Anda di halaman 1dari 4

GLAXOSMITHKLINE, BRISTOL-MYERS SQUIBB, AND AIDS IN AFRICA

Case Overview
Tahun 2004 The United Nations memprediksi sebanyak 3 juta orang meninggal dari 5
juta orang yang terinfeksi Virus AIDS di tahun sebelumnya dan yang terinfeksi virus tersebut
meningkat sekitar 40 juta orang. Data menjelaskan bahwa 70% dari wilayah terinfeksi
tersebut bertempat di negara-negara sub sahara. Dengan penderita sebanyak itu, negaranegara tersebut hampir putus asa mendapatkan pengobatan yang sesuai dan terjangkau.
Antiretroviral adalah obat yang dapat memperpanjang harapan hidup dari para penderita
HIV/AIDS. Sayangnya para penderita dan juga yang berpotensi terinfreksi tidak mampu
membeli antibiotik tersebut yang harganya sekitar $10,000 hingga $15,000 untuk supply
selama satu tahun. Perusahaan yang mematenkan antiretrovial AIDS

di WTO adalah

glaxosmithkline dan bristol-myers squibb dengan mengimplementasikan kesepakatan TRIPS.


Glaxosmithkline dan Bristol-Myers Squibb merupakan perusahaan farmasi besar yang
mengembangkan dan mengkombinasikan beragam obat antiretroviral hingga memungkinkan
untuk membunuh virus HIV yang ada di tubuh penderita. Banyak organisasi yang mencoba
melobi kedua perusahaan ini untuk menurunkan harga obat ini. Alasan glaxosmithkline dan
bristol-myers squibb tidak menjualkan obat pembunuh vrus HIV tersebut dengan harga yang
terjangkau pendapatan penduduk di negara sub sahara karena menganggap lebih baik
melakukan tindakan preventif yakni pemerintah setempat harusnya mendidik penduduknya
untuk menghindari kegiatan yang berisiko tertular virus HIV dan biaya pengembangan obat
tersebut sangat besar dan membutuhkan waktu yang lama serta tenaga yang tidak sedikit.
Hingga pada akhirnya pada februari 2001, perusahaan farmasi asal India, Cipla
berhasil membuat copy dari tiga paten obat yang dibuat sebelumnya oleh glaxosmithkline dan
bristol-myers squibb dan menjualnya ke sub sahara dengan harga murah $350.
Glaxosmithkline dan Bristol-Myers Squibb menunjuk Cipla mencuri propertinya
dengan mengcopy formula obat yang Glaxosmithkline dan Bristol-Myers Squibb habiskan
jutaan dolar untuk membuat antiretroviral dan memiliki hak paten atas obat tersebut.
Cipla menanggapi bahwa aktivitasnya legal karena persetujuan TRIPS tidak
berdampak di India, dan hukum paten india mengijinkan untuk membuat obat tersebut
dengan proses yang baru. Cipla juga mengklaim, sejak AIDS menjadi bencana di negaranegara berkembang termasuk sub sahara, TRIPS akan mengijinkan negara sub sahara untuk
mengimpor obat AIDS dari Cipla, India. Kemudian diikuti perusahaan lain seperti Ranbaxy,
Aurobindo, dan Hetero yang membuat obat AIDS yang sama dan menjual ke negara sub
sahara.

Pertanyaan:
1. Explain, in light of their theories, what Locke, Smith, Ricardo, and Marx
probably say about the events in this case.
2. Explain which of property-Lockes or Marxs-lies behind the positions of the
drug companies GlaxoSmithKline and Bristol-Myers Squibb and of the Indian
companies such a Cipla. Which of the two groups-GlaxoSmithKline and BristolMyers Squibb on other one hand, and the Indian companies on the other-do you
think holds the correct view of property in this case? Explain your answer.
3. Evaluate the position of Cipla and of GlaxoSmithKline and Bristol-Myers
Squibb in terms of utilitatianism, rights, justice, and caring. Which of these two
positions do you think is correct from an ethical point of view?
- Menurut prinsip etika utilitarianisme, glaxo dan bristol melanggar prinsip ini
sebab perusahaan tersebut tidak memperhatikan keuntungan sosial dan
mengorbankan

biaya

tinggi

terhadap

sosial.

Sebenarnya

akan

lebih

menguntungkan jika glaxo dan bristol menjual dengan harga yang lebih murah,
sebab akan semakin banyak obat yang akan terjual dengan begitu keuntungan
sosial yang didapat juga semakin besar, seperti yang dilakukan Cipla dan
perusahaan lainnya di india mampu memberikan kentungan sosial yang lebih
besar seperti kesembuhan dan terhindar dari HIV/AIDS daripada biaya yang
ditimbulkan seperti kematian bila Cipla tersebut tidak melakukan copy atas obat
antiretrovirals.
-

Untuk prinsip rights, glaxo dan bristol melanggar prinsip ini karena sebagai
perusahaan yang mampu membuat obat untuk melindungi kesehatan penduduk
yang berpotensi terinfeksi memang seharusnya terus mengembangkan obatnya
dan juga menjualkan dengan harga yang terjangkau. Dengan banyaknya pasien
yang terinfeksi AIDS di negara-negara sub sahara sekitar 70% dan ekonomi
nasional di negara sub sahara yang hampir kolaps, maka seharusnya pasien AIDS
di negara sub sahara berhak untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dan
terjangkau dan meningkatkan harapan hidup bagi penderita AIDS yang tidak
mampu..

Untuk prinsip justice, walaupun Cipla memproduksi obat AIDS dengan cara
mengcopy dari glaxo dan bristol, namun Cipla telah memberikan keadilan bagi
para penderita AIDS di Afrika untuk bertahan hidup dengan menyediakan obat
yang dapat dijangkau. Namun Cipla berlaku tidak adil terhadap GlaxoSmithKline

dan Bristol-Myers Squibb yang telah susah payah melakukan pengembangan dan
menghabiskan biaya yang besar untuk menghasilkan obat ini namun dicopy hak
patennya oleh Cipla, diproduksi dan dijual dengan harga 3% dari harga
GlaxoSmithKline dan Bristol-Myers Squibb.
-

Dan untuk prinsip caring, meskipun perusahaan farmasi asal india itu juga ingin
mendapatkan laba yang besar, namun Cipla juga memikirkan hak asasi manusia
yaitu hak untuk bertahan hidup dengan memproduksi obat antiretroviral dengan
harga yang lebih terjangkau meskipun dengan cara mencopy obat buatan
GlaxoSmithKline dan Bristol-Myers Squibb, sehinga meningkatkan harapan hidup
bagi penderita AIDS yang tidak mampu dan dapat menyelamatkan banyak nyawa.

Perusahaan GlaxoSmithKline dan Bristol-Myers Squibb bersikukuh bahwa biaya


pengembangan antiretroviral sangat besar dan membutuhkan waktu yang lama. Namun
tindakan perusahaan tidak mau menurunkan harga jual termasuk tindakan tidak etis
terhadap lingkungan sosialnya. Sedangkan perusahaan Cipla dan perusahaan lainnya di
india seperti Ranbaxy, Aurobindo, dan Hetero yang mengembangkan obat antiretrovirals
dengan proses yang berbeda, secara etika masih bisa dibilang etis dan secara hukum tidak
ada peraturan yang dilangggar, meskipun melanggar hak kekayaan intelektual dan juga
paten.

Anda mungkin juga menyukai