Makalah Softskill
Makalah Softskill
OLEH:
WIDYA WATI
DOSEN PEMBIMBING:
Prof. FESTIYED, MS
KATA PENGANTAR
Padang,
November 2010
Widya Wati
ii
DAFTAR ISI
A.
1.
2.
3.
B.
1.
Dari kecerdasan tunggal ke kecerdasan majemuk (IQ, EQ, dan SQ) ............... 11
2.
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah
mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai
dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa
berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri
dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan
porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih
berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya
muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa
sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft
skillnya.
Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi
kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum
juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan
pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua
pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus
melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja
hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.
Perhelatan Ujian Nasional baru saja selesai. Siswa yang lulus bersuka cita
merayakan keberhasilannya, sementara siswa yang tidak lulus tidak sedikit yang
kecewa dan terpuruk meskipun diberi kesempatan mengikuti Ujian Nasional
ulangan. Kelulusan adalah gerbang menuju episode pendidikan berikutnya. Bagi
yang lulus SMA dapat memilih alternatif untuk kuliah di PT, menimba ilmu
agama di pesantren, dan dapat pula kuliah kehidupan dengan terjun langsung di
dunia usaha/industri dan di masyarakat.
Namun tidak semua lulusan mampu memilih langkah pasti yang akan
diambil. Euforia kelulusan hanya sesaat setelah pengumuman kelulusan, episode
berikutnya adalah kegamangan menjalani aktifitas kehidupan. Tidak semua
lulusan mampu secara intelektual mengambil program studi di perguruan tinggi
yang diidam-idamkan. Tidak semua lulusan berasal dari keluarga yang mampu
secara finansial, apalagi di tahun sekarang harga kursi di perguruan tinggi
selangit. Dan tidak semua lulusan memiliki insting untuk berwira usaha,
sementara bekerja sebagai buruh tidak semua lulusan memiliki nyali untuk
menjalaninya.
Fenomena ini memberi gambaran bahwa pendidikan kita tidak
menyiapkan alternatif pilihan pasca kelulusan siswa. Pembelajaran di kelas hanya
berorientasi bagaimana meluluskan siswa. Sekolah seakan-akan tidak bertanggung
jawab atas nasib siswanya pasca kelulusan. Memang ada beberapa sekolah yang
membuka BKK (Bursa Kerja Khusus), namun sepanjang pengetahuan penulis
hanya sedikit yang dapat berjalan dengan efektif.
Dalam dunia pendidikan, ada tiga ranah yang harus dikuasai oleh peserta
didik yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi
pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan
attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan
dengan keterampilan yang sifatnya prosedural dan cenderung mekanis.
Dalam realitas pembelajaran usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah
tersebut memang selalu diupayakan, namun pada kenyataannya yang dominan
adalah ranah kognitif dan psikomotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan
kemampuan yang sifatnya hard skills namun miskin soft skills. Gejala ini tampak
pada out put pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pinter,
juara kelas, namun miskin kemampuan membangun relasi, kekurangmampuan
bekerja sama dan cenderung egois, serta cenderung menjadi pribadi yang tertutup.
Penguasaan hard skills yang lebih dominan ini bukanlah kesalahan guru
semata, namun sudah sistemik sehingga membelenggu kreatifitas guru dalam
penanaman soft skills ke peserta didik. Adanya Ujian Nasional yang memforsir
tenaga dan fikiran guru dan siswa, keharusan penguasaan berbagai keterampilan
(dalam ujian praktik berbagai mata pelajaran) merupakan bukti bahwa sistem
pendidikan kita lebih menekankan kemampuan teknik yang bersifat hard skills.
Idealnya pembelajaran menemukan keseimbangan antara hard skills dengan soft
skills sehingga peserta didik menjadi pribadi yang cerdas, pintar, namun terbuka
dan dinamis. Pribadi yang terbuka dan dinamis itu penting karena pribadi yang
demikian cenderung adaptif dan mampu berdialektika dengan perkembangan dan
perubahan zaman.
Lalu apa yang kurang dengan pembelajaran di sekolah?. Ada sisi yang
selama ini kurang diperhatikan yakni soft skills. Soft skills berada diluar ranah
teknis dan akademik, lebih bersifat psikologis sehingga abstrak. Konsep soft skills
berperan
20%
dalam
menentukan
keberhasilan
seseorang.
Lalu bagaimana guru meng-include- kan soft skills dalam pembelajaran?. Guru
harus menata ulang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Unsur soft skills
harus dicari dalam materi pelajaran yang diajarkan. Kemudian secara eksplisit
harus ditulis dalam RPP, termasuk di dalamnya bagaiamana mempraktikkan soft
skills tersebut di kelas.
Mengingat pentingnya soft skills dalam membekali siswa menggapai
prestasi hidup maka sudah selayaknya soft skills dalam pembelajaran
dikedepankan.
A. Soft Skill
1. Pengertian Soft Skill
Soft skill adalah istilah sosiologis yang berkaitan dengan seseorang EQ
(Emotional Intelligence Quotient), kumpulan karakter kepribadian, rahmat sosial,
komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimisme yang menjadi
ciri hubungan dengan orang lain. Soft melengkapi keterampilan keterampilan
keras (bagian dari seseorang IQ), yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan
dan banyak kegiatan lainnya.
Soft Skill atau keterampilan lunak menurut Berthhall (Diknas, 2008)
merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan
dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja
sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan lainnya. Keterampilan lunak ini
merupakan modal dasar peserta didik untuk berkembang secara maksimal sesuai
pribadi masing-masing.
Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori
: intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self
awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional
awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness,
time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill
mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging
skills di
dunia
kerja/usaha
berbanding
terbalik
dengan
semangat hidup bekerja keras. Etos kerja keras perlu dikenakan sejak dini di
sekolah melalui berbagai kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler di sekolah.
Peserta didik dengan tantangan ke depan yang lebih berat tentu harus
mempersiapkan diri sedini mungkin mellaui pelatihan melakukan kerja praktik
sendiri maupun kelompok.
Kedua, kemandirian
Cirri peserta didik mandiri adalah responsive, percaya diri dan berinisiatif.
Renponsif berarti peserta didik tanggap terhadap persoalan diri dan lingkungan.
Sebagaicontoh bagaimana peserta didik tanggap terhadap krisis global warming
dengan kampanye hijaukan sekolahku dan gerakan bersepeda tanpa motor.
Menjaga kepercayaan diri seorang peserta didik untuk memaksimalkan potensi
peserta didi harus sinergis dengan kerja kerasnya.
Ketiga, kerja sama tim
Keberhasilan adalah buah dari kebersamaan. Keberhasilan menyelesaikan
tugas kelompok adalah pola klasik yang masih relevan untuk menampilkan
karakter ini. Pola pelatihan outbond yang sekarang marak diselenggarakan
merupakan pola peniruan karakter ini
Memberikan layanan
Bernegosiasi
Motivasi
emosional
dan
intelektual,
yang
mengenal
dirinya,
yang
mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro).
Menurut Howard Gardner dalam bukunya yang bejudul Multiple Inteligences
Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft kills walaupun
berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai
(diterapkan
dalam
kehidupan
sehari-hari)
melalui
proses
pembelajaran.
Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus,
melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan
menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satunya
adalah pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.
Selain itu, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan
komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah
Kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila
menerapakan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajaran.
Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan
pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata, berpikir tingkat
tinggi, aktivitas siswa, aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif,
dan pembentukan manusia yang memiliki akal sehat. CTL dilaksanakan melalui
beberapa pendekatan pengajaran, antara lain: 1. Belajar berbasis masalah 2.
Pengajaran autentik 3. Pengajaran berbasis Inquiri 4. Belajar berbasis
proyek/tugas terstruktur 5. Belajar berbasis kerja 6. Belajar berbasis layanan 7.
Belajar kooperatif
10
B. Multiple Intelegence
1.
11
12
Spearman (1904) dengan teori Two Factor-nya, atau Thurstone (1938) dengan
teori
Primary
Mental
Abilities-nya.
Dari
kajian
ini,
menghasilkan
13
dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain.
Penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan
sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang.
Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya.
Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada
hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran
psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari kesalahkaprahan penggunaan istilah tersebut, ada satu hal
yang perlu digarisbawahi dari para penggagas beserta pengikut kelompok
kecerdasan emosional, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek nonintelektual yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek
aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi
pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat
permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan
dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih
sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan
manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan.
Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih
berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut
fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari
14
2001).
Kajian
tentang
God
Spot
inilah
pada
gilirannya
15
16
Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan
kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk
pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self
Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal
strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha
untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan
sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total
Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar,
2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan
semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan
intelektual saja. Menurut Gardner bahwa salah besar bila kita mengasumsikan
bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes
menggunakan pensil dan kertas. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam
buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan
penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang
kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu
menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi
dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin
transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya
yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju
17
kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak
bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan
terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana
Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya.
Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan,
seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan
lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan
perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan
perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan raksasa-raksasa teknologi yang
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun
dibalik itu, raksasa-raksasa teknologi tersebut telah bersiap-siap untuk
menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak
diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya
hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya
maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun
harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting,
apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual,
ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan
meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur
pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan
intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan
emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ)
18
orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi
maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah
berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki,
melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ),
dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas
diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh
aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai
pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha
membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi
(fitrah)
kemanusian
yang
dimilikinya,
melalui
pendekatan
dan
proses
2.
bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple intelegences, ada delapan jenis
kecerdasan yang dimiliki setiap individu yaitu linguistik, matematis-logis, spasial,
kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Melalui
delapan jenis kecerdasan ini, setiap individu mengakses informasi yang akan
masuk ke dalam dirinya. Karena itu Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan
19
Kecerdasan Linguistik, umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis
kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c)
sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu
senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan mudah, (f) suka mengisi tekateki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata
pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi).
2.
3.
20
5.
Kecerdasan Musikal memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik
di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih
bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri
sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai
suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran
musik.
6.
21
8.
Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada
berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam
terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara
binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan
alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam
lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan
hidup.
Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam
upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia.
Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama
untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan.
Konsep Multiple Intelligences juga mengajarkan kepada anak bahwa
mereka bisa belajar apapun yang mereka ingin ketahui. Apapun yang ingin
diktehauinya itu dapat ditemui di dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami
sendiri. Sementara, bagi orangtua maupun guru, yang dibutuhkan hanya kreatifitas
dan kepekaan untuk mengasah kemampuan anak. Baik Mam & Pap maupun guru
juga harus mau berpikir terbuka, keluar dari paradigma tradisional.
22
Soal manfaat lingkungan untuk membantu proses belajar ini, sudah diteliti
lho oleh beberapa orang peneliti kegiatan belajar. Ada Vernon A. Magnesen tahun
1983 dan sekelompok peneliti seperti Bobbi DePorter; Mark Reardon, dan Sarah
tahun 2000. Mereka menjelaskan bahwa kita sebenarnya mendapat pengetahuan
dari apa yang kita baca (10%), dari apa yang kita dengar (20%), dari apa yang kita
lihat (30%), dari apa yang kita lihat dan dengar (50%), dari apa yang kita katakan
(70%) dan dari apa yang kita katakan dan lakukan (90%).
9 Kecerdasan Ganda yang Dimiliki Anak
1.
selalu mendapat tempat (unggul) dalam lingkungan belajar di kelas dan tes-tes
gaya lama.
3.
Kecerdasan ini tak sepenuhnya bisa dianggap sebagai cerminan dari anak yang
23
terlihat sangat aktif. Kecerdasan ini lebih senang berada di lingkungan dimana ia
bisa memahamisesuatu lewat pengalaman nyata.
5.
bukan hanya pola belajar auditori tapi juga mempelajari sesuatu lewat indetifikasi
menggunakan panca indera.
6.
7.
urutan. Bukan hanya menyenangi sesuatu yang natural, tapi juga senang
menyenangi hal-hal yang rumit.
9.
sini? Untuk apa kita di sini? Bagaimana posisiku dalam keluarga, sekolah dan
kawan-kawan?. Kecerdasan ini selalu mencari koneksi-koneksi antar dunia
dengan kebutuhan untuk belajar.
24
Kesimpulan
Soft Skill adalah tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat
mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan,
pengembangan kerja sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan lainnya
Multiple intelligence ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu
yaitu
linguistik,
matematis-logis,
spasial,
kinestetik-jasmani,
musikal,
25
DAFTAR PUSTAKA
26