Jadi, bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan
kesepakatan masyarakat;
b. Tidak diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri,
ia adalah milik seluruh rakyat, dan bisa digali dan ditemukan dalam
kehidupan mereka;
c. Isi tidak langsung operasional. Sehingga, setiap generasi baru dapat dan
perlu menggali kembali falsafah tersebut dan mencari implikasinya dalam
situasi kekinian mereka;
d. Tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat,
melainkan menginspirasi masyarakat untuk berusaha hidup bertanggung
jawab sesuai dengan falsafah itu;
e. Menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima warga masyarakat yang
berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama.

2
2. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
a. Pancasila : berwatak terbuka
Bertolak dari ciri-ciri sebagaimana dipaparkan di atas, bisa
dikatakan bahwa Pancasila memenuhi semua persyaratan sebagai ideologi
terbuka. Hal itu akan makin jelas dari penjelasan berikut.
Pertama, Pancasila adalah pandangan hidup yang berakar pada
kesadaran masyarakat Indonesia. Pancasila buka impor dari luar negeri,
bukan pula suatu ideologi yang dipikirkan oleh satu dua orang pintar,
melainkan milik masyarakat Indonesia sendiri sebagai kesadaran dan cita-
cita moralnya. Pancasila bukan ideologi milik kelompok tertentu, tetapi
milik seluruh masyarakat Indonesia.
Kedua, isi Pancasila tidal langsung operasional. Sebagaimana kita
ketahui, Pancasila berisi hanya lima nilai dasar. Kelima nilai dasar itu
berfungsi sebagai acuan penyelenggaraan negara. Dalam Pancasila tidak
tersedia rumusan yang berisi tuntutan-tuntutan konkret dan operasinal
yang harus dilaksanakan. Karena “hanya” berisi nilai-nilai dasar,
penerapan Pancasila memerlukan penafsiran. Penafsiran dilakukan untuk
mencari implikasi kelima nilai dasar itu bagi situasi nyata. Setiap generasi
bangsa Indonesia dapat dan bahkan perlu melakukan penafsiran terhadap
Pancasila sesuai tantangan kekinian mereka masing-masing. Dengan
demikian, Pancasila menjadi ideologi yang senantiasa relevan dan aktual.
Ketiga, Pancasila bukan ideologi yang memperkosa kebebasan dan
tanggung jawab masyarakat. Sebaliknya, Pancasila justru menghargai
kebebasan dan tanggung jawab masyarakat. Sila “kemanusiaan yang adil
dan beradab”, misalnya, mengakui kebebasan dan kesamaderajatan
manusia (hak asasi manusia); bahkan tidak hanya meliputi manusia
Indonesia, melainkan juga semua umat manusia diakui sebagai makhluk
yang memiliki kebebasan dan kesamaderajatan.
Keempat, Pancasila juga bukan ideologi totaliter. Oleh para pendiri
negara ini, Pancasila tidak dimaksudkan sebagai ideologi totaliter, yang
mengurusi segala segi kehidupan masyarakat. Melainkan, Pancasila adalah
ideologi politik, sebuah pedoman hidup dalam masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pedoman tersebut menjawab lima lima masalah pokok tentang
negara, yaitu : (i) bagaimana kedudukan agama atau kepercayaan kepada
Tuhan dalam kehidupan negara; (ii) bagaimana kedudukan manusia dalam
negara; (iii) untuk siapa negara didirikan; (iv) siapakah yang berdaulat
atas negara dan bagaimana keputusan dalam urusan mengenai negara
diambil; dan (v) apa tujuan negara. Dengan kata lain, Pancasila
merupakan ideologi yang terbatas. Karena itu, Pancasila tidak boleh
diubah menjadi ideologi totaliter.
Kelima, Pancasila menghargai pluralitas. Hal itu bisa kita lihat
misalnya dalam sejarah perumusan Pancasila. Rumusan defenitif
Pancasila dicapai justru karena didorong oleh semangat untuk tetap
menghargai pluralitas. Pluralitas menjadi kata kunci substansi ideologi
Pancasila.

3
Demikianlah, jelas bahwa Pancasila itu sendiri (an sich) adalah
ideologi terbuka. Pancasila memiliki watak sebagai ideologi terbuka.
b. Sejarah kelam : dijadikan tertutup
Meskipun Pancasila memiliki watak sebagai ideologi terbuka, harus
diakui bahwa Pancasila pernah dijadikan sebagai ideologi tertutup. Hal itu
terjadi pada masa orde lama dan terlebih lagi pada masa orde baru.
Pada masa orde baru, penguasa secara sistematis berusaha
melakukan monopoli penafsiran Pancasila melalui Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada masa itu, Pancasila yang benar
adalah sebagaimana dikehendaki oleh penguasa. Semua warga masyarakat
diharuskan memiliki pemahaman Pancasila sebagaimana dipahami
penguasa. Maka, berbagai saluran informasi dan pendidikan digunakan
untuk memasyarakatkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila).
Begitulah, pada masa orde baru Pancasila tidak difungsikan
sebagaimana mestinya (periksa empat fungsi pokok ideologi dalam uraian
di atas). Melainkan, Pancasila dipakai semata-mata sebagai alat untuk
mengabsahkan (legitimasi) kekuasaan penguasa orde baru. “Pemerintah
telah memanipulasi Pancasila untuk keuntungan mereka,” begitu menurut
sejarawan UGM, alm. Kuntowijoyo (Bernas, 25/1/2004).
Dalam sudut pandang Machiavelli, pada masa orde baru Pancasila
digunakan oleh penguasa sebagai cara untuk melakukan tipu daya guna
menyembunyikan kepentingan, mendapatkan, serta mempertahankan
kekuasaan. Atau, menurut pandangan Karl Marx, pada masa orde baru
ideologi Pancasila tidak ubahnya dijadikan sebuah kesadaran palsu.
Buahnya adalah : kerusakan parah kehidupan berbangsa di berbagai
bidang. Dan akibat ikatannya yang paling menyedihkan adalah seperti
yang diungkapkan mantan Menhankam/Pangab, Jend. Edi Sudrajat:
“Semua orang merasa malu berbicara Pancasila. Berbicara Pancasila
dianggap kuno, tidak reformis, dan tidak memiliki cita-cita Indonesia
baru.” (Kompas, 16/01/2006).
Itulah sejarah kelam ideologi Pancasila. Pengalaman itu
memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia: ketika dijadikan
sebagai ideologi tertutup, Pancasila cenderung kehilangan daya tarik dan
relevansinya. Karena itu, apa yang terjadi pada masa orde baru tidak boleh
terjadi lagi di masa depan. Pancasila harus tetapi menjadi ideologi terbuka.

B. Pancasila Sebagai Sumber Nilai dan Paradigma Pembangunan


1. Pancasila sebagai Sumber Nilai
Pancasila adalah sumber nilai. Itu berarti, Pancasila merupakan acuan
utama bagi pembentukan hukum nasional, kegiatan penyelenggaraan negara,
partisipasi warga negara dan pergaulan antar warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjiwai seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara.

4
a. Nilai dasar
Sebagaimana diungkapkan di muka, Pancasila memuat lima nilai
dasar tentang penyelenggaraan negara. Nilai-nilai dasar itu meliputi :
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut juga tercermin dalam
norma dasar, yaitu pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Karena merupakan nilai dasar, nilai-nilai itu bersifat abstrak dan
umum. Nilai-nilai relatif tidak berubah, namun maknanya selalu bisa
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Itu bisa terus menerus digali
dan ditafsirkan ulang makna dan implikasinya. Melalui proses penafsiran
ulang tersebut akan didapat nilai-nilai baru yang lebih operasional, sesuai
dengan tantangan kekinian bangsa. Nilai-nilai operasional ini bisa berupa
nilai instrumental maupun nilai praksis.
b. Nilai instrumental dan nilai praksis
Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar. Nilai ii
berlaku untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Sifatnya
sudah lebih bersifat kontekstual, bahkan harus disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Dari segi kandungan nilainya, nilai instrumental tampil
dalam bentuk kebijakan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program,
yang menjabarkan lebih lanjut nilai dasar tersebut.
Nilai instrumental terikat oleh perubahan waktu, keadaan atau
tempat. Karena itu, nilai ini memerlukan penyesuaian secara berkala.
Penyesuaian ini untuk menjamin agar nilai dasar tersebut tetap relevan
dengan masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat dalam zaman
tersebut.
Nilai instrumental tercantum dalam seluruh dokumen kenegaraan
yang menindaklanjuti UUD 1945 dan belum termasuk nilai praksis seperti
undang-undang dan banyak peraturan pelaksanaannya. Ada tiga lembaga
negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini, yaitu: (1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat, (2) Presiden, dan (3) Dewan Perwakilan
Rakyat. Sebagai lembaga eksekutif berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD
1945, Presiden dapat menindaklanjuti undang-undang yang ada dengan
mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.
Sudah tentu peraturan pelaksanaan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang menjadi induknya. Jika ternyata
bertentangan, peraturan pelaksanaan itu batal secara hukum, dan harus
dicabut. Pihak yang dirugikan dapat mengadukannya kepada lembaga
pengadilan, termasuk kepada pengadilan tata usaha negara dan Mahkamah
Konstitusi.
Sesuai dengan sifat negara kita sebagai negara berdasarkan hukum,
maka untuk kepastian hukum pada dasarnya nilai instrumental ini harus
tertuang secara tertulis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Nilai praksis merupakan penjabaran nilai instrumental dalam situasi
konkret pada tempat tertentu dan situasi tertentu. Sifatnya amat dinamis.

5
Nilai praksis terdapat pada banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila
itu baik oleh lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, organisasi kekuatan
sosial politik, organisasi kemasyarakatan, badan-badan ekonomi,
pemimpin masyarakat, maupun oleh warga negara secara perorangan.
Ringkasnya, nilai praksis itu terkandung dalam kenyataan sehari-hari,
yaitu cara bagaimana kita melaksanakan nilai Pancasila dalam praktik
hidup sehari-hari.
2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
a. Pengertian pembangunan
Pembangunan adalah usaha bangsa untuk meningkatkan mutu dan
taraf hidup masyarakat sehingga menjadi lebih baik. Peningkatan mutu ii
tidak terbatas hanya pada sektor ekonomi saja, tetapi juga seluruh aspek
kehidupan manusia. Di dalamnya tercakup tiga proses sekaligus, yaitu
emansipasi bangsa, modernisasi, dan humanisasi (Poespowardojo,
1989:47).
Emansipasi bangsa, artinya usaha bangsa untuk melepaskan diri
dari ketergantungan pada bangsa lain agar dapat berdiri sendiri dengan
kekuatan sendiri tanpa melepaskan semangat kerja sama yang produktif.
Dalam emansipasi itu, bangsa Indonesia mempunyai kesadaran,
kebebasan, serta otonomi dalam mengambil keputusan dan pilihan
berdasarkan kepentingan nasional. Sementara itu, modernisasi adalah
upaya untuk mencapai taraf dan mutu kehidupan yang lebih baik. Hal itu
menunjukkan orientasi ke depan dan dinamika dalam mengadakan
program-program. Sedangkan humanisasi bermakna bahwa pembangunan
pada hakikatnya adalah untuk manusia seutuhnya dan seluruh masyarakat
Indonesia. Teknologi yang digunakan tidak lain hanyalah sarana
pembangunan untuk mencapai masyarakat maju yang manusiawi.
Jelasnya, dalam pembangunan ada upaya-upaya simultan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan pemerataan
pendapatan, meningkatkan kualitas kehidupan, memelihara kelestarian
lingkungan, mewujudkan keadilan sosial, dan menjaga kesinambungan
hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai. Hal terakhir tersebut amat
penting. Sebab, pembangunan tidak akan ada artinya manakala hasil-hasil
yang sudah dicapai tidak lestari.
b. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Paradigma adalah anggapan-anggapan dasar yang membentuk
kerangka keyakinan. Ia berfungsi sebagai acuan, kiblat atau pedoman
untuk melihat persoalan dan bagaimana menyelesaikannya. Dengan
demikian, paradigma pembangunan bisa dipahami sebagai kerangka
keyakinan yang digunakan sebagai pedoman untuk melihat persoalan dan
bagaimana melaksanakan pembangunan.
Pancasila merupakan paradigma pembangunan. Artinya, Pancasila
berisi anggapan-anggapan dasar yang merupakan kerangka keyakinan.
Kerangka keyakinan tersebut berfungsi sebagai acuan kiblat dan pedoman
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-
hasil pembangunan di Indonesia.

6
Posisi Pancasila sebagai paradigma pembangunan membawa
konsekuensi tertentu; yaitu, keberhasilan pembangunan di Indonesia
pertama-tama harus diukur dari kesesuaiannya dengan Pancasila.
Itu berarti, pembangunan di Indonesia tidak boleh bersifat
pragmatis, dalam arti hanya mementingkan tindakan nyata dan menafikan
pertimbangan etis. Juga, tidak boleh bersifat ideologis, dalam arti secara
mutlak melayani ideologi tertentu dan menafikan manusia nyata.
Melainkan, pembangunan mesti ditujukan untuk melayani manusia-
manusia nyata dengan segala aspirasi dan harapan-harapannya.
Pembangunan semacam itu hanya bisa terjadi manakala memenuhi
tiga syarat mutlak, yaitu: menghormati hak-hak asasi manusia,
dilaksanakan secara demokratis (dalam arti arahnya ditentukan oleh
seluruh masyarakat), memberikan prioritas pada penciptakan taraf
minimum keadilan sosial (Magnis-Suseno, 2001:46-48).
Menghormati hak-hak asasi manusia berarti bahwa proses
pembangunan tidak mengorbankan manusia-manusia nyata, melainkan
justru berusaha menghormati martabat mereka. Sedangkan tuntutan agar
pembangunan tersebut dilaksanakan secara demokratis berarti melibatkan
masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan dalam pengambilan
keputusan-keputusan yang menyangkut kebutuhan mereka.
Akhirnya, prioritas pada penciptaan taraf minimum keadilan sosial
berarti mengutamakan mereka yang paling lemah dan menghapuskan
ketidakadilan struktural yang paling tampak, nyata, yaitu kemiskinan
struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan
semata-mata karena kemalasan individu, melainkan lebih karena adanya
struktur-struktur sosial yang tidak adil.

C. Bersikap Positif terhadap Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Setiap ideologi terbuka tentu saja boleh dan bahkan perlu ditafsirkan oleh
semua komponen masyarakat. Ideologi semacam itu perlu dicari implikasinya
sesuai dengan tantangan kekinian, baik itu tantangan internal maupun tantangan
eksternal bangsa. Begitu pun Pancasila. Akan tetapi, kenyataan itu bisa membawa
serta sejumlah masalah, antara lain sebagai berikut :
Pertama, Pancasila hanya akan berkembang kalau segenap komponen
masyarakat bersedia bersikap proaktif, terus menerus melakukan reinterprestasi
(penafsiran ulang) terhadap Pancasila dalam suasana dialog kritis-konstruktif.
Bila masyarakat bersikap pasif, Pancasila akan makin kehilangan relevansinya.
Atau, bisa pula Pancasila berubah menjadi ideologi tertutup, karena penafsirannya
didominasi oleh pengusaha atau kelompok masyarakat tertentu.
Kedua, karena terbuka untuk ditafsir oleh siapa saja, bisa terjadi Pancasila
semata-mata ditafsirkan sesuai dengan kepentingan si penafsir. Penafsiran
semacam itu umumnya tampil dalam bentuk pemaknaan Pancasila menurut
ideologi lain.
Dua tantangan tersebut menurut sikap dan tanggapan positif semua warga
masyarakat. Sikap positif itu terutama adalah kesediaan segenap komponen
masyarakat untuk aktif mengungkapkan pemahamannya mengenai Pancasila.

7
Dengan kata lain, Pancasila perlu diangkat dalam pentas dialog publik. Dengan
cara demikian kemungkinan terjadinya irelevansi, dominasi penafsiran, maupun
penafsiran tidak sehat terhadap Pancasila bisa dicegah.
Sikap positif lain adalah kesediaan segenap komponen bangsa menjadi
nilai-nilai Pancasila makin tampak nyata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sehari-hari. Ini berarti mewujudkan Pancasila sebagai
kenyataan sejarah, bukan sekedar lips service (basa-basi). Jadi. Reinterprestasi
Pancasila itu tidak sekedar berhenti pada dialog teoritis, melainkan harus
mendarat menjadi aksi.
Tampaknya justru itulah defisit terbesar Pancasila selama ini. Sepanjang
perjalanan sejarah republik ini, terlebih lagi pada masa Orde Baru, Pancasila lebih
banyak menjadi omongan daripada penuntun tindakan. Akibatnya, terjadi
kesenjangan yang makin lebar antara ideal-ideal dalam Pancasila dengan kondisi
nyata kehidupan bangsa Indonesia.
Dengan kata lain, sikap positif yang paling dibutuhkan untuk menjadikan
Pancasila sebagai ideologi terbuka yang berwibawa adalah terus-menerus secara
konsisten berjuang memperkecil kesenjangan antara ideal-ideal Pancasila dengan
kenyataan kehidupan berbangsa sehari-hari. Untuk itu, semua komponen bangsa
dapat dan perlu melibatkan diri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal
itu bisa dimulai dari diri sendiri, lalu meluas ke lingkungan tempat kita berkiprah.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bangsa Indonesia yang besar ini tidaklah akan ada jika tidak memiliki
sebuah landasan ideologi. Tentunya, sebuah ideologi yang kuat dan mengakar di
masyarakatlah yang akan bisa menopang sebuah bangsa yang besar seperti
Indonesia ini. Ideologi yang kuat tersebut adalah ideologi Pancasila.
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun
bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat
aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah
nilai-nilai dasar pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih
konkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan
masalah-masalah baru dan aktual.
Keterbukaan ideologi Pancasila juga menyangkut keterbukaan dalam
menerima budaya asing. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial senantiasa hidup
bersama sehingga terjadilah akulturasi budaya. Oleh karena itu Pancasila sebagai
ideologi terbuka terhadap pengaruh budaya asing, namun nilai-nilai esensial
Pancasila bersifat tetap. Dengan perkataan lain Pancasila menerima pengaruh
budaya asing dengan ketentuan hakikat atau substansi Pancasila yaitu: ketuhahan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan bersifat tetap. Secara strategi
keterbukaan Pancasila dalam menerima budaya asing dengan jalan menolak nilai-
nilai yang tertentangan dengan ketuhahan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
serta keadilan serta menerima nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dasar pancasila tersebut.
Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka
adalah terdapat dalam penjelasan UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan
negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-
aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu
diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat,
mengubah dan mencabutnya .

B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, kiranya kita dapat menyadari bahwa
Pancasila merupakan falsafah Republik Indonesia. Kita harus menjunjung tinggi
dan mengamalkan nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dengan penuh rasa tanggung
jawab, dan seharusnya kita sebagai pemuda penerus bangsa harus lebih
menghargai dan melestarikan nilai-nilai tersebut agar Pancasila dapat ditegakkan
sampai kapanpun.

9
DAFTAR PUSTAKA

Subandi, AL Marsudi, 2001. Pancasila dan UUD 45 Dalam Paradigma Reformasi.


PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sutrisno, Slamet. 1986. Pancasila Sebagai Metode. Liberty. Yogyakarta.
http://kuliahsemester1.wordpress.com/pendidikan-pancasila/pancasila-sebagai-
ideologi-terbuka/
M, Hasim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Quadra.
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan; Dwi Winarno, S.Pd., M.SI , 2006\
Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila; Prof. Drs. H.A.W Widjaja , 2002
Pancasila Dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis; B. Sukarno, 2005
Pendidikan Kewarganegaraan; Dadang Sundawa, Djaenudin Harun, A.T. Sugeng
Priyanto, Cholisin, Muchson A.R , 2008
Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila; Dr. Soerjono Soekanto SH., MA , 1982
http://www.scribd.com/doc/24154562/Pengertian-Pancasila-Secara-Etimologis-
Historis-Dan-Terminologis Minggu, 8 April 2012 pukul 11:38

10

Anda mungkin juga menyukai