Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN


DI RUANG PERAWATAN FLAMBOYAN
RSKD DADI MAKASSAR

DISUSUN OLEH:

ASMITA AZIS S.kep

71221720201

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI PFOFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok panjatkan kehadiran Allah SWT, rahmat dan

karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kasus ini dengan

baik. Adapun judul makalah yang akan dibahas adalah ”Asuhan

Keperawatan Pada Pasien dengan Resiko perilaku kekerasan”. Semoga

kasus yang kelompok buat ini dapat berguna bagi diri sendiri dan orang

lain, guna memperluas wawasan ilmu dan meningkatkan prestasi dalam

belajar.

Ucapan terima kasih juga kelompok ucapkan kepada berbagai

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir, kritik dan

saran yang bersifat membangun sangat kelompok harapkan untuk bisa jadi

evaluasi yang berguna sehingga dapat belajar dari pengalaman-

pengalaman

Makassar, 16 maret

2024

Kelompok penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan
atau merusak lingkungan. Respons tersebut biasanya muncul akibat
adanya stresor. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat, dkk, 2011:180).
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati, dkk. 2010:81).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan definisi dari Resiko perilaku kekerasan
2. Menjelaskan teori perilaku dari Resiko perilaku kekerasan
3. Menjelaskan rentang respon marah dari Resiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan penyebab dari Resiko perilaku kekerasan
5. Menjelaskan proses terjadinya Resiko perilaku kekerasan
6. Menjelaskan mekanisme koping dari Resiko perilaku kekerasan

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari Resiko perilaku kekerasan
2. Menjelaskan teori perilaku dari Resiko perilaku kekerasan
3. Menjelaskan rentang respon marah dari Resiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan penyebab dari Resiko perilaku kekerasan
5. Menjelaskan proses terjadinya Resiko perilaku kekerasan
6. Menjelaskan mekanisme koping dari Resiko perilaku kekerasan

BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN RESIKO
PERILAKU KEKERASAN

A. Konsep Dasar Resiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2015), kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk
perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan
atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran
maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu
respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai
suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang,
merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan berupa tindak
kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap diri sendiri (self
aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) untuk melupakan
persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku
agresi.
Perilaku kekerasan atau perilaku agresi merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Berdasarkan definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi
perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki
tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan tertentu
yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Stuart dan Sundeen, 1995). Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Keliat, 2010). Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang
berisiko membahayakan secara fisik, emosi dan/atau seksual pada diri sendiri atau
orang lain (SDKI, 2016).
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak
lingkungan. Respons tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor. Respons ini
dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (Keliat, dkk, 2011:180).
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Kusumawati, dkk. 2010:81).
2. Teori Perilaku Agresi
Menurut Muhith (2015) ada beberapa teori mengenai perilaku agresi, yaitu:
a. Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupakan suatu
insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap manusia
memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas
pada diri sendiri maupun orang lain. Saat ini teori ini telah banyak
ditolak.
b. Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu
oleh faktor pencetus eksternal untuk survive dalam mempertahankan
eksistensinya. Menurut teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah atau
dipunahkan orang lain, namun teori ini pun banyak disangkal.
c. Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan
hasil pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian
menjadi pola perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep
teori ini mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang
memerlukan stimulus (impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor
psikososial) untuk memunculkan perilaku agresi. Namun bentuk stimulus
yang sama tidak selalu memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama
pada setiap orang. Dengan kata lain, pola perilaku agresi seseorang
dibentuk oleh faktor pengendalian diri individu tersebut (internal
control) serta berbagai stimulus dari luar (impulses). Saat keseimbangan
antara kemampuan pengendalian diri dan besarnya stimulus terganggu,
maka akan membangkitkan perilaku agresi.

Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu:


a. Irritable aggression merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi
perasaan marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena
sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan
intensitas emosional tinggi (directed against an available target).
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk
mencapai suatu tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang
dilakukan secara sengaja dan terencana; seperti peristiwa penghancuran
menara kembar WTC di New York, tergolong dalam kekerasan
instrumental).
c. Mass aggression adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh massa
akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat
massa berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas
orang-orang yang membentuk kelompok massa tersebut. Manakala
massa tersebut telah solid, maka bila ada seseorang memelopori tindak
kekerasan, maka secara otomatis semua akan ikut melakukan kekerasan
yang dapat semakin meninggi karena saling membangkitkan. Pihak yang
menginisiasikan tindak kekerasan tersebut bisa saja melakukan agresi
instrumental (sebagai provokator) maupun agresi permusuhan karena
kemarahan tidak terkendali (Keliat, 2010).
3. Rentang Respon Marah
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri-
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan
dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan
membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya,
perawat harus pula mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi
positif marah. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995).
Secara umum, rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan bagian dari
rentang respon sosial, dimana pembagian adalalah sebagai berikut:
a. Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di
masyarakat dan individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan kata
lain respon adaptif adalah respon atau masalah yang masih dapat di
toleransi atau masih dapat di selesaikan oleh kita sendiri dalam batas
yang normal.
b. Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu
tersebut.

Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk


Menurut Stuart& Sundeen (1995) rentang respon marah yaitu:
a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak reakstis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,
pasien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan
merasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku
yang tampak dapat berupa : muka kusam, bicara kasar, menuntut, kasar
disertai kekerasan.
e. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan
kontrol diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
4. Penyebab Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2015), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara
lain.
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya.
Sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi
frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu
mengendalikan frustasi tersebut maka dia meluapkannya dengan cara
kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata
menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan
terutama pada neukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil
berdilatasi, hendak menerkam tikus atau objek yang ada di
sekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus
temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dopamin, norepineprin, asetilkolin, dan asam amino
GABA. Faktor-faktor yang mendukung adalah ; 1) masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami kegagalan, 3)
kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4) lingkungan yang
tidak kondusif (bising, padat).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan
kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini
tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah
diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan
sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai,
pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Intraksi
social yang provokatif dan konflik dapat pula memicu tindakan
kekerasan.

5. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan


Agresi seseorang menurut Tomb (2003), mempunyai dasar biologis,
psikososial, dan budaya yang rumit dan tidak menentu. Perilaku kekerasan
berhubungan dengan lesi pada korteks prefrontal (sindrom lobus frontal) dan
stimulasi amigdala dan sistem limbic, dan adanya peningkatakan hormone
andogren dan norepinefrine cairan cerebrospinal dan penurunan serotonin dalam
cairan cerebrospinal (mirip bunuh diri dalam kekerasan) dan GABA (Gama
Amino Butirat Acid). Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat
bertindak keras tapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi: pria
berusia 15-25 tahun, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol.
Faktor neurotransmiter dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan
dua neutransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Norepinefrin berhubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor-reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah
norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di
neuron dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga
sering berhubunga dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti
gammaaminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate
endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino.
Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama
dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate.
GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam
amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan
melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut. Bila oleh karena suatu
hal, misalnya subsentivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik,
neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurut kadarnya
pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikianlah pula bila terjadi
disregulasi asetilkholin yang menyebabkan menurunya kadar neurotrnasmiter
asetilkolin di celah sinaptil, terjadinya gejala depresi.
6. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan
Stuart and Sundeen (1995) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
7. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping
klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping
yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Yosep (2011) Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti:
a. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu
seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
c. Depresi
Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan dari
kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
d. Reaksi formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan
apa yang benar-benar dilakukan orang lain.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Medis
1) Terapi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah:
a) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita
skizofrenia, mania depresif, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil.
b) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa
1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek
samping nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia.
b. Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto,
2009). Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto,
2009).
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus (Riyadi dan Purwanto, 2009).
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih
terang dari sinar ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4) ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples.Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
c. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasanmeliputi
(Videbeck, 2008):
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan
pasien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu
ketika pasien tenang. Aktivitas juga melibatkan pasien dalam
proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien
menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap pasien dan
kesiapan untuk mendengarkan masalah pikiran serta perasaan
pasien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan
rasa aman pasien (Videbeck, 2008).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi
bersama dalam kelompok individu. Para anggota kelompok
bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada
kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan
harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi
anggota kelompok, pasien dapat mempelajari cara baru
memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan
masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2008).
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya
ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber
fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga
yang maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian
masalah keluarga (Steinglass dalam Videbeck, 2008).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan
personal antara ahli terapi danpasien .Tujuan dari terapi individu
yaitu memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat
hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau
berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui
tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu
introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang
ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga
asuransi lain mendorong upaya mempercepat pasien ke fase
kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin
dari terapi (Videbeck, 2008).
d. Hal-hal yang Dapat dilakukan Apabila Mempunyai Keluarga dengan
Risiko Perilaku Kekerasan
1) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku
kekerasansehingga diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku
kekerasan.
2) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-
pihak terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam
membantu menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan
kekerasan.
3) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat
membahas dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang
mengalami risiko pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara
pengajar dengan pihak keluarga terutama orangtua.
e. Peran Keluarga dalam Penanganan Risiko Perilaku Kekerasan
1) Mencegah terjadinya perilaku amuk :
a) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota
keluarga
b) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota
keluarga yang berada dalam kesulitan
c) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
d) Menjalin keterbukaan
e) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
f) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
g) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan
pada anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk
membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
h) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum obat
anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan
tentang pentingnya minum obat dalam mempercepat
penyembuhan.
i) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan
yang telah dilatih di rumah sakit.
j) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untuk
mengendalikan marah.
k) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
l) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan
2) Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :
a) Menarik nafas dalam
b) Memukul-mukul bantal
c) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien mengucapkan
apa yang tidak disukai pasien
d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
e) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
3) Bila pasien dalam Perilaku Kekerasan
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu
membawa pasien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa
usahakan dan utamakan keselamatan diri pasien dan penolong
BAB III

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA


Ruang rawat : Perawatan Flamboyan Tanggal dirawat : 20-02-2024

I. IDENTITAS KLIEN
Inisial :Tn.N
Tgl. Pengkajian: 2 6 - 0 2 - 2 0 2 3
Umur : 17 thn
No. RM : 209555
Informan : Rekam medis dan pasien
II. ALASAN MASUK RUMAH SAKIT
a.keluhan utama
Gelisah
b.keluhan saat masuk rumah sakit
Seorang laki-laki usia 17 tahun di bawa keluarga ke IGD Rs dadi untuk pertama
kalinya dengan keluahan gelisah sejak 3 hari yang lalu,dan membrat pada saat
pasien di bawa keluarga ke RS,Keluarga mengatakan pasien mondar-mandir di
dalam rumah,selalu naik turun tangga
III. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami penyakit jiwa di masa lalu ? Ya Tidak
2. Pengobatan sebelumnya : Berhasil Kurang berhasil
Tidak berhasil
3. Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia

Aniaya fisik …… thn …… thn


…… thn

Aniaya seksual …… thn …… thn


…… thn

Penolakan …… thn …… thn


…… thn

Kekerasan dalam keluarga …… thn …… thn …… thn

Tindakan kriminal …… thn …… thn …… thn

Jelaskan no. 1, 2, 3 : ……………………………………………………………………


……………………………………………………………………

Masalah keperawatan : ……………………………………………………………………


……………………………………………………………………

4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ? Ya


Tidak

Hubungan keluarga Gejala Riwayat pengobatan/perawatan


………………………… ……………………. ……………………………………..
………………………… ……………………. ……………………………………..
………………………… ……………………. ……………………………………..

Masalah keperawatan : ……………………………………………………………………


……………………………………………………………………
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan :
……………………………………………………………………………………………..

………………………………………………………………
…………………………….. Masalah keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Keliat, B. A. 2010. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Kusumawati. (2010). Keperawatan Jiwa . Jakarta: Salemba Medika.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
CV Andi Offset.
Nurhalimah. 2016. “Modul Bahan Ajar Cetak Keperatawan: Keperawatan Jiwa”.
Hlm162-171. Jakarta: Kemenkes RI.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Stuart and Sundeen. 1995. Buku Keperawatan (Alih Bahasa) Achir Yani S.
Hamid. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai