Etiologi = Kolik ginjal disebabkan karena dilatasi pelvis ginjal dan segment ureter. Biasanya, kolik berasal dari
obstruksi yang akut seperti kalkulus ureter.
Epidemiologi = 5-15% batu ginjal, 50% berulang dalam 5-7 tahun jika pencegahan tidak dilakukan. >70%
pada usia 20-50 tahun, pria lebih banyak daripada wanita (2:1). Faktor resiko; obesitas, hipertensi, riwayat
keluarga nefrolitiasis, sindrom iritasi colon dan/atau diabetes berisiko lebih tinggi terkena batu ginjal.
Patofisiologi =
obstruksi dan
tekanan intraluminal ↑
hydronefrosis di ureter
1. Torsi ovarium
7. Angiomiolipoma
2. Peritonitis
8. Aneurisma aorta
3. Pielonefritis
Diagnosis Banding = 9. Kolik bilier
4. Kanker ginjal
10. Aneurisma iliaka
5. Kompromi renovaskular
11. Endometriosis
6. Sindrom Wunderlich
Tatalaksana =
- Anafilaksis adalah reaksi alergi serius yang melibatkan lebih dari satu sistem organ (misalnya, kulit,
saluran pernapasan, dan/atau saluran pencernaan). Reaksi ini dapat dimulai dengan sangat cepat,
dan gejalanya bisa parah atau mengancam nyawa.(NIAID, 2006)
- Suatu reaksi sistemik yang akut dan mengancam nyawa dengan mekanisme, presentasi klinis, dan
tingkat keparahan yang bervariasi, yang disebabkan oleh pelepasan tiba-tiba mediator dari sel-sel
mast dan basofil. (AAAAI/ACAAI, 2010)
- Reaksi hipersensitivitas serius yang mengancam nyawa, yang bersifat umum atau sistemik.(WOA,
2011)
- Sebuah reaksi hipersensitivitas yang parah yang mengancam nyawa, yang bersifat umum atau
sistemik.(EAACI, 2013)
- Setiap penyakit yang timbul dengan tiba-tiba dengan fitur kulit khas (ruam urtikaria atau
kemerahan/memerahkan, dan/atau angioedema), ditambah keterlibatan sistem pernapasan
dan/atau kardiovaskular dan/atau gejala gastrointestinal parah yang persisten; atau Tiba-tiba
timbulnya hipotensi atau bronkospasme atau obstruksi saluran napas atas di mana anafilaksis
dianggap mungkin.(ASCIA, 2016)
- Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas sistemik yang parah dan mengancam nyawa yang
ditandai dengan timbulnya dengan cepat dan memiliki potensi masalah pernapasan, peredaran
darah, atau sirkulasi yang mengancam nyawa, dan biasanya, meskipun tidak selalu, terkait dengan
perubahan kulit dan mukosa.(WHO ICD-11, 2019)
Epidemiologi =
- insiden global 50-112 episode/100.000 orang/tahun; prevalensi seumur hidup sekitar 0,3-5,1%
- insiden anak 1-761/100.000 orang/tahun
- pravelensi kekambuhan 26,5- 54% pasien selama 1,5-25 tahun pemantauan
- angka kematian 0,05- 0,51/juta orang/tahun untuk obat, 0,03-0,32 untuk makanan, dan 0,09-0,13
untuk anafilaksis akibat gigitan hewan berbisa
1. Penyakit yang timbul secara akut (menit – beberapa jam) dengan bersamaan munculnya gejala pada
kulit, mukosa jaringan, atau keduanya + minimal 1 dari temuan berikut: (1) Gejala gangguan
pernapasan, (2) Penurunan tekanan darah atau gejala terkait disfungsi organ akhir, (3) gejala
gastrointestinal yang parah.
2. Adanya hipotensi/bronkospasme akut/keterlibatan laring setelah paparan terhadap zat yang
diketahui atau kemungkinan besar menyebabkan alergi pada pasien (beberapa menit hingga
beberapa jam), meskipun tidak ada gejala kulit.
Patogenesis =
- Meskipun menunjukkan gambaran klinis yang umum, mekanisme yang mendasari anafilaksis
mungkin bervariasi.
- Anafilaksis yang diperantarai IgE dianggap sebagai mekanisme klasik dan paling sering terjadi.
Keadaan Endogen termasuk mastositosis sistemik yang mendasari, asma bronkial yang tidak stabil,
atau status hormonal seseorang (misalnya, pramenstruasi).
Faktor Eksogen, yang dapat meningkatkan risiko reaksi anafilaksis, termasuk latihan fisik, infeksi,
gangguan psikotik, dan penyakit jantung. beban logis, kurang tidur, asupan alkohol, dan obat-obatan
Tatalaksana = Pada pasien dengan riwayat anafilaksis sebelumnya, penatalaksanaan akut terdiri dari dua
langkah
1. Penatalaksanaan mandiri oleh pasien menggunakan protokol darurat, yang penting untuk
menekankan peran kunci epinefrin intramuskular (adrenalin).
2. Intervensi tambahan yang diberikan oleh profesional kesehatan setelah bantuan medis tiba, yang
harus mencakup epinefrin lebih lanjut (adrenaline) jika gejala anafilaksis masih berlanjut.
Pengobatan anapilaksis akut :
Meskipun epinefrin (adrenalin) intramuskular menjadi obat lini pertama yang direkomendasikan
untuk mengobati anafilaksis, dosis yang dianjurkan adalah 0,01 mg/kg berat badan, hingga dosis
total maksimum 0,5 mg , diberikan melalui rute intramuskular.
Dosis harus diulang setiap 5-15 menit jika gejalanya sulit disembuhkan terhadap pengobatan.
Epinefrin (adrenalin) direkomendasikan sebagai obat penting untuk pengobatan anafilaksis oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Meskipun perannya sangat penting, bentuk suntikan otomatis
tidak tersedia di sebagian besar negara.
Pada pasien dengan anafilaksis dan gejala bronkokonstriksi, beta-2 kerja pendek inhalasi agonis
dapat diberikan (misalnya, salbutamol/albuterol).
Obat lini kedua termasuk beta 2-agonis adrenergik, glukokortikoid, dan antihistamin. Pedoman lokal
mungkin menunjukkan perbedaan obat sesuai ketersediaan.
Sulit untuk menilai tingkat keparahannya reaksi anafilaksis. Tidak ada secara keseluruhan konsensus
mengenai sistem mana yang paling tepat.
Menilai reaksi berdasarkan pemicu tertentu, misalnya anafilaksis terkait anestesi atau racun
mungkin menilai muntah sebagai sebuah gejala yang lebih mengkhawatirkan, berbeda dengan yang
digunakan untuk anafilaksis terkait makanan. Perbedaan lebih lanjut dapat ditemukan berdasarkan
sistem yang terlibat atau intensitas gejala.
Selama anafilaksis akut, kadar triptase serum meningkat dari 15 menit menjadi 3 jam atau bahkan
lebih lama, setelah awitan; kadarnya mencapai puncak antara 1 dan 2 jam setelah onset dengan 36-
40% tersisa <11,4 mg/L.
Meskipun peningkatan kadar mendukung diagnosis anafilaksis, kadar normal tidak mengecualikan
terjadinya anafilaksis (misalnya, anak-anak dengan anafilaksis akibat makanan). Dianjurkan untuk
mengevaluasi triptase serum awal setidaknya 24 jam setelah resolusi gejala anafilaksis, bahkan
ketika konsentrasi tryptase selama episode tetap dalam kisaran normal.
Pertimbangan utama dalam penatalaksanaan anafilaksis jangka panjang disajikan pada Tabel 8.
Pada saat keluar dari fasilitas layanan kesehatan, pasien yang berisiko mengalami episode anafilaksis
berikutnya, harus diberi resep dan diajarkan tentang pemberian epinefrin secara mandiri
( adrenaline), dan memiliki rencana tindakan darurat anafilaksis tertulis yang dipersonalisasi dan
metode identifikasi medis.
Pedoman merekomendasikan agar pasien dengan anafilaksis dirujuk ke spesialis alergi/imunologi
untuk memastikan dugaan pemicunya, nasihat mengenai pencegahan dan, jika diindikasikan,
pertimbangan untuk imunoterapi alergen.
Anafilaksis idiopatik perlu dipertimbangkan jika anamnesis yang dilakukan dengan cermat,
pemeriksaan lesi mastositosis kulit (urtikaria pigmentosa), tes kulit, dan pengukuran kadar IgE
spesifik alergen tidak menunjukkan pemicunya. Peningkatan konsentrasi tryptase pada awal dapat
mengungkap penyebab sistemik .
Kejang Demam
Definisi = Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada ke-naikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38⁰C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Batasan =
- Kejang demam terjadi pada 2-4% pada anak usia 6 bulan – 5 tahun
- Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam
- Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam.
- Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam.
Klasifikasi =
Pemeriksaan Penunjang =
- Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam
- Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis.
- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
- Pencitraan (ex: CT-scan & MRI)
Prognosis =
- kecacatan atau kelainan neurologis sebagian kecil kasus terjadi pada kejang lama/berulang,
umum/fokal
- kematian tidak pernah
- kejang demam berulang Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang
demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12 bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
- epilepsi Faktor risiko menjadi epilepsi adalah : 1. Kelainan neurologis atau perkembangan
yang jelas sebelum kejang demam pertama. 2. Kejang demam kompleks 3. Riwayat epilepsi
pada orang tua atau saudara kandung
Tatalaksana =
Datang saat kejang Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang
adalah diazepam IV 0,3-0,5 mg/kg kecepatan 1-2 mg/menit atau waktu 3-5 menit, maksimal 20 mg.
Di rumah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan BB < 10 kg dan
10 mg untuk BB > dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak usia < 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak usia >3 tahun.
Fenitoin IV
10-20 mg/kg/kali
Ulangi bila kejang
dengan Dosis Ke Rumah berhenti segera
Diazepam Tidak Tidak Tidak
& Interval Sakit, tapering off
Rektal Berhenti Berhenti Berhenti bila tidak berhenti
yang sama 5 Diazepam IV segera dirawat di
menit ruang intensif
Antipiretik
- parasetamol 10 –15 mg/kg/kali 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
- Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari
Antikonvulsan
Indikasi
Antikonvulsan untuk pengobatan rumat valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Lama pengobatan 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Vaksinasi Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami
kejang demam.
STATUS ASTHMATICUS
Pendahuluan = Status asmatikus merupakan keadaan kedaruratan medis, yang merupakan suatu bentuk
eksaserbasi asma ekstrim yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan gagal napas sekunder.
Semua pasien dengan asma bronkial berisiko mengalami episode akut dengan tingkat keparahan progresif
yang kurang responsif terhadap tindakan terapetik standar, terlepas dari tingkat keparahan penyakit atau
varian fenotipiknya.
Etiologi = Waktu perkembangan dan tingkat keparahan obstruksi jalan napas mengikuti dua pola yang
berbeda.
1. Satu kelompok menunjukkan perburukan laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) subakut yang lambat
selama berhari-hari, yang dikenal sebagai "eksaserbasi asma onset lambat". Kelompok ini biasanya
memiliki faktor predisposisi intrinsik yang disebabkan oleh pasien, termasuk sediaan inhaler yang tidak
memadai, kepatuhan penggunaan obat-obatan yang kurang maksimal, dan stress psikologis.
2. Kelompok lainnya dikenal sebagai "eksaserbasi asma mendadak", dimana gejala memburuk dalam
hitungan beberapa jam. Kelompok ini berkorelasi terhadap pemicu eksternal seperti alergen.
Patofisiologi = penutupan saluran napas prematur saat ekspirasi kapasitas sisa fungsional dan
terperangkapnya udara ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan hipoksemia metabolisme anaerobik dan
asidosis laktat. (Hal ini awalnya diimbangi oleh alkalosis respiratorik dan diperparah ketika kelelahan
pernafasan dan asidosis respiratorik terjadi)
Fase bronkospastik awal diamati dalam beberapa menit setelah paparan alergen dengan
degranulasi sel mast dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin D2, dan
leukotrien C4.
Fase inflamasi selanjutnya menyebabkan pembengkakan dan edema saluran napas karena eosinofil
melepaskan protein kationik eosinofilik (ECP) dan protein basa utama (MBP).
Histopatologi =
Perubahan struktural, termasuk pelepasan epitel, hiperplasia kelenjar lendir, fibrosis subepitel,
infiltrasi sel inflamasi, hipertrofi/hipertrofi otot polos bronkus, dan perubahan vaskular.
Perubahan ini diamati pada saluran napas proksimal serta paru distal, dan dapat diamati pada
reseksi paru pada asma fatal dan biopsi endobronkial pada penderita asma ringan, sedang, dan
berat.
Peradangan saluran napas menjadi salah satu faktor utama patofisiologi asma. Interaksi sel mast,
limfosit T, dan sel epitel menghasilkan lonjakan sel inflamasi dan sitokin dalam sirkulasi.
Dalam peningkatan konsentrasi secara lokal dan sistemik ditemukan adanya histamin, leukotrien,
dan faktor pengaktif trombosit.
Penghancuran silia dan penghilangan epitel membuat ujung saraf teriritasi sehingga mengakibatkan
hiperreaktivitas.
Peradangan tadi juga menyebabkan hipertrofi dan hiperfungsi sel goblet dan kelenjar mukosa yang
mengakibatkan penyumbatan lendir.
Faktor Resiko =
Pemeriksaan fisik =
Takikardi
Takipneu
Pulsus paradoxus
PaO2 rendah
Laju aliran ekspirasi puncak rendah
Evaluasi =
Evaluasi airway lebih baik dilakukan dengan penilaian PEFR dibandingkan FEV1. Nilai absolut PEFR <
120L/menit, sedangkan nilai absolut FEV1 < 1L.
Penilaian gas darah, apabila terjadi asidosis respiratorik/peningkatan PCO2
Pemeriksaan EKG
Rontgen paru
Tatalaksana =
Manajemen obat
Beta-Agonis
lini pertama
albuterol lebih disukai daripada metaproterenol
Perawatan awal 2,5 mg albuterol (0,5 mL larutan 0,5% dalam 2,5 mL normal saline) dengan
nebulisasi setiap 20 menit selama 60 menit (tiga dosis) diikuti dengan perawatan setiap jam selama
beberapa jam pertama terapi.
Epinefrin subcutan tidak lagi digunakan (toxic)
IV beta agonis tidak lagi direkomendasikan
Kortikosteroid
Mengurangi tingkat rawat inap dan jumlah kekambuhan di kemudian hari dalam 7 hingga 10 hari
berikutnya
prednison sebesar 150-225 mg/hari untuk mendapatkan hasil yang maksimal
60 hingga 125 mg metilprednisolon intravena setiap 6 jam selama 24 jam awal pengobatan status
asmatikus
Antikolinergik
Berguna pada pasien dengan bronkospasme yang disebabkan oleh beta-blokade atau penyakit
penyerta yang parah penyakit obstruktif dengan FEV1 kurang dari 25% dari perkiraan.
0,25 mg ipratropium bromida dengan 5 mg albuterol melalui nebulizer menghasilkan peningkatan
FEV1 yang lebih besar dibandingkan albuterol saja.
Merekomendasikan antikolinergik sebagai obat lini kedua pada pasien status asma dengan respon
yang tidak adekuat terhadap beta-agonis atau steroid. Dosis Ipratropium 0,5 mg melalui nebulisasi
bersamaan dengan albuterol adalah pilihan konsensus.
Magnesium Sulfat
Magnesium menghambat konstriksi otot polos yang diperantarai kalsium, menurunkan pelepasan
asetilkolin di dalam sambungan neuromuskular, dan mempengaruhi pembentukan kekuatan otot
pernapasan.
Magnesium sulfat intravena menjadi obat tambahan yang berguna pada pasien dengan status
asmatikus akut yang refrakter terhadap beta-agonis.
2 gram intravena (IV) dalam 2 dosis terpisah selama 20 menit.
Efek samping hipotensi atau byporeflexia jarang terjadi.
Kebutuhan suplementasi oksigen pada status asmatikus jarang terjadi dan dosisnya rendah.
Heliox adalah campuran helium 70:30 atau 60:40 oksigen yang dapat menurunkan resistensi,
turbulensi pada saluran napas serta mengurangi kerja otot pernapasan pada saat inspirasi.
Antibiotik
Tidak ada yang berarti pada penelitian ini. Namun tidak berarti pada pasien dengan tanda-tanda
klinis infeksi tidak boleh diobati dengan antimikroba
Pada pasien yang tidak menderita ensefalopati dan sekret berlebihan, dapat menggunakan ventilasi non-
invasif dengan CPAP atau BIPAP untuk mendukung ventilasi dan menghindari kebutuhan anestesi dan sedasi.
Ketika memilih untuk melakukan intubasi sangat penting untuk memilih obat sedasi, yaitu:
- Ketamin memiliki sifat sedatif, analgesik, anestesi, dan bronkodilator dan semakin
direkomendasikan untuk intubasi darurat pada status asmatikus bersama dengan suksinilkolin. Dosis
biasa adalah 1-2 mg/kg diberikan secara intravena.
- Propofol memiliki onset kerja yang cepat, kemampuan untuk mencapai sedasi yang dalam tanpa
obat paralitik, dan efek bronkodilatasi yang ringan.
- Paralytik, contoh: Atracurium dan Vecuronium.
Diagnosis Banding =
- Pneumotoraks.
- Pneumomediastinum.
- stenosis trakea.
- atelektasis fokal
- excessive dynamic airway collapse (EDAC)
Komplikasi =
Prognosis =
Baik jika : Jika tidak ada komplikasi seperti gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik dan
pengobatan dilakukan tepat waktu.
Buruk jika : pengobatan terlambat dan memakai ventilator
Pengantar =
Pestisida organfosfat digunakan secara luas untuk keperluan pertanian, pengendalian vektor dan
keperluan rumah tangga. Walaupun penggunaan pestisida ini memiliki manfaat nyata, keracunan
pestisida organofosfat akut merupakan masalah yang semakin meningkat di seluruh dunia,
khususnya di daerah pedesaan. Pestisida organofosfat merupakan penyebab utama toksisitas parah
dan kematian akibat keracunan akut di seluruh dunia, dengan lebih dari 200.000 kematian setiap
tahunnya di negara-negara berkembang.
Produk-produk rumah tangga dan pertanian yang mengandung pestisida organofosfat banyak
ditemukan, yang memberikan banyak peluang terjadinya keracunan akut. Komplikasi jangka panjang
kadang-kadang terjadi sehingga diperlukan penilaian yang ketat. Pasien dengan keracunan pestisida
organofosfat tingkat sedang hingga berat biasanya memerlukan penanganan di unit perawatan
intensif. Kematian akibat keracunan parah cukup tinggi (10%) dibandingkan dengan kematian akibat
obat-obatan secara keseluruhan (0,5%).
Efek senyawa organosfosfat pada fisiologi manusia sangat beragam dan kompleks. Penghambatan
asetilkolinesterase menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinapsis kolinergik, mengganggu
fungsi normal sistem otonom, dan sistem saraf pusat. Hal ini menghasilkan berbagai manifestasi
klinis, yang dikenal sebagai krisis kolinergik akut. Kompleks organofosforesterase selanjutnya
mengalami beberapa reaksi spontan.
Senyawa organofosfor
Metabolik
Degradasi
Asetilkolinesterase Inhibisi
Reversibel
Aktif
Reaktivasi asetilkolinesterase
Metabolit
Inhibisi
Penuaan
Ireversibel
asetilkolinesterase
Inhibisi
Gambar 1 | Interaksi senyawa organofosfor in vivo; Laju relatif setiap reaksi bervariasi antara senyawa organofosfor8
Bagaimana cara mendiagnosis keracunan organofosfat?
Diagnosis keracunan organofosfat biasanya didasarkan pada kombinasi gejala klinis dan riwayat
paparan akut terhadap senyawa organofosfat, yang umumnya terdapat dalam pestisida. Namun,
saat riwayat paparan tidak dapat diperoleh, diagnosis bandingnya luas dan mungkin meliputi
keracunan oleh karbamat, racun lainnya, atau perdarahan di daerah pontine. Oleh karena itu,
anamnesis yang mendalam, tingkat kecurigaan yang tinggi, serta pemeriksaan klinis yang teliti
sangatlah esensial.
Penatalaksanaan awal pada pasien keracunan organofosfat akut adalah penilaian segera dan
melakukan pemeriksaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) pada pasien. Langkah lebih lanjut
sebagai bagian dalam pengelolaan berkelanjutan didasarkan pada penilaian faktor risiko dan
observasi pemantauan klinis. Bersamaan dengan penilaian segera dan resusitasi, semua pasien
harus menjalani dekontaminasi kulit. Melepaskan pakaian yang terbuka akan mengurangi risiko
paparan racun pada pasien tersebut.
Obat penawar apa yang digunakan dalam penatalaksanaan keracunan organofosfat akut?
Atropine
Pralidoxime
Pralidoxime atau disebut juga dengan 2-PAM (2-pyridine aldoxime methylchloride) penting untuk
mengaktivasi ulang enzim asetilkolinesterase yang dihambat oleh organofosfat. Pralidoxime akan
efektif bila diberikan paling lama 48 jam setelah terjadi keracunan organofosfat, disarankan atropine
diberikan terlebih dahulu untuk menghindari gejala-gejala muskarinik yang bisa berakibat fatal.
Disarankan bolus sebesar 30 mg/kg untuk orang dewasa dan 20-50 mg/kg untuk anak-anak
diberikan dalam jangka waktu 30 menit. Setelah dosis awal, lanjutkan dengan infus 8 mg/kg/jam
untuk orang dewasa dan 10-20 mg/kg/jam untuk anak-anak.
Pertimbangan untuk pasien toksisitas klinis ringan atau tanpa toksisitas klinis, dan paparan kulit
Pasien yang datang dengan riwayat keracunan yang tidak disengaja namun tidak menunjukkan gejala
atau memiliki gejala ringan, seringkali tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Prioritas
penatalaksanaan untuk pasien ini adalah triase cepat, penilaian risiko terperinci, dan pertimbangan
implikasi forensik. Pasien dengan paparan kulit akut tunggal jarang mengalami efek klinis yang besar
dan mungkin tidak memerlukan penilaian medis. Jika ada kekhawatiran mengenai paparan pada
kulit, disarankan untuk menguji perubahan aktivitas kolinesterase.
Tindakan pencegahan yang diperlukan oleh staf yang merawat pasien keracunan organofosfat akut
Risiko keracunan nosokomial terhadap staf dan anggota keluarga yang terpapar pasien dengan
keracunan organofosfat akut menjadi perhatian. Kewaspadaan universal dengan menggunakan
sarung tangan nitril kemungkinan besar akan memberikan perlindungan yang cukup untuk
melindungi staf.
Pestisida karbamat juga menyebabkan krisis kolinergik akut, tetapi asetilkolinesterase yang
dihambat tidak menua, memungkinkan reaktivasi dan pemulihan spontan fungsi saraf normal.
Karbamat dianggap menyebabkan keracunan yang lebih ringan dengan durasi yang lebih pendek
daripada pestisida organofosfat. Akan tetapi, ada banyak bukti bahwa keracunan parah dan
kematian terjadi dengan beberapa karbamat, khususnya karbosulfan dan karbofuran. Atropin dan
benzodiazepin diberikan dengan cara cara yang sama seperti untuk pestisida organofosfat. Karena
asetilkolinesterase yang dihambat karbamat tidak menua, peran oksim tampaknya terbatas, tetapi
masih kontroversial.