PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi Bali merupakan plasma nutfah asli Indonesia sebagai aset sumberdaya
genetik nasional dan juga masuk dalam aset dunia sebagi salah satu bangsa sapi
yang ada di dunia yang tercatat berdasarkan catatan FAO yang perlu dipertahankan
keberadaan dan kelestariannya. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli dan
murni di Indonesia keturunan asli banteng (Bibos banteng) yang sangat potensial untuk
menjaga ketahanan pangan di Indonesia khususnya dalam pemenuhan kebutuhan akan
protein hewani, karena ternak ini mempunyai tingkat produktifitas yang tinggi. Namun
dalam perkembangannya banyak faktor yang dapat menghambat produktifitasnya
diantaranya faktor penyakit. (Hikmawaty et al., 2014). Bagi masyarakat peternak sapi di
Bali, sapi bali mempunyai empat fungsi penting yaitu sebagai tenaga kerja pertanian,
memiliki fungsi finansial, sebagai sarana keagamaan dan sebagai sarana hiburan
(Kendran et al.,2012), bila dibandingkan dengan sapi lainnya dengan daya adaptasinya
yang tinggi, baik pada dataran tinggi, rendah, maupun berbukit (Kendran dan Pemayun,
2020).
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit penting yang
menginfeksi hewan sapi, kambing, domba dan babi serta beberapa jenis hewan liar.
Penyakit ini penting secara ekonomi karena selain mengakibatkan angka mortilitas yang
tinggi pada hewan muda, penurunan produksi susu maupun bahan asal hewan lainnya
serta dapat mengakibatkan pembatasan perdagangan internasional bagi Negara yang
terinfeksi PMK. Dampak yang timbul akibat PMK yaitu penurunan produksi dan
reproduksi ternak, penurunan produktivitas tenaga kerja serta kerugian ekonomi
masyarakat yang sangat besar. faktor risiko potensial penyebaran dan penularan PMK
adalah pembelian bakalan atau indukan, pembelian ternak dari luar daerah, kecemasan
pemilik yang menjual sapi sakit, petugas yang melayani beberapa daerah, kunjungan
pedagang atau peternak lain, kelemahan biosecurity pada kandang sapi dan alat
transportasi untuk pengiriman sapi (Sudarsono, 2022).
PMK merupakan penyakit yang sangat penting karena menyerang ternak
ruminansia dengan seroprevalensi keseluruhan sebesar 11,48%. Sapi lebih banyak
terdeteksi terinfeksi PMK dengan seroprevalensi 14,48% daripada domba dengan
1
prevalensi 7,07% dan kambing sebesar 7,10% (Mesfine et al., 2019). Sejak diumumkan
kejadian PMK oleh pemerintah Indonesia, yaitu pada tanggal 6 Mei 2022
sampai dengan tanggal 20 Mei 2022, terjadi penularan PMK yang cukup pesat. Terhitung
hanya dalam jangka waktu dua minggu sejak tanggal 6 Mei 2022, jumlah kabupaten
yang terkena dampak PMK tanggal 6 Mei 2022 sebanyak lima kabupaten melonjak
menjadi 62 kabupaten/kota di tanggal 20 Mei 2022. Populasi sapi dan kerbau yang
terdampak di tangga 6 Mei 2022 sebanyak 2.477 ekor menjadi 4,63 juta ekor dalam
kurun waktu dua minggu. Ternak yang mati pun melonjak dari 49 ekor menjadi 133 ekor
(Firman et al.,2022).
5
penyakit penting yang
menginfeksi
hewan sapi, kambing, domba
dan babi serta beberapa jenis
hewan liar. Penyakit ini penting
secara ekonomi karena selain
mengakibatkan angka mortalitas
yang tinggi pada hewan muda,
penurunan produksi susu
maupun bahan asal hewan
lainnya serta dapat
mengakibatkan
pembatasan perdagangan
internasional bagi negara
6
yang terinfeksi PMK. Selain
dampak
langsung dari penurunan
produksi peternkan dan
pembatasan perdagangan
internasional,
wabah PMK juga memberikan
dampak yang serius bagi aspek
sosial ekonomi dan industri
pariwisata.
Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) adalah salah satu
penyakit penting yang
menginfeksi
7
hewan sapi, kambing, domba
dan babi serta beberapa jenis
hewan liar. Penyakit ini penting
secara ekonomi karena selain
mengakibatkan angka mortalitas
yang tinggi pada hewan muda,
penurunan produksi susu
maupun bahan asal hewan
lainnya serta dapat
mengakibatkan
pembatasan perdagangan
internasional bagi negara
yang terinfeksi PMK. Selain
dampak
8
langsung dari penurunan
produksi peternkan dan
pembatasan perdagangan
internasional,
wabah PMK juga memberikan
dampak yang serius bagi aspek
sosial ekonomi dan industri
pariwisata.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Pangan Kota Denpasar dalam kurun
waktu lima tahun terakhir dan besarnya masalah produksi dab ekonomi yang diakibatkan
oleh PMK, oleh karena itu dilakukan analisis terhadap kejadian penyakit PMK pada
hewan ternak khususnya sapi sebagai upaya melindungi dan memperbaiki kesehatan
manusia melalui kesehatan hewan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana Perkembangan kasus penyakit PMK pada sapi bali di kota Denpasar
pada tahun 2018 -2022?
2. Bagaimana prevalensi kasus penyakit PMK pada sapi Bali di kota Denpasar pada
tahun 2018-2022?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Untuk Perkembangan kasus penyakit PMK pada sapi bali di kota Denpasar pada
tahun 2018 -2022.
9
2. Untuk prevalensi kasus penyakit PMK pada sapi Bali di kota Denpasar pada tahun
2018-2022.
10
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan PMKini memiliki manfaat yang terbagi menjadi dua, yakni manfaat
teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah agar pembaca khususnya mahasiswa
kedokteran hewan dapat mengetahui kejadian penyakit PMK pada sapi Bali di
kota Denpasar berdasarkan data yang didapat dari Dinas Pertanian dan Pangan
Kota Denpasar.
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu
penugasan koasistensi PPDH di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner
dan Epidemiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
11
TINJAUAN PUSTAKA
12
(Sumber : Peta tematik Indonesia)
2.2 Sapi Bali
Sapi Bali dikembangkan, dimanfaatkan dan dilestarikan sebagai sumberdaya
ternak asli yang mempunyai ciri khas tertentu dan mempunyai kemampuan untuk
berkembang dengan baik pada berbagai lingkungan yang ada di Indonesia. Sapi bali juga
memiliki performa produksi yang cukup bervariasi dan kemampuan reproduksi yang
tetap tinggi. Sehingga, sumberdaya genetik sapi Bali merupakan salah satu aset nasional
yang merupakan plasma nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya dan
dimanfaatkan secara lestari sebab memiliki keunggulan yang spesifik. Sapi Bali juga
telah masuk dalam aset dunia yang tercatat dalam list FAO sebagai salah satu bangsa
sapi yang ada di dunia (DGLS, 2003). Sapi bali merupakan salah satu plasma nutfah
Indonesia yang menghasilkan daging dengan kualitas terbaik dibandingkan sapi lokal
lainnya (Oka et al., 2012;Utomo et al., 2017) Populasi sapi Bali di Indonesia tercatat
sebanyak 4.789.521 ekor atau sebesar 32% dari total populasi sapi potong sebesar
14.824.373 yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia (Ditjennak, 2011). Populasi sapi
Bali tersebut tersebar dibeberapa daerah seperti Bali sebanyak 668.000 ekor, NTB
sebanyak 492.000 ekor, NTT sebanyak 505.000 ekor, Sulawesi Selatan sebanyak 709.000
ekor, Sumatra Selatan sebanyak 271.000 ekor, dan sisanya tersebar di daerah lain.
Populasi yang tinggi dan menyebar diseluruh daerah di Indonesia juga menjadi bukti
bahwa sapi Bali mampu beradaptasi dengan baik dan cocok untuk dipelihara dan
dikembangkan oleh peternak sebagai sumber pangan nasional (Hikmawaty et al., 2014).
Menurut Williamson dan Payne (1993) sapi bali mempunyai klasifikasi
taksonomi sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Sub kelas : Theria
Infra kelas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Infra ordo : Pecora
13
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Spesies : Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
(a) (b)
Gambar 2.2 Sapi Bali Betina (a) dan Jantan (b)
Sapi Bali merupakan penghasil daging utama untuk ruminansia besar di
Indonesia. Berat sapi jantan dewasa sekitar 400 kg, lingkar dada sekitar 192 cm, tinggi
gumba sekitar 127 cm, dan panjang tubuh sekitar 140 cm. Berat sapi betina dewasa
sekitar 260 kg dengan lingkar dada sekitar 165 cm, tinggi gumba sekitar 114 cm, dan
panjang badan sekitar 260 cm (Pane, 1986). Selain kekhasan dari fenotipenya, sapi Bali
juga memiliki keunggulan terutama produktivitas yang cukup tinggi. Keunggulan
produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot
lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas
(persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin,
umur pubertas, jarak kelahiran (calving interval), dan persentase kelahiran. Beberapa sifat
produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat
dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).
14
Tahun 2014. Serangan penyakit pada suatu populasi ternak dapat terjadi, salah satu
penyebabnya adalah akibat rendahnya status kekebalan dan tidak protektif pada ternak,
akibat ternak stress, keberadaan hewan reservoir/karier, atau masuknya hewan baru ke
dalam suatu populasi endemik penyakit tertentu (Suhardono, 2005). Penggolongan PHM
strategis didasarkan pada tiga kriteria. Pertama, secara ekonomis penyakit tersebut dapat
mengganggu produksi dan reproduksi ternak (secara signifikan) dan mengakibatkan
gangguan perdagangan. Kedua, secara politis penyakit itu dapat menimbulkan keresahan
pada masyarakat, umumnya dari kelompok penyakit zoonosis. Ketiga, secara strategis
penyakit ini dapat mengakibatkan mortalitas yang tinggi, dan penularannya relatif cepat,
sehingga perlu pengaturan lalu lintas ternak atau produknya secara ketat (Adji dan Sani,
2005).
Tabel 2.1 DaftarPenyakit Hewan Strategis (PHMS) di Indonesia
15
13. Infectious Bovine Menyerang sapi & kerbau
Rhinotracheitis
14. Bovine Tuberculosis Menyerang sapi, ternak liar, & manusia
15. Leptospirosis Menyerang hewan & manusia
16. Brucellosis (Brucella suis) Menyerang bai & manusia
17. Penyakit Jembrana Menyerang sapi bali
18. Surra Menyerang semua hewan
19. Paratuberculosis Menyerang semua hewan & manusia
20. Toxoplasmosis Menyerang semua hewan
21. Classical Swine Fever (Hog Menyerang babi
Cholera)
22. Swine Influenza Novel (H1N1) Menyerang manusia
23. Campylobacteriosis Menyerang semua hewan
24. Cysticercosis Menyerang sapi, babi, & manusia
25. Q Fever Menyerang ruminansia
Sumber : Dikesrawan, 2012
2.4 Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit akut yang sangat menular.
Penyakit ini disebabkan oleh virus PMK famili Pocornaviridae dan genus Apthovirus.
(Arst et al., 2011). Virus PMK merupakan virus berukuran kecil dan tidak mempunyai
amplop, memiliki penyandi untuk empat protein struktural dan sepuluh protein non
struktural. Penyakit mulut dan kuku ini menyerang hewan pemamah biak atau ruminansia
dan babi peliharaan, hewan berkuku belah, serta ruminansia liar. Hal ini sangat
memengaruhi produksi ternak dan menyebabkan terganggunya perdagangan hewan dan
produknya di tingkat regional dan internasional. Strategi global untuk pengendalian
PMK disahkan pada tahun 2012, bertujuan untuk menekan beban PMK di dalam
rangkaian endemik dan mempertahankan status bebas PMK di negara-negara bebas PMK
(OIE, 2018).
2.3.1 Etiologi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Aphthae epizooticae, Foot and mouth
disease (FMD) adalah salah satu penyakit eksotis di indonesia (Kementrian
Pertanian 2013). Penyakit ini disebabkan oleh picorna virus dari genus
Aphthovirus yang merupakan virus yang tersebar di sebagian besar belahan dunia,
16
seringkali menular pada ruminansia berkaki belah (Quinn et al., 2002). Penyakit
mulut dan kuku adalah penyakit ternak yang harus dilaporkan ke otoritas veteriner
terdekat karena sifat penyebarannya yang lintas batas dan tingkat penularan yang
tinggi.
Ada tujuh serotipe yang dapat menyebabkan PMK, Serotipe O dan A
memiliki distribusi terluas karena telah menginfeksi ternak di Afrika, Asia, dan
Amerika Selatan. Jenis SAT-1, 2 dan 3 saat ini hanya ditemukan di Afrika dan
serotipe Asia-1 untuk Asia. Semua jenis serotipe virus PMK memiliki kapasitas
untuk menyerang daerah bebas dan secara berkala SAT menyebar ke Timur
Tengah dan Asia-1 menyebar ke Eurasia bagian Barat dan Timur. Di India,
sebagian besar wabah PMK disebabkan oleh serotipe O diikuti oleh serotipe A
dan serotipe Asia-1 (Verma et al., 2008). Virus dapat diinaktifasi dengan
peningkatan suhu, pH yang asam dan basa serta pemberian desinfektan.
2.3.2 Patogenesis
18
Gejala klinis PMK cukup bervariasi antar spesies. Masa inkubasi dari virus
PMK berkisar antara 1-14 hari. Secara umum, gejala klinis pada hewan yang
terjangkit PMK adalah keluar air liur berlebih, demam lebih dari 40⁰C selama
beberapa hari, anoreksia, lesi-lesi pada lubang hidung, moncong, pipi, gusi dan
lidah serta bagian dalam bibir (Adjid, 2020). Gejala lain adalah lesi pada area
kuku, beberapa kasus lesi juga terdapat pada puting susu (Dirkeswan, 2022). Lesi
yang ditemukan pada setiap spesies berupa vesikula atau lepuhan pada lidah,
gusi, pipi, palatum durum, palatum mole, bibir, lubang hidung, moncong,
ambing (OIE, 2013). Hipersalivasi merupakan gejala klinis yang paling tampak
karena peradangan yang dipicu oleh virus yang masuk melalui mulut dan hidung
untuk selanjutnya berkembanbiak dan memperbanyak diri pada sel-sel epitel
mulut. OIE (2022) menyatakan gejala yang umum terjadi pada sapi yang
terjangkit PMK adalah produksi air liur berlebihan (hipersaliva) yang disertai
dengan adanya busa
7.3.2 Diagnosa
Diagnosis PMK dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis dan uji
laboratorium berupa RT-PCR, ELISA dan deteksi antibody terhadap Non
Structured Protein (NSP). Specimen yang diperlukan untuk mendeteksi virus
yaitu cairan dari lepuh, sel epitel pada lepuh atau dapat mengambil cairan dari
orofaring dan darah, jika hewan sudah mati dapat di ambil jaringan limfoglandula,
thyroid, ginjal, limfa serta jantung (jamal et al., 2013).
7.3.3 Penanganan dan pengendalian
Penanganan dan pengendalian PMK pada ternak sapi dilakukan pengobatan
dan karantina hewan sakit, program vaksinasi, tindakan biosekuriti dalam
peternakan, pengawasan lalu lintas ternak dan pelaksanaan suiveilans (Basuki et
al., 2020). Sapi yang mengalami PMK di diberikan terapi yaitu kombinasi
antibiotik, antipiretik, vitamin, antiinflamasi non steroid, premix pakan dan
penyemprotan desinfektan secara rutin. Pengobatan khusus kasus PMK belum
diketahui, namun dapat di berikan pengobatan untuk mengurangi gejala klinis dan
mencegah infeksi sekunder seperti antipiretik, antibiotik dan vitamin (Kementan,
2022). Desinfektan yang digunakan adalah desinfektan yang mengandung zat
aktif yang diajurkan seperti citric acid, sodium hypochloride 3%, sodium
19
carbonate 4%, sodium hydroxide 2%, dan acetic acid 2%. Zat-zat aktif tersebut
berperan dalam membunuh virus dan dekontaminasi lingkungan. Vaksinasi
hanya dilakukan pada ternak sapi yang sehat, dan sudah bisa diberikan pada pedet
sejak umur dua minggu. Vaksinasi akan menginduksi imunitas atau kekebalan
dalam tubuh sapi terhadap virus PMK, sehingga dapat mencegah penyebaran
penyakit. Program vaksinasi masal dan serempak sangat diharapkan oleh
peternak untuk melindungi aset ternaknya dan mengurangi dampak kerugian
ekonomi akibat penyebaran PMK (Arzt et al., 2017).
20
BAB III
21
BAB IV
4.1 Hasil
Data jumlah populasi sapi Bali dan kejadian penyakit mulut dan kuku sapi bali di
kota Denpasar dari tahun 2018 - 2022 berdasarkan hasil data dari dinas Pertanian dan
Pangan Kota Denpasar disajikan dalam Tabel 4.1
Tabel 4.1 Data populasi, jumlah kasus, prevalensi dan morbiditas kasus penyakit mulut
dan kuku pada sapi bali di kota Denpasar pada tahun 2018 hingga 2022.
Gambar 4.1 Diagram data jumlah populasi dan jumlah kasus PMK pada sapi Bali di
Kota Denpasar tahun 2018-2022
22
Data Jumlah Populasi dan Jumlah Kasus PMK pada
Prevalensi
Sapi Bali di dan
KotaMorbiditas PMK
Denpasar tahun di Kota
2018-2022
Denpasar Tahun 2018-2022
70
70
60
60
50
50 Populasi
prevalensi
40 Kasus
morbiditas
40
30Axis Title 30
20 20
10 10
0 0
2018 2018 2019 2019 2020
2020 2021
2021 20222022
Gambar 4.2 Grafik Prevalesi dan Morbiditas PMK pada sapi Bali di Kota Denpasar
tahun 2018-2022
23
4.2 Pembahasan
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit akut yang sangat menular.
Penyakit ini disebabkan oleh virus PMK famili Picornaviridae dan genus Apthovirus.
Hewan yang terserang PMK ditandai dengan anoreksia, demam, hipersaliva, serta erupsi
vesikular di mulut, puting susu, dan kaki (Quinn et al., 2012). Berdasarkan data kejadian
penyakit mulut dan kuku di Kota Denpasar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang
didapatkan dari Dinas Pertanian dan Pangan Kota Denpasar meningkat pada tahun 2022
dengan prevalensi kejadian 2,35% dan morbiditas 23,5. Penularan penyakit PMK pada
suatu daerah tersebut terjadi sangat cepat dengan tingkat morbiditas yang tinggi hampir
mencapai 100% (Sudarsono, 2022). Penyebaran penyakit PMK pada hewan ternak
menimbulkan dampak kerugian yang cukup signifikan besar tidak hanya dari segi
kesehatan ternak namun juga dari segi ekonomi bagi petani-peternak. Penurunan
produksi dan terhambatnya penjualan hewan serta produk turunannya merupakan salah
satu contoh kasus kerugian secara ekonomi yang banyak dialami oleh petani-peternak
(Tawaf, 2017). Penyebaran virus PMK sangat cepat karena penularan PMK melalui angin
dari satu tempat ke tempat lainnya yang berjauhan, sebab virus dapat ditularkan melalui
angin yang tenang sejauh 2 – 3 mil, bahkan dalam keadaan angin yang kuat virus dapat
ditularkan dalam jarak lebih dari 10 mil, dan infeksi virus masih bisa terjadi setelah bibit
penyakit tersebut berada 14 hari di udara (Syamsudin, 2001).
24
biosekuriti dan di tambah penyebaran penyakit PMK yang sangat cepat menyebabkan
peningkatan kejadian PMK. Setiap tipe virus PMK masih terbagi lagi menjadi beberapa
sub tipe dan galur. Sejauh ini di Indonesia hanya ada satu tipe virus PMK, yaitu virus
tipe O yang menyerang mulut dan kuku. Penularan virus PMK dari hewan sakit ke
hewan peka lainnya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara
langsung terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan sakit, kontak dengan
saliva dan atau leleran hidung, ataupun kontak dengan hewan karier. Sedangkan
penularan secara tidak langsung terjadi karena kontak dengan bahan atau alat yang
terkontaminasi virus PMK, seperti alat transportasi, petugas, pakan ternak, produk ternak,
dan feses dari hewan sakit (Jamal et al., 2013). Penyakit PMK sendiri tidak termasuk
zoonosis atau tidak dapat menular kepada manusia.
25
menyebar jauh, terutama di permukaan tanah. Dalam iklim yang sangat dingin,
kelangsungan hidup virus PMK hingga enam bulan. Stabilitas virus PMK meningkat
pada suhu yang lebih rendah; dalam media kultur sel pada 4°C, virus ini dapat bertahan
hingga satu tahun. Virus PMK sensitif terhadap pH, dan tidak aktif pada pH di bawah 6,0
atau di atas 9,0. Virus ini dapat bertahan dalam daging dan produk hewani lainnya ketika
pH tetap di atas 6,0, tetapi menjadi tidak aktif dengan pengasaman otot selama rigor
mortis dan karena pengasaman tidak terjadi di tulang dan kelenjar, maka virus PMK
dapat bertahan di jaringan ini. Dilihat dari umur, hewan dewasa (23,6%) lebih banyak
terjangkit PMK daripada hewan muda (10,1%). Hal ini terjadi karena hewan dewasa
lebih lama terpapar saat berada di peternakan dan di pasar hewan dibanding dengan
hewan muda, sehingga hewan dewasa diperkirakan memiliki antibodi dari berbagai
serotipe PMK. Pada hewan muda, peternak lebih menjaga kondisi hewan sehingga sedikit
mengalami paparan.
26
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan data kejadian penyakit mulut dan kuku di Kota Denpasar dalam 5
tahun terakhir, kasus penyakit mulut dan kuku meningkat di Kota Denpasar pada tahun
2022 dengan prevalensi 2,35% dan morbiditas 23,5. Virus PMK dapat masuk ke dalam
tubuh melalui inhalasi atau menelan serta melalui lecetan pada kulit dan selaput lendir.
Pencegahan penularan penyakit mulut dan kuku dapat dilakukan dengan
penerapan biosekuriti, vaksinasi dan sanitasi.
1.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pemerataan pemberian vaksin penyakit mulut
dan kuku pada ternak. Penerapan biosekuriti dan sanitasi dalam upaya mencegah
penyakit mulut dan kuku, dan juga penyakit lainnya.
27
DAFTAR PUSATAKA
Adji RMA, Sani Y. 2005. Ketersediaan Teknologi Veteriner dalam Pengendalian Penyakit
Strategis Ruminansia Besar. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner.
Adjid, R. M. A. 2020. Penyakit Mulut dan Kuku Penyakit Hewan Eksotik yang Harus
Diwaspadai Masuk ke Indonesia. Wartazoa. 30(2): 61 – 70.
Arzt J, Pacheco J. M, Rodriguez L. L. 2010. The Early Pathogenesis of Foot and Mouth Disease
in Cattle after Aerosol Inoculation; Identifiction of the Nasopharynx as the Primary Site of
Infection. Vet Path. 47; 1048-1063.
Arzt J, Pacheco J. M, Stenfeldt C, Rodriguez L. L. 2017. Pathogenesis of virulent and attenuated
foot-andmouth disease virus in cattle. Virology Journal, 14(1), 89.
Basuki R. S, Isnaini M. F, Rozi P. B, Saptarini. 2020 . Penyidikan Kasus Penyakit pada Sapi
Suspect PMK di Kabupaten Pamekasan Tahun 2019.
Brooksby JB. 1982. Portrait of viruses: foot-and-mouth disease virus. Intervirology 18(1–2):
1–23.
DGLS. 2003. National Report on Animal Genetic Resources Indonesia. Directorate Generale of
Livestock Services (DGLS), Directorate of Livestock Breeding. Indonesia.
Handiwirawan E. Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi bali.
Lokakarya Nasional Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 50-60.
Hartnett E, Adkin A, Seaman M, Cooper J, Watson E, Coburn H, England T, Marooney C,
Anthony C, Wooldridge M. 2007. A quantitative assessment of the risk from illegally imported
meat contaminated with foot and mouth disease virus to Great Britain. Risk. Analysis.
27(1):187-202.
Jamal S. M, Belsham G. J. 2013 . Foot-and-mouth disease: Past, present and future. Veterinary
Research. 44(1): 116.
Jamal S. M, Belsham G. J. 2013. Foot-and-mouth disease: past, present and future.
Veterinary research. 44(1): 1-14.
Kementerian Pertanian RI. 2013. Keputusan Menteri Pertanian Nomor
4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, Jakarta:
Kementerian Pertanian RI.
Kementrian Pertanian. 2022. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Hewan Ruminansia.
[Diakses 2022 Oktober 31]. Tersedia pada http://cybex.pertanian.go.id/99197/Penyakit-Mulut
dan-Kuku-PMK-PadaHewan-Ternak-Ruminansi/
Kendran A. A. S, Damriyasa I. M, Dharmawan N. S. Ardana I. B. K, Anggraeni L. D. 2012.
Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Jurnal VeterinerVol. 13 No. 4: 410-415.
28
Kendran A. A. S, Pemayun T. G. O. 2020. Profil Hematologi Sapi Bali pada Perioda
Kebuntingan di Sentra Pembibitan Sobangan Badung, Bali.Buletin Veteriner Udayana. 12(2):
161-166.
Leestyawati N.W. 2022. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
https://distanpangan.baliprov.go.id/penyakit-mulut-dan-kuku-pmk/. (Diakses pada tanggal 27
April 2023
Office des Internationale Epizootis. 2022. Official Disease Status. [Diakses 2022 Oktober 30].
Tersedia pada http://www.woah.org/en/document/foot_and_mouth_disease/
Office International des Epizooties. 2013. Foot and Mouth Disease, http://rrasia.oie.int/disease-
info/foot-and-mouth-disease (diakses 21 November 2018).
Office International des Epizooties. 2018. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for
Terrestrial Animals 8th Edition. https://www. oie.int/standard-setting/terrestrial-manual/.
[Diakses pada 24 Agustus 2022].
Oka I. G. L, Suyadnya I. P, Putra S, Suarna I. M, Suparta N, Saka I. K., Suwiti N. K, Antara
I. M, Puja I. N, Sukanata I. W, Oka A. A, Mudita I. M. 2012. Sapi Bali Sumberdaya Genetik Asli
Indonesia. Denpasar, UdayanaUniversity Press. 351 Hlm.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia. Jakarta.
Quinn P. J, Markey B. K, Carter M. E, Leonard F. C. 2002. Veterinary Microbiology and
Microbial disease. USA, Black well publisher. Hlm. 405.
Silitonga R. J. 2017. Ancaman Masuknya Virus Penyakit Mulut dan Kuku Melalui Daging Ilegal
di Entikong, Perbatasan Darat Indonesia dan Malaysia. Jurnal Sain Veteriner. 34(2): 147–154.
Stenfeld C, Segundo F. D, Santo T, Rodrigues L. L, Artz J. 2016. The Pathogenesis of Foot and
Mouth Disease in Pigs. Frontiers in Veterinary Sciencw. 3: 1-12.
Sudarsono, R.P.E. 2022. Kajian Epidemiologi Kejadian Diduga PMK di Kabupaten Lamongan.
Journal of Basic Medical Vet. 11(1): 56 – 63.
Suhardono. 2005. Penyakit dan Upaya Penanggulangannya untuk Menekan Kematian Ternak
Kerbau. Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak
Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan dan Pusat Bioteknologi LIPI.
Syamsudin, T. 2001. Ancaman Masuknya Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia dan Dampak
Kerugian Ekonomi yang Ditimbulkannya. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tawaf R. 2017. Dampak Sosial Ekonomi Epidemi Penyakit Mulut dan Kuku terhadap
Pembangunan Peternakan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik
Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. 1535-1547.
Utomo T.U, Suarsana I. N, Suartini I. G. A. A. 2017. Karakteristik Protein Plasma Sapi Bali.
Jurnal Veteriner. 18(2): 232-238.
29
Verma A. K, Pal B. C, Singh C. P, Jain U, Yadav S. K, Mahima. 2008. Studies of the outbreaks
of foot-and-mouth disease in Uttar Pradesh, India, between 2000 and 2006. Asian Journal
of Epidemiology 1(2): 40–46.
Williamson, G, Payne W. J. A. 1993 Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga
(Terjemahan) Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
30