HEMOFILIA B
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO 2011
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Margono Soekardjo
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi penulis kemampuan dan kesempatan untuk menyusun Referat ini, yang berjudul Hemofilia B". Terbentuknya referat ini tidak lain karena bimbingan dari dosen-dosen kami. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih pada: 1. dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam proses pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini. 2. Ayah dan Ibu yang tak pernah lepas memberikan penulis semangat tinggi dalam menyelesaikan penelitian ini. 3. Teman-teman yang senantiasa memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian penelitian ini. Kami sangat menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, dan akan keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis selalu mengharapkan saran dan kritik yang dapat mengembangkan Karya Tulis ini ke arah yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang..................................................................................... 1 B. Tujuan.................................................................................................. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Epidemiologi................................................................... 2 B. Klasifikasi............................................................................................ 2 C. Patofisiologi......................................................................................... 3 D. Diagnosis.............................................................................................. 4 E. Komplikasi........................................................................................... 5 F. Manajemen Hemofilia B...................................................................... 6
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hemofilia terjadi pada satu dari 10.000 kelahiran. Dari keseluruhan individu dengan hemofilia 15-20% merupakan hemofilia B. Hemofilia merupakan suatu penyakit genetik yang tidak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan. Apabila tidak terkendali maka hemofilia dapat menurunkan kualitas hidup penderita, meningkatkan biaya pengobatan bahkan menyebabkan kematian. (1) Terapi hemofilia yang efektif telah tersedia sejak 30 tahun yang lalu, namun begitu terapi tersebut tidak mudah untuk diterapkan di negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian institusi kesehatan terhadap manajemen hemofilia yang komprehensif karena kecilnya angka kejadian hemofilia terutama hemofilia B. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyusun suatu referat mengenai hemofilia B mulai dari penegakan diagnosis hingga
penatalaksanaan terkini dan terapi tambahan apabila pengobatan utama tidak tersedia.
B. Tujuan Referat ini bertujuan untuk merangkum manajemen hemofilia dimulai dari diagnosis hingga penatalaksanaan terkini dan terapi tambahan apabila pengobatan utama tidak tersedia.
A. Definisi dan Epidemiologi Hemofilia merupakan suatu penyakit perdarahan akibat kelainan genetik X-linked recessive. Pada individu dengan hemofilia terdapat defisiensi faktor pembekuan VIII (hemofilia A) dan faktor pembekuan IX (hemofilia B). Hemofilia B juga sering disebut sebagai christmas disease. (1) Frekuensi hemofilia terjadi pada satu dari 10.000 kelahiran. Dari seluruh individu dengan hemofilia 15-20% merupakan hemofilia B. Belum ada data mengenai angka kejadian hemofilia di Indonesia. (2)
B. Klasifikasi Hemofilia merupakan suatu kelainan genetik X-linked recessive, hal ini memungkinkan adanya karier hemofilia pada wanita pada wanita yang memiliki satu kromosom X hemofilia. Pada wanita karier hemofilia yang menikah dengan pria tanpa hemofilia akan memiliki empat kemungkinan seperti gambar di bawah. (3)
XX
XY
Wanita normal
XX
XX
Karier hemofilia
Pria normal
XY
Pria hemofilia
XY
Beberapa kasus telah melaporkan adanya hemofilia didapat. Berdasarkan manifestasi klinis tidak terdapat perbedaan dibandingkan dengan hemofilia kongenital namun onset perdarahan biasanya terjadi pada usia dewasa. Hemofilia didapat terjadi karena adanya faktor VIII atau IX (inhibitor hemofilia) sehingga aktivitas faktor VIII atau IX menurun hingga ke titer hemofilia. (4) Berdasarkan gambar di atas maka penurunan faktor pembekuan IX akan terjadi pada anak pria dengan kromosom X hemofilia. Sebagian besar karier hemofilia tidak menimbulkan gejala namun dapat juga terjadi penurunan faktor IX yang ringan sehingga menimbulkan manifestasi perdarahan. Klasifikasi Hemofilia didasarkan pada tingkat defisiensi faktor pembekuan dan manifestasi klinis yang mungkin terjadi. (1)
Tabel 1 Klasifikasi Hemofilia (1)
Manifestasi Perdarahan spontan Terkadang perdarahan spontan. Perdarahan berat bila trauma atau operasi Perdarahan berat dengan trauma berat atau operasi
Ringan
5-40% (0,05-0,40)
C. Patofisiologi Faktor IX merupakan suatu proenzim rantai tunggal 55-kDa yang disintesis di hepar. Faktor IX yang dirubah menjadi suatu protease aktif (IXa) oleh faktor Xia atau oleh tissue factor-VIIa complex. Faktor IXa bersama dengan faktor VIII mengaktivasi faktor X. Defisiensi faktor IX dapat menyebabkan kaskade jalur koagulasi terhambat sehingga terjadi gangguan hemostasis pada individu dengan hemofilia B. (5)
Perlukaan endotel
Faktor IX
Faktor IXa
D. Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Penegakkan diagnosis awal hemofilia B didasarkan pada anamnesis dan penelusuran riwayat yang cermat, terutama riwayat perdarahan yang sulit berhenti, kecelakaan, kencing berwarna merah, sakit sendi dan bengkak, trauma atau perdarahan masif pada pembedahan. Pada ananmesis juga dapat diketahui adanya riwayat keluarga yang memiliki gejala yang sama atau manifestasi perdarahan lain. Wanita dengan menorrhagia sebaiknya dicurigai kemungkinan karier hemofilia. (1) Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik bergantung pada lokasi perdarahan yang terjadi. Berikut beberapa lokasi perdarahan yang sering terjadi pada pasien dengan hemofilia. (1) a. Hemarthrosis (70-80%) 1) Lutut (45%) 2) Siku (30%) 3) Ankle (15%) 4) Bahu (3%) 5) Pergelangan tangan (3%)
4
6) Pinggul (2%) 7) Lain-lain (2%) b. Otot dan jaringan lunak (10-20%) c. Perdarahan hebat lainnya (5-10%) d. Perdarahan SSP (<5%) Pada hemarthrosis dapat ditemukan persendian yang bengkak dan terasa sakit bila digerakkan ataupun ditekan. Manifestasi perdarahan lain dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik organ yang bersangkutan. 2. Pemeriksaan penunjang Berikut beberapa pemeriksaan penunjang untuk hemofilia. (2) a. Clotting time, aPTT: pada individu dengan hemofilia berat dan sedang terjadi pemanjangan clotting time, bleeding time dan activated partial tromboplastin time. Pada individu dengan hemofilia ringan pemeriksaan tersebut dapat normal. b. Bleeding time, PT: pada individu dengan hemofilia tidak terdapat pemanjangan bleeding time dan protrombin time. c. Aktivitas faktor VIII dan IX: pemeriksaan aktivitas faktor IX merupakan diagnosis definitif pada hemofilia B, pemeriksaan aktivitas faktor VIII dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hemofilia A. d. Titer inhibitor hemofilia: dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi akibat terapi pemberian konsentrat faktor pembekuan. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan sesuai indikasi berdasarkan lokas perdarahan yang terjadi a. CT-Scan: dilakukan apabila terjadi perdarahan pada SSP b. X-Ray: dilakukan terhadap sendi yang mengalami hemarthrosis untuk menyingkirkan adanya penyebab lain atau bila akan dilakukan tindakan.
E. Komplikasi Komplikasi kronik hemofilia secara umum dibagi menjadi dua; komplikasi muskuloskeletal dan komplikasi dari terapi 1. Komplikasi muskuloskeletal Komplikasi muskuloskeletal terjadi karena hemarthrosis yang berulang atau tidak ditangani dengan baik. Beberapa jenis yang dapat terjadi ialah; chronic hemophilic arthropathy, kontraktur, pembentukan pseudotumour dan fraktur. 2. Komplikasi dari terapi Komplikasi terapi secara umum dibagi menjadi dua yaitu pembentukan inhibitor hemofilia dan infeksi terkait transfusi. Infeksi terkait transfusi terutama seperti HIV, Hepatitis A, B dan C dan infeksi lainnya yang dapat menular melalui darah. Inhibitor hemofilia adalah antibodi yang dapat menghancurkan faktor pembekuan kaskade koagulasi. Inhibitor merupakan salah satu penyulit dalam terapi hemofilia, karena antibodi ini dapat
menghancurkan konsentrat faktor yang diberikan sebelum konsentrat faktor berfungsi. Inhibitor hemofilia dapat terbentuk 10-20 hari setelah pemberian konsentrat. Keberadaan inhibitor dapat diketahui dengan pemeriksaan titer inhibitor hemofilia. Transient inhibitor apabila titer inhibitor <5 BU (bethhesda unit), sedangkan individu dengan titer 5 Bumerupakan inhibitor persisten.
F. Manajemen Hemofilia B Prinsip umum manajemen hemofilia secara umum dibagi menjadi pencegahan perdarahan, manajemen perdarahan, penatalaksanaan jangka panjang terhadap kerusakan sendi, otot serta penatalaksanaan komplikasi dari terapi (inhibitor dan infeksi akibat transfusi) dan monitoring. 1. Pencegahan perdarahan a. Perubahan gaya hidup
1) Menghindari olahraga kontak. Olahraga dengan beban gravitasi minimal sangat disarankan seperti berenang dan bersepeda. 2) Latihan rutin dianjurkan untuk meningkatkan kekuatan otot dan melindungi sendi. b. Menghindari pengobatan dan tindakan medis menyebabkan perdarahan 1) Pasien harus menghindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit, terutama asetil salisilat, NSAID (kecuali inhibitor COX-2). Penggunaan parasetamol/asetaminofen dapat menjadi alternatif analgesia. 2) Injeksi intramuskuler, flebotomi, pungsi arteri harus dihindari. c. Profilaksis Profilaksis dilakukan dengan memberikan faktor yang dapat
pembekuan secara teratur. Tindakan profilaksis memperbaiki kejadian perdarahan pada individu dengan hemofilia berat dan sedang. Konsentrat faktor IX dapat diberikan secara IV 25-40 IU/Kg dua kali seminggu untuk hemofilia B. 2. Manajemen perdarahan a. Perdarahan akut harus diterapi sedini mungkin (<2 jam). Perdarahan ringan hingga sedang tanpa komplikasi dapat dilakukan di rumah. (1) b. Terapi utama pada perdarahan akibat hemofilia B ialah pemberian konsentrat faktor IX. Konsentrat faktor IX terdapat dalam dua bentuk yaitu prothrombin complex concentrates (PCC) yang berisi faktor II, VII, IX dan X dan purified F IX concentrates yang berisi sejumlah faktor IX tanpa faktor lain. Faktor IX murni lebih diutamakan sebab penggunaan PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal akibat adanya faktor lain dalam PCC. Pemberian 1 unit konsentrat faktor IX dapat meningkatkan aktivitas faktor IX dalam plasma sebanyak 0,8%/kbBB pada dewasa dan 0,7%/kgBB pada anak <15 tahun selama 24 jam. (1)
c. Penghitungan pemberian faktor IX dapat menggunakan rumus: Konsentrat yang diberikan (Unit) = (%kadar yang dikehendaki X BB pasien) : 0,8 (0,7 pada anak <15 tahun). Target aktivitas faktor IX yang diberikan berbeda tergantung tujuan pemberian konsentrat faktor IX dan ketersediaan konsentrat faktor IX itu sendiri.
Tabel 2 Kadar Faktor IX dan durasi pemberian yang direkomendasikan apabila terdapat hambatan sumber daya (1)
Target F IX 10-20%
Lama pemberian 1-2 hari, dapat diperpanjang apabila respon tidak baik 2-3 hari, dapat diperpanjang apabila respon tidak baik
10-20%
15-30% 10-20%
1-3 hari 4-7 hari 8-14 hari (hingga 21 hari jika ada indikasi)
Tenggorokan dan leher 1. Awal 2. Maintenance Gastrointestinal 1. Awal 2. Maintenance Renal Laserasi Dalam
30-50% 10-20%
Konsentrat
faktor
<3ml/menit sedangkan dengan PCC diinfuskan dengan kecepatan dua kali lebih lambat. d. Pada keadaan dimana konsentrat faktor pembekuan terbatas atau tidak tersedia dapat dilakukan beberapa terapi tambahan. (1) 1) Metode RICE (rest, ice, compression and elevation). Otot dan sendi yang berdarah dapat diistirahatkan dengan pembebatan, pemasangan gips atau menggunakan kruk atau kursi roda. Pemakaian kantong es dapat mengurangi inflamasi, es tidak boleh langsung menyentuh kulit sebaiknya dibungkus handuk, digunakan selama 20 menit setiap 4-6 jam hingga bengkak dan nyeri berkurang. Kompresi lokasi perdarahan dapat mengurangi perdarahan yang terjadi, namun harus dilakukan dengan hati-hati, tergantung lokasi perdarahan. Elevasi terhadap lokasi perdarahan dapat mengurangi suplai darah sehingga mengurangi perdarahan yang terjadi. 2) Fresh frozen plasma dapat diberikan sebanyak 15-20 ml/kg apabila konsentrat faktor IX tidak tersedia. 3) Obat-obat antifibrinolitik (asam tranexamat, asam amino kaproat epsilon) selama 5-10 hari efektif sebagai terapi tambahan. Asam tranexamat dapat diberikan 500 mg/hari dalam dua dosis terbai, asam amino kaproat dapat diberikan 5g drip dalam satu jam pertama perdarahan dilanjutkan 1g per jam. Obat-obat ini harus dihindari pada perdarahan ginjal karena dapat membuat jendalan darah dalam saluran
kemih dan menyebabkan kolik ureter dan obstruksi saluran kemih. 4) Penggunaan inhibitor COX-2 dapat digunakan untuk inflamasi misalnya parecoxib dapat diberikan hingga 80 mg/hari. 3. Penatalaksanaan komplikasi dari terapi a. Manajemen pada individu dengan inhibitor hemofilia Pada individu dengan titer inhibitor hemofilia rendah <5 BE dapat diberikan konsentrat faktor seperti biasa dengan dosis yang dinaikan. Pada individu dengan titer inhibitor tinggi 5 BE dapat diberikan bypass agent atau pemberian faktor lain dalam kaskade koagulasi untuk melewati tahapan yang mengalami gangguan. Bypass agent yang diberikan biasanya berupa PCC, aPCC (bentuk aktif PCC) atau recombinant activated F VII (rFVIIa) sebanyak 90 Bg/kg selama 3 jam. Protrombin complex concentrate mengandung FII, FVII, FIX dan FX sehingga faktor lain selain F IX dapat berlaku sebagai bypass agent. Pemberian aPCC lebih diutamakan karena lebih efektif dan efek samping yang terjadi lebih jarang terjadi. Efikasi pemberian aPCC DAN rFVIIa mencapai 80-90% dalam manajemen perdarahan pada individu dengan inhibitor hemofilia. (6) (7) Strategi lain ialah dengan metode Immune tolerance induction. Dalam metode ini individu dengan inhibitor hemofilia diberikan konsentrat faktor IX dengan dosis 50 IU/kg 3x seminggu hingga 200 IU/kg per hari selama beberapa minggu hingga bulan. Pada pasien dengan inhibitor faktor IX kemungkinan keberhasilan lebih rendah dan memiliki risiko yang tinggi bila dibandingkan dengan inhibitor faktor VIII. (1) b. Manajemen Infeksi terkait transfusi Manajemen infeksi terkait transfusi pada individu dengan hemofilia pada dasarnya tidak berbeda dengan manajemen infeksi pada umumnya (tergantung jenis infeksinya). Beberapa hal yang
10
perlu diperhatikan berkaitan dengan pengobatan dan tindakan medis yang tidak boleh dilakukan pada individu dengan hemofilia. 4. Manajemen hemofilia didapat Manajemen pada hemofilia didapat secara umum sama dengan manajemen individu dengan inhibitor hemofilia. (4) 5. Monitoring Monitorng dilakukan sekali setiap 6-12 bulan untuk evaluasi hal-hal berikut: (1) a. Status muskuloskeletal b. Konsentrat faktor pembekuan c. Timbulnya inhibitor d. Komplikasi dari terapi e. Kualitas hidup
11
1. Hemofilia B merupakan suatu penyakit perdarahan akibat defisiensi aktivitas faktor IX. 2. Hemofilia B merupakan kelainan genetik X-linker recessive atau dapat juga suatu kelainan didapat. 3. Diagnosis definitif adalah menurunnya aktivitas faktor IX berdasarkan pemeriksaan laboratorium. 4. Prinsip terapi hemofilia B adalah menghindari perdarahan sebagai initial treatment. 5. Pemberian konsentrat faktor IX merupakan terapi utama pada manajemen perdarahan karena hemofilia B 6. Terapi tambahan dapat dilakukan dengan metode RICE (Rest, ice, compression, elevation) dan pemberian obat seperti asam tranexamat apabila ketersediaan konsentrat faktor IX minim.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. World Federation of Hemophilia. Panduan Penatalaksanaan Hemofilia. [Online].; 2005 [cited 2011 10 29. Available from: http://www.wfh.org/2/docs/Publications/Other_Languages/TreatmentGuidelines_Indonesian.pdf. 2. Rotty LWA. Hemofilia A dan B. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p. 759-62. 3. Kasper CK, Buzin CH. http://www.carolkasper.com. [Online].; 2007 [cited 2011 10 29. Available from: http://www.carolkasper.com/Monographs/genmonograph.pdf. 4. Giangrande P. Acquired Hemophilia. [Online].; 2005 [cited 2011 10 31. Available from: http://www.wfh.org/2/docs/Publications/Diagnosis_and_Treatment/TOH38_A cquired_Hemophilia.pdf. 5. Handin Rl. Disorders of Coagulation and thrombosis. In Fauci AS, Longo DL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th edition.: McGraw-Hill; 2005. p. 680-7. 6. Tjonnfjord GE, Holme PA. Factor eight inhibitor bpass activity (FEIBA) in the management of bleeds in hemophilia patients with high-titer inhibitors. Vascular Health Risk Management. 2007 August; 3(4). 7. Hay CRM, Brown S, Collins PW, Keeling DM, Liesner R. The diagnosis and management of factor VIII and IX inhibitors: a guideline from the United Kingdom Haemophilia Centre Doctors Organisation. British Journal of Haematology. 2006; 133.