a. Pengantar
b. Batasan Masalah
Corak atau jenis masalah yang dihadapi oleh suatu organisasi biasanya
dapat dikelompokkan kedalam dua golongan, yaitu masalah yang sederhana (simple
problem) dan masalah yang rumit (complex problem). Corak atau jenis masalah
yang berbeda akan menyebabkan cara pengambilan keputusan yang berbeda pula.
Pengertian masalah sederhana adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri
antara lain berskala kecil, berdiri sendiri dalam arti kurang memiliki sangkut paut
dengan masalah yang lain, tidak mengandung konsekuensi yang besar, serta
pemecahannya tidak memerlukan pemikiran yang luas dan mendalam.
Terhadap masalah yang sederhana seperti ini, maka pengambilan keputusan
dalam rangka pemecahan masalah dilakukan secara individual oleh setiap
pimpinan. Teknik yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah sederhana ini
pada umumnya dilakukan atas dasar intuisi, pengalaman, kebiasaan dan wewenang
yang melekat pada jabatannya.
Sementara itu, masalah rumit adalah masalah yang mempunyai ciri-ciri
antara lain berskala besar, tidak berdiri sendiri melainkan memiliki kaitan erat
dengan masalah-masalah lain, mengandung konsekuensi yang besar, serta
pemecahannya memerlukan pemikiran yang tajam dan analitis. Oleh karenanya,
pengambilan keputusan atas masalah kompleks ini dilakukan secara kelompok yang
melibatkan pimpinan dan segenap staf pembantunya. Masalah rumit dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu masalah yang terstruktur (structured
problems), dan masalah yang tidak terstruktur (unstructured problems).
Structured problems adalah masalah yang jelas faktor-faktor penyebabnya,
bersifat rutin dan dan biasanya timbul berulang kali sehingga pemecahannya dapat
dilakukan dengan teknik pengambilan keputusan yang bersifat rutin, repetitif dan
dibakukan. Karena sifatnya yang rutin dan baku, maka pengambilan keputusan
menjadi relatif lebih mudah atau cepat, dimana salah satu caranya adalah dengan
penyusunan metode / prosedur / program tetap atau pembakuan-pembakuan
lainnya.
Pada masalah yang tidak terstruktur, proses pengambilan keputusan menjadi
lebih sulit dan lebih lama. Sebab, masalah yang tidak terstruktur ini merupakan
penyimpangan dari masalah organisasi yang bersifat umum, tidak rutin, tidak jelas
faktor penyebab dan konsekuensinya, serta tidak repetitif kasusnya. Oleh
karenanya, diperlukan teknik pengambilan keputusan yang bersifat non-
programmed decision-making.
a. Sifat Masalah
William Dunn mengemukakan 4 ciri masalah publik :
1. Saling ketergantungan
Masalah publik bukanlah masalah yg berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu
dengan yang lainnya. Contohnya saja masalah pengangguran yang menyebabkan
kemiskinan akan meningkatkan angka kriminalitas. Contoh lain yang yang saat ini
sedang menjadi buah bibir adalah mengenai kenaikan harga BBM yang pasti
meningkatkan biaya transportasi, dan berdampak pula pada kenaikan harga
kebutuhan pokok.
2. Subyektifitas
Sebagai contohnya sampah rumah tangga tidak jadi masalah bagi penduduk
pedesaan, tapi jadi masalah besar bagi warga perkotaan.
3. Sifat buatan/artficiality
Suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk
mengubah situasi. Sebagai contoh, pendapatan per kapita yg rendah jadi masalah
karena pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Solusi terhadap masalah selalu berubah. Banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk
memecahkan masalah. Cara pandang orang terhadap masalah akan menentukan
solusi yg ditawarkan untuk pemecahan masalah tersebut. Masalah yg sama belum
tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yg sama,
A) Masalah Terstruktur
Contoh :
Contoh :
1. Perumusan masalah
2. Agenda setting
3. Formulasi kebijakan
4. Legitimasi kebijakan
5. Implementasi kebijakan
6. Evaluasi Kebijakan
Kebijakan yang disusun dengan baik, dan dilaksanakan secara efisien oleh
lembaga yang kompeten tidaklah berarti jika kebijakan tersebut didasarkan atas
masalah yang dirumuskan secara salah à the third error type: melaksanakan
kebijakan secara benar untuk meme-cahkan masalah yang dirumuskan secara
salah.
a. Masalah Kebijakan
1). Interdepensi (saling tergantung), yaitu kebijakan suatu bidang (energi) seringkali
mempengaruhi masalah kebijakan lainnya (pelayanan kesehatan). Kondisi ini
menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan
Holistik, satu masalah dengan yang lain tidak dapat di piahkan dan diukur
sendirian.
3). Artifisial, yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga
dapat menimbulkan masalah kebijakan.
4). Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang
terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang
membutuhkan pemecahan masalah lanjutan.
5). Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan
sistem masalah kebijakan.
b. Issue kebijakan
Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang
dipahami awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ”kabar
burung”. Isu dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang
meliputi berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya
memahami konsep isu sangat akan sangat membantu para analis dalam
menganalisis kebijakan publik.
Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan
hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga
peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-
kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang
signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996). Dipahami seperti itu, maka isu bisa
jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau
suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau
kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap
bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya,
timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau
"perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik
yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses
dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna
tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang
berasal dari luar dirinya.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan
dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder,
isu fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990). Kategorisasi ini menjelaskan
bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh
peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang
diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya
secara politis.
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis
tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai
suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan
luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
Itu sebabnya, dalam praktek politik kebijakan, bisa jadi beberapa kelompok
atau organisasi ternyata tidak mampu menembus pintu akses kekuasaan
sama sekali, sementara kelompok lain relatif dapat menembus; pintu akses
itu, namun tak memiliki daya resonansi dan dampak yang cukup besar pada
diri policy-makers; sedangkan sekelompok kecil orang lainnya terbukti
bukan hanya mampu menembus pintu akses, melainkan mampu
mempengaruhi secara nyata tahap proses penyusunan agenda kebijakan,
hingga akhirnya bahkan menjadi kebijakan publik yang sebenarnya. Derajat
polarisasi dan tingkat persaingan politik yang berlangsung di kalangan para
aktor penting pada suatu sistem politik pada kurun waktu tertentu, praktis
dapat pula dilihat dari sudut: siapa yang mampu menggulirkan isu (seraya
menepiskan isu yang lain), memasukkan isu yang digulirkan sebagai agenda
kebijakan pemerintah, dan mewujudkannya sebagai kebijakan publik yang
diimplementasikan serta berdampak nyata pada kehidupan sosial politik
massa rakyat.
Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah
dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam
konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang
kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis
kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada
kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada
umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya
masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya
mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi, pada
situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa
berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan
sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat kebijakan
pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian
tertentu.
Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena
telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
itu sendiri.
Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas
suatu masalah tertentu . Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya
masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu
dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai
potensial yang signifikan. Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan
kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu proses yang
dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok
mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Singkatnya,
timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau
“perbedaan persepsional” di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang
dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses
dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu
atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar
dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang
pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis sesungguhnya amat bersifat
subjektif. Dilihat dari sudut ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang
kelompok, atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas
sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana
merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga untuk memahami suatu
masalah. Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu
saja perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari
sudut ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-
pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan
berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini,
pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status
peringkat yang terkait pada sesuatu isu.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan
dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu
fungsional, dan isu minor . Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang
melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya,
makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin
strategis pula posisinya secara politis. Sebagai kasus yang agak ekstrem, dan
perspektif politik bandingkan misalnya antara status peringkat masalah kemiskinan
vs masalah pergantian pengurus organisasi politik di tingkat kecamatan. Namun.
perlu kiranya dicatat bahwa kategorisasi isu di atas hendaknya tidak dipahami
secara kaku. Sebab, dalam praktek, masing-masing peringkat isu tadi bisa jadi
tumpang tindih, atau suatu isu yang tadinya hanya merupakan isu sekunder,
kemudian berubah menjadi isu utama.
Sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah awalnya tidak serta merta langsung
diagendakan menjadi sebuah kebijakan public. Ada tahap-tahap sebuah masalah
atau issue itu pada akhirnya diagendakan oleh pemerintah untuk diambil
kebijakannya. Pemerintah melihat apakah masalah itu menyebar luas di masyarakat,
bahkan sampai membuat gaduh masyarakat, sehingga pemerintah perlu mengambil
tindakan berupa kebijakan mengenai masalah tersebut agar tidak terjadi kekacauan
di masyarakat.
Berikut saya berikan 5 contoh kasus yang akhirnya menjadi kebijakan public.
1. Kasus Prita Mulyasari
Kasus ini bermula ketika seorang ibu bernama Prita curhat melalui jejaring social
facebook mengenai pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang tidak
memadai di Tengerang. Dia mengeluarkan unek-uneknya atau kejengkelannya
terhadap pelayanan RS yang dianggapnya tidak professional.
Curhatan Prita diketahui oleh media, sehingga mereka mengekspos hal ini dalam
penerbitan beritanya. Ada yang melalui surat kabar, internet dan TV yang nyata-
nyatanya disaksikan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya hampir
semua orang membicarakan kasus ini sepanjang waktu, kemudian muncul Pro dan
Kontra terhadap Prita di masyarakat. Ada pihak yang mendukung Prita dan ada
pihak yang tidak suka kepada Prita. Di pihak lain RS Omni Internasional
menggugat Prita secara Perdata dan Pidana sehingga dia sempat dipenjara karena
melakukan pencemaran nama baik.
2. Kasus Darsem
Siapa rakyat Indonesia yang tidak tahu Darsem ? dia-lah seorang WNI yang bekerja
sebagai TKW di Arab Saudi yang akan menjalani hukum pancung akibat
membunuh majikannya sendiri.
3. Kasus Manohara
Tersebar issue mengenai penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
yang dilakukan oleh sang pangeran Kelantan, Malaysia terhadap istrinya Manohara
Odelia Pinot yang merupakan wanita asal Indonesia.
Munculnya kasus ini menjadi tranding topic dalam setiap pemberitaan media
massa tanah air. Dikarenakan ini menyangkut kehormatan seorang istri yang
merupakan perempuan asli Indonesia. Di samping itu, hal ini juga memunculkan
kembali rivalitas yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia yang selama ini
memang selalu berkonflik, terlebih lagi KDRT ini dilakukan oleh sang pangeran
Kelantan terhadap istrinya seorang warga negara Indonesia.
4. Kasus Nazaruddin
Kasus ini bermula ketika tertangkapnya Sesmenpora Wafid Muharam yang disuap
oleh pengusaha pemenang tender pembangunan wisma atlet Palembang. Nama
Nazaruddin pun terlibat karena berusaha menyuap Wafid melalui Mindo Rosalina
Manulang agar tutup mulut. Namun kasus ini terus berlanjut dan ditangani oleh
KPK
Sebagai seorang anggota Komisi III DPR RI, apalagi sebagai seorang bendahara
partai penguasa saat ini, pemberitaan Nazaruddin sangat cepat. Seluruh media
memberitakan hal ini sepanjang hari. Kemudian mereka juga menelusuri kebenaran
kabar ini.
Namun belum sempat dimintai keterangan oleh penegak hukum, Nazaruddin sudah
kabur ke luar negeri. Kaburnya Nazzaruddin membuat seluruh masyarakat
mendesak dan menuntut pemerintah agar kasus ini dibongkar habis sampai ke akar-
akarnya, karena masyarakat sudah bosan dengan oknum pejabat yang korup. Takut
akan aksi demo dari mahasiswa yang menuntut kasus ini secepatnya diusut,
Pemerintah akhipnya mengirimkan red noticekepada Interpol agar menangkap
Nazaruddin. Pada akhirnya Pelarian Nazaruddin berakhir di Kolombia, dia
ditangkap Interpol Kolombia di salah satu bandara. Mengetahui bahwa Nazaruddin
tertangkap di Kolombia, pemerintah membentuk tim penjemput Nazaruddin yang
terdiri dari bagian imigrasi, KPK, dan Polri. Hingga saat ini proses hukumnya
masih berjalan
Kasus ini hampir dibicarakan oleh semua orang sepanjang hari. Hingga muncullah
aksi demo-demo agar operator jaringan mengembalikan pulsa mereka yang telah
disedot.
Melihat bahwa situasi semakin genting dan tidak kondusif kalau-kalau terjadi demo
besar-besaran terhadap pemerintah, maka pemerintah melalui menteri komunikasi
dan informasi Tifatul Sembiring mengambil kebijakan untuk menghentikan
layanan sms premium seperti penawaran konten-konten broadcast, pop screen, dll
dengan waktu yang ditentukan kemudian. Hal ini dilakukan agar kepercayaan
masyarakat kembali tercipta
Contoh lain:
Ada satu gejala paradox dar reformasi yang telah berlangsung pada tahun
1998 lalu, adalah mawabahnya ‘lapangan pekerjaan baru’ yaitu makelar proyek.
Ironisnya seringkali para pelaku makelar proyek ini adalah para mantan aktifis
gerakan yang dulunya menggemborkan reformasi dan penghancuran KKN. Justru
kemudian merekalah yang melakukan KKN. Praktek KKN di Indonesia begitu sulit
untuk diberantas ibaranya kita mencoba menguras air laut, dalam hal pelelangan
proyek (tender) hinggga saat ini tidak terlepas dari rekayasa, sehingga system
penunjukkan langsung masih tetap terjadiini diakibatkan adanya permainan antara
panitia lelang dan pelaksana proyek dengan mengadakan rekayasa tenderisasi
proyek dengan cara, misalnya, PT F adalah rekanan yang sudah puluhan tahun
bekerja sebagai pelaksana proyek di lingkungan pemerintahan Indonesia dalam
artian sudah mengerti dan faham aturan main mengenai komisi maupun intensif
buat Pimpro maupun pelaksana lelang.
Banyak pengamat yang sudah biasa melihat orang-orang yang tidak jelas
sering berkeliaran di lingkungan Kantor Pemerintah Kota/ Kabupaten. Mereka
ternyata adalah calo proyek yang sejak dulu selalu berusaha kasak-kusuk mendekati
oknum pejabat agar bisa mendapat proyek. Profesi broker/ calo, sering dicibir dan
dipandan gsebelah mata karena pekerjaannya tidak lebih dari sekedar mencari fee
atau komisi. Misalnya, calo diterminal sering meminta komisi dari sopir. Sementara
calo dikereta api atau pelabuhan mendapatkan komisi dari penumpang. Praktik yang
sama dilakukan broker politik dan calo proyek pemerintah. Mereka seolah- olah
hidup didunia lain yang hanya mengejar uang dan sama sekali tidak terpengaruh
dengan hiruk-pikuk reformasi.
“setelah para elit yang mengaku sebagai pendekar- pendekar reformasi inio
mengetahui adanya informasi proyek tersebut maka tentu mereka berkeinginan
untuk dapat mengaksesnya. Mereka menggunakla pressure pelbagai legitimasi yang
dimiliknya untuk melakukan lobby proposal proyek diajukannya agar dapat
disetujui oleh pemegang legalitas di pemerintahann pihak pemerintahan biasanya
memanfaatkan kondisi ini untuk ‘menguasai’ para aktivis agar berpihak padfanya,
denganmemberi kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan proyek.
“Dengan praktik seperti ini jelas uangh rakyaty akan terbuang sia-sia,
masyarakat sama sekali tidak merasakan proyek yang dikerjakan. Sebab, proyek-
proyek pembangunan sama sekali tidak berperspektif rakyat, tapi berperspektif pada
keuntunga personal para makelar-makelar proyek pembangunan, sebagai sebuah
output dari kebijakan publik, telh termodifikasi sedemikian rupa sehingga makin
jauh dari tujuan instrument menyejahterakan rakyat”.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Muhammad Zainal. 2011. Masalah, Isu, dan Agenda Kebijakan dalam
Kebijakan Publik. (online). (/www.masbied.com/2011/08/19/masalah-isu-dan-
agenda-kebijakan-dalam-kebijakan-publik/). Diunduh tanggal 20 April 2012
Subarsono, Ab. 2005. “Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tri Widodo Wahyu Utomo, SH. 1999-2000. Pengantar Kebijakan Publik. STIA
LAN Bandung.
William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal: 24
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3765/1/fkm-surya4.pdf.Dasar–
Dasar Analisis Kebijaksanaan Kesehatan. SURYA UTAMA. 2004. Diakses 21
April 2012 04:21
http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/media/isu_kebijakan.pdf