BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampah adalah bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran, ruamh
penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas manusia lainnya. Sampah merupakan
hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai (Nurhidayat, 2006).Sampah
juga merupakan bagian terintim dari diri manusia yang hingga saat ini masalahnya selalu
menarik untuk dibicarakan tetapi menakutkan untuk dijamah. Berawal dari keberadaan sampah
tersebut maka estetika akan berkurang nilainya jika sampah dibiarkan ada dimana-mana. Semua
riset mengatakan bahwa pertambahan jumlah sampah sama dengan pertambahan jumlah
penduduk sehingga, semakin banyak penduduk yang menghuni bumi maka jumlah sampah juga
akan semakin bertambah (Ritapunto, 2009).
Kesadaran masyarakat tentang hidup bersih dan teratur perlu terus ditumbuhkan, salah satunya
dalam penanganan sampah dari skala rumah tangga karena sampah juga merupakan bagian
dari perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi
mengelola sampah perlu upaya yang dimulai secara individual di setiap rumah (Atmojo,
2007).Untuk menjaga lingkungan bersih bebas darisampah salah satu solusinya mengubah
kebiasaan membuang sampah untuk mengolah sampah menjadi kompos dimulai
dari sampah rumah tangga (Andriyeni, 2009). Karena sebagiansampah yang dihasilkan
merupakan sampah organik (sampah basah), yaitu mencapai 60-70% dari total volume sampah,
yang berasal dari dapur dan halaman. Sampah organik ini, jika pengelolaannya tidak secara
benar maka akan memberikan bau busuk (H2S dan FeS) dan akan menjadi sumber lalat, bahkan
dapat menjadi sumber lebih dari 25 jenis penyakit (Atmojo, 2007).
Sampah organik yang masih mentah, apabila diberikan secara langsung ke dalam tanah, justru
akan berdampak menurunkan ketersediaan hara tanah, disebabkan sampah organik langsung
akan disantap oleh mikroba. Populasi mikroba yang tinggi, justru akan memerlukan hara untuk
tumbuh dan berkembang, dan hara tadi diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh
tanaman, sehingga mikroba dan tanaman saling bersaing merebutkan hara yang ada.
Berdasarkan keadaan tersebut, justru akan terjadi gejala kekurangan hara nitrogen (N) yang
sering ditunjukan oleh daun berwarna kekuning-kuningan (clorosis) (Atmojo, 2007).
Alam memiliki andil besar dalam pengolahan sampah secara otomatis terutamasampah organik.
Akan tetapi kerja keras alam dalam pengolahan sampah secara natural sangat tidak berimbang
dibanding berjuta ton volume sampah yang diproduksi. Selain itu sampah tidak selalu harus
dibuang karena dengan sedikit kreatifitas dan kerja keras manusia, sampah yang tidak layak
pakai dapat berubah menjadi barang kaya manfaat. Beragam jenis sampah, terutama sampah
organik dapat dengan mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi bahan olahan (Andriyeni,
2009).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mangetahui cara pengolahan sampah sederhana melalui pembuatan
kompos secara anaerobik dengan menggunakan bahan dasar sampah sayur dengan
perlakuan pemberian EM4.
2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan sampah menjadi bahan yang bisa dimanfaatkan
yaitu proses pengomposan sebagai pupuk bagi tanaman.
1. Komposting
Menurut Winarko dan Djati (2003) komposting adalah cara pengolahan sampah organik secara
alamiah dengan hasil akhir tidak membahayakan lingkungan dan mempunyai manfaat sebagai
pupuk.
2. Kompos
Menurut Isroi dan Yuliati (2009) kompos adalah hasil penguraian tidak lengkap (parsial) dari
campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara buatan oleh populasi berbagai
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik.
3. Bioaktivator
Bioaktivator adalah bahan yang mengandung mikroba yang dapat mempercepat proses
pengomposan Pada dasarnya, di dalam bioaktivator terdapat berbagai jenis mikroorganisme
yang diharapkan dapat mempercepat proses komposting dan meningkatkan kualitas kompos
(Isroi dan Yuliati, 2009).
4. Sampah
Menurut Nurhidayat dan Purwendro (2006) Sampah adalah bahan padat buangan dari kegiatan
rumah tangga, pasar, perkantoran, ruamh penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau
aktivitas manusia lainnya. Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang
sudah tidak terpakai.
Berdasarkan bahan asalnya, sampah dibedakan menjadi (Nurhidayat dan Purwendro 2006) :
1. Sampah Organik
Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Sampah
organik sendiri dibagi sampah organik basah (kandungan air yang cukup tinggi) contoh
diantaranya kulit buah dan sisa sayuran, sedangkan sampah organik kering (kandungan airnya
kecil) contoh diantaranya kertas, kayu, atau ranting pohon, dedaunan kering.
2. Sampah Anorganik
Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini bisa bersal dari bahan yang
bisa diperbaharui dan bahan berbahaya serta beracun. Contohnya bahan yang terbuat dari
plastik dan logam.
Proses pengomposan baik secara aerob dan anaerob dapat diterapkan dalam pengolahan
sampah kota. Umumnya proses anaerob lebih komplek dibandingkan proses aerob. Proses
anaerob memungkinkan produksi energi dalam bentuk gas metan yang dapat dimanfaatkan lebih
lanjut. Sebaliknya proses aerob memerlukan energi karena suplay oksigen harus diberikan agar
proses penguraian sampah berlangsung optimum. Namun demikian, proses aerob memiliki
kelebihan yakni mudah pengoperasiannya dan bila dilakukan dengan benar dapat mereduksi
volume sampah kota khususnya materi organiknya. Tabel 2.1 memperlihatkan masing-masing
proses pengomposan aerob dan anaerob.
Pengomposan aerob merupakan proses penguraian secara biologis yang paling banyak
diterapkan dalam merubah materi organik sampah kota menjadi materi yang stabil menyerupai
humus atau lebih dikenal kompos. Bahan kompos yang paling banyak diterapkan adalah :
Tabel 2.2 Kadar Nitrogen (Dalam Persen) dan Rasio C/N dari Beberapa Sampah (Dalam Berat
Kering)
1,7 18,0
2,3 25,0
Kotoran hewan :
3,75 20,0
1. Sapi
2. Kuda
3. Babi 6,3 15,0
1 4. Ayam
1,88 15,7
Lumpur :
1. Lumpur aktif
terdigesti 5,6 6,3
2 2. Lumpur aktif segar
2,15 20,1
Sampah halaman :
1. Rumput 0,5-1,0 40,0-80,0
3 2. Daun segar
Kertas :
1. Kertas campuran 0,25 173
4 2. Kertas koran
0,05 983
(kayu)
450 15 34 0,08
Kotoran
Ayam
(tak
termasu
k feses) 7 450 30 4,3
Feses
ayam 10 30 25 2,5
Jerami 100 10 36 0,4
Kotoran
Lembu 12 50 20 1,7
Urine
Manusi
a – – – 0,9 (per 100 ml)
Secara labotarium mencari C/N lebih tepat, namun demikian dengan cara menggunakan tabel
tersebut khususnya bagi tenaga lapangan cukup sangat praktis.
Cara mendapatkan C/N rasio yang bernilai 25-35 pakai sistem coba-coba dengan rumus :
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan
yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat
untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak
sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati.
Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan
keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengomposan antara lain:
1. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba
memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada
rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis
protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein
sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Ukuran Partikel
Aktifitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas
akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan
lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan
tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob). Aerasi secara
alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar
dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh
porositas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi
proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan
dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan
mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan
udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh
air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan
secara tidak langsung berpengaruh pada ketersediaan oksigen. Mikroorganisme dapat
memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-
60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%,
aktifitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%.
Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya
aktifitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau
tidak sedap.
6. Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktifitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu
dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen
dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat
pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60oC menunjukkan aktifitas
pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba
dan hanya mikroba termofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan
membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
7. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. H yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8
hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik
dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal,
akan menyebabkan penurunan pH, sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang
mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos
yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam
kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses
pengomposan.
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan
mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, dan Cr adalah beberapa bahan yang
termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses
pengomposan.
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode
pengomposan yang digunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan.
Secara alami, pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun
hingga kompos benar-benar matang.
Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak boleh menghasilkan bau
yang menyengat (bau busuk). Walaupun demikian dalam pembuatan kompos tidak akan
terbebas sama sekali dari adanya bau. Dengan memanfaatkan indra penciuman, dapat
dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi permasalahan yang terjadi selama proses pembuatan
kompos. Sebagai gambaran, jika tercium bau amonia, patut diduga campuran bahan kompos
kelebihan bahan yang mengandung unsur Nitrogen (ratio C/N terlalu rendah). Untuk
mengatasinya tambahkanlah bahan-bahan yang mengandung C/N tinggi, misalnya berupa:
Jika tercium bau busuk, mungkin campuran kompos terlalu banyak mengandung air. Apabila ini
terjadi, lakukanlah pembalikan. Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum.
Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan
menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila
kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos belum matang.
2. Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih
berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum
matang.
3. Penyusutan
Terjadi penyusutan volume atau bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya
penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos.
Penyusutan berkisar antara 20-40%. Apabila penyusutan masih kecil atau sedikit kemungkinan
proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.
Contoh kompos diambil dari bagian dalam tumpukan. Kompos kemudian dimasukkan dalam
kantung plastik, ditutup rapat, dan disimpan dalam suhu ruang selama kurang lebih 1 minggu.
Apabila setelah 1 minggu kompos berbentuk baik, tidak berbau atau berbau tanah berarti
kompos telah matang.
5. Tes perkecambahan
Contoh kompos diletakkan di dalam bak kecil atau beberapa pot kecil. Letakkan beberapa benih
(3-4 benih). Jumlah benih harus sama. Pada saat yang bersamaan beberapa benih juga ditaruh
di atas kapas basah yang diletakkan di dalam bak dan ditutup dengan kaca atau plastik bening.
Benih akan berkecambah dalam beberapa hari. Pada hari kelima atau ketujuh hitung benih yang
berkecambah. Bandingkan jumlah kecambah yang tumbuh di dalam kompos dan di atas kapas
basah. Kompos yang matang dan stabil ditunjukkan oleh banyaknya benih yang sudah
berkecambah.
6. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos
yang masih tinggi, atau di atas 50° C berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif.
Kompos yang sudah matang memiliki kandungan air kurang lebih 55-65%. Cara mengukur
kandungan air kompos adalah sebagai berikut :
2) Kompos dikeringkan dalam oven atau microwave hingga beratnya konstan, kompos
ditimbang kembali.
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan
tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah
untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktifitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi
tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktifitas mikroba ini membantu
tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat
merangsang pertumbuhan tanaman. Aktifitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu
tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga
cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya
hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yakni sebagai berikut (Isroi,
2008) :
1. Aspek Ekonomi
3) Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
2. Aspek Lingkungan
5) Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fisik tanah yang selanjutnya
akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura (buah-buahan, tanaman hias,
dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa
kompos. Demikian juga di bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat
meningkatkan produksi tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan
kompos. Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak,
umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 5-6 bulan.
Kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum dan lebih masif. Hal
inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain lebih sehat dan aman karena
tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum.
Penggunaan kompos sebagai pupuk organik saja akan menghasilkan produktivitas yang
terbatas. Penggunaan pupuk buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan
produktivitas yang terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi
sinergi positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut secara
masing-masing.
Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang
yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu
suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos,
dalam 4–6 minggu sudah jadi. Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulan-bulan
kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas karena aktifitas
mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi kompos.
Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 450-650C. Jika terlalu panas
harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari (Nia, Tanpa Tahun).
a. Alat
2). Lilin
5). Telenan
6). Koran
7). Plastik
b. Bahan
1). Air
2). Em4
(a) Kubis
(b) Wortel
(c) Sawi
Desember (hari)
No Kegiatan 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pengumpulan
1 bahan dan alat
Pembuatan
2 kompos
Pemantauan
3 kompos
Pengamatan pada hari ke 13 menunjukkan jika kompos yang dibuat masih belum matang.
Tekstur bahan berupa sayuran masih dapat terlihat, namun teksturnya menjadi lebih lembek.
Berdasarkan pengamatan terhadap kompos yang telah dibuat, maka hasil yang didapatkan
adalah sebagai berikut:
1. Bau
Bakal kompos yang dihasilkan masih berbau. Hal ini diperkirakan terjadi karena proses
pengomposan masih belum sempurna.
1. Warna
1. Tekstur
1. Waktu
Proses pembuatan kompos sampai pembuatan laporan hanya dilakukan dalam waktu 13 hari.
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Hasil Pengamatan
Menurut Ruskandi (2005), dalam pembuatan kompos dengan menggunakan EM4 digunakan
perbandingan takaran EM4 yaiu 100 kg bahan kompos dengan 500 cc EM4 yang dilarutkan di
dalam 50 liter air. Menurut hasil pengukuran, berat awal bahan kompos seberat 2,5 kg,
sehingga membutuhkan 12,5 cc EM4 dan dilarutkan dalam 1,25 liter air. Berikut karakteristik
fisik kompos yang telah dibuat :
1. Bau
Jika proses pembuatan kompos beralan dengan normal, maka tidak menghasilkan bau yang
menyengat (Isroi dan Yuliati, 2009). Walaupun demikian, dalam pembuatan kompos tidak akan
terbebas sama sekali dari adanya bau. Kompos yang sudah matang dapat diketahui dari baunya
yang seperti bau tanah. Berdasarkan hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan masih berbau
sehingga dapat dikatakan kompos masih belum matang.
1. Warna
Warna merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kematangan kompos yaitu cokelat
kehitam-hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan
mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. dari hasil pengamatan, kompos yang
dihasilkan berwarna coklat kekuning-kuningan sehingga dapat dikatakan kompos tersebut belum
matang.
2. Tekstur
Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus sekecil
mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh
mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga
pengurai dapat berlangsung dengan cepat.Jika proses pembuatan kompos beralan dengan
normal, maka tekstur kompos remah dan tidak menggumpal. pada kompos yang sudah matang,
bentuk fisiknya menyerupau tanah yang berwarna kehitaman. Menurut hasil pengamatan,
kompos yang dihasilkan bertestur lembek dan menggumpal. Bentuk fisik masih terlihat seperti
cacahan sayur sehingga dapat dikatakan bahwa kompos masih belum matang.
3. Waktu
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode
yang digunakan dan keberadaan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan
berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar
matang. Menurut hasil pengamatan, waktu pengomposan yang hanya dilakukan selama 13 hari
masih sangat kurang sehingga hasil yang diperoleh pun tidak sempurna.
Kekurangan dari kompos berbahan sayur ini dapat dilihat dari metode pengomposan yang
digunakan yaitu metode anaorob sehingga menimbulkan bau selama proses pengomposan.
Sedangkan kelebihan dalam pembuatan kompos ini adalah bahan yag digunakan mudah didapat
karena menggunakan bahan baku sampah sayur.
5.3 Hambatan
1. Kurangnya alat- alat yang mendukung seperti cooper untuk memotong, dan alat untuk
mengukur suhu, kelembapan, dan pH untuk pengontrolan selama proses pengomposan.
2. Keterbatasan waktu pembuatan kompos yang kurang lama sehingga kompos yang
dihasilkan belum sepenuhnya jadi.
3. Tempat pembuatan kompos yang berada di rumah kos, sehingga banyak keluhan dari
penghuni kos lain terkait bau yang ditimbulkan.
4. Tidak adanya penambahan unsur karbon sehingga kompos tidak menunjukkan tanda
akan matang.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan pembuatan kompos yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
Dalam pembuatan kompos ini, saran yang dapat diberikan antara lain:
DAFTAR PUSTAKA
Darjati dan Winarko, 2003. Praktek PSA. Surabaya: Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Djaja, Willyan, 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak & Sampah.Jakarta:
Agro Media Pustaka.
Indriani, Y. H, 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya. 8 : 30-33.
Murbandono, L, 2008. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya. 35 : 10.
Nia, Tanpa Tahun. Kompos. http://migroplus.com/brosur/Kompos.pdf`. [19 Desember 2009]
Nurhidayat dan Purwendro, S, 2006. Mengolah Sampah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Simamora, Suhut dan Salundik, 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Depok: PT. AgroMedia
Pustaka.1 : 13-29.
Yuliarti, N dan Isroi, 2009. Kompos. Yogyakarta: C.V Andi Offset.1 : 9-30.
SUMBER : https://duniakesehatanmasyarakat.wordpress.com/2014/04/12/laporan-praktikum-
kompos/
Volume sampah yang membengkak seiring bertambahnya jumlah penduduk akan semakin
membebani bumi kita. Jika setiap orang membuang sampah satu kantong plastik setiap hari,
maka Indonesia bisa menghasilkan 200 juta lebih kantong plastik sampah setiap harinya.
Bagaimana dengan seminggu? Sebulan? Setahun? Jika tidak dikelola dengan baik lama
kelamaan gundukan sampah itu akan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Tanggung jawab pengelolaan sampah tak hanya menjadi beban pemerintah. Kita pun bisa
berpartisipasi untuk mengurangi volume sampah dengan mengelolanya secara mandiri dimulai
dari rumah. Beberapa waktu yang lalu saya mewakili PKK RW mengikuti Pembinaan Kader
Lingkungan di pendopo Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya. Bimbingan Teknis Pengelolaan
Sampah Mandiri ini merupakan bagian dari program Green and Clean yang dicanangkan oleh
Pemerintah Kota Surabaya. Dengan program ini masyarakat Surabaya diharapkan bisa menjadi
pelopor penyelamatan bumi.
Prinsip dasar dari pengelolaan sampah mandiri adalah memilah sampah rumah tangga menjadi
dua bagian: sampah kering dan sampah basah. Yang tergolong sampah kering adalah kertas,
botol kaca ataupun plastik, karet, kain, dan sejenisnya. Sedangkan sampah basah adalah
sampah yang berasal dari bahan organik, misalnya: sisa makanan, kulit buah dan sayuran, dan
sejenisnya. Sampah basah ini akan diolah menjadi kompos dengan bantuan mikroorganisme
yang ada dalam starter. Umumnya kompos dibuat dengan cara menimbun sampah basah di
dalam tanah. Sulitnya mendapatkan lahan kosong di kota-kota besar, bisa disiasati dengan
memakai tempat/ wadah seperti glangsing, gentong, kaleng bekas, atau keranjang untuk
memproses sampah basah menjadi kompos.
c. Tanah yang dicampur dengan air gula dan air leri (bekas cucian beras)
3. Aduk tiap hari untuk menambah oksigen yang berguna untuk proses pembusukan
6.Keluarkan kompos yang telah jadi, sisakan sedikit untuk starter, yang belum sempurna menjadi
kompos dimasukkan lagi
Kompos yang dihasilkan bisa dipakai sendiri atau dijual. Pengelolaan sampah mandiri ini
diharapkan bisa menginspirasi masyarakat untuk peduli dan turut serta dalam upaya
penyelamatan bumi.
Sedangkan untuk sampah kering bisa di setorkan di bank sampah yang sudah ada di lingkungan
anda, atau bisa di daur ulang menjadi benda-benda yang berguna seperti payung, jaket dan lain-
lain, sehingga anda bisa mendapatkan pemasukan ekonomi secara langsung. (kim swaraguna
Surabaya)
SUMBER : http://www.swaraguna.com/2013/04/sampah-adalah-masalah-klasik-yang-tak.html
UJI MUTU KOMPOS
DOWNLOAD FILE DISINI
ABSTRAKSI
Praktikum acara Uji Mutu Kompos dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2011 di Laboratorium Kimia Dan
Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tujuan praktikum
ini adalah untuk mengetahui mutu kematangan kompos dengan metode perkecambahan. Hasil yang diperoleh dari
pengecambahan selama tujuh hari hanya kompos pukan sapi yang diindikasi telah
matang. Kematangan kompos harus diperhatikansebelum digunakan karena kompos yang belum matang dapat
menghambat perkecambahan atau mematikan tanaman.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kompos merupakan campuran kotoran hewan, bahan tanaman, dan bahan orgaik lain yang telah
mengalami perobakan atau pembusukan oleh mikroba. Kompos saat ini sangat diperlukan oleh petani
pada karena adanya kelangkaan pupuk, meskipun kompos telah ada sejak dahulu.
Hasil akhir pengomposan adalah bahan yang mempunyai kandungan C/N ratio
rendah danmendekati C/N ratio tanah. bila bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi tidak
dikomposkan terlebih dahulu (langsung diberikan ke tanah) maka proses penguraiannya akan terjadi
ditanah. Akibatnya, CO2dalam tanah meningkat sehingga dapat berpengaruh buruk bagi pertumbuhan
tanaman. Bahkan, untuk tanah ringan dapat mengakibatkan daya ikatnya terhadap air menjadi kecil
serta struktur tanahnya menjadi kasar dan berserat. Oleh karena itu, sebelum digunakan kompos
perlu diuji kematangannya.
B. Tujuan
Tujuan Uji Mutu Kompos adalah untuk mengetahui mutu kematangan kompos dengan metode
perkecambahan dan pertumbuhan vegetatif.
Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik adalah
pupuk yang terbuat dari sisa-sisa makhluk hidup yang diolah melalui proses pembusukan (dekomposisi)
oleh bakteri pengurai. Contohnya adalah pupuk kompos dan pupuk kandang. (Anonim, 2010).
Menurut Yuwono (2011), bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar
30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah
C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama. Sebaliknya jika nisbah tersebut
terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung.
Pada perombakan bahan-bahan organik selama pengomposan terjadi perubahan secara terus
menerus karena aktivitas berbagai kelompok mikrobia. Tahap permulaan keadaan mesofil yang aktif
mikrobia kelompok jamur dan bakteri pembentuk asam. Setelah suhu meningkat dari 400C kegiatan
mikrobia pemula diganti oleh kelompok bakteri aktinomycetes dan jamur termofil. Pada tahap
selanjutnya setelah suhu mencapai 700C yang aktif bakteri pembentuk spora. Setelah suhu turun
kembali jamur dan bakteri mesofil aktif kembali (Sudasiman, 1980).
Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah sebagai berikut (Roesmarkam dan
Yuwono, 2002) :
1. Kelembaban timbunan bahan kompos, kehidupan dan kegiatan mikroba sangat dipengaruhi oleh
kelembaban yang cukup.
2. Aerasi timbunan, berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob maka mikroba yang
hidup hanya mikroba anaerob saja. Sedang jika terlalu aerob udara bebas masuk kedalam timbunan
bahan yang dikomposkan yang menyebabkan kehilangan nitrogen cukup banyak menguap berupa NH3.
5. Netralisasi keasaman; dengan menambah bahan pengapuran seperti abu tidak hanya menetralisasi tapi
juga menambah Ca, K dan Mg dalam kompos.
6. Kualitas kompos, untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan diberi pupuk yang
mengandung hara, terutama P (untuk perkembangan mikrobia).
Hal-hal yang harus dicapai dalam pembuatan kompos (Sosrodoedirdjo et al., 1981):
1. Persenyawaan zat arang (C) harus secepat mungkin diubah sesempurna-sempurnanya. Perlu adanya
banyak udara yang masuk ke dalamnya sehingga proses peragian berlangsung cepat. Campuran
kapur,fosfat dan campuran zat lemas yang cukup dapat mempercepat proses tersebut.
2. Persenyawaan zat lemas sebagian besar harus diubah menjadi persenyawaan amonium, jadi tidak hanya
terikat sebagai putih telur di tubuh bakteri-bakteri. Diperlukan pula perbandingan C/N yang baik. Jika
perbandingan C/N kecil, maka akan banyak amoniak dibebaskan bakteri-bakteri, NH3 di dalam tanah
segera diubah menjadi nitrat, yang dengan mudah dapat dihisap oleh tanaman.
3. Zat lemas yang hilang harus sedikit-sedikitnya. Perlu diambil tindakan terhadap kemungkinan hilangnya
atau menguapnya zat lemas sebagai gas NH3 atau gas N yang terbentuk dengan jalan senitrifikasi dan
pembasuhan nitrat. Jika pupuk dicampuri kapur maka pembuatan nitrat itu dapat lebih giat sehingga
kadang-kadang 15-40% dari semua zat lemas dapat diubah menjadi nitrat. Kalau suhunya naik sampai
lebih dari 450C, maka bakteri yang menitrifikasikan itu akan mati, berarti tidak akan terbentuk nitrat-
nitrit, jadi dengan sendirinya tidak akan terjadi senitrifikasi.
4. Sisa-sisa sebagai bunga tanah harus sebanyak mungkin. Kompleks putih telur dan lignin merupakan
hasil terakhir dari pembuatan kompos.
Kematangan kompos adalah tahapan tertentu antara keadaan bahan organik yang mentah dan
keadaannya setelah mati. Ciri-ciri kematangan kompos (Anonim, 1992):
1. Suhu. Apabila tingkat kelembaban dan zat asam yang sesuai dapat dipertahankan selama proses
pengomposan, suhu tumpukan akan tetap tinggi (45-650C) selama masih terdapat bahan untuk dijadikan
kompos. Masa aktif ini dikenal dengan masa termofilik. Setelah beberapa waktu dalam kondisi ini, suhu
akan mulai menurun mendekati atau sama dengan suhu ruang. Apabila kelembaban sudah sesuai dan
pembalikan tidak menyebabkan meningkatnya suhu, kompos dianggap hampir matang.
2. Bau. Ambil dua genggam kompos, lembabkan, lalu masukkan ke dalam kantung plastik. Tutuplah
kantung rapat-rapat, dan biarkan ± 2 x 24 jam. Jika kantung plastik menggembung dan panas atau pada
waktu dibuka kompos tersebut berbau busuk, maka berarti jasad renik masih aktif dan kompos belum
matang.
3. Rasio C/N. Selama proses pengomposan, kandungan karbon menurun karena berubah menjadi
karbondioksida. Kurang lebih 1/3 dari kandungan karbon berubah bentuk dan menyatu dalam kompos
sedangkan 2/3 bagian lainnya menjadi karbondioksida dan tidak bermanfaat lagi bagi lingkungan. Rasio
C/N kurang dari 20 : 1 maka kompos tersebut bermutu dan benar-benar matang.
4. Bentuk fisik. Pada proses pengomposan yang relatif stabil, sampah sudah berdekomposisi sehingga
wujud fisiknya sudah menyerupai tanah.
Kompos sebagai produk dari proses penguraian bahan organik memiliki sifat-sifat yang baik
untuk menyuburkan tanah dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pupuk kompos dapat
memperbaiki daya ikat tanah berpasir dan memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga tidak
terlalu berderai atau terlalu lekat. Kompos juga dapat meningkatkan daya ikat tanah terhadap air
sehingga meningkatkan persediaan air untuk tanaman. Selain itu kompos juga dapat memperbaiki tata
udara tanah dan mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara dari pupuk mineral sehingga tidak
mudah larut oleh air penghujan sehingga penggunaan pupuk menjadi lebih efisien. Untuk tanaman,
tentu saja kompos menyediakan unsur makro maupun mikronutrien yang penting untuk perkembangan
pertumbuhannya. (Usman dan Mawardi, 1995).
III. METODOLOGI
Praktikum Acara V mengenai Uji Mutu Kompos dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2011 di
Laboratorium Kimia dan kesuburan Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu gelas plastik, label, dan alat tulis.
Sedangkan bahan yang digunakan antara lain benih bayam, sekam, pupuk kandang sapi, dan pupuk
kandang kambing.
Cara kerja dari praktikum ini yaitu pertama disiapkan gelas plastik sebanyak 7 buah dan
digunakan sebagai 7 macam perlakuan. Gelas plastik I diisi dengan sekam, gelas plastik II diisi dengan
pupuk kandang sapi, gelas plastik III diisi dengan pupuk kandang kambing, gelas plastik IV diisi
dengan sekam + pupuk kandang sapi, gelas plastik V diisi dengan sekam + pupuk kandang
kambing, gelas plastik VI diisi dengan pupuk kandang sapi + pupuk kandang kambing, gelas plastik VII
diisi dengan sekam + pupuk kandang sapi + pupuk kandang kambing. Setelah gelas plastik dengan 7
perlakuan disiapkan, gelas plastik ditambah dengan air, kemudian ditanam 10 benih bayam dan gelas
plastik ditutup. Setelah 7 hari dilakukan pengamatan pertumbuhan kecambah pada benih yang telah
ditanam pada setiap gelas plastik.
1 Sekam 28.57
V. PEMBAHASAN
Kompos tidak dapat langsung didunakan setelah dibuat. Bahan-bahan organik harus dirombak
(dekomposisi dan mineralisasi) oleh decomposer dari kelompok mikrobia pemula.
Gambar 1. Bagan proses perombakan bahan organik menjadi anorganik
Setelah beberapa hari, suhu meningkat dari 400C dan kegiatan mikrobia pemula diganti oleh
kelompok bakteri aktinomycetes dan jamur termofil. Bakteri perombak N kebanyakan merupakan
bakteri termofil ini. Pada tahap selanjutnya setelah suhu mencapai 700C yang aktif bakteri pembentuk
spora. Tahap terakhir suhu turun kembali, jamur dan bakteri mesofil aktif kembali. Setelah melewati
tahap ini kompos dapat dikeluarkan dari komposter (tempat pembuatan kompos) dan disaring. Material
yang sudah terombak teksturnya menjadi lebih halus dari yang belum terombak.
Agar pengujian gaya berkecambah dapat menggambarkan kelayakan kompos dengan baik,
maka factor-faktor yang dapat perkecambahan dari internal benih harus diminimalkan. Oleh karena itu
dipilih benih yang cepat berkecambah, dormansinya mudah dipatahkan, tahan dari organisme
pengganggu dan penyakit benih, serta cenderung adaptif dengan lingkungannya. Salah satu benih yang
memiliki sifat-sifat tersebut dan digunakan dalam praktikum ini adalah bayam. Berikut histogram gaya
berkecambah bayam yang ditanam dengan berbagai formulasi kompos yang sama usianya.
Gambar 3. Grafik Gaya Berkecambah Bayam pada Berbagai Formulasi Kompos
Gaya berkecambah umum untuk benih sayuran normal adalah 80%, namun untuk indicator
kematangan kompos, gaya berkecambah yang harus dipenuhi hanya 75%. Gambar 3 menunjukkan
bahwa gaya berkecambah yang melebihi 75% hanya pupuk kandang (pukan) sapi. Beberapa sifat
biokimia dan fisika dari formulasi kompos lainnya bisa jadi menyebabkan kompos tersebut
dikatakan belum matang dan tidak mampu mendukung perkecambahan benih dan pertumbuhan
tanaman.
1. Konsentrasi urea masih terlalu tinggi dan kadarnya tidak mampu ditoleransi oleh benih.
2. Masih tingginya kandungan senyawa kompleks. Bahan-bahan organik pembentuk kompos adalah
senyawa kompleks. Terutaman pada kompos yang mengandung karbohidrat komplek seperti selulosa
(pada sekam), penguraian dan pematangannya berlangsung lambat. Di pertanaman, senyawa kompleks
tersebut tidak dapat diserap langsung oleh tanaman. Campuran kapur dan fosfat dapat mempercepat
proses perombakannya.
3. Masih banyaknya kandungan senyawa komplek pada kompos yang digunakan di media pertanaman
menyebabkan perombakan senyawa tersebut terjadi di tanah dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Perombakan kompos secara normal (aerob) tidak menghasilkan senyawa berbahaya bagi tanaman.
Namun jika ada genangan atau kondisi air tanah jenuh maka udara menjadi tidak tersedia, sehingga
perombakan terjadi secara anaerob dan menghasilkan senyawa metana yang menggantikan pasokan
O2 untuk respirasi benih.
1. Suhu sudah stabil (mengikuti suhu ruang) dan kelembaban sudah sesuai dengan kelembaban
tanah. Selama masih terdapat bahan untuk dijadikan kompos maka suhu tumpukan akan tetap tinggi
(45-650C).
2. Bau tidak busuk. Jika kantung kompos menggembung dan panas atau pada waktu dibuka kompos
tersebut berbau busuk, maka berarti jasad renik masih aktif dan kompos tersebut belum matang.
3. Rasio C/N kurang dari 20 : 1. Kurang lebih 2/3 bagian karbon dibebaskan menjadi
karbondioksida selama pengomposan. Hanya 1/3 dari kandungan karbon termineralisasi dalamkompos.
4. Bentuk fisik menyerupai tanah humus karena telah terdekomposisi dan stabil.
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Melalui uji perkecambahan, kenampakan yang mengindikasikan sejauh mana kelayakan kompos adalah
banyaknya benih yang tumbuh dari sejumlah benih yang ditanam dengan kompos tersebut yang disebut
gaya berkecambah. Jika kompos belum layak maka benih yang ditanam tidak tumbuhatau gaya
berkecambahnya rendah.
2. Dari ketujuh formulasi kompos yang diuji hanya kompos pukan sapi yang matang. Sementara pada
kompos sekam pertumbuhan benih bayam belum mencukupi.
B. Saran
Pengujian kompos harus benar-benar memperhatikan indikator mutunya, agar dapat digunakan
dengan baik, karena kompos yang belum matang akan menyebabkan kematian pada tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Jenis-Jenis Pupuk dan Cara Aplikasinya. <http://eone87.wordpress.com/2010/04/03/jenis-jenis-
pupuk-dan-cara-aplikasinya/>. Diakses tanggal 16 November 2011.
Anonim. 1992. Panduan Pembuatan Kompos dari Sampah Teori Aplikasi. Center for Policy and Implementation
Studies. Jakarta.
Sosrosoedirdjo, S., Rifai, B., Prawira, I. S. 1981. Ilmu Memupuk. Yasaguna. Jakarta.
Suprijadi dan R. Tejasarwana. 1994. Prospek pupuk organik dan pengelolaannya pada padi sawah di lahan tadah
hujan. Tropika. 5 (3) : 42-49.
Usman, W. dan S. Mawardi. 1995. Pengaruh komposisi bahan baku dan lama pegomposan terhadap mutu
kompos. Warta Puslit Kopi dan Kakao 11(1) : 26-32.
LATAR BELAKANG
Proses pengomposan merupakan suatu proses biologi secara alami dalam
melakukan dekomposisi bahan organik yang mengandung karbon , mineral meliputi
nitrogen dan nutrisi lainnya, serta air dengan dikendalikan oleh mikroorganisme
dengan dukungan ketersediaan oksigen.
Dari proses tersebut maka terjadilah peningkatan temperatur sehingga menghasilkan
CO2, penguapan dan energi panas. Pada akhir proses tersebut menghasilkan bahan
organik dengan kandungan carbon, energi kimia, nitrogen, protesin , humus, mineral,
air dan adanya mikroorganisme.
PEMBAHASAN
Fase dalam proses pengomposan
Proses pengomposan
Selain fase-fase kimia biologi (bio chemistry) pada saat terjadinya dekomposisi bahan
baku organik , ada beberapa perlakuan yang mendukung dalam proses
pengomposan, pada saat persiapan, di awal pengomposan , di pertengahan
pengomposan maupun di akhir pengomposan membutuhkan perlakuan tertentu
sesuai prosedur pengomposan , akan sangat menentukan kualitas kompos yang
dihasilkan.
Laju dekomposisi bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang
dikomposkan. Sifat bahan tanaman tersebut diantaranya jenis tanaman, umur, dan
komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan
berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar nitrogen
tinggi, imbangan C/N yang sempit, serta kandungan lignin yang rendah.
SemakinbanyakkandungansenyawaN,bahanbakuakanmakincepatterurai. Halinidiseb
abkanjasad-jasadrenikpenguraibahaninimemerlukansenyawaNuntuk
perkembangannya. (Murbandono, 1995)
4. Kadar air
Mikroorganisme membutuhkan air dalam kehidupan dan pertumbuhannya Proses
pengomposan berjalan baik pada kadar air awal bahan sekitar 60-65%, karena
pengaruh peningkatan suhu maka kadar air akan meningkat lagi. Hal tersebut
disebabkan karena aktivitas mikroorganisme. Jumlah fungi yang beradaptasi dengan
baik pada partikel bahan kompos jauh lebih tinggi dibanding bakteri pada saat awal
dekomposisi (fase aerobic) sebab fungi mempunyai kemampuan menggunakan
bahan-bahan polimerik disamping dapat mereduksi kapasitas thermal pada kadar air
rendah. Apabila kadar air meningkat menjadi 80% (20-25 hari) proses menjadi
anaerobic, kemudian kadar air akan menurun, maka kapasitas thermal juga akan
menurun. (EPA, 1989).
5. Nilai C/N bahan
Nisbah C/Nsangatpenting untuk memasok hara yang diperlukan mikroorganis
me selama proses pengomposan berlangsung. Karbon diperlukan oleh mikroorganis
mesebagaisumberenergidannitrogenuntukmembentukprotein.Bahan yangmengandun
gkarbon30kali lebih besar daripada nitrogen,mempunyai nisbah C/N
30:1. Bahan dasar kompos yang mempunyai nisbah C/N 20:1 sampai 35:1
menguntungkan proses pengomposan. Organisme yang mendekomposi materi
organik menggunakan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen untuk
pembentukan struktur sel. Mereka membutuhkan karbon lebih banyak daripada
nitrogen. Jika terlalu banyak karbon, dekomposisi melambat saat nitrogen terpakai
habis dan beberapa organisme mati
(gambar 3).
Sumber :
Compost Fundamentals Compost Needs - Carbon Nitrogen Relationships.htm, akses
2007)
Organisme lain membentuk material sel baru dengan menggunakan nitrogen yang
tersimpan. Dalam proses ini lebih banyak karbon terbakar. Sehingga jumlah karbon
berkurang sementara nitrogen didaur ulang. Dekomposisi menjadi lebih lama,
bagaimanapun, disaat C:N rasionya lebih besar dari 30. Kecepatan dekomposisi
bahan organik ditujukan oleh perubahan imbangan C/N. Selama proses mineralisasi,
imbangan C/N bahan-bahan yang banyak mengandung N akan berkurang menurut
waktu. Kecepatan kehilangan C lebih besar daripada N sehingga diperoleh imbangan
C/N yang lebih rendah (10-20). Apabila imbangan C/N sudah mencapai angka
tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir atau kompos
sudah matang.
6. Keasaman (pH)
Pada prinsipnya bahan organik dengan nilai pH antara 3 dan 11 dapat dikomposkan,p
H optimum berkisar antara,5,5 dan 8.Bakteri lebih senang pada pH netral.Fungi
berkembang cukup baik pada kondisi pH agak masam.Kondisi Alkalin
kuat menyebabkan kehilangan nitrogen,hal ini kemungkinan terjadi apabila
ditambahkan kapur pada saat pengomposan berlangsung. Kondisi sangat asam pada
awal proses
dekomposisi menunjukan proses dekomposisi berlangsung tanpa terjadi peningkata
n suhu. Biasanya,pH agak turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas
bakteri
yang menghasilkan asam. Dengan munculnya mikroorganisme lain dari bahan yang
didekomposisi maka pH bahan kembali naik setelah beberapa hari dan pH berada pa
da kondisi netral( Sutanto,2002).
Kandungan unsur hara dalam kompos ( Sumber : Nan Djuarni, Kristian dan Budi,
2005) Nitrogen (N)/1,33% Fosfor (P2P5)/0,85% Kalium (K2O)/0,36%,Kalsium
(Ca)/5,61% Zat Besi (Fe)/2,1% Seng (Zn)/285ppm Timah (Sn)/575ppm Tembaga
(Cu)/65ppm dan Kadmium (Cd)/5ppm
2. Kematangan kompos
Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan
kematangankompos yaitu fisik seperti suhu, warna, tekstur, C/N ratio , tidak
berbau dan bebas dari pathogen, parasit dan rumput-rumputan
Kematangan adalah tingkat kesempurnaan proses pengomposan.
Pada kompos yang telah matang, bahan organik mentah telah terdekomposisi
membentuk produk yang stabil. Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat
dilakukan dengan uji dilaboratorium untuk atau pun pengamatan sederhana di lapang.
Berikut ini disampaikan cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan
kompos
Adalah sbb:
- Dicium/dibaui
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum, meskipun kompos dari
sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi
anaerobik dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahawa
bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti
kompos belum matang.
- Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos
masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos
tersebut belum matang.
- Penyusutan
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos.
Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat
kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya
masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos
belum matang
DAFTAR RUJUKAN
Anonimous. 2007.Biocycle, Journal of Composting and Organics
Recycling (online).http://www.jgpress.com/biocycle.htm, diakses 3 Oktober 2007
Anonimous. 2007. Standard specifications for compost for erosion/sediment
control(online).http://www.compostingcouncil.org/pdf/Erosion_Specs.pdf, diakses 3
oktober 2007
Anonimous. 2007. BioCycle, Advancing Composting, Organics Recycling &
Renewable Energy (online) http://www.jgpress.com/archives/_free/001428.html,
diakses 3 Oktober 2007
Anonimous. Tanpa tahun. Compost Fundamentals Compost
EPA. Tanpa tahun. Municipal Solid Waste - Reduce, Reuse, and Recycle (online)
http://www.epa.gov/msw/reduce.htm, diakses 6 Oktober 2007
Choiriah, S. 2006. Inokulasi Mikroba Selulotik Untuk Mempercepat Proses
Pengomposan Sampah Pasar dan Pengaruh Kompos Terhadap Produksi dan
Usaha Tani Sayuran. Tesis. Bogor: Pascasarjana PSLP IPB
Dallzell, H.W..AJ.Riddlestone, K.R. Gray and K Thurairajan. 1987. Soil
management : compost production and use in tropical and subtropical
environments. FAO. Rome. Soil Bull 56:175-177
Djuarnani, N, Kriskan dan BS, Setyawan.2005. Cara Cepat Membuat Kompos.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Murbandono, L. 1995. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nihayati,E dan Damhury,S.1996. Pengaruh
Proporsi Dan Waktu Pemberian Urea Terhadap Pertumbuhan Dan produksi
JagungManisVarietasSD-2.Agrivita19(2) ; 51-56
SUMBER : http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/menuutama/plh/565-peduli-
kesehatan-ii