Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 2

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD MAHDI RAKAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 048980316

Kode/Nama Mata Kuliah : Tindak Pidana Khusus

Kode/Nama UT Daerah : Pangkalpinang

Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
JAWABAN TINDAK PIDANA KHUSUS

1. Narkoba memiliki kepanjangan yaitu Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya.
yang berarti bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral atau melalui mulut,
melalui hidung atau dihirup, maupun disuntikan, dapat memengaruhi pikiran, suasana hati atau
perasaan, dan perilaku seseorang.

Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika membedakan pelaku pidana narkotika
menjadi 2 yaitu :

Pengedar narkotika. meliputi : orang yang secara melawan hukum memproduksi narkotika; menjual
narkotika; mengimpor atau mengekspor narkotika, melakukan pengangkutan (kurir) dan melakukan
peredaran gelap narkotika.

Pengguna narkotika, dibedakan menjadi 2 yaitu pecandu narkotika dan penyalah guna narkotika.
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan memiliki ketergantungan terhadap
narkotika baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan penyalah guna narkotika adalah orang secara
melawan hukum, aktif menggunakan narkotika.

2. 2. Asas Non Retroaktif

Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that
have occured in the past. Di Indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’.
Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang
berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan) atau yang lebih singkat atau lebih dikenal dengan asas Legalitas.

Di Indonesia dahulu pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini,
tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang
terjemahannya : “Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai
kekuatan yang berlaku surut.” Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono
Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas
ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam
undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.[1]

Pada era sekarang ini di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau
larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 (i) UUD 1945,
“…..dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dan Pasal 1 ayat (1) KUHP, “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya”. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan
dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan
perundangan. Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya
menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut
diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan
penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut
berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal
tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal
pengesahan.

Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes. Kedua
aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh
karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya
berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan
dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan
hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes diantaranya adalah tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM berat. Pengecualian atas kejahatan yang bersifat
extra ordinary terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU
tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penghukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum
disahkannya UU No. 26/2000 dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu
dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui
terlebih dahulu oleh DPR. Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc
adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000. Dengan demikian undang undang pengadilan HAM berlaku
surut atau retroaktif. Pelanggaran HAM yang berat mempunyai sifat khusus dan digolongkan sebagai
kejahatan yang luar biasa (exrtra ordinary crime). Oleh karena itu, pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar
1945 dan hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan kasus-
kasus pelanggaran HAM yang berat. Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu
peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan kejahatan
biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada hukumnya/undang-
undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan kejahatan biasa adalah asas legalitas.

Perkembangan signifikan dalam penegakan HAM di Indonesia sejak runtuhnya rezim represif “Orde
Baru” adalah diundangkannya UU 26/2000 yang mendasari pembentukan pengadilan HAM yang
khususnya menangani pelanggaran HAM yang dikategorikan dalam “pelanggaran HAM yang berat”
(gross violations of human rights). UU 26/2000 tersebut menciptakan dua keunikan, yakni, pertama,
dilakukannya penanganan pelanggran HAM yang berat oleh pengadilan khusus dan, kedua,
ditetapkannya Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik. Di samping itu, signifikansi lain UU 26/2000
menyangkut lingkup berlakunya di lihat dari segi waktu, yakni, tidak saja bagi pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi setelah mulai berlakunya undang-undang tersebut melainkan juga pelanggaran HAM
yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang itu. Hal ini juga berarti bahwa Indonesia
telah mengadopsi prinsip yang dianut oleh hukum kebiasaan internasional yang memungkinkan
diadilinya kejahatan jenis tertentu yang bersifat sangat serius dan yang menyangkut kepentingan
komunitas internasional secara keseluruhan melalui penerapan asas retroaktif peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, yang pada hakikatnya merupakan pengecualian dari prinsip nullum
crimen sine lege dan nulla poena sine praevia lege poenali sebagai prinsip umum hukum pidana.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000

Istilah pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) atau dalam bahasa Inggris disebut gross violation of
human rights tidak diterangkan dalam satu difinisi yang secara memadai memuat unsur-unsur tindak
pidana tersebut. Istilah pelanggaran berat HAM muncul untuk menggambarkan dahsyatnya akibat yang
timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumberdaya
kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut dilakukan oleh pelakunya dengan maksud dan tujuan
yang jelas untuk menyerang dan menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia
sehingga membawa akibat atau dampak yang luas.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan
sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar ras, etnik, warna kulit,
budaya, bahasa, agama, jenis kelamin, golongan, dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan
diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan aparat negara
terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun yang bersifat horisontal (antar warga negara sendiri)
dan tak sedikit yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (Groos Violation of Human
Rights).

Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia maka terhadap pelanggaran
HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku sedangkan bagi pelanggaran HAM yang berat
dirumuskan dalam UU RI No. 26 Tahun 2000. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat ialah,
pertama : kejahatan Genosida, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf A adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

Membunuh anggota kelompok;

Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan pemusnahan secara fisik seluruh
atau sebagiannya;

Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;

Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain;

Kedua : Kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf B adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :

Pembunuhan;
Pemusnahan;

Perbudakan;

Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar ketentuan (asas-asas) pokok hukum internasional;

Penyiksaan;

Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan ,agama, etnis, budaya, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

Penghilangan orang secara paksa;

Kejahatan apartheid.

Dengan semakin terbukanya iklim reformasi dan demokratisasi maka terkuak berbagai kasus dugaan
pelanggaran HAM berat yang terjadi di era lalu (orde baru dan bahkan orde lama) sebelum
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, sebut saja dugaan pembunuhan massal yang mengikuti
peristiwa G30S tahun 1965, penembak misterius (Petrus) di awal 1980-an, peristiwa Tanjung Priok 1984,
peristiwa Talangsari di Lampung, kasus Santa Cruz (Insiden Dilli, 19 November 1991), peristiwa tindak
kekerasan di Timor Timur pasca referendum 1999 dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.

Menurut ketentuan UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya
UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden atas usul DPR (Pasal 43) atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Pasal 47).

Namun begitu, penulis mempunyai pendapat bahwa untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 hendaknya diprioritaskan dengan melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka DPR harus segera merevisi UU tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau dapat diselesaikan
secara rekonsiliasi. Pendapat penulis ini mempunyai latar belakang pemikiran dan alasan sebagai berikut
:

Tidak perlu diingkari kenyataan bahwa pembentukan Pengadilan HAM, terutama yang bersifat ad hoc
untuk mengadili “pelanggaran HAM yang berat” yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 adalah
untuk meredam tuntutan komunitas internasional bagi pembentukan pengadilan internasional untuk
mengadili orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan di Timor
Timur pada 1999 yang dikategorikan sebagai “kejahtan terhadap kemanusiaan”, sebagaimana yang
dibentuk sebelumnya oleh Dewan Keamanan (selanjutnya disebut “DK”) PBB pada 1993 untuk bekas
Yugoslavia (International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of
Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia) selajnutnya disebut “ICTY” dan
pada tahun 1994 untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) selanjutnya disebut “ICTR”.

Bahwa untuk melakukan proses hukum secara Pro Yustisia terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM
berat di masa lampau memerlukan proses formal yang panjang berliku.

Dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat, Penyidik dan Penuntut Umum adalah Jaksa Agung. Pasal
10 UU No. 26/2000 menyatakan, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yang
berlaku adalah hukum acara pidana, hal ini berarti adalah KUHAP. Dengan demikian jika Penyidik hendak
melakukan tindakan-tindakan Pro Yustisia maka ia mutlak membutuhkan keberadaan pengadilan yang
berwenang terlebih dahulu, yaitu dalam hal ini pengadilan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat
yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000 ialah Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hal ini tentu akan memerlukan proses berliku oleh karena Pengadilan HAM Ad Hoc hanya bisa terbentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden (Pasal 43 ayat 2), padahal tidak ada ketentuan yang jelas lembaga mana (penyelidik
atau penyidik/penuntut), bilamana, dan atas dasar apa lembaga yang bersangkutan dapat meminta
kepada DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tidak terdapatnya ketentuan yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai lembaga
penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa (subpoena) beserta prosedurnya, tidak ditetapkannya
batas waktu bagi penyidik untuk dapat meminta penyelidik melengkapi kekurangan hasil
penyelidikannya selain masalah yang bersifat lebih dasar dalam hubungan ini yakni kewenangan
penyidik untuk melakukan hal tersebut mengingat bahwa Komnas HAM hanyalah lembaga penyelidik
(bukan penyidik) sebagaimana Pasal 18 ayat (1).
Belajar dari pengalaman bangsa lain dalam melakukan rekonsiliasi nasional kita dapat mencermati
fenomena bangsa Kamboja yang melupakan dendam politik masa lalu bahwa lebih dari 1 juta rakyat
Kamboja terbunuh pada rezim pemerintahan masa lalu. Kini mereka sudah melupakan itu semua
dengan keinginan kuat untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Demikian
juga yang terjadi pada bangsa Afrika Selatan dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional dapat berjalan
secara baik tanpa memunculkan dendam politik masa lalu dan tanpa menimbulkan konflik-konflik baru
namun dapat mewujudkan masyarakat yang sadar akan kemajuan bangsanya.

Menyikapi perkembangan tuntutan reformasi berupa supremasi hukum dan jaminan kepastian hukum
maka telah melahirkan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat terhadap UUD 1945. Pada
pasal 28 (i) menjelaskan secara tegas “….hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”. Dalam hierarki tata urutan perundang-undangan, UUD 1945
mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang (dalam hal ini adalah UU No.
26/2000) sehingga aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, jadi berlaku
asas lex superior derogate legi inferiori. Dengan demikian maka Pasal 43 dan Pasal 46 UU No. 26/2000
telah bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945 dan oleh karenanya sudah sepantasnya jika dilakukan
pengajuan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Prioritas penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No.
26/2000 melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu menitikberatkan pada pencapaian tujuan
rekonsiliasi yang berpedoman pada paradigma nasional serta tujuan nasional dan untuk menjaga tetap
tegak dan utuhnya NKRI dengan menyikapi secara arif dan bijaksana kasus pelanggaran HAM di masa
lalu demi mencapai harapan kemajuan bangsa serta kesejahteraan yang lebih baik di masa depan.

3. 3. Didalam pergaulan bermasyarakat setiap hari terjadi hubungan timbal balik antara anggota
masyarakat yang satu dengan yang lainya. Pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa atau
kejadian yang dapat menimbulkan pelanggaran norma-norma yang ada di masyarakat bahkan masalah
hukum.

Salah satu contoh dari peristiwa tersebut adalah penyalahgunaan narkoba (narkotika, psikotropika, dan
bahan-bahan adiktif lainya) sudah merupakan masalah dari semua negara saat ini karena masalah
narkoba saat ini sudah menjadi momok yang menakutkan. Tidak hanya di kota besar saja melainkan
didesa pun sudah tidak bebas dari narkoba. Disadari atau tidak, narkoba sudah ada disekeliling kita dan
siap merongrong kita apabila kita dapat menyatakan “tidak” pada narkoba.

Penyalahgunaan narkotika di era milenial sekarang ini menembus batas negara, dari jumlah pengguna
diseluruh dunia, mudahnya akses dalam memperoleh berbagai jenis narkotika, dan di sisi
kecenderungan sosial khususnya diantara kaum muda dan kaum pekerja, menyebar lebih cepat melalui
komunikasi dan jaringan internet yang semakin baik.

Pada saat ini di Indonesia telah memiliki Undang-Undang mengenai Narkotika yang didalamnya
mengatur pasal-pasal bagi pengedar dan penyalahgunaan Narkotika yaitu Undang-undang Narkotika
yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Penyalahguna narkotika saat ini tidak hanya dari kalangan artis, pegawai swasta dan negeri, pengusaha
maupun pejabat melainkan sudah ke kalangan supir angkutan umum atau pekerja supir.
Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sopir angkutan umum terjadi di kota-kota besar, maupun kota
kecil. Supir angkutan kota yang menyalahgunakan narkotika banyak berpendapat bahwa narkotika
mereka gunakan untuk membuat mereka melek/ tidak mengantuk,tenaga bertambah selama
mengemudikan mobil.

Masih ingatkah kalian akan kasus Supir Truk yang menabrak Puskesmas di Boyolali?? Supir ini menjadi
tersangka setelah petugas Polres Boyolali melakukan tes urine terhadap sopir truk trailer penabrak
Puskesmas Mojosongo yang mengakibatkan satu orang tewas. Hasilnya, pengemudi bernama Solchan
(38), itu positif mengkonsumsi narkoba jenis sabu. Kasus kecelakaan maut di jalan raya karena sopir
mengkonsumsi narkoba sebelum mengendarai mobil bukan hanya dialami Solchan. Kasus serupa pernah
terjadi di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, pada Januari 2012 silam. Saat itu, sebuah mobil Daihatsu
Xenia warna hitam yang dikemudikan Afriyani Susanti melaju kencang dan tak terkendali hingga
mengalami kecelakaan maut di depan halte Kementerian Perdagangan.

Dikabarkan sembilan orang tewas setelah dihantam mobil bernomor polisi B 2479 XI tersebut. Publik
pun tersentak mana kala Afriyani bersama tiga penumpang Xenia maut tersebut positif mengkonsumsi
narkoba jenis ekstasi dan dalam pengaruh alkohol. Dalam kasus ini, Afriyani divonis hukuman kuruangan
penjara selama 15 tahun. Sedangkan untuk kasus narkoba, mendapat hukuman empat tahun penjara
karena terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunakan narkotika golongan satu.

Masih di tahun yang sama, masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus kecelakaan Novi Amelia yang
menggunakan mobil Honda Jazz dan menabrak tujuh orang di Jalan Gajah Mada, Tamansari, Jakarta
Barat, pada Kamis 11 Oktober 2012. Pengemudi Honda Jazz bernomor polisi B 1864 POP tersebut pun
diketahui mengkonsumsi narkoba jenis ekstasi. Beruntung tak ada korban jiwa dalam kasus kecelakaan
yang melibatkan Novi Amelia. Dua tahun berselang, Novi menjalani sidang dengan tuntutan Pasal 310
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hakim Ketua Harijanto
di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa 7 Januari 2014, memutuskan hukuman enam bulan penjara
kepada Novi.

Kemudian di awal 2015, kasus kecelakaan maut kembali terjadi. Christopher Daniel Sjarif, pengemudi
Mitsubishi Outlander B 1658 PJE menabrak sembilan kendaraan di Jalan Iskandar Muda, Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan. Narkoba pun menjadi pemicunya. Berdasarkan tes laboratorium Badan Narkotika
Nasional (BNN), pemuda yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat ini terbukti
menggunakan narkoba jenis LSD (Lycergic Syntetic Diethylamide), sebelum kecelakaan maut yang
menewaskan empat orang tersebut.

Tahun 2021 masyarakat juga dikagetkan dengan berita supir pribadi seorang artis dan orang ternama di
Indonesia (Zn) yang ditangkap karena menjadi penyalahguna nakotika golongan I, jenis sabu. Dari
beberapa kasus diatas diketahui bahwa penggunaan narkotika oleh supir justru akan membahayakan
diri sendiri bahkan membahayakan keselamatan orang lain disekitar. Bayangkan hukuman yang berlipat
menanti mereka yang menjadi penyalahguna narkotika ini apabila sampai menghilangkan nyawa orang
lain. Selain terkena pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 310 dan 311 undang-undang lalu
lintas juga terkena Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Dari penyalahguna narkotika, beberapa dari mereka berpendapat bahwa yang menjadi alasan mereka
menyalahgunaan narkotika adalah yaitu sebagai berikut :
Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, dan mempunyai
resiko, misalnya ngebut

Untuk menentang suatu otoritas dari orang tua, guru hukum dan instansi yang berwenang.

Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.

Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup.

Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan.

Untuk menghilangkan rasa frutasi dan kegelisahan yang di sebabkan oleh problema yang tidak bisa
diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak
harmonis.

Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan

Karena didorong rasa ingin tau dan karena iseng

Alasan diatas menjadi pendorong mereka menyalahgunakan narkotika baik itu usia anak-anak maupun
dewasa padahal bahaya yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika dapat membawa efek negatif
terhadap tubuh si pemakai. Suatu perasaan riang gembira yang dapat ditimbulkan oleh narkotika yang
berlebihan didalam tubuh seseorang, menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan
yang sangat hebat yang terjadi secara mendadak yang dapat menyebabkan gangguan koordinasi otot-
otot gerak efek ini ditimbulkan oleh pemakai dosis berlebihan, serta timbulnya halusinasi atau bisa di
sebut suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang dilihat apa yang didengar tidak seperti
kenyataan yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai