Anda di halaman 1dari 16

SEBAB-SEBAB HUBUNGAN KEWARISAN,

PENGHALANG KEWARISAN, DAN KEWAJIBAN MENYANGKUT HARTA


WARIS SEBELUM DIBAGI

Dosen Pengampu : Nur Kholis, M.H

Disusun oleh :

Kelompok 6
Aim Matul Azizah (214110402135)
Delia Salsabila (214110402125)
Novian Indriani (214110402288)
Syafi Syafiki Rusadi (214110402309)

Kelas : 5 PAI C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, dan inayah-Nya kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sebab-Sebab Hubungan Kewarisan,
Penghalang Kewarisan, Dan Kewajiban Menyangkut Harta Waris Sebelum
Dibagi”.
Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang penuh ilmu dan pengetahuan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Nur Kholis, M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Munakahat dan
Mawaris yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berkontribusi
pada perkuliahan mata kuliah ini.
Makalah ini kami susun secara optimal dan telah mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat mempermudah dalam penyusunan. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari itu semua, penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik dari para pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi banyak pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca.

Purwokerto, 19 September 2023

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5

C. Tujuan .......................................................................................................... 5

BAB II ..................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

A. Sebab – Sebab Hubungan Kewarisan .......................................................... 6

B. Penghalang Kewarisan ................................................................................. 7

C. Sebab - Sebab dan Kewajiban Harta Waris Sebelum di Bagi .................... 10

BAB III ................................................................................................................. 15

PENUTUP ............................................................................................................. 15

A. Kesimpulan ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang
memegang peran penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan
manusia yang satu dengan yang lainnya. Dimana setiap manusia akan
mengalami kematian dan itu merupakan suatu peristiwa yang pasti yang akan
dialami, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup setiap manusia
di dunia. Jika orang yang meninggal dunia meninggalkan keluarga dan harta
kekayaan atau warisan, maka dengan cara apa harta kekayaan tersebut akan
dibagi.

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang


penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seorang berhak menerima
warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan
budak. Sedangkan penghalang kewarisan adalah pembunuhan, perbudakan, dan
perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain
penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang
dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah
adanya sebab-sebab untuk mewarisi.

Salah satu yang menjadi permasalahan perihal kewarisan yaitu terkait


dengan hak non muslim terhadap hak waris. Dalam fiqh disebutkan bahwa salah
satu penyebab terputusnya hak waris seseorang ialah ketika orang tersebut
dalam kondisi non muslim (kafir) dan atau kondisi murtad. Perbedaan agama
antara muwwaris dengan ahli waris adalah satu syarat terputusnya hak waris
seseorang. Menurut Imam Syafi‟i hadits ini shahih dari segi kualitas perawinya
dan marfu‟ (bersambung kepada Nabi) berdasarkan ketersambungan sanadnya,

4
sedangkan Imam Hanafi tidak setuju dengan pendapat Imam Syafi‟i tersebut,
menurut Imam Hanafi hadits ini adalah hadits ahad dengan bagian atau
tingkatan gharib dari segi kuantitas perawinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi sebab-sebab hubungan kewarisan?
2. Apa saja yang menjadi penghalang kewarisan?
3. Bagaimana kewajiban menyangkut harta waris sebelum dibagi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sebab-sebab hubungan kewarisan
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penghalang kewarisan
3. Untuk mengetahui kewajiban menyangkut harta waris sebelum
dibagi

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab – Sebab Hubungan Kewarisan


1. Pernikahan
Nikah adalah ikatan yang mengandung arti hak memiliki wati
(jima’) yang diucapkan dengan perkataan nikah, tajwiz, atau seperti arti
keduanya”. Hak milik dalam pengertian ini adalah hak milik intifa yaitu hak
menikmati sesuatu yang sudah diketahui sebagai hak hubungan suami istri.
Akan tetapi, yang lebih kuat dari pengertian ini adalah tentang bolehnya
seseorang menikmati faraj perempuan.
Adapun menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974
yang berlaku di Indonesia sekarang, Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain yang telah dijelaskan di atas, perkawinan
juga diterangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No. 1/1991
pasal 4 dan pasal 5 ayat 1 dalam Buku II Dasar dasar Perkawinan.1
2. Nasab
Nasab ialah kerabat yang mempunyai hubungan keturunan dengan
pewaris, baik dari garis keturunan (jihat) bapak atau dari jihat istri.
Kekerabatan dalam syara’ terbagi kepada 3 golongan, yaitu :
1. Kelompok Furu’ (Cabang), yaitu anak keturunan dari si mayit, baik dari
jihat bapak atau dari jihat istri. Kelompok Furu’ dibagi menjadi:
a) golongan laki-laki, terdiri atas anak laki-laki, cucu laki-laki, dan
saudara laki-laki;
b) golongan perempuan, terdiri atas anak perempuan, cucu
perempuan, dan saudari perempuan.

1
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu
Faraid (dalam teori dan praktik), Angkasa,
Bandung,2009, hal 4.

6
2. Kelompok Ushul (Asal), yaitu leluhur yang menyebabkan adanya si
mayit. Kelompok ushul dibagi menjadi :
a) golongan laki-laki, terdiri atas ayah dan kakek sahih betapa pun
tinggi ke atas;
b) golongan perempuan, terdiri atas ibu dan nenek sahih.
3. Kelompok Hawasyi (Menyamping), yaitu keluarga yang dihubungan
dengan si mayit melalui garis menyamping. Kelompok Hawasyi dibagi
menjadi :
a) golongan laki-laki, terdiri atas saudara dan paman;
b) golongan perempuan, terdiri atas saudari dan bibi.
Sebagaimana dalam Pasal 172 dan 174 ayat 1 pada huruf a dan
b KHI No. 1/1991.

3. Wala
Istilah dan keadaan wala di zaman sekarang rasanya tidak mungkin
ada, namun dengan mempelajari hukum waris kita sedikit tahu bahwa
kedudukan wala itu ada dalam pandangan hukum Islam. Wala menurut
syariat adalah kekerabatan menurut hukum akibat dari pembebasan budak.
Hak Wala termasuk sebabsebab waris mewarisi. Walaupun seseorang
tidak memiliki pertalian nassab, akan tetapi karena membebaskan budak
maka dianggap sebagai kerabat yang berdasarkan nasab, sebagaimana
dalam sabda Rasulullah S.A.W.“Hak wala itu hanya bagi orang yang telah
membebaskan budak(nya)” (HR. Bukhari). Rasulullah S.A.W, bersabda:
“Wala itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh
dijual dan dihibahkan” (HR Al Hakim).2

B. Penghalang Kewarisan
1. Berbeda Agama/Kafir/Murtad

2
Budi Ali Hidayat, Ibid, hal 5.

7
Berbeda agama berarti berbeda I’tiqad atau keyakinan. Menurut
hukum syara’, seorang muslim tidak boleh saling waris mewarisi dengan
orang kafir atau orang murtad. Rasulullah SAW bersabda:“Seorang muslim
tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi seorang
muslim” (Hadis Riwayat Bukhari). Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dapat
saling waris mewarisi dua orang pengikut agama yang berbedabeda” (Hadis
Riwayat Ashabus Sunan). Fuqaha telah sepakat menetapkan bahwa orang
kafir tidak dapat mewarisi seorang muslim, sebagaimana termaktub dalam
AlQur’an. Firman Allah SWT:“........Dan Allah sekali-kali tidak akan
memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang
mu’min)” (Q.S. An-Nisa: 141). Di dalam Pasal 172 KHI No. 1/1991
dijelaskan bahwa:Ahli waris dipandang beragama Islam apbila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya.3
2. Pembunuhan
Adapun pengertian pembunuhan secara umum adalah suatu
perbuatan dosa terbesar dibawah kufur, yakni menghilangkan nyawa
seseorang, baik sendiri maupun membunuh secara massal, dengan alat
yang dapat mematikan, baik yang berbentuk materi atau pun berbentuk
non materi. Jumhur Ulama telah sepakat bahwa pembunuhan
menyebabkan gugurnya hak waris atau mewarisi, seperti: pembunuhan
sengaja; pembunuhan tersalah; diputuskan selaku pembunuh; orang yang
menjadi saksi atas pembunuhan yang mengakibatkan terdakwa harus
dihukum bunuh; Orang yang memperkuat kesaksian saksi.

Rasulullah S.A.W bersabda:“Barang siapa yang membunuh


seseorang korban, maka, ia tidak dapat mempusakainya, walaupun si
korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika si korban itu
bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima

3
14 Ibid, hal 5.

8
harta peninggalan” (Hadis Riwayat Ahmad). Rasulullah S.A.W
bersabda:“Tidak berhak bagi si pembunuh sesuatu dari harta warisan”
(Hadis Riwayat An-Nasai). Ahli waris yang berperilaku tindak kriminal
pembunuhan yang disengaja, atau dipersilahkan bersalah oleh putusan
hakim baik membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
terhalang menjadi hak ahli waris.

Di dalam Pasal 173 KHI No. 1/1991 disebutkan bahwa,Seseorang


terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena :

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau


menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
3. Status Budak
Persoalan masalah budak di zaman sekarang sungguh sulit karena
ajaran Islam sudah menghapus tentang perbudakan. Namun, dengan
mempelajari Hukum awris, kita akan mengetahuinya bahwa dulu masalah
perbudakan ada. Dalam hukum syara’, kita harus bisa memahami persoalan
status budak yang terhalang menerima hak waris mewarisi.
a. Budak Qin
Hamba sahaya/amat yang mutlak kehambaannya atas tuannya.
b. Budak Mudabbar
Hamba sahaya/amat yang akan bebas atau merdeka menunggu kematian
tuannya.
c. Budak Mukatab
Hamba sahaya/amat yang ingin merdeka dengan cara dibayar pada
tuannya.
d. Budak Muba’adl
Hamba sahaya/amat yang separuh dari dirinya sudah merdeka.

9
e. Budak Mu’alaq
Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya digantungkan dengan
sesuatu sifat atau yang lainnya.
f. Budak Musha bi ithqihi
Hamba sahya/amat yang kemerdekaannya disebabkan adanya wasiat
dari tuannya.
g. Ummu Walad
Hamba sahaya/amt yang mempunyai keturunan dari tuannya.4

C. Sebab - Sebab dan Kewajiban Harta Waris Sebelum di Bagi


Kewajiban ahli waris adalah melaksanakan apa yang menjadi hak-hak
si pewaris Agar tidak menjadi beban untuk pewaris dunia dan akhirat, demikian
juga ahli waris terlepas dari dosa karena tidak menjalankan apa yang merupakan
kewajiban ahli waris.5 Harta peninggalan Pewaris sebelum dibagi kepada ahli
waris maka harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan simayit terdiri dari:
1) Biaya pemeliharaan mayat (pewaris).
Sebagai langkah pertama yang harus dilakukan oleh ahli waris
adalah menyelesaikan fardhu kifayah si Pewaris dari semua kewajiban yang
akan di penuhi oleh ahli waris. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa
biaya untuk pemeliharaan/perawatan mayat (Pewaris) adalah dari harta
peninggalan si Pewaris menurut uluran yang wajar.
2) Membayar utang-utang yang masih ditagih oleh Kreditor (pemberi
pinjaman)
Utang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan
dari dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Setelah kewajiban
ahli waris selesai untuk menyelesaikan fardhu kifayah maka langkah kedua
adalah membayar hutang si Pewaris dengan harta peninggalan si Pewaris

4
Ibid, hal 5.
5
Elviana S. 2017. KETENTUAN TENTANG HARTA PENINGGALAN (TARIKAH) DALAM
HUKUM ISLAM. Jurnal Ilmiah 05-01

10
sebelum memenuhi wasiat dari si Pewaris. Menurut para ahli Hukum Islam
mengelompokkan utang seseorang itu kepada 2 (dua) kelompok:
a. Utang terhadap sesama manusia, atau dalam istilah hukum Islam disebut
juga dengan dain al-‘ibad.
b. Utang kepada Allah SWT atau dalam istilah hukum Islam . Setelah
utang-utang tersebut dibayar sesuai dengan dapat dibuktikan hutang-
hutang tersebut, dengan pengertian pembayaran tidak boleh memberi
kemudhoratan pada para ahli waris sebab itu pembayaran hutang harus
sebatas harta peninggalan pewaris saja, maka barulah di lihat apakah ada
wasiat dari si Pewaris.
3) Wasiat
Wasiat berasal dari bahasa arab, yaitu Washiyyah yang menurut
fikih Islam terdapat bermacam-macam pengertian antara lain:
• Imam Abu Hanifah memberikan pengertian Wasiat (Washiyyah)
sebagai berikut:”memberikan hak memiliki sesuatu secara suka rela
(tabarru) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa
kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun
manfaat.
• Menurut ulama mahdzab Syafi’iyah dan ulama Malikiyah, berwasiat
pada ahli waris sah apabila mendapat persetujuan para ahli waris, sesuai
dengan Riwayat Ad-daru Qunthny.
• Hadist Rasulullah saw (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim): “tidak
ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu, yang pantas
diwasiatkan sampai dua malam, melainkan hendaknya wasiatnya telah
tertulis disisi kepalanya.
4) Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa arab yang artinya menyalurkan.
Hibah dan wasiat sama-sama pemberian dari orang lain, namun perbedaan
yang menonjol dari keduanya adalah pemberi hibah memberikan pada saat
pemberi hibah masih hidup, sedangkan wasiat diberikan pada saat pemberi
wasiat masih hidup dan dilaksanakan pada saat pemberi wasiat meninggal

11
dunia. Dan perbedaan lain yaitu kalau hibh tidak dapat ditarik kembali
sedangkan wasiat dapat ditarik sipembuat wasiat.
Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang
pelaksanaan hibah ini,maka hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut:
a) Penghibahan dilaksanakan semasa hidup,demikian juga penyerahan
barang yang dihibahkan.
b) Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan
dilakukan, dan kalau sipenerima hibah dalam keadaan tidak cakap
bertindak dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hukum (misalnya
dewasa atau kurang sehat akalnya), mak penerimaan dilakukan oleh
walinya.
c) Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama
sekali oleh pemberi hibah.
d) Penghibahan hendaknya dilaksanakan dihadapan beberapa orang seksi
(hukumnya sunnah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang
sengketa di belakang hari.

Selain lembaga hibah, di indonesia dikenal juga apa yang disebut


dengan lembaga hibah wasiat. Adapun yang dimaksud hibah wasiat adalah
penetapan pembagian harta benda milik seseorang semasa hidupnya dan
pembagian itu baru berlaku sejak saat matinya sipemberi hibah. Dan hibah
wasiat ini lazimnya dibuat tertulis dan biasanya dibuat atas persetujua ahli
waris dan ikut menandatangani surat hibah wasiat tersebut.

Sebab-sebab mendapat Warisan

a. Pernikahan

12
Nikah adalah ikatan yang mengandung arti hak memiliki wati
(jima’) yang diucapkan dengan perkataan nikah, tajwiz, atau seperti arti
keduanya”. Hak milik dalam pengertian ini adalah hak milik intifa yaitu
hak menikmati sesuatu yang sudah diketahui sebagai hak hubungan
suami istri. Akan tetapi, yang lebih kuat dari pengertian ini adalah
tentang bolehnya seseorang menikmati faraj perempuan. 6
Adapun menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974
yang berlaku di Indonesia sekarang, Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain yang telah
dijelaskan di atas, perkawinan juga diterangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Inpres No. 1/1991 pasal 4 dan pasal 5 ayat 1 dalam
Buku II Dasar dasar Perkawinan.
b. Nasab
Nasab ialah kerabat yang mempunyai hubungan keturunan dengan
pewaris, baik dari garis keturunan (jihat) bapak atau dari jihat istri.
Kekerabatan dalam syara’ terbagi kepada 3 golongan, yaitu:
1) Kelompok Furu’ (Cabang), yaitu anak keturunan dari si mayit,
baik dari jihat bapak atau dari jihat istri. Kelompok Furu’ dibagi
menjadi:
a. golongan laki-laki, terdiri atas anak laki-laki, cucu laki-laki,
dan saudara laki-laki;
b. golongan perempuan, terdiri atas anak perempuan, cucu
perempuan, dan saudari perempuan.
2) Kelompok Ushul (Asal), yaitu leluhur yang menyebabkan
adanya si mayi. Kelompok ushul dibagi menjadi:
a. golongan laki-laki, terdiri atas ayah dan kakek sahih
betapapun tinggi ke atas;

6
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Faraid (dalam teori dan praktik), Angkasa,
Bandung, 2009, hal 4.

13
b. golongan perempuan, terdiri atas ibu dan nenek sahih.
3) Kelompok Hawasyi (Menyamping), yaitu keluarga yang
dihubungan dengan si mayit melalui garis menyamping.
Kelompok Hawasyi dibagi menjadi:
a. golongan laki-laki, terdiri atas saudara dan paman;
b. golongan perempuan, terdiri atas saudari dan bibi.
Sebagaimana dalam Pasal 172 dan 174 ayat 1 pada huruf a dan
b KHI No. 1/1991
c. Wala’
Istilah dan keadaan wala di zaman sekarang rasanya tidak mungkin ada,
namun dengan mempelajari hukum waris kita sedikit tahu bahwa
kedudukan wala itu ada dalam pandangan hukum Islam. Wala menurut
syariat adalah kekerabatan menurut hukum akibat dari pembebasan
budak. Hak Wala termasuk sebabsebab waris mewarisi. Walaupun
seseorang tidak memiliki pertalian nassab, akan tetapi karena
membebaskan budak maka dianggap sebagai kerabat yang berdasarkan
nasab, sebagaimana dalam sabda Rasulullah S.A.W.“Hak wala itu
hanya bagi orang yang telah membebaskan budak(nya)” (HR. Bukhari).
Rasulullah S.A.W, bersabda: “Wala itu adalah suatu kerabat sebagai
kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan” (HR Al
Hakim).Oleh karena itu, seseorang hak wala mempunyai hak menerima
waris dari harta peninggalan budaknya yang sudah dibebaskannya,
apabila budak tersebut meninggal dunia.7

7
Johan Sullivan, “KAJIAN HUKUM SEBAB-SEBAB MENDAPAT DAN TIDAK MENDAPAT
WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ISLAM,” no. 3 (t.t.).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebab - Sebab dan Kewajiban Harta Waris Sebelum di Bagi Hak – hak
yang berkaitan dengan warisan dan kewajiban ahli waris menurut hukum Islam
Kewajiban ahli waris adalah melaksanakan apa yang menjadi hak-hak si
pewaris Agar tidak menjadi beban untuk pewaris dunia dan akhirat, demikian
juga ahli waris terlepas dari dosa karena tidak menjalankan apa yang merupakan
kewajiban ahli waris.

Wasiat Wasiat berasal dari bahasa arab, yaitu Washiyyah yang menurut
fikih Islam terdapat bermacam-macam pengertian antara lain: Imam Abu
Hanifah memberikan pengertian Wasiat (Washiyyah) sebagai
berikut:”memberikan hak memiliki sesuatu secara suka rela (tabarru) yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang
memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. Rasulullah
S.A.W, bersabda: “Wala itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang
tidak boleh dijual dan dihibahkan” (HR Al Hakim).Oleh karena itu, seseorang
hak wala mempunyai hak menerima waris dari harta peninggalan budaknya
yang sudah dibebaskannya, apabila budak tersebut meninggal dunia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Faraid (dalam teori dan praktik),
Angkasa, Bandung, 2009, hal 4.
Elviana S. 2017. KETENTUAN TENTANG HARTA PENINGGALAN
(TARIKAH) DALAM HUKUM ISLAM. Jurnal Ilmiah 05-01

Johan Sullivan, “KAJIAN HUKUM SEBAB-SEBAB MENDAPAT DAN


TIDAK MENDAPAT WARISAN MENURUT HUKUM WARIS
ISLAM,” no. 3 (t.t.).

16

Anda mungkin juga menyukai