Tinjauan Pustaka Neuropsikiatri Dr. Diatmika
Tinjauan Pustaka Neuropsikiatri Dr. Diatmika
PEMBIMBING:
dr. IGN BUDIARSA, SpS
dr. LELY SETYAWATI, Sp.KJ(K)
DIVISI NEUROPSIKIATRI
BAGIAN/ SMF NEUROLOGI FK UNUD/ RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka
tinjauan pustaka yang merupakan salah satu tugas ilmiah residen PPDS-1 Ilmu
Kedokteran Jiwa yang sedang stase di Divisi Neuropsikiatri telah dapat diselesaikan.
Adapun tinjauan pustaka ini kami susun dalam rangka mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. AABN. Nuartha, Sp. S ( K ), selaku Kepala Bagian Lab/SMF Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah.
2. dr. A A Sri Wahyuni, Sp.KJ, selaku Kepala Bagian Lab/SMF Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
3. Dr. dr. AAA. Putri Laksmidewi, Sp. S ( K ), selaku Kepala Program Studi
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. Dr. Luh Nyoman Alit Aryani, Sp.KJ ( K ), selaku Kepala Program Studi
Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
5. Dr. IGN Budiarsa, SpS selaku dosen pembimbing dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini
6. dr. Lely Setyawati,Sp.KJ(K), selaku dosen pembimbing dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini
7. Seluruh supervisor dan staf bagian Neurologi dan Psikiatri FK UNUD/RSUP
Sanglah
8. Teman-teman residen atas dukungan yang telah diberikan.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun
kurang sempurna sehingga memerlukan tambahan bimbingan, kritik atau saran. Atas
perhatiannya kami mengucapkan terimakasih.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Batasan Masalah 5
2
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah suatu kondisi medis yang mempengaruhi pikiran dan perasaan
serta tubuh seseorang. Kondisi ini dapat berhubungan dengan berbagai masalah fisik,
misalnya tidur, nafsu makan, energi, libido, dan berbagai perasaan tidak nyaman
dalam tubuh. Tanpa terapi, gangguan ini dapat berlangsung sangat lama (Albrecht &
Herrick, 2006). Episode dan gangguan depresi didefinisikan secara formal sesuai
Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) dan International
Classification of Disease 10th edition (ICD-10) sebagai sekumpulan gejala utama dan
mayor diperkirakan sebesar 10% hingga 25% untuk wanita dan antara 5% hingga
12% untuk pria (Nihalani, et al., 2009). Kondisi ini diperkirakan akan menjadi
penyebab kedua tertinggi untuk terjadinya hendaya di seluruh dunia pada tahun 2020
(Bebbington, 2013).
faktor genetik dan lingkungan dengan cara yang berbeda-beda. Bukti dari studi
keluarga dan studi kembar menunjukkan bahwa depresi yang muncul pada awal masa
3
kanak-kanak tampaknya lebih berhubungan dengan pengaruh psikososial dibanding
pengaruh genetik. Pada depresi dengan awitan masa remaja atau dewasa muda, aspek
dari berbagai kondisi ini telah semakin banyak dipelajari (Savitz, et al., 2012).
Semakin banyak dikembangkan terapi depresi yang berbasis biologi yang dilakukan
magnetik transkranial, stimulasi nervus vagus, dan stimulasi otak dalam (deep brain
pun telah diarahkan pada pencarian penanda biologis yang definitif, tidak terkecuali
Telah lama dikenali oleh klinisi bahwa intervensi psikologis dapat sangat
mengubah kumpulan kepercayaan, cara berpikir, kondisi afektif, dan pola perilaku
perubahan yang terjadi di otak terkait proses ini baru mulai banyak dipelajari pada
baru relatif tidak banyak terjadi, psikoterapi untuk menjadi modalitas yang semakin
4
akan memberi lebih banyak cara bagi klinisi dalam proses manajemen pasien,
makalah ini ditulis sebagai upaya untuk mengkaji penggunaan psikoterapi pada
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tahun 1978, Hans Strupp (dalam Grosjean 2005) mendefinisikan psikoterapi
cognitions, attitudes, and behavior which have proved troublesome to the person
seeing help from a trained professional.” Psikoterapi dapat dianggap sebagai suatu
konteks interpersonal yang spesifik, yang didasarkan pada model teoretis yang
mendasari praktik seorang terapis. Melakukan modifikasi pada persepsi pasien akan
ringan hingga sedang. Terdapat berbagai jenis psikoterapi yang telah digunakan pada
depresi dengan efikasi yang bervariasi, antara lain terapi perilaku, terapi kognitif
(Halverson, 2015). Pada makalah ini dua aliran utama psikoterapi akan dijelaskan
6
2.1.1 Terapi psikodinamik
Pioner dari terapi ini adalah Sigmund Freud, dan terapi ini memberi
penekanan pada adanya proses bawah sadar yang tidak terselesaikan yang kemudian
menjadi predisposisi untuk munculnya masalah di kemudian hari. Terapi ini berfokus
pada identifikasi dan manajemen perasaan, impuls, dan konflik tak sadar yang
menyebabkan gejala dan masalah kepribadian. Dengan mengenali proses ini dan
melakukan latihan manajemen emosi, pasien secara teoretis dapat terbebaskan dari
masa lalu dan menjadi mampu untuk membentuk hubungan yang sehat, dan
menempatkan afek sebagai inti dari mekanisme terapetik. Fokus terapi yang bersifat
afektif adalah hal penting untuk efektivitas terapetik, dan bahwa “semakin banyak
2007).
ilmu psikoterapi secara langsung berhubungan dengan fungsi otak kanan klinisi, yang
akan menjadi semakin dalam dan meluas dengan pengalaman klinis. Sensitivitas
klinis, empati, intuisi, dan regulasi afek semuanya merupakan manifestasi dari
kecerdasan emosional terapis, yang merupakan kapasitas adaptif dengan mana suatu
emosi dapat dipersepsi, dipahami, dan digunakan untuk memandu perilaku manusia
yang efektif. Fungsi ini, yang berbeda dengan kecerdasan kognitif, diperantarai oleh
7
pemrosesan korteks prefrontal ventromedial, korteks somatosensoris, amigdala, dan
kerjasama dari klien, dimana mereka hendaknya dapat termotivasi, mampu mengenali
berbagai pikiran dan emosinya, menyampaikan dalam bentuk kata dan kalimat yang
tersebut. Oleh karenanya, walau terapi ini dapat diaplikasikan pada cukup banyak
yaitu psikosis akut, gangguan depresi berat, delirium, dan demensia. Klien dengan
psikosis akut sulit diberikan CBT terkait dengan tingginya ekspresi emosi mereka dan
8
berbagai defisit neuropsikologis lain yang dialaminya. Pada gangguan depresi berat
terjadi retardasi psikomotor dan tingginya resiko bunuh diri mendadak, sehingga juga
merupakan hambatan dalam pemberian CBT. Sedangkan pada delirium dan demensia
Terdapat hubungan 2 arah antara kognisi dan perilaku, dimana proses kognitif
mengintervensi pada baik level kognitif atau level perilaku dengan metoda praktis
memutus lingkaran dan mendorong respons yang lebih adaptif. Dalam praktek klinis
a) CBT didasarkan pada model kognitif respons emosional, dimana CBT didasari
oleh ide bahwa perasaan dan perilaku dipengaruhi oleh pikiran, bukan oleh
9
faktor luar seperti orang, situasi, atau peristiwa. Serta bahwa cara berpikir
dapat diubah untuk memperoleh perasaan dan perilaku yang lebih baik,
(b) CBT memiliki durasi pendek dan mempunyai batasan waktu, dimana bahwa
mencapai hasil dengan rata-rata 16 sesi yang diterima oleh klien. Hal ini
terjadi karena bentuknya yang sangat instruktif dan disertai penggunaan tugas
rumah. Sejak sesi awal, klien dibantu untuk mengerti bahwa proses terapi
formal akan memiliki titik akhir setelah dicapai suatu keputusan yang dibuat
(c) Hubungan terapeutik penting untuk terapi yang efektif namun bukan
merupakan fokus, dimana bahwa memiliki hubungan yang baik dan penuh
kepercayaan adalah penting pada CBT namun yang lebih penting adalah
bagaimana belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda dan berperilaku
rasional.
(d) CBT adalah usaha kolaboratif antara terapis dan klien, dimana terapis akan
melihat apa yang menjadi tujuan klien dan membantu dalam mencapainya.
10
(e) CBT didasarkan pada aspek filosofi pengendalian diri. Sebagian besar klien
yang mencari terapi tidak menginginkan merasa seperti cara mereka merasa
tenang pada saat menghadapi situasi yang tidak diharapkan, sehingga mampu
meletakkan diri pada posisi yang lebih baik untuk menggunakan intelegensi,
suatu masalah pada arah yang diinginkan. Dalam dialog tersebut akan
dengan motivasi untuk mengerti sudut pandang klien terhadap sesuatu, serta
mengubah pemikirannya.
(g) Terstruktur dan terarah, bahwa terapis mempunyai rencana khusus untuk setiap
sesi serta teknik atau konsep khusus yang dipikirkan selama setiap sesi yang
berfokus pada tujuan klien. Terapis CBT tidak mengatakan apa yang harus
11
dilakukan oleh klien, namun mengarahkan pada bagaimana menemukan cara
untuk melakukannya.
(h) Didasarkan pada metoda pendidikan, dimana CBT didasari pada pendapat
bahwa hampir seluruh reaksi emosional dan perilaku dipelajari. Karena itu,
maka tujuan terapi adalah untuk menolong klien agar belajar cara baru dalam
(i) Teori dan teknik CBT menggunakan metoda induktif. Bahwa suatu pikiran
benar, maka klien dapat mengubah cara berpikirnya agar sejalan dengan
(j) Tugas rumah sebagai bentuk inti CBT. Sesi terapi yang 1 jam perminggu akan
dengan tujuan yang diinginkan. Maka dari itu, pembuatan tugas rumah akan
mendorong klien untuk terus belajar dan berlatih teknik yang telah dipelajari
12
empati, menerima, dan hormat. Pada tahap awal ini, terapis menunjukkan
pada klien tentang adanya kemungkinan untuk berubah dan bahwa CBT dapat
b) Menilai masalah, orang, dan situasi dengan menilai sudut pandang klien
d) Menerapkan program terapi. Hal ini mengambil sebagian besar sesi terapi,
strategi atau teknik tambahan yang sesuai seperti latihan relaksasi, latihan
13
Komponen ini dilakukan dengan mengingatkan kembali tentang berbagai hal
Prinsip dasar yang penting diingat terkait pemberian CBT adalah sebagai
10. Menggunakan berbagai teknik untuk mengubah pemikiran, mood, dan perilaku.
14
BAB III
Penilaian awal penting untuk dilakukan sebelum memulai proses CBT, yang
akan lebih baik lagi jika ditunjang pula oleh evaluasi akhir. Penilaian awal dan
evaluasi akhir adalah pengukuran, indikator, atau standar yang digunakan untuk
ataupun detail. Data dapat berasal dari pasien, pihak kolateral, ataupun pemeriksaan
medis penunjang. Keputusan klinis paling awal yang perlu dibuat tentunya
berhubungan dengan apakah terapi akan diberikan atau tidak. Penilaian selanjutnya
adalah penilaian kondisi klinis dan penentuan diagnosis. Beberapa ahli berpendapat
bahwa diagnosis akan sulit tanpa petunjuk visual, olfaktori, dan audio untuk
pertemuan awal secara langsung harus dilakukan untuk diagnosis dan untuk
Singleton, 2009).
sesi terjadwal dan disertai tugas rumah untuk memperkuat penerapan intervensi yang
sudah diberikan. Dukungan terapis diberikan melalui umpan balik dan instruksi
digunakan untuk meningkatkan efek intervensi dalam memberikan umpan balik yang
15
bertujuan untuk memastikan bahwa pasien: 1) memahami tujuan intervensi; 2)
CBT dapat diberikan antara lain melalui CBT berbasis paparan yang
dorongan negatif dan perilaku aman yang dianggap sebagai faktor yang
untuk memiliki sikap yang menerima terhadap kognisi dan emosi yang mereka
rasakan saat melakukan paparan dan pencegahan respons (Hedman, dkk., 2014).
Secara klinis, tujuan psikoterapi adalah untuk meminimalisir gejala dan untuk
perubahan saraf terkait penurunan gejala pasca psikoterapi telah dilakukan. Secara
16
(Abbass et al. 2014). Tampaknya jenis psikoterapi yang berbeda memberi efek yang
berbeda pada otak pada tingkat selular dan molekular, tetapi pengetahuan tentang hal
ini masih sangat terbatas. Temuan dari berbagai studi juga menunjukkan variasi yang
tinggi. Pasien dengan depresi dapat memiliki gejala klinis dan abnormalitas otak
regional yang beragam. Berbagai hal lain terkait teknis dan prosedur studi serta
pelaksanaan psikoterapi juga dapat berperan pada bervariasinya hasil studi ini
karakteristik terapi psikodinamik yang berfokus pada unconscious (Tryon 2014), riset
tentang memori dianggap sebagai hal yang penting untuk menjelaskan mekanisme
efektivitas terapi psikodinamik. Saat ini telah diketahui dua jenis sistem memori,
karakteristiknya dijelaskan pada tabel sebagai berikut (Fuchs, 2004); Grosjean 2005):
17
Distimulasi bahasa tubuh, nada bicara, atmosfer
stress kronis interaksi)
Penting untuk hubungan dengan pasien
dan proses psikoterapi
Deklaratif Lobus temporalis Fungsional Mencatat pengalaman tunggal untuk
(eksplisit) (hippocampus pada usia 3-4 diingat kembali di masa depan
dan struktur tahun Terdiri atas empat (4) domain kerja:
korteks yang Dihambat 1 Memori kerja (working memory),
saling fungsinya oleh yang fungsinya menjaga memori “on
berhubungan) alkohol dan line” pada interval pendek saat operasi
benzodiazepin kognitif dilakukan di atasnya.
Distimulasi 2 Sistem representasi persepsi, yang
stress sedang berguna untuk memfasilitasi berbasis
yang akut memori untuk identifikasi perseptual
dari berbagai objek
3 memori semantik, yang berfungsi
untuk memperantarai didapatkan dan
digunakannya pengetahuan umum
seseorang tentang dunia
4 memori episodik, yang berfungsi
untuk memperantarai akses sadar
terhadap masa lalu yang dialami secara
personal
Dikutip dari (Fuchs, 2004)
prinsip asosiasi bebas pada psikoterapi psikodinamik. Riset tumbuh kembang terkait
pemetaan serebral pola interaksi telah sepenuhnya berkembang pada bayi usia 3-4
bulan. Melalui pemrosesan tak sadar dari informasi afektif, sistem memori bayi sudah
mampu untuk mengekstraksi prototipe dan aturan yang dipelajari dari pengalaman
yang berulang. Hal ini selanjutnya akan mengorganisir perilaku interpersonal anak
yang akan ditransfer ke lingkungan lain. Karenanya, memori implisit juga berfungsi
sebagai hubungan antara pengalaman interaksi awal yang defisien, pola kelekatan
yang disfungsional dan gangguan regulasi afek yang banyak ditemukan pada berbagai
18
gangguan jiwa. Prinsip ini mengkonfirmasi peran alam tak sadar yang ditekankan
pada psikoanalisis. Meskipun begitu, alam tak sadar yang implisit ini cukup berbeda
dengan alam tak sadar dinamis yang disebabkan oleh represi, pembelaan diri,
kecemasan, atau konflik, yang merupakan konsep dominan yang dicetuskan oleh
Freud. Riset perkembangan saraf juga menunjukkan bahwa amnesia masa kanak
bukan merupakan hasil represi selama resolusi kompleks oedipus, tetapi bersesuaian
Efek intervensi psikodinamik jangka panjang telah dideteksi pada suatu studi
kalimat terkait kelekatan dengan kalimat netral. Dibanding dengan peserta kontrol,
peserta depresi menunjukkan aktivasi yang lebih besar pada korteks cinguli
subgenual (Area Brodmann 25), PFC medial (Area Brodmann 8 dan 9), dan
hippocampus/amigdala anterior kiri sebelum terapi, dan terjadi penurunan pada regio-
regio ini setelah terapi psikodinamik jangka panjang. Penurunan ini berhubungan
dengan perbaikan gejala (Beauregard 2014). Bucheim (dalam Abbass et al. 2014)
dan korteks prefrontal dorsal pada sebagai respons terhadap stimuli yang
lebih rendah dibanding kontrol pada korteks cinguli subgenual. Area ini tampaknya
19
berhubungan dengan rasa bersalah, sikap yang merugikan diri sendiri, dan represi
emosi. Normalisasi area ini mencerminkan telah diatasinya represi emosi dan
penurunan rasa bersalah yang terjadi secara tidak sadar, sehingga menyebabkan
panjang. Terapi psikodinamik jangka panjang bertujuan untuk memberi tilikan dan
depresi. Pasca terapi selama 15 bulan, ditemukan bahwa gejala berkurang, disertai
penurunan aktivitas pada cinguli dan korteks prefrontal medial, yang ditemukan
aktivitas abnormal pada korteks prefrontal dan korteks cinguli pada depresi menjadi
kognitif, yang selanjutnya menjadi target intervensi. Distorsi kognitif dihasilkan oleh
kombinasi antara proses biologis (genetik) dan lingkungan. Perubahan pada distorsi
20
CBT juga telah dipelajari pada studi yang dilakukan oleh Goldapple et al. (dalam
dan sesudah 15-20 sesi terapi. Mereka yang menyelesaikan CBT menunjukkan
adanya perbaikan klinis yang diikuti dengan peningkatan metabolisme pada gyrus
parahippocampalis, dan dorsal ACC (area Brodmann 24) dan penurunan pada PFC
dorsal (area Brodmann 9 dan 46), ventral (area Brodmann 47 dan 11) dan medial
(area Brodmann 9, 10, dan 11). Penelitian lain oleh Kennedy et al. (dalam Beauregard
2014) menunjukkan bahwa setelah 16 minggu terapi dengan CBT, respons terhadap
Brodmann 11 dan 47) dan PFC dorsomedial kiri (area Brodman 8).
aktivitas metabolisme glukosa pada medial PFC. Area korteks ini, yang tampaknya
berperan pada pemrosesan referensi terhadap diri sendiri untuk stimuli emosional,
teraktivasi pada berbagai jenis tugas emosional, termasuk perhatian terhadap perasaan
subjektif, mengingat kembali kejadian hidup pribadi yang memiliki muatan emosi,
amigdala, caudatus, hippocampus lebih rendah dan bahwa respons terhadap stimuli
negative pada lobus temporalis anterior dan PFC dorsolateral kanan dibanding
dengan stimuli positif. Pasca CBT, pasien dengan depresi menunjukkan peningkatan
21
aktivasi PFC ventromedial secara keseluruhan, peningkatan respons kewaspadaan
pada amigdala, caudatus, dan hippocampus, dan pembalikan efek valensi pada lobus
korteks cinguli subgenual dan amigdala. Hubungan yang kuat ditemukan antara
reaktivitas rendah pada korteks cinguli subgenual, reaktivitas tinggi pada amigdala
dan respons terhadap CBT. Penurunan aktivitas korteks cinguli sebelum terapi adalah
prediktor respons terhadap CBT dan menunjukkan defisit pada regulasi area ini.
pada regulasi emosi. ACC adalah potongan utama dari sirkuit Papez yang diketahui
substantia nigra, aliran darah, dan metabolisme glukosa akan menurun pada korteks
cinguli subgenual. Fungsi korteks cinguli yang terganggu pada depresi dapat menjadi
pulih pasca CBT. Pada studi lain yang membandingkan pasien depresi dengan
Reaktivitas amigdala yang tinggi dan reaktivitas korteks cinguli subgenual yang
rendah dapat muncul sebagai ruminasi pada manifestasi klinis. Pada depresi, jejaring
saraf yang mengandung ACC adalah penting untuk respons terhadap CBT, dan
bahwa perubahan pada aktivitas ACC dapat menjadi prediktor terhadap respons CBT.
CBT kemungkinan lebih banyak memberi efeknya dalam memproses hal-hal yang
22
diturunkan dan peran inhibitor dari korteks ditingkatkan. Temuan-temuan yang
berasal dari studi-studi ini menunjukkan bahwa CBT mengubah metabolisme PFC,
BAB IV
4.1 Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling sering membuat pasien untuk datang ke
dokter. Prinsip dasar dari manejemen nyeri adalah mengobati kausatif dan mengobati
nyeri. Jika hanya mengobati nyerinya saja, terapi bisa gagal karena nyeri akut
memiliki onset. Jika nyeri akut tidak diobati maka akan jatuh ke dalam nyeri kronis
yang sulit diobati sebab nyeri meliputi faktor emosional dan biologis. Faktor
emosional berperan penting saat timbulnya nyeri karena membuat pasien merasa
Nyeri kepala atau sakit kepala bisa merupakan suatu kondisi yang primer
seperti pada pasien dengan nyeri kepala karena migrain atau tension type headache
namun bisa juka dikarenakan kondisi gejala suatu penyakit yang berat seperti tumor
terjadinya kerusakan jaringan, sebab nyeri merupakan pengalaman yang tidak mudah
dilupakan. Jika nyeri semakin cepat ditangani maka akan semakin mudah untuk
diatasi. Nyeri merupakan pembelajaran, contohnya jika anak kecil bermain api lalu
23
terkena api dan merasakan sakit, maka respon anak kecil itu bisa takut untuk bermain
pasien seperti cemas yang dialami setelah kejadian tersebut terjadi. Sehingga
Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme proteksi tubuh yang
pengobatan. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),
faktor psikis. Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar sebagai proses sensorik saja
tetapi merupakan persepsi yang kompleks yang melibatkan fungsi kognitif, mental,
Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah adanya nyeri yang
merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor piskologis
sangat berperan dalam gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau
lebih, yang tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagi kondisi medik nonpiskiatrik
24
Robert Engel sangat cocok diterapkan padahubungan antara nyeri kepala dan
perilaku, dan pikiran manusia dalam timbulnya nyeri kepala juga semakin
mempengaruhi. Sering sekali dalam praktiknya kita sulit menentukan apa diantara
kondisi tersebut yang muncul terlebih dahulu. Walaupun demikian nyeri termasuk
dalam hal ini kepala jarang disebabkan secara eksklusif karena faktor psikologis saja.
tidak ada faktor jenis kepribadian tertentu yang juga dihubungkan dengan maslaah
nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai dengan gejala-gejala psikis yang
nyata. Proses nyeri dapat dibagi menjadi adanya kerusakan jaringan akibat penyakit,
misalnya kanker, penyakit sendi otot dan lain-lain, disebut sebagai nyeri nosiseptik.
Nyeri akibat aktivitas abnormal susunan saraf yang disebut nyeri neuropatik dan
adanya gangguan psikis yang mendasari sebab timbulnya nyeri disebut nyeri
psikogenik.(Gallagher,2003)
Banyak penelitian mengatakan bahwa penderita nyeri kepala kronis akan lebih
mudah mengalami depresi sekitar 40% kasus dan penelitian terbaru mengatakan
bahwa nyeri kepala kronis pada pasien memicu mudahnya mengalami PTSD
25
4.1.2 Faktor Penyebab Nyeri Psikogenik
Faktor psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuh tanpa penyebab fisik yang
melalui tubuh. Banyak pasien sulit berespons terhadap pengobatan karena mereka
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap
kesalahan, dan menebus rasa bersalah serta perasaan bahwa dirinya jahat. Mekanisme
apabila pasien mengambil alih-alih obyek cinta ambivalen (contohnya orang tua)
Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau
diberi hukuman. Misalnya keluhan nyeri sedang menjadi berat ketika orang lain
keluhan nyeri berhasil dipakai untuk menghindari aktivitas yang tak menyenangkan
(Mangindaan,2010)
Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi
26
yang rapuh. Keuntungan sekunder merupakan hal terpenting dari pasien dengan
Faktor biologis
dan endorfin berperan dalam memodulasi susunan saraf pusat untuk nyeri. Defisiensi
pasien yang menderita gangguan nyeri dan tidak gangguan mental lainnya, karena
abnormalitas struktur limbik dan sensorik atau kimiawi yang menjadi faktor
penafsiran yang tidak akurat terhadap peristiwa nyeri. CBT secara umum meliputi
teknik relaksasi dan pengalihan perhatian. Telah terbukti bahwa CBT dapat diterima
secara luas karena efektif pada psikoterapi pasien dengan gangguan dan masalah
psikologis.
Kognitif adalah proses pemikiran kita yang meliputi ide, keadaan mental dan
sikap. Terapi kognitif didasarkan pada prinsif yang berpikir secara pasti untuk
mengidentifikasi adanya bahaya dan situasi yang tidak dapat dipertahankan. Terapi
mengidentifikasi beberapa bahaya yang akan muncul dan tidak dapat dipertahankan
27
dan ide atau pemikiran yang salah untuk mengubah cara berpikir dan menghindari
ide-ide itu juga menolong pola pikir seseorang untuk lebih realistik (Tamsuri, 2007)
bagi penderita nyeri kronis dan nyeri yang tidak dapat ditoleransi.
CBT didasarkan pada pola pemikiran dan perilaku yang dapat mempengaruhi
contoh , ketika pasien penderita nyeri kronis mulai akrab merasakan nyeri dan rasa
takut, pasien mungkin akan mempunyai indra untuk mengetahui bagaimana perasaan
CBT dapat melatih cara pikir penderita dengan lebih spesifik guna
meningkatkan kemampuan koping dan kontrol perasaan. Terapi ini juga dapat
mendorongg seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang timbul.
CBT lebih efektif bila dilakukan bersamaan dengan konsultasi untuk mencapai
tujuannya. CBT dapat membantu pasien dengan penyakit kronis dengan merubah cara
CBT merupakaan terapi yang secara praktek berfokus pada masalah khusus
dan bertujuan untuk mengatasi pola perilaku menyimpang dari pasien penderita
nyeri, yang ditandai dengan serangan panik, gangguan panik, depresi, gangguan
trauma, kemarahan, masalah tidur, syndrom lemah kronis, fobia. CBT kadang
28
digunakan secara sendiri dan kadang digunakan dengan tambahan obat tergantung
nyeri agar dapat mengendalikan masalah nyeri yang dialaminya. Hal ini membuat
pasien lebih mudah untuk bisa keluar dari masalah nyeri yang sedang dialami yang
Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi yang
sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku. Masing-
masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara pasien
mengendalikan nyeri yang dialam, bagaimana pasien merasakan fisik dan secara
emosional hal tersebut juga dapat merubah hal yang akan dilakukan mengenai nyeri
29
Siklus keadaan ini akan membuat seseorang merasa takut, situasi itu dapat
dimulai dengan perasaan tidak senang terhadap sesuatu pada dirinya sendiri. Ini
sesuatu dengan ekstrem. Terapi perilaku kognitif dapat membantu seseorang untuk
berhenti dari siklus keadaan seperti diatas yaitu berhubungan dengan pikiran,
CBT tidak hanya suatu teknik tetapi mengandung teori komprehensif perilaku
bagaimana manusia menjadi merasa dan bertindak sebagaimana yang mereka lakukan
adalah merupakan kombinasi dari biologi, psikologi dan faktor sosial yang terikat
Cara yang berguna untuk menggambarkan peran kognisi adalah dengan model
“A-B-C-D” atau model rasional-emosi yang pertama kali dikembangkan oleh Albert
Ellis. Model ini telah diadaptasi secara umum untuk penggunaan CBT. “A” adalah
kepercayaan yang salah), “B” adalah beliefs, (keyakinan atau kepercayaan seseorang
berdasarkan kejadian yang mencetuskan), menurut ellis bukan kejadian itu sendiri
yang menghasilkan gangguan perasaan, akan tetapi interpretasi dan keyakinan atau
(konsekuensi emosional dari kejadian tersebut. Deangan kata lain, ini adalah
pengalaman perasaan orang tersebut sebagai hasil dari interpretasi dan kepercayaan
30
mereka berkenaan dengan kejadian. “D” adalah dispute, (penggoyahan terhadap
keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat dan tidak benar kemudian
menggantinya dengan keyakinan yang rasional, realistik, tepat dan benar) (Sudiyanto,
2008)
Perlu digaris bawahi bahwa “A” tidak menyebabkan “C”, “A” memicu “B”,
dan “B” menyebabkan “C”. Juga episode ABC tidak berdiri sendiri, melainkan
berjalan dalam suatu rantai dengan “C” sering menjadi “A” pada episode yang lain.
kebiasaan atau otomatis, sering terdiri dari aturan yang terselubung tentang bagai
mana dunia dan kehidupan ini seharusnya. Melalui lartihan, seseorang dapat belajar
31
BAB V
RINGKASAN
1. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan mood yang memiliki dampak
signifikan pada penderitanya. Kondisi ini dapat diatasi dengan berbagai jenis
intervensi.
4. Penilaian awal penting untuk dilakukan sebelum memulai proses CBT, yang
akan lebih baik lagi jika ditunjang pula oleh evaluasi akhir. Penilaian awal dan
32
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, A. T. & Herrick, C., 2006. 100 Questions & Answers about Depression. Sudbury:
Jones and Bartlett Publishers, Inc.
Ball, C. & Philpot, M., 2009. Affective Disorders. In: D. Ames & E. Chiu, eds. Neuroimaging in
the Psychiatry of Late life. New York: Cambridge University Press.
Beauregard, M., 2014. Clinical research. Dialogues in clinical neuroscience, 16, pp.75–81.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3984893/.
Bebbington, P., 2013. The Classification and Epidemiology of Unipolar Depression. In: M.
Power, ed. The Wiley-Blackwell Handbook of Mood Disorders, Second Edition. West
Sussex: John Wiley & Sons.
Beck, J. S., 2011. Cognitive Behavioral Therapy: Basics and Beyond. New York: The Guilford
Press.
Boutros, N.N., 2013. Standard EEG: A Research Roadmap for Neuropsychiatry, Available at:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-319-04444-6.
Carpenter, L. L., Philip, N. S. & O'Reardon, J., 2009. Advances in Neurostimulation for
Depression: Electroconvulsive Therapy, Transcranial Magnetic Stimulation, Vagus Nerve
Stimulation, And Deep Brain Stimulation. In: T. L. Schwartz & T. Petersen, eds.
Depression: Treatment Strategies and Management 2nd Edition. London: Informa.
Dr. Rusdi Maslim, SpKJ ; Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication)
;Edisi Ketiga ; Desember 2001.
Elvira, D.S. (2010). “Psikoterapi” dalam Buku Ajar Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 361-373
Fuchs, E., 2004. Animal models of depression. In: J. Ollie, J. Costa e Silve & J. Macher, eds.
Neuroplasticity: A New Approach to the Pathophysiology of Depression. London: Science
Press, Ltd., pp. 39-50.
Gallagher, RM. 2003. The pain-depression conundrum: bridging the body and mind. Http://
www.medscape.com
v
Grecucci, A., Theuninck, A., Frederickson, J. & Job, R., 2015. Mechanisms of Social Emotion
Regulation: From Neuroscience to Psychotherapy. In: M. L. Bryant, ed. Handbook on
Emotion Regulation. New York: Nova Publishers.
Grosjean, B., 2005. From Synapse to Psychotherapy. American Journal of Psychotherapy, 59,
pp.181–197.
Koeswara, E., Mekanisme Pertahanan Ega, Teori-Teori Kepribadian, PT. Eresco Bandung, 1986
: 45-48
Krishnan, V. & Nestler, E. J., 2011. Animal Models of Depression: Molecular Perspective. In: J.
J. Hagan, ed. Molecular and Functional Models in Neuropsychiatry. Berlin: Springer.
Kuhn, M., Popovic, A. & Pezawas, L., 2014. Neuroplasticity and memory formation in major
depressive disorder: An imaging genetics perspective on serotonin and BDNF. Restorative
Neurology and Neuroscience, 32(APRIL), pp.25–49.
Linden, D.E.J., 2006. How psychotherapy changes the brain--the contribution of functional
neuroimaging. Molecular psychiatry, 11, pp.528–538.
Mangindaan, L. (2010). “Konseling” dalam Buku Ajar Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 374-378
Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press, 2009. h. 283-493.
Maramis, W. F., & Maramis, A. A. (2009). Catatan ilmo kedokteran jiwa. surabaya: Airlangga
Univeersity Press. Hal 478-493
Meyer, D., 2011. Neuroplasticity as an Explanation for the Attachment Process in the
Therapeutic Relationship. , (June).
Pandey, G. & Dwivedi, Y., 2009. Peripheral Biological Markers for Mood Disorders. In: M. S.
Ritsner, ed. The Handbook of Neuropsychiatric Biomarkers, Endophenotypes, and Genes
Volume III. Berlin: Springer.
PP PDSKJI., Panduan Gangguan Depresi Mayor., 2013
vi
Ristner, M. S. ed., 2009. Gallagher, Peter; Ristner, Michael S. In: Can the Cortisol to DHEA
Molar Ratio be Used as a Peripheral Biomarker for Schizophrenia and Mood Disorders?.
Berlin: Springer.
Ruwaard, J., Lange, A., Schrieken, B., Dolan, C.V., & Emmelkamp, P. 2012. The Effectiveness
of Online Cognitive Behavioral Treatment in Routine Clinical Practice. PLoS ONE, 7(7):
e40089
Saddock, Benjamin James , MD; Sadock, Virginia Alcott, M.D.; Synopsis of Psychiatry,
Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry; Ed.10, Mood Disorder ,2007 chapter 15 : 527-
578
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kalpan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (Tenth edition ed.). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins. p. 399-458.
Savitz, J. B., Simpson, J. R. & Drevets, W. C., 2012. Neuroimaging in Affective DIsorders:
Application in Clinical Research and Forensic Psychiatry. In: J. R. Simpson, ed.
Neuroimaging in Forensic Psychiatry. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd..
Sheline, Y.I. et al., 2010. Resting-state functional MRI in depression unmasks increased
connectivity between networks via the dorsal nexus. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States of America, 107(24), pp.11020–11025.
Sudiyanto A (2009). Konsep Dasar dan Teori Terapi Perilaku Kognitif; In Bimbingan Teknik
Psikoterapi Bidang Kesehatan Ke-2; Bagian Psikiatri FKUNS/RSUD Dr. Moewardi,
Surakarta: p23-48
Tess, B. & Desmond, P., 2009. Computed Tomography. In: D. Ames & E. Chiu, eds.
Neuroimaging in the Psychiatry of Late Life. New York: Cambridge University Press.
vii
Tryon, W.W., 2014. Cognitive Neuroscience and Psychotherapy. Network Principles for a
Unified Theory.,
Weingarten, C.P. & Strauman, T.J., 2014. Neuroimaging for psychotherapy research: Current
trends. Psychotherapy research : journal of the Society for Psychotherapy Research,
(April), pp.1–29. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24527694.
Wright JH (2006). Cognitive Behavior Therapy, Basic Principles and Recent Advances; In Focus
Vol. IV, No. 2; focus.psychiatryonline.org; p173-178
viii