Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN PUSTAKA

INTERVENSI PSIKOLOGIS PADA DEPRESI DENGAN


NYERI KEPALA FOKUS PADA CBT
(COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY)

dr. I PUTU DIATMIKA


NIM 1314058202

PEMBIMBING:
dr. IGN BUDIARSA, SpS
dr. LELY SETYAWATI, Sp.KJ(K)

DIVISI NEUROPSIKIATRI
BAGIAN/ SMF NEUROLOGI FK UNUD/ RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka
tinjauan pustaka yang merupakan salah satu tugas ilmiah residen PPDS-1 Ilmu
Kedokteran Jiwa yang sedang stase di Divisi Neuropsikiatri telah dapat diselesaikan.
Adapun tinjauan pustaka ini kami susun dalam rangka mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. AABN. Nuartha, Sp. S ( K ), selaku Kepala Bagian Lab/SMF Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah.
2. dr. A A Sri Wahyuni, Sp.KJ, selaku Kepala Bagian Lab/SMF Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
3. Dr. dr. AAA. Putri Laksmidewi, Sp. S ( K ), selaku Kepala Program Studi
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. Dr. Luh Nyoman Alit Aryani, Sp.KJ ( K ), selaku Kepala Program Studi
Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
5. Dr. IGN Budiarsa, SpS selaku dosen pembimbing dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini
6. dr. Lely Setyawati,Sp.KJ(K), selaku dosen pembimbing dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini
7. Seluruh supervisor dan staf bagian Neurologi dan Psikiatri FK UNUD/RSUP
Sanglah
8. Teman-teman residen atas dukungan yang telah diberikan.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun
kurang sempurna sehingga memerlukan tambahan bimbingan, kritik atau saran. Atas
perhatiannya kami mengucapkan terimakasih.
Penyusun

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Batasan Masalah 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6


2.1 Psikoterapi pada depresi 6
2.1.1 Terapi Psikodinamik 7
2.1.2 Terapi Kognitif Perilaku 8
2.1.3 Dasar- dasar CBT 8
BAB III PENILAIAN INTERVENSI CBT 15
3.1 Penilaian awal, Proses dan Evaluasi terapi 15
3.2 Perubahan biologis pasca intervensi dengan psikoterapi 16
spesifik
3.2.1 Perubahan biologis pasca terapi psikodinamik 17
3.2.2 Perubahan biologis pasca terapi kognitif perilaku 21
BAB IV CBT PADA NYERI 23
4.1.Nyeri 23
4.1.1 Nyeri Kepala dan Masalah Psikiatri 24
4.1.2 Faktor Penyebab Nyeri Psikogenik 26
4.2 Intervensi CBT pada pasien Depresi dengan Nyeri 27
4.2.1 CBT dalam Manajemen Nyeri 28
4.2.2 Indikasi CBT 28
4.2.3 Mekanisme CBT Nyeri 29
4.2.4 Psikopatoligi CBT 30
BAB V RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Depresi adalah suatu kondisi medis yang mempengaruhi pikiran dan perasaan

serta tubuh seseorang. Kondisi ini dapat berhubungan dengan berbagai masalah fisik,

misalnya tidur, nafsu makan, energi, libido, dan berbagai perasaan tidak nyaman

dalam tubuh. Tanpa terapi, gangguan ini dapat berlangsung sangat lama (Albrecht &

Herrick, 2006). Episode dan gangguan depresi didefinisikan secara formal sesuai

Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) dan International

Classification of Disease 10th edition (ICD-10) sebagai sekumpulan gejala utama dan

gejala tambahan (Bebbington, 2013). Gangguan ini memiliki morbiditas dan

mortalitas yang signifikan (Halverson, 2015) dengan prevalensi gangguan depresi

mayor diperkirakan sebesar 10% hingga 25% untuk wanita dan antara 5% hingga

12% untuk pria (Nihalani, et al., 2009). Kondisi ini diperkirakan akan menjadi

penyebab kedua tertinggi untuk terjadinya hendaya di seluruh dunia pada tahun 2020

(Bebbington, 2013).

Seperti berbagai gangguan jiwa lainnya, etiologi gangguan depresi tampaknya

bersifat multifaktorial. Gangguan ini juga tidak bermanifestasi sebagai gangguan

tunggal, tetapi merupakan sekelompok gangguan heterogen yang melibatkan interaksi

faktor genetik dan lingkungan dengan cara yang berbeda-beda. Bukti dari studi

keluarga dan studi kembar menunjukkan bahwa depresi yang muncul pada awal masa

3
kanak-kanak tampaknya lebih berhubungan dengan pengaruh psikososial dibanding

pengaruh genetik. Pada depresi dengan awitan masa remaja atau dewasa muda, aspek

genetik dan stresor psikososial tampaknya berinteraksi secara seimbang untuk

menimbulkan depresi. Pada depresi awitan lambat, meskipun pengaruh herediter

tampaknya kecil, beberapa beberapa penanda genetik telah ditemukan berhubungan

dengan gangguan ini, misalnya polimorfisme pada gen apolipoprotein E, Brain

Derived Neutrophic Factor (BDNF), dan transporter 5-HT (Halverson, 2015).

Seiring semakin berkembangnya studi tentang gangguan mood, dasar biologis

dari berbagai kondisi ini telah semakin banyak dipelajari (Savitz, et al., 2012).

Semakin banyak dikembangkan terapi depresi yang berbasis biologi yang dilakukan

dengan metode-metode neurostimulasi seperti terapi kejang listrik, stimulasi

magnetik transkranial, stimulasi nervus vagus, dan stimulasi otak dalam (deep brain

stimulation) (Carpenter, et al., 2009). Penelitian untuk menilai keberhasilan terapi

pun telah diarahkan pada pencarian penanda biologis yang definitif, tidak terkecuali

untuk parameter keberhasilan psikoterapi (Linden 2006).

Telah lama dikenali oleh klinisi bahwa intervensi psikologis dapat sangat

mengubah kumpulan kepercayaan, cara berpikir, kondisi afektif, dan pola perilaku

pasien. Meskipun begitu, pembelajaran tentang mekanisme yang mendasari dan

perubahan yang terjadi di otak terkait proses ini baru mulai banyak dipelajari pada

awal tahun 2000an. Mengingat bahwa pengembangan agen-agen psikofarmaka yang

baru relatif tidak banyak terjadi, psikoterapi untuk menjadi modalitas yang semakin

penting di masa depan. Memahami mekanisme, relevansi dan manfaat psikoterapi

4
akan memberi lebih banyak cara bagi klinisi dalam proses manajemen pasien,

terutama pasien-pasien dengan kondisi yang kronis seperti depresi. Karenanya,

makalah ini ditulis sebagai upaya untuk mengkaji penggunaan psikoterapi pada

gangguan depresi yang disertai nyeri.

1.2. Batasan Masalah

Makalah ini berupaya untuk menjelaskan efektivitas psikoterapi. Dengan adanya

pengetahuan ini, diharapkan bisa diambil suatu kesimpulan terkait relevansi

pelaksanaan psikoterapi pada manajemen gangguan depresi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Psikoterapi pada depresi

Pada tahun 1978, Hans Strupp (dalam Grosjean 2005) mendefinisikan psikoterapi

sebagai “an interpersonal process designed to bring about modification of feelings,

cognitions, attitudes, and behavior which have proved troublesome to the person

seeing help from a trained professional.” Psikoterapi dapat dianggap sebagai suatu

terapi psikososial, yang dilakukan melalui hubungan terapis-pasien pada suatu

konteks interpersonal yang spesifik, yang didasarkan pada model teoretis yang

mendasari praktik seorang terapis. Melakukan modifikasi pada persepsi pasien akan

membutuhkan pembelajaran baru, dan pembelajaran melibatkan banyak proses

neurobiologis yang kompleks (Grosjean 2005).

Psikoterapi umumnya direkomendasikan sebagai lini pertama pada depresi

ringan hingga sedang. Terdapat berbagai jenis psikoterapi yang telah digunakan pada

depresi dengan efikasi yang bervariasi, antara lain terapi perilaku, terapi kognitif

perilaku, terapi keluarga, psikoterapi kelompok, terapi interpersonal, mindfulness-

based cognitive therapy (MBCT), psikoterapi psikodinamik, dan psikoterapi suportif

(Halverson, 2015). Pada makalah ini dua aliran utama psikoterapi akan dijelaskan

lebih lanjut: terapi psikodinamik dan terapi kognitif perilaku.

6
2.1.1 Terapi psikodinamik

Pioner dari terapi ini adalah Sigmund Freud, dan terapi ini memberi

penekanan pada adanya proses bawah sadar yang tidak terselesaikan yang kemudian

menjadi predisposisi untuk munculnya masalah di kemudian hari. Terapi ini berfokus

pada identifikasi dan manajemen perasaan, impuls, dan konflik tak sadar yang

menyebabkan gejala dan masalah kepribadian. Dengan mengenali proses ini dan

melakukan latihan manajemen emosi, pasien secara teoretis dapat terbebaskan dari

masa lalu dan menjadi mampu untuk membentuk hubungan yang sehat, dan

mengalami penurunan gejala yang signifikan (Abbass et al. 2014). Psikoanalisis

menempatkan afek sebagai inti dari mekanisme terapetik. Fokus terapi yang bersifat

afektif adalah hal penting untuk efektivitas terapetik, dan bahwa “semakin banyak

terapis memfasilitasi ekspresi/pengalaman afektif dari pasien-pasien pada terapi

psikodinamik, semakin banyak pasien menunjukkan perubahan positif (Schore,

2007).

Perspektif neuropsikoanalitik perkembangan menunjukkan bahwa seni dan

ilmu psikoterapi secara langsung berhubungan dengan fungsi otak kanan klinisi, yang

akan menjadi semakin dalam dan meluas dengan pengalaman klinis. Sensitivitas

klinis, empati, intuisi, dan regulasi afek semuanya merupakan manifestasi dari

kecerdasan emosional terapis, yang merupakan kapasitas adaptif dengan mana suatu

emosi dapat dipersepsi, dipahami, dan digunakan untuk memandu perilaku manusia

yang efektif. Fungsi ini, yang berbeda dengan kecerdasan kognitif, diperantarai oleh

7
pemrosesan korteks prefrontal ventromedial, korteks somatosensoris, amigdala, dan

korteks insula, terutama pada sisi kanan (Schore, 2007).

2.1.2 Terapi kognitif perilaku (CBT)

Intervensi CBT mentarget perilaku dan pemikiran sadar untuk mengubah

emosi/kesulitan/keterjagaan. Kognisi dan perilaku yang problematik dianggap

menyebabkan disregulasi emosi yang mengganggu fungsi pasien sehari-hari sehingga

menyebabkan kesulitan. Terapi ini menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran perilaku

untuk membentuk perilaku pasien, kemudian menambahkan intervensi pengurangan

stres yang menurunkan keterjagaan berlebihan untuk melegakan dan mencegah

kesulitan (Beck, 2011). CBT memprioritaskan peran penilaian kognitif dalam

memahami asal dan menetapnya kesulitan subjektif, yang akhirnya diintegrasikan

dengan teknik-teknik perilaku karena tilikan kognitif tanpa perubahan perilaku

memunculkan penurunan stres yang lebih sedikit (Grecucci, et al., 2015).

2.1.3 Dasar-dasar CBT

CBT sebagai suatu terapi aktif sangat membutuhkan pemahaman dan

kerjasama dari klien, dimana mereka hendaknya dapat termotivasi, mampu mengenali

berbagai pikiran dan emosinya, menyampaikan dalam bentuk kata dan kalimat yang

dapat dipahami, serta mampu menghubung-hubungkan berbagai pikiran dan emosi

tersebut. Oleh karenanya, walau terapi ini dapat diaplikasikan pada cukup banyak

gangguan psikiatri, namun terdapat beberapa kondisi yang menjadi kontraindikasi

yaitu psikosis akut, gangguan depresi berat, delirium, dan demensia. Klien dengan

psikosis akut sulit diberikan CBT terkait dengan tingginya ekspresi emosi mereka dan

8
berbagai defisit neuropsikologis lain yang dialaminya. Pada gangguan depresi berat

terjadi retardasi psikomotor dan tingginya resiko bunuh diri mendadak, sehingga juga

merupakan hambatan dalam pemberian CBT. Sedangkan pada delirium dan demensia

terdapat kondisi organik yang harus diatasi lebih dahulu.

Model kognitif-perilaku dasar (sumber : Wright JH, 2006)

Terdapat hubungan 2 arah antara kognisi dan perilaku, dimana proses kognitif

akan mempengaruhi perilaku, dan perubahan perilaku mempengaruhi kognisi. Karena

hubungan keduanya yang demikian, maka klinisi dapat memilih untuk

mengintervensi pada baik level kognitif atau level perilaku dengan metoda praktis

memutus lingkaran dan mendorong respons yang lebih adaptif. Dalam praktek klinis

CBT, terapis biasanya merancang strategi untuk mempengaruhi keduanya, baik

patologi pada kognitif maupun perilaku. (Wright et al, 2006)

Konsep dan metoda CBT terus berkembang, sebagian besar memiliki

karakteristik sebagai berikut (Sudiyanto, 2009) :

a) CBT didasarkan pada model kognitif respons emosional, dimana CBT didasari

oleh ide bahwa perasaan dan perilaku dipengaruhi oleh pikiran, bukan oleh

9
faktor luar seperti orang, situasi, atau peristiwa. Serta bahwa cara berpikir

dapat diubah untuk memperoleh perasaan dan perilaku yang lebih baik,

bahkan walaupun situasi tidak berubah.

(b) CBT memiliki durasi pendek dan mempunyai batasan waktu, dimana bahwa

diantara berbagai bentuk psikoterapi, CBT termasuk bentuk yang cepat

mencapai hasil dengan rata-rata 16 sesi yang diterima oleh klien. Hal ini

terjadi karena bentuknya yang sangat instruktif dan disertai penggunaan tugas

rumah. Sejak sesi awal, klien dibantu untuk mengerti bahwa proses terapi

formal akan memiliki titik akhir setelah dicapai suatu keputusan yang dibuat

oleh klien dan terapis.

(c) Hubungan terapeutik penting untuk terapi yang efektif namun bukan

merupakan fokus, dimana bahwa memiliki hubungan yang baik dan penuh

kepercayaan adalah penting pada CBT namun yang lebih penting adalah

bagaimana belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda dan berperilaku

sesuai yang dipelajari dengan mengajarkan kemampuan konseling diri yang

rasional.

(d) CBT adalah usaha kolaboratif antara terapis dan klien, dimana terapis akan

melihat apa yang menjadi tujuan klien dan membantu dalam mencapainya.

Oleh karenanya, terapis akan berperan sebagai pendengar, pengajar, dan

pendorong. Sementara klien berperan dengan menunjukkan perhatian, belajar,

dan menerapkan yang telah dipelajarinya.

10
(e) CBT didasarkan pada aspek filosofi pengendalian diri. Sebagian besar klien

yang mencari terapi tidak menginginkan merasa seperti cara mereka merasa

sebelumnya. CBT tidak memberitahu klien bagaimana mereka harus merasa,

melainkan mengajarkan keuntungan yang bisa didapat dengan mampu merasa

tenang pada saat menghadapi situasi yang tidak diharapkan, sehingga mampu

meletakkan diri pada posisi yang lebih baik untuk menggunakan intelegensi,

pengetahuan, tenaga, dan sumber daya untuk memecahkan masalah.

(f) Menggunakan Metoda Socratic. Metoda belajar yang dikembangkan dari

pemikiran Socrates ini merupakan cara menyusun pertanyaan seperti yang

dilakukan oleh seorang guru dalam menuntun murid untuk menggunakan

pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memecahkan

suatu masalah pada arah yang diinginkan. Dalam dialog tersebut akan

memadukan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dipahami

sebelumnya. Klien diminta untuk menggambarkan proses pemikirannya yang

terdalam, mengarahkan perhatiannya kepada aspek pengalaman yang

sebelumnya tidak disadari secara pemikiran biasa. Pertanyaan diajukan

dengan motivasi untuk mengerti sudut pandang klien terhadap sesuatu, serta

mengubah pemikirannya.

(g) Terstruktur dan terarah, bahwa terapis mempunyai rencana khusus untuk setiap

sesi serta teknik atau konsep khusus yang dipikirkan selama setiap sesi yang

berfokus pada tujuan klien. Terapis CBT tidak mengatakan apa yang harus

11
dilakukan oleh klien, namun mengarahkan pada bagaimana menemukan cara

untuk melakukannya.

(h) Didasarkan pada metoda pendidikan, dimana CBT didasari pada pendapat

bahwa hampir seluruh reaksi emosional dan perilaku dipelajari. Karena itu,

maka tujuan terapi adalah untuk menolong klien agar belajar cara baru dalam

bereaksi, mengerti bagaimana dan mengapa mereka melakukannya, serta terus

dapat melanjutkannya dengan baik.

(i) Teori dan teknik CBT menggunakan metoda induktif. Bahwa suatu pikiran

rasional intinya adalah didasarkan atas fakta. Metoda induktif mendorong

klien memandang pikirannya sebagai hipotesis yang dapat diragukan dan

diuji. Jika memperoleh informasi baru, sehingga hipotesis menjadi tidak

benar, maka klien dapat mengubah cara berpikirnya agar sejalan dengan

situasi yang sebenarnya.

(j) Tugas rumah sebagai bentuk inti CBT. Sesi terapi yang 1 jam perminggu akan

membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mencapai perubahan sesuai

dengan tujuan yang diinginkan. Maka dari itu, pembuatan tugas rumah akan

mendorong klien untuk terus belajar dan berlatih teknik yang telah dipelajari

pada sesi terapi.

Menurut Sudiyanto (2009), bahwa dalam proses CBT terdapat beberapa

komponen utama sebagai berikut:

a) Mengikat hubungan terapi. Hal ini merupakan langkah pertama dalam

membangun hubungan terapeutik dengan klien, yang dicapai dengan sikap

12
empati, menerima, dan hormat. Pada tahap awal ini, terapis menunjukkan

pada klien tentang adanya kemungkinan untuk berubah dan bahwa CBT dapat

membantunya untuk mencapai tujuan tersebut.

b) Menilai masalah, orang, dan situasi dengan menilai sudut pandang klien

tentang permasalahannya, gangguan klinis yang berkaitan, riwayat pribadi dan

sosial, menilai tingkat keparahan masalah, faktor kepribadian yang terkait,

serta faktor non psikologis lainnya seperti kondisi fisik, pengobatan,

penyalahgunaan zat, gaya hidup dan lingkungan. Hal-hal tersebut penting

untuk membantu dalam intervensi CBT.

c) Mempersiapkan klien untuk terapi dengan menjelaskan tujuan terapi, menilai

motivasi klien untuk berubah, memperkenalkan dasar-dasar CBT,

mendiskusikan pendekatan yang akan digunakan, dan penerapan terapinya.

d) Menerapkan program terapi. Hal ini mengambil sebagian besar sesi terapi,

dimana dilakukan analisis masalah terutama kepercayaan dan penafsiran,

menggoyahkan dan mengubah kepercayaan dan penafsiran, mengembang-kan

perjanjian tugas rumah, mengembangkan perilaku yang disepakati, serta

strategi atau teknik tambahan yang sesuai seperti latihan relaksasi, latihan

hubungan interpersonal, dan sebagainya.

e) Menilai kemajuan terapi yang dilakukan menjelang akhir terapi dengan

memeriksa perbaikan dan perubahan dalam pikiran klien.

f) Mempersiapkan terminasi juga merupakan hal yang penting dilakukan dan

perlu disampaikan kepada klien setelah diperoleh periode perbaikan

13
Komponen ini dilakukan dengan mengingatkan kembali tentang berbagai hal

yang telah dipelajari, mendiskusikan kemungkinan kekambuhan, serta

langkah-langkah dalam menghadapi kekambuhan.

Prinsip dasar yang penting diingat terkait pemberian CBT adalah sebagai

berikut (Beck 2011):

1. Didasarkan pada formulasi masalah pasien yang selalu berevolusi, dan

konseptualisasi individu dari tiap pasien secara kognitif

2. Membutuhkan aliansi terapetik yang baik

3. Menekankan pada kolaborasi dan partisipasi aktif

4. Berorientasi tujuan dan berfokus pada masalah

5. Pada awalnya menekankan pada apa yang terjadi saat ini

6. Bersifat edukatif, bertujuan untuk mengajarkan pasien untuk menjadi terapisnya

sendiri dan menekankan pada pencegahan relaps

7. Ditujukan untuk diberikan dalam waktu yang terbatas

8. Sesi-sesi CBT bersifat terstruktur

9. Mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan berespons

terhadap pikiran dan kepercayaan mereka yang disfungsional

10. Menggunakan berbagai teknik untuk mengubah pemikiran, mood, dan perilaku.

14
BAB III

PENILAIAN INTERVENSI CBT

3.1 Penilaian Awal, Proses, dan Evaluasi terapi

Penilaian awal penting untuk dilakukan sebelum memulai proses CBT, yang

akan lebih baik lagi jika ditunjang pula oleh evaluasi akhir. Penilaian awal dan

evaluasi akhir adalah pengukuran, indikator, atau standar yang digunakan untuk

membuat keputusan berdasarkan signifikansi klinisnya, dan dapat bersifat superfisial

ataupun detail. Data dapat berasal dari pasien, pihak kolateral, ataupun pemeriksaan

medis penunjang. Keputusan klinis paling awal yang perlu dibuat tentunya

berhubungan dengan apakah terapi akan diberikan atau tidak. Penilaian selanjutnya

adalah penilaian kondisi klinis dan penentuan diagnosis. Beberapa ahli berpendapat

bahwa diagnosis akan sulit tanpa petunjuk visual, olfaktori, dan audio untuk

membantu proses ini karena praktisi umumnya dilatih untuk menggabungkan

observasi nonverbal terhadap penilaian dan diagnosisnya. Ahli sepakat bahwa

pertemuan awal secara langsung harus dilakukan untuk diagnosis dan untuk

menentukan kesesuaian CBT dengan kondisi pasien (Taylor, Symonette, dan

Singleton, 2009).

Prosedur pelaksanaan terapi kognitif perilaku umumnya meliputi sejumlah

sesi terjadwal dan disertai tugas rumah untuk memperkuat penerapan intervensi yang

sudah diberikan. Dukungan terapis diberikan melalui umpan balik dan instruksi

terstandar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Teknik motivasional

digunakan untuk meningkatkan efek intervensi dalam memberikan umpan balik yang

15
bertujuan untuk memastikan bahwa pasien: 1) memahami tujuan intervensi; 2)

memiliki tujuan yang realistis; 3) berlatih di rumah sesuai yang dijadwalkan; 4)

menjalankan terapi secara berkelanjutan (Ruwaard, dkk., 2012).

CBT dapat diberikan antara lain melalui CBT berbasis paparan yang

didasarkan pada model yang menekankan peran penghindaran yang dilandasi

dorongan negatif dan perilaku aman yang dianggap sebagai faktor yang

mempertahankan manifestasi gangguan. Intervensi utama yang diberikan adalah

paparan sistematis terhadap activating event yang dikombinasikan dengan

pencegahan respons. Pelatihan mindfulness digunakan untuk memperkuat paparan.

Pelatihan mindfullness ini dapat memfasilitasi extinction learning selama paparan

melalui peningkatan kesadaran terhadap berbagai activating event. Pasien didorong

untuk memiliki sikap yang menerima terhadap kognisi dan emosi yang mereka

rasakan saat melakukan paparan dan pencegahan respons (Hedman, dkk., 2014).

3.2 Perubahan biologis pasca intervensi dengan psikoterapi spesifik

Secara klinis, tujuan psikoterapi adalah untuk meminimalisir gejala dan untuk

meningkatkan kualitas hidup (Halverson, 2015). Berbagai studi untuk identifikasi

perubahan saraf terkait penurunan gejala pasca psikoterapi telah dilakukan. Secara

umum, studi-studi neuroimaging yang dilakukan pasca psikoterapi menunjukkan

adanya normalisasi dibanding abnormalitas awal, yang didefinisikan sebagai tidak

adanya perbedaan signifikan dengan norma yang diperkirakan dari subjek

pembanding nonpsikiatri. Perubahan ini juga berhubungan dengan penurunan gejala

16
(Abbass et al. 2014). Tampaknya jenis psikoterapi yang berbeda memberi efek yang

berbeda pada otak pada tingkat selular dan molekular, tetapi pengetahuan tentang hal

ini masih sangat terbatas. Temuan dari berbagai studi juga menunjukkan variasi yang

tinggi. Pasien dengan depresi dapat memiliki gejala klinis dan abnormalitas otak

regional yang beragam. Berbagai hal lain terkait teknis dan prosedur studi serta

pelaksanaan psikoterapi juga dapat berperan pada bervariasinya hasil studi ini

(Beauregard 2014). Berikut ini akan dipaparkan temuan-temuan perubahan biologis

pasca terapi psikodinamik dan terapi kognitif perilaku.

3.2.1. Perubahan biologis pasca terapi psikodinamik

Riset menunjukkan adanya sejumlah relevansi biologis terapi psikodinamik. Terkait

karakteristik terapi psikodinamik yang berfokus pada unconscious (Tryon 2014), riset

tentang memori dianggap sebagai hal yang penting untuk menjelaskan mekanisme

efektivitas terapi psikodinamik. Saat ini telah diketahui dua jenis sistem memori,

yaitu memori prosedural (implisit) dan memori deklaratif (eksplisit), yang

karakteristiknya dijelaskan pada tabel sebagai berikut (Fuchs, 2004); Grosjean 2005):

Karakteristik memori prosedural dan memori deklaratif

Jenis Lokasi regulasi Karakteristik Fungsi


memori
Prosedural Ganglia basalis Fungsional Mengatur semua kerja otomatis,
(implisit)/ Cerebellum saat lahir disposisi tak sadar dan kebiasan
Habit Amigdala Tidak nonverbal dari perilaku
memory dihambat Menyimpan pola interaksi tubuh dan
fungsinya oleh emosional yang diaktivasi secara
alkohol dan otomatis oleh petunjuk situasional yang
benzodiazepin minimal (misalnya ekspresi wajah,

17
Distimulasi bahasa tubuh, nada bicara, atmosfer
stress kronis interaksi)
Penting untuk hubungan dengan pasien
dan proses psikoterapi
Deklaratif Lobus temporalis Fungsional Mencatat pengalaman tunggal untuk
(eksplisit) (hippocampus pada usia 3-4 diingat kembali di masa depan
dan struktur tahun Terdiri atas empat (4) domain kerja:
korteks yang Dihambat 1 Memori kerja (working memory),
saling fungsinya oleh yang fungsinya menjaga memori “on
berhubungan) alkohol dan line” pada interval pendek saat operasi
benzodiazepin kognitif dilakukan di atasnya.
Distimulasi 2 Sistem representasi persepsi, yang
stress sedang berguna untuk memfasilitasi berbasis
yang akut memori untuk identifikasi perseptual
dari berbagai objek
3 memori semantik, yang berfungsi
untuk memperantarai didapatkan dan
digunakannya pengetahuan umum
seseorang tentang dunia
4 memori episodik, yang berfungsi
untuk memperantarai akses sadar
terhadap masa lalu yang dialami secara
personal
Dikutip dari (Fuchs, 2004)

Memori implisit dianggap sebagai komponen penting yang sejalan dengan

prinsip asosiasi bebas pada psikoterapi psikodinamik. Riset tumbuh kembang terkait

memori dan pembelajaran menunjukkan bahwa pembelajaran prosedural dan

pemetaan serebral pola interaksi telah sepenuhnya berkembang pada bayi usia 3-4

bulan. Melalui pemrosesan tak sadar dari informasi afektif, sistem memori bayi sudah

mampu untuk mengekstraksi prototipe dan aturan yang dipelajari dari pengalaman

yang berulang. Hal ini selanjutnya akan mengorganisir perilaku interpersonal anak

yang akan ditransfer ke lingkungan lain. Karenanya, memori implisit juga berfungsi

sebagai hubungan antara pengalaman interaksi awal yang defisien, pola kelekatan

yang disfungsional dan gangguan regulasi afek yang banyak ditemukan pada berbagai

18
gangguan jiwa. Prinsip ini mengkonfirmasi peran alam tak sadar yang ditekankan

pada psikoanalisis. Meskipun begitu, alam tak sadar yang implisit ini cukup berbeda

dengan alam tak sadar dinamis yang disebabkan oleh represi, pembelaan diri,

kecemasan, atau konflik, yang merupakan konsep dominan yang dicetuskan oleh

Freud. Riset perkembangan saraf juga menunjukkan bahwa amnesia masa kanak

bukan merupakan hasil represi selama resolusi kompleks oedipus, tetapi bersesuaian

dengan maturasi sistem memori deklaratif (Fuchs, 2004).

Efek intervensi psikodinamik jangka panjang telah dideteksi pada suatu studi

neuroimaging yang dilakukan sebelum dan setelah 15 bulan terapi. Selama

pemeriksaan, penjelasan yang mengandung kalimat yang berinti personal sebelumnya

diekstrak dari wawancara terkait kelekatan yang berganti-ganti antara presentasi

kalimat terkait kelekatan dengan kalimat netral. Dibanding dengan peserta kontrol,

peserta depresi menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada korteks cinguli

subgenual (Area Brodmann 25), PFC medial (Area Brodmann 8 dan 9), dan

hippocampus/amigdala anterior kiri sebelum terapi, dan terjadi penurunan pada regio-

regio ini setelah terapi psikodinamik jangka panjang. Penurunan ini berhubungan

dengan perbaikan gejala (Beauregard 2014). Bucheim (dalam Abbass et al. 2014)

menunjukkan bahwa pasca terapi psikodinamik, pasien dengan depresi memiliki

aktivitas yang serupa dengan kontrol pada regio-regio di amigdala, hippocampus,

dan korteks prefrontal dorsal pada sebagai respons terhadap stimuli yang

berhubungan dengan kelekatan: kasus-kasus yang diterapi memiliki aktivasi yang

lebih rendah dibanding kontrol pada korteks cinguli subgenual. Area ini tampaknya

19
berhubungan dengan rasa bersalah, sikap yang merugikan diri sendiri, dan represi

emosi. Normalisasi area ini mencerminkan telah diatasinya represi emosi dan

penurunan rasa bersalah yang terjadi secara tidak sadar, sehingga menyebabkan

perbaikan pada konsep diri dan efek antidepresan.

Psikoterapi psikodinamik dapat diterapkan untuk jangka pendek dan jangka

panjang. Terapi psikodinamik jangka panjang bertujuan untuk memberi tilikan dan

evaluasi ulang terkait pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan patologi

depresi. Pasca terapi selama 15 bulan, ditemukan bahwa gejala berkurang, disertai

penurunan aktivitas pada cinguli dan korteks prefrontal medial, yang ditemukan

tinggi sebelum terapi. Temuan dari psikoterapi psikodinamik menunjukkan bahwa

aktivitas abnormal pada korteks prefrontal dan korteks cinguli pada depresi menjadi

lebih teregulasi (Sözeri-Varma 2012).

3.2.2 Perubahan biologis pasca terapi kognitif perilaku

Terapi kognitif perilaku pada depresi dilakukan untuk mendorong terjadinya

restrukturisasi kognitif di mana penalaran digunakan untuk menilai pikiran-pikiran

dan perilaku yang diperantarai emosi, dalam rangka untuk menunjukkan

ketidaksesuaian antara keduanya. Ketidaksesuaian ini disebut sebagai distorsi

kognitif, yang selanjutnya menjadi target intervensi. Distorsi kognitif dihasilkan oleh

kombinasi antara proses biologis (genetik) dan lingkungan. Perubahan pada distorsi

kognitif ini akan mengaktivasi mekanisme plastisitas otak yang bergantung

pengalaman, yang selanjutnya akan mengubah bagaimana seseorang berpikir,

merasakan, dan berperilaku (Tryon 2014).

20
CBT juga telah dipelajari pada studi yang dilakukan oleh Goldapple et al. (dalam

(Beauregard 2014) melakukan pemeriksaan FGD-PET pada pasien depresi sebelum

dan sesudah 15-20 sesi terapi. Mereka yang menyelesaikan CBT menunjukkan

adanya perbaikan klinis yang diikuti dengan peningkatan metabolisme pada gyrus

parahippocampalis, dan dorsal ACC (area Brodmann 24) dan penurunan pada PFC

dorsal (area Brodmann 9 dan 46), ventral (area Brodmann 47 dan 11) dan medial

(area Brodmann 9, 10, dan 11). Penelitian lain oleh Kennedy et al. (dalam Beauregard

2014) menunjukkan bahwa setelah 16 minggu terapi dengan CBT, respons terhadap

CBT berhubungan dengan peningkatan metabolisme glukosa di korteks occipitali

inferior dan penurunan metabolisme glukosa pada korteks orbitofrontal (area

Brodmann 11 dan 47) dan PFC dorsomedial kiri (area Brodman 8).

Respons terhadap CBT juga ditemukan berhubungan dengan penurunan pada

aktivitas metabolisme glukosa pada medial PFC. Area korteks ini, yang tampaknya

berperan pada pemrosesan referensi terhadap diri sendiri untuk stimuli emosional,

teraktivasi pada berbagai jenis tugas emosional, termasuk perhatian terhadap perasaan

subjektif, mengingat kembali kejadian hidup pribadi yang memiliki muatan emosi,

dan pemrosesan makna yang terkait emosi (Beauregard 2014).

Pada gangguan depresi, terdapat penurunan umum pada aktivitas di korteks

prefrontal ventromedial; bahwa pembedaan stimuli emosional dan netral pada

amigdala, caudatus, hippocampus lebih rendah dan bahwa respons terhadap stimuli

negative pada lobus temporalis anterior dan PFC dorsolateral kanan dibanding

dengan stimuli positif. Pasca CBT, pasien dengan depresi menunjukkan peningkatan

21
aktivasi PFC ventromedial secara keseluruhan, peningkatan respons kewaspadaan

pada amigdala, caudatus, dan hippocampus, dan pembalikan efek valensi pada lobus

temporalis anterior kiri (Sözeri-Varma 2012).

Pasien dengan depresi juga ditemukan mengalami aktivitas abnormal pada

korteks cinguli subgenual dan amigdala. Hubungan yang kuat ditemukan antara

reaktivitas rendah pada korteks cinguli subgenual, reaktivitas tinggi pada amigdala

dan respons terhadap CBT. Penurunan aktivitas korteks cinguli sebelum terapi adalah

prediktor respons terhadap CBT dan menunjukkan defisit pada regulasi area ini.

Diajukan bahwa CBT dapat membawa pemulihan dengan memperbaiki gangguan

pada regulasi emosi. ACC adalah potongan utama dari sirkuit Papez yang diketahui

berhubungan dengan pengaturan emosi. Pada pasien-pasien depresi, volume

substantia nigra, aliran darah, dan metabolisme glukosa akan menurun pada korteks

cinguli subgenual. Fungsi korteks cinguli yang terganggu pada depresi dapat menjadi

pulih pasca CBT. Pada studi lain yang membandingkan pasien depresi dengan

individu sehat, ditemukan bahwa aktivitas kontinyu amigdala ditemukan lebih

berhubungan dengan intensitas pikiran ruminatif dibanding keparahan depresi.

Reaktivitas amigdala yang tinggi dan reaktivitas korteks cinguli subgenual yang

rendah dapat muncul sebagai ruminasi pada manifestasi klinis. Pada depresi, jejaring

saraf yang mengandung ACC adalah penting untuk respons terhadap CBT, dan

bahwa perubahan pada aktivitas ACC dapat menjadi prediktor terhadap respons CBT.

CBT kemungkinan lebih banyak memberi efeknya dalam memproses hal-hal yang

menggantikan respons emosional, di mana reaksi limbik yang bersifat otomatis

22
diturunkan dan peran inhibitor dari korteks ditingkatkan. Temuan-temuan yang

berasal dari studi-studi ini menunjukkan bahwa CBT mengubah metabolisme PFC,

ACC, dan amigdala (Sözeri-Varma 2012).

BAB IV

CBT Pada Nyeri

4.1 Nyeri

Nyeri merupakan gejala yang paling sering membuat pasien untuk datang ke

dokter. Prinsip dasar dari manejemen nyeri adalah mengobati kausatif dan mengobati

nyeri. Jika hanya mengobati nyerinya saja, terapi bisa gagal karena nyeri akut

memiliki onset. Jika nyeri akut tidak diobati maka akan jatuh ke dalam nyeri kronis

yang sulit diobati sebab nyeri meliputi faktor emosional dan biologis. Faktor

emosional berperan penting saat timbulnya nyeri karena membuat pasien merasa

cemas (Tamsuri,2007, Sadock,2009)

Nyeri kepala atau sakit kepala bisa merupakan suatu kondisi yang primer

seperti pada pasien dengan nyeri kepala karena migrain atau tension type headache

namun bisa juka dikarenakan kondisi gejala suatu penyakit yang berat seperti tumor

otak atau perdarahan otak.(Sadock,2009)

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang timbul akibat

terjadinya kerusakan jaringan, sebab nyeri merupakan pengalaman yang tidak mudah

dilupakan. Jika nyeri semakin cepat ditangani maka akan semakin mudah untuk

diatasi. Nyeri merupakan pembelajaran, contohnya jika anak kecil bermain api lalu

23
terkena api dan merasakan sakit, maka respon anak kecil itu bisa takut untuk bermain

api dan akan lebih berhati-hati (Hartwig, Osborn, 2009)

Mengobati pasien dengan keluhan nyeri juga harus mengobati emosional

pasien seperti cemas yang dialami setelah kejadian tersebut terjadi. Sehingga

kesembuhan pasien lebih efektif (BairMJ, 2013, Sample, 2013)

4.1.1 Nyeri Kepala dan Masalah Psikiatri

Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme proteksi tubuh yang

bertujuan memberikan peringatan (alerting) akan adanya penyakit, luka, atau

kerusakan jaringan sehingga dapat segera diidentifikasi penyebabnya dan dilakukan

pengobatan. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),

nyeri didefinisikan sebagai pengalam sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan

menyebabkan kerusakan jaringan. Dari definisi diatas terlihat betapa pentingnya

faktor psikis. Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar sebagai proses sensorik saja

tetapi merupakan persepsi yang kompleks yang melibatkan fungsi kognitif, mental,

emosional, dan daya ingat (Bair MJ,2013)

Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah adanya nyeri yang

merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor piskologis

sangat berperan dalam gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau

lebih, yang tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagi kondisi medik nonpiskiatrik

maupun neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan

hendaya dalam fungsi kehidupan. Pendekatan biopsikososial yang dikemukakan oleh

24
Robert Engel sangat cocok diterapkan padahubungan antara nyeri kepala dan

gangguan psikiatrik. Adanya keterlibatan sistem di otak yang mengatur perasaan,

perilaku, dan pikiran manusia dalam timbulnya nyeri kepala juga semakin

menandaskan hal ini (Sadock,2007)

Nyeri, depresi dan kecemasan mempunyai hubungan kompleks yang saling

mempengaruhi. Sering sekali dalam praktiknya kita sulit menentukan apa diantara

kondisi tersebut yang muncul terlebih dahulu. Walaupun demikian nyeri termasuk

dalam hal ini kepala jarang disebabkan secara eksklusif karena faktor psikologis saja.

tidak ada faktor jenis kepribadian tertentu yang juga dihubungkan dengan maslaah

nyeri yang kronis (Maramis,2009)

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak berhubungan dengan nyeri

nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai dengan gejala-gejala psikis yang

nyata. Proses nyeri dapat dibagi menjadi adanya kerusakan jaringan akibat penyakit,

misalnya kanker, penyakit sendi otot dan lain-lain, disebut sebagai nyeri nosiseptik.

Nyeri akibat aktivitas abnormal susunan saraf yang disebut nyeri neuropatik dan

adanya gangguan psikis yang mendasari sebab timbulnya nyeri disebut nyeri

psikogenik.(Gallagher,2003)

Banyak penelitian mengatakan bahwa penderita nyeri kepala kronis akan lebih

mudah mengalami depresi sekitar 40% kasus dan penelitian terbaru mengatakan

bahwa nyeri kepala kronis pada pasien memicu mudahnya mengalami PTSD

dibandingkan populasi umum(Ismail,2010)

25
4.1.2 Faktor Penyebab Nyeri Psikogenik

Faktor psikodinamik

Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuh tanpa penyebab fisik yang

dapat diidentifikasi mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik

melalui tubuh. Banyak pasien sulit berespons terhadap pengobatan karena mereka

yakin dirinya pantas untuk menderita (Elvira,2010)

Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap

kesalahan, dan menebus rasa bersalah serta perasaan bahwa dirinya jahat. Mekanisme

defensi yang digunakan pasien dengan gangguan nyeri adalah pemindahan

(displacemnet), substitusi, dan represi. Indentifikasi sampai saraf tertentu berperan

apabila pasien mengambil alih-alih obyek cinta ambivalen (contohnya orang tua)

yang juga menderita nyeri (Elvira,2010)

Faktor perilaku

Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau

diberi hukuman. Misalnya keluhan nyeri sedang menjadi berat ketika orang lain

mencemaskannya dan memberi perhatian, mendapat keuntungan finansial, atau bila

keluhan nyeri berhasil dipakai untuk menghindari aktivitas yang tak menyenangkan

(Mangindaan,2010)

Faktor interpersonal

Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi

dan memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk

memastikan kesetiaan anggota keluarga atau untuk menjaga stabilitas perkawinan

26
yang rapuh. Keuntungan sekunder merupakan hal terpenting dari pasien dengan

gangguan nyeri (Maramis,2009)

Faktor biologis

Korteks serebral dapat menghambat tersulutnya serabut aferen nyeri.

Serotonin mungkin merupakan neurotransmiter utama dalam jaras penghambatan,

dan endorfin berperan dalam memodulasi susunan saraf pusat untuk nyeri. Defisiensi

endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang datang. Beberapa

pasien yang menderita gangguan nyeri dan tidak gangguan mental lainnya, karena

abnormalitas struktur limbik dan sensorik atau kimiawi yang menjadi faktor

predisposisi untuk mengalami nyeri (Sadock,2007)

4.2 Intervensi CBT pada pasien Depresi dengan Nyeri

CBT merupakan psikoterapi yang didasarkan pada pengamatan, asumsi,

kepercayaan dan perilaku dengan tujuan mempengaruhi emosi negatif misalnya

penafsiran yang tidak akurat terhadap peristiwa nyeri. CBT secara umum meliputi

teknik relaksasi dan pengalihan perhatian. Telah terbukti bahwa CBT dapat diterima

secara luas karena efektif pada psikoterapi pasien dengan gangguan dan masalah

psikologis.

Kognitif adalah proses pemikiran kita yang meliputi ide, keadaan mental dan

sikap. Terapi kognitif didasarkan pada prinsif yang berpikir secara pasti untuk

mengidentifikasi adanya bahaya dan situasi yang tidak dapat dipertahankan. Terapi

ini membantu seseorang untuk mengerti pola pemikiran, khususnya untuk

mengidentifikasi beberapa bahaya yang akan muncul dan tidak dapat dipertahankan

27
dan ide atau pemikiran yang salah untuk mengubah cara berpikir dan menghindari

ide-ide itu juga menolong pola pikir seseorang untuk lebih realistik (Tamsuri, 2007)

Terapi perilaku bertujuan untuk merubah perilaku yang dapat membahayakan

bagi penderita nyeri kronis dan nyeri yang tidak dapat ditoleransi.

4.2.1 CBT dalam Manajemen Nyeri

CBT didasarkan pada pola pemikiran dan perilaku yang dapat mempengaruhi

gejala dan ketidakmampuan dan mungkin menghambat proses penyembuhan. Sebagai

contoh , ketika pasien penderita nyeri kronis mulai akrab merasakan nyeri dan rasa

takut, pasien mungkin akan mempunyai indra untuk mengetahui bagaimana perasaan

itu akan berkembang.

CBT dapat melatih cara pikir penderita dengan lebih spesifik guna

meningkatkan kemampuan koping dan kontrol perasaan. Terapi ini juga dapat

mendorongg seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang timbul.

CBT lebih efektif bila dilakukan bersamaan dengan konsultasi untuk mencapai

tujuannya. CBT dapat membantu pasien dengan penyakit kronis dengan merubah cara

berpikir terhadap nyeri.

4.2.2 Indikasi CBT

CBT merupakaan terapi yang secara praktek berfokus pada masalah khusus

dan bertujuan untuk mengatasi pola perilaku menyimpang dari pasien penderita

nyeri, yang ditandai dengan serangan panik, gangguan panik, depresi, gangguan

makan, gangguan obsesive kompulsif, gangguan dismorphia, gangguan stres setelah

trauma, kemarahan, masalah tidur, syndrom lemah kronis, fobia. CBT kadang

28
digunakan secara sendiri dan kadang digunakan dengan tambahan obat tergantung

dari tipe dan beratnya kondisi pasien penderita nyeri.

4.2.3 Mekanisme CBT Nyeri

CBT memiliki mekanisme yang bertujuan untuk membantu pasien penderita

nyeri agar dapat mengendalikan masalah nyeri yang dialaminya. Hal ini membuat

pasien lebih mudah untuk bisa keluar dari masalah nyeri yang sedang dialami yang

dapat mempengaruhi pasien penderita nyeri.

Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi yang

sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku. Masing-

masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara pasien

mengendalikan nyeri yang dialam, bagaimana pasien merasakan fisik dan secara

emosional hal tersebut juga dapat merubah hal yang akan dilakukan mengenai nyeri

tersebut (Tamsuri, 2007)

Bagaimana gejala somatik muncul dapat tergambar dari bagan berikut :

29
Siklus keadaan ini akan membuat seseorang merasa takut, situasi itu dapat

dimulai dengan perasaan tidak senang terhadap sesuatu pada dirinya sendiri. Ini

terjadi ketika seseorang tertekan, orang tersebut mungkin lebih menyimpulkan

sesuatu dengan ekstrem. Terapi perilaku kognitif dapat membantu seseorang untuk

berhenti dari siklus keadaan seperti diatas yaitu berhubungan dengan pikiran,

perasaan dan perilaku (Mangindaan, 2010)

4.2.4 Psikopatologi CBT

CBT tidak hanya suatu teknik tetapi mengandung teori komprehensif perilaku

manusia. CBT mengajukan penjelasan “biopsikososial” untuk menjelaskan

bagaimana manusia menjadi merasa dan bertindak sebagaimana yang mereka lakukan

adalah merupakan kombinasi dari biologi, psikologi dan faktor sosial yang terikat

(Sadock, & Sadock, 2007)

Cara yang berguna untuk menggambarkan peran kognisi adalah dengan model

“A-B-C-D” atau model rasional-emosi yang pertama kali dikembangkan oleh Albert

Ellis. Model ini telah diadaptasi secara umum untuk penggunaan CBT. “A” adalah

activating event, ( kejadian yang mencetuskan terbentuknya keyakinan atau

kepercayaan yang salah), “B” adalah beliefs, (keyakinan atau kepercayaan seseorang

berdasarkan kejadian yang mencetuskan), menurut ellis bukan kejadian itu sendiri

yang menghasilkan gangguan perasaan, akan tetapi interpretasi dan keyakinan atau

kepercayaan orang tersebut tentang kejadian itu. “C” adalah consequence,

(konsekuensi emosional dari kejadian tersebut. Deangan kata lain, ini adalah

pengalaman perasaan orang tersebut sebagai hasil dari interpretasi dan kepercayaan

30
mereka berkenaan dengan kejadian. “D” adalah dispute, (penggoyahan terhadap

keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat dan tidak benar kemudian

menggantinya dengan keyakinan yang rasional, realistik, tepat dan benar) (Sudiyanto,

2008)

Perlu digaris bawahi bahwa “A” tidak menyebabkan “C”, “A” memicu “B”,

dan “B” menyebabkan “C”. Juga episode ABC tidak berdiri sendiri, melainkan

berjalan dalam suatu rantai dengan “C” sering menjadi “A” pada episode yang lain.

Sebagian besar kepercayaan berada diluar pengamatan kesadaran dan merupakan

kebiasaan atau otomatis, sering terdiri dari aturan yang terselubung tentang bagai

mana dunia dan kehidupan ini seharusnya. Melalui lartihan, seseorang dapat belajar

untuk mengetahui kepercayaan prasadar ini (Sudiyanto, 2008)

Proses CBT secara singkat tercantum dalam bagan berikut :

31
BAB V

RINGKASAN

1. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan mood yang memiliki dampak

signifikan pada penderitanya. Kondisi ini dapat diatasi dengan berbagai jenis

intervensi.

2. Salah satu modalitas terapi depresi adalah psikoterapi, tetapi mekanisme

biologis modalitas ini belum sepenuhnya dipahami.

3. Studi neuroimaging pada subjek depresi menunjukkan bahwa psikoterapi

menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan pada area-area otak yang

berhubungan dengan regulasi emosi, memori, dan pembelajaran.

4. Penilaian awal penting untuk dilakukan sebelum memulai proses CBT, yang

akan lebih baik lagi jika ditunjang pula oleh evaluasi akhir. Penilaian awal dan

evaluasi akhir adalah pengukuran, indikator, atau standar yang digunakan

untuk membuat keputusan berdasarkan signifikansi klinisnya, dan dapat

bersifat superfisial ataupun detail.

5. Perubahan yang terjadi pasca psikoterapi dapat dipertahankan dengan

pelaksanaan psikoterapi terstruktur dengan durasi yang adekuat

6. CBT merupakan pilihan psikoterapi pada kasus depresi dengan nyeri.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abbass, A. a. et al., 2014. Review of psychodynamic psychotherapy neuroimaging studies.


Psychotherapy and Psychosomatics, 83, pp.142–147.

Albrecht, A. T. & Herrick, C., 2006. 100 Questions & Answers about Depression. Sudbury:
Jones and Bartlett Publishers, Inc.

Ball, C. & Philpot, M., 2009. Affective Disorders. In: D. Ames & E. Chiu, eds. Neuroimaging in
the Psychiatry of Late life. New York: Cambridge University Press.

Beauregard, M., 2014. Clinical research. Dialogues in clinical neuroscience, 16, pp.75–81.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3984893/.

Bebbington, P., 2013. The Classification and Epidemiology of Unipolar Depression. In: M.
Power, ed. The Wiley-Blackwell Handbook of Mood Disorders, Second Edition. West
Sussex: John Wiley & Sons.

Beck, J. S., 2011. Cognitive Behavioral Therapy: Basics and Beyond. New York: The Guilford
Press.

Boutros, N.N., 2013. Standard EEG: A Research Roadmap for Neuropsychiatry, Available at:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-319-04444-6.

Carpenter, L. L., Philip, N. S. & O'Reardon, J., 2009. Advances in Neurostimulation for
Depression: Electroconvulsive Therapy, Transcranial Magnetic Stimulation, Vagus Nerve
Stimulation, And Deep Brain Stimulation. In: T. L. Schwartz & T. Petersen, eds.
Depression: Treatment Strategies and Management 2nd Edition. London: Informa.
Dr. Rusdi Maslim, SpKJ ; Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication)
;Edisi Ketiga ; Desember 2001.

Elvira, D.S. (2010). “Psikoterapi” dalam Buku Ajar Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 361-373

Fuchs, E., 2004. Animal models of depression. In: J. Ollie, J. Costa e Silve & J. Macher, eds.
Neuroplasticity: A New Approach to the Pathophysiology of Depression. London: Science
Press, Ltd., pp. 39-50.

Gallagher, RM. 2003. The pain-depression conundrum: bridging the body and mind. Http://
www.medscape.com

v
Grecucci, A., Theuninck, A., Frederickson, J. & Job, R., 2015. Mechanisms of Social Emotion
Regulation: From Neuroscience to Psychotherapy. In: M. L. Bryant, ed. Handbook on
Emotion Regulation. New York: Nova Publishers.

Grosjean, B., 2005. From Synapse to Psychotherapy. American Journal of Psychotherapy, 59,
pp.181–197.

Halverson, J. L., 2015. http://www.medscape.com/. [Online]


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview
[Accessed 18 June 2015].
Ismail., R. I., Siste., K., Gangguan Depresi, Buku Ajar Psikiatri, FK UI., Jakarta., 2010 ; 209-229

Koeswara, E., Mekanisme Pertahanan Ega, Teori-Teori Kepribadian, PT. Eresco Bandung, 1986
: 45-48

Krishnan, V. & Nestler, E. J., 2011. Animal Models of Depression: Molecular Perspective. In: J.
J. Hagan, ed. Molecular and Functional Models in Neuropsychiatry. Berlin: Springer.

Kuhn, M., Popovic, A. & Pezawas, L., 2014. Neuroplasticity and memory formation in major
depressive disorder: An imaging genetics perspective on serotonin and BDNF. Restorative
Neurology and Neuroscience, 32(APRIL), pp.25–49.

Linden, D.E.J., 2006. How psychotherapy changes the brain--the contribution of functional
neuroimaging. Molecular psychiatry, 11, pp.528–538.

Mangindaan, L. (2010). “Konseling” dalam Buku Ajar Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 374-378
Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press, 2009. h. 283-493.

Maramis, W. F., & Maramis, A. A. (2009). Catatan ilmo kedokteran jiwa. surabaya: Airlangga
Univeersity Press. Hal 478-493

Meyer, D., 2011. Neuroplasticity as an Explanation for the Attachment Process in the
Therapeutic Relationship. , (June).

Nihalani, N., Simionescu, M. & Dunlop, B. W., 2009. Depression: Phenomenology,


Epidemiologi, and Pathophysiology. In: T. L. Schwartz, ed. Depression. Treatment
Strategies and Management 2nd Edition. London: Informa.

Pandey, G. & Dwivedi, Y., 2009. Peripheral Biological Markers for Mood Disorders. In: M. S.
Ritsner, ed. The Handbook of Neuropsychiatric Biomarkers, Endophenotypes, and Genes
Volume III. Berlin: Springer.
PP PDSKJI., Panduan Gangguan Depresi Mayor., 2013

vi
Ristner, M. S. ed., 2009. Gallagher, Peter; Ristner, Michael S. In: Can the Cortisol to DHEA
Molar Ratio be Used as a Peripheral Biomarker for Schizophrenia and Mood Disorders?.
Berlin: Springer.

Rossi, E.L. & Rossi, K.L., 2008. T He N Ew N Euroscience of P Sychotherapy , T Herapeutic H


Ypnosis & R Ehabilitation : a C Reative D Ialogue With O Ur G Enes. , pp.1–69.

Ruwaard, J., Lange, A., Schrieken, B., Dolan, C.V., & Emmelkamp, P. 2012. The Effectiveness
of Online Cognitive Behavioral Treatment in Routine Clinical Practice. PLoS ONE, 7(7):
e40089

Saddock, Benjamin James , MD; Sadock, Virginia Alcott, M.D.; Synopsis of Psychiatry,
Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry; Ed.10, Mood Disorder ,2007 chapter 15 : 527-
578

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kalpan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (Tenth edition ed.). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins. p. 399-458.

Savitz, J. B., Simpson, J. R. & Drevets, W. C., 2012. Neuroimaging in Affective DIsorders:
Application in Clinical Research and Forensic Psychiatry. In: J. R. Simpson, ed.
Neuroimaging in Forensic Psychiatry. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd..

Schore, A. N., 2007. Psychodynamic research: progress and process. Psychologist-


Psychoanalist, Summer, pp. 6-15.

Sheline, Y.I. et al., 2010. Resting-state functional MRI in depression unmasks increased
connectivity between networks via the dorsal nexus. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States of America, 107(24), pp.11020–11025.

Sözeri-Varma, G., 2012. The Biological Effects of Psychotherapy in Major Depressive


Disorders: A Review of Neuroimaging Studies. Psychology, 03(10), pp.857–863.

Sudiyanto A (2009). Konsep Dasar dan Teori Terapi Perilaku Kognitif; In Bimbingan Teknik
Psikoterapi Bidang Kesehatan Ke-2; Bagian Psikiatri FKUNS/RSUD Dr. Moewardi,
Surakarta: p23-48

Tess, B. & Desmond, P., 2009. Computed Tomography. In: D. Ames & E. Chiu, eds.
Neuroimaging in the Psychiatry of Late Life. New York: Cambridge University Press.

vii
Tryon, W.W., 2014. Cognitive Neuroscience and Psychotherapy. Network Principles for a
Unified Theory.,

Vincent, J. & Lledo, P., CUSTOM- MADE,

Weingarten, C.P. & Strauman, T.J., 2014. Neuroimaging for psychotherapy research: Current
trends. Psychotherapy research : journal of the Society for Psychotherapy Research,
(April), pp.1–29. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24527694.

Wright JH (2006). Cognitive Behavior Therapy, Basic Principles and Recent Advances; In Focus
Vol. IV, No. 2; focus.psychiatryonline.org; p173-178

viii

Anda mungkin juga menyukai