Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

ASKEP SKOLIOSIS

DI SUSUN OLEH:
Kelompok 3

Wulandari Dwi Putri 105111104621


Mita Aryuninda 105111102721
Melyana Kwesaputra 105111100121
Hafida Naila Inayah 105111104221
Sri Anita M 105111103821
Eka Putri Ayu 105111102021
Putri Ramadhani 105111102421
Sitti Nur Atika 105111102221

DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta`ala yang


telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan tepat waktu. Makalah ini berjudul ‘SKOLIOSIS” tepat pada
waktunya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Jiwa. Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih kepada ibu
Aslinda,S.Kep.,Ns.,M.Kes (K). Sebagai dosen mata kuliah Keperawatan Anak.
yang telah banyak memberi bantuan dengan arahan dan petunjuk yang jelas
sehingga mempermudah kami menyelesaikan tugas ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan yang telah
mendukung selesainya makalah ini tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat terbuka pada kritik dan
saran yang membangun sehingga makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Makassar, 07 Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I ................................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 6

C. Tujuan .................................................................................................................... 6

BAB II ............................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ............................................................................................................... 7

A. Definisi Skoliosis ................................................................................................... 7

B. Etiologi Skoliosis ................................................................................................... 7

C. Klasifikasi Skoliosis ............................................................................................. 11

D. Manifestasi Klinis ................................................................................................ 15

E. Patofisiologi ......................................................................................................... 16

F. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................ 18

G. Penatalaksanaan ................................................................................................... 23

H. Komplikasi ........................................................................................................... 26

I. Asuhan Keperawatan............................................................................................ 27

BAB III ........................................................................................................................... 35

PENUTUP ...................................................................................................................... 35

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 35

B. Saran .................................................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tulang belakang atau kolumna vertebra berlokasi di bagian sentral
atau posterior dari tubuh. Merupakan bagian yang penting dari tubuh dan
memiliki banyak fungsi. Tulang belakang sangat diperlukan sebagai
pembentuk struktur tubuh, flexibilitas, menyokong dan pergerakan dari
tubuh. Pergerakan dengan melekat pada otot di bagian belakang, yang
berada di bagian posterior tulang iga.Tulang belakang juga berfungsi untuk
menutupi dan melindungi sumsum tulang. Anatomi dan struktur tulang
belakang antara lain:
a) Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk
daerah tengkuk. Vertebra Cervicalis adalah yang paling kecil dan dapat
digerakkan, serta terletak di antara cranium dan vertebra thorakalis.
b) Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang
membentuk bagian belakang torax atau dada. Vertebra thorakalis adalah
vertebra-vertebra yang berada di punggung bagian atas dan berfungsi
sebagai tempat melekatnya tulang- tulang rusuk/iga. Ciri khas dari
vertebra thorakalis adalah adanya fovea costalis yang merupakan tempat
berhubungannya vertebra dengan tulang iga.
c) Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk
daerah lumbal atau pinggang. Vertebra lumbalis terletak di punggung
bagian bawah, tepatnya di antara thorax dan sacrum. Ciri khas dari
vertebra lumbalis adalah memiliki corpus yang sangat besar dan jika
dilihat dari atas akan terlihat seperti ginjal.
d) Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk
sakrum atau tulang kelangkang. Salah satu fungsi dari Sacrum adalah
memberikan kekuatan dan stabilitas bagi pelvis serta meneruskan beban
tubuh ke pelvic girdle.
e) Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang

4
membentuk tulang ekor. (Mashudi, 2019)

Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil
dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah
semakin ke bawah semakin membesar dilihat dari segi ukurannya yang memuat
persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar
dibandingkan dengan badan vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang
terletak di bagian bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang
ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada
di bagian paling bawah dari tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang
diikat oleh serabut yang dinamakan dengan ligament.
Tulang belakang dapat patah akibat dari pukulan keras atau rusak karena
faktor kecelakaan atau faktor usia, selain itu tulang belakang juga dapat mengalami
kelainan seperti lengkungan tulang dada yang berlebihan mengakibatkan bongkok
atau kifosis, lengkung lumbal atau pinggang yang belebihan mengakibatkan
lordosis, dan bengkoknya ruas tulang punggung dan pinggang yang mengarah ke
arah samping kiri atau kanan yang disebut dengan Scoliosis.

5
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana anatomi dan struktur tulang belakang!
2. Apa yang dimaksud skoliosis?
3. Apa faktor- faktor penyebab terjadinya skoliosis?
4. Apa saja klasifikasi dari skoliosis!
5. Apa saja gejala klinis yang dialami pasien skoliosis?
6. Bagaimana proses perkembangan penyakit skoliosis?
7. Apa pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan untuk pasien
skoliosis?
8. Bagaimana Penatalaksanaan medis yang mungkin bisa di lakukan pada
pasien skoliosis!
9. Apa saja komplikasi yang akan terjadi pada pasien skoliosis?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit skoliosis?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui anatomi dan struktur tulang belakang
2. Mengetahui definisi dari skoliosis
3. Mengetahui faktor- faktor penyebab terjadinya skoliosis
4. Mengetahui klasifikasi dari skoliosis
5. Mengetahui gejala klinis yang dialami pasien skoliosis
6. Mengetahui proses perkembangan penyakit skoliosis
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan untuk
pasien skoliosis
8. Mengetahui penatalaksanaan medis yang mungkin bisa di lakukan pada
pasien skoliosis
9. Mengetahui komplikasi yang akan terjadi pada pasien skoliosis
10. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit skoliosis

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Skoliosis
Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan,
mengandung arti kondisi patologi. Skoliosis adalah deformitas dari tulang
belakang yang dicirikan dengan adanya abnormalitas kelengkungan tulang
belakang ke arah lateral. Selain itu, pada skoliosis juga dapat ditemukan
adanya rotasi dari vertebra. Skoliosis.
Didefinisikan sebagai kelengkungan tulang belakang ke arah lateral
yang memiliki sudut Cobb lebih dari 10o. Kelengkungan yang abnormal
tersebut bisa terjadi karena kelainan kongenital, kelainan pembentukan
tulang atau kelainan neurologis, tapi pada sebagian kasus bersifat idiopatik.
(Martiana dan Alaydrus, 2019).
B. Etiologi Skoliosis
Terdapat 3 penyebab terjadinya skoliosis (Ultarini, 2019):
a) Congenital (bawaan)
Biasanya berhubungan dengan suatu kelainan pembentukan tulang
belakang atau tulang rusuk yang menyatu. Skoliosis congenital sekunder
terhadap perkembangan vertebra yang abnormal. Anomali dapat
disebabkan oleh kegagalan pembentukan vertebra parsial. Anomali
yang paling lazim dari kategori ini adalah hemivertebra. Malformasi
vertebra juga bisa disebabkan oleh kegagalan segmentasi, yang paling
jelas adalah batang unilateral yang tidak bersegmen.
Anomali-anomali vertebra ini dapat menyebabkan skoliosis
struktural nyata sejak kehidupan dini. Batang unilateral yang tidak
berseragam, terutama mempunyai resiko progresivitas lengkung yang
cepat. Skoliosis congenital dapat berhubungan dengan anomali
congenital dari sistem organ-organ lain terutama ginjal dan jantung.

7
Gambar Skoliosis kongenital pada bayi laki-laki usia 13 bulan

b) Neuromuskuler
Pengendalian otot yang buruk atau kelemahan / kelumpuhan akibat
beberapa penyakit berikut : Cerebral Palsy, Distrofi otot, Polio,
Osteoporosis juvenile

Gambar Skoliosis Neuromuskular

c) Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui. Dapat diperoleh melalui beberapa ciri
genetik. Bentuk skoliosis ini tampak pada tulang belakang yang
sebelunya tumbuh lurus selama bertahun-tahun.
Skoliosis idiopatik dapat melumpuhkan anak-anak (paling banyak
menyerang bayi laki-laki antara lahir sampai usia 3 tahun), anak muda
(menyerang kedua jenis kelamin antara 4-10 tahun), atau orang dewasa
(biasanya menyerang anak perempuan usia 10 sampai usia subur).
Skoliosis idiopatik bertambah parah selama pertumbuhan.
Kelaianan ini biasanya asimptomatik pada usia remaja, tetapi kurvatura

8
berat dapat menimbulkan gangguan fungsi paru atau nyeri pinggang
bagian bawah pada tahun-tahun selanjutnya.

Gambar Skoliosis idiopatik

Etiologi Skoliosis
a) Kelainan fisik
Ketidak seimbangan pertumbuhan tulang dan otot yang yang
mengakibatkan kecendrungan untuk terjadinya suatu Scoliosis. Ketidak
seimbangan otot sekitar tulang belakang yang mengakibatkan distrosi spinal
atau perbedaan otot pada.
saat pertumbuhan. Selain itu dapat disebabkan pula oleh gangguan
pada tulang kaki, pinggul atau tulang belakang. Tapi, beberapa orang yang
bahunya miring belum tentu karena Scoliosis, melainkan sekadar kebiasaan
saja.
b) Gangguan pada kelenjar Endokrin
Ketidakseimbangan pada hormon yang dihasilkan oleh kelenjar
endokrin, seperti pituitary dan adrenal sebagai pendorong pertumbuhan otot
dan tulang.
c) Faktor hormonal
Defisiensi melatonin diajukan sebgai penyebab skoliosis. Sekresi
melatonin pada malam hari menyebabkan penurunan progresivitas skoliosis
dibandingkan dengan pasien tanpa progresivitas. Hormon pertumbuhan
juga diduga mempunyai peranan pada perkembangan skoliosis. Kecepatan
progresivitas skoliosis pada umumnya dilaporkan pada pasien dengan
growth hormone.

9
d) Faktor Keturunan
Kelainan Scoliosis dapat ditimbulkan oleh gen, artinya bahwa
seorang anak dari penderita Scoliosis memiliki kemungkinan mengidap
Scoliosis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa deformitas ini diturunkan
secara autosomal dominan dan X-linked, sementara lainnya menyatakan
bahwa penyakit ini dapat diturunkan secara multifaktorial atau poligenik,
yang menjelaskan kenapa penyakit ini dapat tersebar luas di dalam sebuah
keluarga. Miller dkk melaksanakan analisis keturunan dan uji saring genetik
pada keluarga dengan skoliosis idiopatik pada tahun 2005. Dari analisis
yang telah dilaksanakan, ditemukan keterlibatan kromosom 6,9, 16, dan 17
pada skoliosis idiopatik
e) Faktor Biomekanik
Faktor biomekanik telah diketahui untuk memiliki peran besar
dalam mempengaruhi progresivitas dari skoliosis. Menurut Hueter –
Volkmann principle, beban yang asimetris distribusinya dapat
menimbulkan pertumbuhan tulang belakang yang asimetris pula
f) Abnormalitas Jaringan.
Beberapa teori diajukan sebagai komponen struktural pada
komponen tulang belakang (otot, tulang, ligamentum dan atau diskus)
sebagai penyebab skoliosis.
Beberapa teori didasari atas observasi pada kondisi seperti syndrome
Marfan (gangguan fibrillin), duchenne muscular dystrophy (gangguan otot)
dan displasia fibrosa pada tulang.
g) Skoliosis struktural.
Skoliosis stuktural di sebabkan oleh pertumbuhan tulang yang tidak
nornal. Ciri –ciri fisiknya adalah sebagai berikut : Bahu tidak sama tinggi,
Garis pinggang tidak sama tinggi, Badan belakang menjadi bongkok
sebelah, Payudara besar sebelah ( pada wanita), Pinggul tidak sama tinggi,
Badan kiri dan kanan menjadi tidak simetri.
h) Skoliosis non stuktural
Biasanya disebabkan oleh : Seperti membawa tas yang berat pada

10
sebelah bahu saja (menyebabkan sebelah menjadi tinggi), postur badan yang
tidak bagus (seperti selalu membongkok atau badan tidak seimbang). Posisi
duduk yang tidah simetris atau miring ke salah satu tulang belakang. Kaki
tidak sama panjang. Kesakitan, biasanya yang disebabkan cidera pada
ekstermitas bawah menyebabkan aantara tulang vertebra tidak simetris dan
menekan jaringan saraf di daerah tersebut dan Olahraga yang tidak
terorganisir.
C. Klasifikasi Skoliosis
Berdasarkan etiologinya, skoliosis dapat dikategorikan menjadi
skoliosis non- struktural dan struktural (Kartika, 2017).
a) Skoliosis Non-struktural
Pada skoliosis non-struktural, lengkung dari tulang belakang yang
abnormal dapat dikoreksi dengan membungkuk ke samping atau posisi
supinasi. Kondisi ini dapat berlangsung sementara, dan tidak ada
perubahan struktural. Skoliosis non- struktural dapat dikelompokkan
berdasar etiologinya menjadi:
1. Skoliosis Postural. Disebabkan oleh kebiasaan postur tubuh yang
burk. Pada skoliosis postural, deformitas yang terjadi bersifat
sekunder, yang diakibatkan oleh kompensasi suatu keadaan selain
masalah tulang belakang, contohnya tungkai bawah yang pendek
atau pinggul yang miring karena kontraktur pinggul ; jika pasien
duduk (yang mengakibatkan hilangnya keasimetrisan kaki) ,
lengkung yang abnormal akan menghilang.
2. Skoliosis Histerikal
3. Iritasi akar saraf
4. Inflamasi
5. Keadaan leg length disrepancy
6. Keadaan kontraktur sekitar sendi panggul
b) Skoliosis Struktural
Skoliosis struktural adalah deformitas tulang belakang yang tidak
dapat dikoreksi dan rotasi dari vertebra. Pada kondisi ini, processus

11
spinosus berputar ke arah kecekungan dari kurva, dan processus
transversus pada area yang cembung berotasi ke arah posterior. Di regio
thorakal, terjadi permukaan yang cembung di area skapular dan disebut
sebagai “rib hump” atau “humping” yang disebabkan tulang rusuk yang
menonjol. Kondisi ini adalah karakteristik dari deformitas tulang
belakang pada skoliosis non-struktural. Rotasi pada vertebra terbentuk
oleh tulang rusuk di area thorakal dan musculus erector spinae di daerah
lumbal. Pada kelengkungan awal dan kecil, rotasi vertebra hanya dapat
dilihat ketika pasien membungkuk ke depan dengan sudut 90 derajat
pada pinggul.
Jika masih awal, deformitas mungkin dapat diperbaiki, tetapi jika
deformitas telah mencapai titik tertentu dari kestabilan mekanis,
vertebra akan melengkung dan berotasi mencapai deformitas yang
bersifat menetap dan tidak dapat hilang dengan perubahan postur tubuh.
Kelengkungan sekunder yang terbentuk untuk mengimbangi deformitas
primer lebih mudah untuk diperbaiki, tetapi makin lama dapat menetap.

Menurut etiologinya, skoliosis dapat diklasifikasikan menjadi : (Kartika,


2019)
1) Skoliosis Idiopatik
a) aInfantile skoliosis (0-3 tahun)
b) Juvenile skoliosis (3-10 tahun)
c) Adolescent skoliosis (> 10 tahun)
2) Skoliosis Neuromuskular
a) Neuropathic / neurogenic (karena penyakit atau anomali pada
jaringan saraf)
1. Upper motor neuron: Cerebral palsy, Degenerasi
spinocerebellar, Syringomelia, Tumor medulla spinalis,
Trauma medulla spinalis, Lainnya.
2. Lower motor neuron: Poliomyelitis, Viral myelitidies
lainnya, Trauma, Spinal muscular atrophy,

12
Meningomyelocele (paralitik).
3. Disautonomia.
4. Lainnya
b) Miopatik: Arthrogryposis, Muscular dystrophy, Fiber type
disproportion, Congenital hypotonia, Myotonia dystrophica,
Lainnya.
c) Skoliosis Kongenital: Kegagalan pembentukan, Kegagalan
segmentasi.
d) Neurofibromatosis.
e) Penyakit-penyakit mesenkim.
f) Penyakit rheumatoid.
g) Trauma L fraktur, pembedahan, irradiasi
h) Osteochondrodystrophies.
i) Infeksi Tulang.
j) Penyakit metabolik.
k) Keadaan sendi lumbosacral.
l) Tumor pada columna vertebralis atau pada medulla spinalis
Klasifikasi dari derajat kurva skoliosis :
a. Skoliosis ringan : kurva kurang dari 20º
b. Skoliosis sedang : kurva 20º –40º /50º. Mulai terjadi perubahan
struktural vertebra dan costa.
c. Skoliosis berat : lebih dari 40º /50º. Berkaitan dengan rotasi vertebra
yang lebih besar, sering disertai nyeri, penyakit sendi degeneratif,
dan pada sudut lebih dari 60º - 70º terjadi gangguan fungsi
kardiopulmonal bahkan menurunnya harapan hidup.
Sedangkan menurut letaknya, dapat di klafisikasikan menjadi thoracal,
lumbal atau kombinasi. Menurut bentuknya dapat dapat di
klafisikasikan menjadi:
a. Kurva C : umumnya di thoracolumbal tidak terkompensasi,
kemungkinan posisi asimetris dalam waktu yang lama, kelemahan
otot atau sitting balance yang tidak baik.

13
b. Kurva S : lebih sering terjadi pada skoliosis idiophatik, di thoracal
kanan dan lumbal kiri, umumnya struktural.
Tipe Skoliosis Idiopatik
Skoliosis Idiopatik Lembaga Penelitian Skoliosis (The Skoliosis
Research Society) merekomendasikan bahwa skoliosis idiopatik
digolongkan berdasarkan umur pasien pada saat diagnosis ditegakkan.
a) Skoliosis idiopatik infantile
Kelengkungan vertebra berkembang saat lahir sampai usia 3 tahun.
pada umumnya dideteksi sejak tahun pertama kelahiran, kasus ini
lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan sebagian
besar torakal melengkung kiri. Mayoritas sembuh secara sepontan,
walau tidak di obati dan mungkin hasil dari pembentukan di rahim.
Beberapa kasus berkembang menjadi struktur lengkungan yang
kaku, keras dan prognosisnya jelek. (Kartika, 2019)
b) Skoliosis idiopatik juvenile
Skoliosis idiopatik juvenil terjadi pada umur 4-10 tahun. Berbagai
bentuk dapat terjadi namun kurva torakal biasanya kekanan.
Skoliosis juvenil biasanya lebih progresif dari adolesent. Perbedaan
antara kasus remaja awal dengan fase anak-anak biasanya sulit
dipisahkan kecuali didasarkan atas pemeriksaan x-ray. Kebanyakan
dari kasus ini dideteksi lebih dari usia 6 tahun dan berlokasi pada
kurvathorak kanan. Pada kelompok umur ini, pravelensi kasus
diantara perempuan dan laki –laki secara merata.
c) Skoliosis idiopatik adolescent
Skoliosis idiopatik adolescent didiagnosa ketika kurva dilihat pada
usia 10 tahun dan skeletal yang matang. Bentuk dari thorak kanan
dan thoracolumbal lebih dominan. Perubahan bentuk kurva ini lebih
banyak dideteksi pada kelompok umur ini namun sudah terjadi
sebelum umur 10 tahun, tetapi tidak terdeteksi hingga usia
menjelang dewasa. Delapan pulauh persen skoliosis dewasa terjadi
pada perempuan, dan kurva yang terbantuk cendrung ke kanan.

14
D. Manifestasi Klinis
Pada umumnya, pasien menyadari dan mengeluhkan gejala seperti “rib
hump” pada bagian thorakal, dan pinggang yang tampak tidak simetris,
ketidak simetrisan payudara, salah satu shoulder blade lebih tinggi dan
menonjol dibandingkan yang lain, salah satu bahu lebih tinggi, dan postur
tubuh yang kurang baik. Nyeri pada punggung adalah hal yang jarang
terjadi, dan apabila ada harus dipikirkan penyebab yang lain. Nyeri
punggung yang non-spesifik memiliki prevalensi sebesar 70% di populasi
dan tidak harus langsung menduga skoliosis sebagai penyebabnya.
Penekanan pada akar – akar saraf tulang belakang di bagian lumbal dapat
menyebabkan sakit yang menjalar ke tungkai – tungkai bawah. Secara
umum tanda-tanda skoliosis yang bisa diperhatikan pada penderitanya
yaitu: (Rachmat dan Fauzi, 2019).
a. Tulang bahu yang berbeda, dimana salah satu bahu akan kelihatan lebih
tinggi dari bahu yang satunya (Elevated Shoulder).
b. Tulang belikat yang menonjol, sebagai akibat dari terdorongnya otot
oleh kurva primer Scoliosis (Prominent Scapula).
c. Lengkungan tulang belakang yang nyata, yang dapat terlihat secara jelas
dari arah samping penderita (Spinal Curve).
d. Tulang panggul yang terlihat miring, sebagai penyesuaian dari kuva
Scoliosis (Uneven Waist).
e. Perbedaan ruang antara lengan dan tubuh (Asymmetrical Arm to Flank
Distances).
Gejala pada pasien dewasa bergantung dengan pada lokasi

15
Maksimum dari skoliosis terdapat. Jika lengkung maksimum terdapat pada
regio lumbal, dapat menyebabkan nyeri pada bagian punggung, sedangkan
lengkung maksimum pada regio thorakal yang lebih dari 80 derajat dapat
menyebabkan gangguan kardiopulmoner. Fungsi pulmoner cenderung berkurang
pada skoliosis yang terjadi pada regio thorakal dan dapat menyebabkan
berkurangnya kapasitas vital paru dengan tingkat keparahan kelengkungan kurva.
Ketidaklurusan tulang belakang ini akhirnya akan menyebabkan nyeri
persendian di daerah tulang belakang pada usia dewasa dan kelainan bentuk dada,
hal tersebut mengakibatkan :
a. Penurunan kapasitas paru, pernafasan yang tertekan, penurunan level
oksigen akibat penekanan rongga tulang rusuk pada sisi yang cekung.
b. Pada skoliosis dengan kurva kelateral atau arah lengkungan ke kiri, jantung
akan bergeser kearah bawah dan ini akan dapat mengakibatkan obstruksi
intrapulmonal atau menimbulkan pembesaran jantung kanan, sehingga
fungsi jantung akan terganggu. Di bawah ini adalah efek skoliosis terhadap
paru dan jantung meliputi : Efek Mild skoliosis (kurang dari 20o tidak begitu
serius, tidak memerlukan tindakan dan hanya dilakukan monitoring). Efek
Moderate skoliosis (antara 25 – 40o ), tidaklah begitu jelas , namun suatu
study terlihat tidak ada gangguan, namun baru ada keluhan kalau dilakukan
exercise.Efek Severe skoliosis (> 400 ) dapat menimbulkan penekanan pada
paru, pernafasan yang tertekan, dan penurunan level oksigen, dimana
kapasitas paru dapat berkurang sampai 80%. Pada keadaan ini juga dapat
terjadi gangguan terhadap fungsi jantung. Efek Very Severe skoliosis (Over
1000 ). Pada keadaan ini dapat terjadi trauma pada pada paru dan jantung,
osteopenia and osteoporosis (Rachmat dan Fauzi, 2019).
E. Patofisiologi
Kelainan bentuk tulang punggung yang disebut skoliosis ini berawal
dari adanya syaraf –syaraf yang lemah atau bahkan lumpuh yang menarik
ruas –ruas tulang belakang. Tarikan ini berfungsi untuk menjaga ruas tulang
belakang berada pada garis yang normal yang bentuk nya seperti penggaris
atau lurus. Tetapi karena suatu hal, diantaranya kebiasaan duduk yang

16
miring, membuat sebagian syaraf yang bekerja menjadi lemah. Bila ini terus
berulang menjadi kebiasaan, maka syaraf itu bahkan akan mati. Ini berakibat
pada ketidakseimbangan tarikan pada ruas tulang belakang. Oleh karena itu,
tulang belakang yang menderita skoliosis itu bengkok atau seperti huruf “S”
ataupun huruf “C”. Dari 4% populasi terdapat 10-15 tahun yang kebanyakan
perempuan bentuk normal dari tulang belakang dilihat dari belakang
berbentuk lurus dari atas sampai os coccygeus.
Bentuk skoliosis yang paling sering dijumpai adalah deformitas
tripanal dengan komponen lateral, anterior posterior dan rotasional (Rosadi,
2008). Gambaran patologi anatomi skoliosis non idhiopatik sangat
berhubungan dengan penyebab (etiologi). Pada skoliosis idiopatik, terdapat
gambaran yang khas yang dapat diikuti. Pada skoliosis idiopatik, kurva
struktural dimulai sebagai kurva non struktural (fungsional). Tidak semua
kurva non struktural akan menjadi struktural akan terjadi perubahan struktur
jaringan lunak sebagai berikut: Kapsul sendi intervertebralis memendek
pada sisi cekung (konkaf), terjadi komperesi pada sendi facet. Pemendekan
ligamen-ligamen pada sisi cekung (ligamen longitudinal anterior, ligamen
longitudinal posterior, ligamen interspinosus).
Pada otot-otot juga terjadi suatu perubahan seperti kontraktur
(pemendekan) otot-otot sisi konkaf yaitu: otot erector spine, otot kuadratus
lumborum, otot psoas mayor dan minor, otot latisimus dorsi, otot perut
obeliqus abdominis, Kecuali otot multifidus dikatakan lebih pendek disisi
konveks akibat kurva kelateral bersama rotasi vertebra. Apabila sudah
terjadi ”malaligement” posisi struktur berubah kolumna vertebralis terjadi
rotasi korpus vertebra kearah konveks.
Perbedaan tekanan antara kedua sisi vertebra menyebabkan
perbedaan kepadatan dan kesempatan bertumbuh. Terjadi kondisi asimetris
dimana sisi konkaf cekung menjadi lebih pendek. Diskus intervertebralis
sisi konkaf menipis. Vertebra yang mengalami gaya tekan terbesar akan
terdorong lebih menjauh dari gaya kompresi tersebut akan menjadi apex
puncak vertebra dari skoliosis. Ruas vertebra torakalis menyebabkan tulang-

17
tulang iga pada sisi konveks tergeser kearah posterior, akan timbul tonjolan
iga rib hump ke posterior. Tulang-tulang iga sisi konkaf bergeser ke
anterior, sehingga rongga thorak bebentuk oval. Pada anak wanita akan
tampak buah dada (mammae) sisi konvek lebih kecil.
Terkadang ditemukan ”rib hump” yang ternyata pada skoliosis
lumbalis sebagai akibat kompresi vertebra thorakalis, meskipun dari
gambaran klinis dan radiologis terlihat skoliosis daerah thorakal sangat
minim. Penamaan skoliosis dihubungkan dengan letak konveksitas (Keim
HA, Rakasiwi, 2008). Skoliosis menyebabkan deformitas pada tulang
vertebra dan costa. Pada skoliosis postural, deformitas terjadi karena akibat
sekunder atau kompensasi dari beberapa kondisi di luar vertebrae, contoh:
tungkai yang berbeda panjangnya dan pelvis yang miring oleh kerena
kontraktur hip. Dengan posisi duduk, kurva struktur, deformitas awal
segmen vertebra yang terlibat mungkin masih dapat sikap atau postur tubuh
tidak akan menghilangkan bentuk deformitas.
Deformitas skala tinggi dapat menyebabkan gangguan fungsi
kardiopulmonal akibat kompensasi dari ketidaknormalan tulang vertebra
sehingga mempengaruhi bentuk costa. Akibat terus menerus berkontraksi.
Jika berlanjut akan mengkibatkan pemendekan jaringan (kontraktur).
Komplikasi dari kontraksi otot terus menerus di satu sisi tubuh. (Gitapradita
Wiguna, 2018).
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Test adam forward bending
Salah satu cara untuk mengetahui apakah skoliosis atau tidak adalah
dengan forward bending test. Karena pada posisi fleksi lumbal kedepan,
deformitas rotasi dapat diamati paling mudah, dan penonjolan iga atau
penonjolan para lumbal dapat dideteksi dengan komponen rotasinya.
Pada umumnya, jika deviasi lateral vertebrata meningkat, begitu juga
deformitas rotasinya, tetapi hubungan ini tidak linier dan banyak
lengkung minor memperlihatkan rotasi yang nyata sedangkan beberapa
deformitas skoliotik sedang dan berat hanya memperlihatkan unsur

18
rotasional yang lebih ringan. (Gitapradita Wiguna, 2018).

2) Scoliometer (inclinometer)
Scoliometer (inclinometer) adalah sebuah alat untuk mengukur sudut
kurva pada tulang belakang pada procesus spinosus yang asimetris
(Gordon,et.al, 2008). Cara pengukuran dengan inclinometer dilakukan
pada pasien dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien
karena posisi ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura
scoliosis, sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan
membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurvapada
thorokal. Kemudian letakkan inclinometer pada apeks kurva, biarkan
inclinometer tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat kurva. Pada
screening, pengukuran ini signifikan apabila hasil yang diperoleh labih
besar dari 5 derajat, hal ini biasanya menunjukkan derajat adanya rib
hump. Ini disebabkan karna adanya rotasi pada daerah vertebra thorakal,
dan ini juga dapat menunjukan kelengkungan vertebra. Perlu dicatat hal
ini hanya menunjukan adanya kelainan pada spine akan tetapi tidak
menunjukan tingkat keparahan dan deformitas tersebut. (Nabila, 2020).

19
3) Skilot
Pemeriksaan lain yang di lakukan oleh fisioterpi adalah menggunakan
skilot, sejenis bandul panjang yang melewti kepala, badan, dan garis
tengah gluteal. Caranya orang yang akan di test dalam posisi berdiri
dengan kaki terbuka. Kemudian letakkna ujung tali yang bebas pada poe
dan biarkan bandulnya jatuh melewati garis tengah gluteal. Jika bandul
tidak melewati garis tengah gluteal dengan penyimpangan kira –kira
lebih dari 10 derajat, maka memungkunan terjadi scoliosis.
4) Pemeriksaan radiologi X-Ray
Proyeksi Foto polos harus diambil dengan posterior dan lateral penuh
terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan posisi tegak, untuk
menilai derajat kurva dengan metode Cobb dan menilai maturitas
skeletal dengan metode Risser. Kurva strutural akan memperlihatkan
rotasi vertebrata pada proyeksi posterior-anterior, vertebrata yang
mengarah ke puncak prosessus spinosus menyimpang kegaris tengah
pada ujung atas dan bawah kurva diidentifikasi sewaktu tingkat simetri
vertebrata diperoleh kembali.
Cobb Angel di ukur dengan menggambar garis tegak lurus dari batas
superior dari vertebra paling atas pada lengkungan dan garis tegang
lurus dari akhir inferior vertebra paling bawah. Perpotongan kedua garis
ini membentuk suatu sudut yang diukur.
Metode Cobb
Metode Cobb sudah digunakan sejak tahun 1984 untuk mengukur
sudut pada posisi erect PA. Pengukuran dengan sudut Cobb sangat
berguna pada pemeriksaan pasien dengan posisi PA/AP. Sudut Cobb
ditemukan dengan menarik garis dari sudut inferior dan superior
vertebrae dari kelengkungan. Sudut tersebut menghubungkan garis
tegak lurus dengan endplates.
Sudut Cobb sangat berguna dalam menentukan beda antara skoliosis
dan asimetris dari vertebrae. Sudut kurang 100 hingga 150 pada sudut
Cobb lebih menunjukkan bahwa telah terjadi asimetris daripada

20
skoliosis. Sudut Cobb juga dapat memonitor kemajuan koreksi dari
kelengkungan selama penggunaan bracing atau observasi perbaikan.
Bagaimanapun, pada pengukuran sudut Cobb tidak bisa menentukan
adanya vertebral rotation atau aligment dari tulang belakang. Metode
lippman-cobb di ambil dan di standarisasi oleh Scoliosis Research
Society dan digunakan untuk mengklasifikasikan jenis kelengkungan
skoliosis menjadi tujuh bagian.

Caranya : Mengukur sudut Cobb dengan menggambar garis tegak


lurus dari lempeng ujung superior dari vertebra paling atas pada
lengkungan (mengukur dari puncak T9) dan garis tegak lurus dari
lempeng akhir inferior vertebra paling bawah dari lengkungan
(mengukur dari alas L3). Perpotongan dari kedua garis ini membentuk
suatu sudut yang diukur.
Metode Cobb ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan metode lain. Selain itu metode ini lebih tepat bahkan jika pasien
diperiksa oleh pemeriksa lainnya. Selain itu juga masih ada metode lain
yaitu metode Risser-Ferguson, yang lebih jarang digunakan.
Pada awalnya, seseorang harus ditentukan terlebih dahulu apa
jenis/tipe dari kelengkungan pada skoliosisnya tersebut.
Lengkungannya bisa jadi akut, seperti yang terlihat pada fraktur atau
hemivertebra. Setiap adanya anomali pada costa atau vertebre harus
dilaporkan. Scoliosis secara umum dapat digambarkan berdasarkan
lokasi kelengkungannya, seperti yang ada digambar berikut ini :

21
Gambar Pola skoliosis
Pemeriksa seharusnya juga menentukan apakah titik kelengkungan
tersebut mengarah ke kanan atau ke kiri. Jika kelengkungannya ada ada
dua, maka masing-masing harus digambarkan dan diukur. Untuk
menggunakan metode Cobb, pertama kita harus menetukan mana saja
yang merupakan end vertebrae. Masing-masing dari end vertbrae ini
adalah yang dibatasan atas dan bawah dari kelengkungan yang miring
paling jauh mengarah ke kelengkungannya. Jika kita sudah memilih
vertebrae tersebut, lalu gambarlah garis sepanjang endplate bagian atas
dan bawah, sebagimana digambarkan dibawah ini.

Gambar Pengukuran skoliosis berdasarkan metode Cobb

Jika ujung endplate sulit dinilai, maka garis ini dapat


digambarkan disepanjang atas dan bawah dari pedikel. Sudut yang

22
didapatkan adalah sudut yang terdapat diantara dua garis tersebut.
namun, jika sudut yang terbentuk itu kecil, bisa saja kedua garis tersebut
berpotongan di gambarnya saja, seperti Downtown Seattle. Pada saat
melaporkan penghitungan sudut skoliosis ini maka kita harus
menerangkan bahwa metode yang dipakai dalam pengukuran ini adalah
metode Cobb dan juga mana ujung-ujung dari vertebrae yang telah kita
pilih unutk diukur. Peranannya disini adalah jika kita telah memilih
vertebrae tersebut, maka kita harus menggunakan vertebrae yang sama
dalam proses follow up selanjutnya, agar hasil yang didapatkan lebih
tepat dan pasti dalm menilai kemajuan atau perbaikan yang ada.
G. Penatalaksanaan
Jenis terapi yang dibutuhkan untuk skoliosis tergantung pada banyak
faktor. Sebelum menentukan jenis terapi yang digunakan, dilakukan
observasi terlebih dahulu. Terapi disesuaikan dengan etiologi,umur skeletal,
besarnya lengkungan, dan ada tidaknya progresivitas dari deformitas.
Keberhasilan terapi sebagian tergantung pada deteksi dini dari skoliosis.
Medikamentosa
Tujuan pemberian obat adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
dan kemungkinan infeksi baik dari alat ataupun pembedahan, bukan untuk
mengobati skoliosis. Obat yang digunakan antara lain :
1. Analgesik :
a) Asam Asetil Salisilat 3 x 500 mg
b) Paracetamol 3 x 500 mg
c) Indometacin 3 x 25 mg
2. NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug)
a) Non Medikamentosa : Terapi panas (kompres hangat), alat penyangga
digunakan untuk skoliosis dengan kurva 25°-40° dengan skeletal yang
tidak matang (immature). Alat penyangga tersebut antara lain: peyangga
milwaukee, boston.
Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 3 hal penting : Mencegah
progresifitas dan mempertahankan keseimbangan, Mempertahankan fungsi

23
respirasi. Mengurangi nyeri dan memperbaiki status neurologis. Adapun pilihan
terapi yang dapat dipilih, dikenal sebagai “The three O’s” adalah :
a) Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu <25o
pada tulang yang masih tumbuh atau <50o pada tulang yang sudah berhenti
pertumbuhannya. Rata-rata tulang berhenti tumbuh pada saar usia 19 tahun.
Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada
waktu-waktu tertentu.Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah
kunjungan pertama ke dokter.Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang
derajat <20>20.
b) Orthosis
Orthosis dalam hal ini adalah pemakaian alat penyangga yang dikenal
dengan nama brace. Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah :
1. Pada kunjungan pertama, ditemukan derajat pembengkokan sekitar 30-
40 derajat.
2. Terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 25 derajat. Jenis
dari alat orthosis ini antara lain : Milwaukee, Boston dan Charleston
bending brace. Alat ini dapat memberikan hasil yang cukup signifikan
jika digunakan secara teratur 23 jam dalam sehari hingga 2 tahun setelah
menarche.
Jika kurva yang dimiliki antara 20 – 30˚ dan progresif, diperlukan
penanganan dengan menggunakan brace. Ada dua macam bracing yang
seringkali digunakan yaitu: Milwaukee brace untuk menyokong daerah
thorakal, terdiri dari korset pada pelvis yang dihubungkan dengan logam
untuk menyokong cincin yang terletak pada daerah servikal yang
menyangga oksipital dan dagu dan Boston brace yang digunakan untuk
menyokokng daerah lumbal atau thorakolumbal.
Penggunaan spinal brace dilakukan full time yaitu 22 jam sehari atau
part time yaitu 16 jam sehari atau hanya dipakai pada malam hari. Kurva
yang lebih dari 30˚ dan kurva yang progresif membutuhkan pemakaian full
time. Kontraindikasi dari penanganan orthotik adalah jika pasien telah

24
mengalami maturitas skeletal, pasien dengan lordosis di regio thorakal,
pasieng dengan lengkung kurva lebih dari 45˚, dan pasien yang mengalami
gangguan kepribadian.
Pemakaian brace dapat mencegah progresifitas kurva, memberikan
koreksi yang permanen pada batas-batas tertentu, dan menstabilkan kurva.
Semakin muda penderita dan semakin kecil sudut kurva maka akan semakin
besar keberhasilan pemakaian spinal brace.
c) Operasi
Tidak semua skoliosis dilakukan operasi. Indikasi dilakukannya operasi
pada skoliosis adalah :
1. Terdapat derajat pembengkokan >50 derajat pada orang dewasa
2. Terdapat progresifitas peningkatan derajat pembengkokan >40-45
derajat pada anak yang sedang tumbuh
3. Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis
Penanganan operatif dilakukan apabila kurva telah lebih dari 30˚ yang
secara kosmetik tidak baik, dan untuk deformitas yang ringan namun tidak
membaik setelah menjalankan penanganan konservatif. Tujuan dari penanganan
operatif adalah untuk meluruskan kurva termasuk komponen vertebra yang telah
berotasi.
Umumnya, jika kelengkungan lebih dari 40 derajat dan pasien skeletalnya
imatur, operasi direkomendasikan. Lengkung dengan sudut besar tersebut,
progresivitasnya meningkat secara bertahap, bahkan pada masa dewasa. Tujuan
terapi bedah dari skoliosis adalah memperbaiki deformitas dan mempertahankan
perbaikan tersebut sampai terjadi fusi vertebra. Beberapa tindakan pembedahan
untuk terapi skoliosis antara lain :
a. Penanaman Harrington rods (batangan Harrington)
Batangan Harrington adalah bentuk peralatan spinal yang dipasang
melalui pembedahan yang terdiri dari satu atau sepasang batangan logam
untuk meluruskan atau menstabilkan tulang belakang dengan fiksasi
internal. Peralatan yang kaku ini terdiri dari pengait yang terpasang pada
daerah mendatar pada kedua sisi tulang vertebrata yang letaknya di atas dan

25
di bawah lengkungan tulang belakang.
Keuntungan utama dari penggunaan batangan Harrington adalah
dapat mengurangi kelengkungan tulang belakang ke arah samping (lateral),
pemasangannya relatif sederhana dan komplikasinya rendah. Kerugian
utamanya adalah setelah pembedahan memerlukan pemasangan gips yang
lama. Seperti pemasangan pada spinal lainnya , batangan Harrington tidak
dapat dipasang pada penderita osteoporosis yang signifikan.

Gambar Penggunaan batangan Harrington


b. Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset
Peralatan Cotrell-Dubousset meliputi pemasangan beberapa batangan dan
pengait untuk menarik, menekan, menderotasi tulang belakang. Alat yang
dipasang melintang antara kedua batangan untuk menjaga tulang belakang
lebih stabil. Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset spinal dikerjakan
oleh dokter ahli bedah yang berpengalaman dan asistennya (Rachmat dan
Fauzi, 2019).
H. Komplikasi
Skoliosis adalah penyakit 3 dimensi yang sangat komplek walaupun
prinsipnya berasal dari kurva ke arah lateral yang kemudian membuat
vertebra berputar. Perputaran vertebra merubah bentuk dan volume dari
rongga thorak maupun rongga abdominal. Sehingga berujung pada organ di
dalamnya misalnya berkurangnya system kerja kardiopulmonal, jantung,

26
dan dapaat menimbulkan nyeri (harjono,2006).
Skoliosis merupakan kelainan bentuk kurva tulang belakang. Bentuk
tulang belakang yang melengkung ke kiri ataupun ke kanan dengan tingkat
derajad kelengkungan besar akan mendesak organ-organ dalam tubuh.
Akibatnya terjadi, mempengaruhi sistem pencarnaan, pernapasan, jantung
dan tentunya muscular dengan manifestasinya berbagai macam, yaitu nyeri
otot, spasme otot, kontraktur otot, penurunan elasisitas otot, penurunan
kekuatan otot dan penurunan lingkup gerak sendi pada tulang belakang.
Skoliosis dengan derajat kurva tulang belakang yang besar dapat
menyebabkan gangguan fungsi kardiopulmonal yang disebabkan
kompensasi dari ketidaknormalan tulang vertebra sehingga mempengaruhi
bentuk costa. Akibat terus menerus berkontraksi, sehingga akan
mengkibatkan pemendekan jaringan, kontraktur, komplikasi dari kontraksi
otot terus menerus di satu sisi tubuh (Ultarini, 2019).
I. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Identitas klien nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
a) Keluhan Utama
Pada umumnya pada pasien yang mengalami scoliosis yang
lengkungan scoliosis nya melebihi 400 akan mengalami gangguan
pola penafasan akibat penekanan paru. Nyeri juga dirasakan pada
pasien skoliosi, karena posis tubuh yang miring ke lateral, sehingga
,menyebabkan posisi tubuh yang tidak anatomis. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
perawat dapat menggunkan PQRST, yaitu :
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

27
menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui penyebab
terjadinya skoliosis,serta derajat kelengkungan scoliosis karena hal
ini berguna dalam penentuan penanganan yang akan dilakukan.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan penyebab terjadinya scoliosis dan
kemungkinan dalam perbaikan kembali scoliosis ke posisi
anatomisnya.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya scoliosis,
karena adanya teori yang menyatakan bahwasanya pasien yang
memiliki riwayat keluarga yang terkena scoliosis akan menigkatkan
insiden scoliosis.
e) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan fisik meliputi :
a) Mengkaji skelet tubuh. Adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang.
Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak

28
dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang
panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan
adanya patah tulang.
b) Mengkaji tulang belakang. Skoliosis (deviasi kurvatura lateral
tulang belakang).
c) Mengkaji sistem persendian. Luas gerakan dievaluasi baik aktif
maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya
kekakuan sendi.
d) Mengkaji system otot. Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot
dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar
ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e) Mengkaji cara berjalan. Adanya gerakan yang tidak teratur
dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas lebih pendek dari
yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan dengan
caraberjalan abnormal (mis. cara berjalan spastic hemiparesis -
stroke, cara berjalan selangkah- selangkah – penyakit lower motor
neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).
f) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer. Palpasi kulit dapat
menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih
dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer
dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu
pengisian kapiler.
g) Kaji status neuromuskular.
h) Status pernapasan pasien, kesulitan bernapas, sianosis, takipnea,
dan batuk.
i) Penurunan sensasi dan aktivitas motorik pada
ekstremitas.
j) Status sirkulasi ekstremitas, perubahan warna kulit, nadi dan suhu
k) Kelurusan tubuh dan terdapatnya alat imoblisasi.
l) Kaji lokasi, intensitas, dan durasi nyeri.
m) Karakter dan jumlah drainase luka.

29
n) Drainase hemovac jika terpasang.
o) Pengeluaran urine. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
mencakup darah lengkap, elektrolit, pemeriksaan radiologi spinal,
dam pemeriksaan kultur urine.
3) Diagnosa Keperawatan
a) Pola nafas tidak efektif b/d depresi pernapasan
b) Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (post operasi)
c) Resiko infeksi b/d efek prosedur invasif
4) Rencana Asuhan Keperawatan

30
No Dx SLKI SIKI
Keperawatan
1. Pola nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen Jalan Nafas
tidak efektif keperawatan diharapkan Observasi
b/d depresi ventilasi adekuat dengan kriteria - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
pernapasan hasil : usaha napas)
a. Pola nafas - Monitor bunyi napas tambahan
- Dispnea menurun - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
- Penggunaan otot bantu Terapeutik
napas menurun - Pertahankan kepatenan jalan napas
- Frekuensi nafas membaik - Posisikan semi fowler atau fowler
- Kedalaman napas - Berikan minuman hangat
membaik - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
b. Status neurologis Edukasi
- Tingkat kesadaran - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
meningkat tidak ada kontraindikasi
- Reaksi pupil meningkat - Ajarkan teknik batuk efektif
- Fungsi sensorik spinal Kolaborasi
membaik - Kolaborasi pemberian bronkodilator,
- Fungsi motorik spinal ekspektoran, mukolitik, jika perlu
meningkat 2. Pemantauan Respirasi
- TTV dalam batas normal Observasi
- Identifikasi faktor pencetus dan pereda
nyeri
- Monitor kualitas nyeri
- Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
- Monitor intensitas nyeri dengan
menggunakan skala
- Monitor durasi dan frekuensi nyeri
Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
- Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika prlu
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen nyeri
b/d agen keperawatan di harapkan klien : Observasi
pencedera 1.Tingkat nyeri - Identifikasi lokasi, durasi, karakteristik,
fisik - Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Ekspresi meringis menurun - Identifikasi skala nyeri

- Kesulitan tidur menurun - Identifikasi respons nyeri non verbal


- Nafsu makan membaik - Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
- Pola tidur membaik
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
2.Mobilitas fisik

31
- Pergerakan ekstremitas tentang nyeri
meningkat
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap
- Kekuatan otot meningkat respon nyeri

- Rentang gerak (ROM) - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas


meningkat hidup

- Nyeri menurun - Monitor keberhasilan terapi


komplementer yang sudah diberikan
- Kecemasan menurun
Terapeutik
- Kaku sendi menurun - Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Gerakan terbatas menurun
- Kontrol lingkungan yang memperberat
- Kelemahan fisik menurun
rasa nyeri
- Fasilitas istirahat dan tidur

- Pertimbangan jenis dan sumber nyeri


dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri

- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri
2. Terapi relaksasi
Observasi
- Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan berkonsenrasi atau
gejala lain yang menganggu kemampuan
kognitif
- Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
- Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan suhu
- Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik

32
- Ciptakan lingkungan tenang
- Berikan informasi tertulis mengenai
persiapan dan prosedur teknik relaksasi

- Gunakan pakaian longgar


- Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analgetik aatau
tindakan medis lain jika sesuai
Edukasi
- Jelaskan tujuan, mandaat, batasan, an
jenis relaksasi yang tersedia (teknik nafas
dalam)
- Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi
yang dipilih

- Anjurkan mengambil posisi nyaman


- Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi atau melatih
teknik nafas dalam
- Demonstrasikan dan latih teknik napas
dalam

3. Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Pencegahan infeksi


Observasi
infeksi b.d keperawatan diharapkan :
a. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan
efek prosedur 1. Tingkat infeksi sisteik
a. Demam menurun Terapeutik
invasif
b. Kemerahan menurun a. Batasi jumlah pengunjung
c. Nyeri menurun b. Berikan perawatan kulit pada area
d. Kadar sel darah putih edema
membaik c. Cuci tangan sebelum dan sesudah
e. Kultur darah kontak dengan pasien
membaik d. Pertahankan teknik aseptik pada
f. Kultur area luka pasien beresiko tinggi
membaik Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan memeriksa kondisi luka
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
dan makanan’ajarkan teknik mencuci
tangan yang benar
2. Perawatan Area Insisi
Observasi
- Periksa luka insisi adanya kemerahan,
bengkak atau tanda-tanda dehisen

33
- Indentifikasi karakteristik drainase
- Monitor proses penyembuhan area insisi
- Monitor tanda dan gejala infeksi
Terapeutik
- Bersihkan area insisi dengan pembersih
yang tepat
- Usap area insisi dari yang bersih menuju
area yang kurang bersih
- Bersihkan area di sekitar tempat
pembuangan atau tabung drainase
- Pertahankan posisi tabung drainase
- Berikan salep antiseptik, jika perlu
- Ganti balutan sesuai jadwal
Edukasi
- Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan
menggunakan alat bantu
- Ajarkan meminimalkan tekanan pada
tempat insisi
- Ajarkan merawat area insisi

34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecemasan adalah hal yang wajar dialami oleh setip manusia, baik tua,
muda laki-laki dan perempuan Kecemasan yang berlebih dapat
menimbulkan gangguan fisik seperti rasa sulit tidur dan mudah panik. Ada
banyak jenis gangguan kecemasan berlebih dengan gejala-gejala yang
berbeda. Tetapi, ada satu ciri umum yang memiliki kesamaan diantara
gejala-gejala tersebut yaitu rasa gelisah yang berkepanjangan dan rasanya
seperti intens sekali, dan rasa itu tidak sebanding dengan situasi yang sedang
dihadapi dan biasanya hal-hal itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan
kebahagiaan seseorang.
B. Saran
1. Kenali pemicu kecemasan dan rasa takut dengan cara menenangkan diri
secara fisik dan mental.
2. Bangun kepecayaan diri dan lawan rasa takut yang menghampiri.
3. Berpikir positif agar terhindar dari perasaan cemas.

35
DAFTAR PUSTAKA

Gitapradita, Nyoman Gde dan Wiguna, Artha. (2018). Adolescent Idhiopatic


Scoliosis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kartika. (2017). Peranan Radiologi pada Skoliosis : Pengukuran dan Klasifikasi.
Jurnal Radiologi Indonesia, Vol 2 (2), 129-134
Martiana, I Ketut dan Alaydrus, M. (2019). Degenerative Scoliosis: A Case Report.
Journal Orthopedi and Traumatology Surabaya, Vol 8 (2), 104-110
Mashudi, Sugeng. (2019). Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Dasar. Jakarta: Salemba
Medika
Nabila. (2020). Efektivitas Skoliometer Sebagai Alat Deteksi Dini Skoliosis. JurnalHeme,
Vol 2(1), 58-61.
Rachmat, Nur dan Fauzi, Rizki. (2019). Gambaran Kepercayaan Diri PenderitaSkoliosis
dengan Penggunaan Scoliosis Brace. Jurnal Skala Kesehatan, Vol 10(2), 62-73
Tim Pokja SDKI PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Ultarini, Dina. (2019). Identifikasi Skoliosis Pada Anak Usia 11-13 Tahun di
Yogyakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta

36

Anda mungkin juga menyukai