MODUL 1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
2.1 SKENARIO
PENYAKITKU KAMBUH LAGI
Farhat Abis (28 tahun), sejak 3 hari yang lalu mengalami demam
tinggi. Demam menurun bila ia minum parasetamol. Selain itu ia juga
mengalami mual, muntah, sefalgia, malaise dan anoreksia. Hari ini ia
merasakan gejala yang lebih berat dari sebelumnya, sehingga ia
memutuskan untuk berobat ke Puskesmas. Hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh Hb 10 gr%, lekositosis, Gula Darah Sewaktu
100 mg/dL, Widal negatif. Pemeriksaan hapusan darah diperoleh
beberapa ukuran eritrosit yang membesar. Farhat Abis mengatakan
bahwa ia pernah mengalami gejala seperti ini sekitar 9 bulan yang lalu
ketika ia bekerja di perusahaan tambang batu bara di daerah Penajam
Paser Utara, dan saat itu ia diberi obat doksisiklin selama 5 hari dan
secara klinis dinyatakan sembuh.
Demam
bifasik/pelana kuda
Demam
intermiten
Definisi
Malaria Etiologi
Demam step Patofisiologi
ladder Patogenesis
Demam Pemeriksaan fisik & penunjang
Typhoid Pengobatan
Pencegahan
Komplikasi
DF
Pada dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari
III. Dipakai untuk P.Falciparum maupun P.Vivax (Harijanto, 2009).
Sulfadoksin-Pirimetamin (SP),
500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin, orang dewasa 3 tablet
dosis tunggal (1kali), atau dosis anak memakai takaran
pirimetamin1,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk
plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P.Vivax. Bila terjadi
kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP (Harijanto,
2009).
Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg) dosis yang dianjurkan ialah 3 x l0
mg/ kg BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk .P falciparum maupun
P. vivax. Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi
resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk
waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai
sampai selesai (Harijanto, 2009).
Primakuin : ( 1 tablet I 5 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/
pengobatan radical terhadap P. Falciparum maupun P. Vivax. Pada P.
Falciparum dosisnya 4 5mg ( 3 tablet) dosis tunggal untuk
membunuh gamet, sedangkan untuk P. vivax dosisnya 15mg /hari
selama1 4 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-
relaps) (Harijanto, 2009).
Penggunaan Obat Kombinasi Non-ACT
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi
multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat
menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini
adalah sebagai berikut (Harijanto, 2009) :
a. Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin
b. Kombinasi SP + Kina
c. Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/Tetrasiklind
d. Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin)
e. Kina + Doksisiklin Tetrasiklin
f. Kina + Klindamisin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring
respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria
berlangsung cepat dan meluas (Harijanto, 2009).
1.8. Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting bagi individu
yang tidak tinggal di daerah endemik. Khususnya pada turis baik nasional
maupun internasional. Yang menjadi permasalahan adalah
kemoprofilaksis yang diberikan tidak menyebabkan proteksi penuh
terhadap malaria. Oleh karena itu, hal-hal pencegahan berikut dapat
dilakukan untuk semakin memperkecil resiko terkena malaria (Harijanto,
2009).
a. Tidur dengan kelambu yang telah dicelup pestisida.
b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk.
c. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit
atau menggunakan baju yang memproteksi seperti lengan panjang,
kaus kaki, atau stocking.
d. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dari nyamuk dengan
kawat anti-nyamuk.
Bila akan memberikan kemoprofilaksis, maka harus mengetahui
sensitivitas plasmodium yang ada di tempat tujuan. Bisa menggunakan
klorokuin dengan dosis 2 tablet 1 minggu sebelum berangkat ke daerah
endemik, serta 4 minggu setelah pulang. Pada daerah yang resisten
terhadap penggunaan klorokuin, dapat digunakan doksisiklin 100 mg/hari
atau mefloquin 250 mg/hari atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah
proguanil 200 mg/hari. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu
primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/hari (Harijanto, 2009).
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal
yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada
plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur
plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P.Falciparum sekarang
baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap
P.Falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu
vaksin sporozoit (bentuk intra hepatic), vaksin terhadap bentuk aseksual
dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit
(Harijanto, 2009).
2. Demam Typhoid
2.1. Definisi
Demam tifoid atau paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus
halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan
paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis
(Widodo, 2009).
2.2. Etiologi
Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella typhi (Widodo, 2009).
2.3. Epidemiologi
Surveilans Depertemen Keseharan RI, frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada than 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994
terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari than 1981-1986
2.8. Penatalaksanaan
- Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan (Widodo, 2009)..
- Diet dan terapi penunjang dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Dulu, penderita
demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi, dimana perubahan
diet tersebut di sesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien
(Widodo, 2009).
- Pemberian antimikroba bertujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman (Widodo, 2009). Obat-obatnya antara lain:
a. Kloramfenikol, dosisnya 4 x 500 mg per hari sampai dengan 7
hari bebas panas.
b. Tiamfenikol dosisnya hampir sama dengan kloramfenikol.
c. Kotrimoksazol, dosis untuk orang dewasa 2 x 2 tablet ( 1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetiprim)diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin, dosisnya berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
2.9. Pencegahan
- Preventif dan Kontrol Penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan
peledakan kasus luar biasa demam tifoid mencakup banyak aspek,
mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan
faktor pejamu serta faktor lingkungan (Widodo, 2009).
- Identifikasi dan eradikasi S.Typhi pada pasien tifoid asimtomatik,
karier, dan akut (Widodo, 2009).
- Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.Typhi akut
maupun karier (Widodo, 2009).
- Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
(Widodo, 2009).
- Tindakan preventif pada daerah non-endemik :
a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan
makanan minuman.
c. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier (Widodo, 2009).
Pada daerah endemik :
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari hasil kegiatan tutorial, kami dapat menyimpulkan beberapa hal.
1. Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria memberikan geala berupa
demam, menggigil, anemia, dan hepatomegali. Dapat berlangsung akut
ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupin mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat.
2. Demam Tifoid atau paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus
halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan
3.2. Saran
Dengan selesainya laporan ini, kami selaku penyusun berharap agar
laporan ini bisa dijadikan sebagai salah satu referensi bagi pembaca untuk
memahami pembahasan mengenai penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan terhadap Malaria, Demam Tifoid, dan Demam
Dengue/DHF/DSS.
Pendalaman materi lagi harus dilakukan oleh tiap-tiap mahasiswa
untuk lebih memahami tentang topik modul ini. Selain itu, hal-hal yang
masih belum jelas dalam jalannya proses tutorial akan ditanyakan pada saat
pleno.
DAFTAR PUSTAKA
Harijanto, Paul N. 2009. Malaria dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III edisi V.
Harijanto, Paul N. 2008. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Jakarta: EGC.
Suhendro, dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III
edisi V.
Sutanto, Inge. 2008. Parasit Malaria dalam Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III edisi V.