Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10

MODUL 1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan tropis, dimana
hal ini sangat menunjang perkembangan berbagai macam
mikroorganisme yang mampu menjadi pathogen bagi manusia dan
menyebabkan penyakit.
Sebagian besar infeksi mikroorganisme akan menyebabkan
mekanisme peradangan yang salah satunya ditandai dengan demam. Hal
ini menyebabkan banyak kasus pasien dimulai dari gejala demam.
Berbagai macam mikroorganisme menyebabkan demam yang memiliki
karakteristik masing-masing dan gejala ikutan yang khas pula.
Infeksi protozoa seperti malaria, infeksi virus misalnya demam
dengue, dan infeksi bakteri seperti demam tifoid memiliki ciri yang sama
yaitu disertai dengan demam. Namun demam yang terjadi berbeda-beda
jenisnya. Selain itu, gejala penyerta masing-masing penyakit tersebut pun
berbeda. Padahal secara kasat mata penyakitnya tergolong sama dan
sering seklai terjadi pada masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah
laporan hasil diskusi kelompok ini disusun.

1.2 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah agar mahasiswa khususnya
angkatan 2012 Fakultas Kedokteran, Program Studi Kedokteran Umum,
mampu memahami, menjelaskan, dan melakukan penatalaksanaan juga
pencegahan terhadap Malaria dan mampu membedakannya dengan
demam yang hampir serupa, yaitu demam karena infeksi virus Dengue
dan demam Tifoid.

Penyakit Infeksi Protozoa 1


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

BAB II
ISI

2.1 SKENARIO
PENYAKITKU KAMBUH LAGI
Farhat Abis (28 tahun), sejak 3 hari yang lalu mengalami demam
tinggi. Demam menurun bila ia minum parasetamol. Selain itu ia juga
mengalami mual, muntah, sefalgia, malaise dan anoreksia. Hari ini ia
merasakan gejala yang lebih berat dari sebelumnya, sehingga ia
memutuskan untuk berobat ke Puskesmas. Hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh Hb 10 gr%, lekositosis, Gula Darah Sewaktu
100 mg/dL, Widal negatif. Pemeriksaan hapusan darah diperoleh
beberapa ukuran eritrosit yang membesar. Farhat Abis mengatakan
bahwa ia pernah mengalami gejala seperti ini sekitar 9 bulan yang lalu
ketika ia bekerja di perusahaan tambang batu bara di daerah Penajam
Paser Utara, dan saat itu ia diberi obat doksisiklin selama 5 hari dan
secara klinis dinyatakan sembuh.

2.2 STEP 1 IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT


1. Sefalgia :
Sakit kepala, nyeri sebagian/seluruh, di akibatkan kekurangan oksigen ke
otak.
2. Malaise:
Perasaan lesu atau tidak enak badan; perasaan samar dan lelah.
3. Doksisiklin:
Merupakan derivat tetrasiklin; obat anti malaria; obat ini memiliki waktu
paruh lebih panjang; merupakan kemoprofilaksis pada P.falciparum;
memiliki kelebihan penyerapan sempurna.
4. Anoreksia:
Kehilangan selera makan
5. Widal:

Penyakit Infeksi Protozoa 2


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis demam typhoid. Untuk


mengetahui titer antibodi khususnya H dan O.
6. Parasetamol:
Merupakan obat untuk mengurangi nyeri dan menurunkan demam. Nama
lainnya adalah asitaminofen.
7. Gula darah sewaktu:
Pengukuran kadar gula darah pada waktu itu juga. Bisa dilakukan saat
puasa atau tidak.

2.3 STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH


1. Apakah interpretasi dari semua pemeriksaan pada skenario (Hb : 10gr%,
leukositosis, gula darah sewaktu 100 mg/dL, widal negatif, eritrosit
membesar) ?
2. Apakah kemungkinan penyebab dari gejala yang dirasakan Farhat Abis?
3. Apa hubungan tempat pekerjaan dengan penyakit Farhat Abis dan ada
apa dengan PPU?
4. Bagaimana cara kerja parasetamol dan doksisiklin?
5. Apakah diagnosis penyakit pada kasus tersebut?
6. Apakah diagnosis penyakitnya yang sekarang sama dengan penyakit
yang dulu, jika iya mengapa bisa terulang?
7. Mengapa bisa terjadi penyakit tersebut dan bagaimana pengobatannya?
8. Apakah upaya preventif dari kasus tersebut?
9. Apakah komplikasi dari penyakit tersebut?

2.4 STEP 3 CURAH PENDAPAT


1. Hb 10gr% normalnya 14-18 pada laki-laki dewasa, interpretasi dari
skenario tersebut Hb menurun, anemia, terjadi gangguan oksigen, terjadi
gangguan pada sel darah merah. Jika kemungkinan malaria, sporozit
memakan Hb menyebabkan eritrosit berbentuk abnormal yang ada
skizon.
Leukositosis meningkat, ada antigen yang masuk tubuh penderita dan
menginfeksi.

Penyakit Infeksi Protozoa 3


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Gula darah sewaktu meningkat


Eritrosit membesar makrositik
Widal (-) bukan typhoid, namun pemeriksaan ini kurang valid.
Harusnya dilakukan setelah seminggu. Bisa negatif palsu yang
dikarenakan salah satunya pengamblan darah yang sedikit.
2. Gejala :
Demam adanya infeksi parasit GPI (jika malaria), karena adanya
toksin yang dikeluarkan, merangsang sel-sel makrofag yang merangsang
hipotalamus, meningkatkan dipusat termostar vasokontriksi
menggigil.
Mual-muntah rangsangan pusat mual yang berlebihan, lambung
kosong dan menyebabkan asam lambung meningkat, bisa karena
gangguan di tubuh, bisa karena infeksi,. Mual muntah juga dapat
berhubungan dengan sefalgia dan malaise.
Sefalgia karena anemia, oksigen ke otak kurang, mediator-mediator
kimia dari sel makrofag sampai ke otak, bisa karena nafsu makan
berkurang, eritrosit yang pecah menyebabkan oksigen ke otak kurang.
3. Merupakan daerah endemis dan di PPU merupakan daerah tambang,
dimana daerah tambang tersebut terdapat banyak genangan air tempat
jentik-jentik nyamuk berkembang.
4. Cara kerja parasetamol : terdapat gugus amino menghambat
prostaglandin menurunkan panas. Efek anlgetiknya mampu
mengurangi rasa nyeri. Parasetamol mampu menurunkan dipusat
termostar dan terjadi vasodilatasi.
Cara kerja doksisiklin : merupakan golongan obat anti malaria, namun
bisa juga pada gangguan pernapasan. Kerajanya lambat pada malaria,
oleh karena itu harus dibarengi dengan obat anti malaria lainnya.
5. Diagnosis sementara : Malaria
Diagnosis banding : Demam typhoid, dan DHF
6. Jika malaria tipe P.vivax dapat menetap dalam beberapa tahun, oleh
karenanya iya bisa kembali lagi. Adanya dorman. Bisa karena relaps

Penyakit Infeksi Protozoa 4


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

parasit belum sembuh sempurna, di darah dan hepar terdapat hipnozoit.


Terjadi resisten.
7. Patogenesis : nyamuk membawa parasit masuk kedalam tubuh
penderita beredar didalam darah terjadi infeksi.
Pengobatan : tergantung yang menginfeksi, baik P. Falcifrum, P. Ovale,
P. Vivax, dan P. Malariae pengobatannya berbeda-beda.
8. Pencegahan : peningkatan daya tahan tubuh, meminum obat sebelum
pergi ke daerah endemis, jauhi daerah endemis, tidur dengan
menggunakan kelambu, gunakan obat nyamuk, membersihkan tempat-
tempat yang memiliki potensi adanya nyamuk.
9. Komplikasi : DHF, anemia megaloblastik, Malaria berat ( terjadi
obstruksi di pembuluh darah, ikterus (gangguan fungsi hati), malaria
cereberal, gangguan fungsi ginjal.

Penyakit Infeksi Protozoa 5


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

2.5 STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP

Demam
bifasik/pelana kuda

Demam Sefalgia Malaise Anoreksia Mual -muntah


Demam Naik
Mendadak

Demam
intermiten
Definisi
Malaria Etiologi
Demam step Patofisiologi
ladder Patogenesis
Demam Pemeriksaan fisik & penunjang
Typhoid Pengobatan
Pencegahan
Komplikasi
DF

2.6 STEP 5 MERUMUSKAN SASARAN PEMBELAJARAN


Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, Patofisiologi,
Patogenesis, Pemeriksaan fisik & penunjang, Pengobatan, Pencegahan
dan Komplikasi dari :
1. Malaria
2. Demam Typhoid
3. Demam Infeksi Dengue

2.7 STEP 6 BELAJAR MANDIRI


Belajar mandiri dilaksanakan dari hari Senin tanggal 10 Januari
2014 sampai dengan hari Rabu tanggal 12 Januari 2014.

Penyakit Infeksi Protozoa 6


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

2.8 STEP 7 SINTESIS


1. Malaria
1.1. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria memberikan geala berupa
demam, menggigil, anemia, dan hepatomegali. Dapat berlangsung akut
ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupin mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi
babesiosa yang menyebabkan babesiosisa (Harijanto, 2009).
1.2. Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain
menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan
burung, reptile, dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari famili
plasmodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel
darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di
eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles
betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang
menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptile dan 22 pada
binatang primata) (Harijanto, 2009).
Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah plasmodium vivax
yang menyebabkan malaria tertiana (Benign Malaria) dan Plasmosium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Maligna Malaria).
Plasmodium malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang biasanya
di Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Plasmodium ovale
pernah dilaporkan dijumpai di Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, Pulau
Timor, dan Pulau Owi (utara Irian Jaya) (Harijanto, 2009).
1.3. Patogenesis
Terjadi melalui siklus:
1. Seksual dalam tubuh nyamuk.

Penyakit Infeksi Protozoa 7


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Mikrogametosit dan Makrogametosit yang terdapat dalam darah


manusia yang dihisap nyamuk nantinya akan berubah menjadi
makrogamet dan mikrogamet. Mikrogamet dan makrogamet di
dalam lambung nyamuk akan mengalami fertilisasi dan membentuk
zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet yang dapat
menembus dinding lambung nyamuk dan berubah menjadi ookista
yang mengandung ribuan sporozoit yang akan menyebar ke seluruh
jaringan tubuh nyamuk termasuk ke kelenjar liur nyamuk. Ketika
nyamuk menghisap darah manusia maka sporozoit dalam liur
nyamuk akan masuk ke dalam tubuh manusia.

2. Aseksual dalam tubuh manusia.


Terdiri dari fase pre eritrositik dan fase eritrositik.
Fase Pre Eritrositik :
Terjadi di hepar. Sprozoit masuk ke hepar melalui aliran darah
dalam waktu 45 menit. Spozoit ini menginfeksi sel hepatosit dan
matang menjadi skizon yang mengandung 5000-30.000 merozoid.

Penyakit Infeksi Protozoa 8


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Proses ini membutuhkan waktu 5,5 hari pada Plasmodium


falciparum dan 15 hari pada Plasmodium ovale dan Plasmodium
vivax. Saat skizon pecah maka merozoid akan masuk kembali ke
darah dan mulai menginfeksi eritrosit.
Fase erotrositik :
Terjadi dalam eritrosit. Merozoid menginfeksi eritrosit dan
berkembang menjadi tropozoid muda pada 24 jam I dan menjadi
tropozoid matur pada 24 jam II. Pada tropozoid matur terdapat
knob di permukaannya yang berbentuk tonjolan kecil. Ketika
tropozoid matur mengalami merogoni maka dilepaskan toksin
malaria berupa GPI (Glikosilfosfatidilinositol) yang akan
merangsang pelepasan TNF alfa dan Interleukin-I.
Tropozoid matur ini akan matang menjadi skizon yang
mengandung sekitar 30 merozoid di dalam nya, dan ketika skizon
pecah maka eritrosit juga pecah menyebabkan merozoid keluar.
Sisa pigmen merozoid dan sisa sel akan di bawa ke plasma darah.
Sebagian merozoid akan difagositosis dan sebagian akan
menginfeksi eritrosit kembali, beberapa merozoid selanjutnya akan
berkembang menjadi gametosit yang nantinya dihisap oleh
nyamuk.
Terdapat fenomena yang penting dalam patofisologis kerusakan
organ dalam, yaitu:
1. Sitoadherens :
Sitoadherens ialah perlekatan antara EP (bentuk aseksual
parasit dalam eritrosit) stadium matur pada permukaan endotel
vaskular. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang
terletak dipermukaan knob EP melekat dengan molekul-
molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskular.
Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut
PfEMP-1 (Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane
Protein-1). Molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular
adalah CD36, trombospondin, ICAM-1, VCAM-1, ELAM-1,

Penyakit Infeksi Protozoa 9


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

dan glycosaminoglycan chondroitin sulfate A (Harijanto,


2009).
2. Skuestrasi :
Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali
dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal
dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya P. Falciparum yang mengalami
sekuesterasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus
terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada
organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh.
Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan
ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit (Harijanto, 2009).
3. Rosetting :
Rosetting ialah bekelompoknya EP matur yang
diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit.
Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga dapat
melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan menyebabkan
obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren (Harijanto, 2009).
1.4. Manifestasi Klinis
- Masa Inkubasi
Masa inkubasi berbeda-beda tergantung jenis plasmodium.
Plasmodium vivax mempunyai masa inkubasi 312-323 hri dan sering
relaps setelah infeksi primer. Masa inkubasi pada inokulasi darah lebih
pendek daripada infeksi sporozoit (Harijanto, 2008).
- Keluhan-keluhan Prodromal
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam.
Keluhan yang muncul dapat berupa lesu, malaise, sakit kepala, sakit
tulang belakang (punggung), nyeri pada tulang atau otot, anoreksia,
perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung (Harijanto, 2008).
- Gejala-gejala Umum

Penyakit Infeksi Protozoa 10


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Gejala klasik berupa Trias Malaria, berupa periode dingin,


periode panas, dan periode berkeringat. Gejala yang mungkin timbul
pada infeksi malaria adalah keadaan anemia. Beberapa mekanisme
terjadinya anemia adalah perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan
eritopoiesis yang sementara, hemolisis karena proses complement
mediated immune complex, eritrofagositosis, dan penghambatan
pengeluaran retikulosit (Harijanto, 2008).
Splenomegali sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa
akan teraba 3 hari setelah serangan infeksi akut. Limpa menjadi
bengkak, nyeri, dan hiperemis (Harijanto, 2008).
1.5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari
penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemic malaria,
riwayat bepergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun
preventif (Harijanto, 2009).
Pemeriksaan tetes darah untuk malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya
parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnose. Pemeriksaan
satu kali dengan hasil negative tidak mengenyampingkan diagnose
malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negative maka diagnose
malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit
malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat
meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan
stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering
membahayakan terutama dengan penderita dengan hipertensi (Harijanto,
2009).
Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui:
- Tetesan preparat darah tebal
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria
karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah
tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi dilapangan.

Penyakit Infeksi Protozoa 11


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan


identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit.
Preparat dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang
pandangan dengna pembesara 700-1000 kali tidak ditemukan parasit.
Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung
jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung
paarasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah
parasit per mikro-liter darah (Harijanto, 2009).
- Tetesan darah tipis
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan
sebagi hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar
jumlah eritrosit yang mengandung parasit >100.000/ul darah
menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk
menentukan prognosa pederita malaria, walaupun komplikasi juga
dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan
dilakukan dengan cat Giemsa atau Leishmans atau Fields dan juga
Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah
dengan hasil yang cukup baik (Harijanto, 2009).
Tes antigen : P-F test
Yaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein
II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan
khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi
untuk antigen vivx sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT.
Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium
(pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan
nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi daro 0-200 parasit/ul
darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.Falciparum atau P.Vivax.
Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes
deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (rapid tes). Tes

Penyakit Infeksi Protozoa 12


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

ini tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya


(Harijanto, 2009).
Tes serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 2962 dengan
memakai teknik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna
mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap malaria atau pada keadaan
diman parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat
diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji
saring donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan tes
>1:20 dinyatakan positif> Metode-metode tes serologi antara lain:
indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA
test, radio-immunoassay (Harijanto, 2009).
Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi
amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun
spesifisitas tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat
sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai
sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin (Harijanto, 2009).
1.6. Diagnosis Banding
Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang
juga dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus
pada sistem respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam
dengue, dan infeksi bacterial lainnya seperti pneumonia, infeksi saluran
kencing, tuberculosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai
penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi
malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis malaria (Harijanto, 2009).
Pada malaria berat diagnose banding tergantung manifestasi malaria
beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnose banding ialah demam
tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis
pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada
malaria serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti

Penyakit Infeksi Protozoa 13


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan


kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolic (diabetes,
uremi), gangguan serebrovaskular (strok), eklampsia, epilepsy, dan tumor
otak (Harijanto, 2009).
1.7. Penatalaksanaan
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan
malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination
Therapy). Golongan artemisinin telah dipilh sebagai obat utama karena
efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan.
Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua
stadium termasuk gametosit. Juga efektid terhadap semua spesies,
P.Falciparum, P.Vivax, maupun lainnya (Harijanto, 2009).
Pengobatan ACT
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan
mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan
petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan
obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination
Therapy (ACT). Kombinasi ini dapat berupa kombinasi dosis tetap (fixed
dose) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap
lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah Co-Aterm
yaitu kombinasi artemeter (20mg)+lumefantrine (120mg).Dosis Coartem
4 tablet 2x1 sehari selam 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah
dihidroartemisinin (40mg)+piperakuin (320mg) yaitu Artekin. Dosis
Artekin untuk dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24
jam dan 32 jam, masing-masing 2 tablet (Harijanto, 2009).
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya:
Artesunat + Meflokuin
Artesunat + amodiakin
Artesunat + klorokuin
Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin
Artesunat + pironaridin
Artesunat + chlorproguanil-dapson (CDA/Lapdap plis)
Dihidroartemisinin + piperakuin + trimethoprim (artecom)
Artesom +primakuin (CV*)
Dihidroartemisinin + naptokuin
Penyakit Infeksi Protozoa 14
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah


kombinasi artesunate + amodiakuiin dengan nama dagang
ARTESDIAQUINE atau Artesumoon. Dosis untuk orang dewasa yaitu
artesunate (50mg/tablet) 200mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk
Amodiakuin (200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 1 tablet hari
III. Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan
aturan pakai tiap blister/hari (artesunate+amodiakuin) diminum selama 3
hari. Dosis amodiakuin adalah 25-30 mg/kg BB selama 3 hari (Harijanto,
2009).
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan
tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa
maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif
dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi
sinthetik artemisinin seperti artemison maupun trioksalon sintetik
(Harijanto, 2009).
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin HARUS disertai/
dibuktikan dengna pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya
dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada hasil
pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT
(Harijanto, 2009).
Pengobatan Malaria dengan Obat-obatan Non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non-ACT
telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia , beberapa daerah
masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin
pirimetamin (kegagalan masih 25%). Dibeberapa daerah pengobatan
menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon
pengobatan (Harijanto, 2009).
Obat non-ACT ialah :
Klorokuin Difosfat/Sulfat
250mg garam (150mg basa), dosis 25 mg basa/kg BB untuk 3 hari,
terbagi 10mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg/kg BB pada hari III.

Penyakit Infeksi Protozoa 15


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Pada dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari
III. Dipakai untuk P.Falciparum maupun P.Vivax (Harijanto, 2009).
Sulfadoksin-Pirimetamin (SP),
500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin, orang dewasa 3 tablet
dosis tunggal (1kali), atau dosis anak memakai takaran
pirimetamin1,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk
plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P.Vivax. Bila terjadi
kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP (Harijanto,
2009).
Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg) dosis yang dianjurkan ialah 3 x l0
mg/ kg BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk .P falciparum maupun
P. vivax. Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi
resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk
waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai
sampai selesai (Harijanto, 2009).
Primakuin : ( 1 tablet I 5 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/
pengobatan radical terhadap P. Falciparum maupun P. Vivax. Pada P.
Falciparum dosisnya 4 5mg ( 3 tablet) dosis tunggal untuk
membunuh gamet, sedangkan untuk P. vivax dosisnya 15mg /hari
selama1 4 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-
relaps) (Harijanto, 2009).
Penggunaan Obat Kombinasi Non-ACT
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi
multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat
menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini
adalah sebagai berikut (Harijanto, 2009) :
a. Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin
b. Kombinasi SP + Kina
c. Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/Tetrasiklind
d. Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin)
e. Kina + Doksisiklin Tetrasiklin
f. Kina + Klindamisin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring
respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria
berlangsung cepat dan meluas (Harijanto, 2009).

Penyakit Infeksi Protozoa 16


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

1.8. Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting bagi individu
yang tidak tinggal di daerah endemik. Khususnya pada turis baik nasional
maupun internasional. Yang menjadi permasalahan adalah
kemoprofilaksis yang diberikan tidak menyebabkan proteksi penuh
terhadap malaria. Oleh karena itu, hal-hal pencegahan berikut dapat
dilakukan untuk semakin memperkecil resiko terkena malaria (Harijanto,
2009).
a. Tidur dengan kelambu yang telah dicelup pestisida.
b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk.
c. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit
atau menggunakan baju yang memproteksi seperti lengan panjang,
kaus kaki, atau stocking.
d. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dari nyamuk dengan
kawat anti-nyamuk.
Bila akan memberikan kemoprofilaksis, maka harus mengetahui
sensitivitas plasmodium yang ada di tempat tujuan. Bisa menggunakan
klorokuin dengan dosis 2 tablet 1 minggu sebelum berangkat ke daerah
endemik, serta 4 minggu setelah pulang. Pada daerah yang resisten
terhadap penggunaan klorokuin, dapat digunakan doksisiklin 100 mg/hari
atau mefloquin 250 mg/hari atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah
proguanil 200 mg/hari. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu
primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/hari (Harijanto, 2009).
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal
yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada
plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur
plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P.Falciparum sekarang
baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap
P.Falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu
vaksin sporozoit (bentuk intra hepatic), vaksin terhadap bentuk aseksual
dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit
(Harijanto, 2009).

Penyakit Infeksi Protozoa 17


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicobaialah SPF-66 atau yang


dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini
tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan mencegah
sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi.
Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circum
sporozoit. Uji coba pada manusia tampaknya memberikan perlindungan
yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam
persiapan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal adalah
vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalent (terdiri dari
beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini
dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respon terbaik dan
harga kurang mahal (Harijanto, 2009).
Selain itu, juga ada metode yang digunakan untuk mencegah
penyebaran penyakit, atau untuk melindungi individu-individu di daerah
di mana malaria endemik, termasuk obat-obatan profilaksis,
pemberantasan nyamuk, dan pencegahan gigitan nyamuk (Harijanto,
2009).

2. Demam Typhoid
2.1. Definisi
Demam tifoid atau paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus
halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan
paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis
(Widodo, 2009).
2.2. Etiologi
Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella typhi (Widodo, 2009).
2.3. Epidemiologi
Surveilans Depertemen Keseharan RI, frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada than 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994
terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari than 1981-1986

Penyakit Infeksi Protozoa 18


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

memperlihatkan peningktan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari


19.596 menjadi 26.606 kasus (Harijanto, 2009).
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural ( Jawa Barat ) 157 kasus
per100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810
kasus per 100.000 penduduk (Widodo, 2009).
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08%
dari seluruh kamatian di Indonesia. Namun demikian menurut hasil
Survei Kesehatan rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT
Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak temasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tertinggi (Widodo, 2009).
2.4. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia sering terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epiter (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag (Widodo,
2009).
Kuman dapat hudup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kembali ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah laki menakibatkan bakteremia yang ke dua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik
(Widodo, 2009).

Penyakit Infeksi Protozoa 19


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,


berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekresikan secara
intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuma salmonella terjadi
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi
(Widodo, 2009).
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi (Widodo, 2009).
2.5. Manifestasi Klinik
Gejala demam typhoid sering kali muncul setelah 1 sampai 3 minggu
terpapar mulai dari tingkat sedang hingga parah. Gejala klasik yang
mulai muncul mulai dari demam tinggi, malas, sakit kepala, konstipasi
atau diare, rose-spote pada dada dan Hepatosplenomegali (WHO, 2010.
Rose spote adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1 sampai 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah
abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,
tetapi tidak pernah di laporkan di temukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke-7 sampai 10 dan bertahan selama 2 sampai 3 hari
(Widodo, 2009).
2.6. Prognosis
Prognosis demam tifoid bergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan

Penyakit Infeksi Protozoa 20


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6%, dan pada


orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7% (Widodo, 2009).
2.7. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis di tegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan. Pemeriksaan rutin perlu dilakukan walaupun pada
pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat di
temukan anemia ringan dan trombositopenia (Widodo, 2009).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah uji Widal. Uji widal
dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Padauji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
uji Widal yakni: pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan
pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non-endemik, riwayat
vaksinasi, reaksi anamnestik. Selain itu, ada pula uji tubex yang
merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk di kerjakan (Widodo, 2009).
Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti09 yang terkonjugasi
pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolosakarida S.typhi yang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex (Widodo, 2009).
Uji IgM dipstick juga merupakan uji yang secara khusus
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. Typhi pada spesimen serum
atau whole blood. Kultur darah juga dapat dilakukan untuk penegakan
diagnosis. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : telah mendapat terapi
antibiotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, dan saat
pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat (Widodo, 2009).

Penyakit Infeksi Protozoa 21


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

2.8. Penatalaksanaan
- Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan (Widodo, 2009)..
- Diet dan terapi penunjang dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Dulu, penderita
demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi, dimana perubahan
diet tersebut di sesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien
(Widodo, 2009).
- Pemberian antimikroba bertujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman (Widodo, 2009). Obat-obatnya antara lain:
a. Kloramfenikol, dosisnya 4 x 500 mg per hari sampai dengan 7
hari bebas panas.
b. Tiamfenikol dosisnya hampir sama dengan kloramfenikol.
c. Kotrimoksazol, dosis untuk orang dewasa 2 x 2 tablet ( 1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetiprim)diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin, dosisnya berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
2.9. Pencegahan
- Preventif dan Kontrol Penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan
peledakan kasus luar biasa demam tifoid mencakup banyak aspek,
mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan
faktor pejamu serta faktor lingkungan (Widodo, 2009).
- Identifikasi dan eradikasi S.Typhi pada pasien tifoid asimtomatik,
karier, dan akut (Widodo, 2009).
- Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.Typhi akut
maupun karier (Widodo, 2009).
- Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
(Widodo, 2009).
- Tindakan preventif pada daerah non-endemik :
a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan
makanan minuman.
c. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier (Widodo, 2009).
Pada daerah endemik :

Penyakit Infeksi Protozoa 22


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman


yang memenuhi standar prosedur kesehatan.
b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah).
c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung (Widodo, 2009).

3. Demam Infeksi Dengue


3.1. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne
Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,
famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1,
DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.
3.2. Epidemiologi
Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis dibanyak
negara tropis. Di Asia, virus dengue sangat endemis di Cina Selatan dan
Hainan, Vietnam, Laos, Kampuchea, Thailand, Myanmar, India,
Pakistan, Sri Lanka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura; negara
dengan endemisitas rendah adalah Papua New Guinea, Bangladesh,
Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara Pasifik. Virus dengue dari
berbagai serotipe ditemukan di Queensland, Australia Utara, sejak tahun
1981 (Manual Pemberantasan Penyakit Menular).
Dengue -1,-2,-3 dan -4 sekarang endemis di Afrika. Di wilayah yang
luas di Afrika Barat, virus dengue mungkin di tularkan sebagai penyakit

Penyakit Infeksi Protozoa 23


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

epizootic pada monyet; dengue perkotaan yang menyerang manusia juga


sering terjadi di wilayah ini. Pada tahun-tahun belakangan ini, KLB
demam dengue terjadi di pantai timur Afrika dari Mozambik ke Etiopia
dan di kepulauan lepas pantai seperti Seychelles dan Komoro, sedangkan
penderita demam dengue dan penderita mirip DHF dilaporan dari Saudi
Arabia, namun jumlahnya sedikit (Manual Pemberantasan Penyakit
Menular).
Di Amerika, masuk dan beredarnya ke 4 serotipe virus dengue ini
berturut-turut terjadi di Karibia dan Amerika Tengah dan Selatan sejak
tahun 1977 dan meluas hingga Texas pada tahun 1980, 1986, 1995 dan
1997. Pada akhir tahun 1990 an, dua atau lebih serotipe virus dengue
endemis atau kadang-kadang muncul sebagai KLB di Meksiko, begitu
pula di Karibia dan Amerika Tengah, Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru,
Venezuela, Guyana, Suriname, Brazil, Paraguay dan Argentina. KLB bisa
terjadi jika vector dan virus penyakit ini ada didaerah tersebut baik di
daerah perkotaan maupun di pedesaan (Manual Pemberantasan Penyakit
Menular).
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti
yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan
Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang
dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-
kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut
demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari,
disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa
itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun
1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi
klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian
ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan
Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi (Tata Laksana
DBD).

Penyakit Infeksi Protozoa 24


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran


kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang
tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak
adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi (Tata Laksana DBD).
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk,
transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi
geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus
dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun
daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat
ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat
dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar
antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas
(28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun (Tata Laksana DBD).
3.3. Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis
ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain

Penyakit Infeksi Protozoa 25


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen


antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan
oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung
selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,

Penyakit Infeksi Protozoa 26


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. Hipotesis


kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan
wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID=koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.

Penyakit Infeksi Protozoa 27


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi


trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

Penyakit Infeksi Protozoa 28


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan


fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
3.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,
atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam
berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD) (Suhendro, 2009).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan adekuat (Suhendro, 2009).
3.5. Penegakkan Diagnosis
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi
untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru (Suhendro, 2009).
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik
RTPCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun
karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi
adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM
maupun IgG lebih banyak (Suhendro, 2009).
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
a. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat
ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
b. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.

Penyakit Infeksi Protozoa 29


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

d. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-


Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
e. Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
f. SGOT/SGPT dapat meningkat.
g. Ureum, kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h. Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
j. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.
IgM : terdeteksi mulai hari ke-3-5, meningkat sampai minggu ke-
3, menghilang setelah 60-90 hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
pada infeksi sekunder, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
k. Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan
surveilans.
l. NS 1 : antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari
pertama sampai hari ke delapan. Sensitivitas antiigen NS 1
berkisar 63% - 93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif
antigen NS 1 tidak menyingkirkan infeksi virus dengue.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14
hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala,
nyeri tulang belakang dan perasaan lelah (Suhendro, 2009).
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7
hari ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :
a. Nyeri kepala.
b. Nyeri retro-orbital.
c. Mialgia/Artralgia.
d. Ruam kulit.
e. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).
f. Leukopenia.
g. Pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien

Penyakit Infeksi Protozoa 30


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang


sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997
diagnosis DBD ditegakkan bila hal di bawah ini dipenuhi (Suhendro,
2009).
a. Adanya demam/riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya
bifasik.
b. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji
tourniquet (+); petechiae, echimosis, atau purpura; perdarahan
mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain; hematemesis atau melena.
c. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
d. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma, sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit 20% berdasarkan usia dan jenis
kelamin.
- Penurunan hematokrit 20% setelah pemberian terapi cairan.
- Tanda kebocoran plasma, seperti : efusi pleura, asites atau
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu sebagai
berikut (Suhendro, 2009).
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasiperdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
danperdarahan lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi,sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak
gelisah.
Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Sindrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD
disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan
lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi dibandingkan
standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Penyakit Infeksi Protozoa 31


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

3.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat
kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya
dan leptospirosis (Suhendro, 2009).
3.7. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna
(Suhendro, 2009).
PAPDI bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan
Divisi Hematologi dan Onkologi Medik FK UI telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria
(Suhendro, 2009):
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi.
Praktis dalam pelaksanaannya.
Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori (Suhendro, 2009):


a. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok.
Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di
Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat (Suhendro, 2009).
Seseorang yang tersangka menderita DBD UGD dilakukan
pemeriksaaan Hb, Ht, dan trombosit, bila :

Penyakit Infeksi Protozoa 32


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-


150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht leukosit dan trombosit tiap 24
jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke
UGD.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk
dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga
dianjurkan untuk dirawat.
b. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif
dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid
dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus
berikut :
1500 + (20 x (BB dalam kg-20))
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan
Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 24 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht > 20% (Suhendro, 2009).
c. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%.
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami
defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian
cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-
7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-

Penyakit Infeksi Protozoa 33


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,


produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan
tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam
kemudian (Suhendro, 2009).
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam
tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit
dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi
urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus
menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan
tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue
pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai
lagi seperti terapi pemberian cairan awal (Suhendro, 2009).
d. Protokol 4
Penetalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa
adalah perdarahan hidung/epistakis yang tidak terkendali walaupun
telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna
(hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan
tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaaan
tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit seta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemerikasaan Hb, Ht ddan tromboist
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam (Suhendro, 2009).

Penyakit Infeksi Protozoa 34


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan


laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular
diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila
nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan
jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID (Suhendro,
2009).
e. Protokol 5
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen
2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostatis,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum
dan kreatinin (Suhendro, 2009).
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah
teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan
tekanan nadi > 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila
24-48 jam setelah renjatan teratasi, tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi,
edema paru atau gagal jantung dapat terjadi) (Suhendro, 2009).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang

Penyakit Infeksi Protozoa 35


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi


renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati,
nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah
diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar Hb,
Ht dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit (Suhendro, 2009).
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum
teratasi, meka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan
menjadi 20-30 ml/kgBB/jam, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30
menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
Bila nilai Ht meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)
maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam dan
dapat diulang sesuai kebutuhan (Suhendro, 2009).
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus
mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri
mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan
kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah sehingga
jumlah maksimum 30 ml/kg/BB/jam (maksimal 1,5 /hari) dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O (Suhendro, 2009).
Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap

Penyakit Infeksi Protozoa 36


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopressor


(Suhendro, 2009).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari hasil kegiatan tutorial, kami dapat menyimpulkan beberapa hal.
1. Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria memberikan geala berupa
demam, menggigil, anemia, dan hepatomegali. Dapat berlangsung akut
ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupin mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat.
2. Demam Tifoid atau paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus
halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan

Penyakit Infeksi Protozoa 37


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis.


Disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhosa.
3. Demam Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
Dengue. Transmisi virus ini disebarkan oleh vector nyamuk, yaitu Aedes
aegypti dan Aedes albopictus.
4. Masing-masing penyakit infeksi tersebut memiliki gejala yang mirip
namun memiliki kekhasan masing-masing. Demam karena malaria
berpola intermitten, demam yang disebabkan oleh baketeri Salmonella
typhosa akan naik bertahap disebut step ladder fever, dan demam dengue
memiliki pola bifasik atau saddle back fever.
5. Terapi yang diberlakukan sesuai dengan kausanya. Selain itu,
diberlakukan juga terapi simptomatik.

3.2. Saran
Dengan selesainya laporan ini, kami selaku penyusun berharap agar
laporan ini bisa dijadikan sebagai salah satu referensi bagi pembaca untuk
memahami pembahasan mengenai penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan terhadap Malaria, Demam Tifoid, dan Demam
Dengue/DHF/DSS.
Pendalaman materi lagi harus dilakukan oleh tiap-tiap mahasiswa
untuk lebih memahami tentang topik modul ini. Selain itu, hal-hal yang
masih belum jelas dalam jalannya proses tutorial akan ditanyakan pada saat
pleno.

Penyakit Infeksi Protozoa 38


LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL KELOMPOK 1 ANGKATAN 2012 BLOK 10
MODUL 1

DAFTAR PUSTAKA

Harijanto, Paul N. 2009. Malaria dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III edisi V.
Harijanto, Paul N. 2008. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Jakarta: EGC.
Suhendro, dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III
edisi V.
Sutanto, Inge. 2008. Parasit Malaria dalam Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jilid III edisi V.

Penyakit Infeksi Protozoa 39

Anda mungkin juga menyukai