Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEGITIMASI DAN KOMUNIKASI


KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Disusun Oleh :

1. Nuryani NIM: 20226013069


2. Yulianti NIM: 20226013139

Dosen Pengampu:
Dr. Pahlawan M.A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Makalah dengan judul Legitimasi dan Komunikasi Kebijakan Pendidikan ini

disusun untuk memenuhi tugas pembuatan makalah mata kuliah Analisis Kebijakan

Pendidikan. Makalah ini dimulai dengan memberikan gambaran umum tentang pentingnya

legitimasi dan komunikasi kebijakan pendidikan. Kemudian, pada bagian pembahasan

dipaparkan lebih mendalam tentang pengertian legitimasi dan komunikasi, proses legitimasi

dan komunikasi kebijakan pendidikan, urgensi dan manfaat legitimasi, permasalahan

komunikasi kebijakan pendidikan, dan contoh kasus komunikasi kebijakan pendidikan.

Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi, bahan kajian dan

pengantar untuk melaksanakan legitimasi dan komunikasi kebijakan pendidikan. Umpan

balik yang bersifat konstruktif akan membantu kami untuk melakukan perbaikan yang

berkelanjutan.

Palembang, 10 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Legitimasi Kebijakan Pendidikan ....................................... 3
B. Urgensi dan Manfaat Legitimasi Kebijakan Pendidikan........................ 4
C. Proses Legitimasi Kebijakan Pendidikan ............................................. 4
D. Pengertian Komunikasi Kebijakan Pendidikan ..................................... 5
E. Proses Komunikasi Kebijakan Pendidikan ........................................... 6
F. Permasalahan Komunikasi Kebijakan Pendidikan ............................... 7
G. Contoh Kasus Komunikasi Kebijakan Pendidikan ................................ 8

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan............................................................................................10
B. Saran.....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... .11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu cita-cita bangsa terhadap pendidikan di Indonesia adalah
tercapainya pemerataan mutu dan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, kebijakan
pendidikan menjadi hal penting dalam suatu sistem pendidikan yang tentunya terlebih
dahulu melewati tahap-tahap mulai dari perumusan masalah pendidikan, formulasi
perencanaan, tujuan, langkah-langkah, dan prosedur dalam mencapai tujuan,
perumusan kebijakan, pengambilan keputusan kebijakan (regulasi), sosialisasi
kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan guna mencapai tujuan dan cita-cita
pendidikan. Dari tahapan tersebut terlihat bahwa setelah kebijakan pendidikan berhasil
diformulasikan dan sebelum kebijakan dimplementasikan diperlukan adanya
pengakuan atau pengesahan agar kebijakan yang dilaksanakan memiliki legalitas
resmi. Istilah tersebut dikenal sebagai legitimasi. Legitimasi adalah berarti suatu
proses spesifik di mana suatu kebijakan diotorisasikan atau diabsahkan (Hasbullah,
2015).
Setelah dilegitimasi, kebijakan pendidikan perlu dikomunikasikan kepada
masyarakat. Komunikasi kebijakan pendidikan sendiri merupakan sebuah proses
sosialisasi atau penyampaian ide, gagasan, atau informasi mengenai rumusan
kebijakan pendidikan yang telah selesai dilegitimasi agar para penerima informasi
dapat memahami lebih dalam terkait rumusan kebijakan pendidikan dan menghindari
kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat terkait kebijakan pendidikan. Berdasarkan
penjelasan di atas dapat ditekankan bahwa legitimasi dan komunikasi kebijakan
pendidikan mempunyai peranan penting agar tujuan dirumuskannya kebijakan
pendidikan dapat tercapai secara maksimal. Oleh sebab itu, makalah ini membahas
tentang legitimasi dan komunikasi kebijakan pendidikan, urgensi dan manfaat
legitimasi, proses legitimasi dan komunikasi, permasalahan komunikasi kebijakan
pendidikan, dan contoh kasus komunikasi kebijakan pendidikan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari legitimasi kebijakan pendidikan?
2. Apa urgensi dan manfaat dari legitimasi kebijakan pendidikan?
3. Bagaimana proses legitimasi kebijakan pendidikan?
4. Apakah pengertian dari komunikasi kebijakan pendidikan?
5. Bagaimana proses komunikasi kebijakan pendidikan?
6. Apa saja permasalahan pada komunikasi kebijakan pendidikan?
7. Apa saja contoh kasus komunikasi kebijakan pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Untuk memberikan informasi dan pemahaman tentang:
1. Pengertian legitimasi kebijakan pendidikan.
2. Urgensi dan manfaat dari legitimasi kebijakan pendidikan.
3. Proses legitimasi kebijakan pendidikan.
4. Pengertian komunikasi kebijakan pendidikan.
5. Proses komunikasi kebijakan pendidikan.
6. Permasalahan pada komunikasi kebijakan pendidikan.
7. Contoh kasus komunikasi kebijakan pendidikan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. LEGITIMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


A. Pengertian Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Istilah legitimasi berasal dari bahasa latin lex yang mengandung arti “hukum”.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keterangan
atau pernyataan yang sah menurut undang-undang (Hapsari dkk, 2022). Menurut Madjid
(2018) legitimasi berasal dari kata “legitimacy” yang berarti memberi kuasa dan
kewenangan (otorisasi) pada dasar bekerjanya sistem politik, proses penyusunan
perencanaan, usul untuk memecahkan problema-problema yang tumbuh di masyarakat.
Selain itu, legitimasi juga berasal dari kata “legitimation” yang berarti suatu proses
spesifik di mana program-program pemerintah diotorisasikan atau diabsahkan (Hasbullah,
2015).
Berdasarkan pengertian tersebut, terkandung dua makna. Pertama, menyangkut
pemberian kewenangan untuk memberikan usulan atau suatu kegiatan (legitimacy).
Kedua, menyangkut pemberian kewenangan untuk melaksanakan program-program
yang diusulkan (legitimation). Dari kedua makna tersebut dapat dipahami bahwa
legitimacy memberikan kewenangan untuk usul, dan legitimation memberikan
kewenangan untuk melaksanakan, sehingga legitimacy dilakukan terlebih dahulu
kemudian legitimation (Imron dalam Madjid, 2018). Menurut Dedurro dalam Roihanah dkk
(2022) titik legitimasi adalah pengembangan kebijakan yang sah dan final. Kaitannya
dengan kebijakan pendidikan, menurut Hapsari dkk (2022) legitimasi merupakan satu dari
sekian proses pengadaan kebijakan di bidang pendidikan. Legitimasi kebijakan pendidikan
merupakan proses dimana suatu kebijakan disahkan sehingga dapat dipertanggung
jawabkan secara yuridis dan dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait baik dari tingkat
pusat, daerah, hingga pada unit-unit lembaga pendidikan dengan berbagai tingkatan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa legitimasi kebijakan


pendidikan adalah salah satu tahapan yang dilakukan setelah perumusan kebijakan dan
sebelum implementasi kebijakan pendidikan yang menyangkut pemberian kewenangan
untuk memberikan usulan kebijakan dan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan yang
disahkan secara hukum.

3
B. Urgensi dan Manfaat Legitimasi Kebijakan Pendidikan

Legitimasi merupakan gerbang awal pelaksanaan kebijakan baru. Dengan


selesainya tahap legitimasi maka suatu kebijakan dinilai mampu dan pantas dilaksanakan
dalam spektrum yang luas. Oleh karena itu, tahapan legitimasi menjadi bagian yang
sangat penting dan memerlukan perhatian lebih. Berikut urgensi legitimasi kebijakan
pendidikan ditinjau dari manfaatnya (Hapsari, dkk, 2022):

1. Legitimasi menghantarkan pada otorisasi (Sudrajat, n.d.). Jika ditinjau dari ranah
pendidikan, maka manfaat dari legitimasi yang pertama adalah memberi kuasa atau
kewenangan bagi para pemimpin dan praktisi pendidikan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pendidikan yang berpegang pada suatu kebijakan berlaku.

2. Menghadirkan kestabilan politik dan perubahan sosial. Dengan terlegitimasinya suatu


kebijakan baru, tentu kebijakan tersebut dinilai mampu menjawab persoalan yang ada.
Keabsahan kebijakan yang telah dijamin tersebut memberikan kontrol sosial sehingga
gejolak perubahan dapat diminimalisir.

3. Mengatasi masalah lebih cepat. Legitimasi menjembatani proses pengendalian


masalah melalui pengesahan kebijakan baru secara sistematis dan tepat guna,
sehingga kebijakan baru tersebut dapat segera diimplementasikan secara legal guna
mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Tanpa adanya legitimasi, maka kebijakan
baru tidak dapat diimplementasikan dengan bijaksana, pasalnya kebijakan tersebut
belum memiliki pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat yang diwakilkan pada
pihak yang berwajib.

C. Proses Legitimasi Kebijakan Pendidikan


Madjid (2018) menjelaskan proses legitimasi kebijakan pendidikan adalah sebagai
berikut:
 Suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan dimintakan pendapat secara
langsung kepada rakyat, dan rakyat diminta memberi dukungan. Akan tetapi,
terkadang perumus kebijakan meminta dukungan secara langsung kepada
tokoh-tokoh ahli dan tokoh non-formal atau tokoh kunci di masyarakat dari
berbagi lini sektor dan bidang. Hal ini dimaksudkan agar tokoh non-formal atau
tokoh kunci itulah yang akan mencari dukungan kepada massa atau rakyat.
 Musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat diupayakan mencapai
kemufakatan sehingga dalam permusyawaratan tidak ada kelompok mayoritas
ataupun minoritas. Upaya yang dilakukan untuk mencapai kemufakatan dalam
proses legitimasi ini antara lain saling mengadakan negosiasi. Di Indonesia, jika

4
tidak mungkin mencapai kesepakatan, maka voting dengan menggunakan
suara terbanyak dianggap sebagai jalan terakhir.

2. KOMUNIKASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Komunikasi Kebijakan Pendidikan

Secara bahasa, kata komunikasi atau comunication dalam bahasa inggris


berasal dari bahasa latin communis yang berarti „sama‟, comunico, communicatio atau
communicare yang berarti „membuat sama‟ (to make common). Istilah pertama
(communis) adalah istilah yang paling sering sebagai asal usul komunikasi, yang
merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Menurut Mulyana dalam Madjid
(2018) komunikasi memberikan saran bahwasannya suatu pikiran, makna, atau pesan
dianut secara sama antara komunikator dan komunikan.

Dalam kebijakan pendidikan, komunikator disini adalah aktor perumusan kebijakan


pendidikan, sedangkan yang menjadi komunikannya adalah masyarakat dan para
pelaksana kebijakan pendidikan beserta perangkat-perangkatnya. Bahan yang
dikomunikasikan adalah rumusan kebijakan yang meliputi konsider, isi, dan
penjelasannya. Kemudian, pelaksana kebijakan dan perangkatnya mengkomunikasikan
lagi kebijakan Pendidikan tersebut kepada masyarakat. Setelah itu, rumusan kebijakan
Pendidikan ini akan dikomunikasi lagi oleh masyarakat dengan masyarakat lainnya
sehingga rumusan kebijakan tersebut masuk menjadi bagian dari masyarakat (Madjid,
2018). Sedangkan menurut Rusdiana (2021) komunikasi kebijakan pendidikan adalah
sesuatu yang penting untuk dilakukan agar komunikan mampu memahami lebih dalam
terkait rumusan kebijakan pendidikan dan kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat
dapat terluruskan, serta masyarakat mulai memahami rumusan kebijakan pendidikan
yang ditetapkan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi kebijakan


pendidikan merupakan sebuah proses penyampaian ide, gagasan, pesan atau informasi
mengenai rumusan kebijakan pendidikan yang telah selesai dilegitimasi agar kebijakan
tersebut dapat dipahami dengan jelas dan diterima oleh masyarakat.

5
B. Proses komunikasi

Pada tahun 1980 Edward III menyebutkan bahwa dalam proses komunikasi
kebijakan diperlukan tiga hal yaitu transmisi atau penyampaian (transmission) berjalan
dengan baik, kejelasan (clarity) yaitu kejelasan kebijakan dan rencana atau tahap-
tahapan kebijakan, oleh siapa, bagaimana, di mana, mengapa kebijakan itu perlu
diimplementasikan, dan konsistensi (consistency) yaitu komunikasi implementasi
kebijakan yang terus menerus dilakukan sampai tujuan implementasi dapat dicapai.
Sama halnya dengan kebijakan pendidikan, ketiga hasil komunikasi kebijakan tersebut
dalam kerangka implementasi kebijakan pendidikan memberikan pengaruh besar
terhadap efektivitas implementasi kebijakan pendidikan.

1. Transmisi (Transmission)
Dalam penyampaian atau transmisi dipengaruhi oleh beberasa unsur utama
yaitu: (1) komunikator (communicator) yang harus memiliki kemampuan komunikasi,
keterampilan mempengaruhi orang lain, memahami rumusan substansi kebijakan
sebagai materi yang akan dikomunikasikan, serta kepercayaan diri yang tinggi. (2)
penerima (receiver), media (transmitter-channel) yang digunakan dalam komunikasi
kebijakan, serta hambatan komunikasi (noise).

2. Kejelasan (clarity)
Dalam proses komunikasi, informasi kebijakan yang disampaikan harus jelas
agar dapat diterima oleh komunikan dengan baik dan jelas. Informasi yang tidak jelas
biasanya karena informasi tersebut masih bersifat umum, global dan belum
menguraikan rincian langkah dari implementasi kebijakan. Akibatnya pengambilan
keputusan oleh implementator juga akan bersifat umum dan global, sehingga
implementasinya menjadi tidak benar.

3. Konsistensi (consistency)

Konsistensi komunikasi dalam rangka implementasi kebijakan sangat penting,


untuk memelihara persepsi, memantapkan arah implementasi serta mempertahankan
sikap implementator terhadap kebijakan, sehingga sampai pada pencapaian kinerja
kebijakan yang diharapkan. Yang dimaksud dengan konsistensi disini adalah adanya
kesinambungan, kesesuaian, dan keselarasan mengenai informasi yang
disampaikan, baik dalam tatanan waktu maupun tatanan orang-orang yang
menyampaikan.

6
C. Permasalahan Komunikasi Kebijakan Pendidikan
Menurut Madjid (2018) permasalahan komunikasi kebijakan pendidikan disebabkan oleh
tiga sumber permasalahan, yaitu:

1. Permasalahan bersumber dari komunikator.


 Komunikator tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga kebijakan
yang telah dirumuskan dengan jelas tidak dapat diterima dengan jelas.
 Komunikator mempunyai sumber referensi yang berbeda dalam banyak hal
dengan komunikan, sehingga pemilihan istilah-istilah yang digunakan dalam
menyampaikan kebijakan berbeda dengan pemahaman komunikan.
 komunikator belum dibakukan kualifikasinya akibat dari tidak adanya standar
informasi kebijakan yang baku.
 Kurangnya kredibilitas komunikator dimata komunikan baik dalam hal Kredibilitas
tingkat ketokohannya di masyarakat, karakter dan perilkau, maupun kompetensi
yang dimiliki.

2. Permasalahan bersumber dari pesan kebijakan itu sendiri.


 Kebijakan tidak dirumuskan dengan jelas, sehingga komunikan tidak dapat
menerima pesan kebijakan dengan jelas.
 Kebijakan merupakan sesuatu yang baru dan dianggap asing bagi komunikan,
sehingga memberi peluang penolakan.
 Kebijakan yang dibuat terlalu ideal dan tidak realistik. Hal ini akan mengakibatkan
komunikan tidak peduli terhadap pesan kebijakan karena hanya dianggap sebagai
omong kosong yang tidak mungkin dapat dilakukan.

3. Permasalahan bersumber dari komunikannya.

 Komunikan yang heterogen dalam hal tingkatan pendidikan, perbedaan etnik,


kepercayaan dan agamanya. Heterogenitas ini mengakibatkan kesulitan saat
mencari bahasa yang sesuai untuk mereka karena apabila mereka menggunakan
bahasa yang tinggi akan sulit dipahami oleh rakyat kebanyakan namun apabila
menggunakan bahasa yang rendah akan dianggap tidak berbobot oleh mereka
yang tingkatannya tinggi.

 Komunikan memiliki pengetahuan sebelumnya yang berbeda tentang pesan-


pesan kebijakan yang disampaikan, sehingga komunikan cenderung lebih selektif
dalam menerima kebijakan yang disampaikan. Hal tersebut berdampak juga pada
penerimaan kebijakan yang tidak utuh dan menyebabkan kelirunya pemahaman
seseorang. Serta, komunikan memiliki pemikiran dan kreativitas sendiri terkait
implementasi kebijakan.

7
D. Contoh Kasus Komunikasi Kebijakan Pendidikan

1. Pada tahun 2001, bupati Jembrana, Bali memerintahkan agar setiap sekolah
negeri di Jembrana tidak boleh memungut biaya pendidikan dari siswa. Namun,
kebijakan tersebut dilaksanakan tanpa adanya bentuk peraturan legal-formal
untuk dijadikan sebagai dasar hukum yang bersifat formal. Kebijakan tersebut
hanya berupa instruksi-instruksi dari bupati kepada kepala dinas, dan terus
kejenjang administrasi ke bawahnya hingga ke tingkat sekolah, dan
disampaikan secara langsung kepada masyarakat. Kebijakan langsung
dijalankan, dan diawasi secara ketat melalui kunjungan Bupati ke sekolah-
sekolah. Selama tahun 2001-2002, kebijakan tersebut berjalan dan tidak ada
pertentangan, bahkan ketiadaan kebijakan formal sebagai payung hukum, tidak
menjadi isu politik bagi DPRD saat itu. Setelah dua tahun berturut-turut, barulah
Bupati mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 24 tahun 2003 Tentang
Pembebasan Iuran Wajib pada SD, SLTP, SMU, dan SMK Negeri di Kabupaten
Jembrana, yang ditanda-tangani pada 22 Januari 2003. Selanjutnya tahun 2006
diterbitkan Perda No. 10/2006 tentang Subsidi Biaya Pendidikan pada TK, SD,
SMP, SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana (Tilaar & Nugroho, 2016).

Analisis Kasus: Kebijakan tidak boleh memungut biaya pendidikan dari siswa
diimplementasikan selama dua tahun tanpa adanya proses formulasi kebijakan
yang matang dan tidak dilegitimasi. Komunikasi kebijakan tersebut hanya
berupa instruksi-instruksi, sehingga standar operasional prosedur kebijakan
tidak jelas diterima oleh semua lapisan atau jenjang di bawahnya. Selain
standar implementasi, standar pengawasan dan evaluasi kebijakan juga tidak
dijelaskan sehingga menghambat tujuan diberlakukannya kebijakan dan
kebijakan bersifat tidak kuat karena tidak adanya payung hukum.

2. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menerapkan kebijakan siswa


SMA di Kota Kupang untuk masuk jam 05.00 pagi mulai Senin (27/2/2023).
Kebijakan tersebut berdasarkan instruksi Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat
yang terekam dan viral di media sosial dan mendapat penolakan dari berbagai
kalangan masyarakat, seperti Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dengan
tegas meminta kebijakan tersebut dibatalkan, karena tidak berlandaskan kajian
ilmiah dan minim partisipasi pakar dan orang tua murid. Menanggapi viral video
pernyataannya, Viktor kembali mengklarifikasi usulan tersebut melalui akun
Instagram pribadinya (@viktorbungtilulaiskodat). Ia mengatakan, hanya dua SMA

8
yang menerapkan jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Menurut Viktor, dua
sekolah tersebut adalah SMA 1 dan SMA 6. Sekolah tersebut memiliki kemampuan
dan dinilai sanggup menerapkan aturan baru dalam mencetak siswa unggulan.
Pihak orang tua baru mendapat surat pemberitahuan dari pihak sekolah setelah
dua hari kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi itu berjalan. Kebijakan sekolah jam
05.00 pagi yang ditetapkan oleh mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor
Bungtilu Laiskodat akhirnya dicabut pada Jumat (22/9/2023) oleh Penjabat (Pj)
Gubernur NTT Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake. Setelah itu, maka semua jam
sekolah di SMA Kota Kupang kembali masuk sekolah seperti biasa.

Analisis Kasus: Kebijakan siswa SMA masuk jam 05.00 pagi tidak melalui
formulasi atau perumusan yang matang dan tanpa adanya proses legitimasi
yang mengikutsertakan para pakar, tokoh pendidikan, masyarakat, dan orang tua
murid. Kebijakan tersebut diimplementasikan tanpa dikomunikasikan kepada
masyarakat. Selain itu, pada kasus tersebut juga menekankan bahwa media
massa salah satu unsur penting dalam penyampaian (transmisi) kebijakan
memiliki kekuatan yang besar, sehingga kebijakan tersebut mendapatkan
banyak penolakan tidak hanya di NTT namun juga di seluruh Indonesia.
Permasalahan komunikasi kebijakan tersebut disebabkan oleh kebijakan itu
sendiri yang tidak dirumuskan dengan jelas, sehingga komunikan tidak dapat
menerima pesan kebijakan tersebut dengan baik.

9
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
KESIMPULAN

Kebijakan pendidikan yang telah dibentuk sangat penting untuk disahkan atau di
legitimasi. Legitimasi kebijakan pendidikan adalah salah satu tahapan yang dilakukan
setelah perumusan kebijakan dan sebelum implementasi kebijakan pendidikan yang
menyangkut pemberian kewenangan untuk memberikan usulan kebijakan dan
kewenangan untuk melaksanakan kebijakan yang disahkan secara hukum. Legitimasi
merupakan gerbang awal pelaksanaan kebijakan baru. Dengan selesainya tahap legitimasi
maka suatu kebijakan pendidikan dinilai mampu dan pantas dilaksanakan dalam spektrum
yang luas.

Setelah dilegitimasi, kebijakan pendidikan perlu dikomunikasikan kepada


masyarakat. komunikasi kebijakan pendidikan merupakan sebuah proses penyampaian
ide, gagasan, pesan atau informasi mengenai rumusan kebijakan pendidikan yang telah
selesai dilegitimasi agar kebijakan tersebut dapat dipahami dengan jelas dan diterima oleh
masyarakat. Proses komunikasi kebijakan harus memperhatikan transmisi atau
penyampaian (transmission), kejelasan (clarity) kebijakan, dan konsistensi (consistency)
yaitu komunikasi implementasi kebijakan yang terus menerus dilakukan sampai tujuan
implementasi dapat dicapai. Komunikasi kebijakan pendidikan dapat menjadi solusi
percepatan suatu kebijakan dapat diterima oleh masyarakat namun juga dapat menjadi
permasalahan jika tidak dilakukan dengan baik. Permasalahan komunikasi kebijakan
pendidikan disebabkan oleh faktor komunikator, kebijakan itu sendiri, dan faktor komunikan
atau penerima kebijakan pendidikan.

SARAN
Bagi stakeholder dan pemangku kepentingan organisasi pendidikan disarankan untuk
memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait legitimasi dan komunikasi kebijakan
pendidikan, sehingga dalam membuat kebijakan dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan
implementasi kebijakan pendidikan guna mencapai tujuan yang diharapkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hapsari, A. P., Setiawan, F., Urbaningkrum, S. M., Rahmawati, U., Afifah, M., & Rohmah, F.
N. (2022). Analisis Urgensi Proses Legitimasi dan Komunikasi Kebijakan. Sultra
Educational Journal, 67-77.

Hasbullah, M. (2015). Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan


Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Depok: RajaGrafindo Persada.

Madjid, A. (2018). Analisis Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.

Roihanah, Setiawan, F., Setianto, E., & Istinganah. (2022). Legitimasi dan Komunikasi
Kebijakan Pendidikan. Jurnal Education and Development, 94-99.

Tilaar, H., & Nugroho, R. (2016). Kebijakan Pendidikan Pengantar Untuk Memenuhi
Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

11

Anda mungkin juga menyukai