Anda di halaman 1dari 150

Kata Pengantar

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,


atas perkenan-Nya sehingga kami dapat menerbitkan jurnal ilmiah
hukum bisnis dan investasi Dialogia Iuridica volume ketiga
edisi pertama sesuai dengan harapan kita bersama pada bulan
November 2011 ini. Jurnal ini adalah salah satu media ilmiah yang
menginformasikan berbagai artikel yang terkait dengan bisnis dan
investasi yang tetap berorientasi pada disiplin ilmu hukum.
Pada kesempatan yang baik ini kami sampaikan terima kasih
kepada para penulis dan para penyunting ahli yang telah membantu
dalam rangka penyusunan artikel pada jurnal ilmiah ini. Dalam
jurnal edisi ini akan ditampilkan beberapa rubrik dan artikel
terpilih yang sangat erat kaitannya dengan kegiatan akuntansi dan
manajemen perusahaan ditinjau dari aspek hukumnya, sebagai
berikut: Transparansi Merupakan Pintu Keadilan dan Kebenaran
oleh H. Harifin A. Tumpa, Kemandirian Komite Audit Bank Umum
yang Berbentuk Badan Usaha Milik Negara Go Public dalam Rangka
Pencapaian Konsep Good Corporate Governance oleh Dyah Nur
Sasanti, S.H., M.Hum., Special Purpose Vehicle (SPV) dalam Transaksi
Asset Backed Securities/Efec Beragun Aset (EBA) menurut UU Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Juncto Peraturan BAPEPAM & LK
No.IX.K.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam & LK No. Kep. 493/
bl/2008 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (Asset Backed Securities) oleh Marisa Adiwilaga dan Christian
Andersen, Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Terhadap Tingkat Pencairan Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan
dan Wajib Pajak Badan oleh Jerry dan Inez Felicia, Mengembalikan
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat oleh Finalia
dan Magdalena Zebua, Pengaruh Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan oleh
Meythi dan Lusiyana Devita, Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam
Mendukung Pembangunan Infrastruktur Bisnis oleh Ocktavianus
Hartono, dan Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan
oleh Eksekutif Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section
302 oleh Rapina dan Hans Eliezer.
Kami berharap kiranya Jurnal Dialogia Iuridica ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dalam rangka
pemberdayaan dan pengembangan ilmu hukum , juga memberikan
wawasan bagi insan kalangan hukum, baik praktisi maupun teoretisi.
Kami mohon saran dan masukan untuk penyempurnaan jurnal
berikutnya.
Selamat membaca, semoga bermanfaat.


ii

Bandung, November 2011


Redaksi

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran


(Tanpa keterbukaan, pintu ketidakjujuran selalu terbuka sehingga akan menutup hati
nurani untuk menegakkan keadilan dan kebenaran)

H. Harifin A. Tumpa

ABSTRACT
Reformation era as Indonesian starting point leading to freedom or transparency, signaling
the change of people paradigm to be more critical and open, is called the transformation
era with the transparent press, freedom to gather, freedom of expression in public that
is guaranteed by the law. Fundamentally, it can grow the sense of democracy in some
aspects (political life and democracy). Transparency offers spaces to public to conduct
social control and to avoid manipulation of the fact, abuse of power, and dishonesty to
secure justice and truth.
Keywords: transparency, social control, and justice

1. Pendahuluan
Sejak reformasi bergulir, sesudah
terjadinya krisis moneter dan ekonomi
tahun 1997 - 1998, bangsa Indonesia
menghadapi perbagai tantangan berat
yang sangat mengganggu kehidupan
sosialnya dan kehidupan berdemokrasi.
Tantangan tersebut antara lain: Pertama
membangun
kembali
fundamental
perekonomian nasional yang hampir
hancur, akibat krisis moneter pada
tahun 1997 - 1998 yang hingga saat ini
masih terasa akibatnya. Reformasi juga
menimbulkan tantangan yang kedua
yakni menumbuhkan demokrasi politik,
selanjutnya tantangan yang ketiga yakni
bagaimana mengatasi rangkaian konflik
dipelbagai daerah yang mengancam
persatuan dan kesatuan, dan terakhir
bahwa reformasi diharapkan dapat
membangun kembali sistem penegakan

hukum di dalam negara hukum Indonesia.


Keempat tantangan tersebut merupakan
pekerjaan yang cukup berat, baik yang
dihadapi oleh pemerintah maupun
oleh masyarakat pada umumnya, yang
disebabkan adanya masa peralihan
dari pemerintahan otoriter menjadi
pemerintahan yang demokratis.
Perubahan
adalah
merupakan
dinamika kehidupan bermasyarakat.
Heraclitus William Harris seorang filosof
Yunani pada zaman 435 475 SH
memberikan pandangan yang dimuat
dalam bukunya yang berjudul The
Way Of The Logos bahwa kehidupan
bermasyarakat adalah Nothing endures
but change. 1
Perkembangan masyarakat, disebabkan pula adanya peran teknologi dan
kebebasan atau kemerdekaan pers yang

1 Heraclitus, The Way Of The Logos terdapat dalam: http://ebookbrowse.com/heraclitus-pdf-d12354317, diposting

pada tanggal 9 Mei 2011

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

mengajarkan kita menuju masyarakat


yang lebih terbuka dan kritis. Dalam
praktiknya, membangun masyarakat
yang demokratis tidak sesederhana yang
dibayangkan, yakni terdapat kendala
struktural maupun kultural. 2
Indonesia kini telah lahir kembali.
Udara kebebasan dapat dihirup oleh
masyarakat Indonesia. Kebebasan pers,
kebebasan berkumpul, berpendapat
dan berekspresi di muka umum telah
dijamin oleh undang-undang. Sejak 10
tahun belakangan ini (era reformasi),
perkembangan demokrasi di Indonesia
terasa jauh lebih baik. Hal ini dapat
ditandai dengan banyaknya tayangan
yang mengungkapkan perilaku pejabat
tinggi, kritikan terhadap pemerintah,
proses persidangan dapat dilihat
oleh
masyarakat
tanpa
ditutuptutupi, mahasiswa dan masyarakat
dapat berdemonstrasi menyampaikan
aspirasinya, dan lain sebagainya,
sehingga masyarakat semakin cerdas
dan kritis. Demokrasi memang identik
dengan kebebasan dan keterbukaan atau
transparansi dalam segala bidang, namun
harus bisa dipertanggungjawabkan.
Transparansi
dalam
kehidupan
modern adalah suatu hal yang tidak
bisa dihindari. Terutama pejabat publik,
transparansi adalah merupakan bentuk
kredibilitas dan akuntabilitasnya. Belajar
dari sejarah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang pernah
ada beberapa puluh tahun yang lalu,
demokrasi menjadi sistem alternatif yang
dipilih oleh beberapa negara yang sudah
maju. Demokrasi sebagai suatu sistem
telah dijadikan alternatif dalam berbagai
tatanan aktivitas bermasyarakat dan
bernegara di beberapa negara.

Mahfud MD (1999) membenarkan


pandangan di atas, yaitu bahwa terdapat
dua alasan mengapa negara lebih
memilih demokrasi sebagai sistem
bermasyarakat dan bernegara, yaitu:
1. Hampir semua negara di dunia ini
telah menjadikan demokrasi sebagai
asas yang fundamental;
2. Demokrasi sebagai asas kenegaraan
secara esensial telah memberikan
arah bagi peran masyarakat untuk
menyelenggarakan negara sebagai
organisasi tertingginya. 3
Upaya
membangun
budaya
demokrasi jauh lebih sulit dibandingkan
dengan membangun struktur demokrasi,
membutuhkan waktu yang relatif
lama untuk merubahnya. Indonesia
secara struktur telah merepresentasikan
sebagai negara demokrasi, namun
masih banyak peristiwa-peristiwa yang
menggambarkan
kebebasan
yang
semakin liar, kekerasan, bentrokan fisik,
konflik antar etnis atau ras dan agama,
ancaman bom, teror, rasa tidak aman,
dan sebagainya. Struktur demokrasi,
tidak cukup untuk membangun negara
yang demokratis. Justru, kunci utama
yang menentukan keberhasilan sebuah
negara demokratis adalah perilaku atau
budaya masyarakatnya.
Perilaku atau budaya demokrasi
merujuk pada berlakunya nilai-nilai
demokrasi di masyarakat. Masyarakat
yang demokratis adalah masyarakat
yang memiliki perilaku hidup, baik
keseharian dan kenegaraannya dilandasi
oleh nilai-nilai demokrasi. Henry
B. Mayo menguraikan bahwa nilainilai demokrasi meliputi damai dan
sukarela, adil, menghargai perbedaan,

2 Pipin Hanapiah, Good Governance: membangun Masyarakat yang Demokratis dan Nasionalis, terdapat dalam :

http://pustaka.unpad.ac.id/archives/14511/ diposting pada tanggal 1 April 2011

3 Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 16.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

menghormati kebebasan, memahami


keanekaragaman,
teratur,
paksaan
yang minimal dan memajukan ilmu. 4
Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem
politik demokratis adalah menunjukkan
kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan
atas kesamaan politik dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik. 5
Suatu
undang-undang
tidak
mengikat, apabila tidak diundangkan
melalui lembaran negara. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka dalam suatu
persidangan pengadilan dianggap tidak
sah, apabila tidak dibuka dan terbuka
untuk umum kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Hal ini dimaksudkan
bahwa dengan terbukanya persidangan
maka terciptanya kontrol sosial, yang
pada akhirnya akan tercipta keadilan.
Asas sidang terbuka untuk umum
pada prinsipnya suatu upaya untuk
menciptakan keterbukaan ketika hakim
memeriksa dan mengadili para pihak,
sehingga selain diharapkan tercipta suatu
keadilan (tidak memihak) juga akan
dapat teruji keprofesionalitasnya. Untuk
itu perlu kiranya putusan hakim tersebut
dipublikasikan,
demi
kepentingan
masyarakat serta keterbukaan informasi.
Putusan pengadilan telah dipublikasikan, masyarakat telah mengetahui
semuanya, namun demikian, ada suatu
hasil penelitian tentang merek susu
formula yang terkontaminasi bakteri
enterobacter sakazakii sebagaimana
yang dilakukan oleh salah satu perguruan
tinggi di Indonesia (mengingat Indonesia
jumlah balita yang mengkonsumsi
susu sangat banyak) maka sudah

seharusnya hasil penelitian tersebut


untuk kepentingan masyarakat harus
dipublikasikan agar tidak ada konsumen
yang tercemar terhadap bakteri tersebut.
Tetapi, baik perguruan tinggi yang
melakukan penelitian hingga Mentri
Kesehatan Republik Indonesia menolak
untuk mempublikasikan temuannya,
hingga terbitnya putusan Mahkamah
Agung (MA) No. 2975 K/Pdt/2009
yang memenangkan David ML Tobing
(penggugat). 6
Dalam Putusan Mahkamah Agung
(MA), memuat pertimbangan yang
menyatakan bahwa suatu penelitian
yang
menyangkut
kepentingan
masyarakat harus dipublikasikan, karena
bila tidak, dapat merugikan konsumen.7
Dapat diartikan, bahwa apabila tidak
diumumkan atau tidak dipublikasikan,
maka tergugat dapat dikategorikan
melakukan perbuatan melawan hukum.
Beberapa kalangan juga (misalnya
Wakil Menteri Pendidikan Nasional
Fasli Jalal) mengatakan penelitian susu
berbakteri yang dilakukan oleh institusi
tersebut didanai publik, sehingga harus
diumumkan kepada masyarakat, agar
tercipta transparansi terhadap hasil
penelitian tersebut.8
Begitu pula yang dikatakan oleh
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy
Suandi Hamid, bahwa secara akademik
hasil penelitian itu wajib dipublikasikan,
agar masyarakat umum mengetahui
dan mewaspadainya, sehingga tidak
menimbulkan keresahan berkepanjangan
ditengah masyarakat,9 maka timbul
suatu pertanyaan yang mendasar yakni
apakah keterbukaan (transparansi) dapat

4 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory (1960), terdapat dalam: http://racheedus.wordpress.com/

tag/henry-b-mayo/ di posting tanggal 29 Maret 2011

5 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory (1960), dalam Malkian Elvani, terdapat dalam: http://

yanel.wetpaint.com/page/Demokrasi, diposting tanggal 8 Maret 2011

6 Putusan MA No. 2975 K/Pdt./2009


7 Ibid.,

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

menjadi pintu keadilan dan kebenaran


(ditinjau dari berbagai situasi)?
Begitu pula Rektor UII menilai, jika
IPB tidak mempublikasikan merekmerek susu formula berbahaya tersebut,
berarti mereka tidak bertanggung jawab
kepada masyarakat.10 Padahal sudah
hampir setahun Mahkamah Agung
(MA) mengeluarkan putusan, agar
merek-merek susu formula berbahaya
dipublikasikan.

2. Pembahasan
A. Perbaikan Transparansi
mengatasi tantangan
1. Transparansi Pengelolaan Keuangan Negara dan Perekonomian
Perencanaan terpusat pada masa
Orde Baru, telah menciptakan
kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Privatisasi dan deregulasi
masa itu juga ditujukan untuk
memudahkan
pemindahan
hak milik negara kepada kroni
penguasa
politik.
Misalnya,
bagaimana milik Bulog dapat
beralih ke perusahaan milik
keluarga penguasa. Kesemua
hal tersebut mengakibatkan
p r odu ktivitas d an efisiensi
perekonomian nasional kita
menjadi semakin menurun yang
berakhir pada krisis tahun 1997 1998. Pada masa itu transparansi
h a mp ir-hampir tid ak a da,
sehingga sangat sulit diketahui
oleh publik. Hal ini diperparah,
kebebasan pers saat itu sangat
dibatasi.

Upaya
perbaikan
sistem
pengelolaan keuangan negara
dilakukan dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara.
Pemerintah dalam era reformasi
telah melakukan koreksi secara
menyeluruh terhadap sistem
keuangan negara yang digunakan
pada masa Orde Baru.
Koreksi pertama adalah dengan
mengintegrasikan
anggaran
negara dengan meniadakan
perbedaan
antara
anggaran
rutin dengan pembangunan
yang terpisah di masa Orde
Baru. Kontrol atas APBN kini
sepenuhnya berada ditangan
Menteri Keuangan, yang semula
dikendalikan oleh Bappenas.
Koreksi yang kedua adalah
dengan
mensosialisasikan
Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) pada tanggal 13 Juni
2005, sehingga ada standar
akuntansi yang menjadi ukuran
pemeriksaan.
Koreksi yang ketiga adalah
m em ulihkan
kebebasan
dan kemandirian BPK dan
sekaligus memperluas obyek
pemeriksaannya, dengan diundangkannya Undang-Undang
No. 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), maka BPK tidak lagi berada
dalam kendali pemerintah.
Setelah 60 tahun merdeka,
pertanggungjawaban keuangan
negara yang transparan dan
akuntabel baru dimulai dalam

Fasli Jalal, Mendiknas Ogah Komentari Hasil Penelitian Kampus IPB. terdapat dalam: http://nusajaya72.com/
mendiknas-ogah-komentari-hasil-penelitian-kampus-ipb/, diposting tanggal 1 Mei 2011. Dimuat pula dalam
SINDO, tanggal 13 Pebruari 2011.
9 Terdapat dalam http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=86947, diposting tanggal 1
Mei 2011. Dimuat pula dalam SINDO, tanggal 13 Pebruari 2011.
10 Kompas, 14 Pebruari 2011

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Laporan Keuangan Pemerintah


Pusat (LKPP tahun 2004).
Walaupun masih jauh dari
sempurna, LKPP itu memuat
rangkaian perubahan sistem fiskal
yang disajikan dalam bentuk
neraca, lebih rinci dan lebih
sistematis, sehingga lebih mudah
dipahami dan dicerna, 11 artinya
lebih terbuka atau transparan.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa
perbaikan
transparansi
dan
akuntabilitas
fiskal
adalah
merupakan salah satu kunci bagi
keberhasilan perombakan sistem
sosial yang kita lakukan selama
era reformasi, sejak krisis ekonomi
tahun 1997-1998. 12 Namun
demikian apabila pemahaman
masyarakat terhadap persoalanpersoalan yang timbul dewasa ini
sangat kurang (tidak mengerti),
maka jelas akan mengakibatkan
kontrol masyarakat pun tidak
berjalan, sekalipun transparansi
telah dilakukan.
Anggaran non budgeter yang
banyak terjadi di masa Orde
Baru, kini semakin ditertibkan
dan
diintegrasikan
dengan
13
APBN/APBD.
Maka dari itu
tidak berlaku lagi menghimpun
penerimaan non budgeter dari
mark up pengadaan barang dan
jasa. Namun demikian perkaraperkara korupsi yang ada saat
ini, terlihat masih adanya
pejabat pengguna anggaran yang
melakukan mark up.
Instansi negara tidak boleh lagi
mendirikan badan usaha, yayasan

dan koperasi yang marak pada


masa Orde Baru. Sementara itu
pemungutan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) sementara
diterbitkan. 14
Sistem perekonomian di masa
Orde Baru yang memberikan
peranan sangat besar untuk
menentukan dan mengarahkan
sektor
dan
jenis
industri
yang boleh dibangun, telah
menimbulkan dampak antara
lain munculnya berbagai industri
atau perusahaan yang bersifat
monopolistis dan oligopolistis.
Kondisi ini disadari akan
menghambat dunia usaha dan
oleh
karenanya
pemerintah
sesudah krisis ekonomi 1997 1998, membuat Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang
Persaingan
Usaha.
Dengan
lahirnya undang-undang tersebut
diharapkan akan menciptakan
usaha yang sehat, untuk mencapai
ekonomi pasar yang efisien, di
samping pengalokasian sumber
daya alam secara efisien.
Melalui persaingan yang sehat,
harga barang dan jasa akan lebih
ideal, baik ditinjau dari kualitas
maupun biaya produksi, karena
pada pasar bersaing produsen
atau penjual adalah price tiker,
dan sebagai price tiker tidak akan
mampu mendikte harga pasar. 15
Ekonomi pasar saat ini bersifat
terbuka, sehingga konsumen
tidak akan dapat diperdaya lagi

11 Anwar Nasution, 2008, Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi. terdapat dalam: http://

www.bpk.go.id/web/files/2009/04/dialog-publik-manado.pdf, diposting tanggal 29 April 2011. hlm. 13

12 Anwar Nasution, 2008. Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dan Keuangan Daerah, terdapat dalam:

http://dongants.wordpress.com/2008/07/08/perbaikan-pengelolaan-keuangan-negara-dan-keuangan-daerah/,
diposting pada tanggal 25 April 2011
13 Anwar Nasution, 2008, Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi. Op. Cit
Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

oleh ulah para pelaku ekonomi.


Oleh karena itu transparansi
di bidang ekonomi akan selalu
mendorong persaingan yang
sehat dan pada akhirnya akan
mendorong kemajuan ekonomi.
2. Transparansi dalam Politik
Runtuhnya komunisme ataupun
otoriterianisme
memunculkan
harapan besar bagi demokrasi.
Tumpuan masyarakat dunia
beralih kepada kedigdayaan
demokrasi
sebagai
pilihan
dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Analisa sosial,
ekonomi dan politik pun
memilih
demokrasi
sebagai
pilihan dominan yang mampu
mengakomodasi
kepentingan
individu dan masyarakat.
Sistem politik di era pemerintahan
Presiden
Soeharto,
hanya
mengenal 4 Fraksi partai politik
yaitu Golkar, Partai Demokrasi
Indonesia,
Partai
Persatuan
Pembangunan dan Fraksi ABRI.
Tetapi di dalam kenyataannya
Golkar sangat dominan, karena
ditunjang oleh Presiden selaku
Ketua Dewan Pembina bersama
jajaran kabinetnya, sehingga
sesungguhnya demokrasi pada
waktu itu hanya ditentukan oleh
Golkar. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan, apabila selama
32 tahun Presiden (Soeharto) tidak
pernah berganti, walaupun secara
periodik ada pemilihan umum.
Jangka waktu yang sedemikian
lama, bagi seorang Presiden

yang mempunyai kekuasaan


besar,
dapat
menimbulkan
kecenderungan menjadi diktator
dan mempunyai potensi besar
untuk terjadinya korupsi.
Menyadari hal ini, kemudian
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menetapkan bahwa masa
jabatan Presiden hanya boleh dua
kali masa jabatan dan kemudian
ini ditetapkan kembali di dalam
Pasal 7 perubahan pertama UUD
Negara Republik Indonesia 1945.
Setelah
tumbangnya
Orde
Baru, kehidupan demokrasi
sesungguhnya baru dimulai.
Undang-Undang No. 2 Tahun
1999 yang memuat pokokpokok
pemikiran
bahwa
pembentukan partai politik pada
dasarnya merupakan salah satu
pencerminan hak Warga Negara
untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapat, sesuai
dengan Pasal 28 UUD Negara RI
Tahun 1945. Karena, semangat
undang-undang tersebut, maka
terbuka kemungkinan untuk
membentuk berbagai partai
politik sesuai dengan perbagai
ragam kepentingan dan pendapat
yang berkembang.
Sebagai salah satu lembaga
demokrasi partai politik, yang
berfungsi mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban
politik
rakyat,
menyatukan
kepentingan masyarakat dalam
pembuatan
kebijakan
negara, serta membina dan

14 Anwar Nasution. 2008. Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dan Keuangan Daerah,Op.Cit
15 Djisman Simandjuntak, Raden Pardede dkk. 2010. Persaingan sehat dan Akselerasi Pembangunan Ekonomi.

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. hlm. 4

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatanjabatan politik sesuai dengan


mekanisme demokrasi.
Begitu besar peranan dari partai
politik di dalam menentukan
arah kebijakan negara tersebut,
maka partai-partai politik yang
begitu banyak sesuai dengan
pendapat yang beraneka ragam
di masyarakat, maka masyarakat
diberi hak untuk memilih partai
mana yang dianggap kredibel,
akuntabel dan akseptabel untuk
menyuarakan kepentingan mereka pada lembaga-lembaga
perwakilan rakyat, sehingga
dengan demikian diadakanlah
pemilihan umum yang mempunyai 5 (lima) azas, yaitu adil,
langsung, umum, bebas dan
rahasia.
Adil, berarti setiap pemilih dan
partai politik peserta pemilu
mendapat perlakuan yang sama
serta bebas dari kecurangan pihak
manapun. Langsung, berarti
rakyat
pemilih
mempunyai
hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai
dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara.
Umum, berarti bahwa pada
dasarnya semua warga negara
yang memenuhi persyaratan
minimal dalam usia yaitu
sudah berumur 17 tahun atau
telah/pernah
kawin
berhak
ikut memilih dalam pemilihan
umum. Warga negara yang

sudah berumur 21 tahun berhak


dipilih. Jadi, pemilihan yang
bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan
yang berlaku menyeluruh bagi
semua warga negara yang telah
memenuhi persyaratan tertentu,
tanpa diskriminasi (pengecualian)
berdasarkan acuan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan dan status sosial,
kemudian bebas, berarti bahwa
setiap warga negara yang berhak
memilih bebas memilih, bebas
menentukan tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun. Rahasia,
berarti
dalam
memberikan
suaranya, pemilih dijamin bahwa
tidak akan diketahui oleh pihak
manapun dan dengan jalan
apapun. 16
Oleh karena itulah, lembaga
perwakilan rakyat, di dalam
melaksanakan
tugas-tugasnya
sebagai lembaga pengawas,
lembaga legislasi dan lembaga
budgeting, selalu harus terbuka
kepada
konstituen
yang
memilihnya, sehingga partisipasi
masyarakat selalu terbuka.
Selanjutnya, reformasi yang
mengamanatkan
perubahan
yang diproses lewat jalan
demokrasi sudah berjalan lebih
dari 10 tahun. Namun, masih
menyisakan persoalan besar,
khususnya kesejahteraan rakyat,
kesenjangan sosial dan ekonomi
semakin mengemuka.
Angka
kemiskinan
tidak
berkurang secara signifikan,

16 Ahmad Yani, 2011, Pasang Surut Kinerja Legislasi. Rajawali Pers. Jakarta. hlm. 39

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

angka pengangguran seolah-olah


tidak berkurang karena begitu
sulitnya orang mendapatkan
pekerjaan yang layak. Dilain
pihak ada pihak yang berpesta
pora menghabiskan uang rakyat.
Namun fenomena sosial tersebut,
untuk sebagian orang tidak
dirasakan atau pura-pura tidak
tahu, karena larut di dalam ajang
kompetisi di alam demokrasi.
Selama lebih dari satu dasawarsa,
trilyunan
bahkan
mungkin
puluhan trilyunan uang rakyat
terkuras habis untuk membiayai
demokrasi yang terwujud dalam
Pemilu dan Pilkada. 17
Biaya Pemilu atau Pilkada,
kadang-kadang tidak terkontrol
yang disebabkan aturan Pemilu
atau Pilkada tidak dilaksanakan,
yaitu biaya Pemilu dan Pilkada
harus transparan, maksudnya
agar seluruh masyarakat dapat mengukur sejauh mana
kebenaran tentang berapa besar
biaya pemilu atau pilkada?
Di dalam sengketa Pilkada,
terungkap
adanya
praktikpraktik money politik, adanya
kecurangan-kecurangan dalam
perhitungan suara dan segala
bentuk penyelewengan. Kesemua
fenomena ini adalah akibat
transparansi yang tersumbat. UU
Pemilu mewajibkan kontestan
melaporkan dana kampanye
sebagai bentuk transparansi, yang
tidak pernah dipenuhi dengan
jujur.
Demokrasi
yang
sudah
berlangsung lebih dari satu

dekade, baru sebatas memberi


aspek kebebasan berbicara,
mengeluarkan pendapat, berekspresi, yang terkadang-kadang
tidak terkontrol dan di luar batasbatas moral dan etika.
3. Transparansi dalam Membangun
dan Mempertahankan Persatuan
dan Kesatuan
Kebebasan pers sejak tumbangnya
Orde Baru mengalami kemajuan
yang cukup menggembirakan.
Beberapa putusan pengadilan
telah memberikan angin segar
kepada
kemerdekaan
pers.
Undang-Undang No. 14 Tahun
2008
tentang
Keterbukaan
Informasi Publik, mewajibkan
sumber
berita
memberikan
informasi dalam waktu tertentu.
Hal ini tentu diharapkan adanya
keterbukaan yang dapat semakin
meminimalisir
kebohongan
publik. Kebohongan publik membawa ketidakpercayaan publik
yang pada akhirnya akan timbul
saling curiga yang mengancam
persatuan dan kesatuan.
Pertikaian
antar
kelompok
agama yang mengatasnamakan
agama,
telah
menimbulkan
kekerasan di Poso dan di Ambon.
Tindakan kelompok tertentu
terhadap kelompok Ahmadiyah,
pengrusakan
rumah
ibadah
kesemua
tindakan
tersebut
mengancam perpecahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Padahal
pertikaian
antar kelompok agama yang

17 Fahri Hamzah, 2010, Negara, Pasar, Rakyat, Paham Indonesia. Media Center DPC PKS Piyungan, Bantul

Yogyakarta. hlm. 69

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

menimbulkan kekerasan adalah


jauh dari ajaran agama apapun
juga. Di dalam Islam kita kenal
toleransi yang begitu besar.
Tidak ada paksaan dalam agama,
artinya agamaku agamaku,
agamamu agamamu.
Oleh karena itu, tidak ada
toleransi yang dapat diberikan
kepada
kelompok
yang
melakukan tindakan anarkis
kepada kelompok lainnya.
Saya sering merasa sedih, bila
melihat tindakan kekerasan atau
anarkis yang dilakukan oleh para
mahasiswa di Indonesia termasuk
di Makasar ini. Dalam batin saya
bertanya, apakah nilai-nilai luhur
yang diajarkan nenek moyang
kita Bugis, Makasar sudah tidak
ada lagi bagi generasi muda
kita. Nilai luhur yang ada pada
suku Bugis, Makasar, sangat
menjunjung tinggi persaudaraan.
Paling sedikit ada 5 nilai-nilai
budaya Bugis, Makasar. Mandar
dan Toraja yang patut kita
renungi. 18
Kelima budaya
tersebut adalah:
1. Budaya siri yang diartikan
memelihara keho r m atan
dan martabat. Kehormatan
menjadikan seseorang tidak
mau melakukan perbuatan
yang dipandang tercela serta
dilarang oleh hukum (ade).
Nene Mallomo, pernah
menghukum anaknya sendiri,
karena terbukti melakukan
kesalahan. Ketika ia ditanya
mengapa menghukum anak-

nya sendiri, ia menjawab


peradilan tidak mengenal
anak. Lebih mulia kepentingan
orang
banyak
daripada
kepentingan orang perorang.
Ini membawa makna ade
(hukum)
dibuat
untuk
menegakkan siri. Harkat dan
martabat serta kehormatan
seorang hanya bisa terwujud
apabila ia memperlakukan
dan menghormati orang lain,
artinya secara timbal balik
adanya saling menghormati.
2. Pesse (Bugis),Pacce (Makasar)
Sebagai manusia ia tidak boleh
hanya mementingkan dirinya
sendiri. Nilai ini menunjukkan
kesetiakawanan, penderitaan
orang lain harus pula kita
rasakan, empati terhadap
penderitaan
orang
lain.
Kita mengenal sipakatuo,
sepakatau, rebba sepatokkong,
mali siparappe artinya saling
menolong dalam suasana
saling menghargai, menolong
orang yang jatuh atau hanyut.
3. Allempureng (kejujuran)
Menurut
Tocuing
(salah
seorang To acca= orang pintar
dan bijak).
Kejujuran (allempureng) ada
4 segi :
Pertama;
memaafkan
orang yang berbuat salah
kepadanya.
Kedua; dipercaya lalu
tidak curang.
Ketiga; tidak menyerakahi
yang bukan haknya.

18 M. Saleh Muda dkk. 2009. Bekerja dengan Hati Nurani. Erlangga. Jakarta. hlm. 6 .

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

Keempat; tidak memandang kebaikan kalau


hanya buat dirinya.
4. Amaccang (kearifan).
To
acca
(orang
bijak)
yang
disebut
dalam
lontar adalah antara lain
Tociung,
Kajaolallidong,
Tomaddualeng dan Tongeng,
La Pagala Nene Mallomo,
Lawaniaga
Arung
Bila,
Mangada
cinna
Daeng
Sitaba, Amanna Gappa. To
acca adalah orang yang
mampu mengetahui atau
menerawang kebenaran yang
datang dari Dewata Seuwae
(Allah SWT) dihati nuraninya.
Mereka adalah orang yang
mampu memadukan antara
akal dan hati nurani.
5. Passompe (Perantau)
Jiwa passampe dari Bugis
Makasar, menunjukkan kemampuan untuk menjalin
kerja sama dengan orang lain.
la mampu menerima dan
memberi, mampu berintegrasi
dengan orang lain.
Sifat dan nilai-nilai luhur
budaya tersebut, apabila kita
mampu mengamalkannya, maka
merupakan nilai yang dapat
menjadi perekat untuk menjalin,
memupuk dan mempersatukan
segala golongan ras, agama, dan
budaya yang beragam.

4. Transparansi dalam penegakan


hukum
Wacana
akademik
maupun
politik hukum, sering ditemui
ungkapan hukum sebagai sarana
pembaharuan atau hukum
sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Ungkapan tersebut
terkait dengan konsep Roscoe
Pound yang menyebutkan hukum
as a tool of social engeneering.
Ungkapan tersebut pertama kali
dipergunakan atau diperkenalkan
Mochtar Kusumaatmadja dari
Fakultas Hukum UNPAD. Beliau
yang mentransformasikan konsep
Pound menjadi salah satu dasar
kebijakan pembaharuan dan
pembangunan hukum nasional
Indonesia. 19
Rendahnya kepercayaan orang
terhadap
lembaga
penegak
hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim)
20
disebabkan oleh berbagai hal,
terutama disebabkan ulah oknum
yang merefleksikan buruknya
reformasi lembaga penegak
hukum. Dapat dijelaskan sebagai
berikut :
A. Di lingkungan kepolisian
(POLRI), antara lain:
1. Oknum
POLRI
acap
kali
memanfaatkan
hukum sebagai alat untuk
melahirkan impunitas
yaitu kondisi dimana
seorang terhindar dari jerat
hukum atau kebal hukum
atau
tidak
tersentuh
hukum atau membiarkan

19 Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. PT.Timpani Publishing. Jakarta. hlm. 163
20 Radar Buton. 2010. Penegakan Hukum Di Tengah Rendahnya Kepercayaan Publik. Kamis 4 Maret 2010.

10

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

seseorang atau sejumlah


orang mencuci dosa
hukumnya
dengan
memperjuangkan hukum
sebagai legitimasi untuk
menghalalkan perbuatan
haramnya.
2. Oknum anggota POLRI
kerap kali terjebak oleh
pola penegakan hukum
yang bersifat diskriminatif
(tebang pilih).
3. POLRI dituduh melakukan
viktimisasi, karena membiarkan warga masyarakat
menjadi korban berulang
kali apalagi untuk oknum
anggota POLRI dengan
gampangnya
merubah
status seseorang dari saksi
menjadi terdakwa.
4. Oknum anggota POLRI
dengan
sadar
atau
tidak sadar melakukan
kriminalisasi, ketika mereka mempidanakan kasus
perdata, kasus tertentu
sebetulnya bukan domein
pidana (alias merupakan
perdata)
dipaksakan
menjadi sesuatu yang
dipidanakan.
5. POLRI tidak bekerja secara
profesional,
terutama
dengan sering terjadinya
salah target operasi atau
salah tangkap atau salah
tembak dan lain-lain.

6. POLRI dianggap gagal


berperan sebagai institusi
pelayanan,
terutama
sejumlah oknum POLRI
terjebak dalam kontribusi
viktimasi, terhadap korban
kejahatan
yang
melaporkan kasusnya ke
institusi POLRI. 21
Walaupun saya tidak sepenuhnya
sependapat dengan apa yang
diungkapkan tersebut, namun
m asalah- m asalah ter sebu t
harus menjadikan kajian untuk
mengatasinya.
B. Di lingkungan
antara lain:

Kejaksaan,

1. Salah seorang teman saya


yang pernah berurusan
dengan kejaksaan dan
KPK sebagai saksi dalam
perkara
korupsi.
Dia
menceritakan,
bahwa
ketika ia dipanggil KPK,
maka penyidik pertama
kali menyodorkan formulir
yang berisi :
a. m e m b e r i k a n
keterangan yang benar
b. tidak akan menyuap
petugas KPK
Pada waktu ia dipanggil
di kejaksaan, maka yang
pertama kali disampaikan
bahwa
tidak
tertutup
kemungkinan seorang saksi
menjadi terdakwa, sehingga
teman saya merasa ketakutan.

21 Novel Ali, KHN, 2010, Problematika Penegakan Hukum. terdapat dalam: http://www. komisihukum.go.id/

index.php?option=com_content&view=article&catid=57%3Amajalahbuku&id=355%3Aproblematikahukum&
lang=in diposting pada tanggal 10 Mei 2011

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

11

2. Rencana tuntutan (Rentut)


yang
berlaku
telah
menimbulkan
berbagai
akibat, antara lain:
a. tidak independensinya
Jaksa Penuntut Umum
(JPU), sehingga tanggung jawabnya kurang;
b. persidangan pengadilan kadang-kadang
menjadi
tersendat
karena rentut belum
turun.
3. Penahanan, penangguhan
penahanan,
negosiasi
tentang surat dakwaan
merupakan
peluang
adanya penyalahgunaan
kewenangan.
C. Di lingkungan Pengadilan,
antara lain:
1. Penahanan atau penangguhan penahanan sering
terjadi seorang terdakwa
tidak ditahan atau ditahan
oleh
jaksa
maupun
polisi, setelah sampai
di
Pengadilan
status
tersangka dirubah karena
adanya negosiasi antara
terdakwa atau pelapor
dengan hakim.
2. Merekayasa
berita
acara yang kemudian
bermuara kepada putusan.
Kesemuanya
dilakukan
karena adanya negosiasinegosiasi antara pihakpihak baik dilakukan
secara langsung maupun
melalui calo-calo perkara.

12

3. Menunda eksekusi atau


menyatakan putusan non
executable.
Praktik-praktik di lingkungan
penegakan
hukum
tersebut
adalah adanya ketertutupan atau
tidak adanya transparansi dalam
setiap proses. Seharusnya setiap
tahapan proses para penegak
hukum menyampaikan hasilnya,
sehingga para pencari keadilan
dapat mengetahui apakah proses
tersebut sudah sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur
(SOP) yang harus disampaikan
secara transparan oleh instansi
tersebut.
Namun demikian, buruknya
penegakan hukum tidak dapat
ditumpukan sepenuhnya kepada
para penegak hukumnya, karena
hal itu tidak terlepas dari peranan
para pihak yang berperkara,
termasuk di dalamnya penasehat
hukum atau advokat.
Dalam beberapa kasus mafia
hukum yang terungkap tidak
jarang advokat pegang peranan
yang
penting,
mengatur
perjalanan dan hasil dari suatu
perkara, misalnya dalam kasus
Gayus Tambunan, kasus Susno
Duadji, dan kasus Hakim Ibrahim.
Fenomena tersebut menunjukkan
bahwa kadang-kadang orang
akan menempuh segala cara
untuk memenangkan perkaranya,
bahkan kadang-kadang kita
melihat orang berusaha memak-

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

sakan kehendaknya dengan


dalih keadilan. Dalam kasus
Temanggung, sekelompok orang
menyerang gedung pengadilan
dan
kemudian
merembet
ketempat ibadah hanya dengan
alasan putusan Pengadilan tidak
adil. 22
Memaksakan kehendak dengan
dalih keadilan adalah tidak dapat
dibenarkan, oleh karena keadilan
yang ingin dipaksakan tersebut
tentu sangat subyektif. Keadilan
menurut
peseorangan
atau
kelompok orang selalu bersifat
subyektif, yang belum tentu
mencerminkan keadilan yang
sesungguhnya.
Pasal 24 (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan, bahwa Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan keadilan. Ketentuan ini
dipertegas lagi di dalam UndangUndang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
yang di dalam Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila
dan UUD Negara RI Tahun 1945,
demi terselenggaranya negara
hukum Indonesia.
Dari rumusan tersebut, maka
penyelenggaraan
kekuasaan

keha-kiman harus dimaknai


menegakkan
hukum
dan
keadilan. Kita tidak bisa
berbicara hanya menegakkan
hukum
tanpa
berbicara
keadilan begitu pula sebaliknya,
kita tidak bisa bicara keadilan
tanpa berbicara hukum lebih
dahulu. Penegakan hukum dan
keadilan adalah merupakan
suatu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
Hukum
adalah
pondasinya, sedangkan keadilan
adalah rohnya hukum. Oleh
karena itu saya tidak pernah
setuju dengan pendapat yang
seolah-olah melihat hukum itu
terpisah dari keadilan, yang
kemudian dapat dibenturkan
atau dipertentangkan.
Sering kali kita mendengar
bahwa suatu putusan tidak adil,
namun menurut saya kesimpulan
tersebut ada karena perbedaan
cara
pandang
penerapan
hukum. Kalau penerapan hukum
dilakukan oleh hakim yang
berpandangan legalistik, maka
keadilan yang dihasilkannya
pun akan bersifat kaku. Tetapi
apabila hakim berpandangan
non legalistik maka ia akan
menafsirkan
undang-undang
itu
dengan
pandangan
progresif, maka keadilan yang
dihasilkannya juga progresif.
Salah satu contoh kasus yang
menarik adalah kasus nenek
Minah yang dituduh mencuri 3 biji
kakao. Dalam kasus ini seluruh
unsur Pasal 362 KUHP terbukti,

22 Warta News. Kronologi Kasus Temanggung, 8 Pebruari 2011

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

13

yaitu
terdakwa
mengambil
barang milik orang lain dengan
maksud untuk dimiliki. Menurut
hukum,
terdakwa
harus
dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana. Hakim yang mengadili
perkara tersebut menerapkan
Pasal 263 KUHP tersebut apa
adanya, sehingga dia harus
menjatuhkan hukuman. Hakim
tersebut menjatuhkan pidana
voorwardelijk
(percobaan)
kepada
terdakwa.
Menurut
hakim tersebut yang adil adalah
hukuman percobaan bukan
hukuman penjara (badan). 23
Tetapi seandainya hakim tersebut
menafsirkan mengambil barang milik orang lain dengan
maksud untuk dimiliki menurut
kebiasaan masyarakat adat, yang
pada pokoknya menyatakan
bahwa
mengambil
sesuatu
barang yang hanya sekedar
untuk dijadikan bibit bukanlah
perbuatan melawan hukum
atau mencuri, maka ia akan
menerapkan Pasal 263 KUHP
dengan penafsiran yang progresif
dan keadilan yang diperolehpun
juga progresif yaitu vrijspraak
atau ontslag van rechtsvervolging.
Maka menurut saya keadilan
yang dihasilkan dari suatu
proses akan sangat tergantung
bagaimana hakim itu menafsirkan
dan menerapkan hukum yang
ada, baik hukum formal (hukum
acara) maupun hukum materil.
Penegakan hukum harus dimak-

nai dalam beberapa aspek


dan beberapa konsep yang
mendasarinya,
antara
lain:
Pertama, penegakan hukum
tidak boleh hanya dilihat dari
segi represif (penindakan) belaka,
karena
penegakan
hukum
sesungguhnya juga meliputi
upaya preventif (pencegahan).
Hukuman pidana yang berat,
misalnya hukuman mati, hukuman
seumur hidup atau hukuman
penjara yang berat, tidak sematamata ditujukan kepada perbuatan
yang dilakukan terdakwa, tetapi
juga dimaksudkan agar orang
lain tidak melakukan perbuatan
serupa. Begitu pula hukuman
percobaan
(voorwardelijk),
di samping sebagai ganjaran
atas perbuatan terdakwa, juga
dimaksudkan agar si terdakwa
tidak mengulangi atau melakukan
kejahatan lagi.
Kedua, pengertian hukum tidak
boleh hanya dimaknai dalam
arti yang sempit, tetapi harus
dimaknai secara luas, bukan
hanya hukum yang tertulis saja
tetapi juga hukum yang tidak
tertulis.
Ketiga, azas mengadili menurut
hukum adalah perwujudan asas
legalitas, sebagai salah satu
unsur pokok paham negara
berdasarkan atas hukum. Azas
legalitas mengandung makna
bahwa setiap putusan hakim
atau keputusan penyelenggara
negara di luar hukum atau
pemerintahan harus didasarkan
pada ketentuan hukum yang
sudah ada sebelum putusan

23 Kompas, Duh... Tiga Buah Kakao Menyeret Minah ke Meja Hijau..., 19 November 2009

14

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

atau keputusan itu dilakukan.


Pengertian hukum yang sudah
ada meliputi hukum materil
(substantif) maupun hukum formil
(procedural). Keharusan ada
hukum sebagai dasar memutus
dimaksudkan untuk mencegah
hakim atau pejabat lainnya
berlaku sewenang-wenang yaitu
memutus menurut kehendak
sendiri yang pada gilirannya akan
menimbulkan
ketidakpastian
hukum. 24
Keempat, mengadili menurut
hukum, tidak dapat hanya
bersandar pada ajaran positivisme
yang
kemudian
melahirkan
hakim adalah corong atau
corong dari undang-undang
(spreek huis van de wet, bouche
de la loi). Hakim harus mampu
menerapkan hukum itu, sehingga
dapat mencapai keadilan. Oleh
karena itu, hakim di dalam
mengadili menurut hukum, di
samping menerapkan undangundang apa adanya, ia juga harus
mampu menemukan hukum
(rechtsvinding)
yang
hidup
di tengah-tengah masyarakat
ataukah ia harus menciptakan
hukum (rechtsschepping) bila
ia tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam menyelesaikan suatu perkara yang
ditanganinya.
Menemukan atau menciptakan
hukum yang dilakukan oleh
hakim, dapat dilakukan melalui
penafsiran (interpretasi), atau
konstruksi
hukum,
analogi
atau argumentum a contrario

ataukah penghalusan hukum


(rechtsvervijning). Menafsirkan
hukum, tidak hanya terbatas
pada hukum substansial, tetapi
juga melipuiti hukum formal
(prosedural). Anggapan sebagian
ahli hukum atau hakim yang
seolah-olah mengharamkan
penafsiran hukum acara sudah
ketinggalan.
Praktik peradilan selama ini
menunjukkan bahwa hakim
boleh
menafsirkan
hukum
acara itu untuk mewujudkan
keadilan. Hal ini kita lihat
misalnya KUHAP menentukan
bahwa putusan bebas tidak bisa
dikasasi, tetapi oleh Jurisprudensi
Mahkamah Agung, ditafsirkan
bahwa yang dimaksud dengan
bebas di sini adalah putusan
bebas murni (vrijspraak), tetapi
bila Jaksa Penuntut Umum dapat
membuktikan bahwa putusan
itu bukan putusan bebas murni,
maka kasasi dapat diterima.
Begitu pula kata-kata permohonan pada beberapa undangundang,
misalnya
dalam
Undang-Undang
Kepailitan,
Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
tidak dapat diartikan sebagai
permohonan
yang
bersifat
voluntair, karena ada pihak lain
yang berkepentingan, sehingga
pemeriksaannya
tidak
bisa
dengan dilakukan ex parte.
Kelima,
mengadili
menurut
hukum. Aspek hukum bukan

24 Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Lok.Cit. hlm. 4

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

15

hanya legalitas, tetapi harus juga


memperhatikan aspek filosofis
dan sosiologis, sehingga akan
tercipta adanya :
a. kepastian hukum
b. keadilan
c. kemanfaatan

3. Penutup
Demikianlah sekelumit uraian saya
tentang perlunya keterbukaan untuk
m e n g h i n dari man ip u lasi fakta,
penyalahgunaan
kekuasaan,
dan ketidakjujuran, sehingga akan
diketemukan keadilan dan kebenaran.
Akhirnya kepada semua pihak
yang telah mengambil bagian dalam
kehidupan saya, sehingga terbentuk
pribadi saya yang autentik, mulai kedua
orang tua saya yang telah mendidik
dan membesarkan saya, isteri dan anak
saya tercinta, guru-guru saya mulai dari
Sekolah Rakyat, SMP, SHD, Fakultas
Hukum UNHAS, Program S2 UNKRIS
dan Program S3 Universitas Gajah Mada,
saya ucapkan terima kasih.
Begitu pula semua pihak yang telah
membimbing dan bekerja sama dengan
saya dalam karier hakim, mulai dari
hakim tingkat pertama sampai puncak
tertinggi di lembaga peradilan, saya juga
menyampaikan terima kasih yang tidak
terhingga. Semoga Tuhan Yang Maha
Agung akan selalu bersama kita.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ahmad Yani, 2011. Pasang Surut Kinerja
Legislasi. Rajawali Pers. Jakarta.
Bagir Manan, 2009, Menegakkan
Hukum Suatu Pencarian. PT.Timpani
Publishing. Jakarta.
Djisman Simandjuntak, Raden Pardede
dkk. 2010. Persaingan sehat dan
Akselerasi Pembangunan Ekonomi.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Fahri Hamzah, 2010. Negara, Pasar,
Rakyat, Paham Indonesia. Media
Center DPC PKS Piyungan, Bantul
Yogyakarta.
Mahfud MD, 1999. Hukum dan
Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta,
M. Saleh Muda, dkk. 2009. Bekerja
dengan Hati Nurani. Erlangga.
Jakarta.
Putusan Pengadilan
Putusan MA No. 2975 K/Pdt./2009
Artikel dalam Media Massa
Kompas, 14 Pebruari 2011
Kompas, Duh... Tiga Buah Kakao
Menyeret Minah ke Meja Hijau..., 19
November 2009
Radar Buton. 2010. Penegakan Hukum
Di Tengah Rendahnya Kepercayaan
Publik. Kamis 4 Maret 2010.
Warta News. Kronologi Kasus
Temanggung, 8 Pebruari 2011
Internet
Anwar Nasution, 2008. Perbaikan
Pengelolaan
Keuangan
Negara
Dan Keuangan Daerah, terdapat
dalam:
http://dongants.wordpress.
com/2008/07/08/perbaikan-

16

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

pengelolaan-keuangan-negara-dankeuangan-daerah/, diposting pada


tanggal 25 April 2011
------------------, 2008, Perbaikan
Pengelolaan
Keuangan
Negara
Dalam Era Reformasi. terdapat
dalam: http://www.bpk.go.id/web/
files/2009/04/dialog-publik-manado.
pdf, diposting tanggal 29 April 2011.
Fasli Jalal, Mendiknas Ogah Komentari
Hasil Penelitian Kampus IPB. terdapat
dalam:
http://nusajaya72.com/
mendiknas-ogah-komentari-hasilpenelitian-kampus-ipb/,
diposting
tanggal 1 Mei 2011. Dimuat pula
dalam SINDO, tanggal 13 Pebruari
2011.
Henry B. Mayo, An Introduction to
Democratic Theory (1960), terdapat
dalam: http://racheedus.wordpress.
com/tag/henry-b-mayo/ di posting
tanggal 29 Maret 2011
---------------, An Introduction to
Democratic Theory (1960), dalam
Malkian Elvani, terdapat dalam:
http://yanel.wetpaint.com/page/
Demokrasi, diposting tanggal 8
Maret 2011
Heraclitus, The Way Of The Logos
terdapat dalam: http://ebookbrowse.
com/heraclitus-pdf-d12354317,
diposting pada tanggal 9 Mei 2011
Novel Ali, KHN, 2010, Problematika
Penegakan Hukum. terdapat dalam:
http://www.
komisihukum.go.id/
index.php?option=com_content&vie
w=article&catid=57%3Amajalahbu
ku&id=355%3Aproblematikahukum
&lang=in diposting pada tanggal 10
Mei 2011
Pipin Hanapiah, Good Governance:
membangun
Masyarakat
yang
Demokratis dan Nasionalis, terdapat

Transparansi Merupakan Pintu Keadilan Dan Kebenaran

dalam: http://pustaka.unpad.ac.id/
archives/14511/ diposting pada
tanggal 1 April 2011
Terdapat dalam http://www.
pontianakpost.com/index.
php?mib=berita.detail&id=86947,
diposting tanggal 1 Mei 2011.
Dimuat pula dalam SINDO, tanggal
13 Pebruari 2011.

17

Kemandirian Komite Audit Bank Umum Yang Berbentuk Badan Usaha Milik Negara Go Public Dalam Rangka Pencapaian Konsep Good Corporate Governance
Dyah Nur Sasanti , SH, M.Hum

ABSTRACT
The progress of the world economy has brought an impact to the national economy of
Indonesia. The Bank plays an important role in economic development. State Owned
Trade Agencies Go Public have more specific characteristic compared with other types of
bank. It is related to the scope of the aims, that not only pursuing profits but also providing
services to the public. To achieve this goal, the banks need to consistently apply the basic
principles of good corporate governance, which is followed by effective supervision
and oversight of the management. GCG comprises of a set of regulation that is placed
as a model for executioner management. GCG can only be accomplished if the Audit
Committee conducts its duties , responsibilities and authority in an independence manner.
Keywords : Good Corporate Governance

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara hukum
yang melaksanakan penyelenggaraan
negara demi tujuan nasional yang luhur.
Dalam alinea 4 (empat) Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, diuraikan
bahwa:
Tujuan nasional negara Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Tujuan nasional tersebut diwujudkan
melalui pembangunan yang berkeadilan

18

dan demokratis, yang dilaksanakan


secara bertahap dan berkesinambungan.
Pembangunan
nasional
Indonesia
merupakan pencerminan kehendak
untuk terus menerus meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata, mengembangkan
kehidupan masyarakat, penyelenggaraan
negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Pembangunan nasional dilaksanakan
di berbagai bidang, seperti politik,
ekonomi, hukum, sosial budaya,
dan sebagainya, dilaksanakan secara
berencana,
menyeluruh,
terpadu,
terarah, bertahap, dan berkelanjutan,

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

yang mengacu pada kepribadian


bangsa dan nilai luhur yang universal
untuk mewujudkan kehidupan bangsa
yang berdaulat, mandiri, berkeadilan,
sejahtera, maju, serta kukuh kekuatan
moral dan etikanya.
Tanpa mengesampingkan pembangunan di bidang lainnya, hingga saat ini
pembangunan nasional Indonesia masih
dititikberatkan pada pembangunan di
bidang perekonomian yang diarahkan
pada terciptanya perekonomian yang
mandiri dan handal dengan peningkatan
kemakmuran rakyat yang makin merata,
pertumbuhan perekonomian yang tinggi,
dan stabilitas nasional yang mantap.
Namun demikian, perekonomian yang
mandiri dan handal tidak mungkin
tercipta tanpa didukung pembangunan
di bidang lain, terutama pembangunan
hukum.
Pembangunan di bidang perekonomian dan hukum yang saling
terkait, keberhasilan pembangunan
perekonomian
haruslah
didukung
dengan keberhasilan pembangunan
hukum. Dengan kata lain, Tatanan
hukum diperlukan dalam kegiatan
perekonomian, sebagai sarana penunjang
yang berfungsi untuk mendorong,
menggerakkan, dan mengendalikan
berbagai kegiatan pembangunan di
bidang perekonomian.
Bila kita membahas mengenai
pembangunan perekonomian, sangatlah
erat kaitannya dengan keberadaan badan
usaha. Dari sekian banyak jenis badan
usaha, salah satu badan usaha yang
menarik untuk dibahas adalah Bank.
Mengapa Bank? Karena semakin maju

perekonomian suatu negara, peranan


Bank akan semakin besar pula. Peranan
Bank yang ada di Indonesia akan semakin
besar seiring dengan pembangunan yang
dilaksanakan dalam rangka memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini akan secara spesifik
membahas mengenai Bank Umum yang
berbentuk Badan Usaha Milik Negara Go
Public (selanjutnya disebut Bank Umum
BUMN Go Public), karena Bank Umum
BUMN Go Public memiliki sifat yang
lebih khusus bila dibandingkan dengan
jenis Bank yang lain. Kekhususannya
tersebut berkaitan dengan maksud dan
tujuan pendirian Bank Umum BUMN
Go Public, yaitu mengejar keuntungan
sekaligus
memberikan
pelayanan
kepada masyarakat. Kepentingan untuk
mengejar keuntungan dan kewajiban
melaksanakan
pelayanan
kepada
masyarakat merupakan dua hal yang
sulit untuk dilakukan secara bersamaan.
Bank Umum BUMN Go Public
adalah Bank Umum yang menjalankan
usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa lalu
lintas pembayaran, yang sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara dan
sebagiannya lagi dimiliki oleh publik
melalui penawaran umum. Keberadaan
Bank Umum BUMN Go Public sebagai
salah satu badan usaha yang berperan
dalam
perekonomian
Indonesia
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang
tercantum UU tentang Perseroan
Terbatas, UU tentang Perbankan, UU
tentang Badan Usaha Milik Negara,
UU tentang Pasar Modal, peraturanperaturan
Bank
Indonesia,
dan
ketentuan-ketentuan pelaksana lainnya

Kemandirian Komite Audit Bank Umum Yang Berbentuk Badan Usaha Milik
Negara Go Public Dalam Rangka Pencapaian Konsep Good Corporate Governance

19

yang berlaku terhadapnya. Peraturanperaturan tersebut menggambarkan


bahwa hukum berperan sangat penting
dalam keberhasilan Bank Umum BUMN
Go Public menjalankan usahanya secara
maksimal.
Bank Umum BUMN Go Public
dihadapkan pada paradigma peningkatan nilai tambah yang optimal untuk
meningkatkan daya saingnya agar dapat
mempertahankan keberadaannya dalam
perekonomian dunia yang semakin
terbuka dan kompetitif. Paradigma
tersebut
kiranya
dapat
dihadapi
apabila Bank Umum BUMN Go Public
menerapkan secara konsisten prinsipprinsip dasar dalam rangka mencapai
tata kelola perusahaan yang baik atau
good corporate governance (selanjutnya
disebut GCG). Apa itu GCG? GCG
adalah
seperangkat
aturan
yang
dijadikan acuan manajemen pengelola
agar dapat mengelola Bank Umum
BUMN Go Public secara baik, benar,
dan penuh integritas, serta membina
hubungan dengan para stakeholders,
guna mewujudkan visi, misi, tujuan,
dan sasaran yang telah ditetapkan,
baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, serta meningkatkan
keberhasilan usahanya.
Pendapat Ainun Naim dalam
makalahnya berjudul Applying Good
Corporate Governance in Indonesia
(A General Case of State Owned
Enterprises) yang dikutip oleh Hasnati,
mengemukakan
bahwa
dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar GCG
setidaknya ada 4 (empat) situasi ideal
yang hendak dicapai, yakni:
1. Existence of fair business: efficient

market, efficient regulation, and


efficient contract;
2. Information regrading the (fair) price
and specification of goods and
services being exchanged is available
to all parties;
3. Each party is able and is willing to
comply to the rules and regulations,
and terms and condition in contract;
4. Judicial processes exist and are able
to implement the rules and to execute
punishment to the non-compliant of
the contract, 1
yang diterjemahkan secara bebas
sebagai berikut:
1. keberadaan bisnis yang dikelola
secara fair, mencakup efisiensi
pasar, efisiensi regulasi, dan efisiensi
kontrak;
2. adanya informasi tentang harga
dan spesifikasi dari barang dan jasa
yang menjadi obyek pertukaran para
pihak;
3. kemauan dan kemampuan para
pihak untuk mengikuti aturan dan
regulasi, syarat-syarat, dan kondisi
dalam kontrak; dan
4. adanya proses peradilan, kepastian
hukum, dan pelaksanaan hukum
bagi pihak yang tidak melaksanakan
kontrak.
Prinsip-prinsip dasar GCG
harus diterapkan meliputi:

yang

a. akuntabilitas (accountability),
yaitu kejelasan pembagian tugas,
wewenang, dan tanggung jawab
masing-masing organ-organ Bank
Umum BUMN Go Public yang
diangkat setelah melalui fit and
proper test, sehingga pengelolaan

1 Ainun Naim dikutip oleh Hasnati, Analisis Hukum Komite Audit Dalam Organ Perseroan Terbatas Menuju Good

Corporate Governance, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, No. 6/2003, hlm. 20.

20

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Bank Umum BUMN Go Public dapat


dilaksanakan secara efektif dan
efisien;
b. kemandirian (independency),
yaitu suatu keadaan Bank Umum
BUMN Go Public dikelola secara
profesional
tanpa
benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan
dari pihak manapun, terutama
pemegang saham mayoritas, yang
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat;
c. transparansi (transparancy),
yaitu keterbukaan terhadap proses
pengambilan
keputusan,
dan
penyampaian informasi mengenai
segala aspek Bank Umum BUMN
Go Public terutama yang berkaitan
dengan kepentingan stakeholders
dan publik secara benar dan tepat
waktu;
d. pertanggungjawaban(responsibili
ty),
yaitu perwujudan kewajiban organ
Bank Umum BUMN Go Public
untuk
melaporkan
kesesuaian
pengelolaan Bank Umum BUMN Go
Public dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan
keberhasilan maupun kegagalannya
dalam pencapaian visi, misi, tujuan,
dan sasaran Bank Umum BUMN Go
Public yang telah ditetapkan; dan
e. kewajaran (fairness),
yaitu keadilan dan kesetaraan
di dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan

perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku.


Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat
diwujudkan dalam bentuk konkret antara
lain dengan melakukan pemisahan
tanggung jawab dan kewenangan yang
disertai dengan mekanisme kerja sama
antara organ-organ Bank Umum BUMN
Go Public, melakukan pengawasan ketika
organ-organ tersebut melaksanakan
tugasnya untuk menghindari adanya
benturan kepentingan atau tekanan,
memberlakukan sistem pengendalian
internal dan eksternal yang kuat, dan
pengungkapan
informasi
material
mengenai perusahaan melalui media
yang dapat diakses dengan mudah
oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
serta menetapkan visi, misi, tujuan, dan
stategi secara jelas sehingga kinerja
Bank Umum BUMN Go Public maupun
kontribusi masing-masing individu dapat
dinilai secara obyektif.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa
GCG diterapkan? Penerapan GCG
sangat diperlukan untuk memberi
kepastian bahwa meskipun Pemerintah
bertindak selaku pemegang saham
mayoritas dan memperoleh keuntungan
paling besar dari usaha yang dijalankan
oleh Bank Umum BUMN Go Public,
namun keuntungan tersebut tetap
dipergunakan sepenuhnya Pemerintah
untuk memberikan kemanfaatan umum
bagi rakyat. Bank Umum BUMN Go
Public berkewajiban menyampaikan
pertanggungjawaban kepada Pemerintah
dan publik selaku pemegang saham,
sebagai bentuk perlindungan hak-hak
pemegang saham. Penerapan GCG
dinilai mampu mengoptimalkan peran,

Kemandirian Komite Audit Bank Umum Yang Berbentuk Badan Usaha Milik
Negara Go Public Dalam Rangka Pencapaian Konsep Good Corporate Governance

21

meningkatkan daya saing, dalam


rangka mempertahankan keberadaan
Bank Umum BUMN Go Public dalam
perkembangan ekonomi dunia yang
semakin terbuka dan kompetitif.
Sesuai
dengan
prinsip
yang
terkandung
dalam
GCG,
dalam
mengelola Bank Umum BUMN Go
Public harus diikuti dengan pengawasan
dan pembinaan secara efektif terhadap
manajemen pengelola, sehingga dapat
dilakukan pencegahan terhadap segala
tindakan manajemen pengelola yang
dapat menyebabkan Bank Umum BUMN
Go Public pailit, seperti praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Pengawasan
dan pembinaan tersebut dilakukan oleh
Bank Indonesia sebagai pembina dan
pengawas sebagaimana dimaksud Pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(selanjutnya disebut Undang-Undang
Perbankan yang diperbaharui), dan
secara intern yang dilakukan oleh organorgannya.
Pengendalian intern merupakan
suatu mekanisme pengawasan yang
ditetapkan oleh manajemen pengelola
Bank Umum BUMN Go Public secara
berkesinambungan,
guna
menjaga
dan mengamankan harta kekayaan,
menjamin tersedianya laporan yang
lebih akurat, meningkatkan kepatuhan
terhadap
ketentuan
perundangundangan yang berlaku, mengurangi
dampak kerugian karena penyimpangan
yang juga meliputi kecurangan dan/
atau pelanggaran aspek kehati-hatian,
meningkatkan efektifitas organisasi,

dan meningkatkan efisiensi biaya.


Pengendalian intern dapat dilaksanakan
salah satunya dengan pembentukan
Komite
Audit
yang
bertujuan
memperkuat pengawasan terhadap
lembaga perbankan dan menciptakan
kepercayaan publik, terutama bagi
investor yang bersangkutan. Pengertian
Komite Audit dijelaskan di berbagai
sumber, antara lain:
a. Pendapat O Ray Whittington yang
dikutip oleh Amin Widjaja Tunggal
mendefinisikan sebagai:
a committee composed of outside
directors (members of the board of
Directors who are neither officers
nor employees) charged with
responsibility for maintaining contact
with the companys Internal and
independent auditors. 2
(terjemahan bebas: yang beranggotakan bukan Direksi maupun
karyawan
perusahaan
yang
bersangkutan, yang bertanggung
jawab
memelihara
hubungan
dengan Auditor Internal dan Auditor
Eksternal).
b. Blacks Law Dictionary menyebutkan:
Audit committee is a committee
appointed by the board of an
organization, especialy a corporation,
to oversee the financial reporting
process, select an independent
auditor, and receive the audit. Ideally,
a committee member is financially
literate and wholly independent,
having no financial interest (direct
or indirect) in the company, no
executive position, and no familial
relationship with any member of the
companys management or a major

2 O Ray Whittington dikutip oleh Amin Widjaja Tunggal, Komite Audit (Audit Committee), Jakarta: Harvarindo,

2003, hlm. 5.

22

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

shareholders. 3
(terjemahan bebas: komite audit
adalah komite yang diangkat oleh
perusahaan untuk mengawasi proses
pelaporan
keuangan,
memilih
auditor independen, dan menerima
hasil audit. Idealnya, anggota
komite mempunyai latar belakang
ilmu keuangan, independen, tidak
memiliki saham perusahaan yang
bersangkutan (langsung maupun
tidak langsung), tidak menjabat
sebagai eksekutif perusahaan yang
bersangkutan, dan tidak memiliki
hubungan
keluarga
dengan
anggota manajemen pengelola atau
pemegang saham mayoritas).
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat dikatakan bahwa Komite
Audit Bank Umum BUMN Go Public
merupakan komite mandiri yang bebas
dari pengaruh manajemen pengelola,
yang melaksanakan tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya dalam rangka
membantu tugas pengawasan Dewan
Komisaris.
Komite Audit merupakan komite yang
diketuai Komisaris Independen4 yang
bekerja secara kolektif dan berfungsi
membantu pelaksanaan tugas Komisaris
untuk mewujudkan pengawasan yang
efektif terhadap Bank Umum BUMN
Go Public. Secara umum, Komite
Audit pada bertugas untuk menilai
pelaksanaan kegiatan Bank Umum
BUMN Go Public, menilai hasil audit
yang dilakukan oleh Auditor Internal
maupun Auditor Eksternal, memberikan
rekomendasi mengenai penyempurnaan
sistem pengendalian manajemen dan
pelaksanaannya, memastikan adanya

prosedur pengkajian ulang yang


memuaskan terhadap segala informasi
yang dikeluarkan Bank Umum BUMN
Go Public, mengidentifikasi hal-hal
yang memerlukan perhatian Komisaris,
serta membantu tugas-tugas Komisaris
lainnya.
Amin Widjaja Tunggal berpendapat
Komite Audit bertanggung jawab untuk
bidang-bidang sebagai berikut:
a. Pelaporan keuangan (financial
reporting);
b. Tata kelola perusahaan (corporate
governance); dan
c. Pengendalian korporat (corporate
contol). 5

2. Pelaporan Keuangan (financial


reporting)
Pelaporan keuangan merupakan
tanggung jawab utama dari umumnya
Komite Audit, termasuk Komite Audit
Bank Umum BUMN Go Public. Tanggung
jawab khusus Komite Audit yang
berkaitan dengan pelaporan keuangan
adalah memberikan keyakinan bahwa
pengungkapan keuangan yang dilakukan
manajemen pengelola Bank Umum
BUMN Go Public telah menggambarkan
secara layak kondisi keuangan, hasil
operasi, dan rencana jangka pendek,
serta komitmen jangka panjang.
Langkah-langkah khusus yang dapat
ditempuh Komite Audit dalam rangka
melaksanakan tanggung jawabnya ini
mencakup:
a. memberi rekomendasi mengenai
akuntan independen yang akan
ditunjuk oleh Dewan Komisaris;
b. mengawasi cakupan audit eksternal,
yang meliputi surat perjanjian kerja

3 Blacks Law Dictionary, Eight Edition, 2004, hlm. 289.


4 Komisaris independen adalah komisaris yang tidak memiliki keterkaitan dengan pemilik Bank Umum BUMN Go

Public yang bersangkutan.

5 Amin Widjaja Tunggal, Op.Cit., hlm. 5.

Kemandirian Komite Audit Bank Umum Yang Berbentuk Badan Usaha Milik
Negara Go Public Dalam Rangka Pencapaian Konsep Good Corporate Governance

23

dengan Auditor Eksternal, biaya audit


yang diperkirakan, waktu kunjungan
Auditor Eksternal, koordinasi dengan
Auditor Internal, penelaahan kinerja
Auditor, dan penelaahan jasa nonaudit;
c. menelaah kebijakan akuntansi dan
keputusan kebijakan;
d. memeriksa
laporan
keuangan
Bank Umum BUMN Go Public
yang terdiri dari laporan keuangan
interim, laporan keuangan tahunan,
pendapat Auditor, surat-surat yang
dikeluarkan
oleh
manajemen
pengelola, dan laporan-laporan
lain yang mensyaratkan persetujuan
Komisaris sebelum disampaikan
kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) dan/atau lembaga
pemerintah lainnya.

3. Tata kelola Perusahaan


(corporate governance)
Tanggung jawab Komite Audit
dalam bidang tata kelola perusahaan
atau corporate governance adalah
memberikan keyakinan bahwa Bank
Umum BUMN Go Public telah menaati
hukum dan peraturan yang berlaku secara
layak, telah melakukan usahanya secara
etis, dan memelihara pengendalian yang
efektif terhadap benturan kepentingan
karyawan dan kecurangan. Langkahlangkah yang dapat dilakukan oleh
Komite Audit dalam melaksanakan
tanggung jawab ini adalah:
a. menelaah kesesuaian peraturan yang
dibuat oleh Bank Umum BUMN
Go Public terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

24

b. menelaah
kebijakan
korporasi
berkenaan dengan ketataan Bank
Umum BUMN Go Public terhadap
peraturan
perundang-undangan,
aturan-aturan intern, dan etika;
c. menelaah kebijakan korporasi untuk
menghindari terjadinya benturan
kepentingan;
d. melakukan investigasi terhadap
penyalahgunaan dan kecurangan
dalam Bank Umum BUMN Go
Public;
e. menelaah proses litigasi yang
ditempuh oleh Bank Umum BUMN
Go Public tersebut,
f. menelaah hal-hal yang bertentangan
dengan
penyelenggaraan
good
corporate governance;
g. menelaah
perilaku
manajemen
pengelola
dan/atau
karyawan
Bank Umum BUMN Go Public
mengenai benturan kepentingan
karyawan,
kepatuhan
terhadap
aturan, penyalahgunaan, dan/atau
kecurangan; dan
h. mensyaratkan Auditor Internal untuk
melaporkan secara tertulis mengenai
hasil penelaahan tentang tata kelola
perusahaan, dan setiap hal-hal
signifikan yang ditemukan.

4. Pengendalian korporasi
(corporate control)
Tanggung jawab Komite Audit
Bank Umum BUMN Go Public dalam
hal pengendalian korporat mencakup

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

pemahaman
tentang
pokok-pokok
laporan keuangan, mengidentifikasikan
area yang dianggap sensitif dan rawan
terhadap risiko serta pemahaman
terhadap manajemen resiko, dan sistem
pengendalian intern yang berlaku di
Bank Umum BUMN Go Public yang
bersangkutan. Tanggung jawab ini
memerlukan pemahaman yang jelas
tentang peranan sistem pengendalian
intern, baik untuk Auditor Eksternal
maupun Auditor Internal. 6 Selanjutnya,
terhadap
masalah-masalah
yang
teridentifikasi dicarikan solusinya yang
kemudian diajukan kepada Dewan
Komisaris sebagai saran dan masukan.
Saran dan masukan tersebut kemudian
disampaikan oleh Dewan Komisaris
kepada Direksi, melalui Direktur
Kepatuhan, dan jajaran manajemen
pengelola agar dapat direalisasikan
sebagai bentuk upaya perbaikan.
Dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya tersebut di atas,
Komite
Audit
berwenang
untuk
mengakses segala informasi tentang
karyawan, dokumen-dokumen, dana,
aset, serta sumber daya lainnya yang
dimiliki Bank Umum BUMN Go
Public tersebut. Apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh Auditor, baik internal maupun
eksternal, terdapat dugaan terjadinya
kecurangan,
penyimpangan,
dan
transaksi yang bertentangan dengan
peraturan yang berlaku, Komite Audit
juga berwenang untuk meminta dan
menentukan
pemeriksaan
khusus.
Dalam melaksanakan wewenangnya
tersebut, Komite Audit wajib bekerja
sama dengan pihak yang melaksanakan
fungsi audit internal.

Menurut F. Antonius Alijoyo,


kewenangan Komite Audit tersebut
dibatasi oleh fungsi mereka yang hanya
sebagai alat bantu Dewan Komisaris,
sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi
apapun (hanya sebatas rekomendasi
kepada Dewan Komisaris), kecuali untuk
hal spesifik yang telah memperoleh hak
kuasa eksplisit dari Dewan Komisaris,
misalnya mengevaluasi dan menentukan
komposisi Auditor Eksternal, dan
memimpin suatu investigasi khusus. 7
Meskipun
telah
diuraikan
bahwa keberadaan Komite Audit ini
mempunyai peranan penting dalam
pengawasan terhadap kinerja Bank
Umum BUMN Go Public, GCG akan
lebih sulit dicapai apabila pembentukan
Komite Audit masih didasari adanya
ketidakmandirian
anggotanya
dari
anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/
atau pemegang saham mayoritas. Tanpa
mengesampingkan prinsip-prinsip yang
lain, kemandirian Komite Audit Bank
Umum BUMN Go Public merupakan
faktor yang paling mempengaruhi
baik buruknya kinerja Komite Audit
yang bersangkutan. Ketidakmandirian
Komite Audit mengakibatkan tidak
dapat dipenuhinya syarat-syarat prinsipprinsip dasar lainnya, yang kemudian
menyebabkan kinerja Komite Audit yang
buruk, dan pada akhirnya mengakibatkan
tidak tercapainya GCG pada Bank
Umum BUMN Go Public. Kemandirian
ternyata merupakan faktor yang paling
mempengaruhi kinerja Komite Audit
Bank Umum BUMN Go Public. Dapat
dikatakan, keberadaan Komite Audit
yang tidak mandiri, dapat mengakibatkan
tidak
dapat
dipenuhinya
syaratsyarat efektifitas yang lainnya, seperti

6 Lihat Amin Widjaja Tunggal, Op.Cit., hlm. 5-7.


7 Lihat F. Antonius Alijoyo, Keberadaan dan Peran Komite Audit, Surabaya: Seminar Nasional GCG FKSPI BUMN/

BUMD, 7 Mei 2003, hlm. 1.

Kemandirian Komite Audit Bank Umum Yang Berbentuk Badan Usaha Milik
Negara Go Public Dalam Rangka Pencapaian Konsep Good Corporate Governance

25

transparansi, pertanggungjawaban, dan


kewajaran.
Ketidakmandirian tersebut membawa
pengaruh juga terhadap transparansi
dalam pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab Komite Audit yang bersangkutan.
Fenomena ini terjadi ketika Komite Audit
tidak melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya secara transparan dengan cara
menyembunyikan fakta-fakta tertentu,
dalam rangka melindungi kepentingan
pihak-pihak tertentu, misalnya bagi
pihak yang tergabung dalam manajemen
pengelola Bank Umum BUMN Go
Public tersebut. Pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab secara tidak transparansi
menimbulkan kesan bahwa Komite Audit
cenderung memberi masukan-masukan
kepada Dewan Komisaris berdasarkan
apa yang telah direferensikan dalam
laporan Bank Umum BUMN Go Public,
bukan berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan melalui penyelidikan yang
dilakukannya.

kemandirian merupakan syarat mutlak


yang sangat mempengaruhi kinerja
Komite Audit, yang pada akhirnya
mempengaruhi pencapaian GCG pada
Bank Umum BUMN Go Public yang juga
merupakan syarat mutlak bagi eksistensi
Bank Umum BUMN Go Public dalam
menjalankan usahanya berdasarkan
kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ainun Naim dikutip oleh Hasnati,
Analisis Hukum Komite Audit Dalam
Organ Perseroan Terbatas Menuju
Good Corporate Governance, Jurnal
Hukum Bisnis Volume 22, No. 6/2003
F. Antonius Alijoyo, Keberadaan dan Peran
Komite Audit, Surabaya: Seminar
Nasional GCG FKSPI BUMN/BUMD,
7 Mei 2003
O Ray Whittington dikutip oleh Amin
Widjaja Tunggal, Komite Audit (Audit
Committee), Jakarta: Harvarindo, 2003

Selain membawa dampak pada


transparansi, ketidakmandirian Komite
Audit Bank Umum BUMN Go Public
mempengaruhi kewajaran Komite Audit
dalam mengambil keputusan. Besarnya
pengaruh Dewan Komisaris akan
mengakibatkan keputusan yang diambil
Komite Audit tidak mengakomodasi
kepentingan-kepentingan stakeholders
secara adil dan setara, keputusan tersebut
tidak didasari oleh fakta dan dokumen
penunjang yang memadai. Situasi-situasi
tersebut kemudian mengakibatkan tidak
dapat dilaksanakannya kontrol sosial dari
masyarakat, karena Komite Audit tidak
menyampaikan pertanggungjawabannya
sebagaimana mestinya. Oleh karenanya,

26

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi


Asset Backed Securities /Efek Beragun Aset (EBA)
Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
Jo Peraturan Bapepam & Lk No. Ix.K.1 Lampiran
Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/
Bl/2008 Tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)
Marisa Adiwilaga dan Christian Andersen

ABSTRACT
Asias emerging asset securitization issues in 1990, as happened in Japan, Hong Kong,
Thailand, Philipine, Taiwan and Singapore. In Indonesia a new asset securitization issue
is less developed in 1995 ago with the introduction of asset securitization transactions for
credit cards in the year for auto loans by Astra Sedaya Finance in 1996.
SPV is now used by entrepreneurs as a business vehicle that protects the interests of its
shareholders. However, usually SPV based outside the country in its implementation,
there are only 2 people and besides it is also only with telephone and fax, but the cash
held by the SPV is very large. SPV based abroad are usually established in a place that is
a party of a double taxation treaty and low taxes and even take advantage of aspects of
confidentiality to a very specific purpose.

1. Kontrak Investasi Kolektif


(KIK) sebagai alternatif
investasi di pasar modal
Pasar Modal di Indonesia membawa
dampak positif terhadap perkembangan
perekonomian di Indonesia. Hal
tersebut dapat terjadi, salah satunya
adalah karena pasar modal mempunyai
peranan yang boleh dikatakan cukup
penting, antara lain sebagai berikut: 1
1. Pasar Modal merupakan fasilitas
dalam melakukan interaksi antara
Pembeli
dan
Penjual
untuk

menentukan harga saham atau surat


berharga yang diperjualbelikan.
2. Pasar Modal memberikan kesempatan kepada para investor untuk
memperoleh hasil (return) yang
diharapkan. Keadaan tersebut akan
mendorong perusahaan (emiten)
untuk memenuhi keinginan para
Investor untuk memperoleh hasil
yang diharapkan.
3. Pasar
Modal
memberikan
kesempatan kepada investor untuk
menjual kembali saham atau surat
berharga yang dimilikinya.

1 Sunariyah, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, ((Yogyakarta: UPP-AMPYKPN, 2000), hlm 7-8 dalam Gunawan

Widjadja ETF (Exchange Trade Fund) di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta 2008, hlm 1.

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

27

4. Pasar
Modal
menciptakan
kesempatan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dalam perkembangan suatu perekonomian.
5. Pasar Modal mengurangi biaya
informasi dan transaksi Surat
Berharga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai
saat ini masyarakat Indonesia belum
cukup mengenal manfaat melakukan
investasi dalam pasar modal, meskipun
pasar modal seharusnya menjadi salah
satu alternatif utama dalam investasi.
Bursa Efek pada umumnya hanya
dimaknai dan dimengerti sebagai bursa
yang memperdagangkan saham dan
atau obligasi sementara pemahaman
mengenai
efek-efek
lain
yang
diperjualbelikan dibursa tidaklah terlalu
banyak diketahui.
Berbagai cara pembiayaan dan
pemilihan sumber dana dan kombinasi
cara pembiayaan telah lama dikenal dan
banyak digunakan dalam dunia usaha,
walaupun cara dan sumber dana di
negara-negara maju relatif lebih banyak
dan bervariasi daripada negara-negara
berkembang. Namun, pada dasarnya
sumber-sumbernya sama dan caranya
tidak begitu berbeda.
Sumber pembiayaan yang konvensional dan umum dipakai oleh setiap
individual atau pelaku ekonomi di
setiap negara adalah laba yang ditahan
(retained earning), kombinasi laba
ditahan, modal sendiri dan hutang
(debt and equity combination). Melalui
pembiayan konvensional pada umumnya
para pengusaha masih tergolong berhatihati, hal ini dikarenakan bank masih

sulit menyalurkan kredit kepada usaha


menengah besar. Trauma kredit macet
saat krisis masih membekas dalam,
sementara ketidakpastian multidimensi
masih menyelimuti lingkungan bisnis.
Belenggu obligasi rekapitalisasi dan
batasan persyaratan Capital Adequate
Ratio
(CAR)
membuat
bank
harus berpikir berkali-kali sebelum
menyalurkan kredit.
Selama ini dipercaya bahwa salah
satu cara yang paling baik untuk
mengevaluasi
berbagai
kombinasi
pilihan sumber dana yang ada
adalah dengan menggunakan strategi
sustainable growth rate strate, yaitu suatu
strategi penggunaan kombinasi berbagai
sumber dana agar perusahaan dapat
mempertahankan tingkat pertumbuhan
yang maksimum. 2
Untuk memperoleh penambahan
dana guna tujuan investasi maupun
untuk kegiatan operasional, serta
untuk memperbaiki struktur keuangan
perusahaan sekaligus menyehatkan
keuangan perusahaan ada berbagai
metoda yang dapat ditempuh. Salah
satu yang terpenting adalah dengan
mengstrukturisasi
keuangannya
(structured finance), cara ini dilakukan
dengan
sekuritisasi
(securitized).
Upaya sekuritisasi banyak ditempuh
oleh perusahaan baik dalam rangka
menyehatkan
keuangan
maupun
memperoleh dana dari pasar modal.
Sekuritisasi dapat dilakukan dengan
menerbitkan surat berharga yang baru
dan menjual kembali surat berharga
yang ada atau dengan menerbitkan surat
berharga baru dijamin (pledge) oleh
surat berharga yang ada.

2 News letter No 28 /VIII/Maret/1997 Hlm 26-27

28

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Salah satu sarana perekonomian yang


terlihat meningkat dari waktu ke waktu
serta mampu menggerakkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam mewujudkan
pertumbuhan ekonomi adalah Pasar
Modal. Menyadari masalah tersebut,
maka kebijaksanan pengembangan
Pasar Modal merupakan salah satu yang
harus diupayakan.
Pasar Modal Indonesia mulai
memiliki arti strategis sejak pemerintah
melakukan regulasi ekonomi di sektor
moneter dengan megeluarkan paketpaket kebijaksanaan pada tahun 1987
hingga tahun 1990. Sejak
mulai
diberlakukannya
Undang-Undang
nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar
Modal (UUPM), keberadaan UndangUndang ini menjadi milestone pasar
modal Indonesia karena menganut
sistem disclosure, dan Bapepam & LK
diberi tugas menciptakan pasar teratur,
wajar dan efisien serta melindungi
pemodal.
Sebagai sumber dana yang langsung
melibatkan masyarakat luas, pasar modal
tidak hanya menyediakan dana investasi
dalam bentuk penyertaan kepemilikan
saham, tapi juga menawarkan instrumen
seperti obligasi dan yang lainnya.
Belakangan ada instrumen yang juga
mulai dikenalkan kepada
kalangan
investor yakni Efek Beragun Aset (Asset
backed securities) 3
Berbagai kebijakan dikeluarkan
Bapepam
&
LK.
Salah
satu
kebijakan-kebijakan tersebut adalah
diperkenalkannya Sekuritisasi Aset melalui Efek Beragun Aset (EBA) dan
Pengenalan Indonesian Depository
recipt . 4

Efek Beragun Aset (Asset backed


securities) merupakan produk baru
di pasar modal Indonesia walaupun
sebenarnya
produk
ini
sudah
boleh diterbitkan oleh pihak yang
membutuhkannya sejak tahun 1997.
Namun, sejak tahun 1997 hingga bulan
Desember 2003 belum ada 1 (satu) pun
produk Efek Beragun Aset (Asset backed
securities) yang diterbitkan.
Efek Beragun Aset (Asset backed
securities)
merupakan
hasil
dari
sekuritisasi aset. Secara sederhana
sekuritisasi aset dapat diartikan sebagai
penciptaan sekuritas dengan agunan
aset keuangan. Aset keuangan yang
dimaksud adalah piutang dalam arti luas.
Tujuannya untuk mentransformasi aset
keuangan dari kreditur awal (Originator)
yang tidak likuid menjadi aset keuangan
yang likuid. 5
Dari sinilah kemudian lahir sekuritisasi aset sebagai lembaga terbaru
di lingkungan pasar modal. Produk
ini untuk pertama kalinya muncul di
Amerika Serikat dengan diperkenalkanya
Mortgage Backed Securities dan
berkembang dengan pesat pada tahun
1970 hingga tahun 1980. Berapa tahun
berikutnya sekuritisasi aset ini juga
berkembang di negara-negara Eropa,
Australia, Amerika Latin dan Selandia
Baru.
Di Asia masalah sekuritisasi aset baru
berkembang pada tahun 1990, seperti
yang terjadi di Jepang, Hongkong,
Thailand, Filipina, Taiwan dan Singapura.
Di Indonesia masalah sekuritisasi aset
baru berkembang kurang lebih tahun
1995 yang lalu dengan dikenalkannya

3 I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern , yayasan SAD satria bhakti 2000, hlm 85
4 Indoneisan Depository Receipt (sertifikat penitipan efek Indonesia) berdasarkan peraturan Nomor IX.A.10-kepu

tusan ketua Bapepam & LK No kep 49/PM/1997. IDR adalah peraturan yang membuat kepastian hukum bagi
pemodal untuk berinvestasi terhadap perusahaan asing yang melakukan penawaran umum di Indonesia, untuk
memberikan perlindungan kepada pemodal pada tahap sekarang ini dimungkinkan bagi emiten untuk menerbit
kan IDR hanya kalau perusahaan yang bersangkutan telah melakukan IPO (Intial Public Offering) di Negara-nega
Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

29

transaksi sekuritisasi aset untuk kartu


kredit untuk auto loan oleh Astra Sedaya
Finance pada tahun 1996.

to remove assets from its books, to


improve its capital ratio and liquidity
while making new loans with the security
proceeds

Sekuritisasi aset dapat didefinisikan


sebagai suatu transformasi aset-aset yang
biasanya tidak dapat dipasarkan seperti
utang dengan jaminan hipotik, utang
dengan jaminan atas barang bergerak,
dan tagihan-tagihan berdasarkan kartu
kredit, menjadi surat berharga yang
dapat diperdagangkan sesuai dengan
kebutuhan pemodal institusional. Tujuan
diciptakannya efek beragun aset adalah
dalam rangka memenuhi kebutuhan
perusahaan yang memerlukan pembiayaan untuk memperoleh sumber
dana yang likuid atau cash. Melalui
penerbitan efek beragun aset, perusahaan
tersebut dapat menjual piutang-piutang
sebelum jatuh tempo kepada pihak
lain. 6 Pada prinsipnya, para pengusaha
pemilik aset akan mendapat kesempatan
memperdagangkan sertifikat aset mereka.
Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam & LK) mengenai
kontrak investasi kolektif Efek Beragun
Aset (KIK-EBA), disebutkan bahwa
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (KIK-EBA) adalah kontrak antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian
yang mengikat pemegang Efek Beragun
Aset dimana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola portfolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian
diberi wewenang untuk melaksanakan
penitipan kolektif. 7

Sekuritisasi aset masih merupakan


hal baru bagi pasar keuangan negaranegara berkembang termasuk Indonesia,
meskipun di Amerika produk finansial
hasil sekuritasi aset yaitu
Efek
Beragun Aset (Asset Backed Securities)
diterbitkan pertama kali tahun 1970.
Namun berdasarkan hasil laporan yang
diterbitkan oleh Asian Development
Bank (1999), beberapa
perusahaan
yang berdomisili di Indonesia pernah
menerbitkan Efek Beragun Aset (Asset
Backed Securities), namun karena
emiten Efek Beragun Aset (Asset Backed
Securities)
tersebut
menggunakan
Special Purpose Vehicle (SPV) luar
negeri atau Offshore SPV, maka yang
terjadi tidak terdaftar di Bapepam
& LK. Dengan demikian, peraturan
mengenai efek beragun aset (EBA)
yang telah dikeluarkan oleh Bapepam
& LK tahun 1997 hingga saat ini belum
pernah diimplementasikan. 8 Sehingga
harus dipertimbangkan kembali kepada
investor yang memiliki badan hukum
luar negeri karena tentu saja perusahaan
(vehicle) tersebut tidak berbentuk
Perseroan
Terbatas
(PT)
maka
aturannya pun berbeda. Di samping itu
perlu diperhatikan kewajiban-kewajiban
debitur dengan pergantian on shore loan
menjadi off shore loan. 9

Securitization menurut Blacks Law


dictionary adalah:
To convert (assets) into negotiable
securities for resale in financial market,
allowing the isuing financial institution

SPV sekarang ini digunakan oleh


para pengusaha sebagai kendaran
bisnis yang melindungi kepentingan
para pemegang sahamnya. Bagaimana
tidak, SPV yang berbasis di luar negeri

ra dan peraturan Negara yang bersangkutan setara dengan peraturan Pasar Modal di Inggris.

5 I Putu Gde Ary Suta., Op.cit.


6 Ibid, hlm 286
7 Pasal 1 huruf a, Peraturan Bapepam & LK No. IX.K.1 No.Kep 493/BL/2008, tanggal 25 Nopember 2008
8 Deni Daruri, Djony Edward, BPPN, Garbage In Garbage Out SPV kendaraan bisnis yang mengundang kontro

versi salemba empat, hlm 225.

30

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

ini dalam pelaksanaannya hanya ada


2 orang dan selain itu pula hanya
bermodalkan telpon dan fax, namun
uang kas yang dipegang oleh SPV ini
sangat besar. SPV yang berbasis luar
negeri ini biasanya didirikan di suatu
tempat yang merupakan pihak dari suatu
perjanjian pajak ganda dan pajaknya
rendah dan bahkan juga memanfaatkan
aspek kerahasiaan untuk tujuan yang
sangat khusus. 10
Sekuritisasi Aset dalam Transaksi EBA
ini merupakan suatu transaksi jenis baru,
untuk melakukan diversifikasi sumber
pembiayaan dan untuk mengurangi
ketergantungan kepada bank atau sumber
dana lainnya. Sehubungan kondisi saat
ini dimana bentuk pembiayaan lainnya
sulit diperoleh karena resiko yang
terasosiasi dengan originator/investor.
Sehubungan dengan hal tersebut
diatas, maka penulis mengangkat tema
mengenai bentuk Special Purpose
Vehicle dalam transaksi Efek Beragun
aset (Asset Backed Securities).

2. Sekuritisasi Efek Beragun Aset


A. Mekanisme Proses Sekuritisasi
Aset dalam hukum Common
Law
Tekanan likuiditas yang luar biasa
tersebut melahirkan kreativitas para
manajer keuangan yang tampil dengan
securitization yang merupakan suatu
teknik finansial untuk mengkonversi
aset finansial yang tidak likuid menjadi
sekuritas yang lebih likuid dengan back
up aset itu sendiri. 11
EBA dikenalkan oleh pasar modal di
Amerika, dimana penjual menjual aset

yang tidak likuid menjadi likuid. Hal


inilah yang coba dikenalkan oleh Ginnie
Mae, 12 yang bertujuan membuat bahwa
perumahan di Amerika dapat diperoleh
mampu dibeli oleh semua kalangan.
Government
National
Mortgage
Association (GNMA) atau sering disebut
Gennie Mae adalah lembaga keuangan
yang didirikan oleh pemerintah Amerika,
lembaga ini sepenuhnya dimiliki oleh
pemerintah dan kegiatan keuangannya
didukung dari dana yang diperoleh dari
pemerintah. Tugas Gennie Mae adalah
untuk membeli, menjalankan kegiatan
(service) dan menjual mortgage loan
dengan konsep meminimalkan resiko
yang timbul dari residential mortgage
market dan meminimalkan kerugian
pada pemerintah. Gennie Mae diberikan
otoritas kerja dalam dua kegiatan, yaitu:
1. Sebagai special assistant function,
yakni diberikannya kewenangan
untuk mengenakan bunga terhadap
suatu pinjaman, yang besarnya
berada dibawah rata-rata harga yang
diperdagangkan di pasar uang. Hal
ini dilakukan oleh keluarga yang
memiliki penghasilan rendah dan
tidak dapat membeli pinjaman dalam
proses yang biasa.
2. Mortgage Backed Security program,
yakni Gennie Mae akan menjamin
pembayaran yang tepat waktu atas
utang dan bunga pada mortgage
backed security yang diterbitkan dan
dijual kepada investor.
Cara kerja Gennie Mae adalah
sebagai berikut:
1. Issuer, yang seringkali adalah
mortgage banker, akan mencari
komitmen dengan GNMA untuk

9 Ibid
10 Ibid, hlm 267
11 Deni Daruri dan Djony Edward , Op cit.
12 www.ginniemae.gov

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

31

menjamin pool dari FHA 13 (federal


housing administration) atau VA
(veterans Adminitration) 14
2. Setelah menerima jaminan itu,
sekuritas pun diterbitkan dengan
didukung oleh pool dari FHA atau
VA, untuk selanjutnya dijual di pasar
sekunder.
3. Mortgage backed security dijual
melalui security dealer kepada
investor,
berdasarkan
jaminan
dimana issuer akan membayarkan
utang pokok dan bunganya.
4. Jaminan pembayaran issuer kepada
investor ini didukung oleh GNMA,
dengan konsep full faith dan kredit
dari pemerintah federal.
GNMA memiliki jenis mortgage
backed security partial modifies pass
though (yang berbentuk unit penyertaan
atau surat partisipasi) dimana utang
pokok dan bunga per bulannya jatuh
tempo kepada investor pada saat
seluruh pembayaran yang diperolehnya
dari debitor mortgage loan tersebut
terkumpul, akan tetapi kalau terjadi
default, issuer hanya berkewajiban
membayarkan prosentase pokok yang
menjadi utang atau kewajibannya. Hal
ini menunjukkan secara nyata adanya
jaminan sepenuhnya akan kondisi
tertentu dari GNMA. 15
Selain itu juga ada Lembaga
Keuangan yang dibentuk oleh swasta
di Amerika yakni Federal National
Mortgage Association (FNMA) atau
yang biasa disebut Fannie Mae. Tugas
dari FNMA adalah menyediakan suatu
pasar sekunder, untuk pinjaman bagi
rumah tinggal atau pinjaman perumahan.
FNMA sebagai perusahaan swasta

menjadi salah satu sumber dana untuk


membeli piutang-piutang atau pinjaman
perumahan, mensekuritisasikannya, dan
selanjutnya menjual kepada investor. 16
Pendapatan FNMA berasal dari dua
sumber, yaitu Fee income dan selisih
antara biaya peminjaman dan yield 17
dalam penginvestasian mortgage loan
tersebut. FNMA memiliki strategi dalam
proses kerjanya, yaitu:
a. Memperluas bisnis Mortgage Backed
Security yang dapat memberikan
FNMA fee based income, yang
bersumber dari biaya FNMA dalam
menjamin pembayaran utang dan
bunga
b. Mengatur
portofolio
pinjaman,
dengan menyesuaikan kedekatan
jatuh temponya asset dan liabilities.
c. Mengurangi resiko bunga dengan
menjual mortgage yield yang lama.
FNMA membeli mortgage hanya dari
seller dan servicer 18 yang telah disetujui,
yang dimana servicer tersebut memiliki
apa yang disebut delivery commitments.
Untuk dapat menjadi seller atau servicer
bagi FNMA, pemberi pinjaman atau
lender harus memiliki minimum net
worth dan harus berada dalam level
yang pantas untuk melakukan kegiatan
pemberian jaminan. FNMA memiliki
pedoman pengontrolan kualitas pemberi
pinjaman atau lender termasuk juga
prosedur tertulisnya.
Mortgage Backed Security merupakan
salah satu alasan di Amerika terjadi krisis
Subprime Mortgage beberapa tahun
kemarin sehingga FNMA dan GNMA
ikut terkena imbas karena pada saat
bersamaan pula banyak debitur tersebut

13 Federal Housing Administration adalah suatu lembaga yang berada dalam lingkungan US Department

Housing & urban development yang mempunyai fungsi melakukan administrasi pinjaman, menjamin pinja
man, dan asuransi pinjaman yang memungkinkan suatu pinjaman dapat diperoleh oleh masyarakat.
14 Veterans Administration adalah suatu lembaga yang menjamin pembayaran debitor veteran yang cidera janji
dalam suatu pinjaman. VA didirikan berdasarkan Servicements Reasjustment Act 1944

32

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

tidak bisa membayar utangnya yang


sudah jatuh tempo sementara banyak
terjadi penarikan oleh pemegang unit
penyertaan secara bersamaan.

B. Mekanisme Proses Sekuritisasi


Aset dalam hukum Indonesia
Pada umumnya, mekanisme proses
sekuritisasi berawal dari kreditur awal
yang mentransfer portfolio piutangnya
kepada sebuah SPV. Untuk meningkatkan
kualitas piutang yang dibelinya, SPV
membeli credit enhancement yang
berupa asuransi atau garansi bank, selain
itu dapat juga menggunakan instrumen
keuangan seperti Letter of Credit (L/C),
jaminan atas tingkat bunga, opsi dan
swap.19 Selanjutnya atas portfolio
piutang yang telah ditambah dengan
credit enhancement yang dilakukan
pemeringkatan.20 SPV akan menerbitkan
efek atas portfolio piutang tersebut dan
penjamin emisi efek yang bertugas
menjual efek hasil sekuritisasi kepada
para investor. Mekanisme EBA dapat
digambarkan sebagai berikut : 21

dagang dan sebagainya, yang


dalam rangka sekuritisasi disebut
originator (Kreditor awal) menjual
dan menyerahkan sejumlah piutang
yang sudah diseleksi mutunya 23
kepada suatu wahana yang khusus
didirikan/diadakan untuk maksud itu.
Wahana tersebut lazimnya disebut
Special Purpose Vehicle (SPV) yang
selain kegiatan transaksi sekuritisasi
tidak mempunyai kegiatan komersial
apapun. SPV, yang di dalamnya
terdapat bank Kustodian bertugas
dan
diberi
wewenang
untuk
melaksanakan penitipan kolektif
atas aset keuangan yang tercakup
dalam portfolio investasi kolektif
untuk kepentingan dan manfaat
para pemegang Efek Beragun Aset.
Dengan demikian titel hukum (legal
Title) atas aset keuangan dialihkan
kepada Bank Kustodian yang
menerimanya semata-mata untuk
kepentingan pemegang Efek Beragun
Aset untuk selanjutnya dikelola oleh
Manajer Investasi dengan bantuan
Servicer
2. Portofolio KIK-EBA yang telah
direstruktur oleh manajer investasi
kemudian diperingkat oleh lembaga
pemeringkat efek (Rating Agency) dan
dapat diberikan sarana peningkatan
kredit/arus kas (credit enhancement).
Jika dikehendaki dalam proses
penawaran umum kepada pemodal,
manajer investasi dapat dibantu oleh
penjamin emisi efek (underwriter).

Di Indonesia, Mekanisme Efek


Beragun Aset adalah sebagai berikut: 22
1. Pemilik piutang-piutang berupa
lembaga keuangan atau perusahaan

3. Penjualan EBA kepada investor dapat


dilakukan melalui penawaran umum
di pasar modal Indonesia atau dijual
kepada investor strategis. Apabila

15 W Dennis, Marshall, hlm 168 dalam tulisan Gunawan Widjaja SH, MH.,MM beberapa konsepsi hukum yang

harus diperhatikan dalam rangka penyusunan RUU sekuritisasi diakses pada tanggal 16 Juni 2011 di www.
legalitas.org hlm 9
16 Bruggerman, Fisher, Real Estate finance and investment hlm 586 dalam tulisan Gunawan widjaja Ibid, hlm 8
17 Yield adalah pembagian atau selisih antara pendapatan tetap dengan uang yang diinvestasikan.
18 Servicer adalah pihak yang menatausahakan, memproses, mengawasi dan melakuan tindakan-tindakan lainnya
Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

33

akan dijual melalui penawaran


umum, maka wajib mengajukan
pernyataan pendaftaran kepada
Bapepam & LK, sedangkan efek
beragun aset yang tidak ditawarkan
melalui penawaran umum cukup
dilaporkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4. Selanjutnya, arus kas pelunasan
EBA dari debitur kepada servicer
(penyedia jasa yang dapat dilakukan
oleh originator), kemudian oleh KIKEBA disalurkan kepada pemegang
efek beragun aset sesuai dengan
janjinya.
1. Para pihak dalam Transaksi Efek
Beragun Aset
(Asset Backed Securities)
Walaupun
EBA
merupakan
instrumen baru di Pasar modal,
namun para pihak dalam
transaksi ini sudah diatur dengan
jelas. Adapun pihak-pihak yang
terlibat dalam proses penerbitan
EBA adalah sebagai berikut : 24
a. Debitur awal adalah pihak
yang (akan) berhutang kepada
originator. Apabila dalam
hutang piutang antara debitur
dengan originator terdapat
aset yang dijaminkan, maka
dalam proses sekuritisasi hal
tersebut (jaminannya) menjadi
jaminan hutang terhadap
KIK-EBA.
Debitur
yang
semula membayar hutangnya
kepada originator setelah
disekuritisasi,
pembayaran
hutang dilakukan kepada
pihak yang bertindak sebagai

servicer/ penyedia jasa (yang


dapat juga dilakukan oleh
originator).
b. Originator
(kreditur
awal)
merupakan
pihak
yang
mengalihkan
aset
keuangannya
atau
yang
melakukan sekuritisasi atas
aset keuangannya. Setelah
aset keuangannya dijual
kepada
KIK-EBA
(yang
diwakili
oleh
menajer
investasi selaku pengelola
portfolionya), maka originator
berhak atas pembayaran dari
KIK-EBA (yang berasal dari
pemegang EBA) dimana aset
keuangan tersebut diperoleh
pihak yang bersangkutan
karena pemberian pinjaman,
penjualan, dan atau pemberian
jasa lain yang berkaitan
dengan usahanya. Pelunasan
dari debitur menjadi hak
dari kontrak investasi kolektif
efek beragun aset yang akan
diterima melalui servicer
untuk selanjutnya disalurkan
kepada para pemegang Efek
beragun aset.
Dalam praktiknya, tidak
semua
originator
dapat
menikmati
uang
yang
diterimanya karena ada biayabiaya yang harus dikeluarkan
seperti
agency
fee,
underwriting fee, guarantor
fee, dan lain-lain. Biaya ini
harus diperhitungkan dengan
seksama oleh originator sebelumnya. 25

dalam rangka mengupayakan kelancaran arus kas asset keuangan yang dialihkan kepada penerbit sesuai
dengan perjanjian antara pihak tersebut dengan penerbit, termasuk memberikan peringatan kepada pihak yang
berutang apabila terjadi keterlambatan pembayaran, melakukan negosiasi dan menyelesaikan tuntutan.
19 Fred B.G tambuan, dalam artikel Berita Pasar Modal Edisi 57 & 59 hm 38
20 Menurut Frank J fabozi di dalam The handbook of fixed income securities hlm 314 Based on its analysis Duff
& Plelps determines whether the servicer is acceptable or unacceptable. The latter are not rated acceptable
service are rated within one of the following four categories:

34

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

yang berkaitan dengan EBA.


Perusahaan pemeringkat efek
yang memberikan peringkat
atas kelas-kelas EBA. Selain
faktor kondisi makro ekonomi
dan aspek hukumnya, perusahaan pemeringkat efek
akan memperhatikan karakter
portfolio
aset
keuangan
yang menjadi agunan (Efek
beragun Aset) dalam proses
pemeringkatan, dan biasanya
ditinjau dari aspek- aspek:
1. Record pembayaran masa
lalu
2. Jaminan dari debitur yang
melekat pada hutang
3. Analisa cash flow
projection
4. Struktur layer efek beragun
aset
5. Peningkatan kredit (Credit
enhancement)
6. Dalam hal aset keuangannya
berupa
future
receivable maka originator
juga diperhitungkan.

c. Servicer
(penyedia
jasa)
merupakan
pihak
yang
bertanggung jawab untuk
memproses dan mengawasi
pembayaran yang dilakukan
debitur, termasuk melakukan
tindakan awal apabila terjadi
keterlambatan/kegagalan
pembayaran oleh debitur
hingga
negosiasi
sesuai
dengan kontrak. Apabila
dikehendaki dimungkinkan
ada back up penyedia jasa
pendukung,
originator
dapat saja menjadi servicer
26
karena originator lebih
mengenal para debitornya
karena itu lebih mudah
menghubungi mereka.
d. KIK-EBA merupakan pihak
yang dapat menerbitkan efek
beragun aset di Indonesia
yaitu kontrak antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian
yang mengikat pemegang
EBA dimana Manajer Investasi
diberi
wewenang
untuk
mengelola portfolio investasi
kolektif dan Bank Kustodian
diberi
wewenang
untuk
melaksanakan
penitipan
kolektif.
e. Profesi
penunjang
pasar
modal
meliputi
akuntan
dan konsultan hukum yang
melakukan
penelaahan
terhadap EBA dari aspek
akutansi (keuangan) dan aspek
hukum, serta notaris yang
berfungsi sebagai pembuat
akta atas kontrak-kontrak

Di samping itu, kredibilitas


servicer dan Manajer Investasi
akan menjadi faktor yang tak
kalah pentingnya mengingat
fungsinya sebagai pihak yang
mewakili para pemegang Efek
Beragun Aset dalam proses
pembayaran dari debitur.
g. Investor
adalah
para
pemegang
efek
beragun
aset yang akan menerima
pembayaran yang berasal dari
debitur awal sesuai dengan
jadual dan ketentuan yang

S- A.1

Highest Quality servicing capabilities & Strong financial condition

S- A.2

Above - average servicing capability & Financial condition

S- A.3

Average servicing capability & bellow instrument grade financial condition. A Master servicer
structutural enhancement may be required for an investment grade structured financing.

S- A.4

Average servicing capability, but severaly limited operating history. Financial condition is
velatitle. A master servicer and structural enhancements will be required for an investment
grade structured financing

tertera dalam sertifikat efek


beragun aset.
h. Pihak- pihak lain sesuai dengan
kebutuhan seperti underwriter
jika
dibutuhkan
untuk
menjamin proses penjualan
EBA, biro administrasi efek
untuk mendukung proses
administrasi efek beragun
aset, credit enhancer untuk
menanggung kerugian tingkat tertentu, dan bursa
efek sebagai tempat pasar
sekunder efek beragun aset.

C. Penjualan Piutang dalam


Hukum Indonesia
Khusus tentang ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 613 KUH Perdata,
perlu ditegaskan di sini bahwa hak
milik piutang atas nama (Registered
Receiveable)
beralih pada saat
ditandatanganinya akte pengalihan
(Cessie), baik otentik maupun di bawah
tangan. Pada saat itu kepemilikan atas
aset keuangan yang bersangkutan beralih
dari kreditur awal (Cedent) kepada
pembeli/penerima piutang (ceddionaris).
Persetujuan Debitor Cessus (debitur
piutang) tidak diperlukan. Dengan
demikian perbuatan konstitutif yang
menyebabkan piutang atas nama beralih
dari Kreditur Awal kepada Kreditur baru
adalah akta pengalihan yang merupakan
bentuk nyata telah terjadinya juridische
levering sebagaimana dimaksud Pasal
584 KUHPerdata. 27
Pada saat transaksi EBA dilakukan,
sebelumnya harus dipastikan bahwa
aset keuangan milik Originator (Kreditur

Awal) bebas dari tuntutan para Kreditur


(Pasal 1131 KUH Perdata) 28 maka
pengalihan hak milik atas aset keuangan
yang dijual/dialihkan harus benar-benar
merupakan jual lepas tanpa syarat.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal
1458 dan Pasal 1459 KUH Perdata 29
Jo Pasal 584, 30 612 31 dan 613 KUH
Perdata.

3. Special Purpose Vehicle (SPV)


Dalam Transaksi Efek Beragun
Aset (Asset Backed Securities)
A. Special Purpose Vehicle (SPV)
dalam Hukum Indonesia
1. Pengertian Special
Vehicle (SPV)

Purpose

Perkembangan penggunaan SPV


sangat terkait dengan terjadinya
proses disintermediasi perbankan
di AS yang berlangsung sejak
tahun 1970. Banyak bank pada
waktu itu mengalami krisis
likuiditas karena kenaikan bunga
umum yang melampaui bunga
tabungan/deposito bank yang
diizinkan oleh regulator pada
saat itu. Tidak sedikit Bank yang
kolaps pada awal 1980-an,
akibat tidak dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban
jangka
pendeknya karena tertanamnya
dana dalam aset-aset yang tidak
likuid seperti mortgage loans. 32
SPV merupakan suatu badan
hukum yang didirikan untuk
tujuan khusus. Special purpose

The rating companies may require a back up servicer if there is a concern about the ability of a servicer to
perform. Fitch, for example requires that the backup servicer run pararel the primary servicer and compare the
information generated from its system to that of the primary servicer
21 Studi Studi tentang perdagangan efek beragun asset, diterbitkan oleh Bapepam & LK atas efek beragun aset,
hlm 83
22 Ibid, hlm 57

36

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

vehicle juga dikenal dengan


beberapa istilah seperti Special
purpose entity, single purpose
entity dan special purpose
company. Tidak seperti suatu
Trust, SPV adalah merupakan
suatu legal entity atau badan
hukum tertentu sesuai dengan
tujuan dan keinginan sponsor
dan hukum/regulasi yang berlaku
dalam yurisdiksi dimana SPV
itu didirikan.33 Bisa berbentuk
limited partnership, trust atau
bentuk hukum lainnya.
Meskipun sudah dikenal selama
puluhan tahun di Amerika, Eropa,
Australia dan negara-negara yang
sudah maju sektor keuangannya,
penggunaan SPV dalam dunia
keuangan di Indonesia relatif
masih sangat baru.
Itulah sebabnya sekuritas yang
demikian juga dikenal dengan
nama asset backed securities.
Teknik ini digunakan para banker
saat itu untuk mengkonversi
pinjaman, terutama mortgage
loans menjadi sekuritas yang
mempunyai secondary market
(likuid).
Sekuritisasi
juga
merupakan suatu teknik untuk
memisahkan
struktur
cash
flows dari aset yang tidak likuid
yang hendak disekuritisasikan,
sekuritisasi juga sering disebut
sebagai structured financing.
Bukan saja sekuritisasi telah
sangat berperan dalam membantu
likuiditas bank-bank saat itu,
teknik ini juga telah memberikan

perubahan signifikan dalam


proses
intermediasi
yang
diperankan bank-bank dalam
proses pengaliran dana dari
surplus units kepada deficit units
(institutional
intremeditation)
dalam masyarakat.
Peran SPV dalam sekuritisasi
adalah apa yang disebut sebagai
pooling technique. Aset ini akan
disekuritisasi dikemas dalam
suatu pool atau semacam wadah
penampungan. Pool ini adalah
merupakan suatu legal entity
yang berdiri sendiri yang dalam
perkembangannya
kemudian
dikenal dengan nama SPV. 34
Sekuritisasi
ini
merupakan
konversi suatu pool of assets
yang illikuid dan non tradeable,
menjadi efek yang likuid dan
dapat diperdagangkan. Untuk itu
pool of assets yang disekuritisasi
tersebut harus memenuhi syarat:
35

1. Kualitas aset tersebut harus


sedemikian rupa memberi
sebesar mungkin kepastian
kepada para investor yakni
pengembalian hutang dengan
tertib;
2. Aset tersebut harus dapat
secara efektif diisolasikan dari
originator dan klaim-klaim
yang merugikan
Namun tidak semua Pool of
assets bisa disekuritisasi, untuk
bisa disekuritisasi ada beberapa
persyaratan yang diperlukan
yaitu: 36

23 Biasanya seleksi diadakan pada kriteriaemisal kelancaran pembayaran piutang oleh debitornya, jangka waktu

piutang,kemudahan pengalihan piutang, ada tidaknya jaminan atas pelunasan piutang tersebut.

24 Studi tentang perdagangan Efek beragun asset 2003, Opcit, hlm 19


25 Deni Daruri dan Djony Edward Op.Cit. hlm 232
26 Studi tentang perdagangan Efek beragun aset, Op.Cit. hlm 19
27 Fred B.G Tambuan, Op.Ci, hlm 40.

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

37

1. Dapat dianalisis sebagai suatu


seri arus kas.
2. Jaminan yang menyertai aset
tersebut harus dapat dieksekusi
oleh SPV, misalnya dalam hal
sekuritisasi hipotek, properti
yang menjadi jaminan harus
dapat dieksekusi oleh SPV.
3. Mempunyai
karakteristik
resiko
yang
terdistribusi
merata
sehingga
dapat
diperlakukannya
sebagai
sebuah aset tunggal yang
dapat diprediksi kinerjanya.
4. Relatif homogen, artinya
tidak terdapat variasi yang
terlalu luas dari tipe produk,
dokumentasi dan metodologi
pembetukan aset. Variasi
yang terlalu luas menyulitkan
investor untuk menganalisis
aset dan membuat issuer
semakin sulit untuk menyesuaikan EBA dengan minat
investor
5. Kontrak harus tetap dapat
dilaksanakan meskipun originator bangkrut
6. Aset
tersebut
memiliki
kapasitas untuk disekuritisasi
misalnya; tidak ada ketentuan
untuk tidak dapat dialihkan
dari originator ke SPV.
7. Kinerja aset tersebut independen terhadap kinerja
originator.
Dengan SPV dalam struktur
keuangan ini, aset yang dijual
ke SPV ini mengalami credit
enhancement sehingga SPV
dapat menerbitkan sekuritas
dengan peringkat yang lebih

baik dari peringkat bank yang


melakukan sekuritisasi itu sendiri,
bahkan untuk sekuritas yang
masuk kategori investment grade.
Terjadinya credit enhancement
ini pada dasarnya karena hal-hal
sebagai berikut: 37
Ring fencing: Aset yang sudah
dikuasai SPV, yang merupakan
suatu badan hukum, sudah
terhindar dari pengaruh bank
yang menjualnya. Bankruptcy
remote: Aset yang dijual kepada
SPV terlepas dari resiko tuntutan
dari para kreditur bank penjual itu
dalam kasus kebangkrutannya.
Over Collateralzation: Dalam
struktur tertentu, SPV menerbitkan
beberapa kelas apa yang dikenal
dengan sistem Waterfall yakni
adanya pendapatan prioritas
penggunaan cashflows sesuai
dengan urutan kelas sekuritas.
Biasanya dalam struktur ini
terdapat residual interest yang
akan
dikembalikan
kepada
bank penjual dalam bentuk
subordinated loan kepada SPV
oleh bank bersangkutan. 38
Hal yang ikut memperburuk kesan
SPV adalah tempat pendiriannya
yang kebanyakan diyurisdiksi
offshore centers yang dikenal
dengan tax heaven area yang juga
mempunyai reputasi yang agak
miring dalam kaitannya dengan
kegiatan-kegiatan seperti money
loundring 39 dan fraudulent
transactions.
Sebagai gambaran, banyak sekali
kasus yang ikut menambah

28 Pasal 1131 KUHPerdata Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemuian hari, menjadi tanggungan bagi perikatan perse
orangan
29 Pasal 1458 KUHPerdata Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orangorang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserah
kan, maupun harganya belum dibayar
Pasal 1459 KUHperdata Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama pe

38

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

buruk citra SPV seperti dalam


kasus PT Indosat Tbk, setelah
pemerintah mengumumkan ST
Telemedia (STT) keluar sebagai
pemenang tender divestasi PT
Indosat Tbk. Pada saat tender
pihak investor menggunakan
nama ST Telemedia, namun
pada saat penandatanganan
SPA (Sales Purchase Agreement)
untuk menguasai 41,94% saham
Indosat yang muncul adalah
I ndo n esian C o mmu n ication
Limited (ICL). Posisi ICL tak lebih
hanyalah SPV atau kendaraan
dari STT. Hal ini dikarenakan
ICL berbadan hukum di negara
Mauritius sehingga mengundang
kritik dan gerakan demonstrasi
yang luas baik dari karyawan
maupun mahasiswa.
Sejauh ini sedikitnya ada tujuh
negara yang popular dengan
sebutan tax heaven area,
surga bagi para pebisnis yang
menginginkan praktik bisnis
tanpa pajak. Ketujuh negara yang
sering dijadikan sebagai lokasi
pendirian SPV itu adalah British
Virginia Island (BVI), Bahamas,
Bermuda, Cook Island, Caymand
Island, Mauritius dan Segitiga
Bermuda.
Amerika
Serikat,
Hongkong, dan Singapura juga
kerap digunakan sebagai negara
tujuan pendirian SPV. Namun
ketiga negara tersebut lebih
banyak ditemukan perusahaan
yang menyediakan jasa pendirian
Offshore companies.

sembilan kelebihan: 40
1. Pendirian SPV dengan kewajiban sangat minimum
2. Pendirian dan operasional
SPV terbebas dari pengenaan
pajak (Zero or Low Tax)
3. Sangat cepat membuka dan
menutup
SPV
dimaksud
sesuai kebutuhan;
4. Tidak perlu menggunakan jasa
akuntan untuk mengaudit;
5. Dalam
pembukaan
SPV
pemilik dan pemegang saham,
direksi dan perusahaan terkait
bisa
dibuat
terselubung
(nominee);
6. Pertemuan
Direksi
dan
pemegang
saham
dapat
dilakukan dimana saja di
seluruh dunia;
7. Kontrol pemerintah sangat
minimal karena pendirian
SPV dapat dilakukan di
sejumlah negara yang sangat
melindungi Investor;
8. Penggunaan nama perusahaan SPV bisa memilih nama
yang disukai klien, bisa
diambil dari ribuan nama
dalam daftar A&B atau bisa
mengusulkan nama sendiri;
9. Modal dasar pendirian SPV
hanya US$ 1.
2. Landasan
Hukum
Special
Purpose Vehicle (SPV) di dalam
hukum Indonesia

Dalam pendirian SPV di negara


tax heaven area tersebut memiliki

Penggunaan SPV di Indonesia


sangat berpotensi memberikan
kontribusi yang positif bagi sektor
perekonomian, khususnya sektor

nyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613 dan 616.

30 Pasal 584 KUHPerdata Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan

dengan pemilikan, karena perlekatan; karena daluarsa, karena perwarisan, baik menurut Undang- undang,
maupun surat wasiat, dan karena penunjukan atu penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk me
mindahkan hak milik, dilakukan oleh orang yang berhak berberbuat bebas terhadap kebendan itu
31 Pasal 612KUHPerdata Penyerahan kebendaan bergerak , terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan
penyerahan ynag nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunciSpecial Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

39

keuangan. Perkembangan market


intermeditation dalam situasi
saat ini dimana institusional
intermeditation yang merupakan
tanggung
jawab
bank-bank
sedang terkendali tentunya sangat
berperan dalam menyediakan
likuiditas dalam perekonomian.
Sekuritisasi aset merupakan salah
satu produk di bidang pasar modal
yang mempunyai segi hukum
yang cukup kompleks dan perlu
memperoleh perhatian, terutama
mengenai bentuk hukum yang
dapat dipakai sebagai SPV dan
pengalihan atas aset.
Secara umum EBA mempunyai
konstruksi yang sama di semua
negara, namun pengaturannya
terutama
mengenai
bentuk
special purpose vehicle-nya
berbeda untuk masing-masing
negara. Di Amerika misalnya
bentuk hukum SPV dalam EBA
adalah Trust atau corporation.
Namun bentuk hukum trust ini
tidak dikenal dalam sistem hukum
di Indonesia, dan karenanya
perlu ditetapkan bentuk hukum
yang lain yang sesuai untuk suatu
SPV.
Banyak pihak yang mengajukan
agar SPV dalam efek beragun aset
mempunyai bentuk hukum PT
(Perseroan Terbatas). Namun jika
SPV berbentuk hukum PT maka
ia mempunyai organ-organ yang
terdiri atas komisaris, direksi dan
rapat umum pemegang saham.
Disamping itu sebuah PT biasanya

dibentuk dan melakukan kegiatan


bisnis, seperti memproduksi atau
menjual produk-produk tertentu,
sedangkan SPV dalam efek
beragun aset tidak diperkenankan
untuk melakukan kegiatan bisnis.
SPV juga memiliki kekebalan
Bankruptcy remotenes
dan
tidak boleh melakukan kegiatan
bisnis kecuali apabila disetujui
oleh para pemegang EBA. Oleh
karena itu Bapepam & LK selaku
pemegang otoritas pasar modal
mengajukan bentuk hukum SPV
dalam EBA ini berupa Kontrak
Investasi Kolektif (KIK). Bentuk
hukum ini diintrodusir oleh
Undang-undang No 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal dalam
kaitannya dengan reksa dana,
yang diatur lebih lanjut dalam
peraturan Bapepam & LK dimana
mempunyai karakteristik yang
sama dengan trust di Amerika.
Kontrak
Investasi
kolektif
dianggap
sebagai
bentuk
hukum SPV yang paling cocok,
karena bentuk hukum ini lebih
fleksibel atau luwes serta dibuat
berdasarkan asas kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata
dan 1338 KUH Perdata.
Namun semenjak diundangkannya Instruksi Presiden No 1
Tahun 2008 Jo Inpres No. 19 Tahun
2005 mengenai Pembiayaan
sekunder perumahan, sudah
disebutkan dengan jelas bahwa
Special Purpose Vehicle adalah
berbentuk Perseroan Terbatas

kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada
akibatnya,melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan
diakuinya.
32 Deni Daruri dan Djony Edward, opcit hlm 260
33 Hendrik Poluan, Bisnis Indonesia dalam Deni daruri & Djony Edward , Op.cit hlm 264.
34 Ibid, hlm 265.
35 Liputan khusus, Sekuritisasi aset, fenomena baru bisnis finasial Kartini muljadi dalam Newsletter Pusat Peng

40

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

yang tunduk pada undangundang No. 1 Tahun 1995.


Dalam bentuk SPV dalam
konstruksi kepemilikan Rumah
atau Kredit Kepemilikan Rumah
(KPR) yang berperan sebagai SPV
adalah perusahaan pembiayaan
sekunder perumahan (PPSP),
dimana
ia
berbentuk
PT
(Perseroan Terbatas) yang tunduk
pada Undang-Undang No.1
Tahun 1995 mengenai Perseroan
Terbatas (PT).
Semakin dipertegas dengan
dikeluarkann ya pera tur an
Bapepam & LK No. IX.M.1,
No. 425/BL/2007, tanggal 18
Desember
2007
mengenai
pedoman bagi manajer investasi
dan bank kustodian yang
melakukan pengelolaan dana
investasi real estat berbentuk
kontrak
investasi
kolektif
(Peraturan Bapepam & LK No.
IX.M.1), dikatakan bahwa SPV
adalah Perseroan Terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh dana
investasi real estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif paling
kurang 99% (Sembilan puluh
Sembilan per seratus) dari modal
disetor.
Dalam
peraturan
Bapepam
& LK No. IX.M.1 dikatakan
dana
investasi
real
estat
adalah wadah yang digunakan
untuk menghimpun dana dari
masyarakat
pemodal
untuk
selanjutnya diinvestasikan pada aset real estat, aset yang
berkaitan dengan real estat dan

atau kas dan setara kas. Aset


yang berkaitan dengan real estat
adalah efek perusahaan real estat
yang tercatat di bursa efek dan
atau diterbitkan oleh perusahaan
real estat.
Beberapa
ketentuan
baru
dalam
peraturan
Bapepam
& LK No. IX.M.1 yakni Dana
investasi real estat berbentuk
KIK dilarang berinvestasi di
tanah kosong atau berinvestasi
di properti yang masih dalam
tahap pembangunan, kegiatan
dalam tahap pembangunan ini
tidak termasuk dekorasi ulang,
perbaikan
(retrofitting)
dan
renovasi dan dana investasi real
estat berbentuk KIK dilarang
meminjam dana melalui penerbitan efek bersifat utang namun
dapat meminjam dana tanpa
penerbitan efek bersifat utang
untuk kepentingan pem-belian
aset real estat dengan total nilai
paling banyak 20 (dua puluh per
seratus) dari nilai asset real estat
yang akan dibeli dimaksud.
Manajer
inveatasi
yang
mengelola dana investasi real
estat berebentuk KIK, wajib
memastikan bahwa:
1. Dana investasi real estat
berbentuk KIK pada:
a. Aset real estat paling
kurang 50% (lima puluh
per seratus) dari nilai
aktiva bersih.
b. Aset real estat dan aset
yang berkaitan dengan

kajian Hukum (PPH) No 3o/ VIII/September/ 1997 hlm 15

36 Tim Nicole , 1997 dalam buku Deni Daruri hlm 230


37 Deni Daruri & Djony Edward.Op. Cit. hlm 265.
38 Ibid
39 Money loundring atau pencucian uang menurut UU No 25 tahun 2003 Pasal 1 adalah perbuatan menem

patkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

41

real estat paling kurang


80% (delapan puluh per
seratus) dari nilai aktiva
bersih dengan ketentuan
investasi pada aset real
estat
paling
kurang
sebagaimana
dimaksud
dalam angka 1 huruf a
butir 1 peraturan ini; dan/
atau
c. Kas dan setara kas tidak
lebih dari 20% (dua puluh
per seratus) dari nilai
aktiva bersih.
2. Aset yang menjadi portfolio
dana investasi real estat
berbentuk KIK memiliki alas
hukum yang kuat, sah, dan
mudah ditransaksikan.
3. Tujuan Special Purpose Vehicle
(SPV)
Pada dasarnya fungsi pendirian
SPV terdiri dari tiga hal, yakni
membatasi
resiko
finansial,
mengoptimalkan
pajak
dan
mendiversifikasikan pembiayaan.
Satu perusahaan dapat melakukan
akuisisi dan pembiayaan proyek
besar dengan mendirikan SPV
di negara tax heaven area
tanpa harus menarik seluruh
perusahaan induk ke dalam
resiko SPV apabila terjadi sesuatu
yang buruk.
Namun dalam perkembangannya,
SPV ini sering disalahgunakan.
Pendirian SPV malah digunakan
untuk penggelapan pajak dan
melakukan pencucian uang,

Kelemahan SPV ini adalah


kegagalan dalam melakukan
disclosure atau keterbukaan
informasi yang ini jelas-jelas
bertentangan dengan prisipprinsip GCG (Good Corporate
Governance), terutama prinsip
transparansi. Karena itu proses
akuisisi aset, melalui SPV
cenderung menggunakan konsep
private placement ketimbang
secondary public offering atau
initial public offering.
Secara umum transaksi EBA
dilakukan oleh perusahaan yang
membutuhkan
pembiayaan
(Originator)
dengan
cara
menjual
piutang-piutangnya
kepada Special purpose vehicle
(SPV) yang khusus dibentuk
untuk tujuan transaksi tersebut.
Selanjutnya SPV menerbitkan
dan menjual efek berupa
sertifikat hutang (debt instrument)
atau sertifikat partisipasi dalam
tagihan yang dijual (sertifikat
partisipan) kepada para investor
institusional.
Dengan demikian dalam sekuritisasi aset SPV akan mempunyai
beberapa peran, antara lain
membeli tagihan yang dijual oleh
originator dan mengeluarkan
sertifikat hutang atau unit
penyertaan untuk dijual kepada
investor.

B. Bentuk Hukum Special Purpose


Vehicle (SPV) dalam transaksi
Efek Beragun Aset (Asset
Backed Securities)

merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
40 Deni Daruri & Djony Edward , Op.cit. hlm 262

42

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

1. Lembaga Hukum Trust


Trust adalah: Trust merupakan
hubungan hukum yang bersifat kepercayaan antara pembentuk Trust (Settlor atau
trustor) dengan penglola trust
(Trustee) untuk mengelola harta
benda trust, yang diletakkan di
bawah penguasaannya, bagi
kepentingan pihak pemanfaat
(beneficiary), atau suatu tujuan
tertentu. 41
Sekalipun hukum Indonesia
tidak mengenal lembaga Trust
sebagaimana itu dikenal dalam
sistem hukum Anglo-Amerika
(Common Law), namun demikian
pengalihan aset keuangan dalam
rangka KIK-EBA menyerupai
Common Law Transfer of legal
title dan Bank Kustodian secara
efektif bertindak dalam kapasitas
yang sama dengan common
law trustee, mengingat bahwa
sekalipun aset keuangan tercatat
atas nama Bank Kustodian, segala
hak atas manfaat ekonomis
berkenaan dengan aset keuangan
adalah untuk kenikmatan para
pemegang EBA. 42
Konstruksi hukum tersebut pada hakikatnya adalah suatu
Trust sebagaimana dimaksud
dalam Article of the 2 of Hague
convention on the law applicable
to trust and on their recognition
yang menyatakan sebagai berikut:
For the purpose of this
convention, the term trust
refers to the legal relationships

created-inter vivos or on death


by a person, the settler, when
assets have been placed under
the control of the trustee for the
benefit of a beneficiary or for a
specified purpose. A trust has the
following characteristic :
1. The assets constitute a
separate fund and are not
a part of the trustees own
estate;
2. Title to the trust assets stands
in the name of the trustee or
in the name of another person
on behalf of the trustee;
The Trustee has the power and
the duty, in respect of which in
accordance with the terms of
the trust and the special duties
imposed upon him by law 43
Konsepsi
trust sebagai suatu
hubungan
hukum
yang
mempunyai karakteristik suatu
hubungan kepercayaan (fiduciary
relationships) menurut hukum
anglo saxon dapat diterapkan
di
Indonesia,
unsur-unsur
suatu hubungan kepercayaan
ada kesesuaian dengan unsur
perwakilan
dalam
KUH
Perdata. Asas-asas hubungan
suatu kepercayaan juga sesuai
dengan asas-asas yang berlaku
dalam suatu perwakilan menurut KUH Perdata selain itu
juga menganut kepemilikan
ganda (duality of ownerships)
tidak dapat diterapkan di
Indonesia
yang
menganut
satu
kesatuan
kepemilikan
(unitary of ownership). Konsepsi
kepemilikan menurut hukum

41 Disertasi Sri Sunarni Sunarto Penerapan konsepsi trust dalam rangka pembangunan hukum nasional Indone

sia Program pasca Sarjana Universitas Padjadajaran 2003.

42 Pasal 56 ayat (3) Undang- Undang Pasar Modal (UUPM)


43 D.J Hayton, et all Trusts;Vertrowd met de trust, trust and trust-like arrangements, 1996, hlm 6 Dalam Fred

Tambuan.,Op.Cit.hlm 36

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

43

(legal ownerships) dari trustee


harus diperhalus (verfijning)
sehingga pengertiannya dipersempit menjadi fungsi untuk
mengelola
(manajemen
function). Kemudian Trust pula
diklasifikasikan ke dalam hukum
perikatan. Konsepsi trust dapat
tercakup ke dalam hukum
perikatan,
sebab
perikatan
merupakan suatu hubungan
hukum yang terjadi diantara dua
orang atau lebih yang terletak di
dalam lapangan harta kekayaan,
pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi itu, apalagi
bahwa sifat hukum perikatan
bersifat
terbuka,
sehingga
konsepsi yang belum ada dapat
dimasukkan. 44
Oleh karena itu, pemerintah
Indonesia
diharapkan
ikut
meratifikasi
konvensi
International tentang hukum yang
berlaku bagi Trust dan pengakuan
Trust (The Hague Convention on
the law application to trust and
their recognition) 1985, agar
dapat dijadikan pedoman dalam
pembentukan hukum trust di
Indonesia, mengingat konvensi
ini bertujuan membentuk asasasas umum mengenai hukum
trust, yang mungkin dapat
diterapkan di Indonesia. Antara
lain yang penting adalah bahwa
konvensi ini tidak mengandalkan
pembagian kepemilikan menurut
hukum dan menurut equity
(legal ownership dan equitable
ownerships) tidak seperti yang

dikenal dalam sistem hukum


Anglo Saxon. 45
2. Kontrak Investasi kolektif (KIK)
Praktik di negara lain, yang
menjadi mediator dalam proses
sekuritisasi aset dapat berbentuk
perusahaan,
dapat
pula
berbentuk special purpose entity,
serta dapat pula dilakukan oleh
suatu Trust.
Di Indonesia Special Purpose
Vehicle berbentuk KIK, yakni:
kontrak
antara
Manajer
Investasi dan Bank Kustodian
yang mengikat pemegang Efek
beragun aset dimana Manajer
Investasi diberi wewenang untuk
mengelola portfolio investasi
kolektif dan Bank Kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan
Penitipan Kolektif 46
Pengurusan efek beragun aset
di Indonesia menjadi beberapa
fungsi, antara lain:
1. Fungsi proses dan pengawasan pembayaran dari
debitur dilakukan oleh
penyedia jasa (Servicer),
namun demikian manajer
investasi tetap bertanggung
jawab atas pelunasan dari
debitur/obligor.
2. Fungsi penyimpanan dokumen dan pembayaran pengembalian investasi kepada
investor dilakukan oleh bank
kustodian.
3. Fungsi
pengelolaan
aset
keuangan dilakukan oleh
manajer investasi.

44 Disertasi Sri Sunarni Sunarto Penerapan konsepsi trust dalam rangka pembangunan hukum nasional Indone

sia Program pasca Sarjana Universitas Padjadajaran 2003.

45 Ibid
46 Pasal 1 huruf a. Kep Bapepam & LK No IX. K.1 No. 493/ BL/2008, tanggal 25 November 2008 jo No. IX.K.1 No.

28 Tahun 2003, tanggal 21 Juli 2003.

44

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Dalam hal keterbukaan informasi


dalam proses sekuritisasi aset,
mengacu kepada ketentuan
yang mengatur di masingmasing negara. Pada intinya
setiap
penerbit
diwajibkan
menerbitkan suatu dokumen
yang sering dikenal dengan
istilah prospektus dan kepada
para calon investor diwajibkan
terlebih dahulu untuk membaca
prospektus sebelum melakukan
investasinya. Praktik yang telah
dilakukan di luar negeri, dalam
melakukan penyebaran informasi
dapat dilakukan melalui internet.
KIK-EBA bukan badan hukum
melainkan
adalah
suatu
perjanjian sui generis yang dibuat
oleh manajer investasi dan Bank
Kustodian yang mengikat mereka
berdua dan para pemegang
EBA.47 KIK-EBA sebagai SPV
pada hakikatnya bukan badan
hukum dan oleh karenanya
bukan subjek hukum mandiri
(persona standi in iudicio) dan
bukan pula persekutuan perdata,
CV, atau firma, maka KIK-EBA
tidak dapat tampil di muka
pengadilan sebagai penggugat
atau tergugat. Ini pula sebabnya
mengapa KIK-EBA tidak dapat
dimohonkan pailit sehingga
sesungguhnya KIK-EBA adalah
sebuah SPV yang tersedia untuk
melaksanakan sekuritisasi di
bidang pasar modal yang sangat
unik karena Bankruptcy proof
(kebal terhadap permohonan
pernyatan pailit).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan
sebagaimana
yang
diatur
di dalam KIK-EBA, manajer
investasi bertugas mengelola
portfolio investasi kolektif yang
terdiri dari aset keuangan berupa
tagihan atau piutang (receivable)
yang timbul dari surat berharga
komersial, tagihan katu kredit,
tagihan yang timbul di kemudian
hari
(Future
receivable)
pemberian
kredit
termasuk
kredit pemilikan rumah atau
apartemen, efek bersifat hutang
yang dijamin oleh pemerintah,
Sarana peningkatan kredit (credit
enhancement), arus kas (Cash
flow) serta aset keuangan setara
dan aset keuangan lain yang
berkaitan dengan dengan aset
keuangan tersebut. Adapun tugas
Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan penitipan
kolektif atas aset keuangan yang
tercakup dalam portfolio investasi
kolektif untuk kepentingan dan
manfaat para pemegang EBA.
Sebagaimana diatur dalam KIKEBA, kreditur awal (Originator)
menjual atau mengalihkan dengan
cara lain sejumlah aset keuangan
KIK-EBA yang kemudian dicatat
atas nama Bank Kustodian untuk
kepentingan pemegang EBA.
Dengan demikian title hukum
(legal Title) atas aset keuangan
dialihkan kepada Bank Kustodian
yang menerimanya semata- mata
untuk kepentingan pemegang
EBA untuk selanjutnya dikelola
oleh manajer investasi dengan
bantuan Servicer.

47 Fred E G Tambuan, Op. Cit. hlm 35

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

45

Dalam Kontrak Investasi Kolektif,


dapat: 48
a. Memuat ada atau tidaknya
kelas-kelas EBA dengan hak
berbeda, dimana pembedaan
tersebut didasarkan pada halhal seperti:
1. Urutan
dan
jadual
pembayaran
kepada
pemegang EBA;
2. Kelas-kelas dari EBA Arus
Kas Tetap;
3. Penetapan
pembayaran
atas EBA tertentu yang
berasal dari bunga atau
dari arus kas lainnya;
4. Penetapan
pembayaran
atas EBA tertentu yang
berasal dari pinjaman
pokok;
5. Penetapan
pembayaran
yang dipercepat untuk
kelas EBA tertentu karena
adanya kondisi tertentu;
6. Penetapan
pembayaran
yang
berubah
sesuai
dengan perubahan tingkat
bunga atau ukuran lain
dipasar;
7. Penetapan tingkat jaminan
atau prioritas hak atas
aset keuangan atau arus
kas dari Kontrak Investasi
Kolektif;
8. Penetapan tanggung jawab
terbatas atas pelunasan
EBA kelas tertentu.
b. Menetapkan
persyaratan
bahwa EBA dari kelas tertentu
dapat dialihkan kepada pihak
lain.

c. Menetapkan
ketentuan
tentang pembubaran dan
likuidasi Kontrak Investasi
Kolektif
EBA,
termasuk
pembagian aset keuangan
kepada beberapa atau semua
kelas pemegang EBA pada
saat atau dalam kondisi
tertentu;
d. Menetapkan
ada
atau
tidaknya;
1. Asuransi atas aset keuangan
yang membentuk portfolio
Kontrak Investasi Kolektif
EBA atas berbagai macam
resiko,
seperti
resiko
kredit;
2. Pemeringkatan
atas
beberapa atau semua kelas
EBA;
3. Jaminan dari Pihak ketiga;
4. Sarana peningkatan Kredit/
Arus Kas;
5. Arus kas tertentu yang
ditahan dan diinvestasikan
kembali dalam portfolio
KIK-EBA.
6. Tambahan penerbitan EBA
yang dapat dimiliki oleh
pemodal selain pemegang
EBA yang
diterbitkan
sebelumnya
Sesuai
dengan
angka
2
ketentuan IX.K.1 maka Aset yang
membentuk portfolio Kolektif
Efek beragun aset diperoleh
dari Kreditur awal melalui jual
beli atau tukar menukar putus/
lepas secara hukum dengan KIKEBA. Dalam hal pengalihan aset
keuangan sebagai akibat dari

48 Angka 7, Kep Bapepam & LK No. IX.K.1

46

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

transaksi antara kreditur awal dan


KIK-EBA sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 ketentuan IX.K.1
dimaksudkan untuk memenuhi
transaksi jual beli atau tukar
menukar putus/lepas secara
akutansi,
maka
pengalihan
dimaksud
harus
memenuhi
persyaratan jual putus/lepas
menurut prinsip akutansi yang
berlaku umum. Pemenuhan
kondisi jual beli atau tukar
menukar putus/lepas atau tidak,
wajib dilakukan secara konsisten
dan didukung dengan pendapat
yang terdaftar di Bapepam & LK.
Dalam hal aset yang membentuk
portfolio KIK-EBA diperoleh dari
kreditur awal dengan jual beli
atau tukar menukar putus/lepas
dengan EBA yang penerbitannya
didasarkan pada aset keuangan
yang telah dialihkan dari kreditur
awal tersebut, maka kreditur awal
hanya dapat melakukan jual beli
atau tukar menukar putus/lepas
dimaksud paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai
aset keuangan yang dialihkan
tersebut.
Sebagaimana diketahui
dalam KIK-EBA, kreditor awal
(Originator)
menjual
atau
mengalihkan
sejumlah aset
keuangan
KIK-EBA
yang
kemudian dicatat atas nama Bank
Kustodian untuk kepentingan
pemegang EBA. Dengan demikian
title hukum (legal Title) atas aset
keuangan dialihkan kepada Bank
Kustodian yang menerimanya
semata-mata untuk kepentingan

pemegang EBA untuk selanjutnya


dikelola oleh manajer investasi
dengan bantuan Servicer. 49
Memperhatikan hal tersebut di
atas maka jelas bahwa sekalipun
hukum Indonesia tidak mengenal
lembaga Trust sebagaimana
itu dikenal dalam sistem hukum
Anglo-Amerika (Common Law),
namun demikian pengalihan
aset keuangan dalam rangka KIKEBA menyerupai Common Law
Transfer of legal title dan Bank
Kustodian secara efektif bertindak
dalam kapasitas yang sama
dengan common law trustee
mengingat bahwa sekalipun aset
keuangan tercatat atas nama
Bank Kustodian, segala hak atas
manfaat ekonomis berkenaan
dengan aset keuangan adalah
untuk kenikmatan para pemegang
EBA. 50
Diharapkan dengan adanya
sekuritisasi
akan
membuat
perusahaan
dapat
menarik
dana tanpa harus melakukan
keterbukaan (disclosure) informasi
perusahaan
karena
investor
biasanya tidak mau mengambil
resiko yang signifikan, maka
dilakukan peningkatan kredit
(Credit enhacement) dengan
tujuan
untuk
meningkatkan
kualitas portfolio aset.
KIK-EBA dapat diperdagangkan di
Bursa Efek ini dijual oleh Dealer
Partisipan51 yakni Anggota Bursa
Efek
yang
menandatangani
Perjanjian
dengan
Manajer

49 Ibid, butir 2 dan 3


50 Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Pasar Modal (UUPM)
51 Pasal 1 huruf a Keputusan Bapepam LK No. IV. B3 No. 133/BL/2006, tanggal 4 desember 2006

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

47

Investasi
pengelola
Reksa
Dana berbentuk KIK yang unit
penyertaannya diperdagangkan
di bursa efek untuk melakukan
penjualan atau pembelian unit
penyertaan reksa dana dimaksud
baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan
pemegang unit penyertaan reksa
dana
dimaksud.
Sementara
Sponsor adalah pihak yang
menandatangani
perjanjian
dengan
Manajer
Investasi
pengelola reksa dana berbentuk
KIK yang unit penyertaannya
diperdagangkan di bursa efek
untuk melakukan penyertaan
dalam bentuk uang dan efek
dalam rangka penciptaan unit
penyertaan reksa dana berbentuk
KIK yang unit penyertaannya
diperdagangkan di bursa efek. 52
Selain itu untuk reksa dana
berbentuk KIK penyertaan terbatas
adalah wadah yang digunakan
untuk menghimpun dana dari
pemodal
professional
yang
selanjutnya diinvestasikan oleh
Manajer Investasi pada portfolio
efek. 53 selain itu dalam ketentuan
baru dalam peraturan ini adalah
mengenai pembeli profesional
yakni pemodal yang memiliki
kemampuan untuk membeli
unit penyertaan dan melakukan
analisis resiko terhadap reksa
dana berbentuk KIK pernyataan
terbatas sebagaimana diatur
dalam peraturan ini.54 Sehingga
diharapkan bahwa investor sudah
mengetahui efek yang dijual
tersebut. Unit penyertaan reksa

dana berbentuk KIK penyertaan


terbatas
hanya
ditawarkan
kepada pemodal profesional
dan dilarang ditawarkan melalui
penawaran umum dan atau
dilarang dimiliki oleh 50 (lima
puluh) pihak atau lebih. 55
Dalam transaksi EBA yang
menunjuk SPV adalah Kreditur
Awal (Originator) sendiri, karena
pada dasarnya kontrak SPV dibuat
oleh manajer investasi dan bank
kustodian yang selalu digunakan
jasanya oleh Originator. Jadi,
SPV ini seperti emiten dimana ia
menerbitkan surat utang untuk
dijual kepada para investor
setelah sebelumnya piutangnya
dibeli dari Originator. SPV dan
originator setelah pembelian
piutang ini tidak mempunyai
hubungan
hukum
apapun
kecuali dalam bentuk penagihan
kepada debitur ,karena originator
sangat mengenal debiturnya oleh
karena itu Originator pun dapat
berfungsi sebagai Servicer.

3. Penutup
Bentuk SPV sesuai dengan hukum di
Indonesia, adalah:
1. SPV dalam pengelolaan dana
investor real estat adalah
Perseroan Terbatas yang saham
dibentuk oleh para investor real
estat berbentuk KIK paling kurang
99,9% dari modal disetor, dan;
2. SPV dalam transksi EBA adalah
Berbentuk
yakni
Kontrak
Investasi Kolektif yakni kontrak
antara Manajer Investasi dan

52 Ibid, Pasal 1 huruf b


53 Pasal 1 huruf a peraturan Bapepam & LK No. IV.C.5 No. Kep 43/BL/2008, tanggal 14 februari 2008.
54 Ibid, pasal 1 huruf a
55 Ibid, pasal 1 angka 2

48

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Bank Kustodian yang mengikat


pemegang Efek beragun aset
dimana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola
portfolio investasi kolektif dan
Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan Penitipan
Kolektif.

DAFTAR PUSTAKA
Deni Daruri, Djony Edward, BPPN,
Garbage In Garbage Out SPV
kendaraan bisnis yang mengundang
kontroversi salemba empat
I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar
Modal Modern, yayasan SAD satria
bhakti 2000
Sunariyah, Pengantar Pengetahuan Pasar
Modal, ((Yogyakarta: UPP-AMPYKPN,
2000), hlm 7-8 dalam Gunawan
Widjadja ETF (Exchange Trade Fund)
di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta
2008
Disertasi Sri Sunarni Sunarto Penerapan
konsepsi
trust
dalam
rangka
pembangunan
hukum
nasional
Indonesia Program pasca Sarjana
Universitas Padjadajaran 2003
W Dennis, Marshall, hlm 168 dalam
tulisan
Gunawan
Widjaja
SH,
MH.,MM beberapa konsepsi hukum
yang harus
diperhatikan dalam
rangka penyusunan RUU sekuritisasi
diakses pada tanggal 16 Juni 2011 di
www.legalitas.org

Special Purpose Vehicle (Spv) Dalam Transaksi Asset Backed Securities/Efek Beragun Aset
(EBA) Menurut Uu No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Jo Peraturan Bapepam & Lk No.
Ix.K.1 Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM & LK No. Kep. 493/Bl/2008 Tentang Pedoman
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

49

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa


Terhadap Tingkat Pencairan Tunggakan Pajak Wajib
Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan
Jerry
Dosen Program Magister Akuntansi Universitas Kristen Maranatha

Inez Felicia
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT
Tax, has important roles related to State revenue, which will be used to fund State
expenditure. Tax revenue is expected to support national development, so that tax arrears
is expected to be minimal. Government has made effort to overcome tax arrears with
several actions such as issuing and giving some kind of notes or documents that cause
accretion the payable tax . That means fiscus actively doing tax billing with those kinds of
documents. This research aims to determine the effect of tax collection with Forced Letter
to the disbursement rate of tax arrears on individual tax payers and corporate tax payers.
Research object is KPP Pratama Bojonagara. In this study the author uses descriptive
analytical method, namely the method of collecting data on the organization that became
the object of research, and based on these data, compiled an overview of systematic
and accurate analysis, researched and interpreted. In addition, the authors also make
observations by conducting interviews, and conduct library research.
From the results of research conducted, the authors draw the conclusion that the active
role of tax collection with the Force Letter conducted by KPP Bojonagara to increase
disbursement of tax arrears. Based on the results of research and interviews, the Taxpayer
or the Insurer did not want the seizure of goods being done. It can be seen from the
number of delinquent taxes paid decrease after Forced Letter issued.
Keywords : Forced letter, KPP, SPMP

1. Pendahuluan
Seluruh kehidupan perseorangan
dan perkembangan
dunia
bisnis
dipengaruhi oleh ketentuan peraturan

50

perudangan-undangan
perpajakan.
Perundang-undangan perpajakan dibuat
untuk mendukung usaha pemerintah
dalam
melakukan
pembangunan
nasional. Sumber penerimaan dana

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

pemerintah berasal dari luar negeri dan


dalam negeri. Dana penerimaan yang
paling besar berasal dari penerimaan
dalam negeri yaitu berupa penerimaan
pajak. Oleh karena itu pajak merupakan
sumber yang sangat penting bagi
pemerintah dalam usaha melakukan
pembangunan nasional yang bertujuan
menyejahterakan rakyat. 1
Pemerintah sebagai pemungut pajak
dan masyarakat sebagai wajib pajak
memiliki kepentingan yang berbeda.
Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan membutuhkan dana yang
sebagian besar berasal dari pendapatan
dalam negeri yaitu pajak. Masyarakat
berusaha untuk meminimalkan bahkan
menghindari
pembayaran
pajak
karena menganggap pajak tersebut
sebagai beban yang dapat mengurangi
kemampuan ekonomis. Oleh karena
itu masyarakat melakukan berbagai cara
untuk menghindari dan mengurangi
jumlah pembayaran pajak. Wajib
pajak cenderung tidak atau menunda
pelunasan utang pajaknya.
Pemungutan
pajak
oleh
pemerintah
diatur dalam UndangUndang. Oleh karena itu pemerintah
perlu melakukan tindakan yang tegas
untuk wajib pajak yang menghindari
pembayaran pajak. Tindakan yang
dilakukan pemerintah adalah dengan
penagihan pajak yaitu supaya memaksa
wajib pajak untuk melaksanakan
kewajibannya. Pemerintah melakukan
penagihan pajak dengan harapan
masyarakat melaksanakan kewajibanya
sebagai wajib pajak untuk mendukung
keberhasilan penerimaan pajak yang
dapat membantu pemerintah untuk
menjalankan pemerintahanya.

Namun terkadang penagihan saja


tidaklah cukup. Masih banyak kasus
dimana wajib pajak berupaya agar
tidak
melaksanakan
kewajibanya
membayar pajak meskipun penagihan
telah dilakukan. Sehingga pemerintah
melakukan beberapa tindakan tegas
dengan mengeluarkan beberapa surat
keputusan, diantaranya Surat Paksa.
Berdasarkan hal-hal seperti di
atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai masalah tersebut
dengan judul Analisa Pengaruh
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Terhadap Tingkat Pencairan Tunggakan
Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib
Pajak Badan. Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam penelitian
ini yaitu:
1. Bagaimana penerapan penagihan
pajak dengan surat paksa pada wajib
pajak di KPP Bojonagara Bandung.
2. Bagaimana kelemahan-kelemahan/
kendala apa saja yang ditemukan
dalam praktik penagihan pajak
dengan surat paksa di KPP Bojonagara
Bandung.

Kerangka Teoritis
Definisi atau pengertian pajak
menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,
S.H: Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
Sedangkan definisi pajak menurut
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), Pasal 1 angka 1 UU

1 http://ksdpajak.blogspot.com/2007/09/latar-belakang.html

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

51

no 28/2007: Pajak adalah kontribusi


wajib, kepada Negara yang terutang oleh
orang-orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undangundang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Dari
definisi
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak adalah
Negara. Iuran tesebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau
dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaanya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi
dari Negara yang secara langsung
dapat
ditunjukkan
adanya
kontraprestasi
individual
oleh
pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah
tangga Negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi
masyarakat luas.

yang terhutang yang harus dibayar


oleh Wajib Pajak berdasarkan
ketentuan yang berlaku pada undang
undang perpajakan.
3. Witholding System
Wewenang pemungutan pajak pada
sistem ini diberikan pada pihak
ketiga yaitu orang atau badan yang
bukan merupakan badan publik
yang sebenarnya tidak mempunyai
wewenang
untuk
memungut
pajak. Pihak ketiga tersebut harus
melaporkan hasil pemungutan pajak
tersebut ke kas negara dalam jangka
waktu tertentu sesuai Undangundang.

Definisi Penagihan Pajak

Sistem Pemungutan Pajak

1. Penagihan Pajak adalah serangkaian


tindakan agar penanggung pajak
dapat melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat
Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan
penyitaan,
melaksanakan penyanderaan dan
menjual barang yang telah disita.

1. Self Assesstment System


Merupakan sistem pemungutan
pajak dimana wajib pajak diberi
wewenang
untuk
menghitung
dan melaporkan sendiri kemudian
membayar pajak yang terutang sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

2. Penanggung Pajak adalah orang


pribadi atau badan yang menurut
ketentuan
hukum
perundangundangan perpajakan ditentukan
untuk
melakukan
kewajiban
perpajakan termasuk pemungut
pajak atau pemotong pajak tertentu.

2. Official Assesstmen System


Dalam sistem ini, aparat perpajakan
aktif melakukan perhitungan pajak

3. Biaya penagihan pajak adalah


pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan,

52

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Pengumuman Lelang, Jasa Penilai,


dan biaya lainnya sehubungan
dengan penagihan pajak.

Dasar Penagihan Pajak


Berdasarkan Ketentuan UndangUndang nomor 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan penagihan dilakukan bila
terjadi utang pajak yang ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak (STP). STP adalah
surat untuk melakukan tagihan pajak
dan atau sanksi administrasi berupa
bunga dan atau denda. STP dikeluarkan
apabila:
1. PPH dalam tahun berjalan tidak atau
kurang bayar.
2. Dari hasil penelitian surat pemberitahuan
terdapat
kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda dan atau
bunga
4. Pengusaha yang memenuhi kriterian
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
tetapi tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP.
5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan
sebagai PKP tetapi tidak membuat
faktur pajak atau pengusaha yang
dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak
membuat atau tidak mengisi faktur
pajak dengan lengkap.

Pelaksanaan Penagihan Pajak


Proses Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu,:

a. Penagihan Pasif
Dilakukan oleh seksi pelayanan
yang sifatnya struktural dan
mempunyai tugas pelayanan
publik, misalnya seksi pelayanan
teknis (PPh OP/PPh Badan/Potput
PPh/PPn) dan seksi TUP. Tindakan
penagihan pajak pasif dimulai
dengan penerbitan ST/SKPKB/
SK pembetulan/SK Keberatan
dan Putusan Banding dengan
masksud memberitahukan kepada penanggung pajak tentang
jumlah pajak yang terutang dan
sanksi administrasi yang harus
dibayar serta tanggal jatuh tempo
pembayaran utang pajak. Cara ini
dilakukan KPP agar penanggung
pajak melunasi pajaknya pada
waktu yang telah ditetapkan.
b. Penagihan aktif
Dilakukan oleh negara yang
berstatus
fungsional
yang
mempunyai
tugas
untuk
melakukan penagihan pajak,
misal seksi penagihan. Penagihan
aktif dilakukan apabila sampai
batas waktu tertentu utang
pajak belum dilunasi, maka
tindakan penagihan dilanjutkan
dengan mengirim surat teguran.
Kemudian
penagihan
aktif
dilakukan oleh jurusita pajak
negara dengan menandatangani
tempat domisili atau kedudukan
dan tempat kegiatan usaha
wajib pajak untuk melaksakan
Surat Paksa sampai dengan
penyanderaan atau lelang.
Tahapan proses penagihan pajak aktif
dilakukan sebagai berikut (Marihot P
Siahaan 2004:356):

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

53

a. Tindakan pelaksanaan penagihan


diawali dengan penerbitan Surat
Teguran atau surat lain sejenis
oleh pejabat tersebut setelah
7(tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pembayaran (1 bulan dari
penerbitan STP/SKPKB/SKPKBT/
SK Pembetulan/SK Keberatan
Banding)
b. Apabila jumlah utang pajak
yang masih harus dibayar tidak
dilunasi oleh penanggung pajak
setelah lewat waktu 21 hari
sejak diterbitkanya Surat Teguran
pejabat segera menerbitkan Surat
Paksa.
c. Apabila jumlah utang pajak
yang masih harus dibayar tidak
dilunasi oleh penanggung pajak
setelah lewat waktu 2x24 jam
sejak Surat Paksa diberitahukan
kepadanya, maka pejabat segera
menerbitkan
Surat
Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
d. Apabila utang pajak dan biaya
penagihan yang masih harus
dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung
pajak
setelah
lewat 14 hari sejauh tanggal
pelaksanaan penyitaan pejabat
yang berwenang segera melaksanakan Pengumuman Lelang.
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah
membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. (menurut Prof.
Dr. Mardiasmo, MBA, Ak.)

54

Pelaksanaan
penagihan
pajak
dengan Surat Paksa diawali dengan Surat
Teguran. Surat peringatan atau surat
lain sejenis oleh pejabat yang berwenang
setelah 7(tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pembayaran (Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000
pasal 5 ayat 1). Surat Teguran adalah
surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk
menegur atau memperingatkan Wajib
Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Surat Teguran, Surat Peringatan, atau
surat lain yang sejenis yang diterbitkan
apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran.
Dasar Hukum Penagihan Dengan Surat
Paksa
Berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan Surat Paksa pasal 1
angka 12 yang dimaksud dengan Surat
paksa adalah surat membayar utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Surat
Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial
dan kedudukan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
seperti definisi di atas.
Menurut ketentuan pasal 6 Keputusan
Menter i
Keuangan nom or 561/
KMK.04/2000 surat ini diterbitkan
dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu)
hari sejak diterbitkannya surat teguran,
Wajib Pajak tidak juga membayar
utang pajaknya. Pemberitahuan Surat
Paksa kepada Penanggung Pajak harus
diaksanakan dengan membaca isi surat
paksa dan ditandatangani kedua belah
pihak.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Daluarsa Penagihan Pajak


Sesuai dengan pernyataan dalam
Undang-Undang
Penagihan
Pajak
dengan Surat Paksa pasal 41 ayat
1 bahwa penagihan pajak tidak
dilaksanakan apabila telah daluwarsa
sebagaimana diatur dalam undangundang dan peraturan daerah. Daluarsa
penagihan pajak dapat melampaui 10
tahun apabila (Mardiasmo 2006 : 40):
1. Diterbitkan Surat Teguran dan
Surat Paksa dalam hal ini daluarsa
penagihan pajak dihitung sejak
tanggal penyampaian Surat Paksa.
2. Ada pengakuan utang pajak oleh
Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan
cara:
a. Wajib
Pajak
mengajukan
permohonan
angsuran
penundaan pembayaran utang
pajak sebelum tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal
ini, daluarsa penagihan dihitung
sejak tanggal surat permohonan
angsuran
dan
penundaan
pembayaran utang pajak diterima
oleh Dirjen Pajak.
b. Wajib
Pajak
mengajukan
permohonan
pengajuan
keberatan. Dalam hal seperti
ini daluarsa penagihan dihitung
sejak tanggal Surat Keberatan
Wajib Pajak diterima.
c. Wajib
Pajak
melaksanakan
pembayaran sebagian utang
pajaknya dalam hal ini daluarsa
penagihan dihitung sejak tanggal
pembayaran seba-gian utang
pajak tersebut.

3. Terdapat Surat Ketetapan Pajak


Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan yang
diterbitkan terhadap Wajib Pajak
karena melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal ini daluarsa penagihan
pajak
dihitung
sejak
tanggal
penerbitan ketetapan tersebut.
Kebijakan Penagihan Pajak
Setiap tahunnya, Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) mengeluarkan kebijakan
penagihan
untuk
meningkatkan
intensifikasi di bidang penagihan dan
hampir setiap tahunnya DJP memiliki
kebijakan penagihan pajak yang
berbeda. Hal ini terjadi karena DJP
berusaha untuk mengoptimalkan kinerja
penagihan sehingga penerimaan pajak
pun dapat ditingkatkan.
Pada tahun 2005, DJP mengeluarkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-01/PJ.75/2005 tentang kebijakan penagihan pajak tahun 2005.
Berdasarkan surat edaran ini, standar
prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan
tahun 2005 adalah sebagai berikut:
1. Penyampaian Surat Paksa: 12 (dua
belas) Surat Paksa per jurusita per
bulan.
2. Penyampaian SPMP: 3 (tiga)SPMP
per jurusita per bulan.
3. Pelaksanaan lelang: 1 (satu) lelang
per triwulan per KPP.
4. Pemblokiran rekening bank minimal
1 (satu) Wajib Pajak per bulan per
KPP
5. Pencegahan

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

55

a. Bagi Kanwil DJP yang berada di


pulau Jawa minimal 2 (dua) Wajib
Pajak per triwulan per Kanwil.
b. Bagi DJP yang berada di luar
pulau Jawa minimal 1 (satu) Wajib
Pajak per triwulan per Kanwil
Kemudian pada tahun 2006 DJP
mengeluarkan surat edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.75/2006
tentang Kebijakan Penagihan Pajak
berdasarkan Surat Edaran ini, standar
prestasi penagihan pajak KPP tahun
2006 dihitung berdasarkan beberapa
variabel, diantaranya
1. Realisasi pencairan tunggakan pajak
(pembayaran dan pemindahbukuan).
2. Saldo akhir tunggakan per KPP.
3. Pertumbuhan
tunggakan
pajak
(tunggakan pajak pada tahun
berjalan dibanding tunggakan pajak
tahun sebelumnya).
4. Persentase pengurangan tunggakan
pajak karena adanya keputusan
keberatan banding, gugatan, putusan
Mahkamah
Agung,
keputusan
pembetulan ketetapan, keputusan
pengurangan atau penghapusan
sanksi
administrasi,
keputusan
pengurangan
atau
pembetulan
ketetapan.
5. Standar prestasi pelaksanaan kegiatan
penagihan yang ditunjukkan pada
tabel 1.

Dasar Hukum Penagihan Pajak


1. Undang-undang
nomor
16
tahun 2000 tentang UndangUndang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan pasal
18 menyebutkan yang menjadi
dasar penagihan pajak adalah
Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan Kurang
Bayar
Tambahan
(SKPKBT),
SK Pembetulan, SK Keberatan,
Putusan
Banding
yang
menyebakan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.
2. Undang-Undang
nomor
16
tahun 2000 pasal 19 ayat 1
yang menyatakan bahwa jika
Wajib Pajak tidak melunasi
utang-utangnya menurut SKPKB,
SKPKBT,
SK
Pembetulan,
SK
Keberatan
dan Putusan
Banding sampai jatuh tempo
maka akan dikenakan sanksi 2%
sebulan untuk seluruh masa yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo
sampai tanggal pembayaran atau
tanggal diterbitkannya STP, dan
bagian dari bulan dihitung penuh
satu bulan. Dan pasal 19 ayat
2 dan ayat 3 yang menyatakan
bahwa Wajib Pajak juga akan
dikenakan sanksi 2% sebulan

Tabel 1. Matriks Standar Prestasi Tindakan Penagihan Tahun 2006 (dalam lembar)

56

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

3.

4.

5.

6.

jika diperbolehkan mengangsur


atau menunda pembayaran pajak
dan diperbolehkan menunda
penyampaian SPT.
Undang-Undang
nomor
16
tahun 2000 pasal 20 ayat 2 dan
Keputusan Menteri Keuangan
nomor
561/KMK.04/2000
pasal 7 ayat 1 tentang syaratsyarat penerbitan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus,
pasal 7 ayat 2 tentang aturan
minimal yang harus tercantum
pada Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus dan pasal
8 tentang waktu penerbitan Surat
Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus.
Undang-Undang nomor 16 tahun
2000 pasal 22 dan UndangUndang nomor 19 tahun
2000 pasal 41 tetang Daluarsa
Penaghan Pajak.
Keputusan Menteri Keuangan
nomor
561/KMK.04/2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan
penagihan Seketika dan Sekaligus
dan Pelaksanaan Surat Paksa.
Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561/KMK.04/2000 pasal
4 ayat 1menyatakan bahwa
Kepala
Kantor
Pelayanan
Pajak melaksanakan tindakan
penagihan pajak aktif apabila
pajak yang terutang sebagaimana
yang tercantum dalam Surat
Tagihan
Pajak
(STP), Surat
Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan
Banding yang menyebabkan

jumlah pajak yang harus dibayar


bertambah, tidak atau kurang
bayar setelah jatuh tempo.
7. Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561/KMK.04/2000 pasal
5 ayat 1 yang menyatakan bahwa
tindakan pelaksanaan penagihan
pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 diawali dengan
Surat Teguran, Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis atau
Pejabat atau kuasa yang ditunjuk
oleh Pejabat tersebut setelah
7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo
pembayaran. Kemudian pada
pasal 5 ayat 2 yang menyatakan
bahwa
Surat
Teguran
sebagaimana diterbitkan dalam
ayat 1 tidak diterbitkan kepada
Penanggung Pajak yang telah
disetujui untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajaknya.
8. Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561.KMK.04/2000 pasal 6
yang menyatakan bahwa apabila
jumlah utang pajak yang masih
harus dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat
21 (dua puluh satu)hari sejak
diterbitkannya Surat Teguran,
Pejabat segera menerbitkan Surat
Paksa. Dalam Pelaksanaanya,
Surat
Paksa
tidak
selalu
diterbitkan tepat 21(dua puluh
satu) hari sejak diterbitkanya
Surat Teguran karena berbagai
hambatan. Namun hal itu tidak
melanggar ketentuan karena
dalam
ketentuan
tersebut
segera. Jadi Surat Paksa paling
cepat diterbitkan 21 hari sejak
diterbitkanya Surat Teguran.
9. Keputusan Menteri Keuangan

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

57

nomor 561/KMK.04/2000 pasal


9, pasal 10, pasal 11, pasal 12,
pasal 13, pasal 14, dan pasal 15
tentang tata cara pelaksanaan
Surat Paksa.
10. Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561/KMK.04/2000 pasal
16 tentang hak Penanggung
Pajak mengajukan permohonan
pembetulan atau peng-gantian
surat. Disebutkan juga jangka
waktu dan pelaksanaanya.
11. Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561/KMK.04/2000 pasal
17 yang menyatakan bahwa
pengajuan keberatan oleh Wajib
Pajak
tidak
mengakibatkan
penundaan pelaksanaan Surat
Paksa.
12. Undang-Undang
nomor
19
tahun 2000 pasal 12 ayat 1 yang
menyatakan bahwa apabila utang
pajak tidak dilunasi Penanggung
Pajak dalam jangka waktu 2x24
jam sejak Surat Paksa diterbitkan,
maka Pejabat mengeluarkan
Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.
13. Undang-Undang
nomor
19
tahun 2000 pasal 26 ayat 1
(a) yang menyatakan
bahwa
pengumuman lelang melalui
media massa dilaksanakan paling
singkat 14(empat belas) hari
setelah penyitaan.
14. Undang-Undang
nomor
19
tahun 2000 pasal 26 ayat 1 yang
menyatakan bahwa penjualan
secara lelang terhadap barang
yang disita dilaksanakan paling
singkat 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman lelang
melalui media massa.

58

15. Ketentuan-ketentuan
lainnya
dalam Undang-Undang nomor
19 tahun 2000 pasal 1 sampai
dengan pasal 41 a.
16. Keputusan Menteri Keuangan
nomor 561/KMK.04/2000 jo
KMK nomor 326/KMK.03/2003
dan KEP-325/PJ/2001 mengenai
persetujuan Dirjen Pajak dalam
memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan
Wajib Pajak setelah memenuhi
syarat untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak.
17. Surat Edaran Dirjen Pajak
no SE01/PJ.75/2005 tentang
kebijakan penagihan pajak.
18. Keputusan Direktorat Jenderal
Pajak nomor KEP-474/PJ/2002
tentang bentuk, jenis, dan
kode kartu, formulir, surat
dan buku yang digunakan
dalam pelaksanaan Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan
Keputusan Direktur Jenderal
Pajak nomor KEP-168/PJ/2001
tentang tata cara pemberian kode
surat, laporan, formulir, kartu,
daftar, dan buku yang digunakan
dalam administrasi perpajakan.
19. Peraturan Pemerintah nomor
135 tahun 2000 tentang Tata
Cara Penyitaan dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat
Paksa yang menyatakan bahwa
besarnya biaya penagihan pajak
untuk setiap pemberitahuan Surat
Paksa adalah Rp.50.000 (lima
puluh ribu rupiah). Sedangkan
besarnya biaya penagihan pajak
untuk setiap Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan adalah
Rp.100.000 (seratus ribu rupiah).

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

2. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini
penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif analitis yaitu suatu metode
yang berusaha untuk mengumpulkan,
menyajikan serta menganalisis data
sehingga diperoleh suatu gambaran yang
cukup jelas atas objek yang diteliti dan
diolah untuk ditarik suatu kesimpulan.
Data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini meliputi:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh
melalui penelitian lapangan, berupa
pengambilan data langsung dari
objek penelitian.
2. Data sekunder yaitu data yang
mengacu pada informasi yang
dikumpulkan dari sumber yang telah
ada.
Data
dikumpulkan
dengan
melakukan:
1. Penelitian Lapangan (Field Research)
Yaitu pengumpulan data dengan cara
mengadakan peninjauan langsung
ke perusahaan untuk memperoleh
data primer yang diperlukan sesuai
dengan masalah yang diteliti. Data
tersebut diperoleh dengan cara
observasi dan wawancara.
2. Penelitian Kepustakaan (Library
Reasearch)
Adalah
penelitian
untuk
mengumpulkan data sekunder yang
akan digunakan, dilakukan dengan
cara mempelajari dan membaca
buku-buku sumber, majalah, literatur,
referensi, dan tulisan-tulisan lain yang
dapat menunjang analisis yang akan
dilakukan serta erat hubunganya

dengan pokok pembahasan dalam


penelitan ini. Penelitian Kepustakaan
bertujuan untuk mengumpulkan landasan teori yang digunakan untuk
mempertanggungjawabkan analisis.

3. Pembahasan
Proses Penagihan Pajak Aktif
Berikut ini adalah proses penagihan
pajak aktif:
Penerbitan Surat Teguran di KPP
Bojonagara Bandung
Prosedur penerbitan surat teguran di
KPP Bojonagara Bandung adalah:
1. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak
(TUP) melakukan penelitian terhadap
tindakan
STP/SKPKB/SKPKBT/SK
Keberatan/Putusan Banding yang
menyebabkan bertambahnya jumlah
pajak yang terutang, yang sudah
lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh
tempo (satu bulan dari penerbitan
STP/SKPKB/SKPBKBT/SK Keberatan/
Putusan Banding) tetapi belum
dilunasi oleh Wajib Pajaknya.
2. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak
(TUPP) mencetak Surat Teguran
sebanyak 2(dua) lembar dan
meneruskanya
kepada
kepala
subseksi Penagihan Aktif
3. Kepala
Subseksi
Penagihan
Aktif menerima, meneliti, dan
meneruskanya kepada Kepala Seksi
Penagihan.
4. Kepala Seksi Penagihan meneliti Surat
Teguran kemudian meneruskanya
melalui seksi TUP kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak untuk
ditandatangani.
5. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

59

(TUPP) menerima kembali Surat


Teguran yang telah ditandatangani
oleh kepala KPP, melalui seksi TUP
dan selanjutnya
Lembar ke-1 dikirim kepada
Wajib Pajak dengan pos tercatat.
Lembar ke-2 sebagai arsip
Subseksi
Penagihan
untuk
dimasukkan
dalam
berkas
penagihan Wajib Pajak yang
bersangkutan dan dicatat dalam
kartu pengawasan Tunggakan
Pajak.
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat
Paksa di KPP Bojonagara Bandung
Prosedur penerbitan dan pelaksanaan
Surat Paksa adalah sebagai berikut:
1. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak
(TUPP) meneliti ke kartu pengawasan
Tunggakan Pajak terhadap Wajib
Pajak yang belum melunasi utang
pajaknya setelah lewat 21 (dua puluh
satu) hari sejak tanggal diterbitkanya
Surat Teguran.
2. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak
(TUPP) mencetak Surat Paksa
sebanyak 2 (dua) lembar dan
meneruskanya
kepada
kepala
subseksi penagihan aktif.
3. Kepala
subseksi
Penagihan
Aktif menerima, meneliti, dan
meneruskanya kepada Kepala Seksi
Penagihan.
4. Kepala Seksi Penagihan meneliti
Surat Paksa kemudian meneruskanya
melalui seksi TUP kepada Kepala
KPP untuk ditandatangani.
5. Surat
Paksa
yang
sudah
ditandatangani oleh kepala KPP
melaui seksi Tata Usaha Perpajakan
(TUP) diserahkan kepada Subseksi

60

Penagihan Aktif untuk registrasi,


kemudian
diteruskan
kepada
jurusita. Jurusita kemudian mencatat
Surat Paksa tersebut ke dalam Buku
Produksi Harian Jurusita dan Buku
Tindakan Penagihan. Pelaksanaan
Surat Paksa oleh Jurusita dengan
cara membacakan isinya kepada
Penanggung Pajak, kemudian kedua
belah pihak menandatangani Berita
Acara Pemberitahuan Surat Paksa
sebanyak dua lembar. Surat Paksa
dan Berita Acara Pemberitahuan
Surat Paksa lembar pertama dibawa
kembali oleh jurusita sebagai
bukti bahwa Surat Paksa telah
disampaikan, kemudian dibuatkan
laporan. Sedangkan Surat Paksa
dan Berita Acara Pemberitahuan
Surat Paksa lembar kedua diberikan
kepada penanggung pajak.
6. Surat Paksa yang telah dilaksanakan
diserahkan
kepada
subseksi
Penagihan Aktif diserati Berita Acara
Pemberitahuan Surat Paksa dan
Laporan Pelaksanaan Surat Paksa
kemudian diteruskan ke Seksi TUPP
untuk dimasukkan ke dalam berkas
penagihan dan disertai dalam Kartu
Pengawasan Tunggakan Pajak.
Pengeluaran
Surat
Melaksanakan Penyitaan
Bojonagara Bandung

Perintah
di KPP

Prosedur Pengeluaran Surat Perintah


Melaksanakan Penyitaan (SPMP) yaitu:
1. Petugas Tata Usaha Piutang Pajak
(TUPP) meneliti ke Kartu Pengawasan
Tunggakan Pajak terhadap Wajib
Pajak yang belum melunasi utang
pajaknya setelah lewat 2x24 jam
sejak tanggal pemberitahuan Surat

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Paksa.
Petugas mencetak Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
sebanyak 2 (dua) lembar dan
meneruskanya
kepada
Kepala
Subseksi Penagihan Aktif.
Kepala
subseksi
penagihan
aktif menerima, meneliti dan
meneruskanya kepada Kepala Seksi
Penagihan.
Kepala Seksi Penagihan meneliti
Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan
(SPMP),
kemudian
meneruskanya melalui seksi TUP
kepada Kantor Pelayanan Pajak
untuk ditandatangani.
Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan (SPMP) yang sudah
ditandatangani oleh Kepala KPP
melalui seksi Tata Usaha Perpajakan
(TUP) diserahkan kepada petugas
Tata Usaha Piutang Pajak (TUPP)
untuk registrasi kemudian diteruskan
kepada jurusita.
Jurusita mencatat Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
tersebut ke dalam Buku Produksi
Harian Jurusita dan selanjutnya
melaksanakan
penyitaan
lalu
menempelkan segel sita pada barang
yang disita.
Setelah
melakukan
penyitaan
Penanggung Pajak dan Jurusita
menandatangani
Berita
Acara
Pelaksanaan Sita Sebanyak dua
lembar, kemudian:
SPMP
dan
Berita
Acara
Pelaksanaan Sita Lembar pertama
diambil Jurusita sebagai bukti
dan diserahkan kepada kepala
Subseksi
Penagihan
Aktif.
Kemudian
Kepala
Subseksi
Penagihan Aktif meneruskannya

ke seksi TUPP untuk dimasukkan


ke dalam berkas penagihan dan
dicatat dalam Kartu Pengawasan
Tunggakan Pajak.
SPMP
dan
Berita
Acara
Pelaksanaan Sita lembar kedua
diserahkan kepada Penangggung
Pajak. Apabila
Penanggung
Pajak telah melunasi biaya
penagihan dan utang pajak
sebelum dilakukan pelelangan
maka
Kepala
KPP
harus
mengeluarkan Surat Pencabutan
Sita
(S.5.0.23.08).
Surat
Pencabutan Sita tersebut dibuat
dua lembar dimana lembar
pertama
untuk
Penanggung
Pajak dan lembar kedua untuk
arsip penagihan dan dimasukkan
dalam berkas penagihan pajak
yang bersangkutan.
Berdasarkan peraturan pemerintah
no 135 tahun 2000 tanggal 20-12-2000
Keputusan Menteri Keuangan No.563/
KMK.04/2000, tanggal 26-12-2000
tentang pemblokiran dan penyitaan
Harta Kekayaan Penanggung Pajak
yang Tersimpan pada Bank dalam
rangka Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa yang kemudian diatur lebih
lanjut dalam Keputusan Dirjen Pajak
KEP-627/PJ/2001, tanggal 24-9-2001
tentang tata cara Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung
Pajak yang Tersimpan pada Bank
dalam rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa, dalam melaksanakan
penagihan pajak dengan Surat Paksa
Jurusita Pajak berwenang melaksanakan
penyitaan terhadap harta kekayaan
Penangung Pajak dan Pemblokiran
Harta yang tersimpan dalam Bank.

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

61

Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan pemblokiran kepada bank
setelah Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Sebelum dilakukan penyitaaan
atas harta kekayaan penanggung Pajak
yang diblokir, Penanggung Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Pejabat menggunakan harta yang diblokir
tersebut untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.
Apabila dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah penyitaan
penanggung Pajak tidak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Pejabat
segera meminta kepada pimpinan
bank untuk memindahbukukan harta
kekayaan penanggung Pajak yang
tersimpan pada Bank ke kas negara atau
kasmdaerah sejumlah yang tercantum
dalam Berita Acara Pelaksaaan Sita.
Tetapi apabila dalam jangka 14 (empat
belas) hari berakhir Penanggung Pajak
dapat mengajukan permohonan kepada
Pejabat untuk menggunakan barang
sitaan dimaksud untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak
maka penyitaan dapat dihentikan dan
memberikan ijin kepada Penanggung
Pajak untuk menggunakan harta sitaan
tersebut untuk melunasi kewajiban
pajaknya dan biaya penagihan pajaknya.
Segera setelah pelaksanaan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan(SPMP)
Penanggung Pajak belum juga melunasi
utang pajaknya maka Kepala KPP
mengajukan Permintaan Jadwal Waktu
dan Tempat Pelelangan kepada Kantor
Lelang Negara Setempat. Setelah
mendapatkan
kepastian
tentang
waktu dan pelelangan, maka Jurusita

62

memberitahukan hal tersebut kepada


Penanggung Pajak dengan segera dan
secara tertulis. Hal ini dimaksudkan
sebagai kesempatan terakhir kepada
Penanggung Pajak untuk melunasi utang
pajaknya.
Apabila dalam jangka waktu 14
(empat belas hari) hari sejak diterbitkanya
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
(SPMP), Penanggung Pajak belum
juga melunasi utangnya, maka Jurusita
membuat konsep pengumuman lelang
dan meneruskan konsep tersebut kepada Kepala Subseksi Penagihan Aktif
dan Kepala seksi Penagihan Aktif
dan Kepala Seksi Penagihan untuk
diteliti, kemudian diteruskan ke Kepala
KPP untuk ditandatangani. Setelah
ditandantangani, pengumuman lelang
diiklankan pada media massa. Tanggal
pemuatan pengumuman lelang dicatat
dalam Buku Register Pengawasan
Penagihan dan Buku Register Tindakan
Penagihan.
Jika Penanggung Pajak dapat
melunasi utang pajakanya setelah
pengumuman lelang, maka lelang
dapat dibatalkan dengan memuat iklan
pembatalan lelang dalam media massa
yang bersangkutan. Pembatalan ini baru
dapat dilakukan bila Penanggung Pajak
dapat memperlihatkan bukti pembayaran
biaya penagihan dan utang pajak serta
mengganti biaya pengumuman lelang
dan biaya iklan pembatalan lelang.
Pelaksanaan Proses Penagihan Pajak
Dalam Usaha Meningkatkan Pencairan
Tunggakan Pajak
Proses
dilakukan

penagihan pajak
diharapkan

yang
dapat

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

meningkatkan pencairan tunggakan


pajak. Tentunya proses penagihan
pajak yang dimaksud adalah suatu
proses yang sesuai dengan peraturan
perpajakan yang ada. Berdasarkan
dengan penelitian yang dilakukan di
KPP Pratama Bojonagara yang telah
melaksanakan proses penagihan dengan
peraturan perpajakan yang ada.
Analisa Tunggakan Pajak dan
Kegiatan Penagihan dengan Surat Paksa
tahun 2006 dan tahun 2007 di KPP
Pratama Bojonagara Bandung
Berikut merupakan data analisa
tunggakan pajak tahun 2006 dan 2007
dengan tahun pajak 2005 dan 2006
yang
telah
dilakukan/dilaksanakan
KPP Bojonagara Bandung. Proses
penagihan pajak dimulai dari adanya
tunggakan pajak yang belum lunas yang
tercantum di dalam STP/SKPKB/SKPKBT/
SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan
Banding yang melibatkan jumlah piutang
pajak bertambah. Proses penagihan
pajak terdiri dari penagihan pajak
pasif yang dimulai dengan penerbitan
STP/SKPKB/SKPKBT/SK
Pembetulan/
SK Keberatan/Putusan Banding yang
mengakibatkan bertambahnya jumlah
pajak terutang kepada Wajib Pajak.
Sedangkan penagihan aktif dimulai
dengan diterbitkanya Surat Teguran,
Surat Paksa, SPMP, hingga Lelang.
Keberhasilan proses penagihan pajak
dilihat dari pencairan tunggakan pajak.
Berikut ini adalah tabel yang
menunjukkan laporan tunggakan pajak
triwulan dalam tahun 2006.

Tabel 2 Laporan Tunggakan Pajak Triwulan


Tahun 2005 (dalam 000)

Berdasarkan tabel di atas tunggakan


awal triwulan I adalah jumlah piutang
pajak yang belum lunas, yang belum
daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, yang
ditagih dengan STP/SKPKB/SKPKBT/
SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan
Banding sebelum tanggal 1 Januari
2006. Demikian juga dengan tunggakan
awal Triwulan II sebelum tanggal 1 April
2006. Tunggakan awal Triwulan III
sebelum tanggal 1 Juli 2006. Tunggakan
awal Triwulan IV sebelum tanggal 1
Oktober 2006.
Sedangkan penambahan triwulan
I adalah jumlah piutang pajak pada
tahun 2006 dan tahun sebelumnya yang
belum lunas, yang belum daluwarsa 10
(sepuluh) tahun yang ditagih dengan
STP/SKPKB/SKPKBT/SK
Pembetulan/
SK Keberatan/Putusan Banding dalam
triwulan I tahun 2006. Demikian juga
dengan penambahan triwulan II-IV.

Tabel 3 Laporan Tunggakan Pajak Triwulan


Tahun 2006 (dalam 000)

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

63

Berdasarkan tabel di atas tunggakan


awal triwulan I adalah jumlah piutang
pajak yang belum lunas, yang belum
daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, yang
ditagih dengan STP/SKPKB/SKPKBT/
SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan
Banding sebelum tanggal 1 Januari
2007. Demikian juga dengan tunggakan
awal Triwulan II sebelum tanggal 1
April 2007. Tunggakan awal Triwulan III
sebelum tanggal 1 Juli 2007. Tunggakan
awal Triwulan IV sebelum tanggal 1
Oktober 2007.
Sedangkan penambahan triwulan
I adalah jumlah piutang pajak pada
tahun 2007 dan tahun sebelumnya yang
belum lunas, yang belum daluwarsa 10
(sepuluh) tahun yang ditagih dengan
STP/SKPKB/SKPKBT/SK
Pembetulan/
SK Keberatan/Putusan Banding dalam
triwulan I tahun 2007. Demikian juga
dengan penambahan triwulan II-IV.
Berdasarkan tabel 2 dan 3 data
tunggakan awal dan penambahan masih
memperhitungkan jumlah piutang pajak
yang belum lunas, yang daluwarsa 10
(sepuluh) tahun. Hal ini sesuai dengan
Undang-undang nomor 16 tahun 2000
pasal 22 tentang daluwarsa penagihan
pajak. Beberapa hal yang menyebabkan
bertambahnya piutang pajak adalah:
1. Pembayaran dengan menggunakan
SSP (Surat Setoran Pajak) untuk
pelunasan yang terdapat di dalam
piutang pajak yang terdapat dala
STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/
SK
Keberatan/Putusan
Banding
yang menyebabkan bertambahnya
piutang pajak.
2. Pemindahbukuan (Pbk)
Sebenarnya Wajib Pajak sudah

64

3.

4.

5.

6.

membayar utang pajaknya, tapi


salah nomor rekening sehingga
dianggap belum melunasi utang
pajaknya. Oleh karena itu dilakukan
pemindahbukuan.
Pengajuan permohonan Pembetulan
yang dikabulkan atas Surat Teguran/
Surat Peringatan/surat-surat lain
sejenis. Surat Penagihan Seketika
dan Sekaligus, Surat Paksa, SPMP,
Surat
perintah
Penyanderaan,
Pengumuman Lelang dan Surat
Penentuan Harga Limit yang dalam
penerbitanya terdapat kesalahan
atau kekeliruan, yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah piutang pajak.
Pengajuan Keberatan/Banding yang
dikabulkan atas SKPKB/SKPKBT
yang mengakibatkan berkurangnya
jumlah piutang pajak.
Penghapusan Piutang
Dilakukan karena piutang pajak
sudah tidak mungkin ditagih lagi.
Penyebabnya antara lain karena
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
tidak mempunyai harta kekayaan
lagi, dan hak untuk melakukan
penagihan pajak sudah daluwarsa.
Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak pindah alamat dan tidak
dapat ditemukan lagi. Berdasarkan
kebijakan tahun 2006, dan 2007
yang terdapat dalam seksi penagihan
di KPP Bojonagara Bandung, maka
sasaran atau target pencairan piutang
pajak harus dicapai agar penulis dapat
menganalisis pengaruh penagihan
pajak dengan Surat Paksa terhadap
Tingkat Pencairan Tunggakan Pajak
Wajib Pajak Perorangan dan Wajib
Pajak Badan. Proses penagihan
pajak dalam proses penagihan pajak
dalam upaya pencairan tunggakan

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

pajak adalah minimun sebesar 30%


dari saldo tunggakan awal tahun.
Kebijakan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor
seperti Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak sudah tidak mempunyai
harta kekayaan lagi, Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan, dan adanya Wajib
pajak atau penanggung Pajak yang
mengajukan
Keberatan/Banding/
Pembetulan.
Di bawah ini adalah perbandingan
target pencairan yaitu 30% dari saldo
tunggakan awal tahun 2006 dengan
realisasi pencairan dari tunggakan awal
pada tahun 2006, yaitu sebagai berikut:

bahwa
realisasi
pencairan
dari
tunggakan awal untuk tahun 2006 di
KPP Pratama Bojonagara Bandung telah
melebihi targetnya, hal ini berarti proses
penagihan pajak yang dilakukan
cukup memadai/berhasil dalam upaya
meningkatkan pencairan tunggakan
pajak yang dilihat dari kebijakan tahun
2006 yaitu pencairan minimum sebesar
30% dari saldo awal tahun.
Perbandingan target pencairan yaitu
30% dari saldo tunggakan awal tahun
2007 dengan realisasi pencairan dari
tunggakan awal pada tahun 2007 yaitu
sebagai berikut:

Tabel 5 Perbandingan Target dan Realisasi


Pencairan dan Tunggakan Awal Tahun 2007
(dalam 000)
Tabel 4 Perbandingan Target dan Realisasi
Pencairan dan Tunggakan Awal Tahun
2008(dalam 000)

Tabel di atas menjelaskan bahwa


target
pencairan
dari
tunggakan
awal
sebesar
Rp.1.685.908.000
(30%xRp.5.619.694.000).
Realisasi
pencairan dari tunggakan awal adalah
Rp.5.932.684.000 atau sebesar 94.7%
(5.932.684/1.685.908.000) atau sebesar
Rp.4.246.776.000
(5.932.6841.685.908.000) atau sebesar 64,7%
(94.7%-30%).
Perhitungan di atas menunjukkan

Tabel di atas menjelaskan bahwa


target pencairan dari tunggakan awal
sebesar
Rp.12.564.744.000
(30%
x
Rp.41.882.480.000).
Realisasi
pencairan dari tunggakan awal adalah
sebesar
Rp.3.162.338.000
atau
sebesar 7.55% (Rp.3.162.338.000/
Rp.41.882.480.000) * 100%. Selisih
yang terjadi sebesar (-Rp.9.402.406.000)
[Rp.3.162.338.000-Rp.12.564.744.000)
atau sebesar (-22,45%[7,55%-30 %]
Perhitungan di atas menunjukkan
bahwa
realisasi
pencairan
dari
tunggakan awal untuk tahun 2006 di
KPP Pratama Bojonagara Bandung

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

65

tidak melebihi targetnya, hal ini berarti


proses penagihan pajak yang dilakukan
tidak memadai/berhasil dalam upaya
meningkatkan pencairan tunggakan
pajak yang dilihat dari kebijakan tahun
2006 yaitu pencairan minimum sebesar
30% dari saldo awal tahun.
Dalam pelaksanaan penagihan pajak,
KPP Pratama Bojonagara melakukan
berbagai tindakan aktif dalam upaya
penagihan pajak. Berikut merupakan
tabel kegiatan penagihan pajak aktif di
KPP Pratama Bojonagara Bandung.

Tabel 6 Laporan Kegiatan Penagihan Pajak


Aktif Triwulan Tahun 2006
(Dalam lembar)

Tabel 7 Laporan Kegiatan Penagihan Pajak


Aktif Triwulan Tahun 2006
(Dalam lembar)

66

Dari tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa


realisasi pencairan tunggakan paksa
dengan dikeluarkanya Surat Teguran dan
Surat Paksa sangat berpengaruh besar
dengan tingkat pencairan tunggakan
pajak. Pada tahun 2006 dan 2007 Surat
Teguran yang dikeluarkan KPP Pratama
Bojonagara berjumlah 4793 dan 2539,
dan yang diteruskan sampai Surat Paksa
sebanyak 924 dan 325. Hal ini berarti
sebanyak 3869 di tahun 2006 dan 2214
di tahun 2007, dari Surat Teguran yang
dikeluarkan telah dilakukan pelunasanya
oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Dan sebanyak 924 di tahun 2006 dan
325 di tahun 2007 diteruskan sampai
Surat Paksa. Dari total Surat Paksa yang
dikeluarkan hanya sebagian kecil yang
diteruskan ke SPMP, Pengumuman
Lelang dan Tindakan Pelelangan. Surat
Paksa yang akhirnya dilunasi utang
pajaknya oleh Wajib Pajak berjumlah
909 pada 2006 dan 316 di tahun 2007.
Hal ini berarti besar pengaruh
dikeluarkanya Surat Paksa dan Surat
Teguran sebagai tindakan penagihan
kepada Wajib Pajak agar Wajib Pajak
dan Penanggung Pajak melunasi utang
pajaknya. Karena tindakan SPMP,
Pengumuman Lelang dan Lelang
hanyalah sebagian kecil yang belum
dilunasi oleh Wajib Pajak setelah
dikeluarkanya Surat Teguran dan Surat
Paksa yaitu sebesar 1,6% di tahun 2006
dan 2,7% di tahun 2007 yang dilanjutkan
sampai SPMP dan Lelang.
Berikut adalah analisa perbandingan
target dan realisasi kegiatan penagihan
aktif:

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Tabel 8 Perbandingan Target dan Realisasi


Kegiatan Penagihan Aktif Tahun 2006
(dalam lembar)

Sehubungan
dengan
tindakan
penagihan pajak aktif, terdapat target
2006 dan 2007 di KPP Bojonagara
Bandung dalam hal penerbitan jumlah
Surat Paksa, SPMP dan Lelang. Target ini
adalah standar bagi Jurusita pajak dalam
melakukan proses penagihan pajak
dengan mempertimbangkan faktor-faktor
seperti Wajib Pajak tidak ditemukan
dan Wajib Pajak sudah tidak ditemukan
lagi. Dimana target pada tahun 2006
sebanyak 576 Surat Paksa dan dapat
direalisasikan sebanyak 924 lembar
Surat Paksa, hal ini sudah melampaui
target. Sedangkan Surat Teguran target
dapat direalisasikan dengan baik.

Tabel 9 Perbandingan Target dan Realisasi


Kegiatan Penagihan Aktif Tahun 2007
(dalam lembar)

Berdasarkan wawancara dengan


aparat perpajakan yang bersangkutan,
banyak wajib pajak dan atau penanggung
pajak yang melunasi utangnya setelah

diterbitkan Surat Paksa, karena Wajib


Pajak dan atau Penanggung Pajak yang
melunasi utangnya setelah diterbitkan
Surat Paksa, karena Wajib Pajak dan atau
Penanggung Pajak tidak menginginkan
barangnya disita. Hal ini juga bisa dapat
dilihat dari jumlah SPMP yang cukup
berkurang setelah diterbitkannya Surat
Paksa seperti yang telah dijelaskan pada
tabel 6 dan 7 tentang laporan kegiatan
penagihan pajak aktif tahun 2006 dan
2007. Jumlah lembar Surat Paksa berbeda
dengan Surat Teguran karena biasanya
satu lembar Surat Paksa untuk beberapa
STP/SKPKB/SKPKBT, sedangkan satu
lembar SuratTeguran untuk satu lembar
STP/SKPKB/SKPKBT.
Pengaruh penagihan pajak dengan
Surat Paksa sangatlah besar. Tingkat
pencairan tunggakan pun meningkat
terlihat dari realisasi penagihan pajak
aktif dimana Surat Teguran yang dikeluarkan lebih dari target yang
diharapkan sudah dilunasi, dan Surat
Paksa yang dikeluarkan pun target
daripada pelunasannya dapat dilunasi
oleh Penanggung Pajak. Berdasarkan
Tabel 8 dan 9 dapat dilihat bahwa
Surat Teguran, target disesuaikan
dengan realisasi karena KPP Bojonagara
Bandung sudah melakukan sistem
perpajakan dengan sistem komputerisasi
sehingga nama-nama Wajib Pajak yang
belum melunasi utang pajaknya padahal
sudah jatuh tempo langsung masuk ke
dalam daftar Wajib Pajak yang harus
ditegur dan harus diteruskan dalam Surat
Paksa. Sesudah itu petugas Tata Usaha
Piutang Pajak tinggal mencetak Surat
Teguran dan Surat Paksa. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa melalui
Sistem Informasi Perpajakan ini, maka

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

67

Surat Teguran dan Surat Paksa dapat


dilaksanakan seluruhnya dalam hal
penerbitan dan pengiriman lewat pos.
Proses Penagihan Pajak Pasif
Proses penagihan pajak pasif di
KPP Bojonagara Bandung dilakukan
dengan penerbitan STP/SKPKB/SKPKBT/
SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan
Banding kepada Wajib Pajak dengan pos
tercatat melalui pos Bagian Umum. Nota
Perhitungan STP/SKPKB/SKPKBT dibuat
oleh bagian teknis (PPh OP/ PPh Badan/
PPh PotPut/PPn), kemudian dikirim ke
seksi TUP. Seksi TUP membuat STP/
SKPKB/SKPKBT sebanyak 2 lembar dan
meneruskanya kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak untuk ditandatangani.
Setelah ditandatangani, STP/SKPKB/
SKPKBT dikirim kembali ke bagian TUP.
Oleh seksi TUP, STP/SKPKB/SKPKBT
lembar pertama untuk arsip dan STP/
SKPKB/SKPKBT lembar kedua untuk
dikirim kepada Wajib Pajak melalui
sub Bagian Umum. Melalui sistem
komputerisasi, seksi TUP mengirim data
STP/SKPKB/SKPKBT ke seksi Penagihan,
Penerimaan dan Keberatan, PPh/PPn.
SK Pembetulan/SK Keberatan, dan
Putusan Banding yang mengakibatkan
bertambahnya jumlah piutang pajak,
dibuat oleh seksi Penerima dan Keberatan
sebanyak dua lembar. Kemudian Seksi
Penerimaan dan Keberatan sebanyak dua
lembar. Kemudian seksi Penerimaan dan
Keberatan meneruskannya melalui seksi
TUP kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak
untuk
ditandatangani,
SK
Pembetulan/SK Keberatan, dan Putusan
Banding tersebut dikirim kembali ke
seksi Penerimaan dan Keberatan. Oleh

68

seksi Penerimaan dan Keberatan SK


Pembetulan/SK Keberatan dan Putusan
Banding lembar kedua dikirim ke Wajib
Pajak melalui sub Bagian Umum melalui
sistem komputerisasi, Seksi Penerimaan
dan Keberatan mengirim data ke seksi
Penagihan, PPh/PPn, TUP.
Kendala dalam Proses Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa di KPP
Bojonagara Bandung
Di
KPP
Bojonagara,
dalam
melaksanakan tindakan penagihan
pajak para Jurusita Pajak masih banyak
menemui kendala dan hambatan,
diantaranya adalah:
Kesulitan mencari data asset Wajib
Pajak
Banyaknya Wajib Pajak yang pindah
alamat
Banyak Surat Teguran yang kembali
Banyaknya Wajib Pajak yang sedang
mengajukan keberatan
Adanya penetapan secara jabatan
dan lain sebagainya
Upaya-upaya yang telah dilakukan
KPP Bojonagara dalam mengatasi
kendala-kendala tersebut adalah:
Mencari keterangan dari berbagai
pihak yang berkompeten tentang
data-data dan harta yang dimiliki
Wajib Pajak.
Menjalin kerjasama dengan pihak
terkait yaitu orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Wajib
Pajak yang memiliki utang pajak.
Melakukan
pendekatan
secara
kekeluargaan dengan Wajib Pajak
yang mempuyai utang pajak.
Mewajibkan Wajib Pajak untuk
memberikan informasi jika ada

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Wajib Pajak yang pindah alamat.


Memberikan penyuluhan tentang
kesadaran dan manfaat membayar
pajak.
Dan upaya-upaya lainnya yang
dianggap perlu.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tahun
2006 sampai dengan tahun 2007
mengenai analisa pengaruh penagihan
pajak dengan Surat Paksa terhadap
tingkat pencairan tunggakan pajak wajib
pajak perorangan dan wajib pajak badan
di KPP Bojonagara, maka kesimpulan
yang dapat diperoleh adalah:
1. Dalam
melaksanakan
proses
penagihan pajak dengan Surat
Paksa di KPP Bojonagara masih
terdapat hambatan-hambatan seperti
kesulitan dalam mencari data aset
Wajib Pajak, banyaknya wajib pajak
yang pindah alamat, banyaknya
Surat Teguran yang kembali dan Surat
Paksa yang ditolak atau Penanggung
Pajak keberatan atas pelaksanaan
Surat Paksa. Upaya-upaya yang
telah dilakukan KPP Bojonagara
dalam mengatasi hal tersebut adalah
mencari
keterangan-keteranagan
dari berbagai pihak yang kompeten
tentang aset yang dimiliki oleh Wajib
Pajak, menjalin kerjasama dengan
pihak terkait yaitu orang-orang yang
mempunyai
hubungan dengan
Wajib Pajak yang memiliki utang
pajak, melaksanakan pendekatan
secara kekeluargaan dengan wajib
Pajak yang memilki utang pajak,
mewajibkan Wajib Pajak untuk
memberikan
informasi
lengkap

jika Wajib Pajak hendak pindah


alamat, memberikan penyuluhan
tentang kesadaran dan manfaat dari
membayar pajak serta peraturan
perpajakan yang ada.
2. Proses penagihan pajak yang
dilakukan di KPP Bojonagara dalam
kurun waktu 2 tahun tersebut
mempunyai peranan dalam usaha
meningkatkan pencairan tunggakan
pajak yang memenuhi bahkan
melebihi target 30%. Hal ini mungkin
disebabkan karena Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak cooperative dalam
melunasi utang pajaknya. Namun
proses penagihan pajak kurang
berperan dalam usaha meningkatkan
pencairan tunggakan pajak, dilihat
dari jumlah tunggakan pajak yang
semakin meningkat hal ini mungkin
disebabkan karena target pencairan
tunggakan yang terlalu rendah yakni
30% dan mudah untuk dicapai dan
adanya berbagai hambatan dalam
melaksanakan proses penagihan
pajak seperti Wajib Pajak pindah
alamat sehingga tidak diketahui
keberadaanya dan menyebabkan
banyaknya Surat Teguran atau Surat
Paksa yang kembali atau ditolak,
dan banyaknya Wajib Pajak yang
mengajukan Keberatan menunda
proses penagihan pajak sehingga
tidak melunasi utang
pajaknya.
Dalam melakukan perbandingan
target dan realisasi tunggakan pajak
di Seksi Penagihan tidak mejelaskan
secara rinci pencairan tunggakan
pajak yang terjadi merupakan
pembayaran dari saldo tunggakan
awal atau penambahan.

Analisa Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Tingkat Pencairan
Tunggakan Pajak Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan

69

3. Faktor lain dari proses penagihan


pajak yang menyebabkan pencairan
terhadap tunggakan pajak yaitu
kesadaran sendiri dari Wajib Pajak
untuk melunasi utang pajaknya.
Faktor lain ini memiliki pengaruh
kecil terhadap
tunggakan pajak
karena jarang sekali terjadi.

dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat


Paksa.
Kompilasi Undang-Undang Perpajakan
Terlengkap, Edisi Pertama Jakarta:
Salemba Empat: 2005.
www.google.com
www.pajak.go.id
www. ksdpajak.blogspot.com

REFERENSI
Mardiasmo.(2006). Edisi Revisi 2006.
Perpajakan. Yogyakarta: Andi.
Meliala, Tulis S. (2007). Edisi 4.
Perapajakan dan Akuntansi Pajak.
Jakarta: Semesta Media.
Waluyo. (2005). Edisi Revisi. Perpajakan
Indonesia. Buku 1. Jakarta: Salemba
Empat.
Waluyo. (2005). Edisi Revisi. Perapajakan
Indonesia. Buku 2. Jakarata: Salemba
Empat.
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-01/
PJ.75/ 2005 Tentang Kebijakan
Penagihan Pajak.
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan
Pajak. Pedoman Penagihan Pajak Edisi
2008.
Keputusan Direktur Jendral Pajak nomor
KEP-474/ PJ./ 2002 Tetang Bentuk,
Jenis, dan Kode Kartu, Formulir,
Surat dan Buku yang Digunakan
Dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Keputusan Direktur Jendral Pajak nomor
KEP-627/PJ./2001
Tentang
Tata
Cara Pelaksanaan
Pemblokiran
dan Penyitaan Harta Kekayaan
Penanggung Pajak yang Tersimpan
Pada Bank Dalam Rangka Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
561/ KMK.04/ 2000 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika

70

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG)


Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan: Studi Empirik
Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok
Sepuluh Besar Menurut Corporate Governance
Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia
Meythi
Dosen Program Pendidikan Profesi Akuntansi
Universitas Kristen Maranatha

Lusiyana Devita
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT
The main objective of this research was to determined whether there was influence of the
implementation of Good Corporate Governance (GCG) was measured using the GCG
implementation score published by IICG with the companys financial performance was
measured using Return on Equity (ROE) on go public companies which includes top ten
groups according to the Corporate Governance Perception Index (CGPI) in Indonesia
Stock Exchange. Samples used in this research as many as 70 companies taken by
purposive sampling, with the following criteria: (1) go public companies were listed in
Indonesia Stock Exchange in 2002-2008 (2) go public companies that issued financial
statements from the years 2002-2008, (3) go public companies that included in the
top ten rating of the implementation of GCG conducted by the Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG) from the years 2002-2008. Analysis model of the data used
in this research was a simple linear regression model, because the independent variables
accounted for one was implementation of GCG. Analysis of the data used in this research
was equipped with the classical assumption test, namely normality test, heteroscedasticity
test, and autocorrelation test. Based on the results of hypothesis testing showed that the
implementation of GCG didnt influence on the ROE, this can be seen from t-test that
generate significant value of 0,996 is greater than the significant level of 0,05.
Keywords: Good Corporate Governance (GCG), Scores of Good Corporate Governance

(GCG), Company Financial Performance, and Return on Equity (ROE).

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

71

1. Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian
Konsep Good Corporate Governance
(GCG) sesungguhnya telah lama dikenal
di negara-negara maju, seperti Eropa
dan Amerika, dengan adanya pemisahan
antara pemilik modal dengan para
pengelola perusahaan. Di Indonesia,
konsep GCG ini mulai banyak
diperbincangkan pada pertengahan
tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi
melanda negara ini. Dampak dari
krisis tersebut menunjukkan bahwa
banyak perusahaan yang tidak mampu
bertahan. Berdasarkan kondisi tersebut,
pemerintah Indonesia dan lembagalembaga keuangan internasional memperkenalkan konsep GCG.
Dalam rangka economy recovery,
pemerintah Indonesia dan International
Monetary Fund (IMF) memperkenalkan
dan menjelaskan konsep GCG sebagai
tata cara kelola perusahaan yang sehat
(Sulistyanto dan Lidyah, 2002). Konsep
ini diharapkan dapat melindungi
pemegang saham (stockholders) dan
kreditur agar dapat memperoleh kembali
investasinya.
Penerapan GCG merupakan salah
satu upaya yang cukup signifikan untuk
melepaskan diri dari krisis ekonomi yang
melanda Indonesia. Peran dan tuntutan
investor dan kreditor asing mengenai
penerapan prinsip GCG merupakan salah
satu faktor dalam pengambilan keputusan
berinvestasi pada suatu perusahaan.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia
usaha di Indonesia merupakan tuntutan
zaman agar perusahaan-perusahaan

72

yang ada jangan sampai terlindas


oleh persaingan global yang semakin
keras. Prinsip-prinsip dasar dari GCG
pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memberikan kemajuan terhadap kinerja
suatu perusahaan (Wardani, 2008).
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar
dari GCG tersebut, maka para pelaku
bisnis di Indonesia menyepakati
penerapan
GCG
suatu
sistem
pengelolaan perusahaan yang baik, hal
ini sesuai dengan penandatanganan
perjanjian Letter of Intent (LOI)
dengan International Monetary Fund
(IMF) tahun 1998, yang salah satu
isinya adalah pencantuman jadwal
perbaikan pengelolaan perusahaan di
Indonesia. Menurut Forum for Corporate
Governance in Indonesia (2001) melalui
penerapan GCG tersebut diharapkan:
1. perusahaan mampu meningkatkan
kinerjanya
melalui
terciptanya
proses pengambilan keputusan yang
lebih baik, meningkatkan efisiensi
operasional
perusahaan,
serta
mampu meningkatkan pelayanannya
kepada stakeholders,
2. perusahaan
lebih
mudah
memperoleh dana pembiayaan
yang lebih murah sehingga dapat
meningkatkan corporate value,
3. mampu meningkatkan kepercayaan
investor
untuk
menanamkan
modalnya di Indonesia, dan
4. pemegang saham akan merasa puas
dengan kinerja perusahaan sekaligus
akan meningkatkan shareholders
value dan dividen.
Dalam Surat Keputusan Menteri
Badan Usaha Milik Negara Nomor: Kep117/M-Mbu/2002 tentang Penerapan

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Praktik Good Corporate Governance


(GCG). Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dijelaskan bahwa
GCG adalah suatu proses dan struktur
yang digunakan oleh organ BUMN
untuk
meningkatkan
keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna mewujudkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholders lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai
etika. Jadi, GCG dapat diartikan sebagai
suatu proses dan struktur yang digunakan
untuk meningkatkan keberhasilan
usaha, dan akuntabilitas perusahaan
yang bertujuan untuk meningkatkan
nilai perusahaan dalam jangka panjang
dengan memperhatikan kepentingan
stakeholders serta berlandaskan peraturan perundang-undangan, moral dan
nilai etika.
Terkait dengan topik penelitian ini,
beberapa penelitian mengenai pengaruh
penerapan GCG terhadap kinerja
keuangan perusahaan telah banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
seperti penelitian yang dilakukan oleh
Bauer et al. (2003) yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penerapan
GCG terhadap firm valuation yang di
proxy dengan Tobins Q dan kinerja
perusahaan yang di proxy dengan
Return on Equity (ROE) dan Net Profit
Margin (NPM) memberikan simpulan
bahwa pelaksanaan GCG berpengaruh
signifikan terhadap Tobins Q, Return
on Equity (ROE) dan Net Profit
Margin (NPM). Penelitian yang serupa
yang dilakukan oleh Pranata (2007)
tentang pengaruh penerapan GCG
terhadap kinerja keuangan perusahaan

memberikan simpulan bahwa penerapan


GCG berpengaruh positif terhadap
Return on Equity (ROE), Tobins Q dan
Net Profit Margin (NPM).
Selanjutnya penelitian yang sama
yang dilakukan oleh Wardani (2008)
tentang pengaruh Corporate Governance
terhadap
kinerja
perusahaan
di
Indonesia. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan
bahwa
Corporate
Governance mempengaruhi nilai kinerja
pasar perusahaan secara signifikan. Akan
tetapi, penelitian yang dilakukan oleh
Hidayah (2007) memberikan simpulan
yang berbeda dari ketiga penelitian di
atas.
Penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh penerapan
GCG terhadap kinerja keuangan
perusahaan, karena penulis melihat
bahwa kelebihan utama dari perusahaanperusahaan yang menerapkan GCG
adalah sistem tata kelola dari perusahaan
tersebut akan baik, sehingga kinerja
keuangan dari perusahaan itu juga akan
meningkat dan perusahaan tersebut juga
mampu bersaing dengan perusahaan
lain dalam keadaan krisis ekonomi yang
terjadi. Akan tetapi dalam penerapan
dari GCG ini banyak pula terjadi
kesulitan dan timbulnya permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan
teori keagenan (agency theory). Dalam
teori keagenan ini menjelaskan bahwa
adanya perbedaan kepentingan antara
pemegang saham sebagai prinsipal dan
manajemen sebagai agen.
Penelitian ini merupakan replikasi
dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Pranata (2007) tentang pengaruh

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

73

penerapan
Corporate
Governance
terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Dalam penelitian yang telah dilakukan
tersebut, peneliti menggunakan 3
variabel dependen (variabel terikat),
yaitu Return on Equity (ROE), Tobins
Q dan Net Profit Margin (NPM) dalam
mengukur kinerja keuangan perusahaan,
tetapi dalam penelitian yang sekarang
dilakukan, peneliti hanya menggunakan
1 variabel dependen (variabel terikat),
yaitu Return on Equity (ROE) dalam
mengukur kinerja keuangan perusahaan
yang berkaitan dengan penerapan
Good Corporate Governance (GCG).
Selain itu juga, dalam penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, peneliti
hanya menggunakan 1 uji asumsi klasik
yaitu uji normalitas data, tetapi dalam
penelitian yang sekarang dilakukan,
peneliti menggunakan 2 uji asumsi
klasik yaitu uji normalitas data dan uji
autokorelasi data.
Mengacu pada hasil-hasil penelitian
empiris
yang
telah
dilakukan,
tampak bahwa bukti empiris tersebut
menunjukkan
betapa
pentingnya
penerapan GCG dalam mendukung
pencapaian tujuan perusahaan. Dalam
kaitan ini, maka penulis tertarik untuk
melakukan
penelitian
mengenai
Pengaruh Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) Terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan. Penerapan
GCG dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan skor penerapan GCG
yang dipublikasikan oleh The Indonesian
Institute for Corporate Governance
(IICG) dan kinerja keuangan perusahaan
diukur dengan menggunakan Return on
Equity (ROE).

74

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dari
penjelasan sebelumnya, maka penulis
merumuskan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: Apakah
terdapat pengaruh penerapan Good
Corporate Governance (GCG) terhadap
kinerja keuangan perusahaan yang
diukur dengan menggunakan Return on
Equity (ROE)?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memberikan bukti empiris apakah
penerapan Good Corporate Governance
(GCG) berpengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan yang diukur
dengan menggunakan Return on Equity
(ROE).
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pihakpihak yang berkepentingan terhadap
permasalahan ini. Adapun kegunaan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat
lebih mendorong penelitian atau
pengkajian yang lebih kompleks
(luas dan mendalam) tentang
pengaruh penerapan GCG yang
diukur dengan menggunakan skor
GCG yang dipublikasikan oleh The
Indonesian Institute for Corporate
Governance (IICG) terhadap kinerja
keuangan perusahaan yang diukur
dengan menggunakan Return on
Equity (ROE).

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

2. Hasil penelitian ini diharapkan


dapat memberikan manfaat berupa
tambahan pengetahuan empiris
kepada penulis mengenai pengaruh
penerapan GCG pada perusahaan,
khususnya pengaruhnya terhadap
kinerja keuangan perusahaan, yaitu
Return on Equity (ROE).

Indonesian Institute for Corporate


Governance (IICG) terhadap kinerja
keuangan perusahaan yang diukur
dengan menggunakan ROE untuk
bisa lebih mengembangkan ilmu
pengetahuannya secara lebih umum
dan luas agar mendapatkan hasil
penelitian yang lebih baik lagi di
masa depan.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat


dijadikan sebagai bahan masukan
berupa saran atau ide yang sifatnya
dapat membantu dalam memberikan
gambaran tentang kinerja keuangan
perusahaan,
sehingga
dapat
digunakan sebagai bahan masukan
dalam pengambilan keputusan bagi
perusahaan di masa yang akan datang,
serta
menunjukkan
bagaimana
cara mengelola perusahaan yang
baik, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dalam perusahaan.
4. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran kepada
investor mengenai kinerja keuangan
perusahaan
dengan
melihat
penerapan GCG sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi
investor untuk melakukan keputusan
investasi pada perusahaan secara
tepat dan menguntungkan di masa
yang akan datang.
5. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pikiran, solusi, dan juga referensi
khususnya bagi peneliti selanjutnya
yang akan meneliti mengenai
pengaruh penerapan GCG yang
diukur dengan menggunakan skor
GCG yang dipublikasikan oleh The

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

75

2. Kajian Pustaka Dan


Rerangka Teoritis
Rerangka Teoritis

Gambar 1
Skema Rerangka Teoritis

Teori Keagenan (Agency Theory)


Konsep GCG sudah lama dikenal
di negara-negara Eropa dan Amerika
dengan adanya konsep pemisahan
antara kepemilikan dan pengendalian
perusahaan. Pemisahan ini akan
menimbulkan masalah karena adanya
perbedaan kepentingan antara pemegang saham sebagai prinsipal dan pihak
manajemen sebagai agen (Jensen dan
Meckling, 1976). Adanya pemisahan
antara pemilik dan manajemen ini
disebut dengan agency theory (teori
keagenan). Menurut Jensen dan Meckling
(1976) dalam agency theory hubungan
agensi muncul ketika satu orang atau
lebih (principal) mempekerjakan orang
lain (agent) untuk memberikan suatu
jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan
kepada agen tersebut.
Menurut Anthony dan Govindarajan
(1995) agency theory (teori keagenan)
adalah hubungan atau kontrak antara
principal dan agent. Teori keagenan
mendasarkan
hubungan
kontrak
antara
pemegang
saham/pemilik
dan
manajemen/manajer.
Menurut
teori ini, hubungan antara pemilik
dan manajer pada hakikatnya sulit
tercipta karena adanya kepentingan
yang saling bertentangan (conflict of
interest). Pertentangan dan tarik menarik
kepentingan antara prinsipal dan agen
dapat menimbulkan permasalahan yang
dalam agency theory dikenal sebagai
Asymmetric Information (AI) yaitu
informasi yang tidak seimbang yang
disebabkan karena adanya distribusi
informasi yang tidak sama antara
prinsipal dan agen. Ketergantungan pihak

eksternal pada angka-angka akuntansi,


kecenderungan manajer untuk mencari
keuntungan sendiri dan tingkat AI yang
tinggi, menyebabkan keinginan besar
bagi manajer untuk memanipulasi kerja
yang dilaporkan untuk kepentingan diri
sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).
Akibat adanya informasi yang
tidak seimbang (asimetri) ini, dapat
menimbulkan 2 (dua) permasalahan
yang disebabkan adanya kesulitan
prinsipal
untuk
memonitor
dan
melakukan
pengendalian
(control)
terhadap
tindakan-tindakan
agen.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
permasalahan tersebut adalah:
a. Moral hazard, yaitu permasalahan
yang muncul jika agen tidak
melaksanakan hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam kontrak
kerja.
b. Adverse selection, yaitu suatu
keadaan dimana prinsipal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan
yang diambil oleh agen benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah
diperolehnya, atau terjadi sebagai
sebuah kelalaian dalam tugas.
Menurut Eisenhardt (1989), teori
keagenan dilandasi dengan tiga asumsi
yaitu: asumsi sifat manusia (human
assumptions), asumsi keorganisasian
(organizational assumptions), dan asumsi
informasi (information assumptions).
Asumsi sifat manusia dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: (1) self-interest, yaitu
sifat manusia untuk mengutamakan
kepentingan diri sendiri, (2) boundedrationality, yaitu sifat manusia yang
memiliki keterbatasan rasionalitas, dan

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

77

(3) risk aversion, yaitu sifat manusia yang


lebih memilih mengelak dari risiko.
Asumsi keorganisasian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) konflik
sebagian tujuan antar partisipan, (2)
efisiensi sebagai suatu kriteria efektifitas,
dan (3) asimetri informasi antara pemilik
dan agen. Asumsi informasi merupakan
asumsi yang menyatakan bahwa
informasi merupakan suatu komoditas
yang dapat dibeli. Teori keagenan
lebih menekankan pada penentuan
pengaturan kontrak yang efisien dalam
hubungan pemilik dengan agen. Kontrak
yang efisien adalah kontrak yang jelas
untuk masing-masing pihak yang berisi
tentang hak dan kewajiban, sehingga
dapat meminimumkan konflik keagenan.
Dalam praktik pelaporan keuangan,
manajemen sering menyajikan informasi
yang tidak sama dengan kejadian
yang
sebenarnya
atau
membuat
laporan keuangan itu tampak bagus,
hal ini dilakukan manajemen untuk
menunjukkan bahwa kinerjanya bagus
pada perioda tersebut kepada setiap
orang yang membaca laporan keuangan
perusahaan. Berdasarkan hal tersebut,
manajemen telah melanggar prinsip GCG,
yaitu transparancy (keterbukaan). Akibat
adanya perilaku manajemen yang tidak
transparan dalam penyajian informasi
ini akan menyebabkan terjadinya konflik
antara prinsipal dan agen dan juga akan
menjadi penghalang penerapan praktik
GCG pada perusahaan-perusahaan
yang ada. Menurut Jensen dan Meckling
(1976) adanya masalah keagenan akan
menimbulkan biaya keagenan (agency
cost), yang terdiri dari:
a. The monitoring expenditures by
the principle. Biaya monitoring

78

dikeluarkan oleh prinsipal untuk


memonitor perilaku agen, termasuk
juga usaha untuk mengendalikan
(control) perilaku agen melalui
budget restriction dan compensation
policies.
b. The bonding expenditures by the
agent. The bonding cost dikeluarkan
oleh agen untuk menjamin bahwa
agen tidak akan menggunakan
tindakan
tertentu
yang
akan
merugikan prinsipal atau untuk
menjamin bahwa prinsipal akan
diberi kompensasi jika ia tidak
mengambil banyak tindakan.
c. The residual loss yang merupakan
penurunan tingkat kesejahteraan
prinsipal maupun agen setelah
adanya hubungan keagenan.
Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Organization of Economic
Cooperation and Development ( 2004)
GCG adalah suatu sistem dimana sebuah
perusahaan atau entitas bisnis diarahkan
dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka
struktur dari GCG menjelaskan distribusi
hak-hak dan tanggung jawab dari masingmasing pihak yang terlibat dalam sebuah
bisnis, antara lain dewan komisaris dan
direksi, manajer, pemegang saham, serta
pihak-pihak lain yang terkait sebagai
stakeholders. Selanjutnya, struktur dari
GCG juga menjelaskan bagaimana
aturan dan prosedur dalam pengambilan
dan pemutusan kebijakan sehingga
dengan melakukan itu semua maka
tujuan perusahaan dan pemantauan
kinerjanya dapat dipertangungjawabkan
dan dilakukan dengan baik.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Menurut Forum for Corporate


Governance in Indonesia (2001) GCG
didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya sehubungan dengan hakhak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan. Menurut
The Indonesian Institute for Corporate
Governance (2000) GCG adalah proses
dan struktur yang diterapkan dalam
menjalankan perusahaan, dengan tujuan
utama meningkatkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang, dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholders yang lain. Menurut
Rahmawati (2004) dalam Putri (2006)
GCG didefinisikan sebagai seperangkat
aturan dan prinsip-prinsip antara lain
fairness, transparancy, accountability,
independency dan responsibility, yang
mengatur hubungan antara pemegang
saham, manajemen, perusahaan (direksi
dan komisaris), kreditur, karyawan serta
stakeholders lainnya yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban masingmasing pihak.
Berdasarkan definisi atau pengertian
GCG dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya GCG adalah mengenai sistem,
proses, dan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
Pihak-pihak
yang
berkepentingan
tersebut terdiri atas pihak internal yang
bertugas mengelola perusahaan dan
pihak eksternal yang meliputi pemegang
saham, kreditur dan lain-lain, demi
tercapainya tujuan perusahaan. GCG

berusaha menjaga keseimbangan di


antara pencapaian tujuan ekonomi dan
tujuan masyarakat.
Menurut Surat Keputusan Menteri
Badan Usaha Milik Negara Nomor: Kep117/M-Mbu/2002 tentang Penerapan
Praktik Good Corporate Governance
(GCG). Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dijelaskan bahwa
GCG adalah suatu proses dan struktur
yang digunakan oleh organ BUMN
untuk
meningkatkan
keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna mewujudkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholders lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai
etika. Jadi, GCG dapat diartikan sebagai
suatu proses dan struktur yang digunakan
untuk
meningkatkan
keberhasilan
usaha, dan akuntabilitas perusahaan
yang bertujuan untuk meningkatkan
nilai perusahaan dalam jangka panjang
dengan memperhatikan kepentingan
stakeholders
serta
berlandaskan
peraturan perundang-undangan, moral
dan nilai etika.
Pengaruh
Good
Corporate
Governance (GCG) Terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan
Penelitian yang dilakukan oleh
Bauer et al. (2003) mengenai penerapan
GCG
di
perusahaan-perusahaan
Eropa. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
pengaruh
penerapan
GCG terhadap firm valuation yang di
proxy dengan Tobins Q dan kinerja
perusahaan yang di proxy dengan Return
on Equity (ROE) dan Net Profit Margin

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

79

(NPM). Sampel yang digunakan dalam


penelitian tersebut adalah perusahaanperusahaan yang termasuk dalam FTSE
Eurotop 300 selama perioda 2000 sampai
dengan 2001. Pemilihan sampel dalam
penelitian ini menggunakan metoda
nonprobabilitas berdasarkan kriteria
(purposive sampling). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
GCG berpengaruh signifikan terhadap
Tobins Q, ROE dan NPM.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh
Hidayah (2007), yang bertujuan untuk
membuktikan pengaruh penerapan
Corporate Governance terhadap kinerja
perusahaan, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui adanya
pengungkapan
informasi.
Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah
kinerja perusahaan yang diukur dengan
ROE dan Tobins Q sedangkan variabel
independen adalah GCG yang diukur
menggunakan Corporate Governance
Perception Index (CGPI). Penelitian ini
memasukkan pengungkapan informasi
sebagai variabel intervening yang
memediasi pengaruh penerapan GCG
terhadap kinerja perusahaan. Populasi
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah semua perusahaan yang listing di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 20002005. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 50 perusahaan,
yang diambil secara purposive sampling
yaitu perusahaan go public yang terdaftar
di BEI perioda 2000-2005 khususnya di
sektor keuangan dan perusahaan yang
masuk dalam pemeringkatan GCG yang
dilakukan oleh The Indonesian Institute
for Corporate Governance (IICG).
Hasil pengujian hipotesis pertama
menunjukkan bahwa penerapan GCG

80

mempengaruhi pengungkapan informasi.


Hipotesis kedua, menunjukkan bahwa
pengungkapan informasi mempengaruhi
kinerja pasar maupun kinerja operasional.
Namun, hipotesis ketiga tidak terbukti.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
penerapan GCG tidak mempengaruhi
secara langsung kinerja perusahaan.
Penelitian yang sama dilakukan
oleh Pranata (2007), penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh
penerapan Good Corporate Governance
(GCG) (yang diukur dengan skor/indeks
GCG) terhadap Return on Equity (ROE),
Net Profit Margin (NPM), dan Tobins
Q. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 35 perusahaan
yang diambil secara purposive sampling,
dengan kriteria:
1. sampel adalah perusahaan go
public di BEI selama tahun 20022005,
2. perusahaan sampel masuk dalam
kelompok 10 besar perusahaan
berdasarkan indeks GCG.
Data yang digunakan berasal
dari laporan keuangan perusahaan
sampel laporan Corporate Governance
Perception Index (CGPI) dan publikasi
Forum for Corporate Governance in
Indonesia (FCGI) melalui majalah
SWA. Analisis data dilengkapi dengan
uji normalitas. Hasil penelitian ini
menunjukkan: (1) Penerapan GCG
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ROE (b1=1.486, t=5.853,
p=0.000). Radjusted=49.4% hal ini
menunjukkan bahwa perubahan yang
terjadi pada ROE perusahaan sampel,
49.4% penyebabnya adalah perubahan
yang terjadi pada skor penerapan GCG,
sedangkan 50.6% sisanya disebabkan

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

oleh faktor-faktor lain yang tidak tercakup


dalam model regresi; (2) Penerapan
GCG berpengaruh positif dan signifikan
terhadap NPM (b1=1.251; t=5.132;
p=0.000). Radjusted=42.7% hal ini
menunjukkan bahwa perubahan yang
terjadi pada NPM perusahaan sampel,
42.7% penyebabnya adalah perubahan
yang terjadi pada skor penerapan GCG;
sedangkan 57.3% sisanya disebabkan
oleh faktor-faktor lain yang tidak tercakup
dalam model regresi; dan (3) Penerapan
GCG berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Tobins Q (b1=99,057.661,
t=5.706, p=0.000). Radjusted=48.1%
hal ini menunjukkan bahwa perubahan
yang terjadi pada Tobins Q perusahaan
sampel, 48.1% penyebabnya adalah
perubahan yang terjadi pada skor
penerapan GCG, sedangkan 51.7%
sisanya disebabkan oleh faktor-faktor
lain yang tidak tercakup dalam model
regresi.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan
oleh Wardani (2008) tentang pengaruh
Corporate Governance terhadap kinerja
perusahaan di Indonesia. Corporate
Governance diukur dengan CGPI
(Corporate Governance Perception
Indeks) berdasarkan pada pemeringkatan
yang telah disusun oleh IICG (Indonesian
Institute of Corporate Governance) dan
kinerja perusahaan diukur dengan nilai
Return on Equity (ROE) dan Tobins
Q. Metoda statistik yang digunakan
adalah analisis regresi berganda. Sampel
penelitian diambil secara purposive
sampling, yaitu
perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia perioda
2001-2005 dan mengikuti survei yang
dilakukan oleh IICG tahun 2001-2005
dan termasuk dalam pemeringkatan

CGPI. Berdasarkan hasil pengujian


hipotesis dapat diambil simpulan bahwa
Corporate Governance mempengaruhi
nilai kinerja pasar perusahaan. Hal ini
membuktikan bahwa semakin besar nilai
pasar asset maka semakin besar pula
kerelaan investor untuk mengeluarkan
pengorbanan
yang
lebih
untuk
memiliki perusahaan tersebut, sehingga
perusahaan tersebut memiliki brand
image perusahaan yang sangat kuat
karena implementasi GCG berhubungan
dengan peningkatan citra perusahaan.
Perusahaan
yang
mempraktikkan
GCG, akan mengalami perbaikan citra,
dan peningkatan nilai perusahaan.
Namun, Corporate Governance tidak
mempengaruhi secara langsung kinerja
operasional perusahaan. Hal ini
membuktikan bahwa masih rendahnya
kesadaran emiten dalam menerapkan
GCG. Manajemen perusahaan belum
tertarik kepada manfaat jangka panjang
penerapan GCG sehingga mereka
merasa dapat berjalan tanpa GCG.
Beberapa penelitian sebelumnya,
telah membuktikan bahwa penerapan
GCG berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Mengacu pada beberapa penelitian
tersebut, maka penelitian ini akan
membuktikan
apakah
penerapan
Good Corporate Governance (GCG)
dalam perusahaan berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja keuangan
perusahaan yang diukur dengan Return
on Equity (ROE). Pengujian ini memiliki
implikasi terhadap penurunan hipotesis
sebagai berikut:
HA= Terdapat pengaruh penerapan
Good Corporate Governance (GCG)
terhadap Return on Equity (ROE).

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

81

3. Metoda Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh perusahaan go public
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) yang menerapkan prinsip GCG
dari tahun 2002-2008. Sampel dalam
penelitian ini adalah seluruh perusahaan
go public yang termasuk dalam 10 besar
pemeringkatan Corporate Governance
Perception Index (CGPI) yang dilakukan
oleh
The Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG) dan
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2002 sampai dengan tahun 2008.
Sampel
dalam
penelitian
ini
diambil dengan menggunakan metoda
nonprobabilitas (secara tidak acak)
berdasarkan kriteria (purposive sampling).
Menurut Hartono (2007) pengambilan
sampel bertujuan (purposive sampling)
dilakukan dengan mengambil sampel
dari populasi berdasarkan suatu kriteria
tertentu. Kriteria yang digunakan dapat
berdasarkan pertimbangan (judgment)
tertentu atau jatah (quota) tertentu.
Kriteria yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan-perusahaan go public
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) tahun 2002-2008.
2. Perusahaan-perusahaan go public
yang menerbitkan laporan keuangan
dari tahun 2002-2008.
3. Perusahaan-perusahaan go public
yang masuk dalam 10 besar
pemeringkatan penerapan GCG
yang dilakukan oleh The Indonesian
Institute for Corporate Governance
(IICG) dari tahun 2002-2008.

82

Teknik Pengumpulan Data


Menurut Hartono (2007) teknik
pengumpulan data dalam penelitian
dapat menggunakan strategi pengamatan
langsung (direct observation), strategi
opini (opinion), strategi arsip (archival),
strategi analitikal (analytical). Dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah dengan
menggunakan strategi arsip untuk
mendapatkan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber.
Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari buku
referensi, literatur, internet dan datadata yang diambil dari Pojok Bursa
Efek Indonesia Universitas Kristen
Maranatha. Data yang diambil adalah
laporan
keuangan
perusahaanperusahaan go public yang terdaftar di
BEI dari tahun 2002 sampai tahun 2008
yang telah menerapkan GCG dalam
perusahaannya dan masuk dalam 10
besar pemeringkatan penerapan GCG
yang dilakukan oleh IICG, serta laporan
dari IICG mengenai skor penerapan
GCG untuk perusahaan-perusahaan
go public yang masuk dalam 10 besar
pemeringkatan penerapan GCG.
Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan 2
variabel yaitu:
1. Penerapan GCG sebagai variabel
independen
Penerapan GCG adalah seberapa

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

baik suatu perusahaan menerapkan


GCG. Pengukuran penerapan GCG
dilakukan dengan menggunakan
skor GCG yang dipublikasikan
oleh IICG, indeks yang digunakan
untuk memberikan skor berupa
angka mulai dari 0 sampai 100, jika
perusahaan memiliki skor mendekati
atau mencapai nilai 100 maka
perusahaan tersebut semakin baik
dalam menerapkan GCG. Menurut
Anggreni (2010) penentuan skor total
untuk GCG terbaik didasarkan pada
perhitungan rata-rata tertimbang,
dengan rincian bobot per kriteria
sebagai berikut:
a. RiS-Hak-hak Pemegang Saham =
20%
b. Ets-Perlakuan
yang
Setara
Terhadap Pemegang Saham =
15%
c. RoS-Peran
Para
Pemangku
Kepentingan = 15%
d. DT-Keterbukaan dan Transparansi
= 25%
e. ResB-Tanggung jawab Dewan =
25%
Menurut Anggreni (2010) pemeringkatan CGPI didesain menjadi 4
kategori berdasarkan tingkat/level
terpercaya yang dapat dijelaskan
menurut skor penerapan GCG,
sebagai berikut:
a. 95%-100% : excellence
b. 80%-89% : good
c. 60%-79% : fair
d. < 60% : poor

Kinerja keuangan diukur dengan data


fundamental perusahaan yaitu data
yang berasal dari laporan keuangan.
Kinerja keuangan dalam penelitian
ini diukur dengan menggunakan
Return on Equity (ROE).
Menurut Riyanto (1995) Return on
Equity (ROE) adalah perbandingan
antara jumlah laba yang tersedia bagi
pemilik modal sendiri di satu pihak
dengan jumlah modal sendiri yang
menghasilkan laba tersebut di pihak
lain atau dengan kata lain rentabilitas
modal sendiri adalah kemampuan
suatu perusahaan dengan modal
sendiri yang bekerja di dalamnya
untuk menghasilkan keuntungan
laba. Menurut Brigham dan Gapenski
(1996) ROE adalah kemampuan
perusahaan dalam menggunakan
modalnya untuk memperoleh laba.
Menurut Wardani (2008) ROE
digunakan untuk mengukur tingkat
pengembalian dari total ekuitas.
ROE menggambarkan kemampuan
modal sendiri untuk menghasilkan
keuntungan bagi pemegang saham,
karena dalam ROE yang digunakan
sebagai pengukur efisiensi adalah
besarnya laba bersih dari jumlah
modal sendiri yang digunakan
perusahaan. Jadi, ROE merupakan
tingkat hasil pengembalian investasi
bagi pemegang saham.
ROE dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

2. Return on Equity (ROE) sebagai


variabel dependen
Kinerja keuangan merefleksikan
kinerja fundamental perusahaan.

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

83

Model Analisis Data dan Pengujian


Hipotesis
Metoda analisis data statistika dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis
regresi linear sederhana. Analisis regresi
linear sederhana dilakukan bila jumlah
variabel bebasnya (variabel independen)
berjumlah 1 (Ghozali, 2006). Pengolahan
data yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan program SPSS versi 17.0
dengan menggunakan metoda analisis
regresi linear sederhana. Variabel yang
digunakan dalam metoda ini terdiri dari
variabel bebas (variabel independen)
yaitu Good Corporate Governance
(GCG), sedangkan variabel terikat
(variabel dependen) adalah kinerja
keuangan perusahaan. Sebelum analisis
regresi linear sederhana digunakan
untuk menguji hipotesis, terlebih dahulu
harus dilakukan uji asumsi klasik yaitu
uji normalitas dan uji autokorelasi.

4. Hasil Penelitian Dan


Pembahasan

1. Uji Normalitas Data


Uji normalitas merupakan syarat
yang penting pada pengujian
statistik parametrik, apabila data
pengamatan tidak berdistribusi
normal maka analisis parametrik
tidak dapat digunakan, karena uji
statistik dalam analisis parametrik
diturunkan dari distribusi normal.
Pada penelitian ini digunakan
analisis statistik untuk menguji
normalitas data.

84

analisis

statistik,

Tabel I
Uji normalitas
One-Sample Kolmogorov
Smirnov Test

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
Sumber: Pengolahan Data SPSS
17.0

Uji Asumsi Klasik

Dalam

normalitas data dapat dilakukan


dengan alat uji satu sampel
Kolmogorov-Smirnov.
Apabila
nilai signifikansi lebih besar dari
0,05, maka data itu berdistribusi
normal
dan
apabila
nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05,
maka data itu berdistribusi tidak
normal. Hasil uji normalitas data
dengan menggunakan software
SPSS didapat hasil sebagai berikut:

uji

Berdasarkan tabel I, dapat dilihat


bahwa nilai signifikansi GCG
dan ROE pada uji KolmogorovSmirnov lebih besar dari 0,05. Hal
ini dapat diartikan bahwa data
berdistribusi normal dan dapat
dilakukan analisis lebih lanjut.
2. Uji Autokorelasi Data
Uji autokorelasi digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

autokorelasi,
yaitu
korelasi
yang terjadi antara residual
pada satu pengamatan dengan
pengamatan lainnya pada model
regresi. Metoda pengujian yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah Uji Durbin-Watson (uji
DW) dan dengan menggunakan
bantuan software SPSS maka
didapat hasilnya sebagai berikut:
Tabel II
Uji autokorelasi
Model Summaryb

a. Predictors: (Constant), GCG


b. Dependent Variable: ROE
Sumber: Pengolahan Data SPSS
17.0
Berdasarkan tabel II, dapat dilihat
bahwa nilai DW sebesar 2,123.
Nilai ini akan dibandingkan
dengan nilai tabel dengan
menggunakan nilai signifikansi
sebesar 0,05, dengan jumlah
sampel sebanyak 70 (n=70) dan
jumlah
variabel
independen
sebanyak 1 (k=1), maka dari tabel
Durbin Watson akan didapatkan
nilai untuk batas bawah (DL)
sebesar 1,429 dan nilai untuk
batas atas (DU) sebesar 1,485.
Nilai DW lebih besar dari nilai
DU dan lebih kecil dari nilai
4-DU (DU<DW<4-DU) yaitu
1,485<2,123<2,515, maka dapat
disimpulkan bahwa data yang
diuji tidak terjadi autokorelasi
baik positif maupun negatif dan

model regresi dapat digunakan


sebagai model penelitian.
Analisis Regresi Linear Sederhana
Persamaan
model
regresi
digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh antara
variabel X yaitu penerapan GCG
terhadap variabel Y yaitu ROE
pada
perusahaan-perusahaan
go public yang termasuk dalam
kelompok 10 besar pemeringkatan
GCG yang dilakukan oleh IICG
dari tahun 2002-2008 dengan
menggunakan model analisis
regresi linear sederhana. Model
persamaannya adalah sebagai
berikut:

Y= a+bX

a dan b= konstanta dari persamaan


regresi.
X= variabel independen (GCG).
Y= variabel dependen (ROE).
Setelah dilakukan pengolahan
data analisis regresi linear
sederhana dengan menggunakan
bantuan software SPSS didapat
hasil sebagai berikut:
Tabel III
Analisis regresi linear sederhana
Coefficientsa

a. Dependent Variable: ROE


Sumber: Pengolahan Data SPSS
17.0

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

85

Dari tabel ini diperoleh nilai


t-hitung sebesar 0,005 dan untuk
nilai signifikansi diperoleh sebesar
0,996.
Dasar pengambilan keputusan
untuk pengujian dua sisi adalah
sebagai berikut:
1. Nilai Signifikansi < Taraf
Signifikan ( ): H0 Ditolak
2. Nilai Signifikansi Taraf
Signifikan ( ): H0 Diterima
Berdasarkan
hasil pengolahan
data yang telah dilakukan
diperoleh hasil bahwa nilai
signifikansi sebesar 0,996, hal ini
lebih besar dari taraf signifikan
sebesar 0,05 yang menunjukkan
bahwa H0 diterima. H0 diterima
artinya tidak terdapat pengaruh
penerapan
Good
Corporate
Governance (GCG) terhadap
Return on Equity (ROE).
Pembahasan
Setelah
dilakukan
pengujian
terhadap
hipotesis
yang
ada
menunjukkan
bahwa
variabel penerapan GCG tidak
berpengaruh terhadap variabel
ROE, hal ini dapat dilihat dari
nilai signifikansi sebesar 0,996
(lebih besar dari taraf signifikan
sebesar 0,05). Hasil pengujian
dalam penelitian ini menunjukkan
hasil yang tidak sesuai dengan
penelitian-penelitian sebelumnya,
seperti penelitian yang telah
dilakukan oleh Bauer et al. (2003),
Pranata (2007), dan Wardani
(2008) yang menunjukkan bahwa

86

penerapan GCG berpengaruh


terhadap
kinerja
keuangan
perusahaan. Namun penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Hidayah
(2007)
yang
menunjukkan
bahwa penerapan GCG tidak
mempengaruhi secara langsung
kinerja perusahaan.
Secara teoritis penerapan GCG
berpengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan, tetapi
setelah dilakukan penelitian di atas
menunjukkan bahwa penerapan
GCG tidak berpengaruh terhadap
kinerja keuangan perusahaan,
mungkin
disebabkan
oleh
beberapa hal, sebagai berikut:
1. Penerapan GCG dirasakan
oleh perusahaan-perusahaan
go public sebagai suatu
tuntutan terhadap peraturan
yang ada, bukan sebagai
kebutuhan
yang
penting
bagi perusahaan, sehingga
kurang adanya kesadaran
dari perusahaan-perusahaan
tersebut untuk menerapkan
GCG.
2. Perusahaan-perusahaan
go
public yang ada di Indonesia
baru
menerapkan
GCG
setelah adanya krisis ekonomi
yang
melanda
Indonesia
pada tahun 1997, padahal
penerapan GCG itu tidak
dapat
dilakukan
secara
langsung atau jangka pendek,
karena dalam menerapkan
GCG membutuhkan waktu,

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

planning,
dan
informasi
tentang karakteristik, budaya,
dan hubungan antar organ
perusahaan.
3. IICG sebagai lembaga yang
memberikan
skor
pada
perusahaan-perusahaan
go
public
yang
menerapkan
GCG baru mengeluarkan
program CGPI sejak tahun
2001, sehingga sebelum tahun
2001 tidak ada lembaga yang
mempublikasikan skor GCG
kepada stakeholders.
4. Penerapan
GCG
lebih
bersifat jangka panjang dan
perhitungan
profitabilitas
lebih bersifat jangka pendek,
sehingga penerapan GCG tidak
dapat diukur keberhasilannya
dengan menggunakan satu perioda akuntansi saja.
5 . Manajemen p erusahaan
perusahaan go public tersebut
belum
tertarik
dengan
manfaat jangka panjang yang
ditawarkan dari penerapan
GCG bagi perusahaannya.
6. Banyak
dari
manajemen
perusahaan-perusahaan
go public belum mengerti
secara mendalam kelima
prinsip dasar dalam GCG
sehingga tidak tertarik dalam
menerapkan GCG dalam
perusahaannya. Misalnya: ada
perusahaan yang beranggapan
bahwa transparansi itu berarti
membuka
rahasia-rahasia

penting perusahaan kepada


pihak luar sehingga akan
mengancam
keberadaan
perusahaan dalam menjual
produk dan jasanya.

5. SImpulan dan Saran


Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat pengaruh penerapan Good Corporate
Govenarance (GCG) yang diukur dengan
menggunakan skor penerapan GCG
yang dipublikasikan oleh IICG terhadap
kinerja keuangan perusahaan yang diukur
dengan menggunakan Return on Equity
(ROE) pada perusahaan-perusahaan go
public yang termasuk kelompok sepuluh
besar menurut Corporate Governance
Perception Index (CGPI).
Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 70 perusahaan
yang
dipilih
secara
purposive
sampling. Pengujian hipotesis yang
dilakukan dalam penelitian ini dengan
menggunakan metoda statistik uji-t,
tetapi sebelum melakukan pengujian
hipotesis dengan metoda statistik ini,
dilakukan uji asumsi klasik, yaitu uji
normalitas data dan uji autokorelasi.
Berdasarkan pengujian hipotesis dan
analisis data yang telah dilakukan dalam
penelitian ini dapat diperoleh simpulan
mengenai pengaruh penerapan GCG
terhadap kinerja keuangan perusahaan,
sebagai berikut:
1. Variabel penerapan GCG (X) tidak
berpengaruh terhadap variabel ROE
(Y) karena nilai signifikansi sebesar
0,996 lebih besar dari taraf signifikan

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

87

sebesar 0,05.
2. Variabel penerapan GCG tidak
berpengaruh
terhadap
kinerja
keuangan perusahaan.
Keterbatasan Penelitian
Penelitan ini memiliki beberapa
keterbatasan yang dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan hasil
penelitian yang lebih baik. Adapun
keterbatasan penelitian tersebut, sebagai
berikut:
1. Variabel independen (variabel bebas)
yang digunakan dalam penelitian ini
hanya 1, yaitu penerapan GCG yang
diukur dengan menggunakan skor
penerapan GCG yang dipublikasikan
oleh IICG.
2. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini hanya menggunakan
perusahaan-perusahaan go public
yang termasuk dalam kelompok 10
besar menurut Corporate Governance
Perception Index (CGPI).
3. Perusahaan-perusahaan go public
yang dijadikan sebagai sampel dalam
penelitian ini berbeda-beda dari
tahun 2002-2008, hal ini disebabkan
karena yang masuk dalam kelompok
10 besar menurut CGPI berbedabeda setiap tahunnya tergantung dari
skor penerapan GCG yang dihitung
oleh IICG berdasarkan kriteria yang
ditetapkan setiap tahunnya.
4. Variabel dependen (variabel terikat)
yang digunakan dalam penelitian ini
hanya 1, yaitu ROE untuk mengukur
kinerja
keuangan
perusahaan
sedangkan masih banyak indikator
lain untuk mengukur kinerja
keuangan perusahaan, seperti: Net

88

Profit Margin (NPM), Return on Asset


(ROA), dan Return on Investment
(ROI).
Saran
Berdasarkan hasil analisis pembahasan serta beberapa simpulan dan
keterbatasan pada penelitian yang telah
dilakukan ini, adapun saran-saran yang
dapat diberikan melalui hasil penelitian
ini agar mendapatkan hasil yang lebih
baik untuk penelitian selanjutnya,
sebagai berikut:
1. Memperbanyak jumlah sampel yang
ada dalam penelitian, sehingga tidak
hanya perusahaan-perusahaan go
public yang termasuk kelompok 10
besar menurut CGPI saja tetapi juga
seluruh peserta yang ikut dalam
CGPI tersebut setiap tahunnya.
2. Perusahaan-perusahaan go public
yang dijadikan sebagai sampel dalam
penelitian harus sama dari tahun ke
tahun.
3. Menggunakan
indikator
lain
selain skor penerapan GCG yang
dipublikasikan oleh IICG untuk
mengukur penerapan GCG pada
perusahaan-perusahaan go public.
4. Menggunakan indikator lain selain
ROE untuk mengukur kinerja
keuangan perusahaan-perusahaan
go public.

DAFTAR PUSTAKA
Anggreni, P. (2010). Penerapan Good
Corporate
Governance.
Investor,
XII/202, hal. 84-90.
Bauer, R., G. Nadja, dan Roger. (2003).
Empiricial Evidance on Corporate

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Governance in Europe: The Effect


on Stock Return, Firm Value and
Performance, Forthcoming. Journal of
Asser Management, Oktober 2003,
hal. 34-54.
Brigham, dan Gapenski. (1996).
Intermediate Financial Management.
Fifth edition. Orlando: The Dryden
Press.
Eisenhardt, K. M. (1989). Agency Theory:
An Assesment and Review. Academy
of Management Review, 14, hal. 5774.
Forum for Corporate Governance in
Indonesia.
(2001).
Corporate
Governance: Tata Kelola Perusahaan.
Edisi Ketiga. Jakarta: Prentice Hall.
Forum for Corporate Governance in
Indonesia.
(2001).
Corporate
Governance:
Tantangan
dan
Kesempatan bagi Komunitas Bisnis
Indonesia. Jakarta: Prentice Hall.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis
Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Hartono, J. (2007). Metodologi Penelitian
Bisnis: Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman.
Yogyakarta:
BPFE
Yogyakarta.
Hidayah, E. (2007). Penerapan Corporate
Governance,
Pengungkapan
Informasi, dan Kinerja Perusahaan
di Perusahaan Public Indonesia.
Penelitian. Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.
Jensen, M., dan W. H. Meckling. (1976).
Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership
Structure.
Journal
of
Financial
Economics 3, hal. 304 360.
Organization for Economic Cooperation
and Development. (2004). OECD
Principles of Corporate Governance
2004. The OECD Paris.

Pranata, Y. (2007). Pengaruh Penerapan


Corporate Governance Terhadap
Kinerja
Keuangan
Perusahaan.
Penelitian. Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.
Putri, W. (2006). Analisis Pengaruh
Corporate Governance dan Jumlah
Komisaris
Terhadap
Kinerja
perusahaan. Penelitian. Universitas
Islam Indonesia. Yogyakarta.
Riyanto, B. (1995). Dasar-dasar
Pembelanjaan Perusahaan.
Edisi
keempat. Yogyakarta: BPFE.
Sulistyanto, H. S., dan R. Lidyah. (2002).
Good Governance: Antara Idealisme
dan Kenyataan. Modus, 14 (1),
Februari, hal. 19-30.
Surat Keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara No. Kep-117/MMbu/2002 tentang: Penerapan Praktik
Good Corporate Governance (GCG)
Pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
The Indonesian Institute for Corporate
Governance. (2000). Peranan Dewan
Komisaris dan Komite Audit dalam
Pelaksanaan Corporate Governance
(Tata Kelola Perusahaan). Jakarta:
Prentice Hall.
Wardani, D. K. (2008). Pengaruh Corporate
Governance
Terhadap
Kinerja
Perusahaan di Indonesia. Penelitian.
Universitas
Islam
Indonesia.
Yogyakarta.

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Keuangan


Perusahaan: Studi Empirik Pada Perusahaan Go Public Yang Termasuk Kelompok Sepuluh
Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI) Di Bursa Efek Indonesia

89

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung


Pembangunan Infrastruktur Bisnis
Ocktavianus Hartono

ABSTRACT
Opening Act of 1945 fourth paragraph states that one of the goals of the Republic of
Indonesia is the welfare of all Indonesian people. One way is to implement the welfare of
the people in the field of business development and investment.Development in the areas
of Business and investment will absorb a lot of labor because the field of business and
investment is not a field that can stand alone.Business development and investment will
encourage other supporting factors that support the business activities and investment for
development co-evolve along with the evolving business and investment in the country.
This means that by developing business and investment in a country, then by itself will
open up employment opportunities in many other occupations that have a relationship
with the world of business and investment, one of which is development in the field of
business infrastructure such as road construction as a means of transport that supports
business and also the construction of buildings and places needed to conduct business
activities. However, infrastructure development undertaken in order to sustain current
business and investment is often not without problems because development tends to
have negative consequences, one of which is for the environment. Implementation of
infrastructure development business requires a space or environment to accommodate
such development. In big cities green space is often sacrificed to the conversion into
the region woke up. This becomes a problem, because most of the green open land in
major cities is now covered by roads, buildings and others. Development of business
infrastructure regardless of the governance of space raises many problems for the area
such as flooding, air pollution, fewer supplies of clean water, etc. However this is still
happening because of weak law enforcement for the parties to establish a violation of city
zoning.
The purpose of this study was to determine, whether the best solution that can be applied
in conducting the business of infrastructure development and investment for infrastructure
development are basically good and can improve peoples welfare, but the infrastructure
is often poorly planned development that eventually led to many problems arise. Thats
why the construction of this infrastructure must be planned and pay attention to the
governance of space. The role of the law here is a guide line to implement development
because the law is a rule that must be complied with and implemented by everyone and
there will be sanctions for noncompliance. The results of this study is expected to be a
material consideration for the government in making policies especially those related to
the field of development.
Key words: the states purpose, legal construction

90

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

1. Pendahuluan
Pembangunan adalah segala upaya
yang dilakukan oleh semua komponen
bangsa
dalam
rangka
mencapai
tujuan bernegara dimana salah satu
tujuan Negara Republik Indonesia
sesuai dengan pembukaan UndangUndang Dasar 1945 alinea ke empat
adalah mensejahterakan seluruh rakyat
Indonesia. Hal ini sesuai dengan definisi
pembangunan
menurut
Bambang
Sugono yaitu:
pembangunan
pada
dasarnya
merupakan campur tangan manusia
terhadap hubungan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungan hidupnya
dalam upayanya untuk memanfaatkan
sumber daya alam bagi kepentingannya,
guna meningkatkan taraf hidupnya. 1
Definisi pembangunan menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
adalah
proses,
cara,
perbuatan
membangun.
Perbuatan
bangunan
harus dilaksanakan berdasarkan prinsip
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan. Pelaksanaan
pembangunan dalam rangka mencapai
tujuan negara haruslah pembangunan
dalam berbagai aspek pembangunan,
minimal pembangunan harus dilakukan
dalam bidang ekonomi, bidang sosial
dan bidang perlindungan lingkungan.
Namun hingga saat ini, pembangunan
yang dilakukan di Indonesia khususnya
di kota-kota besar adalah pembangunan
yang terfokus pada pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial.
Contohnya adalah Jakarta, pembangunan
ekonomi dan sosial dapat dikatakan

sukses di Jakarta, tetapi apabila kita


melihat pembangunan lingkungan,
maka kita dapat mengatakan bahwa
pembangunan di Jakarta adalah gagal.
Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 mensyaratkan bahwa idealnya
setiap provinsi idealnya memiliki Ruang
Terbuka Hijau (RTH) seluas 30% dari
total wilayahnya. Saat ini Jakarta hanya
memiliki 9,6% RTH dari luas total
wilayahnya.
Belajar dari kota Jakarta, maka
pembangunan yang dilakukan haruslah
pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan. Pembangunan berwawasan
lingkungan adalah: 2
Upaya sadar dan berencana
untuk menggunakan dan mengelola
sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesimpulan
(berkelanjutan) untuk meningkatkan
mutu hidup.
Pengelolaan secara bijaksana di
sini artinya harus mempertimbangkan
dan memperhitungkan dampak pembangunan bagi lingkungan. Oleh
karena itu pembangunan haruslah
direncanakan dengan baik, sehingga
pembangunan
yang
dilaksanakan
adalah pembangunan yang melibatkan
segala aspek bukan hanya beberapa
aspek pembangunan. Pembangunan
yang baik adalah pembangunan
yang
mensinergikan
kehidupan
dan
mewujudkan
berkelanjutan.
Pembangunan yang mensinergikan
kehidupan dan mewujudkan keberlanjutan
akan
terwujud
dengan
adanya aturan yang mengarahkan dan
membatasi pembangunan tersebut. Hal
ini sesuai dengan pendapat Mochtar

1 Bambang Suggono, Hukum, Lingkungan, dan Dinamika Kependudukan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,

hlm.8.

2 Ibid, hlm.10.

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan


Infrastruktur Bisnis

91

Kusumaatmadja
yang
mengatakan
bahwa hukum memiliki fungsi sebagai
sosial engineering yang diperkuat oleh
pendapat Soerjono Soekanto yaitu
hukum juga memiliki peran sebagai
sosial control:
Peran hukum dalam pembangunan
bukan hanya sekedar sebagai as a tool of
sosial engineering yang berperan untuk
mengadakan perubahan-perubahan di
dalam masyarakat, sebagaimana yang
pernah diungkapkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja
bahwa
sebagai
sarana pembaruan masyarakat, hukum
bertugas sebagai penyalur kegiatan
manusia kearah yang dikehendaki
oleh pembangunan. 3 Hukum juga
berperan sebagai as a tool of sosial
control dalam arti berperan sebagai
alat untuk mempertahankan stabilitas
masyarakat atau dengan kata lain,
berperan untuk mempertahankan apa
yang telah menjadi sesuatu yang tetap
dan diterima di dalam masyarakat. 4

2. Pembangunan
Pembangunan adalah proses membangun yang dilakukan oleh berbagai
pihak, dengan tujuan meningkatkan
taraf hidup. Pada saat ini, pembangunan
yang dilahirkan seringkali dilakukan
secara
tidak
seimbang
sehingga
menyebabkan berbagai permasalahan
khususnya bagi lingkungan. Untuk
mengurangi permasalah yang sudah ada,
maka pembangunan yang dilakukan
saat
ini
haruslah
pembangunan
yang berwawasan lingkungan, yaitu
pembangunan
yang
berprinsip
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan

generasi masa depan. Salah satu faktor


yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana memperbaiki kehancuran
lingkungan
tanpa
mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan
keadilan sosial.
Dalam pelaksanaan pembangunan,
sumber-sumber alam dapat digunakan,
namun
penggunaannya
harus
secara rasional. Pembangunan yang
menggunakan sumber daya alam harus
diusahakan agar tidak merusak tata
lingkungan dan dilaksanakan dengan
bijaksana dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang.
Laporan
PBB,
yang
terakhir
dalam laporan dari KTT Dunia 2005,
menjabarkan bahwa
pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan
yang terdiri dari tiga pokok utama yaitu
pembangunan ekonomi, pembangunan
sosial, pembangunan lingkungan. Ketiga
pokok pembangunan ini haruslah saling
bergantung dan memperkuat antara yang
satu dengan yang lainnya. Pembangunan
ekonomi adalah pembangunan dimana
tujuan utamanya adalah menaikkan
pendapatan
perkapita
masyarakat
dengan
memperhitungkan
adanya
pertambahan penduduk disertai dengan
perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi suatu negara dan pemerataan
pendapatan bagi penduduk suatu
negara. Dengan kata lain, pembangunan
ekonomi adalah pembangunan dengan
tujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Pembangunan sosial adalah
pembangunan yang memiliki tujuan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan
manusia, yaitu pembangunan yang

3 A.Mukti Fadjar, Negara Hukum dan Pembangunan, Arena Hukum, No 4, Desember 1987, hlm.30.
4 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta, 1973, hlm.58.

92

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

memenuhi kebutuhan manusia yang


terentang mulai dari kebutuhan fisik
sampai kebutuhan sosial. Sedangkan
pembangunan lingkungan adalah upaya
sadar dan berencana menggunakan
dan mengelola sumber daya secara
bijaksana dalam pembangunan yang
terencana dan berkesinambungan untuk
meningkatkan mutu hidup.
Tujuan dari pembangunan berwawasan lingkungan sesuai dengan
pasal 4 Undang-Undang Lingkungan
Hidup bertujuan untuk;
1. Tercapainya keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan
hidup sebagai tujuan membangun
manusia Indonesia seutuhnya;
2. Terkendalinya pemanfaatan sumber
daya secara bijaksana;
3. Terwujudnya manusia Indonesia
sebagai Pembina lingkungan hidup;
4. Terlaksananya
pembangunan
berwawasan
lingkungan
untuk
kepentingan generasi sekarang dan
mendatang;
5. Terlindunginya negara terhadap
dampak kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan kerusakan
dan pencemaran lingkungan.
Jadi
dalam
pembangunan
berwawasan lingkungan ada 3 unsur
penting, yaitu: 5
1. Penggunaan/pengelolaan sumber
daya secara bijaksana.
2. Menunjang pembangunan yang
berkesinambungan.
3. Meningkatkan mutu hidup.

3. Lingkungan hidup dan Tata


Ruang
Konsekuensi pembangunan adalah
membutuhkannya suatu ruang atau
lingkungan
untuk
melaksanakan
pembangunan tersebut. Definisi ruang
menurut Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang adalah:
Wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Penjelasan pasal 1 diatas menurut
penjelasan Undang-Undang Nomor 26
tahun 2007 maka definisi ruang adalah
wilayah Negara Republik Indonesia,
baik sebagai kesatuan wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi, maupun sebagai sumber daya,
merupakan karunia Tuhan yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola
secara berkelanjutan. Pembangunan
dalam rangka memelihara kelangsungan
hidup manusia dapat memanfaatkan
segala ruang yang ada yang merupakan
wilayah Republik Indonesia.
Lingkungan hidup menurut Emil
salim adalah: 6
secara umum lingkungan hidup
diartikan sebagai benda, kondisi
keadaan dan pengaruh yang terdapat
dalam ruangan yang kita tempati dan
mempengaruhi hal yang hidup termasuk

5 Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga, Jakarta, 1987, hlm.145.
6 Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta 1982, hlm.34.

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan


Infrastruktur Bisnis

93

kehidupan manusia. Batas ruang


lingkungan menurut pengertian ini bisa
sangat luas, namun untuk praktisnya
kita batasi ruang lingkungan dengan
faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh
manusia seperti faktor alam, faktor
politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan
lain-lain
Sedangkan
definisi
lingkungan
hidup menurut Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan
Pokok Lingkungan Hidup adalah:
kesatuan ruang dengan semua
benda, daya keadaan dan mahluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan peri kehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya
Pembangunan
yang
dilakukan,
terutama di kota-kota seringkali kurang
memperhatikan
aspek
lingkungan.
Sehingga sering timbul masalah akibat
pembangunan yang dilakukan tersebut.
Otto Soemarwoto mengatakan dengan
laju pembangunan yang makin tinggi,
pengelolaan lingkungan menjadi sering
ketinggal jauh dari pembangunan dan
sering terhimpit dan dilanda olehnya. 7
Pembangunan selalu menyebabkan
perubahan dalam lingkungan, karena itu
pembangunan seharusnya ditempatkan
pada hubungan yang serasi, selaras,
seimbang, sehingga pembangunan yang
dilakukan tidak bermasalah. Oleh karena
itu, untuk menyeimbangkan kedudukan
antara pembangunan dan lingkungan,
tata ruang harus diutamakan sebelum
pembangunan itu dilaksanakan. Definisi

tata ruang menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang


Penataan Ruang adalah:
wujud struktur ruang dan pola
ruang
Definisi struktur ruang dan pola
ruang menurut Undang-Undang Nomor
26 tahun 2007 adalah:
struktur ruang adalah susunan
pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional.
pola ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang
fungsi budaya
Untuk mewujudkan pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan,
bersinergiskan kehidupan dan mewujudkan
pembangunan,
maka
pembangunan
yang
dilaksanakan
haruslah ditata berdasarkan peruntukan
tiap-tiap ruang yang ada di daerah
tersebut
dengan
memperhatikan
persyaratan-persyaratan yang harus
ada di setiap kota untuk mewujudkan
kota yang ideal. Salah satu yang harus
diperhatikan adalah ketersediaan ruang
terbuka hijau di daerah tersebut.

4. Ruang Terbuka Hijau


Pembangunan yang dilaksanakan
memiliki konsekuensi yaitu permintaan

7 Otto Soemarwoto, Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional saran-saran untuk Garis-

garis Besar Haluan Negara, makalah pada Konperensi II Pusal Lingkungan seluruh Indonesia, Jakarta, 1981,
hlm.4.

94

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

dan pemanfaatan ruang, dalam hal


ini adalah lahan kota. semakin luas
pembangunan yang diinginkan maka
semakin luas juga lahan yang diperlukan.
Dengan keadaan dimana pemerintah
Indonesia
sedang
menggalangkan
pembangunan maka permintaan akan
pemanfaatan lahan kota juga terus
meningkat.
Pembangunan
dalam
berbagai bidang seperti dalam bidang
industri, teknologi, transportasi dan
berbagai pembangunan lainnya sering
mengubah konfigurasi alami lahan atau
ruang perkotaan yang juga menyita
lahan-lahan tersebut. Atas desakan
pembangunan
berbagai
bidang,
maka seringkali lahan-lahan hijau ini
dimanfaatkan karena adanya anggapan
bahwa lahan hijau adalah lahan yang
tidak ekonomis.
Dalam
aspek
pembangunan
lingkungan kemajuan pembangunan
masyarakat kota dapat dikatakan
gagal. Pembangunan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan warga kota
telah menambah jumlah pencemaran
yang
menimbulkan
berbagai
ketidaknyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi kondisi
lingkungan kota yang seperti ini,
maka diperlukan Ruang Terbuka Hijau
(RTH). Dengan adanya RTH seminimal
mungkin pencemaran udara akibat
polusi yang disebabkan oleh kendaraan
akan berkurang. Selain itu, RTH akan
membantu dalam menanggulangi banjir
yang seringkali terjadi di perkotaan.

lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh


tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam,
Berdasarkan definisi di atas, RTH
adalah bagian dari ruang-ruang terbuka
dalam suatu wilayah perkotaan yang diisi
oleh tanaman, tumbuhan dan berbagai
variasi lainnya yang tumbuh secara
alamiah maupun sengaja ditanam guna
mendukung manfaat langsung dan/atau
tidak langsung bagi wilayah perkotaan
tersebut. Macam-macam RTH adalah:
1. Ruang Terbuka Hijau Alamiah yaitu
ruang terbuka hijau yang ada karena
memang sudah terlebih dahulu ada.
Contohnya kawasan hutan lindung,
habitat alami, dll.
2. Ruang Terbuka Hijau Buatan adalah
ruang terbuka hijau yang memang
sengaja dibuat, biasanya terdapat di
perkotaan. Contohnya adalah taman
perkotaan, lapangan olahraga, dll.

Definisi RTH menurut UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 adalah:


area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan


Infrastruktur Bisnis

Fungsi RTH bagi kota antara lain:


1. memberikan perlindungan dan
meningkatkan kandungan sumber
daya penyangga kehidupan
contohnya adalah air bersih.
2. membangun jejaring habitat
kehidupan liar contohnya untuk
burung.
3. mengurangi panas suhu udara.
4. sebagai sarana rekreasi dan
pendidikan lingkungan.
5. mengurangi tingkat pencemaran
udara.
6. meningkatkan kerapihan dan
keteraturan kota.
7. meningkatkan kenyamanan dan
keindahan kota.

95

Dengan melihat fungsi-fungsi RTH


bagi kota, maka sangatlah penting suatu
RTH itu ada pada kota sesuai dengan
batas ideal yaitu 30% dari luas wilayah
kota tersebut.

5. Hukum
Hukum berasal dari bahasa latin
yaitu:
recht yang artinya bimbingan atau
tuntutan atau pemerintahan dan ius yang
artinya mengatur atau memerintah. 8
Kesimpulan dari dua kalimat di
atas maka hukum adalah sesuatu yang
memberikan bimbingan atau tuntutan
yang tujuannya adalah untuk mengatur
atau memerintah. Atau dengan kata
lain hukum adalah segala aturan yang
dibuat oleh orang yang diberi kuasa
(pemerintah dalam hal ini adalah DPR)
untuk membuat peraturan, dimana
peraturan tersebut dibuat dengan tujuan
untuk mengatur kehidupan dalam
masyarakat.
Beberapa definisi hukum menurut
para ahli hukum:
1. Plato, hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur
dan tersusun baik yang mengikat
masayarakat. 9
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai
kumpulan peraturan yang tidak
hanya mengikat masyarakat tetapi
juga hakim. 10
3. Van Kan, hukum ialah keseluruhan
ketentuan-ketentuan penghidupan
yang bersifat memaksa yang diadakan
untuk melindungi kepentingan orang
dalam masyarakat. 11
4. Utrecht, hukum adalah himpunan

petunjuk hidup yang mengatur tata


tertib dalam suatu masyarakat dan
seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan,
oleh
karena
pelanggaran
terhadap
petunjuk
hidup
itu
dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah masyarakat itu.12
Dari pendapat para ahli hukum di
atas dapat disimpulkan bahwa hukum itu
adalah sekelompok aturan yang tersusun
dan mengikat bagi setiap orang yang
bertujuan untuk mengatur masyarakat
sehingga tercipta ketertiban dan keadilan
dalam masyarakat tersebut, dan bagi
yang melanggar aturan tersebut akan
mendapatkan sanksi dari pemerintah
atau orang yang memang diberi kuasa
untuk menjatuhkan hukuman. Dalam
hubungannya dengan pembangunan
yang
bersinergis
kehidupan
dan
mewujudkan
keberlanjutan,
peran
hukum adalah sebagai pedoman
pembangunan. Pembangunan yang
tidak sesuai dengan peraturan yang ada
haruslah dibatalkan dan diberikan sanksi
bagi mereka yang melanggar.

6 Beberapa Undang-Undang
yang Mengatur Pelaksanaan
Pembangunan
Sampai saat ini, kita belum memiliki
Undang-Undang yang mengatur secara
menyeluruh yaitu dari perencanaan
hingga pelaksanaan pembangunan.
Undang-Undang yang ada hingga saat
ini masih bersifat sektoral. Beberapa
undang-undang
yang
mengatur
13
pembangunan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 4 tahun

8 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.24.


9 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Frafika, Jakarta, 2008, hlm.2.
10 Ibid, hlm.2.
11 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.37.
12 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonensia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.6.
13 Paulus Effendie Lotulung, Effektivitas Sanksi Administratif Dalam Rangka Penegakan Hukum Lingkungan Se

96

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

2.

3.

4.

5.

6.

7.

1992 tentang
Perumahan dan
Permukiman, undang-undang ini
mengatur penataan dan pengelolaan
perumahan dan permukiman
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung,
yang diatur oleh undang-undang ini
adalah kegiatan pembangunan yang
meliputi proses perencanaan teknis
dan pelaksanaan konstruksi, serta
kegiatan pemanfaatan, pelestarian,
dan pembongkaran.
Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah,
undang-undang
ini
mengatur
mengenai pelimpahan kewenangan
dari pusat kepada daerah. Melalui
undang-undang ini, daerah diberi
wewenang untuk melaksanakan
pembangunan di daerahnya masingmasing.
Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan DasarDasar Pokok Agraria, hal yang diatur
oleh undang-undang ini adalah
pengaturan peruntukan tanah seperti
untuk kepentingan tempat ibadah,
perkantoran, pertanian, dll.
Undang-Undang
Nomor
23
tahun 2004 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Yang diatur
dalam undang-undang ini adalah
pengelolaan
lingkungan
hidup
termasuk syarat-syarat penataan
lingkungan.
Undang- Undang Nomor 38
tahun 2004 tentang Jalan, undangundang ini mengatur tentang
penyelenggaraan
jalan
sebagai
infrastruktur penting guna menjamin
terselenggaranya kegiatan sosial
ekonomi masyarakat.
Undang-Undang Nomor 26 tahun

2007 tentang Penataan Ruang,


undang-undang
ini
mengatur
administrasi, dan keterpaduan proses
pembangunan.

7. Sanski Administratif Dalam


Penegakan Pembangunan
Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang lebih
berperan sebagai administrasi dimana
yang diatur dalam Undang-Undang ini
adalah keterpaduan proses pembangunan
yang sifatnya administrasif. Karena itu,
sanksi yang ada dalam Undang-Undang
ini adalah sanksi administratif. Sanksi
administrasi yang dapat dijatuhkan
antara lain:
1. Sanksi eksekusi riil (rieile executive),
yakni sanksi yang dilaksanakan:
a. Terhadap kelalaian memenuhi
kewajiban yang ditetapkan di
dalam surat izin.
b. Terhadap pelanggaran suatu
ketentuan
undang-undang,
artinya melakukan sesuatu tanpa
izin.
Sanksi eksekusi riil dilakukan dengan
berbagai jalan, misalnya:
1. mencabut,
mengambil/menghilangkan apa yang merupakan
larangan/pelanggaran.
2. Mencegah untuk melakukan/
melanjutkan apa yang merupakan
larangan/pelanggaran.
3. Mengoper pekerjaan yang tidak
boleh dilakukan oleh siapapun
kecuali pejabat administrasi yang
bersangkutan yang berwenang
khusus untuk itu menurut
undang-undang.

bagai Upaya Pencegahan Pencemaran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.RI tahun
1995/1996, hlm.9-10.

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan


Infrastruktur Bisnis

97

4. Memulihkan kembali keadaan


sesuatu yang diubah tanpa izin,
yang sah, misalnya : ditambahkan,
distel, dijalankan, dirusak atau
dihilangkan.
2. Sanksi Eksekusi Langsung (parate
executie)
Sanksi yang langsung tanpa adanya
suatu putusan hakum (vonnis)
pengadilan negeri, dengan mensita
benda-benda bergerak maupun
tidak bergerak milik siterhutang/
penghutang dengan ancaman akan
di lelang di depan umum, bila batas
waktu tertentu tidak membayar atau
mengadakan perjanjian perdamaian
atau kompromi yang disetujui oleh
kedua pihak (dwangbevel)
3. Sanksi jenis denda
Biasanya
dilakukan
terhadap
tunggakan pembayaran pajak, ipeda,
STNK, pajak radio, televisi dan lainlainnya, yang oleh administrasi
dikenakan pembayaran denda.

mengapa tidak dapat memenuhi


syarat-syarat yang ditentukan atau
mengapa tidak dapat melakukan
perbaikan terhadap pelanggaranpelanggaran ketentuan yang telah
dilakukan. Keempat macam sanksi
tersebut di atas merupakan tindakan
represif bagi setiap pelanggaran yang
ditentukan dalam perizinan yang
bersangkutan.
Selain sanksi di atas, hukum
administrasi juga memiliki sanksi-sanksi
sebagai bagian penutup yang penting
dalam sarana pengaturan administratif.
Sanksi-sanksi hukum administrasi yang
khas antara lain:
1. bestuursdwang (paksaan administratif/paksaan nyata)
2. penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan (izin, subsidi dan
lain-lain)
3. denda administratif
4. pengenaan
uang
paksaan
(dwangsom)

4. Sanksi Pencabutan Kembali Perizinan

8. Faktor-Faktor Penghambat
Pembangunan yang Bersinergi
Kehidupan dan Mewujudkan
Keberlanjutan

Bila terhadap seorang pemohon


izin
tidak
dapat
memenuhi
syarat-syarat
atau
ketentuanketentuan sebagaimana ditentukan
oleh
penetapan
(beschikking)
pelaksanaan pencabutan dilakukan
setelah didahului oleh peringatanperingatan beberapa kali dengan
melalui surat tercatat (aangetekend)
atau melalui jurusita (deurwaarder)
dimana perlu, dengan disertai alasanalasan yang sah/dapat diterima

Berdasarkan uraian di atas, memang


telah ada peraturan yang mengatur
perencanaan pembangunan, namun
belum secara menyeluruh mengatur
pembangunan tersebut dari mulai
perencanaan
hingga
pelaksanaan
pembangunan. Sampai saat ini yang
dijadikan
landasan
hukum
bagi
pembangunan adalah Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Namun
Undang-Undang
Penataan Ruang ini tidak mengatur

98

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

mengenai perilaku masyarakat yang


berkaitan dengan pemanfaatan ruang.
Undang-Undang
Penataan
Ruang
hanya mengatur keterpaduan proses
pembangunan.
Sehingga
apabila
terdapat orang yang melanggar rencana
tata ruang, maka penerapan sanksi
tergantung pada peruntukan yang
dilanggar. Apabila yang dilanggar
adalah lingkungan hidup, maka sanksi
yang dikenakan adalah sanksi yang
telah diatur dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup, begitu juga dengan
pelanggaran lainnya.
Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang memiliki
banyak kelemahan, terutama dalam
penjatuhan sanksi. Karena UndangUndang Penataan Ruang sebagian besar
mengatur kaidah-kaidah perencanaan
tata ruang, dimana pelaksanaanya
adalah administrasi negara, maka
terhadap pelaksana (administrasi Negara)
tidak dapat dikenakan sanksi pidana
melainkan hanya sanksi administrasi.
Selain belum ada pengaturan
hukum yang kuat untuk mewujudkan
pembangunan
yang
bersinergis
kehidupan dan mewujudkan keberlanjutan dan juga lemahnya sanksi
hukum bagi pihak yang melanggar,
pembangunan bersinergis kehidupan
dan
mewujudkan
keberlanjutan
juga agak sulit direalisasikan karena
kurangnya kesadaran masyarakat untuk
tunduk pada peraturan yang ada,
walaupun peraturan yang ada memang
masih kurang memadai. Ketiga faktor
di atas telah membuat pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan penataan
ruang bukan merupakan sesuatu yang
harus ditakuti.

9. Kesimpulan
Pembangunan adalah hal yang tidak
dapat dihindari karena pembangunan
memang
harus
dilakukan
untuk
mensejahterakan
rakyat.
Namun
pembangunan yang dilakukan sampai saat ini secara sadar maupun
tidak sadar hanya difokuskan pada
pembangunan ekonomi dan dengan
mengesampingkan
pembangunan
lingkungan.
Pembangunan
yang
dilakukan dengan mengesampingkan
pembangunan
lingkungan
telah
menyebabkan banyak masalah, seperti
pencemaran, banjir, pemanasan suhu,
dan lain-lain. Untuk meminimalkan, dan
memperbaiki keadaan maka diperlukan
pengaturan agar pembangunan yang
dilakukan
adalah
pembangunan
yang
mensinergikan
kehidupan
dan
mewujudkan
keberlanjutan.
Pembangunan yang mensinergikan
kehidupan dan mewujudkan keberlanjutan dapat terlaksana apabila
pembangunan ini ditopang oleh hukum.
Saat ini memang telah ada hukum
yang mengatur mengenai pembangunan
yang mensinergikan kehidupan dan
mewujudkan keberlanjutan, namun
masih bersifat sektoral dan belum secara
menyeluruh mengatur pembangunan
tersebut dari mulai perencanaan hingga
pelaksanaan pembangunan. Selain itu
undang-undang yang digunakan sebagai
landasan pembangunan saat ini yaitu
Undang-Undang Penataan Ruang masih
belum bisa terlalu diharapkan karena
sanksi yang terdapat dalam UndangUndang Penataan Ruang hanyalah
sanksi yang bersifat administrasi.
Hal ini didukung dengan kurangnya

Aspek Hukum Penataan Ruang Dalam Mendukung Pembangunan


Infrastruktur Bisnis

99

kesadaran masyarakat untuk tunduk


pada peraturan yang ada. Karena itu,
untuk
mewujudkan
pembangunan
yang bersinergiskan kehidupan dan
mewujudkan keberlanjutan diperlukan
hukum yang mengatur pembangunan
yang
dimulai
dari
perencanaan
pembangunan hingga pelaksanaan
pembangunan yang disertai dengan
sanksi hukum yang tegas bagi para
pelanggarnya. Dengan diterbitkannya
hukum yang mengatur pembangunan
dari perencanaan hingga pelaksanaan
pembangunan yang disertai dengan
sanksi yang tegas, diharapkan akan dapat
mencapai pembangunan sesuai dengan
yang diharapkan, yaitu pembangunan
yang bersinergiskan kehidupan dan
mewujudkan keberlanjutan.

Penegakan Hukum Lingkungan


Sebagai
Upaya
Pencegahan
Pencemaran, Badan Pembinaan
Hukum
Nasional
Departemen
Kehakiman R.RI tahun 1995/1996,
hlm.9-10.
Siahaan, Ekologi Pembangunan dan
Hukum Tata Lingkungan, Erlangga,
Jakarta, 1987
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum
Indonensia, Sinar Grafika, Jakarta,
2008

DAFTAR PUSTAKA
A.Mukti Fadjar, Negara Hukum dan
Pembangunan, Arena Hukum, No 4,
Desember 1987
Bambang Suggono, Hukum, Lingkungan,
dan Dinamika Kependudukan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1994
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Mutiara, Jakarta 1982
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi
Hukum, Bhratara, Jakarta, 1973
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Frafika, Jakarta, 2008
Otto Soemarwoto, Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
dalam
Pembangunan Nasional saransaran untuk Garis-garis Besar Haluan
Negara, makalah pada Konperensi II
Pusal Lingkungan seluruh Indonesia,
Jakarta, 1981
Paulus Effendie Lotulung, Effektivitas
Sanksi Administratif Dalam Rangka

100

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan


oleh Eksekutif Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley
Act Section 302
Rapina
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha

Hans Eliezer
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha

ABSTRACT
Nowadays, many public companies in Indonesia still dont know the importance of
internal controls in order to prevent the practice of fraud. For public companies, that
kind of fraud is very detrimental to the investors, shareholders and other stakeholders is
fraudulent financial reporting.
The most horrendous fraud is the case of Enron in the United States involving public
accounting firm Arthur Andersen. The case eventually led to a decree or a deed-called
Sarbanes-Oxley Act of 2002. Sarbanes-Oxley main goal is to increase public trust towards
the implementation of GCG (Good Corporate Governance ) for Go Public companies.
The results showed that, Sarbanes-Oxley has a strong influence on the role of corporate
executives in order to prevent fraudulent financial reporting. From these results the authors
provide suggestions for PT.Telkom to maintain application performance Sarbanes-Oxley
section 302 because it proved to have a positive effect in preventing fraudulent financial
reporting. In addition, authors also provide suggestions for PT.Telkom to apply the
Sarbanes-Oxley thoroughly to combat fraudulent and to make PT.Telkoms performance
can be better.
Key words: Sarbanes-Oxley Act Section 302, the role of companys executive, Fraudulent
Financial Reporting

1. Pendahuluan
Dewasa ini perusahaan publik
di Indonesia banyak yang belum
mengetahui arti pentingnya pengendalian
internal dalam rangka mencegah
terjadinya praktik kecurangan (fraud).

Menurut Muh. Arief Effendi dalam


makalahnya yang berjudul Sarbanes
Oxley Act Sebagai Implementasi GCG
serta dimuat dalam majalah Akuntan
Indonesia, Edisi No. 12, Tahun II,
(Oktober 2008 :39-40), fraud bisa terjadi
kapan saja di perusahaan mana saja.

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

101

Fraud bisa dilakukan oleh pihak internal


perusahaan (karyawan & manajemen)
atau pihak eksternal perusahaan.
Fraud biasanya terjadi karena
adanya kolusi, baik yang dilakukan oleh
pihak internal maupun dengan pihak
eksternal perusahaan. Bagi perusahaan
publik, fraud yang sangat merugikan
pihak investor, pemegang saham, serta
pemangku kepentingan lainnya adalah
kecurangan
pelaporan
keuangan
(fraudulent
financial
reporting).
Pengertian fraudulent financial reporting
menurut Arens, Alvin, Elder, Beasley
dalam bukunya Auditing & Assurance
Services An Integrated Approach
(2008:338) adalah sebagai berikut:
Fraudulent financial reporting is an
intentional misstatement or omission
of amounts or disclosure with the
intent to deceive users. Most cases of
fraudulent financial reporting involve
the intentional misstatement of amounts
not disclosures. For example, WorldCom
is reported to have capitalized as fixed
asset, billions dollars that should have
been expensed. Omission of amounts
are less common, but a company can
overstate income by omitting account
payable and other liabilities. Although
less frequent, several notable cases of
fraudulent financial reporting involved
adequate disclosure. For example, a
central issue in the Enron case was
whether the company had adequately
disclosed obligations to affiliates known
as special purpose entities.
Fraud yang paling menghebohkan
salah satunya adalah kasus Enron
di Amerika Serikat yang melibatkan

102

Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen


seperti yang dicontohkan Arens dalam
pernyataannya di atas. Kasus tersebut
akhirnya melahirkan sebuah ketetapan
atau akta yang disebut Sarbanes-Oxley
Act of 2002.
Sarbanes-Oxley (Sarbanes-Oxley Act
of 2002, Public Company Accounting
Reform and Investor Protection Act of
2002) atau kadang disingkat SOA atau
Sarbox adalah hukum federal Amerika
Serikat yang ditetapkan pada 30 Juli 2002
sebagai tanggapan terhadap sejumlah
skandal akuntansi perusahaan besar
yang termasuk diantaranya melibatkan
Enron, Tyco International, Adelphia,
Peregrine Systems, dan WorldCom.
Akta yang diberi nama berdasarkan dua
pencetusnya, Senator Paul Sarbanes
dan Representatif Michael G. Oxley, ini
disetujui oleh Dewan dengan suara 4233 dan oleh Senat dengan suara 99-0 serta
disahkan menjadi hukum oleh Presiden
George W. Bush. Skandal-skandal yang
menyebabkan kerugian bilyunan dolar
bagi investor karena runtuhnya harga
saham perusahaan-perusahaan ini,
mengguncang kepercayaan masyarakat
terhadap pasar saham nasional.
Sekilas tentang skandal Enron, Enron
merupakan salah satu perusahaan
energi terbesar di dunia yang menjadi
kebanggaan Amerika Serikat. Pada
tanggal 16 Oktober 2001, Enron
menerbitkan laporan keuangan triwulan
ketiga. Pengumuman kepada pers
menyatakan bahwa proforma laba
bersih Enron telah meningkat menjadi $
393 juta pada triwulan ketiga tersebut,
dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang berjumlah $ 292 juta. Pimpinan

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Enron, Kenneth Lay menyatakan bahwa


Enron
secara
berkesinambungan
memberikan prospek yang sangat baik
dan ia tidak memberikan secara rinci
tentang pembebanan biaya akuntansi
khusus (special accounting charge/
expense) sebesar $ 1 miliar yang
menyebabkan hasil actual pada periode
tersebut, yang bila dilaporkan sesuai
GAAP akan menjadi kerugian sebesar
$ 644 (diambil dan diterjemahkan dari
artikel berjudul Enron Debacle yang
diakses dari www.riskglossary.com pada
tanggal 15 Maret 2009).
Pengumuman kepada pers tersebut
memberikan peringatan kepada Wall
Street. Para analis dan reporter bisnis
mulai mencari tahu apa yang terjadi
di balik pembebanan biaya akuntansi
khusus sebesar $ 1 miliar tersebut.
Setelah diselidiki, ternyata diketahui
bahwa pembebanan tersebut berasal
dari transaksi-transaksi yang dilakukan
perusahaan yang didirikan oleh direktur
keuangan Enron. Terbukanya rahasia
ini menimbulkan kecurigaan terhadap
Enron. Kecurigaan tersebut semakin
kuat ketika diketahui lebih rinci tentang
perusahaan yang didirikan direktur
keuangan Enron, cara yang digunakan
untuk melaporkan pendapatan, dan
budaya perusahaan secara umum.
Harga saham perusahaan turun drastis
dari $ 36,00 per lembarnya pada
minggu sebelum 16 Oktober 2001
hingga menjadi $ 0,26 per lembar pada
tanggal 30 November 2001. Kemudian
Enron mengajukan permohonan untuk
dinyatakan bangkrut pada tanggal
2 desember 2001, yang merupakan
kasus kebangkrutan paling besar dalam
sejarah Amerika Serikat (diambil dan

diterjemahkan dari artikel berjudul


Enron Debacle yang diakses dari www.
riskglossary.com pada tanggal 15 Maret
2009).
Tujuan
utama
Sarbanes-Oxley
adalah meningkatkan kepercayaan
publik terhadap implementasi prinsip
GCG (Good Corporate Government)
bagi perusahaan yang telah go public.
Sarbanes-Oxley mewajibkan perusahaan
yang listing di NYSE (New York Stock
Exchange) untuk mematuhi berbagai
ketentuan yang berlaku untuk menjamin
transparansi dalam penyusunan laporan
keuangan. Selain itu, Sarbanes-Oxley juga
menjamin adanya kepastian terhadap
integritas pelaporan keuangan (integrity
of financial reporting). United StatesSecurities Exchange Commission (USSEC) juga telah mengadopsi SarbanesOxley sebagai syarat untuk memperketat
persyaratan
disclosure
laporan
keuangan serta menjamin akuntabilitas
laporan keuangan perusahaan. Dalam
hal ini, Sarbanes-Oxley mewajibkan
perusahaan publik untuk mereformasi
tanggung jawab manajemen perusahaan
perihal keterbukaan informasi keuangan
serta mencegah terjadinya kecurangan
pelaporan keuangan (fraudulent financial
reporting) yang bermula dari kecurangan
akuntansi (accounting fraud). Amerika
Serikat menerapkan regulasi ini secara
ketat, antara lain meliputi:
pelaporan keuangan yang akurat dan
tidak bias, review pengendalian intern
serta kewajiban untuk menerapkan
Code of Ethics dan Code of Corporate
Governance.
Sarbanes-Oxley
juga
menuntut standar yang sangat tinggi
terhadap operasi bisnis dan pelaksanaan
audit atas pengendalian intern. (Muh.

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

103

Arief Effendi, Sarbanes Oxley Act Sebagai


Implementasi GCG, Akuntan Indonesia,
Edisi No. 12, Tahun II, Oktober 2008,
hal. 39-40).
Sarbanes-Oxley
mewajibkan
perusahaan yang listing di NYSE (New
York Stock Exchange) untuk membuat
dokumentasi pengendalian kunci dan
melaporkan
kondisi
pengendalian
internnya secara periodik. SarbanesOxley Act of 2002, Title III, section
302 (2002 : 33) tentang Corporate
Responsibility for Financial Reports
menetapkan bahwa pejabat eksekutif
perusahaan harus bertanggung jawab
secara pribadi terhadap pernyataan
prosedur pengendalian, internal control,
dan jaminan atas kecurangan (fraud).
Sarbanes-Oxley Act of 2002, Title
IV, section 404 (2002 : 45) tentang
Management Assessment of Internal
Controls mengatur ketentuan yang
mewajibkan terselenggaranya audit
tahunan yang menunjukkan laporan
pengendalian internal (internal control
report).
Sejalan dengan adanya SarbanesOxley, maka pemerintah Indonesia pun
menyesuaikan
ketentuan-ketentuan
yang berlaku di Indonesia dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Sarbanes-Oxley. Beberapa ketentuan
yang terutama terkait dengan SarbanesOxley section 302 dan section 404
adalah sebagai berikut :
Certification of Financial Reports
dimana CEO dan CFO diwajibkan
memberikan sertifikasi terhadap
financial statements. Di Indonesia
sertifikasi
terhadap
financial
statements diatur dalam:

104

1. Peraturan Bapepam No.VIII.


GA.11: Tanggung Jawab Direksi
Atas
Laporan
Keuangan.
Peraturan Bapepam ini lebih
menegaskan bahwa tanggung
jawab atas penyusunan dan
penyajian laporan keuangan
perusahaan ada pada direksi;
penyusunan
dan
penyajian
laporan keuangan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku
umum; informasi dalam laporan
keuangan telah dibuat dengan
lengkap dan benar; dimana
laporan keuangan tersebut tidak
mengandung informasi atau fakta
material yang tidak benar serta
tidak menghilangkan informasi
material; dan direksi bertanggung
jawab atas sistem pengendalian
intern perusahaan.
2. WK
No.511/KMK.06/2002
tentang Investasi Dana Pensiun.
Pengurus Dana Pensiun harus
membuat
pernyataan
atas
portofolio investasi terhadap
ketentuan perundang-undangan
yang mengatur Investasi Dana
Pensiun; arahan investasi bagi
dana pensiun pemberi kerja; dan
pilihan investasi peserta bagi
dana pensiun lembaga keuangan.
Pengenaan sanksi yang berat bagi
eksekutif yang memberikan false
informations or mislead their auditor,
di Indonesia aturan ini dimuat dalam
Peraturan Bapepam No.VIII.G.12:
Tanggung Jawab Direksi Atas
Laporan Keuangan. Jika direksi
tidak memberikan informasi dengan
benar, Bapepam dapat menjatuhkan
sanksi terhadap setiap pelanggaran

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

ketentuan ini, termasuk pihakpihak yang menyebabkan terjadinya


pelanggaran. Ketentuan ini mulai
berlaku untuk laporan keuangan per
31 Desember 2003.
Laporan
keuangan
harus
mencerminkan all material correcting
adjustments dan mengungkapkan
all material off-balance sheet
transactions serta other relationship
with unconsolidated. Perubahan
material kondisi keuangan dan
hasil usaha emiten harus dilaporkan
on a rapid current basis (real time
disclosure), dalam pelaksanaannya
di Indonesia Bapepam mengatur
lebih rinci mengenai penyajian dan
pengungkapan untuk perusahaan
yang go public dalam pedoman
penyajian
dan
pengungkapan
laporan keuangan industri.
Annual report must be containing
internal control report, di Indonesia
aturan ini dimuat dalam Peraturan
Bapepam No.VII.G.12: Tanggung
Jawab DireksiAtas Laporan Keuangan.
Dalam tanggung jawabnya, direksi
dituntut untuk memahami betul
akan kebenaran dan kelengkapan
dokumen
informasi
keuangan
perusahaan, termasuk pengendalian
internnya. Ini harus tercermin dalam
laporan keuangan. Sarbanes-Oxley
section 302 tentang Corporate
Responsibility
for
Financial
Reports mengatur ketentuan yang
mewajibkan eksekutif dan direksi
perusahaan bertanggung jawab
secara pribadi terhadap pernyataan
prosedur pengendalian, internal
control, dan jaminan atas kecurangan

(fraud). Hal tersebut sesuai dengan


isi Sarbanes-Oxley Act of 2002
(2002:33). Eksekutif dan direksi
perusahaan mempunyai peranan
yang sangat besar dan penting
terhadap penerapan Sarbanes-Oxley
section 302 dalam rangka mencegah
fraudulent financial reporting di
perusahaan. Selain itu eksekutif dan
direksi perusahaan juga mempunyai
tanggung jawab baru sehubungan
dengan peranannya dalam proses
implementasi Sarbanes-Oxley di
perusahaan.
Hal itulah yang akan diangkat penulis
dalam penelitian ini, untuk mengetahui
sejauh mana pengaruh antara penerapan
Sarbanes-Oxley Act, khususnya section
302, dalam rangka mencegah fraudulent
financial
reporting.
Dan
penulis
bermaksud untuk membahas hal tersebut
dalam sebuah penelitian dengan judul :
Pengaruh Penerapan SarbanesOxley Act Section 302 Terhadap
Peranan Eksekutif Perusahaan Dalam
Rangka Mencegah Fraudulent Financial
Reporting
Berdasarkan latar belakang di atas
penulis mengidentifikasi permasalahan
yang dihadapi yang berhubungan
dengan peranan eksekutif perusahaan
dalam kaitannya dengan penerapan
Sarbanes-Oxley khususnya section 302,
yaitu :
1. Adakah pengaruh antara penerapan
Sarbanes-Oxley section 302 terhadap
peranan eksekutif perusahaan.
2. Adakah pengaruh antara penerapan
Sarbanes-Oxley section 302 terhadap
fraudulent financial reporting.
3. Adakah pengaruh antara peranan

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

105

eksekutif
perusahaan
terhadap
fraudulent financial reporting.
4. Apakah penerapan Sarbanes-Oxley
Section 302 berpengaruh terhadap
peranan
eksekutif
perusahaan
dalam rangka mencegah fraudulent
financial reporting.

2. Kerangka Teoritis
Sarbanes-Oxley Act
Sarbanes-Oxley merupakan nama
populer untuk undang-undang yang
memiliki
nama
lengkap
Public
Company Accounting Reform and
Investor Protection Act of 2002.
Undang-undang ini ditandatangani oleh
presiden Amerika Serikat, George W.
Bush pada tanggal 30 Juli 2002. Nama
Sarbanes-Oxley berasal dari nama dua
orang pencetus idenya, yaitu senator
Paul Sarbanes dan congressman Michael
G. Oxley.
Sarbanes-Oxley memiliki enam
komponen utama (W. Steve Albrecht,
2003), yaitu:
1. Implikasi bagi akuntan
Sarbanes-Oxley
dibuat
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan
tanggung jawab perusahaan dan
mengembalikan tingkat kepercayaan
investor. Sarbanes-Oxley memiliki
tujuan untuk menjamin akuntabilitas
dan kepastian (assurance) terkait
dengan pengendalian internal yang
mendukung pengambilan keputusan
perusahaan, pelaporan keuangan
serta
pencegahan
terjadinya
manipulasi.
Melalui
SarbanesOxley maka dibentuk suatu badan
yang bernama Public Company

106

Accounting
Oversight
Board
(PCAOB). PCAOB ini merupakan
suatu badan yang melakukan
pengawasan
dan
pengendalian
terhadap profesi akuntan. Anggota
PCAOB terdiri dari lima orang,
dimana dari kelima orang tersebut
hanya boleh ada dua orang yang
memiliki latar belakang sebagai
akuntan publik.
PCAOB
bertugas
melakukan
pendaftaran kantor akuntan publik
dan menetapkan atau mengadopsi
standar mengenai audit, etika profesi,
kendali mutu, dan independensi
profesi akuntan publik. Selain itu
badan ini juga bertugas untuk
melakukan pemeriksaan, investigasi,
menegakkan
tindakan
disiplin
terhadap kantor akuntan publik serta
menegakkan kepatuhan terhadap
undang-undang ini.
Setiap kantor akuntan publik, baik
itu yang ada di Amerika Serikat,
ataupun yang ada di luar negeri
yang ikut serta dalam penyiapan dan
penerbitan laporan audit perusahaan
publik wajib terdaftar pada PCAOB.
Melalui kewajiban ini, setiap kantor
akuntan publik yang terdaftar
diwajibkan memelihara kertas kerja
audit dan informasi serta dokumen
lainnya yang berkaitan dengan
laporan audit minimal tujuh tahun.
Setiap kantor akuntan publik yang
terdaftar juga tidak diperbolehkan
memberikan jasa non audit kepada
kliennya. Jasa non audit yang dilarang
meliputi: jasa akuntan dan penyiapan
laporan keuangan, perancangan
dan implementasi sistem informasi,

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

jasa penilaian, jasa aktuaria, jasa


outsourcing internal audit, jasa legal,
jasa expert yang tidak berkaitan
dengan audit, serta jasa lain yang
dilarang oleh PCAOB. Pemberian
jasa non audit yang tidak dilarang
kepada klien hanya dapat dilakukan
apabila mendapat persetujuan lebih
dahulu dari komite audit.
2. Implikasi bagi perusahaan
Dengan
adanya
SarbanesOxley, manajemen perusahaan
diharuskan untuk mensertifikasi
kewajaran laporan keuangan dan
pengungkapan yang dibuat dalam
laporan berkala, laporan keuangan,
dan pengungkapan-pengungkapan
secara wajar menyajikan segala hal
yang material, operasi dan kondisi
keuangan
issuer.
Manajemen
juga
diharuskan
memberikan
pengendalian intern dan auditor
eksternal melaporkan pengendalian
tersebut, dan manajemen juga
diharuskan melaporkan efektivitas
pengendalian intern dan auditor
menyajikannya dalam penilaian
manajemen. Hal lain yang terkait
dengan implikasi Sarbanes-Oxley
yang terkait dengan perusahaan,
yaitu :
Perusahaan publik harus memiliki
kode etik bagi pejabat.
Memasukkan syarat pembatalan
bonus
apabila
ditemukan
kecurangan.
Pembatasan
memberikan
pinjaman kepada pejabat dan
direktur.
Memasukkan blackout period
untuk trading bagi pejabat dan
direktur.

Mengharuskan memiliki komite


audit yang lebih kuat.
Mengharuskan satu dari anggota
komite
audit
adalah
ahli
keuangan.
3. Implikasi bagi analis saham/surat
berharga
The National Security Exchange
dan asosiasi sekuritas terdaftar harus
menetapkan peraturan benturan
kepentingan untuk analisis riset yang
merekomendasikan ekuitas dalam
laporan riset.
4. Implikasi bagi pengacara
Security Exchange Commission
(SEC) akan menetapkan peraturan
yang menetapkan standar minimum
perilaku profesional untuk praktik
kepengacaraan.
5. Bagian lain dari Sarbanes-Oxley
Memberikan upaya-upaya hukum
terkait dengan diberlakukannya
Sarbanes-Oxley ini.
6. Ancaman
dan
perselisihan
tersembunyi
Membahas tentang apa saja dampak
yang ditimbulkan atas penerapan
Sarbanes-Oxley ini. Di antaranya
adalah: (1) potensi kerugian dari
private sektor audit standard setting
untuk audit perusahaan publik (2)
isu ketaatan internasional (3) potensi
keterbatasan lebih jauh atas jasa non
audit yang lain.

Komponen Sarbanes-Oxley Act


Sarbanes-Oxley terdiri dari sebelas
judul
yang
mengatur
mengenai

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

107

perlindungan investor dilihat dari sisi


pelaku bisnis. Dari kesebelas judul
tersebut masih dibagi-bagi lagi ke dalam
beberapa section. Berikut kesebelas
judul yang tertuang dalam SarbanesOxley :
Title I-Public Company Accounting
Oversight Board
Title II-Auditor Independence
Title III-Corporate Responsibility
Title IV-Enhanced Financial Disclosure
Title V-Analys Conflict of Interest
Title VI-Comission Resources and
Authority
Title VII-Studies and Report
Title VIII-Corporate and Criminal
Fraud Accountabiltity
Title IX-White-Collar Crime Penalty
Enhacements
Title X-Corporate Tax Returns
Title XI-Corporate Fraud and
Accountability

Title
IV-Enhanced
Financial
Disclosures
Dalam judul ini, terutama dalam
section 404, perusahaan diwajibkan
untuk melaporkan efektivitas prosedur
dan pengendalian internal dalam rangka
pelaporan keuangan (internal control
over financial reporting), bersama
dengan atestasi dari auditor eksternal
mengenai laporan tersebut.

Dari kesebelas judul ini, tidak


semuanya digunakan oleh setiap
perusahaan. Beberapa judul yang
digunakan oleh hampir keseluruhan
perusahaan adalah judul III (Corporate
Responsibility), judul IV (Enhanced
Financial Disclosure), dan judul
IX
(White-Collar
Crime
Penalty
Enhacements).
Title III Corporate Responsibility
Dalam judul ini, terutama dalam
section 302, setiap pejabat yang
berwenang atas pembuatan laporan
keuangan dalam perusahaan, yaitu
direktur utama dan direktur keuangan
diwajibkan untuk melaporkan sertifikasi
triwulanan dan tahunan kepada SEC,
termasuk pengendalian dan prosedur
pengungkapan.

Title I-Public Company Accounting


Oversight Board
Sec. 101. Establishment; administrative provisions
Sec. 102. Registration with the
Board
Sec. 103. Auditing, quality
control,
and
independence
standards and rules
Sec. 104. Inspectins of registered
public accounting firms
Sec. 105. Investigations and
disciplinary proceedings
Sec.
106.
Foreign
public
accounting firms
Sec. 107. Commission oversight
of the board
Sec. 108. Accounting standards
Sec. 109. Funding

108

Title IX-White-Collar Crime Penalty


Enhacements
Dalam judul ini, direktur utama dan
direktur keuangan diwajibkan untuk
dapat memastikan laporan keuangan
yang dibuat sudah sesuai dengan
Securities Exchange Act of 1934, dan
akan terkena hukuman/penalti jika
laporan keuangan yang dibuat ternyata
salah. Berikut ini kerangka penuh dari
Sarbanes-Oxley Act 2002

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Title II-Auditor Independence


Sec. 201. Services outside the
scope of practice of auditors
Sec.
202.
Preapproval
requirements
Sec. 203. Audit partner rotation
Sec. 204. Auditor reports to audit
committees
Sec.
205.
Conforming
amendments
Sec. 206. Conflicts of interest
Sec. 207. Study of mandatory
rotation of registered public
accounting firms
Sec. 208. Commission authority
Sec. 209. Considerations by
appropriate State regulatory
authorities
Title III-Corporate Responsibility
Sec. 301. Public company audit
committees
Sec. 302. Corporate reponsibility
for financial reports
Sec. 303. Improper influence on
conducts of audit
Sec. 304. Forfeiture of certain
bonuses and profits
Sec. 305. Officer and director
bars and penalties
Sec. 306. Insider trades during
pension fund blackout periods
Sec. 307. Rules of proffesional
responsibility for attorneys
Sec. 308. Fair fund for investor

transactions involving management and principal stockholders


Sec. 404. Management assesment
of internal controls
Sec. 405. Exemption
Sec. 406. Code of ethics for senior
financial officers
Sec. 407. Disclosure of audit
committee financial expert
Sec. 408. Enhanced review of
periodic disclosures by issuers
Sec. 409. Real time issuer
disclosures

Title V-Analys Conflict of Interest


Sec. 501. Treatment of securities
analysts by registered securities
associations
and
national
securities exchanges
Title VI-Comission Resources and
Authority
Sec. 601. Authorization of
appropriations
Sec. 602. Appeareance and
practice before Commision
Sec. 603. Federal court authority
to impose penny stock bars
Sec. 604. Qualifications of
associated persons of brokers and
dealers

Title
IV-Enhanced
Financial
Disclosure
Sec. 401. Disclosures in periodis
reports
Sec. 402. Enhanced conflict of
interest provisions
Sec.
403.
Disclosures
of

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

Title VII-Studies and Report


Sec. 701. GAO study and report
regarding consolidation of public
accounting firms
Sec. 702. Commission study and
report regarding credit rating
agencies
Sec. 703. Study and report on
violators and violations
Sec. 704. Study of inforcements
actions

109

Sec. 705. Study of investment


banks
Title VIII-Corporate and Criminal
Fraud Accountabiltity
Sec. 801. Short title
Sec. 802. Criminal penalties for
altering documents
Sec. 803. Debts nondischargeable
if incurred in violation of
securities fraud laws
Sec. 804. Statute of limitations for
securities fraud
Sec. 805. Review of Federal
Sentencing
Guidelines
for
obstruction of justice and
extensive criminal fraud
Sec.
806.
Protection
for
employees of publicly traded
companies who provide evidence
of fraud
Sec. 807. Criminal penalties
for defrauding shareholders of
publicly traded companies
Title IX-White-Collar Crime Penalty
Enhacements
Sec. 901. Short title
Sec.
902.
Attempts
and
conspiracies to commit criminal
fraud officers
Sec. 903. Criminal penalties for
mail and wire fraud
Sec. 904. Criminal penalties
for violations of the Employee
Retirement Income Security
Sec. 905. Amendment to
sentencing guidelines relating to
certain white-collar offenses
Sec. 906. Corporate responsibility
for financial reports

110

Title X-Corporate Tax Returns


Sec. 1001. Sense of the Senate
regarding the signing of corporate
tax returns by chief executive
officers
Title XI Corporate Fraud and
Accountability
Sec. 1101. Short title
Sec. 1102. Tampering with a
record or otherwise impeding an
official proceeding
Sec. 1103. Temporary freeze
authority for the Securities and
Exchange Commission
Sec. 1104. Amendment to the
Federal Sentencing Guidelines
Sec. 1105. Authority of the
Commission to prohibit persons
from serving asofficers or direstors
Sec. 1106. Increased criminal
penalties
under
Securities
Exchange Act of 1934
Sec. 1107. Retaliation against
informants

Sarbanes-Oxley Act Section 302


Sarbanes-Oxley section 302 mengharuskan perusahaan menyertakan
sertifikasi yang sesuai dengan section
302 di dalam laporan mereka,
kemudian laporan tersebut dilaporkan
pada SEC. Laporan sertifikasi tersebut
harus ditandatangani oleh manajemen
tertinggi di dalam perusahaan seperti
CEO (Chief Executive Officers) dan CFO
(Chief Financial Officers) dan tidak boleh
diwakilkan kepada pihak manapun.
Section
302
Sarbanes-Oxley
mengharuskan adanya sebuah prosedur
internal yang dirancang secara khusus
untuk
memastikan
pengungkapan

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

keuangan yang akurat. Pejabat yang


berwenang harus menyatakan bahwa
mereka
bertanggung
jawab
atas
pembentukan dan pengelolaan sistem
pengendalian tersebut untuk memastikan
bahwa informasi yang ada di dalam
laporan terkait dengan perusahaan dan
anak-anak perusahaan. Pada saat di mana
laporan periodik sedang dipersiapkan,
pejabat
yang
berwenang
harus
melakukan evaluasi terhadap efektivitas
dari pengendalian internal yang ada di
dalam perusahaan dalam jangka waktu
90 hari sebelum laporan diterbitkan.
Laporan tersebut kemudian menyajikan
kesimpulan mereka mengenai efektivitas
dari pengendalian internal berdasarkan
evaluasi pada tanggal di atas di dalam
laporan mereka.
Pejabat yang berwenang dalam
organisasi
tersebut
diharuskan
menjelaskan kepada auditor eksternal
dan komite audit semua defisiensi
yang signifikan dalam desain atau
operasi dari pengendalian intern, dan
setiap kecurangan yang terjadi apakah
signifikan atau tidak yang melibatkan
manajemen atau karyawan lain dan
harus memberitahukan segala perubahan
yang signifikan dari pengendalian intern
setelah evaluasi pengendalian intern
perusahaan. Laporan keuangan periodik
harus memenuhi syarat berikut ini:
Petugas yang menandatangani telah
mengkaji laporan tersebut.
Laporan tidak mengandung kalimat
materiil yang tidak benar maupun
kesalahan materiil yang dapat
menyesatkan.
Laporan keuangan dan informasi
yang terkait mencerminkan kondisi
keuangan dengan baik.

Petugas
yang
menandatangani
bertanggung jawab terhadap kontrol
internal dan telah mengevaluasi
kontrol internal ini 90 hari
sebelumnya dan melaporkan temuan
mereka.
Ada daftar kelemahan dari kontrol
internal dan informasi mengenai
fraud yang melibatkan karyawan dan
aktivitas internal.
Perubahan signifikan pada kontrol
internal dan faktor-faktor terkait yang
dapat menghasilkan dampak negatif
terhadap kontrol internal.

Bentuk Sertifikasi
Peraturan-peraturan
yang
telah
diungkapkan di atas memerlukan
sertifikasi untuk pengendalian intern atas
pelaporan keuangan. Bentuk sertifikasi
dari pengendalian intern tersebut tidak
dijelaskan secara spesifik, akan tetapi
poin-poin penting yang harus terdapat
di dalam sertifikasi tersebut adalah:
1. Kelemahan material
Kelemahan material tersebut harus
diungkapkan kepada komite audit
dan auditor independen setiap
triwulannya
dan
diberitahukan
kepada masyarakat melalui laporan
tahunan pengendalian intern.
2. Defisiensi yang signifikan
Kelemahan material tersebut harus
diungkapkan kepada komite audit
dan auditor independen setiap
triwulannya, akan tetapi jika
kelemahan yang terjadi tidak material
maka tidak perlu diberitahukan
kepada masyarakat melalui laporan
tahunan pengendalian intern.

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

111

3. Kecurangan-kecurangan yang terjadi


Setiap kecurangan yang terjadi baik
itu material ataupun tidak material
tetap harus diungkapkan kepada
komite audit dan auditor independen
setiap triwulannya.
4. Perubahan yang signifikan
Poin-poin di atas yang telah dijelaskan
tersebut membantu manajemen dalam
menentukan pengendalian intern atas
laporan keuangan, hal tersebut juga
membantu manajemen menemukan
beberapa kelemahan material yang
terjadi
terhadap
pengendalian
terhadap laporan keuangan. Pada poin
kelemahan material dan defisiensi
yang signifikan, kedua poin tersebut
merupakan defisiensi dalam mendesain
atau
operasi
dari
pengendalian
internal yang dapat mempengaruhi
kemampuan
perusahaan
dalam
mencatat, memproses, dan melaporkan
data yang merupakan pernyataan pihak
manajemen. Kelemahan material
merupakan defisiensi yang utama
dibandingkan dengan defisiensi yang
signifikan, karena pada dasarnya
defisiensi yang signifikan tersebut dapat
juga dikatakan sebagai kelemahan
yang material dalam perusahaan yang
mempengaruhi pengendalian internal
atas laporan keuangan.
Sertifikasi tersebut haruslah sesuai
dengan bentuk yang telah ditentukan
yang nantinya akan mempengaruhi
laporan pengendalian internal. Susunan
kata merupakan persyaratan dalam
sertifikasi tersebut yang tidak dapat
diganti, walaupun jika perubahan
tersebut dibutuhkan.

112

PertanggungJawaban atas Sertifikasi Yang Tidak Sebenarnya


Walaupun section 302 isinya
dianggap di bawah Exchange Act,
namun pada kenyataannya section 302
tersebut memang merupakan subyek
dari pertanggungjawaban perdata pada
section 18 di dalam Exchange Act. Hal
tersebut secara otomatis langsung menjadi
bagian dalam Security Exchange, yang
kemudian lebih dijelaskan lagi dalam
section 18 tentang pertanggungjawaban
yang terdapat dalam Security Act.
Pegawai
yang
menyediakan
sertifikasi yang tidak sebenarnya (palsu)
dapat dijadikan subyek dari SEC atas
pelanggaran terhadap laporan yang
diberikan sebagai syarat dari Exchange
Act dan SEC, dan tindakan atas
pelanggaran terhadap ketetapan fraud
dalam hukum sekuritas yang terdapat
dalam Exchange Act.
CEO dan CFO yang menandatangani
laporan
dalam
perusahaan
bisa
saja memberikan pernyataan yang
menyesatkan ataupun penghilangan
data, namun dengan adanya standar anti
fraud dan SEC, siapa saja yang melakukan
tindakan
tersebut,
memberikan
bantuan, atau bersekongkol untuk
memberikan
pernyataan-pernyataan
yang menyesatkan berarti mereka telah
melanggar hukum sekuritas.

Keterkaitan
Sarbanes-Oxley
Section 302 dengan Section 404
Section 302 terkait erat dengan
section 404, terutama dalam 2 hal di
bawah ini, yaitu :

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Pertama, pengendalian internal atas


laporan keuangan (dibahas dalam
section 404) merupakan sekumpulan
prosedur dan pengendalian atas
pengungkapan
dalam
laporan
tahunan (dibahas dalam section
302). SEC telah mengeluarkan
peraturan
yang
mengharuskan
perusahaan yang menyusun laporan
tahunan untuk mengelola dan secara
reguler melakukan evaluasi terhadap
efektivitas pengendalian internal
yang dibuat untuk memastikan
informasi yang dilaporkan dalam
laporan dicatat, diproses, dan
disimpulkan serta dilaporkan dalam
jangka waktu tertentu. Seperti yang
telah didefinisikan oleh SEC, prosedur
dan pengendalian pengungkapan
(disclosure control and procedure)
ditujukan pada informasi keuangan
baik yang material maupun yang tidak
material yang harus dicantumkan
dalam laporan tahunan supaya
para investor dapat mengetahui
bagaimana kondisi perusahaan yang
sebenarnya. Definisi ini jauh lebih
luas daripada definisi pengendalian
internal atas pelaporan keuangan.
Untuk memperluas definisi bahwa
pengendalian internal atas pelaporan
keuangan
memiliki
dampak
terhadap pengungkapan, prosedur,
dan pengendalian. Pengungkapan
perusahaan
termasuk
dalam
pengendalian karena pengendalian
pengungkapan ditujukan kepada
seluruh informasi keuangan baik
yang material maupun yang tidak
material, baik yang dilaporkan
maupun yang tidak dilaporkan dalam
laporan keuangan. Dalam hal ini,
materialitas mengarah pada informasi

yang dibutuhkan oleh investor di


dalam pengambilan keputusan.
Pembatasan mana yang material
dan mana yang tidak material sama
pentingnya bagi informasi keuangan
maupun informasi non keuangan.
Kedua, pesan yang dapat ditarik dari
adanya bagian pelaporan kepada
publik di dalam Sarbanes-Oxley
dan peraturan yang telah ditetapkan
oleh SEC adalah bahwa aktivitas
pengungkapan
dan
pelaporan
sudah tidak bisa dilakukan dengan
seenaknya,
melainkan
harus
berdasarkan pada kedua peraturan
di atas. Proses pelaporan keuangan
dan pengendalian internal yang
terkait harus dapat dilakukan secara
konsisten, didefinisikan dengan
jelas, dan diatur dengan efektif.
Proses untuk menghasilkan informasi
non keuangan yang tidak dilaporkan
dalam laporan keuangan tahunan
juga diharapkan untuk dapat
diseragamkan dan konsisten dengan
pendekatan berbasis proses (process
based approach).
Dalam melakukan sertifikasi, orang
yang berwenang dalam perusahaan
(seperti
CEO
dan
CFO),
juga
menunjukkan bahwa mereka memiliki
pengetahuan mengenai perusahaan
terkait dengan segala macam informasi
yang material bagi para investor. Mereka
harus memberikan sertifikasi atas proses
manajemen internal, maka itu evaluasi
terhadap pengendalian internal atas
laporan keuangan merupakan suatu hal
yang penting terhadap proses sertifikasi
yang dilakukan eksekutif perusahaan
(CEO dan CFO).

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

113

Fraudulent Financial Reporting


Pengertian Laporan Keuangan
Laporan
keuangan
merupakan
produk
dari
akuntansi.
Laporan
keuangan berisi informasi-informasi dari
sebuah entitas. Dari laporan keuangan
inilah pihak-pihak berkepentingan,
baik internal maupun eksternal dapat
mengetahui posisi keuangan, kinerja,
maupun keadaan sumber daya entitas.
Laporan keuangan menurut Kiesso,
Weygandt, dan Kimmel (2002: 3) adalah
sebagai berikut:
Financial statements are the
principal means through which financial
information is communicated to those
outside an enterprise. These statements
provide the firms history quantified in
money terms.
Laporan
keuangan
merupakan
informasi utama bagi pihak-pihak
yang berkepentingan, terutama pihak
luar perusahaan, mengenai dampak
keuangan dari berbagai transaksi dan
peristiwa lain yang terjadi pada suatu
perusahaan. Laporan keuangan disajikan
dalam satuan mata uang tertentu. Laporan
keuangan merupakan media komunikasi
antara pihak intern perusahaan dengan
pihak ekstern yang berkepentingan.
Dalam konteks ini pihak intern meliputi
pihak manajemen serta pihak-pihak lain
dalam perusahaan yang berkepentingan,
misalnya karyawan. Pihak ekstern
lainnya yang berkepentingan, misalnya
investor dan kreditor.

Tujuan Pelaporan Keuangan


Laporan
keuangan
(Financial
statements) merupakan sarana utama
dalam mengkomunikasikan informasi

114

keuangan
yang
disediakan
oleh
proses pelaporan keuangan (Financial
Reporting).
Financial
Accounting
Standard Board (FASB) menggunakan
istilah pelaporan keuangan (Financial
Reporting) untuk ruang lingkup yang
lebih luas daripada isitilah-istilah
laporan keuangan (Financial Statements).
Pelaporan keuangan meliputi laporan
keuangan dan cara-cara lain dalam
melaporkan
informasi,
misalnya
prospektus, informasi keuangan segmen
industri dan geografi, pengungkapan
pengaruh perubahan harga, dan
sebagainya.
Sementara itu, tujuan laporan
keuangan adalah (Ikatan Akuntan
Indonesia 2004:1,2, para.05) :
memberikan informasi tentang
posisi keuangan, kinerja, dan arus
kas perusahaan yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna
laporan dalam rangka membuat
keputusan-keputusan ekonomi, serta
menunjukkan
pertanggungjawaban
(stewardship)
manajemen
atas
penggunaan sumber-sumber daya yang
dipercayakan kepada mereka. Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut, suatu
laporan keuangan menyajikan informasi
mengenai perusahaan meliputi; (a)
aktiva, (b) kewajiban, (c) ekuitas,
(d) pendapatan dan beban termasuk
keuntungan dan kerugian, dan (e) arus
kas.Informasi tersebut di atas beserta
informasi lainnya yang terdapat dalam
catatan atas laporan keuangan membantu
pengguna laporan memprediksi arus kas
pada masa depan khususnya dalam hal
waktu dan kepastiannya. Diperolehnya
kas dan setara kas.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Komponen dan Unsur Laporan


Keuangan
Laporan keuangan menggambarkan
dampak keuangan dari transaksi dan
peristiwa lain yang diklasifikasikan dalam
beberapa kelompok besar. Menurut
karakteristik ekonominya, kelompok
besar ini merupakan unsur laporan
keuangan. Unsur yang berkaitan secara
langsung dengan pengukuran laporan
keuangan adalah aktiva, kewajiban, dan
ekuitas, yang kesemuanya tercantum
dalam neraca. Unsur yang berkaitan
dengan kinerja dalam laporan laba-rugi
adalah penghasilan dan beban.
Dalam pernyataan standar laporan
keuangan no.1 mengenai penyajian
laporan keuangan, Ikatan Akuntan
Indonesia (2004) menetapkan bahwa
laporan keuangan yang lengkap terdiri
atas neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan ekuitas, laporan arus kas,
dan catatan atas laporan keuangan.

Penyebab Fraudulent Financial


Reporting
Kecurangan pelaporan keuangan
(fraudulent financial reporting) dapat
didefinisikan suatu perilaku yang
disengaja, baik dengan tindakan atau
penghapusan,
yang
menghasilkan
laporan keuangan yang menyesatkan
(bias). Fraudulent financial reporting
merupakan problem yang dapat terjadi
di perusahaan mana saja dan kapan
saja. Fraudulent financial reporting
yang terjadi pada suatu perusahaan
memerlukan perhatian khusus dari
akuntan publik (auditor independen).
(Muh. Arief Effendi, Tanggung Jawab
Akuntan Publik Dalam Pencegahan Dan

Pendeteksian Kecurangan Pelaporan


Keuangan, Akuntan Indonesia, Edisi
No.6, Tahun II, Maret 2008, hal.36-40)
Pengertian
fraudulent
financial
reporting menurut Arens dalam bukunya
Auditing & Assurance Services An
Integrated Approach (2008 : 338) adalah
sebagai berikut :
Fraudulent financial reporting is an
intentional misstatement or omission
of amounts or disclosure with the
intent to deceive users. Most cases of
fraudulent financial reporting involve
the intentional misstatement of amounts
not disclosures. For example, WorldCom
is reported to have capitalized as fixed
asset, billions dollars that should have
been expensed. Omission of amounts
are less common, but a company can
overstate income by omitting account
payable and other liabilities. Although
less frequent, several notable cases of
fraudulent financial reporting involved
adequate disclosure. For example, a
central issue in the Enron case was
whether the company had adequately
disclosed obligations to affiliates known
as special purpose entities.
Kecurangan
dalam
laporan
keuangan dapat menyangkut tindakan
yang disajikan berikut ini: Manipulasi,
pemalsuan, atau perubahan catatan
akuntansi atau dokumen pendukungnya
yang menjadi sumber data bagi penyajian
laporan keuangan. Representasi yang
dalam atau penghilangan dari laporan
keuangan, peristiwa, transaksi, atau
informasi signifikan. Salah penerapan
secara sengaja prinsip akuntansi yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi,

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

115

cara penyajian atau pengungkapan.


Fraudulent financial reporting juga
dapat disebabkan adanya kolusi antara
manajemen perusahaan dengan akuntan
publik. Salah satu upaya untuk mencegah
timbulnya kolusi tersebut, yaitu perlunya
perputaran (rotasi) akuntan publik
dalam melakukan general audit suatu
perusahaan. Carcello dalam artikelnya
yang berjudul Audit Firm Tenure And
Fraudulent Financial Reporting (2004),
menyatakan:
The Sarbanes-Oxley Act (U.S. House
of Representatives 2002) required the
U.S. Comptroller General to study the
potential effects of requiring mandatory
audit firm rotation. The U.S. General
Accounting Office (GAO) concludes in
its recently released study of mandatory
audit firm rotation that mandatory
audit firm rotation may not be the most
efficient way to strengthen auditor
independence (GAO 2003, Highlights).
However, the GAO also suggests that
mandatory audit firm rotation could be
necessary if the Sarbanes-Oxley Acts
requirements do not lead to improved
audit quality (GAO 2003, 5).
Berdasarkan hasil penelitian COSO
(1999) yang berjudul Fraudulent
Financial Reporting: 1987-1997, An
Analysis of U.S. Public Company, atas
perusahaan yang listing di Securities
Exchange Commission (SEC) selama
periode Januari 1987-Desember 1997
dapat disimpulkan bahwa teridentifikasi
sejumlah 300 perusahaan (sekitar 50%)
yang terdapat fraudulent financial
reporting. Hasil analisa perusahaan yang
terkategori fraudulent financial reporting
memiliki karakteristik yaitu mengalami

116

permasalahan
bidang
keuangan
(experiencing financial distress), lax
oversight dan terdapat fraud dengan
jumlah uang yang besar (ongoing, largedollar frauds). Beberapa perusahaan
yang termasuk kasus/skandal fraudulent
financial reporting antara lain Enron,
Tyco, Adelphia dan WorldCom. Menurut
KPMG dalam Fraud Survey 2003 faktorfaktor yang menyebabkan kecurangan
dalam perusahaan diantaranya sebagai
berikut (dalam persentase di tahun
2003):
Colussion between employees and
third parties : 48
Inadequate internal controls : 39
Management override of internal
controls : 31
Colussion between employees and
management : 15
Lack of control over management by
directors : 12
Ineffective or nonexistent ethics or
compliance program : 10
Sedangkan kondisi yang dapat
meyebabkan terjadinya fraud dalam
perusahaan menurut Arens dalam
bukunya Auditing & Assurance Services
An Integrated Approach (2008 : 340)
adalah sebagai berikut :
1. Tekanan/Insentif
Manajemen atau karyawan lain
disuap atau ditekan untuk melakukan
kecurangan.
2. Kesempatan/Peluang
Kondisi yang menyebabkan terjadinya peluang bagi manajemen
dan karyawan untuk melakukan
fraud
3. Sikap/Etika
Sikap, karakter, dan nilai budaya

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

yang dianut oleh perusahaan yang


memungkinkan manajemen untuk
melakukan tindakan yang tidak jujur.

3. Kerangka Pemikiran
Sarbanes-Oxley
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
akuntabilitas
dari manajemen perusahaan publik,
memperbaiki tata kelola perusahaan,
meningkatkan pengawasan (oversight)
dari kantor akuntan publik dan
merestorasi kepercayaan investor dalam
pasar modal. Sarbanes-Oxley meliputi
beberapa hal antara lain seperti, pendirian
Public Company Accounting Oversight
Board, independensi auditor, serta
peningkatan dalam hal pengungkapan
di dalam laporan keuangan.
Dalam salah satu pasalnya, yaitu
section
302,
disebutkan
bahwa
eksekutif perusahaaan diharuskan untuk
memberikan sertifikasi terhadap laporan
keuangan tahunan. Sertifikasi tersebut
harus ditandatangani oleh manajemen
tertinggi di dalam perusahaan seperti
CEO (Chief Executive Officers) dan CFO
(Chief Financial Officers) dan tidak boleh
diwakilkan kepada pihak manapun.
Selain itu, pihak yang berwenang
harus menyatakan bahwa mereka
bertanggung jawab atas pembentukan
dan pengelolaan sistem pengendalian
tersebut untuk memastikan bahwa
informasi yang ada di dalam laporan
terkait dengan perusahaan dan anakanak perusahaan. Pada saat di mana
laporan periodik sedang dipersiapkan,
pejabat
yang
berwenang
harus
melakukan evaluasi terhadap efektivitas
dari pengendalian internal yang ada di
dalam perusahaan dalam jangka waktu
90 hari sebelum laporan diterbitkan.

Laporan tersebut kemudian menyajikan


kesimpulan
mereka
mengenai
efektivitas dari pengendalian internal
berdasarkan evaluasi pada tanggal di
atas di dalam laporan mereka. Penting
sekali bagi eksekutif perusahaan untuk
memiliki pengetahuan yang mendasar
mengenai auditing dan pengungkapan
laporan keuangan sebelum mereka
dapat mensertifikasi laporan keuangan
tahunan perusahaan. Dalam melakukan
sertifikasi, orang yang berwenang dalam
perusahaan (seperti CEO dan CFO), juga
menunjukkan bahwa mereka memiliki
pengetahuan mengenai perusahaan
terkait dengan segala macam informasi
yang material bagi para investor.
Sarbanes-Oxley salah satu tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya fraud
financial reporting dan fraud auditing.
Sarbanes-Oxley harus dipatuhi dalam
rangka memenuhi kewajiban SEC apabila
perusahaan memutuskan untuk listing di
NYSE (New York Stock Exchange).

Berdasarkan
uraian
kerangka
pemikiran yang telah diungkapkan di
atas, maka diajukan hipotesis kerja
sebagai berikut:
1. Penerapan Sarbanes-Oxley section
302 berpengaruh positif terhadap
peranan eksekutif perusahaan.

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

117

2. Penerapan Sarbanes-Oxley section


302 berpengaruh positif terhadap
fraudulent financial reporting.
3. Peranan
eksekutif
perusahaan
berpengaruh
positif
terhadap
fraudulent financial reporting.
4. Penerapan Sarbanes-Oxley section
302 berpengaruh terhadap peranan
eksekutif perusahaan dalam rangka
mencegah
fraudulent
financial
reporting.

4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan
digunakan adalah metode deskriptif
dengan pendekatan studi kasus. Metode
deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia,
suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang (Nazir,
1998:66). Menurut Guy (2004), kegiatan
dalam penelitian deskriptif meliputi
pengumpulan data dalam rangka
pengujian hipotesis atau menjawab
pertanyaan yang menyangkut keadaan
pada waktu yang sedang berjalan dari
pokok suatu penelitian. Tujuan penelitian
deskriptif adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki (Nazir,
1998:66). Penelitian deskriptif bertujuan
untuk menggambarkan sifat suatu
keadaan yang sementara berjalan
pada saat penelitian dilakukan, dan
memeriksa sebab-sebab dari suatu
gejala tertentu. Pada bagian lain, Nazir
mengemukakan bahwa keunggulan dari
penelitian deskriptif antara lain adalah
sebagai berikut :

118

1. Dapat meliputi lebih banyak segi


dibandingkan
dengan
metodemetode penelitian lainnya.
2. Telah digunakan secara luas dan
dapat diterapkan pada berbagai
macam permasalahan.
3. Banyak memberikan sumbangan
kepada ilmu pengetahuan melalui
pemberian
informasi
keadaan
mutakhir.
4. Membantu dalam mengidentifikasi
faktor-faktor yang berguna untuk
pelaksanaan penelitian.
5. Metode ini dapat digunakan dalam
menggambarkan keadaan-keadaan
yang mungkin terdapat dalam situasi
tertentu.
Sedangkan
pendekatan
yang
digunakan adalah jenis penelitian
studi kasus, mengambil kutipan dari
Nazir studi kasus yaitu penelitian yang
berkenaan dengan suatu fase spesifik
atau khas dari keseluruhan personalitas.
Yang menjadi subjek penelitian dapat
individu, kelompok, lembaga, maupun
masyarakat. Hasil dari penelitian studi
kasus merupakan suatu generalisasi dari
pola kasus yang tipikal dari individu atau
lembaga yang diteliti.

Populasi dan Sampel


Dalam sebuah penelitian, proses yang
pertama dilakukan adalah menentukan
populasi. Menurut Arikunto (1998:115)
yang dimaksud dengan populasi adalah
keseluruhan objek penelitian, sedangkan
satuan tertentu yang diperhitungkan
sebagai subjek penelitian disebut unit
analisis. Populasi dalam penelitian ini
adalah divisi pengguna (users) terkait
penerapan Sarbanes-Oxley Act 2002.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Unit analisis penelitian ini sama dengan


populasinya yaitu divisi pengguna terkait
penerapan Sarbanes-oxley Act 2002,
yaitu sebanyak 46 orang yang berada di
divisi accounting (akuntansi).

peranan eksekutif perusahaan (Y1)


dan Fraudulent financial reporting
(Y2). Untuk mengukur ketiga
variabel ini dilakukan penyebaran
kuesioner kepada responden dengan
menggunakan ukuran skala ordinal.
Adapun secara rinci operasional
variabel penelitian ini adalah sebagai
berikut :

Operasionalisasi Variabel
Agar penelitian ini sesuai dengan
yang diharapkan, maka perlu dipahami
unsur-unsur yang menjadi dasar dari
suatu penelitian ilmiah yang termuat
dalam operasional variabel penelitian.
Variabel penelitian adalah suatu
atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek, atau kegiatan yang mempunyai
variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulannya. Sesuai dengan tujuan
penelitian, maka terdapat tiga variabel
yang digunakan.
Variabel-variabel tersebut adalah :
1. Variabel independen (X), yaitu
suatu variabel yang keberadaannya
tidak dipengaruhi oleh variabel
lain, sebaliknya variabel ini akan
mempengaruhi variabel lainnya.
Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah Sarbanes-Oxley
Act section 302.
2. Variabel dependen (Y), yaitu variabel
yang keberadaanya merupakan suatu
yang dipengaruhi atau dihasilkan
oleh variabel independen. Variabel
dependen sering disebut sebagai
variabel output, kriteria, konsekuen.
Dalam bahasa Indonesia sering
disebut sebagai variabel terikat.
Variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel
bebas. Dalam penelitian ini yang
menjadi variabel dependen adalah

Uji Validitas
Suatu data dikatakan valid apabila
diukur dengan alat yang tepat. Uji
validitas dilakukan untuk mengetahui
apakah instrumen yang digunakan
benar-benar dapat mengukur variabel
yang dimaksud (Arikunto, 1998:136).
Suatu instrumen pengukur dikatakan
valid jika instrumen tersebut mengukur
apa yang seharusnya diukur. Dengan
kata lain instrumen tersebut mengukur
apa yang seharusnya construct sesuai
dengan yang diharapkan oleh peneliti
(Nur Indrianto dan Bambang Supomo,
1999:181). Dalam penelitian ini, uji
validitas dilakukan untuk mengetahui
apakah pertanyaan-pertanyaan yang
telah disiapkan dalam kuesioner dapat
mengukur variabel sebagaimana yang
kita inginkan. Validitas pertanyaanpertanyaan yang telah disiapkan dapat
diukur dengan mengkorelasikan skor
tetap pertanyaan dengan jumlah skor
totalnya. Dalam hal ini pertanyaan yang
memiliki koefisien korelasi terhadap
skor total lebih kecil dari nilai kritisnya
berarti tidak lolos uji validitas dan harus
diperbaiki atau dibuang. Untuk menguji
validitas, maka dihitung koefisien
korelasi antara masing-masing skor total
dengan menggunakan rumus koefisien
korelasi (r) Pearson. Koefisien korelasi

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

119

yang dihasilkan kemudian dibuat


nilainya. Kriteria yang dikemukakan
menurut Sugiyono (2001:124) yaitu :
Jika r E 0,30 maka item-item
kuesioner valid.
Jika r < 0,30 maka item-item
kuesioner tidak valid.

Hasil Uji Validitas


Pengujian validitas berdasarkan
koefisien korelasi dilakukan dengan
menggunakan SPSS 13.0, diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Variabel Sarbanes-Oxley section 302

Berdasarkan hasil pengujian validitas


dalam tabel di atas, dapat dilihat bahwa
seluruh item pertanyaan mempunyai
nilai r > 0,30, sehingga dapat disimpulkan
bahwa seluruh item dalam kuesioner
peranan eksekutif perusahaan sudah
valid secara statistik.
3. Variabel
Reporting

Berdasarkan hasil pengujian validitas


dalam tabel di atas, dapat dilihat bahwa
seluruh item pertanyaan mempunyai
nilai r > 0,30, sehingga dapat disimpulkan
bahwa seluruh item dalam kuesioner
Sarbanes-Oxley section 302 sudah valid
secara statistik.
2. Variabel
Perusahaan

120

Peranan

Fraudulent

Financial

Berdasarkan
hasil
pengujian
validitas dalam tabel berikut ini, dapat
dilihat bahwa seluruh item pertanyaan
mempunyai nilai r >0,30, sehingga dapat
disimpulkan bahwa seluruh item dalam
kuesioner fraudulent financial reporting
sudah valid secara statistik.

Eksekutif

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

dengan menggunakan SPSS 13.0, hasil


uji reliabilitas dapat dilihat sebagai
berikut:

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah kuesioner dapat
memberikan ukuran yang konstan atau
tidak (Arikunto, 1998:144). Pengukuran
yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu
pengukuran yang mampu memberikan
hasil ukur yang terpercaya (reliable).
Tingkat reliabilitas secara empiris
ditunjukkan oleh suatu angka yang
disebut koefisien reliabilitas. Jika alat
ukur menggunakan skala yang skornya
bukan 0-1, tetapi merupakan rentangan
antara beberapa nilai, misalnya skala
Likert, dapat menggunakan prosedur
dari Cronbach yang dikenal sebagai
teknik Cronbachs alpha (Umar Husein,
2002:119-123). Besar koefisien ini
dihitung dengan menggunakan rumus :

Jika koefisien reliabilitas (alpha


Cronbach) E 0,70 maka dapat disimpulkan
bahwa kuesioner yang digunakan untuk
mengukur suatu dimensi adalah reliable
(Hair, 1998:118).

Hasil Uji Reliabilitas


Pengujian reliabilitas berdasarkan
koefisien Cronbachs alpha dilakukan

1. Variabel Sarbanes-Oxley section 302


Berdasarkan
hasil
pengujian
reliabilitas dalam tabel 3.5 di bawah
ini, dapat dilihat bahwa nilai koefisien
sama dengan 0,958. Nilai koefisien ini
lebih besar dari 0,7, sehingga dapat
disimpulkan bahwa seluruh item dalam
kuesioner Sarbanes-Oxley section 302
sudah reliable secara statistik.

2. Variabel
Perusahaan

Peranan

Eksekutif

Berdasarkan
hasil
pengujian
reliabilitas dalam tabel di atas, dapat
dilihat bahwa koefisien Cronbachs
alpha mempunyai nilai sama dengan
0,921 dan lebih besar dari 0,7. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kuesioner
peranan eksekutif perusahaan adalah
reliable secara statistik.
3. Variabel
Reporting

Fraudulent

Financial

Berdasarkan
hasil
pengujian
reliabilitas dalam berikut ini, dapat
dilihat bahwa seluruh nilai koefisien

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

121

Cronbachs alpha adalah sama dengan


0,924 dan lebih besar dari nilai batas
0,7. sehingga dapat disimpulkan bahwa
kuesioner Fraudulent Financial Reporting
adalah reliable secara statistik.

teoritis dalam analisis regresi klasik,


sehingga asumsi-asumsi regresi klasik
terikat pada analisis jalur tersebut.
Sebelum
mengambil
kesimpulan
mengenai hubungan kausal dalam jalur,
maka terlebih dahulu diuji keberartian
(signifikansi) setiap koefisien jalur yang
telah dihitung. Model yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada
diagram jalur berikut:

Analisis Data
Analisis statistik digunakan untuk
mencari keeratan hubungan antara
variabel-variabel yang diteliti, juga untuk
menguji parameternya. Analisis statistik
yang digunakan penulis adalah analisis
regresi sederhana. Analisis regresi
sederhana digunakan untuk mengetahui
bagaimana
variabel
independen
terhadap variabel dependen. Dari
persamaan tersebut dapat diketahui
besarnya
kontribusi
variabel
X
(independen) terhadap variabel Y1 dan
Y2 (dependen).

Analisis Jalur
Berdasarkan identifikasi masalah,
tujuan penulisan dan hipotesis, maka
metode analisis yang digunakan adalah
metode analisis jalur (path analysis).
Analisis ini bertujuan untuk menentukan
besarnya pengaruh suatu variabel
terhadap variabel lainnya, baik itu
pengaruh yang sifatnya secara langsung
atau tidak langsung serta mengukur
besarnya pengaruh dari suatu variabel
penyebab ke variabel akibat yang
disebut dengan koefisien jalur. Menurut
Bachrudin & L. Tobing (2003:34), aspek
teoritis analisis jalur sama dengan aspek

122

Variabel X pada gambar tersebut


merupakan variabel eksogen. Garis lurus
dengan satu kepala panah merupakan
hubungan bersifat kausalitas, misalnya
variabel X terhadap Z. Variabel Z dan Y
dikenal sebagai endogen. Kedua variabel
endogen selalu terikat kekeliruan, dalam
hal ini dinotasikan ez dan ey yang
merupakan variabel residu gabungan
dari variabel lain diluar X yang mungkin
mempengaruhi Z dan Y tetapi tidak
dimasukkan ke dalam model atau yang
belum teridentifikasi oleh teori. Besarnya
pengaruh dari satu variabel ke variabel
lain dinyatakan dengan suatu koefisien
p. Misalnya, besarnya pengaruh X
terhadap Y dinotasikan dengan y,x p .
Taksiran koefisien jalur diberikan oleh
(Bachrudin & L. Tobing, 2003:34):

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Dimana:
yxi p : koefisien jalur dari variabel
penyebab (x) ke variabel
akibat (y)
bi
: koefisien regresi, diperoleh
melalui analisis regresi biasa.
x i s : simpangan baku variabel x
sy
: simpangan baku variabel y
Koefisien jalur dapat dihitung dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menggambarkan diagram hubungan
antara variabel secara lengkap,
diagram
jalur
mencerminkan
hipotesis konseptual yang diajukan
sehingga tampak dengan jelas
variabel penyebab dan variabel
akibat.
2. Menghitung koefisien jalur.
3. Menghitung koefisien korelasi.
Berdasarkan diagram jalur pada
gambar sebelumnya, struktur variabel
tersebut dapat dinyatakan ke dalam dua
persamaan regresi, yaitu:

dengan:

Y

Z

X

y,x p

: Variabel Fraudulent Financial


Reporting.
: Variabel Peranan Eksekutif
Perusahaan.
: Variabel Sarbanes-Oxley Act
Section 302.
: Koefisien jalur dari variabel
Sarbanes-Oxley (x) ke variabel
Fraudulent (y).

Koefisien ini dihitung dengan rumus


seperti pada persamaan di atas, yaitu:
Dimana:
Z
: Variabel peranan eksekutif
perusahaan.
x
: Variabel Sarbanes-Oxley.

: Koefisien jalur dari variabel
Sarbanes-Oxley (x) ke variabel
peranan eksekutif perusahaan
(z).
Koefisien ini dihitung dengan rumus
seperti pada persamaan di atas, yaitu:

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

123

,n adalah jumlah sampel.


Py,z : Koefisien jalur dari variabel

peranan eksekutif perusahaan

(z) ke variabel Fraudulent (y).
Koefisien ini dihitung dengan rumus
seperti pada persamaan sebelumnya,
yaitu:

Dengan menggunakan koefisien


korelasi, koefisien determinasi multiple
masing-masing persamaan regresi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
untuk persamaan ke 2

, untuk persamaan ke 3

Persamaan ke 2 dan 3 dikenal


dengan istilah standardized regression
dan koefisien regresinya disebut
koefisien regresi parsial standardized,
dalam analisis jalur disebut koefisien
jalur. Koefisien korelasi (r) dapat
dihitung dari nilai koefisien jalur dengan
menggunakan the first law, yaitu:

Setelah nilai koefisien korelasi


diperoleh, selanjutnya dibuat matriks
korelasi R dengan bentuk matriks sebagai
berikut:

124

Dari nilai koefisien determinasi ini


dapat diketahui nilai koefisien jalur untuk
residual masing-masing persamaan,
dengan rumus:

Terdapat dua koefisien determinan


lagi yaitu koefisien determinan multiple
yang diberi notasi
untuk model
yang diusulkan dan M untuk model
setelah terdapat koefisien jalur yang
tidak signifikan (Bachrudin & L. Tobing,
2003:37). Koefisien determinasi multipel
tersebut adalah:

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Pengujian Hipotesis
1. Pengujian secara individual
Koefisien
jalur
yang
telah diperoleh perlu diuji
keberartiannya. Hal ini dilakukan
untuk memenuhi tujuan penelitian
yang telah dibuat sebelumnya.
Menurut Schumacker & Lomax
(1996), uji signifikansi untuk
koefisien jalur sama seperti pada
uji koefisien regresi biasa dengan
menggunakan uji-t (Bachrudin &
Tobing, 2003:36)
a. Pengaruh
Penerapan
Sarbanes-Oxley section 302
terhadap peranan eksekutif
perusahaan
Hipotesis penelitian:
Penerapan Sarbanes-Oxley
section 302 berpengaruh
positif terhadap peranan
eksekutif perusahaan.
Hipotesis statistik:
H0
: Pzx = 0
H1
: Pzx > 0
Statistik Uji:

Hipotesis penelitian:
Penerapan Sarbanes-Oxley
berpengaruh positif terhadap
Fraudulent Financial
Reporting.
Hipotesis statistik:
H0
: Pyx = 0
H1
: Pyx > 0
Statistik Uji:

Kriteria Penolakan:
H0 ditolak jika t > t (1- )(n-2)
c. Pengaruh peranan eksekutif
per usahaan
ter hada p
Fraudulent Financial
Reporting
Hipotesis penelitian:
Peranan eksekutif perusahaan
berpengaruh positif terhadap
Fraudulent
Financial
Reporting
Hipotesis statistik:
H0
: Pyz = 0
H1
: Pyz > 0
Statistik Uji:

Kriteria Penolakan:
H0 ditolak jika t > t (1- )(n-2)
b. Pengaruh
Penerapan
Sarbanes-Oxley section 302
terhadap fraudulent financial
reporting

Kriteria Penolakan:
H0 ditolak jika t > t (1- )(n-2)
2. Pengujian
(model fit)
Menurut

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

kecocokan

model

Pedhazur

pengu-

125

jian kecocokan model dapat


digunakan statistik chi-kuadrat.
Suatu model yang diusulkan
dikatakan cocok dengan data
seandainya matriks korelasi
model teoritis sama dengan
matriks
korelasi
empiris
(reproduce). Model dikatakan
cocok atau fit jika hipotesis nol
diterima (Bachrudin & Tobing,
2003:37).
Hipotesis penelitian:
Penerapan
Sarbanes-Oxley
section
302
berpengaruh
terhadap
peranan
eksekutif
perusahaan
dalam
rangka
mencegah fraudulent financial
reporting.

yang dihipotesiskan bahwa variabel


penerapan Sarbanes-Oxley section
302 mempunyai pengaruh terhadap
peranan eksekutif perusahaan dalam
rangka mencegah fraudulent financial
reporting maka digunakan analisis
jalur untuk mencari besarnya pengaruh
tersebut. Penulis menggunakan bantuan program LISREL 8.5 dengan
menggunakan bahasa perintah (sintax)
SIMPLIS untuk mempermudah analisis
persamaan regresi dan sintax LISREL
untuk analisis koefisien jalurnya.
Langkah pertama dalam analisis jalur
adalah menggambarkan konsep jalur
(pengaruh) setiap variabel dalam model
yang dihipotesiskan. Untuk menjelaskan
hubungan pengaruh antar variabel
tersebut akan dijelaskan pada gambar
berikut:

Hipotesis statistik:
H0 : R = R ( )
H1 : R = R ( )
Statistik Uji:
w= -(n-d) ln
, n adalah jumlah sampel dan
d adalah banyaknya jalur yang
tidak signifikan.
Kriteria Penolakan:
H0 ditolak jika W <

,d

5. Hasil dan Pembahasan


Pengaruh
Variabel
Penerapan
Sarbanes-Oxley Section 302 Terhadap
Peranan Eksekutif Perusahaan Dalam
Pencegahan
Fraudulent
Financial
Reporting
Merujuk
pada
model

126

Gambar di atas konsisten dengan


rumusan hipotesis yang telah ditetapkan
sebelumnya, yaitu:
Hipotesis penelitian:
Penerapan Sarbanes-Oxley berpengaruh
positif terhadap peranan eksekutif
perusahaan dalam mencegah fraudulent
financial reporting.
Berdasarkan output LISREL untuk
analisis jalur model diperoleh hasil
sebagai berikut:

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Berdasarkan hasil analisis jalur dengan


menggunakan LISREL, diperoleh bukti
dalam gambar di atas yaitu statistik chisquare mempunyai nilai nol dan p-value
sama dengan 1 pada taraf signifikansi
0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
secara statistik, model dapat diterima
(p> 0,05) atau dengan kata lain, terbukti
secara statistik bahwa model pengaruh
penerapan Sarbanes-Oxley section 302
terhadap peranan eksekutif perusahaan
dalam rangka pencegahan fraudulent
financial reporting, dapat diterima
berdasarkan analisis jalur terhadap data
pada taraf kepercayaan 95%. Pada hasil
analisis jalur dalam gambar sebelumnya,
besar pengaruh (koefisien jalur) masingmasing variabel sudah dapat diketahui.
Sebelum besar pengaruh ini digunakan,
terlebih dahulu dilakukan pengujian
signifikansi terhadap koefisien-koefisien
jalur tersebut secara satu-satu (parsial).
Pengujian ini untuk menguji apakah
pengaruh (koefisien jalur) yang diperoleh
dalam gambar sebelumnya tersebut
bermakna atau tidak. Berikut ini adalah
hasil analisis pengujian signifikansi
parsial dari masing-masing jalur:

Berdasarkan hasil analisis dalam tabel


di atas, dapat dilihat bahwa jika ditinjau
dari hasil signifikansi koefisien-koefisien
jalur yang menghasilkan kesimpulan
bahwa seluruh pengaruh yang diberikan
variabel ndependen terhadap variabel
dependen adalah signifikan, diperkuat
oleh hasil pengujian signifikansi model
yang menunjukkan bukti yang signifikan,
maka model dapat diterima pada taraf
kepercayaan 95%. Hal ini menjelaskan
bahwa secara statistik terbukti penerapan
Sarbanes-Oxley section 302 memberikan
pengaruh terhadap peranan eksekutif
perusahaan serta memberikan dampak
positif pada pencegahan fraudulent
financial reporting.

6. Kesimpulan

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

1. Penerapan
Sarbanes-Oxley
section 302 berpengaruh positif
terhadap
variabel
peranan
eksekutif perusahaan. Ho ditolak
pada taraf kepercayaan 95%.
2. Penerapan
Sarbanes-Oxley
section 302 berpengaruh positif
terhadap fraudulent financial
reporting. Ho ditolak pada taraf
kepercayaan 95%.
3. Peranan eksekutif perusahaan
berpengaruh positif terhadap
variabel fraudulent financial
reporting. Ho ditolak pada taraf

127

kepercayaan 95%.
4. Penerapan
Sarbanes-Oxley
section 302 berpengaruh terhadap
peranan eksekutif perusahaan
dalam
rangka
mencegah
fraudulent financial reporting. Ho
tidak berhasil ditolak pada taraf
kepercayaan 95%.

DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W.,S. (2003). Fraud
Examination & Prevention. SouthWestern Pub.United States of
America.
Arens, Alvin, A., Elder, R.J., & Beasley,
M.S. (2008). Auditing & Assurance
Services an Integrated Approach.
Pearson Prentice Hall. United States
of America.
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian,
Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta. Jakarta.
Bachrudin, A., dan Tobing, H.L. (2003).
Analisis Data Untuk Penelitian
Survai Dengan Menggunakan Lisrel
8. Jurusan Statistika FMIPA UNPAD.
Bandung.
Carcello, J.V. (2004). Audit Firm Tenure
And Fraudulent Financial Reporting.
University of Missouris. United
States of America.
Committee of Sponsoring Organizations
of the Treadway Commission. (1999).
Fraudulent Financial Reporting :
1987 1997, An Analysis of U.S.
Public Company. COSO. United
States of America.
Effendi, M.A. (2008). Sarbanes-Oxley
Act Sebagai Implementasi GCG.
Akuntan Indonesia, edisi12, Oktober
2008, hal. 39-40.
Enron Debacle, diakses dari www.

128

riskglossary.com, pada tanggal 15


Maret 2009.
Guy,P., & Lander. (2004). What Is
Sarbanes-Oxley?.
Mcgraw-Hill.
United States of America.
Hair, Anderson, Tatham, & Black. (1998).
Multivariate Data Analysis, 5th
Edition, Prentice-Hall International,
Inc, United States of America.
Husein, U. (2002). Metode Komunikasi
Organisasi. PT .Gramedia Pustaka
Utama.Jakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2004).
Standar
Akuntansi
Keuangan.
Salemba Empat.Jakarta.
Indrianto, N., dan Supomo, B. (1999).
Metode Peneltian Bisnis Untuk
Akuntansi dan Manajemen, Edisi
Pertama, BPE, Yogyakarta.
Kieso, D.E., Kimmel., P.D., Weygandt,
J.J. (2002). Accounting Principles, 6th
Edition, John Wiley & Sons, United
States of America.
KPMG. (2003). Fraud Survey 2003,
diakses dari www.kpmg.com, pada
tanggal 30 Maret 2009.
Nazir, M. (1998). Metode Penelitian.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pedhazur, E.J., & Pedhazur, LO.S. (1991).
Measurement, Design, and Analysis.
Student Edition, Lawrence Erlbaum,
United States of America.
Sarbanes-Oxley Act of 2002, diakses
dari www.law.uc.edu, pada tanggal
15 Maret 2009.
Schumacker, L.E., & Lomax, R.G. (1996).
A Beginners Guide to Structural
Equation Modeling, 1st edition,
Lawrence Erlbaum, United States of
America.
Singarimbun, M., dan Effendi, S. (1989).
Metode Penelitian Survai. LP3ES.
Jakarta.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Sugiyono. (2001). Statistika Untuk


Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Zikmund, W.G. (1991). Exploring
Marketing Research. Dryden Press.
United States of America.
www.bapepam.go.id
www.telkom.co.id

Pencegahan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan oleh Eksekutif


Perusahaan berdasarkan Sarbanes-Oxley Act Section 302

129

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam


Kepada Masyarakat
(Studi Kasus di Bangka)
Finalia dan Magdalena Zebua

ABSTRACT
At the opening Fourth paragraph of Act of 1945, stated that one of the goals of advancing
the state is the general welfare, which in the Act of 1945 Article 33 states The earth and
water and natural resources contained in it is controlled by the State and used for the
greatest prosperity of the people, this article has a purpose that the Republic of Indonesia
have to the goal of advancing the general welfare State. When it comes to the facts that
are mandated in the constitution of the Republic of Indonesia was not fully capable in
glory. As a law student I have to enforce the law fairly as possible in accordance with the
purpose of Utility Theory of law that the law aims to justice and Ethical Theory that the
law aims to benefit the greatest number of people. Seeing the condition that occurs in
some areas that have abundant natural resources of the natural wealth but in fact it is not
able to fully enhance the welfare of society, For example in Bangka there inequities in the
distribution of results from tin mining for bangkas society. According to what we already
explained before then the solution is needed in both the rule of law as a protector and as a
rule so that the natural wealth of the right-properly distributed to the prosperity of society.
Keywords : Utility Theory, Welfare Stat

1. Pendahuluan
Tujuan Negara yang tertuang di
dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Alinea Keempat yaitu antaranya
memajukan kesejahteraan umum, dalam
hal untuk memajukan kesejahteraan
umum maka Negara harus mempunyai
modal berupa kekayaan Negara, entah
itu kekayaan alam, kekayaan buatan,
atau kekayaan yang lainnya, namun
seperti yang diamanatkan di dalam
Undang-Undang dasar 1945 Pasal 33

130

bahwa Bumi dan air dan kekayaan


alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, maka jika dilihat dari Pasal
ini kekayaan alam adalah modal bagi
penopang kemakmuran rakyat, seperti
halnya kekayaan alam yang terdapat di
tanah Bangka berupa barang tambang
Timah.
Timah adalah sumber daya tambang
yang
sudah
dilakukan
aktivitas
penambangannya
jauh
sebelum

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

masuknya Kolonial Belanda atau lebih


dari 200 tahun yang lalu. Pulau Bangka
adalah pulau penghasil timah terbesar
di Indonesia, yang mana penambangan
timah pertama kali dikelola secara
administrasi di wilayah mentok pada
masa Kesultanan Palembang I. Pada
tahun 1800 Kolonial Belanda masuk ke
wilayah Mentok dan mengambil alih
pengelolaan penambangan timah dari
Kesultanan Palembang dan membuat
Banka Tin Winning (BTW), yang
berkedudukan di Mentok dan Billiton
Maatschappij
yang
berkedudukan
di Belitung. Pada zaman Orde Lama
hingga sekarang Banka Tin Winning
dinasionalisasi menjadi PT Timah Tbk
yang merupakan badan usaha milik
Negara yang berlandaskan UndangUndang Dasar 1945 (untuk selanjutnya
disingkat menjadi UUD 1945) pasal 33
ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Sama halnya dengan pengelolaan
tambang lainnya, cadangan timah yang
berlimpah di Pulau Bangka telah lebih
dari 200 tahun yang lalu hingga sekarang
yang dikelola oleh perusahaan milik
Negara. Jika kita mengacu pada pasal 33
UUD 1945 bahwa kekayaan alam yang
dikuasai oleh Negara dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat, seharusnya
bisa dikatakan bahwa masyarakat yang
ada di wilayah Bangka khususnya
dapat menikmati hasil keberkahan yang
diberikan oleh Sang Pencipta di dalam
tanah pulau Bangka untuk kesejahteraan
mereka. Namun saat ini kita ketahui
ternyata timah yang ada di bawah kaki

masyarakat Bangka belum sepenuhnya


dapat mereka nikmati untuk menunjang
kehidupan yang layak bagi masyarakat
Bangka dan bukankah jika kita
perhitungkan pengelolaan timah yang
dilakukan oleh PT Timah selaku badan
usaha milik Negara dimulai sejak Negara
Indonesia merdeka tahun 1945 hingga
2011 sekarang ini seharusnya mampu
memakmurkan masyarakat Bangka
sesuai dengan pengamalan UUD 1945.
Kesenjangan mengenai pendistribusian dana hasil dari penambangan
yang dilakukan oleh PT Timah selaku
pihak yang dikuasai oleh Negara yang
ditunjuk untuk melakukan pengelolaan
terhadap timah yang ada di Pulau
Bangka tidak sepenuhnya terdistribusi
dengan baik ke masyarakat Bangka
sehingga menimbulkan pertanyaan bagi
masyarakat Bangka tentang kepemilikan
timah tersebut. Maka hal inilah yang
akan penulis tertarik untuk melakukan
kajian selanjutnya mengenai tanggung
jawab perusahaan PT Timah sebagai
badan usaha milik Negara, ketidakadilan
dalam penerimaan hasil timah bagi
masyarakat dan daerah setempat, dan
harapan masyarakat Bangka terkait
sumber daya alam yang ada di tanah
mereka, berkaitan dengan pasal 33 UUD
1945.

2. Tanggung Jawab Perusahaan


Pengelola Tambang Dalam
Bentuk CSR
Berlandaskan pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang menyatakan sumber
daya alam yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

131

kemakmuran rakyat, PT Timah Tbk telah


menjadi salah satu perusahaan milik
Negara yang ditunjuk untuk mengelola
sumber daya alam yang ada di wilayah
Bangka dan hal ini sejalan dengan
apa yang diamanatkan oleh UndangUndang Dasar 1945, meskipun saham
PT Timah tidak sepenuhnya dimiliki oleh
Negara namun setidaknya tetap mampu
mengakomodir apa yang diamanatkan di
dalam Undang-Undang Dasar tersebut,
namun apakah perusahaan milik Negara
yang bergerak mengelola sumber daya
alam ini telah mampu mempergunakan
pengelolaan sumber daya alam tersebut
untuk kemakmuran rakyat. Di sini
penulis akan membicarakan mengenai
CSR terlebih dahulu sebagai salah
satu bentuk kepedulian dan kontribusi
perusahaan bagi lingkungan setempat
atau masyarakat setempat sebagai salah
satu bentuk implementasi Pasal 33 ayat
(3) untuk kemakmuran rakyat.
Makalah
Prof.
Dr.
Erman
Rajagukguk, S.H., LL.M menjelaskan
bahwa diskusi yang pertama tentang
apakah
perusahaan
mempunyai
tanggung jawab sosial terjadi pada tahun
1930-an di Amerika Serikat. 1 Saat itulah
istilah tanggung jawab perusahaan atau
corporate social responsibility lahir.
Sedangkan CSR di Indonesia ramai
dibicarakan sejak 8 tahun terakhir ini,
menurut Latofi hal ini mulanya karena
perusahaanperusahaan nasional maupun multinasional mengirimkan stafnya
ke luar negeri untuk mengikuti CSR
Forum, baik skala internasional maupun
Asia. Awal dekade ini dunia bisnis
melihat perusahaan tidak boleh semata
mencari keuntungan finansial. Ia harus
bertanggung jawab pada masyarakat

dan lingkungan alamnya. Apalagi dunia


menyaksikan bagaimana reformasi sipil
di Indonesia, juga meluluhlantakkan
perusahaan. Maka CSR bagi dunia
bisnis dianggap sebagai salah satu obat
agar bisa eksis di tempat perusahaan
itu berdiri. Oleh karena itu CSR mulai
dikembangkan sebagai strategi bisnis
perusahaan. 2
Konsep tanggung jawab sosial
perusahaan
mencakup
kepatuhan
perusahaan
kepada
perlindungan
buruh,
perlindungan
lingkungan
hidup, perlindungan konsumen, dan
perlidungan hak azasi manusia secara
keseluruhan, di Undang-Undang No.
25 Tahun 2007 Pasal 15 b tentang
Penanaman
Modal
menyatakan,
bahwa setiap investor berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Penjelasan pasal ini
menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat
pada perusahaan penanaman modal
untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat. Selain itu tanggung jawab
sosial perusahaan dicantumkan lagi
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74
ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan
perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan. Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam konsep
yang
luas
mencakup
kepatuhan
perusahaan kepada Hak Azasi Manusia,
perburuhan, perlindungan konsumen,

1 Prof. Dr. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M, Workshop tanggung jawab perusahaan Konsep dan Perkembangan

Pemikiran Tentang Tanggung Jawab Perusahaan, Yogyakarta 6-8 Mei 2008.

2 Latofi, Ahli CSR Indonesia: CSR Harus Direncanakan dengan Baik

http://www.sampoernafoundation.org/Inspirational-Story/latofi-ahli-csr-indonesia-csr-harus-direncanakan-den
gan-baik.html

132

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

dan lingkungan hidup. Sedangkan


dalam pengertian yang sempit CSR yaitu
pembangunan kesejahteraan masyarakat
sekitar perusahaan berada, hal inilah
yang diharapkan oleh masyarakat
Bangka, bagaimana perusahaan yang
berada di wilayah Bangka khususnya PT
Timah ikut mensejahterakan masyarakat
sekitarnya.
Dalam hal ikut mensejahterakan
masyarakat di sekitarnya sesuai dengan
pengertian CSR dalam arti sempit PT
Timah pun telah melakukan CSR seperti
Program Bina Lingkungan (BL) yaitu
pemberian donasi/sumbangan yang
pendanaannya berasal dari penyisihan
laba Perseroan. Pemberian bantuan yang
dimaksud meliputi: bantuan korban
bencana alam, bantuan pendidikan
pelatihan,
bantuan
peningkatan
kesehatan, bantuan pengembangan
sarana/prasarana
umum,
bantuan
sarana ibadah dan bantuan pelestarian
alam. Di sektor pendidikan, membantu
pembangunan 2 unit gedung baru
Universitas Bangka Belitung, dan
penyerahan
Politeknik
Manufaktur
(Polman)
Timah
ke
Pemerintah
Propinsi Bangka Belitung, yang diikuti
peningkatan status sebagai politeknik
negeri.
Untuk
sektor
kesehatan,
membagikan mobil ambulan kesehatan
gigi dan mulut kepada dinas kesehatan
yang ada di lingkungan kota/kabupaten
di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Dan PT Timah membantu UMKM di
Kabupaten Bangka.
Banyaknya CSR yang dilakukan oleh
PT Timah ternyata tidak sepenuhnya
mampu mengatasi tingkat kemiskinan
ataupun meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Bangka sebagaimana yang


diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Hal ini apakah mungkin
dikarenakan ketidaksesuaian kontribusi
dan bantuan yang diberikan oleh PT
timah kepada masyarakat Bangka
dengan pendapatan yang PT Timah
peroleh dari tanah Bangka sendiri yaitu
untuk PT Timah di tahun 2006 sebesar
4.076 Triliyun, di tahun 2007 sebesar
8,542 Triliyun dan di tahun 2008
sebesar 9,053 triliyun. 3 Hal ini tidak
sebanding dengan CSR yang diberikan
oleh PT Timah dengan pendapatan yang
disumbangkan dari tanah Bangka untuk
pendapatan PT Timah tersebut. Selain
itu ketidaksesuaian ini terlihat dari
dana sumbangan CSR PT Timah yaitu
untuk Negara hanya 2% dari laba bersih
atau sekitar 2-4 Milyar per-tahun yang
terbagi untuk daerah 80% dan 20% ke
pusat. 4 Ketidaksesuaian pendistribusian
hasil PT Timah ini pun ditegaskan oleh
Khairul Amri Rani selaku Kepala Dinas
ESDM Bangka Barat, dikarenakan hanya
berbentuk royalti. 5 Dengan 80% dari 2%
laba bersih untuk dana CSR dan daerah
penghasil Timah itu hanya mendapatkan
royalti, menurut penulis sangat tidak
sesuai dengan apa yang seharusnya
diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal
33 bahwa sumber daya alam dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat maka seharusnya
PT Timah selaku perusahaan yang
mengelola sumber daya alam di wilayah
Bangka harus mampu memberikan
kontribusi yang besar baik dalam
sumbangan berbentuk CSR atau yang
lainnya demi kemakmuran masyarakat
tersebut. Dari penjelasan di atas bisa
dikatakan CSR bukanlah satu-satunya
bentuk sumbangan Perusahaan yang

3 Marwan Batubara, Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat laporan khusus yang

ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara)

4 Wawancara dengan Humas PT Timah.


5 Wawancara dengan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Bangka Barat.

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

133

mengelola sumber daya alam sebagai


bentuk implementasi Pasal 33 ayat (3)
tersebut.
Namun dalam waktu yang sekarang
ini, masyarakat tidak dapat menuntut
banyak mengenai implementasi Pasal 33
ayat (3) tersebut, karena selain Royalti
yang diberikan kepada daerah penghasil
tambang CSR lah yang sedikitnya mampu
menerjemahkan pada kenyataannya
wujud dalam amanat UUD itu. Maka
disini penulis mencoba menawarkan CSR
yang kemungkinan mampu memberikan
kemakmuran bagi masyarakat sebagaimana yang diamanatkan di dalam UUD.
Dalam jawaban Latofi dari pertanyaan
Bagaimana agar CSR juga bisa berperan
bagi kemajuan bangsa, Target CSR di
Indonesia adalah masyarakat miskin.
Agar berdampak pada kemajuan bangsa,
CSR mesti diberi guidance atau petunjuk
berdasarkan
prioritas
kegentingan
masalah.6 CSR yang memprioritaskan
kepentingan masalah inilah salah satu
yang penulis setujui yang setidaknya
bisa tepat sasaran untuk dirasakan
oleh masyarakat, yang mana CSR
tersebut diberikan menjadi salah satu
penyelesaian permasalahan yang ada
disekitar perusahaan, seperti contoh di
beberapa daerah di Bangka yang sangat
kekurangan listrik, maka CSR yang
mungkin benar-benar akan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat adalah
bantuan penerangan lampu jalan atau
bantuan listrik bagi rumah penduduk
yang belum mendapatkan listrik
sehingga CSR yang ada benar-benar ikut
terjun langsung dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada di daerah
tersebut. Selain itu salah satu CSR yang
dilakukan oleh PT Timah, seperti Tryout
untuk siswa siswi SMU yang baru

dilakukan dalam waktu dekat ini, seakanakan hanya menjadi proyek-proyek kecil
bagi pekerja PT Timah dan tidak adanya
peran serta masyarakat dalam pengadaan
CSR tersebut. Pada faktanya lembaga
masyarakat hanya diminta bantuan
sebatas berjalannya tryout saja dan tidak
dilibatkan secara langsung dalam proses
persiapan Tryout tersebut.7 Seharusnya
proyek Tryout untuk siswa siswi SMU
tersebut diserahkan kepada lembaga
masyarakat/organisasi
masyarakat
dalam hal penyiapan baju kepanitiaan,
penyiapan soal dan lembar jawaban
tryout, penyiapan spanduk dan lain-lain,
sehingga proyek yang diserahkan kepada
lembaga masyarakat tersebut setidaknya
bisa membantu penghasilan masyarakat
dalam bidang usaha penyablonan baju
dan spanduk, bidang usaha fotocopy
soal, serta lembar jawaban. Hal ini
kemungkinan besar dapat membantu
usaha-usaha kecil yang ada di daerah agar
ikut serta menikmati kontribusi PT Timah
secara langsung.Namun jika masyarakat
Bangka hanya mengharapkan kontribusi
PT Timah selaku Perusahaan milik
Negara yang mengelola sumber daya
alam yang menguasai hajat hidup orang
banyak yang hanya sebesar 2% dari laba
bersih dan terbagi hanya 80% untuk
daerah maka hal ini sungguh tidak adil
dengan apa yang telah disumbangkan
oleh tanah Bangka kepada pendapatan
PT Timah. Dengan adanya indikasi
ketidakadilan ini yang mendasari penulis
untuk menawarkan salah satu pemikiran
dalam rangka menegakkan keadilan
bagi masyarakat yang hidup di tanah
Bangka tanpa merugikan perusahaan
yang mengelola sumber daya alam
Timah yaitu PT Timah.

6 Latofi, Ahli CSR Indonesia: CSR Harus Direncanakan dengan Baik dapat dilihat pada http://www.sampoerna

foundation.org/Inspirational-Story/latofi-ahli-csr-indonesia-csr-harus-direncanakan-dengan-baik.html

7 Wawancara dengan Humas FAM ( Forum Amar Makruf Nahi Munkar).

134

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

3. Sistem Pemanfaatan Sumber


Daya yang Merata Bagi
Masyarakat Bangka
Pembangunan daerah di Indonesia
selama Era Orde Baru, sejak tahun 1969,
telah membawa banyak kemajuan,
antara lain terlihat dengan peningkatan
pendapatan per kapita di semua daerah,
peningkatan kualitas hidup dan semakin
menurunnya disparitas pendapatan
antar
daerah.
Namun
demikian
kemajuan tersebut tidak sekaligus dapat
menyelesaikan masalah pemanfaatan
secara merata bagi masyarakat di daerah.
Diperlukan bukan sekedar pembagian
royalti dan atau CSR seperti dari PT
Timah kepada masyarakat Bangka,
namun diperlukan juga berbagai
upaya lain untuk memanfaatkan hasil
pertambangan agar merata dan optimal
bagi masyarakat Bangka, antara lain
seperti sarana pemilikan saham PT
Timah sebagai BUMN, pembukaan
kesempatan sistem lelang pengadaan
barang dan jasa yang dapat memajukan
usaha mikro, kecil dan menengah untuk
masyarakat Bangka, serta pendistribusian
hasil pemungutan pajak melalui PAD
(Pendapatan Asli Daerah) yang dapat
dimanfaatkan sebagai modal memajukan
sektor industri dan pariwisata di daerah
Bangka.
A. Pembukaan Kesempatan Sistem
Lelang Pengadaan Barang dan
Jasa oleh BUMN
Lelang sebagai suatu
lembaga hukum mempunyai
fungsi menciptakan nilai dari suatu
barang atau mencairkan suatu
barang menjadi sejumlah uang

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

dengan nilai objektif. Lembaga


lelang pasti selalu ada dalam
sistem hukum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Pertama,
untuk memenuhi kebutuhan
penjualan lelang, sebagaimana
diatur dalam banyak peraturan
perundang-undangan.
Kedua, untuk memenuhi atau
melaksanakan putusan per-adilan
atau
lembaga
penyelesaian
sengketa berdasarkan undangundang dalam rangka penegakan
keadilan (law enforcement).
Ketiga
untuk
memenuhi
kebutuhan dunia usaha pada
umumnya, produsen atau pemilik
benda pribadi dimungkinkan
melakukan penjualan lelang.
Lelang sebagai alternatif
cara penjualan barang telah
cukup lama dikenal. Namun
pada umumnya pengertian yang
dipahami masih rancu. Sering
dikacaukan
dengan
lelang
pengadaan barang atau jasa dalam
rangka pelaksanaan Anggaran
Pelaksanaan lelang, baik yang
dilakukan KPKNL maupun Balai
Lelang
Swasta
prosedurnya
adalah sama, yaitu sesuai dengan
prosedur
dalam
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 150/
PMK.06/2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 40/PMK.07/2006 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Setiap pelaksanaan lelang,
maka Pejabat Lelang membuat
Risalah Lelang yang terdiri dari
bagian kepala, bagian badan

135

dan bagian kaki, dalam Bahasa


Indonesia dan diberi penomoran.
Penandatanganan Risalah lelang
dilakukan oleh:
a. Pejabat
Lelang
pada
setiap lembar di sebelah
kanan atas dari Risalah
Lelang, kecuali lembar
yang terakhir;
b. Pejabat
Lelang
dan
Penjual/Kuasa
Penjual
pada lembar terakhir
dalam hal lelang barang
bergerak; dan
c. Pejabat Lelang, Penjual/
Kuasa
Penjual
dan
Pembeli/kuasa
Strategi yang bisa dikembangkan adalah menjalin kerja
sama dengan swasta khususnya
warga yang berdiam di sekitar
Bangka untuk meningkatkan
peran serta masyarakat sekitar,
masyarakat
didorong
untuk
secara
aktif
memberikan
kontribusinya, tidak saja dalam
menentukan arah dan substansi
kebijakan pemerintah daerah,
tapi juga dalam implementasinya.
Dengan kata lain, masyarakat
dan sektor swasta merupakan
kekuatan yang dapat diandalkan
dalam manajemen kebijakan
publik. Dan dengan menguatnya
arus globalisasi, maka dalam
pengelolaan pemerintahanpun
telah terjadi pergeseran paradigma
dari rule government ke good
governance. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syaukani H.R
:8

Dalam paradigma dari


rule government penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan
dan pelayanan publik senantiasa
menyandarkan kepada peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku. Sementara itu, prinsip
tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) tidak
terbatas hanya pada penggunaan
peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
melainkan
dikembangkan dengan penerapan
prinsip
penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan tidak
hanya melibatkan pemerintah
atau negara (state) semata, tetapi
harus melibatkan intern birokrasi
maupun ekstern birokrasi agar
good governance dapat berjalan
dengan baik.
B. Penyerahan Pajak Perusahaan
Sumber Daya Alam Kepada
Daerah Penghasil Tambang
Sebagai
Perusahaan
BUMN, PT. Timah seharusnya
dapat memaksimalkan kemanfaatannya ketika berada dalam
payung perlindungan Negara,
walaupun terdapat pengelolaan
yang bersifat sebagian komersial
yang mandiri.
Tujuan utama dari PT.
Timah sesuai dengan sifat yang
dimilikinya sebagai BUMN adalah
untuk membantu pemerintah
dalam mendayagunakan sumber
daya alam tambang yang ada
di Indonesia. Selain itu adalah
membantu pemerintah dalam
melaksanakan pemerataan kese-

8 Departemen Dalam Negeri, Jurnal Otonomi Daerah Vol.II No. 2, Jakarta 2002, hal 34.

136

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

jahteraan terutama mengurangi


kesenjangan sosial ekonomi di
daerah pertambangannya itu
sendiri agar tidak tertinggal.
Sebagai Lembaga seminegara sifat independen tetap
dikenakan pajak sebagai wajib
pajak. Merupakan suatu hak
daerah
untuk
mendapatkan
keuntungan langsung secara
ekonomis dari suatu BUMN
yang beroperasi di wilayahnya,
pada dasarnya daerah tersebut
seharusnya memperoleh keuntungan ekonomis secara tidak
langsung antara lain diperoleh
melalui
penyerapan
tenaga
kerja dan penerimaan daerah
dari pajak-pajak daerah seperti
pajak pembangunan I (PBI) dan
pajak penerangan jalan. Selain
itu, daerah juga menerima
retribusi-retribusi seperti retribusi
air permukaan dan retribusi air
bawah tanah, pemakaian bahan
kandungan lokal yang dibutuhkan
BUMN
menjadi
pemasok
lokal, dan lain-lain, termasuk
kontribusi perusahaan Negara
tersebut
dalam
penyediaan
fasilitas umum, rumah ibadah
dan fasilitas sosial lainnya. 9
C. 1. Peluang Melepas sebagian
Saham Kepada Masyarakat
Seperti
yang
telah
disampaikan di atas bahwa selama
ini terjadi ketidakmerataan bagi
masyarakat Bangka terhadap
sumber daya alam yang berada
di bawah kaki mereka yang

seharusnya
bisa
dinikmati
oleh masyarakat Bangka untuk
kemakmuran hidup mereka. PT
Timah selaku perusahaan yang
mengelola sumber daya alam
yang menguasai hajat hidup
orang banyak ini sebaiknya
mampu mengakomodir seluruh
kepentingan masyarakat dalam
kepemilikan
sumber
daya
alam yang mereka miliki untuk
keuntungan yang merata bagi
masyarakat
tersebut
guna
meningkatkan
kesejahteraan
mereka.
Pendapatan yang didapatkan oleh PT Timah triliyunan
pertahunnya, hasil dari melakukan eksploitasi PT Timah di
wilayah Bangka Belitung yang
dimulai setelah kemerdekaan
RI antara tahun 1953-1958 dan
memiliki area pertambangan
sebesar 532,324 hektare yang
tersebar di wilayah Bangka
Belitung. Seharusnya sudah
sewajarnya masyarakat Bangka
khususnya menuntut akan haknya
untuk ikut serta menikmati hasil
kekayaan alam yang mereka
miliki yang dikelola oleh PT
Timah tersebut. Selain hak yang
seharusnya didapatkan oleh
masyarakat Bangka dalam bentuk
CSR, Mitra atau sumbangan
lainya, penulis disini mengkaji
mengenai hak atas kepemilikan
saham PT Timah yang selama
ini terbagi atas saham milik
Negara dan swasta agar juga bisa
menjadi milik masyarakat daerah
setempat.

9 Pungutan-pungutan yang tidak perlu misalnya, keharusan menyumbang pada setiap kegiatan yang dilakukan

para pemuda, semua kegiatan keagamaan, hari-hari besar, bahkan penjualan kalender, buku dan lain-lain.

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

137

Ada 2 hal agar saham


tersebut dapat dimiliki oleh
masyarakat di wilayah tambang,
pertama berdasarkan UUD 1945
telah menjelaskan bahwa sumber
daya alam dikuasai oleh Negara
dan
dipergunakan
sebesarbesarnya bagi kemakmuran
rakyat, beranjak dari itu untuk
mengembalikan lagi kepemilikan
PT Timah yang hampir 40%nya
milik swasta asing harus
di
Nasionalisasikan
secara
utuh menjadi milik Negara
sepenuhnya sejalan dengan
amanat UUD 1945, hasil dari
nasionalisasi secara keseluruhan
tersebut kemudian dijual kepada
Pemerintah Daerah penghasil
tambang
dengan
landasan
asas otonomi daerah dan asas
keadilan lalu Pemerintah Daerah
membagikan saham tersebut
untuk dibeli oleh masyarakat
setempat atau modal pembelian
saham yang dilakukan oleh
Pemerintah
Daerah
berasal
dari modal masyarakat dengan
mekanisme yang akan penulis
jelaskan
selanjutnya.
Dari
sinilah
peluang
masyarakat
di wilayah tambang agar bisa
memiliki saham perusahaan
yang mengelola sumber daya
alam di wilayah mereka. Kedua,
dari 60% saham yang dimiliki
oleh Negara 20%nya diserahkan
kepada
pemerintah
daerah
sebagai wujud otonomi daerah
dalam pengelolaan sumber daya
alam.

138

C. 2. Pemerintah Daerah sebagai


Pihak yang Mengembangkan
Di
dalam
undangundang
penanaman
modal
memerintahkan agar Pemerintah
meningkatkan koordinasi antar
instansi
Pemerintah,
antara
instansi Pemerintah dengan
Bank Indonesia, dan antara
instansi Pemerintah dengan
pemerintah daerah. Koordinasi
dengan
pemerintah
daerah
harus sejalan dengan semangat
otonomi daerah. Pemerintah
daerah bersama-sama dengan
instansi atau lembaga, baik
swasta maupun Pemerintah,
harus lebih diberdayakan lagi,
baik
dalam
pengembangan
peluang potensi daerah maupun
dalam koordinasi promosi dan
pelayanan penanaman modal.
Pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri
urusan penyelenggaraan penanaman
modal
berdasarkan
asas otonomi daerah dan tugas
pembantuan atau dekonsentrasi.
Berdasarkan perintah didalam
Undang-Undang No 25 Tahun
2007
tentang
Penanaman
Modal
bahwa
pemerintah
daerah
harus
diberdayakan
lagi,
dalam
pengembangan
peluang potensi daerah dan
pelayanan penanaman modal
sebagai
bentuk
pemerintah
menjalankan otonomi seluasluasnya dalam mengatur urusan
penyelenggaraan
penanaman
modal berdasarkan asas otonomi

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

daerah10 disini
lah
peran
pemerintah daerah sangat efektif
dalam menjalankan apa yang
diperintahkan di dalam UndangUndang No 25 Tahun 2007
tersebut.
Selain itu berdasarkan
Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang pemerintah daerah
disitu dijelaskan wewenang
daerah
dalam
mengelola
kekayaan
daerah
termasuk
sumber daya alam yang ada di
daerah tersebut, dan berkewajiban
untuk meningkatkan kualitas
kehidupan
masyarakat
di
daerah, sehingga pemerintah
daerah lah lembaga yang paling
berhak
melakukan
sistem
penjualan saham perusahaan
yang mengelola sumber daya
alam di daerah tersebut kepada
masyarakat
Bangka
dalam
rangka untuk mensejahterakan
masyarakat merupakan salah
satu tugas dan kewajiban
pemerintah daerah. Selain itu
sistem ini sebaiknya dilakukan
oleh pemerintah daerah bukan
diserahkan kepada badan usaha
swasta atau lembaga yang lainnya
yaitu untuk mengembalikan lagi
kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah daerah yang selama
ini telah muncul keragu-raguan
dalam membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah
daerah
dapat memprioritaskan dalam
peningkatan sarana dan prasarana
seperti jalan dan fasilitas umum

sebagai permulaan peningkatan


kualitas kehidupan masyarakat di
daerah seperti yang disebutkan di
atas.
C. 3. Mekanisme Penjualan Saham
Oleh Pemerintah Daerah
Kepada Masyarakat Setempat
Pemerintah
Daerah
menjadi wakil masyarakat dalam
pembelian saham PT Timah,
tetapi modal yang diberikan
untuk penanaman modal atau
pembelian saham ke PT Timah
tersebut bukan berasal dari
kekayaan
APBD
melainkan
kekayaan yang berasal dari
modal setiap individu masyarakat
Bangka yang dikumpulkan ke kas
pemerintah.
Penjualan saham oleh PT
Timah tidak melewati Pasar modal
bukanlah tidak pernah dilakukan
sebelumnya
berdasarkan
informasi yang penulis dapatkan
sekitar tahun 1995 adanya
program
PT
Timah
yang
dinamakan Go Public yang mana
karyawan diwajibkan membeli
saham,
peluang
pembelian
saham oleh karyawan PT Timah
ini terdapat perbedaan tergantung
level jabatan dalam PT Timah
tersebut, namun saham tersebut
kemudian dilepas oleh para
karyawan PT Timah dikarenakan
harga saham yang melonjak
tinggi dan deviden yang rendah.
Tetapi disayangkan Go Public
yang pernah dilakukan tidak
melibatkan masyarakat sekitar

10 Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam Penjelasan Umum Pemerintah me-

ningkatkan koordinasi antar instansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, dan antara
instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan
semangat otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta mau
pun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

139

perusahaan tambang, maka dari


itu salah satu sistem pemanfaatan
sumber daya alam yang merata
bagi masyarakat Bangka adalah
melepas kembali saham PT Timah
melalui 2 hal diatas. Mengingat
bahwa selama ini CSR ataupun
kontribusi dari PT Timah yang
ditujukan kepada masyarakat
sebagai bentuk kewajiban untuk
mengamalkan UUD 1945 dalam
memakmurkan
masyarakat
melalui hasil dari pengelolaan
sumber daya alam ternyata
tidak seluruhnya terdistribusikan
dengan baik ke masyarakat untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
mengingat
bahwa
masyarakat
Bangka
seharusnya dapat menikmati
apa yang menjadi hak mereka
secara langsung dan merata atas
sumber daya alam yang mereka
miliki maka menimbang bahwa
tidak semua masyarakat Bangka
paham mengenai jual beli
saham di bursa efek saham dan
tidak semua masyarakat Bangka
mempunyai modal yang besar
agar mampu membeli saham
yang ditentukan oleh bursa efek
saham. maka dari itu, pemerintah
daerah
wilayah
eksploitasi
tambang harus mengakomodir
ketidakmampuan
masyarakat
tersebut.
Agar
masyarakat
mampu memiliki sumber daya
alam yang berada di wilayah
mereka, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai
yang diamanatkan di dalam dasar
konstitusi RI Pasal 33 UUD 1945.

Mengenai mekanismenya
Pemerintah Daerah menjadi wakil
masyarakat dalam pembelian
saham PT Timah, tetapi modal
yang diberikan untuk penanaman
modal atau pembelian saham ke
PT Timah tersebut bukan berasal
dari kekayaan APBD melainkan
kekayaan yang berasal dari
modal setiap individu masyarakat
Bangka
yang
dikumpulkan
ke kas pemerintah. Selain itu
Pemerintah Daerah bertindak
sebagai pihak ketiga atau wakil
masyarakat yang melakukan
pelayanan penanaman modal
sebagaimana diperintahkan di
Undang-Undang No 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal,
dengan melakukan pelayanan
dalam bentuk mengakomodir
keinginan masyarakat untuk
membeli saham PT Timah tanpa
harus membelinya di bursa efek
saham melainkan masyarakat
cukup membeli saham tersebut
per lembar kepada Pemerintah
Daerah
dengan
nilai
per
lembarnya bisa disesuaikan
dengan
kondisi
masyarakat
setempat
melalui
kebijakan
pemerintah daerah. Kemudian
pemerintah daerahlah yang nanti
akan melakukan pembelian
saham PT Timah secara resmi
kepada bursa saham dengan
mengatasnamakan pemerintah
daerah.
Pemerintah
daerah
bertindak seperti biasa dalam
ketentuan pemegang saham dan
kepengurusan perusahaan yang

dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas
otonomi daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi.

140

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

mana diatur di dalam UndangUndang No 40 tahun 2007,


mengenai
pembagian
hasil
dari keuntungan saham yang
dimodalkan oleh masyarakat
melalui perantara pemerintah
daerah
maka
keuntungan
tersebut di bagikan secara merata
kepada penanam modal melalui
sistem administrasi perbankan
yang mana keuntungan tersebut
langsung
didistribusikan
ke rekening setiap individu
masyarakat yang ikut serta
menanamkan modalnya ke pihak
pemerintah dalam pembelian
saham perusahaan PT Timah
sesuai dengan modal yang ia
keluarkan dalam pembelian
saham yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Perbedaan antara Perusahaan PT Timah yang sekarang
yang berstatus PT Timah Tbk
dengan sistem yang penulis
tawarkan, yaitu berada pada cara
pembelian saham perusahaan
tersebut yang mana pembeliannya
diwakilkan oleh pemerintah
dengan modal kekayaan berasal
dari masyarakat bukan dari
APBD, tetapi masyarakat tidak
ikut serta dalam penentuan
pembelian atau penjualan saham
di bursa saham melainkan tugas
dan wewenang itu diserahkan
kepada pihak pemerintah yang
bertanggung jawab atas modalmodal
masyarakat
tersebut.
Disini pemerintah lah yang
membuat
kebijakan
untuk
menentukan harga saham yang

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

pantas dijual ke masyarakat


sehingga masyarakat mampu
untuk membeli saham tersebut,
sebagai contoh jika saham di PT
Timah yang dijual di bursa saham
per lembarnya seharga Rp 2.900
dengan 1 lot nya 500 lembar dan
minimal pembeliannya 500 lot,
maka modal dalam pembelian
saham tersebut harus sebesar
Rp 725.000.000 dan bukankah
tidak semua masyarakat Bangka
mempunyai
modal
yang
begitu besar, maka disinilah
peran serta pemerintah dalam
mengumpulkan
modal
dari
masyarakat sehingga mencapai
standar dalam pembelian saham
PT Timah tersebut di bursa saham,
yang mana Pemerintah menjual
saham kepada masyarakat sesuai
dengan kebijakan pemerintah
daerah sendiri dengan melihat
keadaan kondisi masyarakat
setempat, misalnya pemerintah
daerah menjual saham PT Timah
yang dijual di bursa saham per
lembarnya seharga Rp 2.900
menjadi Rp 1.000 atau tetap,
namun pembelian saham ini
tidak mempunyai batas minimal
pembelian saham seperti di bursa
saham, sehingga masyarakat
dengan modal Rp 100.000 tetap
dapat memiliki saham PT Timah
dan untuk menghindari monopoli
pembelian saham oleh masyarakat
maka pihak pemerintah daerah
harus membuat suatu kebijakan
nilai maksimal saham yang bisa
dibeli oleh masyarakat. Dengan
penjualan saham secara mudah
dan murah kepada masyarakat

141

bukankah itu akan membuka


peluang bagi masyarakat luar
bahkan asing ikut serta dalam
pembelian saham tersebut dan
itu sama saja halnya dengan
pembelian saham yang dilakukan
di bursa saham, disini penulis
menyarankan agar penjualan
saham yang nantinya dilakukan
oleh pemerintah daerah bisa
bekerja sama dengan perangkat
pemerintahan
daerah
yang
lainnya seperti bidang pencatatan
sipil, sehingga pihak masyarakat
yang bisa membeli saham yang
diakomodir oleh pemerintah
daerah
adalah
masyarakat
yang terdata di catatan sipil
daerah, sehingga meminimalisir
kemungkinan bagi pihak luar
untuk memiliki saham tersebut.
Begitu juga hasil dari modal
masyarakat yang di investasikan
melalui pemerintah daerah dalam
memiliki saham PT Timah bisa
langsung didistribusikan berapa
persen dari hasil tersebut untuk
pendapatan asli daerah, dengan
sistem administrasi perbankan
yang efisien dan akurat.

4. Kesimpulan
Keuntungan menggunakan cara ini
antara lain:
1. Perusahaan yang mengelola
sumber daya alam benarbenar sahamnya dimiliki oleh
Negara yaitu oleh warga Negara
Indonesia sesuai amanat UUD
1945 pasal 33 ayat (3) dengan
berlandaskan asas kerakyatan.

142

2. Masyarakat yang tidak paham


mengenai jual beli saham di
bursa efek saham dapat dibantu
oleh pemerintah daerah sebagai
perantara uang yang mereka
modalkan untuk penanaman
modal di perusahaan tersebut.
3. Masyarakat
setempat
dapat
secara langsung memiliki saham
perusahaan yang mengelola
sumber daya alam yang berada
di wilayah mereka.
4. Telah jelas pendistribusian hasil
dari sumber daya alam yang
berada di bawah kaki masyarakat
bisa secara langsung mereka
dapatkan, dengan menerima
penghasilan
perbulan
atau
pertahun yang langsung masuk
ke rekening masyarakat.
5. Pemerintah dapat secara langsung
ikut
serta
mensejahterakan
masyarakat secara keseluruhan.
6. Peningkatan PAD dari penanaman
modal oleh masyarakat dapat
diterima secara langsung oleh
pemerintah daerah melalui pajak
penanaman modal yang langsung
di potong dari hasil keuntungan
penanaman
modal
tersebut
melalui administrasi perbankan.
7. Mengembalikan
kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah
dalam menjalankan perannya
dalam
mencapai
good
government.
8. Meningkatkan rasa memiliki
terhadap
perusahaan
yang
mengelola sumber daya alam
tersebut, dikarenakan masyarakat
juga sebagai pemilik dari
perusahaan.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

Maka dengan beberapa keuntungan


yang penulis jelaskan baik itu bagi
masyarakat daerah, pemerintah daerah,
dan
negera
Republik
Indonesia,
penulis mengharapkan sistem ini bisa
diberlakukan mengingat ketersedian
timah yang semakin menipis berdasarkan
informasi dari US Geological Survey
2006, disebutkan bahwa cadangan
terukur timah di Indonesia adalah sekitar
800.000 sampai 900.000 ton. Dengan
tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000
ton/tahun, atau setara dengan 90.000
ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut
akan mampu bertahan sekitar 10-12
tahun lagi, atau hingga tahun 20172019, yang menyimpan potensi ekonomi
dengan nilai sekitar US$ 18 miliar
atau sekitar Rp 190 triliun harus dapat
dimiliki dan dinikmati keuntungannya
oleh masyarakat dalam peningkatan
perekonomian masyarakat sehingga
benar-benar pengelolaan sumber daya
alam tersebut dipergunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.
Maka dari itu diharapkan pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang yang
mengatur tentang penanaman modal
melalui pemerintah daerah dalam
kepemilikan
saham
perusahaan
yang mengelola sumber daya alam
di daerah tersebut, dengan merevisi
Undang-Undang No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah mengenai
wewenang pemerintah daerah dalam
membuat kebijakan pengelolaan sumber
daya alam terlepas dari hubungan
dengan pemerintah pusat pada Pasal
17 Undang-Undang No 32 Tahun
2004 berdasarkan asas otonomi daerah
seluas-luasnya. Menambah pengaturan
di dalam undang-undang tentang
penanaman modal mengenai prosedur

penanaman modal melalui pemerintah


daerah sebagai perantara masayarakat
daerah dalam penanaman modal di
perusahaan yang mengelola sumber
daya alam di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Prof. Dr. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M,
Workshop
tanggung
jawab
perusahaan
Konsep
dan
Perkembangan Pemikiran Tentang
Tanggung
Jawab
Perusahaan,
Yogyakarta 6-8 Mei 2008.
Marwan Batubara, Menggugat
Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Menuju Negara Berdaulat laporan
khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N
(Komite
Penyelamat
Kekayaan
Negara).
Erwiza Erman (Peneliti LIPI), Politik
Penguasaan Sumber daya Timah di
Bangka-Belitung.
dengan Hati Nurani. Erlangga.
Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal
Undang-undang No 40 tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah
Lain-Lain
http://www.sampoernafoundation.
org/Inspirational-Story/latofi-ahli-csrindonesia-csr-harus-direncanakandengan-baik.html

Mengembalikan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Kepada Masyarakat


(Studi Kasus di Bangka)

143

http://www.timah.com/ina/programsosial/
http://www.timah.com/ina/statistikbantuan-csr/
http://www.timah.com/ina/pengelolaanlingkungan/
http://www.metrotvnews.com/read/
news/2010/12/05/35988/PT-TimahMiliki-Area-Pertambangan-Terluasdi-Babel/
http://cahayamas.co.id/blog/?p=16

144

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

BIODATA PENULIS

Dr. H. Harifin Andi Tumpa, SH.,


MH.

Lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan


pada tanggal 23 Februari 1942
Pendidikan Sarjana Hukum, Universitas
Hasanuddin, Makassar (Lulus tahun
1972), Pasca Sarjana dari Rijks
Universiteit Belanda (Lulus tahun 1987),
Magister Hukum, Universitas Krisna
Dwipayana, Jakarta (Lulus tahun 2000),
Doktor Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta (Lulus tahun 2006) Hakim,
Pengadilan Negeri Jakarta Barat; Hakim
Ketua, Pengadilan Negeri Mataram;
Hakim Banding, Pengadilan Tinggi
Makassar; Direktur Perkara Perdata di
Mahkamah Agung; Wakil Ketua Hakim
Tinggi, Pengadilan Tinggi Palembang;
Ketua Hakim Tinggi, Pengadilan Tinggi
Palu; Ketua Mahkamah Agung (2009
s/d sekarang); Ketua Komite Nasional
Indonesia ALA.

Dyah Nursasanti, SH., M.Hum.

Lahir di Jakarta, pada tanggal 11


Maret 1981, Menempuh Pendidikan S1
dan melanjutkan Magister Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan Bandung bekerja sebagai
advokat di Djamal SH, and Associate di
Bandung.

Inez Felicia

Lahir di Bandung, tanggal 28


November 1986 mahasiswa Fakultas

Biodata Penulis

Ekonomi, Universitas Kristen Maranatha


(2005 2009).

Lusiyana Devita

Lahir di Bangka, tanggal 15 Juli 1988,


Riwayat Pendidikan: Tahun 1996-2001:
SDN 152 Sungai Selan Bangka, Tahun
2001-2004: SMPN 1 Sungai Selan
Bangka, Tahun 2004-2007: SMA Santo
Yosef Pangkal Pinang Bangka, Tahun
2007-Sekarang: S-1 (Strata 1) Fakultas
Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas
Kristen Maranatha, Bandung.

Meythi, S.E., M.Si., Ak.,

Lahir di Cirebon pada tanggal 17


Februari 1979, Pendidikan strata 1
Akuntansi di Universitas lulus tahun
2001, Strata 2 Akuntansi di Universitas
Gadjah Mada lulus pada tahun 2005,
Lulus Pendidikan Profesi Akuntansi di
Universitas Gadjah Mada tahun 2005,
Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Maranatha hingga sekarang.

Hans Eliezer

Lahir pada tanggal 27 Juni 1987 di


Bogor, S1 Jurusan Akuntansi Universitas
Kristen Maranatha pada tahun 2009.

Rapina, S.E., M.Si., Ak.

Lahir pada tanggal 08 Oktober


1975 di Bandung, S1 Universitas
Kristen Maranatha pada tahun 1998, S2
Universitas Padjajaran pada tahun 2006,

145

Program Pendidikan Profesi Akuntansi


Universitas Kristen Maranatha pada
tahun 2008, Dosen Program Magister
Akuntansi dan Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen
Maranatha.

periode tahun 2011-2012 dan untuk


di luar kampus aktif di keorganisasian
ISBA BANDUNG (Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Bangka di bandung) sejak
2010 sampai sekarang.

Ocktavianus Hartono, SH.

Lahir pada tanggal 3 Maret 1983 di


Bandung, Lulus pendidikan sarjana
hukum Universitas Padjajaran pada
tahun
2005,
sedang
mengikuti
pendidikan di Magister Kenotariatan
Universitas Padjadjaran. Aktif mengajar
Financial Planning dan Business Law
di School of Business and Management
(SBM) Institut Teknologi Bandung dan
berkerja sebagai Legal Officer di PT
PGAS Telekomunikasi Nusantara.

Lahir di Bandung pada tanggal 24


Oktober 1983. Meraih gelah Sarjana
Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum
Bandung pada tahun 2007. Pada saat ini
sedang melanjutkan Master Hukum di
Universitas Katolik Parahyangan. Saat ini
berkarier sebagai Dosen Fakultas Hukum
dan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen
Maranatha Bandung.

Jerry, S.E., M.Si., Ak.

Lahir pada tanggal 26 Mei 1979


di Bandung, S1 Jurusan Akuntansi
Universitas Kristen Maranatha pada
tahun 2002, S2 Universitas Padjajaran
pada tahun 2008, Program Pendidikan
Profesi Akuntansi Universitas Kristen
Maranatha pada tahun 2006, Dosen
Program Magister Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Kristen Maranatha.

Finalia

Lahir di Mentok-Bangka Barat,


tanggal 6 April 1992. Saat ini sedang
mengikuti pendidikan di Universitas
Kristen Maranatha Bandung, Jurusan
Ilmu Hukum angkatan 2010. Selain
kuliah juga aktif di keorganisasian di
dalam kampus dan di luar kampus, untuk
di Fakultas Hukum di Universitas Kristen
Maranatha, pernah menjadi asisten lab
Fakultas Hukum tahun 2010, anggota
Tim Debat Fakultas Hukum dari tahun
2010 sampai sekarang, Menjadi Ketua
Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha

146

Marisa Adiwilaga, SH

Christian Andersen, SH., M.Kn

Lahir di Garut tanggal 24 Januari


1985,
menyelesaikan
pendidikan
sarjana hukum di Universitas Katolik
Parahyangan pada tahun 2008, magister
kenotariatan di Universitas Padjajaran
pada tahun 2010. Saat ini aktif mengajar
Business Law di School Business and
Management (SBM) Institut Teknologi
Bandung dan Pengajar tetap di Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha.

Magdalena Zebua

Lahir di Gunungsitoli, Nias-Sumut,


tanggal 5 Desember 1990. Saat ini sedang
mengikuti pendidikan di Universitas
Kristen Maranatha Bandung, Jurusan
Ilmu Hukum angkatan 2010. Anggota
Peresekutuan Mahasiswa Kristen, asisten
lab Fakultas Hukum Tahun 2010 & 2011,
menjadi wakil ketua komisi pendidikan
di Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha
periode tahun 2011-2012.

Dialogia Iuridica [November 2011, Vol. 3 N o . 1 ]

PETUNJUK BAGI PENULIS


1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada
kertas kuarto (A4), panjang 15-20 halaman dan diserahkan dalam bentuk naskah (hard copy) dan
CD (soft copy).
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau asing dengan standar penggunaan bahasa Indonesia
atau asing yang baik dan benar.
3. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hukum atau disiplin lain yang terkait
baik sebagai hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual.
4. Artikel hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
a. Judul
b. Nama Pengarang
c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50100 kata)
d. Kata-Kata Kunci
e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian
f. Metode Penelitian
g. Pembahasan
h. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran
i. Daftar Pustaka
5. Artikel Ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
a. Judul
b. Nama Pengarang
c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50100 kata)
d. Kata-Kata Kunci
e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah
f. Pembahasan
g. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran
h. Daftar Pustaka
6. Setiap Kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan ditulis dengan sistem foot
note dengan pedoman sebagai berikut:
a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi. Bandung: 2004, hlm 29.
b. Johannes Ibrahim. Konsep Pemikiran Komprehensif Bagi Pemeriksaan Secara Hukum Aset
Kredit Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Artikel dalam Era
Hukum No. 4 Tahun V/1999, hlm.228.
c. Johannes Ibrahim. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan
Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009, hlm.184.
7. Daftar Pustaka disajikan mengikuti tata cara seperti contoh di bawah ini (diurut secara alfabetis
dan kronologis)
8. Melampirkan biodata penulis secukupnya dan foto copy bukti diri.
a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi. Bandung: 2004
b. Johannes Ibrahim. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan
Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009
9. Artikel yang tidak dimuat dikirimkan kembali kepada pengirimnya apabila disertai dengan
perangko balasan yang cukup dan alamat yang jelas.
10. Artikel yang dimuat tidak dipungut biaya dan tidak mendapatkan honor penulisan, hanya
memperoleh 3 (tiga) eksemplar jurnal Dialogia luridica.

Anda mungkin juga menyukai