Anda di halaman 1dari 15

Makalah

“SHALAT”
Dosen Pengampu :
Siliwangi, S.Ag.,MHI.

Disusun Oleh :

Nama NPM

Tazkya Isya Firdaus : 23111544

Raudatul Zannah : 23111556

Melati : 23111558

FAKULTAS SYAR’IAH PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSIYAH


INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah swt. karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sebagai hasil dari diskusi kami, dalam menyelesaikan tugas Fiqih
Ibadah dengan mengangkat tema, Shalat Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat Bapak Siliwangi, S.Ag.,MHI. selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an
yang telah mendukung terselesikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa hasil daripada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karenanya penulis senantiasa mengharapkan kepada para pembaca bisa memaklumi makalah yang kami
buat ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan diharapkan dapat mengambil intisari
yang bermanfaat dari makalah kami. Sehingga dapat menjadi warga negara yang cerdas, kritis, dan aktif
terutama bagi kalangan mahasiswa.

Martapura, 19 Maret 2024

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI........................................................................................................................3

A... BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 4


B... BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................2
a....Syarat Wajib dan Syarat Sahnya Shalat................................................................ 6
b....Rukun Shalat...................................................................................................... 8
c.... Sunnah-Sunnah Shalat.......................................................................................11
d....Perkara yang membatalkan Shalat...................................................................... 12
C... BAB III PENUTUP.................................................................................................14
a.... Kesimpulan...................................................................................................... 14
b....Kritik dan saran................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Shalat merupakan rukun islam yang kedua. Maka bagi setiap muslim wajib melaksanakan shalat.
Seperti keterangan pada QS. Al-Baqarah [2] ayat 43:

‫واﻗﯿﻤﻮا اﻟﺼﻠﻮة وءاﺗﻮا اﻟﺰﻛﻮة وارﻛﻌﻮا ﻣﻊ اﻟﺮﻛﻌﯿﻦ‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”

Menurut syari’at Islam, praktik sholat harus sesuai dengan petunjuk tata cara Nabi Muhammad SAW.
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

‫ﺻﻠﻮ ﻛﻤﺎ راﯾﺘﻤﻮﻧﻲ اﺻﻠﻲ‬

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku ketika aku sholat.”

Sholat secara bahasa berarti do’a. Sedangkan secara istilah seperti yang ucapkan oleh Imam Ar-Rofi’i
adalah ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhri dengan salam dengan beberapa
syarat yang telah ditentukan[1]. Sedangkan fardu sama dengan wajib. Wajib adalah suatu hal yang apabila
dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Sholat yang difardukan diantaranya
adalah: shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat mayit. Namun dalam pembahasan makalah ini adalah
shalat lima waktu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Saja Syarat Wajib Shalat Dan Syarat Sahnya Shalat?

2. Menjelaskan Niat Dalam Shalat!

3. Apa Saja Rukun Dalam Shalat ?

4. Sebutkan Sunnah-Sunnah Shalat!

5. Apa Saja Yang Dapat Membatalkan Shalat?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Syarat Wajib Dan Sayarat Sahnya Shalat

2. Mengetahui Tata Cara Niat Dalam Shalat

3. Mengetahui Rukun Dalam Shalat

4
4. Mengetahui Sunah-Sunahnya Shalat

5. Mengetahui Perkara-Perkara Yang Membatalkan Shalat

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat Wajib Dan Syarat Sahnya Shalat

1. Syarat Wajib Shalat

a. Muslim

Muslim adalah orang yang beraga Islam. selain orang Islam tidak wajib melakukan shalat. Tetapi bagi
orang yang murtad, kemudian masuk Islam, maka baginya wajib melakukan shalat dan mengqadha’ shalat
yang ditinggalkan selama ia menjadi orang kafir.[2] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat lima waktu.
Diantaranya adalah: dhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh.

b. Baligh

Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh. Tetapi bagi anak kecil yang sudah
mencapai umur tujuh tahun, atau sudah tamyiz, hendaknya sudah diperintahkan untuk melakukan shalat.
Ketika anak tersebut meninggalkan shalat, dan anak tersebut sudah mencapai sepuluh tahun, maka
pukulah dengan pukulan yang tidak menyakiti. Ciri-ciri anak yang sudah baligh biasanya ditandai dengan
umur yang sudah mencapai sepuluh tahun, mimpi keluar mani, haid bagi anak perempuan. Ciri-ciri
tersebut tidak terkecuali pada orang memiliki dua kelamin.

c. Berakal

Maka sholat tidak wajib bagi orang gila, orang mabuk, orang yang punya penykit ayan. Tidak wajib
mengqadha’ shalat bagi orang gila, apabila sudah sembuh dari penyakitnya.[3]

d. Suci dari haid dan nifas

Wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan untuk melakukan shalat. Bahkan baginya haram
untuk malakun shalat. Wanita yang haid atau nifas, tidak wajib mengqadha’ shalat ketika sudah dalam
keadaan suci. Berbeda dengan puasa, tetap wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan selama haid atau
nifas.

2. Syarat Sahnya Shalat

a. Suci dari Hadats

Orang yang melakukan shalat dalam keadaan hadats, maka shalatnya tidak sah. Baik hadats kecil maupun
hadats besar. Hal tersebut juga dihukumi haram. Cara menghilangkan hadats kecil yaitu dengan wudhu.
Sedangkan untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi besar. Bisa juga dengan tayamum jika
memang dalam keadaan terpaksa. Bagi orang yang sedang mengalami dua hadats dalam keadaan
bersamaan, cukup dengan satu kali mandi besar sudah menghilangkan kedua hadats tersebut. Walaupun
ketika mandi, orang tersebut tidak berniat melakukan wudhu dan tidak mengurutkan anggota wudhu.[4]

b. Sucinya Badan, Pakaian, dan Tempat dari Najis

6
Najis yang dimaksud adalah semua jenis najis, baik mukhaffafah, mutawasitah, ataupun mughaladah.
Tidak termasuk najis yang dima’fu. Maka, tidak sah orang yang shalat dalam keadaan terkena najis,
walaupun orang tersebut lupa atau tidak tahu. Tidak tahu wujudnya najis, dan tidak tahu bahwa najis itu
membatalkan.

c. Menutup Aurat

Adapun uarat orang laki-laki dan wanita amat (budak) yaitu anggota di antara pusar dan kedua lutut.
Sedangkan uaratnya wanita merdeka di waktu shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan
kedua telapak tangan, baik luarnya ataupun dalamnya sampai kepada pergelangan. Wajib menutup aurat,
baik dalam keadaan sepi atau gelap.[5] Berbeda dengan orang yang tidak mampu untuk menutup aurat,
maka baginya tetap wajib melakukan shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengualang kembali
sholatnya, walaupun ada satir (tutup uarat) yang terkena najis. Dinama satir tersebut tidak sempat untuk
dibersihkan, bukan satir yang sempat untuk disucikan. Berbeda jika orang tersebut hanya menemukan satir
yang bisa menutup sebagian uarat, maka yang wajib ditutup terlebih dahulu adalah dua kemaluannya.[6]

d. Mengetahui Waktunya Shalat

Mengetahui waktunya shalat baik secara yakin maupun prasangka. Orang yang melakukan shalat, tanpa
mengetahui waktunya shalat, maka shalatnya tidak sah, walaupun telah masuk pada waktunya. Berikut
penjelasan waktu shalat:[7]

1) Dhuhur, dinamakan shalat dhuhur karena shalat ini jelas. maksutnya terlihat dilakukan di siang hari.
Shalat dhuhur dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu shalat dhuhur dimulai dari condongnya
matahari dari tengah sedikit ke kearah barat sampai bayangan suatu benda sama dengan bendanya.

2) Ashar, dinamakan ashar karena shalat ini dilakukan pada waktu ashar atau mendekati mendekati
ghurub. Jumlah raka’at dalam shalat ashar adalah empat. Waktu ashar di mulai dari bayangan suatu benda
sama dengan bendanya dan posisi matahari berada di sebelah barat, sampai terbenamnya matahari. Dalam
melakukan shalat ashar, waktu shalat ashar di bagi menjadi lima waktu;

a) waktu fadhilah, yaitu dilakukan pada awal waktu;

b) waktu ikhtiar;

c) waktu jawaz bikarahah;

d) waktu jauzah bila karahah;

e) waktu tahrim, yaitu melakukan shalat di luar waktu yang telah di tetapkan.

3) Maghrib, shalat magrib dilakukan dengan tiga raka’at. Dinamakan shalat maghrib karena dilakukan
pada waktu ghurub. Adapun waktu shalat maghrib dimulai dari terbenamnya matahari sampai kira-kira
cukup untuk melakukan adzan, berwudhu atau tayammum, menutup aurat, dan melakukan shalat kira-kira
lima raka’at. Pendapat seperti ini menurut qaul jadid. Sedangkan Imam Nawawi lebih mengunggulkan
qaul qadim, yaitu dari terbenamnya matahari sampai hilangnya mega merah.

7
4) Isya, dinamakan dengan shalat isya karena dilakukan pada waktu isya. Shalat isya’ dilakukan
dengan empat raka’at. Masuknya waktu isya dimulai dari hilangnya mega merah di ufuk barat, sampai
pada terbitnya fajar shadiq. Waktu melakukan shalat isya dibagi menjadi dua.

a) Waktu ikhtiar, yaitu mulai dari hilangnya mega merah sampai pada sepertiga malam.

b) waktu jawaz, yaitu dari sepertiga malam, sampai terbitnya fajar shodiq.

Sedangkan menurut syekh Abu Hamid, di dalam waktu isya terdapat waktu makruh. Yaitu waktu yang
dilakukan di antara dua fajar, yakni fajar kazib dan fajar shadiq.

5) Subuh, dinamakan dengan shalat subuh, karena shalat ini dilakukan pada waktu subuh. Shalat subuh
dilakukan dengan dua raka’at. Subuh sendiri memiliki makna pagi atau awalnya siang. Subuh memiliki
lima waktu, sama seperti shalat ashar.

a) Waktu Fadilah, yaitu waktu awal. waktu awalnya sholat subuh adalah dari terbitnya fajar shadiq.

b) waktu ikhtiar, yaitu di mualai dari keluarnya fajar yang kedua, sampa langit mulai terang, maksutnya
matahari belum terbit.

c) waktu jawaz bila karahah, yaitu pada saat langit berwarna kemerah-merahan. yang terlihat sebelum
matahari terbit.

d) waktu jawaz bikarahah, yaitu pada saat matahari hampi terbit.

e) waktu tahrim, yaitu waktu diluar batas yang di tetapkan.[8]

e. Menghadap Kiblat

Menghadap Kiblat disini adalah menghadap ke Ka’bah dengan dadanya. Kecuali bagi orang yang tidak
mampu. Diantaranya adalah, shalatnya orang yang ketakutan. Walaupun shalat itu sholat fardu. Maka
boleh shalat dengan keadaan yang memungkinkan, seperti dengan berlari, menunggang, menghadap kiblat
atau tidak menghadap kiblat. Seperi orang yang berlari karena kebakaran, ada hewan buas, dan ular. Boleh
tidak menghadap kiblat, shalat sunnahnya orang yang sedang dalam perjalanan, Walaupun dengan
menunggang atau berlari. Wajib bagi orang yang sedang dalam perjalanan menyempurnakan ruku’ dan
sujudnya, karena dianggap mudahnya melakukan kedua hal tersebut.

f. Mengetahui Fardunya Shalat

Tidak sah shalatnya orang yang tidak tahu dengan kefarduannya shalat, shalat yang disyariatkan, seperti
keterangan dalam kitab Majmu’ dan Raudhah.

B. Rukun Shalat

Dengan menggabungkan tuma’ninahnya shalat dalam satu rukun, rukunnya shalat dibagi menjadi empat
belas, diantaranya sebagai berikut[9]:

1. Niat

8
Niat adalah menyengaja melakukan dengan hati . karena suatu hadits “sahnya suatu amal itu dengan niat”.
Hal-hal yang wajib diucapkan dalam hati ketika melakukan niat shalat adalah sebagai berikut:

a. Sengaja melakukan shalat, supaya membedakan antara shalat dan perbuatan-perbuatan yang lain.

b. Menentukan shalat yang diniatinya, seperti dhuhur, ashar, atau yang lainya, supaya membedakan dari
shalat yang telah ditentukan.

c. Menyengaja bahwa adanya shalat itu fardu.

Sedangkan menyandarkan niat kepada Allah adalah sunnah. Berbeda dengan imam Al-Adzra’i yang
mengatakan wajibnya menyandarkan niat kepada Allah.

2. Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukaan shalat supaya mushalli bisa menghadirkan maknanya
takbir itu sendiri. Yaitu menunjukkan kepada keagungan Tuhan. sehingga orang segera bergegas
berkhidmad kepada Tuhan, supaya bisa mencapai kesempuraan baginya sifat haibah dan khusu’. Dalam
Takbiratul ihram wajib disertai niat, karena takbiratul ihram adalah permulaan rukun. Imam Rafi’i
membenarkan bahwa “menyertai niat shalat di awal takbir sudah cukup”. Maksutnya niatnya sudah sah.
Sedangkan lafazd takbirartul ihram sudah di tentukan, yaitu “Allahu Akbar”. atau “Allahul Akbar”[10].

3. Berdiri Bagi Yang Mampu

Berdiri bagi yang mampu disini adalah untuk shalat fardu. Walaupun shalat yang dinadzari atau diulangi.
Baik mampu berdiri sendiri atau degan pertolongan orang lain. Sah bediri dengan meluruskan ruas-ruas
tulang punggung, sekalipun dengan menyandarkan diri pada sesuatu yang ia bisa jatuh kalau sesuatu itu
tidak ada. Bersandar dihukumi makruh. Berdiri membungkuk yang agak sedikit ruku’ tidak sah, bila ia
mampu berdiri tegak.

Bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan duduk. jika tidak mampu dengan duduk boleh
dengan tidur miring menghadap ke arah kiblat. Jika tidak mampu tidur miring, boleh dengan terlentang,
dengan telapak kaki mengadap kearah kiblat dan di bawahnya kepala wajib dikasih ganjal atau bantal, agar
wajahnya bisa menghadap kiblat. Kemudian ruku’ dan sujudnya dengan isarat kepala, jikalau tidak
mampu dengan kepala maka dengan pelupuk mata. Jikalau masih tidak mampu dengan pelupuk mata,
maka isyarat dengan hati. Tidak ada gugurnya kewajiban shalat bagi seseorang, selama akalnya masih
tetap.

4. Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at

Wajib membaca fatihah disetiap raka’at pada saat berdiri, Kecuali raka’atnya orang yang masbuk. Tidak
wajib bagi masbuk membaca fatihah sekiranya tidak dapat menemukan fatihahnya imam pada saat
bedirinya imam, walau disetiap raka’at. Termasuk dalam surat Al-Fatihah adalah basmalah. Wajib
menjaga tasdid-tasdidnya Al-Fatihah, huruf-hurufnya Al-Fatihah, makhraj-makhrajnya Al-fatihah, dan
terus-enerusnya bacaan Al-Fatihah. Orang yang ragu-ragu apakah sudah membaca basmalah atau belum di
tengah-tengah membaca Al-Fatihah, maka baginya wajib mengulangi Al-Fatihahnya.[11]

5. Ruku’

9
Ruku’ adalah membungkukkan badan sekiranya telapak tangan sampai pada lutut, bukan jari-jari. Belum
dikatakan rukuk,jika hanya pucuk jari-jari yang sampai pada lutut.

6. I’tidal

I’tidal adalah berdiri kembali dari ruku’. Ketika seseorang ragu-ragu dalam menyempurnakan i’tidal,
maka wajib dengan segera mengulangi i’tidal. Berbeda dengan makmum, jikalau makmum wajib
menggantinya dengan satu raka’at setelah salamnya imam.

7. Melakukan Dua Sujud

Wajib melakukan dua sujud disetiap satu raka’at. Sujud dilakukan dengan menyungkur. Yaitu bagian
pantat dan sekitarnya berada di posisi yang lebih tinggi dari kepala. Sujud dilakukan dengan meletakkan
sebagian keningnya dengan keadaan terbuka. Jika pada keningnya terdapat pembalut, maka sujudnya tidak
sah. Kecuali balutan luka yang sulit untuk dilepas, maka sujud dengan keadaan seperti ini sujudnya tetap
sah.

8. Duduk di Antara Dua Sujud

Tidak boleh memanjangkan duduk atau i’tidal, karena memanjang disini bukan suatu hal yang dimaksud.
Akan tetapi, rukuk dan i’tidal berfungsi untuk memisah. Paling lamanya i’tidal adalah kira-kiranya bacaan
Al-Fatihah. Sedangkan maksimalnya duduk di antara dua sujud adalah kira-kira bacaan tasyahud. Bagi
orang yang memanjangkan i’tidal atau sujud melebihi batas yang ditentukan, padahal ia mengetahui maka
sholatnya dihukumi batal.

9. Tuma’ninah

Tuma’ninah wajib dilakukan disetiap ruku’, melakukan dua sujud, duduk di antara dua sujud, dan i’tidal.
Batasan tuma’ninah adalah diamnya anggota badan sekiranya jadi terpisah perpindahan rukun satu ke
rukun yang lain.[12]

10. Membaca Tasyahud Akhir

Paling sedikitnya tasyahud akhir adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Tirmizhi.
Yaitu bacaan attahiyah.

11. Membaca Shalawat kepada Nabi

Paling sedikitnya shalawat adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Membaca shalawat dilakukan
setelah tasyahud akhir.

12. Duduk Tasyahud Akhir

Duduk tasyahud akhir adalah duduk karena membaca tasyahud akhir, atau karena salam. Sunnah duduk
tasyahud akhir dengan duduk tawarak. Duduk tawarak adalah duduknya oraang menjelang salam, berbeda
dengan makmum yang masbuk ketika imamnya dalam kedaan tasyahud akhir, maka masbuq dengan
duduk iftirasy.

13. Memaca Salam

10
Salam yang dimaksud disini adalah salam yang pertama. Paling sedikitnya salam adalah
“Assalamualaikum”. Sedangkan mengucapkan dengan “Alaikumus Salam”. Mengucapkan salam dengan
“Salamualaikum” Belum mencukupi dalam salamnya shalat. Begitu juga dengan ”salamullah” atau
“salamii ‘alaikum”. Bahkan hal ini dapat membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja dan
mengetahui hukumnya.

14. Tertib

Tertib sesuai dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Orang yang sengaja merusak tertibnya
rukun fi’li, seperti mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka shalatnya dihukumi batal. sedangkan
mendahulukan rukun qauli tidak membahayakan, kecuali salam.[13]

C. Sunah-Sunah Shalat

1. Sunah Ab’adh

Sunah ab’adh adalah perkara yang disunahkan dalam shalat, dan apabila meninggalkannya, sunnah
melakukan dua sujud sebelum salam. Yaitu yang biasa disebut dengan sujud sahwi. Dalam besujud sahwi,
wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudahnya berniat mengerjakan sujud sahwi.
Sunah ab’adh adalah sabagai berikut:[14]

a. Tasyahud awal, yaitu bacaan yag wajib dibaca pada saat tasyahud akhir.

b. Duduk tasyahud awal, dalam meninggalkan duduk tasyahud, sama dengan meninggalkan berdiri pada
saat qunut. Ketika seseorang tidak bisa memperbaiki membaca qunut atau tasyahud, dalam keadaan seperti
itu, tetap disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Dan jika meninggalkan salah satunya,
maka disunahkan melakukan sujud sahwi.

c. Membaca do’a qunut, yaitu qunut ketika shalat subuh dan witir separonya bulan Ramadhan.

d. Berdiri ketika membaca do’a qunut.

e. Membaca shalawat kepada Nabi setelah qunut dan tasyahud awal.

f. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah qunut dan tasyahud akhir.

Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu-ragu terhadap sebagian sunah ab’adh yang telah lewat.
Misalnya qunut, sudah melakukan atau belum. Jika seorang munfarid atau imam lupa melakukan sunah
ab’adh, misalnya tasyahud awal, atau qunut, sedang mereka telah melakukan fardu, baik seperti berdiri,
atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut.
Sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah.[15]

2. Sunah Hai’ah

Sunah hai’ah terbagi menjadi lima belas, diantaranya adalah[16]:

a. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram;

b. Mengangkat kedua tangan ketika ruku’;

11
c. Mengangkat kedua tangan ketika bangun dari ruku’;

d. Manaruh tangan kanan di atas tangan kiri;

e. Membaca tawajjuh;

f. Membaca ta’awudz;

g. Mengeraskan suara pada waktunya mengeraskan dan mengecilkan suara pada waktunnya
mengecilkan suara;

h. Membaca surat Al-Quran setelah membaca fatihah;

i. Membaca takbir ketika turun karena ruku’ dan ketika bangun dari ruku’;

j. Mengucapkan lafadz “sami’Allahu liman hamidah”;

k. Membaca tasbih ketika ruku dan sujud;

l. Menaruh kedua tangan di atas kedua paha ketika membaca tasyahud;

m. Duduk iftirosy di semua waktu duduk;

n. Duduk tawaru’ di tasyahud akhir;

o. Membaca salam yang kedua.

D. Perkara Yang Membatalkan Shalat

1. Niat memutus shalat, baik shalat fardu atau shalat sunnah, niat memutus shalat membatalkan shalat.
Batal bagi orang yang menggantungkannya dengan hasilnya suatu perkara, walaupun perkara itu halal dan
sudah menjadi pengadatan.[17]

2. Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus. Hal seperti ini tidak batal, jikalau menimpa kepada
orang yang memang sudah sering was-was dalam shalat dan selain shalat.

3. Pergerakan yang banyak lebih dari tiga kali gerakan yang terus-menerus. Tidak membatalkan
gerakan-gerakan kecil, seperti gerakan jari-jari, dan pelupuk mata.

4. Berbicara dengan sengaja, walaupun hanya dua huruf secara terus-menerus. Berbeda dengan
membaca Al-Quran, dzikir, dan do’a yang tidak bertujuan memberi kepahaman seseorang, hal ini tidak
membatalkan shalat.

5. Masuknya sesuatu ke dalam perut. Sama halnya dengan yang membatalakan puasa. Baik sedikit
maupun banyak, makan atau minum tetap membatalkan shalat. Batal juga disebabkan makan yang banyak
karena lupa. walaupun hal ini tidak membatalkan puasa. Tidak batal bagi orang yang tidak tahu atas
kaharaman makan dan minum.

6. Menambah rukun fi’li dengan sengaja. Tidak dalam keadaan bermakmum. misalnya menambah
rukun atau sujud, sekalipun tidak dengan tuma’ninah di dalamnya. Termasuk membatalkan shalat adalah
seseorang dalam keadaan duduk, kemudian membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan

12
lulutnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk dan iftirasy, yang kedua-duanya
disunahkan. Sebab melakukan perbuatan yang membatalkan shalat itu tidak diampuni adanya demi
melakukan perkara yang sunah.

7. Meyakini atau menyangka bahwa kefarduannya shalat adalah sunnahnya shalat.

8. Hadats, walaupun dengan tidak sengaja.

9. Terkena najis yang yang tidak di ma’fu. tidak batal jika seketika langsung di buang.

10. Terbukanya aurat, kecuali jika terbukanya aurat disebabkan oleh angin lalu dengan seketika
langsung ditutup kembali.

11. Meninggalkan rukun secara sengaja.

12. Merasa ragu-ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu sendiri, padahal shalat sudah berjalan
satu rukun qauli atau fi’li, atau ragu-ragu yang lama melampaui sebagian rukun qauli yang terjadi.[18]

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam dengan syarat-syarat tertentu. Shalat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baligh, dan suci dari
haid dan nifas bagi wanita. Shalat dihukumi sah apabila: 1) orang yang shalat dalam keadaan suci dari
hadats kecil maupun hadats besar; 2) Bersihnya badan, pakaian, dan tempat sholat dari najis; 3) menutup
aurat; 4) mengetahui masuknya waktu shalat; 5) menghadap kiblat; 6) mengetahui kefarduannya shalat;
kefarduan shalat dinamakan dengan rukun shalat. Rukun shalat diantaranya adalah sebagai berikut: 1) niat;
2) Takbiratul Ihram; 3) Berdiri Bagi Yang Mampu; 4) Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at; 5)
Ruku’; 6) I’tidal; 7) Melakukan Dua Sujud; 8) Duduk di Antara Dua Sujud; 9)Tuma’ninah; 10) Membaca
Tasyahud Akhir; 11) Membaca Shalawat kepada Nabi; 12) Duduk Tasyahud Akhir; 13) Memaca Salam; 14)
Tertib.

B. Kritik Dan Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini di masa yang
akan datang.

14
DAFTAR PUSTAKA

[1] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal.
18

[2] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi juz awal (Al-Haromain:Surabaya),
hal. 129

[3] Ibid, hal. 129

[4] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-
Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 18

[5] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal.
20

[6] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-
Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 24

[7] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 18-19

[8] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi juz awal (Al-Haromain:Surabaya,
2009), hal. 120-129

[9] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 26

[10] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 27

[11] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 29

[12] Ibid, hal. 36

[13] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 38

[14] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 41

[15]Ibid, hal. 41

[16] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 23

[17] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 44

[18] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 46

15

Anda mungkin juga menyukai